Contoh BAB 2
Contoh BAB 2
LANDASAN TEORI
II-1
II-2
dan 5.0 merupakan kondisi yang ideal untuk perkembangan selulosa. Selulosa yang
dihasilkan dari bakteria disebut bacteria cellulose.
Bacteria cellulosa (BC) dapat tumbuh diberbagai media kultur. Air kelapa
merupakan salah satu media kultur yang biasa digunakan untuk memproduksi
bacteria cellulosa (BC) oleh Acetobacter xylinum. Selulosa yang dihasilkan oleh
media tersebut dikenal dengan nama “nata de coco” memiliki permukaan yang
halus dan tekstur kenyal. Proses fermentasi menggunakan media air kelapa untuk
memproduksi BC oleh Acetobacter xylinum membutuhkan waktu sekitar 7-8 hari
dalam suatu tempat khusus. Produk ini dikenal pertama kali di Filipina pada tahun
1949 kemudian semakin populer di negara lain seperti Jepang, Korea, dan USA.
BC merupakan salah satu sumber selulosa yang memiliki sifat yang unik seperti
kekuatan mekanik yang tinggi, kristalinitas tinggi dan kemampuan retensi air.
Selain itu, BC memiliki kemurnian tinggi, bebas dari hemiselulosa, lignin dan
senyawa non-selulosa. Sangat mudah untuk didekomposisi oleh mikroorganisme
dalam lingkungan dan dapat diperbaharui (Nasab dan Yousefi, 2010).
Nata merupakan sebutan lokal yang diberikan kepada lapisan gelatin yang
tumbuh pada permukaan cairan asam yang mengandung gula. Lapisan tersebut
diproduksi oleh mikroorganisme Acetobacter aceti subsp. Xylinum sebagai hasil
dari proses reaksi terhadap gula pada medium. Nata dapat disajikan sebagai
makanan penutup (dessert) pada bentuk manisan. Itu juga merupakan bahan
populer pada es krim, halo-halo, dan pada produk seperti koktail dan salad.
Permintaan lokal untuk produksi ini juga musiman.
perendaman dilakukan hingga tidak tercium bau asam. Air yang digunakan untuk
merendam juga perlu diganti setiap beberapa jam sekali.
Keberhasilan proses fermentasi dapat dipengaruhi berbagai faktor seperti
nutrisi, pH media, suhu lingkungan, ketersediaan oksigen, ada tidaknya sumber
kontaminasi, waktu fermentasi, juga kondisi ruangan dan kebersihan wadah
fermentasi. Wadah fermentasi perlu ditutup dengan koran untuk menghindari
kontak dengan kontaminan. (Majesty, Argo dan Nugroho, 2015).
Bahan baku pembuatan nata de coco antara lain air kelapa, gula putih, ZA,
asam sitrat, bibit nata dan asam asetat. Proses pembuatan nata de coco diawali
dengan penyaringan air kelapa muda hingga bersih bebas kotoran, kemudian
dididihkan hingga 1000C. Gula, ZA dan asam asetat dicampurkan ke dalam rebusan
air kelapa. Campuran tersebut kemudian dituangkan ke dalam wadah steril dan
didinginkan. Ketika sudah dingin, campurkan bibit nata (Azetobacter xylinum) ke
dalam air kelapa dan didiamkan dengan masa fermentasi kurang lebih 1 minggu.
Apabila lapisan nata sudah terbentuk, tambahkan dengan masa fermentasi kurang
lebih 1 minggu. Setelah itu tambahkan asam sitrat sebagai pengawet alami. Nata
kemudian direbus kembali dan air rebusan dibuang. Nata kemudian dicuci
berulang-ulang, direndam air kembali semalaman, dan kemudian dicuci. Setelah
pembuatan nata de coco jadi dalam bentuk lembaran, proses produksi selanjutnya
meliputi pembersihan kulit serta pencucian nata de coco, penipisan nata de coco,
pemotongan nata de coco, penyortiran nata de coco, pengepresan nata de coco, dan
tahap terakhir adalah pengemasan nata de coco. Berikut ini gambaran umum proses
produksi nata de coco di CV.Agrindo Suprafood yang dapat dilihat pada Gambar
2.1:
II-4
dikumpulkan dalam kelompok, rincian, dan kualitas tertentu. Semua operasi yang
berkontribusi terhadap siklus hidup dari suatu proses, produk, atau kegiatan yang
masuk dalam batasan sistem.
Batasan sistem adalah bagian dari sistem yang akan dipilih sebagai sistem
yang dianalisa. Berdasarkan standard ISO 14044 ada empat pilihan utama untuk
menentukan batasan sistem yang digunakan didalam sebuah studi LCA antara lain:
a. Cradle to grave: termasuk bahan dan rantai produksi energi dan semua proses
dari ekstraksi bahan baku melalui tahap produksi, transportasi dan penggunaan
hingga produk akhir dalam siklus hidupnya.
b. Cradle to gate: meliputi semua proses dari ekstraksi bahan baku melalui tahap
produksi (proses dalam pabrik), digunakan untuk menentukan dampak
lingkungan dari suatu produksi sebuah produk.
c. Gate to grave: meliputi proses dari penggunaan pasca produksi sampai pada akhir
fase kehidupan siklus hidupnya, digunakan untuk menentukan dampak
lingkungan dari produk tersebut setelah meninggalkan pabrik.
d. Gate to gate: meliputi proses dari tahap produksi saja, digunakan untuk
menentukan dampak lingkungan dari langkah produksi atau proses. Berikut ini
merupakan batasan sistem yang dapat dilihat pada Gambar 2.3:
II-8
daya dan menghasilkan emisi atau limbah, dan dampak lingkungan tiap tahapan
dalam siklus hidup produk tersebut perlu diketahui. Dalam suatu sistem industri
terdapat input dan output, input dalam sistem berupa material-material yang diambil
dari lingkungan, dan outputnya akan dibuang ke lingkungan kembali. Input dan
output sistem industri ini akan menghasilkan dampak terhadap lingkungan.
Pengambilan input material yang berlebihan akan mengakibatkan semakin
berkurangnya persediaan di alam, sedangkan hasil keluaran dari sistem industri
yang berupa limbah (padat, cair, dan udara) akan memberikan dampak negatif
terhadap lingkungan. Setiap produk mempunyai daur hidup (life cycle), mulai dari
perancangan atau pengembangan produk, diikuti oleh ekstraksi sumber daya, proses
produksi, konsumsi, dan aktifitas akhir (pengumpulan, penyortiran, pemanfaatan
kembali, daur ulang, dan pembuangan limbah). Semua aktifitas ini akan
menghasilkan dampak lingkungan karena pengaruh konsumsi sumber daya, emisi
dari bahan-bahan yang digunakan kelingkungan alam, dan perubahan lingkungan
lainnya. Pembangunan yang berkelanjutan yang baik memerlukan metode dan alat
yang membantu menghitung dan membandingkan dampak lingkungan dari barang
dan jasa itu ke masyarakat (Rebeitzer,2004).
Siklus hidup (life cycle) suatu produk menitikberatkan pada faktor
pengumpulan informasi dan menganalisis dampak lingkungan yang disebabkan
oleh suatu produk. Pada LCA dibutuhkan data mengenai input dan output secara
lengkap meliputi bahan baku, proses pembuatan, distribusi, transportasi, konsumsi,
hasil samping, dan dampak lingkungan. LCA sendiri dari beberapa elemen, antara
lain:
1. Identifikasi dan mengukur faktor-faktor yang terlibat.
2. Evaluasi faktor-faktor yang berpotensi berdampak pada lingkungan.
3. Analisis untuk mengurangi dampak lingkungan (Mattson dan Sonesson 2003)
Sektor industri saat ini dituntut untuk lebih serius dalam memperhatikan
dampak lingkungan yang terjadi akibat aktivitas produksinya. Hal ini terjadi seiring
bertambah buruknya kualitas lingkungan baik itu udara, air, maupun tanah. LCA
merupakan sebuah metode yang tepat untuk mengetahui seberapa besar dampak
lingkungan yang disebabkan pada tahap daur hidup mulai dari pengambilan
II-12
material sampai dengan produk itu selesai digunakan oleh konsumen. Upaya untuk
mencegah dan mengurangi timbulnya limbah, dimulai sejak pemilihan bahan,
teknologi proses, penggunaan material dan energi, serta pemanfaatan produk
samping pada suatu sistem produksi.
dengan jumlah massa bahan yang tertinggal berupa penumpukan, maka berlaku
ketentuan yang sederhana, yaitu apa yang masuk harus sama dengan apa yang
keluar.
Neraca massa secara umum dituliskan dalam persamaan matematis
sebagai berikut:
Input – Output = Akumulasi…………………….…………………….(2.1)
2.5.2 Neraca Energi
Neraca energi dibuat berdasarkan pada hukum pertama termodinamika.
Hukum pertama ini menyatakan kekekalan energi, yaitu energi tidak dapat
dimusnahkan atau dibuat, hanya dapat diubah bentuknya. Berdasarkan hukum
kekekalan energi suatu neraca keseimbangan untuk energi dapat dibuat pada setiap
saat untuk satu satuan operasi dengan adanya keseimbangan energi.
Energi masuk = Energi Keluar + Energi Tersimpan…………………...(2.2)
Pada keadaan steady untuk membuat neraca energi seperti halnya neraca
bahan, digunakan hukum kekekalan energi yang mengatakan bahwa semua energi
yang masuk proses sama dengan energi yang meninggalkan ditambah yang
tertinggal didalam proses (Suryadono, 2001).
2.7 Eco-Efficiency
Menurut Liu dkk (2016), eco-efficiency merupakan sebuah konsep
perhitungan rasio antara aspek ekonomi dengan dampak lingkungan dari suatu
sistem, proses atau produk yang berkaitan dengan upaya mengidentifikasikan
environmental improvement. Rasio tersebut memiliki tujuan sebagai alat
pertimbangan seorang decision maker dalam menganalisis dan mengurangi dampak
lingkungan.
Eco- efficiency dapat diartikan sebagai suatu strategi yang menghasilkan
suatu produk dengan kinerja yang lebih baik, dengan menggunakan sedikit energi
dan sumber daya alam. Tujuan eco-efficiency adalah untuk mengurangi dampak
lingkungan per unit yang diproduksi dan dikonsumsi. Konsep eco-efficiency
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1992 oleh World Business Council for
Sustainable Development (WBCSD). WBCSD telah mengidentifikasi adanya tujuh
faktor kunci dalam eco-efficiency yaitu: mengurangi jumlah penggunaan bahan,
mengurangi jumlah penggunaan energi, mengurangi pencemaran, memperbesar
daur ulang bahan, memaksimalkan penggunaan sumberdaya alam (SDA) yang
dapat diperbarui, memperpanjang umur pakai produk dan meningkatkan intensitas
pelayanan (GTZ-ProLH, 2007). Adapun untuk menghitung nilai eco-efficiency
dapat dilakukan dengan sebagai berikut:
1. Eco-Efficiency Index (EEI) produk
Perhitungan ini berfungsi untuk mengetahui nilai affordable dan sustainable
dari produksi. Input EEI berupa besar eco-cost yang dihasilkan dan besar net value
produk dengan input nilai rasio kelayakan keuntungan (benefit cost). Cara
perhitungan EEI dapat dilihat pada Persamaan (2.5) hingga Persamaan (2.8). (Tak
hur, 2012).
II-17
Eco-Efficiency Ratio Rate (EER Rate) produk merupakan perhitungan akhir dari
pengukuran eko-efisiensi tehadap proses produksi. Perhitungan EER Rate ini
diperoleh dengan cara mengurangi nilai net value dengan nilai eco-costs yang
dihasilkan dari proses produksinya dengan nilai net value, atau dengan cara nilai
dari EVR yang diperoleh dikurangkan dengan 1. Cara perhitungan EER Rate dapat
dilihat pada Persamaan (2.10). (Vogtlander, 2009)