Anda di halaman 1dari 46

MAKALA SISTEM ENDOKRIN

STRUMA

Disusun Oleh Kelompok 1A :

1. Khristina Damayanti (201111065)


2. Maria Valenzya (201111073)
3. Marieta (201111075)
4. Monica Sukmaningtyas (201111080)
5. Petrus Ganggu (201111085)
6. Tiyastutik (201111108)
7. Yolanda Dias (201111118)

S1 ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI KESEHATAN SANTA ELISABETH
SEMARANG
2012/2013
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya
atas berkat dan campur tangan-Nyalah, maka kami dapat menyelesaikan
makalahsistem endokrin “Asuhan Keperawatan pada pasien dengan penyakit struma “
ini dengan baik. Semoga apa yang kami tulis dan kami paparkan dalam makalah ini
dapat dimengerti dan di pahami dengan baik oleh pembaca sehingga dapat
bermanfaat bagi pembaca dalam menjaga dan meningkatkan status kesehatan dalam
kehidupan sehari – hari.

Penulis menyadari bahwa makalah asuhan keperawatan ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 4 Mei 2013

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


1.2 Tujuan

BAB II PENYAKIT STRUMA

2.1 Anatomi dan fisiologi tiroid


2.2 Mekanisme umpan balik hormone dari kelenjar tiroid
2.3 Metabolisme basal
2.4 Biosintesis dan metabolisme hormon-hormon tiroid
2.5 Pengaruh hormone tiroid terhadap metabolisme
2.6 Patofisiologi/Pathway Struma
2.7 Diit untuk pasien struma
2.8 Farmakologi untuk pasien struma : PTU, anti tiroid, tiroksin, garam yodium
dan implikasi keperawatannya
2.9 Pemeriksaan diagnostic (tes fungsi tiroid) dan penatalaksanaan struma :
tiroidectomi, strumektomi, RAI
2.10 Asuhan keperawatan pada pasien dengan Struma
2.11 Keterampilan pemeriksaan fisik tiroid
2.12 Keterampilan persiapan pre operasistrumektomi, tiroidektomi
2.13 Perawatan post operasistrumektomi, tiroidektomi
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Ilmu kesehatan sangatlah fleksibel dengan mengikuti perkembangan zaman.
Hal itu dapat dilihat dengan perkembangan penyakit dan cara mengatasinya.
Penyakit sangatlah berbahaya bagi tubuh manusia, apalagi yang dapat
mengganggu jiwa manusia. Karena itu ketika penyakit dapat membahayakan
maka secepat mungkin harus dicari cara mengatasinya atau pengobatan terhadap
penyakit yang diderita, demikian pula penyakit struma yang menyebabkan
pembengkakan pada leher.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) mencatat sekitar 20 persen
pasien endokrin menderita gangguan fungsi tiroid. "Gangguan tiroid menempati
urutan kedua daftar penyakit endokrin setelah diabetes," kata Ketua Perkeni Prof
Dr Achmad Rudijanto di sela-sela Asia And Ocenia Thyroid Association
Congress (AOTA) di Kuta, Bali, Minggu (21/10).
Tingginya jumlah penderita gangguan hormon yang mengatur metabolisme
tubuh disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat akan gejala dan kelainan
tiroid. Gangguan fungsi tiroid ada dua yaitu kekurangan hormon tiroid
(hipotiroid) dan kelebihan (hipertiroid). Gejala umum dari keduanya secara umum
adalah pembesaran kelenjarnya atau dikenal gondok atau struma. Kelainan
hipotiroid pada perempuan risikonya lebih besar dibandingkan dengan pria.
Diperkirakan sekitar 2,5 persen ibu hamil mengalami gangguan hormon tersebut.
Maka dari itu pada kesempatan ini penulis akan memaparkan sebuahmakalah
mengenai struma nodosa serta hal-hal yang menyangkut penyakit ini.

1.2 Manfaaat
1.2.1 Mahasiswa dapat mengetahui Anatomi dan fisiologi tiroid
1.2.2 Mahasiswa dapat mengetahui mekanisme umpan balik hormone dari kelenjar
tiroid dan Metabolisme basal
1.2.3 Mahasiswa dapat mengetahui Biosintesis dan metabolisme hormon-hormon
tiroid; Pengaruh hormone tiroid terhadap metabolism
1.2.4 Mahasiswa dapat mengetahui Patofisiologi/Pathway Struma dan Diit untuk
pasien struma
1.2.5 Mahasiswa dapat mengetahui Farmakologi untuk pasien struma : PTU, anti
tiroid, tiroksin, garam yodium dan implikasi keperawatannya dan
Pemeriksaan diagnostic (tes fungsi tiroid) dan penatalaksanaan struma :
tiroidectomi, strumektomi, RAI
1.2.6 Mahasiswa dapat menganalisa Asuhan keperawatan pada pasien dengan
Struma
1.2.7 Mahasiswa mengetahui Keterampilan pemeriksaan fisik tiroid, Keterampilan
persiapan pre operasistrumektomi, tiroidektomi, Perawatan post
operasistrumektomi, tiroidektomi

1.3 Tujuan
1.3.1 Agar mahasiswa dapat mengetahui Anatomi dan fisiologi tiroid
1.3.2 Agar mahasiswa dapat mengetahui mekanisme umpan balik hormone dari
kelenjar tiroid dan Metabolisme basal
1.3.3 Agar mahasiswa dapat mengetahui Biosintesis dan metabolisme hormon-
hormon tiroid; Pengaruh hormone tiroid terhadap metabolism
1.3.4 Agar mahasiswa dapat mengetahui Patofisiologi/Pathway Struma dan Diit
untuk pasien struma
1.3.5 Agar mahasiswa dapat mengetahui Farmakologi untuk pasien struma : PTU,
anti tiroid, tiroksin, garam yodium dan implikasi keperawatannya dan
Pemeriksaan diagnostic (tes fungsi tiroid) dan penatalaksanaan struma :
tiroidectomi, strumektomi, RAI
1.3.6 Agar mahasiswa dapat menganalisa Asuhan keperawatan pada pasien dengan
Struma
1.3.7 Agar mahasiswa mengetahui Keterampilan pemeriksaan fisik tiroid,
Keterampilan persiapan pre operasistrumektomi, tiroidektomi, Perawatan post
operasistrumektomi, tiroidekto
BAB II

ISI

2.1 Anatomi dan fisiologi tiroid


Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm yang berasal dari sulcus
pharyngeus pertama dan kedua pada garis tengah atau lekukan faring antara
branchial pouch pertama dan kedua. Mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4-4
cm pada akhir bulan pertama kehamilan. Dari bagian tersebut timbul divertikulum
yang kemudian membesar, jaringan endodermal ini turun ke leher sampai setinggi
cincin trakea kedua dan ketiga yang kemudian membentuk 2 lobus, yang akhirnya
melepaskan diri dari faring. Penurunan ini terjadi pada garis tengah. Sebelum
lepas, ia berbentuk sebagai duktus tiroglossus, yang berawal dari foramen sekum
di basis lidah. Pada umumnya duktus ini akan menghilang pada usia dewasa. Sisa
ujung kaudal duktus tiroglossus lebih sering mengalami obliterasi menjadi lobus
piramidalis kelenjar tiroid. Tetapi ada beberapa keadaan yang masih menetap,
sehingga dapat terjadi kelenjar di sepanjang jalan tersebut, yaitu antara kartilago
tiroid dengan basis lidah. Dengan demikian, kegagalan menutupnya duktus akan
mengakibatkan terbentuknya kelenjar tiroid yang letakya abnormal, dinamakan
persisten duktus tiroglossus, dapat berupa kista duktus tiroglossus, tiroid lingual
atau tiroid servikal. Sedangkan desensus yang terlalu jauh akan menghasilkan
tiroid substernal. Branchial pouch keempatpun akan ikut membentuk bagian
kelenjar tiroid, dan merupakan asal mula sel-sel parafolikular atau sel C yang
memproduksi kalsitonin. Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai mandiri
pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin.

Anatomi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri dari 2 lobus yang
dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Setiap lobus
tiroid berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat
kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan asupan yodium. Pada orang
dewasa berat normalnya antara 10-20 gram.
Pada sisi posterior melekat erat pada fasia pratrakea dan laring melalui kapsul
fibrosa, sehingga akan ikut bergerak kea rah cranial sewaktu menelan.
Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis (m.
sternotiroid dan m. sternohioid) kanan dan kiri yang bertemu pada midline.
Pada sebelah yang lebih superficial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli
profunda dan superfisialis yang membungkus m. sternokleidomastoideus dan
vena jugularis eksterna. Sisi lateral berbatasan dengan a. karotis komunis, v.
jugularis interna, trunkus simpatikus dan arteri tiroidea inferior. Posterior dari
sisi medialnya terdapat kelenjar paratiroid, n. laringeus rekuren dan
esophagus. Esofagus terletak di belakang trakea dan laring, sedangkan
n.laringeus rekuren terletak pada sulkus trakeoesofagikus.
Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. A.tiroidea superior berasal
dari a.karotis kommunis atau a.karotis eksterna, a.tiroidea inferior dari
a.subklavia, dan a.tiroidea ima berasala dari a.brakhiosefalik salah sau cabang
arkus aorta
Aliran darah dalam kelenjar tiroid berkisar 4-6 ml/gram/menit, kira-kira 50
kali lebih banyak dibanding aliran darah di bagian tubuh lainnya. Pada
keadaan hipertiroidisme, aliran darah ini akan meningkat sehingga dengan
stetoskop terdengar bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar.
Setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik, sedangkan
system venanya berasal dari pleksus parafolikuler yang menyatu di
permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior.
Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar
paratiroid menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di
lobus medius.
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan
pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang
tepat berada di atas ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan
sebagian ada yang langsung ke duktus torasikus. Hubungan getah bening ini
penting untuk menduga penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar
tiroid.

Gambar 1. Anatomi Tiroid


Gambar 2. Anatomi Tiroid Potongan Melintang

Histologi Kelenjar Tiroid


Secara histologi, parenkim kelenjar ini terdiri atas:
1. Folikel-folikel dengan epithetlium simplex kuboideum yang mengelilingi suatu
massa koloid. Sel epitel tersebut akan berkembang menjadi bentuk kolumner
katika folikel lebih aktif (seperti perkembangan otot yang terus dilatih).
2. Cellula perifolliculares (sel C) yang terletak di antara beberapa folikel yang
berjauhan.

Gambar 3. Histologi Kelenjar Tiroid


Fisiologi Hormon Tiroid
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin (T4). Bentuk
aktif ini adalah triyodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon
T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid. Yodida
anorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat
ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali yang afinitasnya sangat tinggi di jaringan
tiroid. Yodida anorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya
menjadi bagian dari tirosin yang terdapat dalam tiroglobulin sebagai monoyodotirosin
(MIT) atau diyodotirosin (DIT). Senyawa atau konjugasi DIT dengan MIT atau
dengan DIT yang lain akan menghasilkan T3 atau T4, yang disimpan dalam koloid
kelenjar tiroid. Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di
dalam kelenjar yang kemudian mengalami deyodinasi untuk selanjutnya menjalani
daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tiroid terikat pada protein, yaitu globulin
pengikat tiroid (thyroid binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin
(thyroxine binding prealbumine, TBPA).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid
(thyroid stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar
hipofisis. Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh
kadar hormon tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai negative feedback
terhadap lobus anterior hipofisis, dan terhadap sekresi thyrotropine releasing hormone
(TRH) dari hipotalamus.
Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan kalsitonin.
Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme kalsium, yaitu
menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap tulang.
Jadi, kesimpulan pembentukan hormon tiroksin melalui beberapa langkah,
yaitu:
1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid
merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai
status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu
tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan
enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4. Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)
menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT
(monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan
juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi
dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada
dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.
Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,
dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan
dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan
kompleks golgi.

Gambar 4. Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid


Pengangkutan Tiroksin dan Triiodotirosin ke Jaringan

Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik secara cepat
berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan kurang dari 0,1%
T4 tetap berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini memang luar biasa
mengingat bahwa hanya hormon bebas dari keseluruhan hormon tiroid memiliki
akses ke sel sasaran dan mampu menimbulkan suatu efek.
Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:
1. TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55% T4
dan 65% T3 yang ada di dalam darah.
2. Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik,
termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3.
3. TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.
Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun T3 memiliki
aktivitas biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4. Namun, sebagian besar
T4 yang disekresikan kemudian dirubah menjadi T3, atau diaktifkan, melalui proses
pengeluaran satu yodium di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari
sekresi T4 yang mengalami proses pengeluaran yodium di jaringan perifer. Dengan
demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid yang secara biologis aktif di tingkat sel.
Fungsi hormon tiroid
a. Mengatur metabolisme protein,lemak,karbohidrat dalam sel.
b. Meningkatkan konsumsi oksigen di semua jaringan.
c. Meningkatkan frekuensi dan kontraksi denyut jantung.
d. Mempertahankan tonus otot.
e. Merangsang pemecahan lemakdan sintesa kolesterol.
2.2 Mekanisme umpan balik hormone dari kelenjar tiroid

Mula-mula, hipotalamus sebagai pengatur mensekresikan TRH


(Thyrotropin-Releasing Hormone), yang disekresikan oleh ujung-ujung saraf di
dalam eminansia mediana hipotalamus. Dari mediana tersebut, TRH kemudian
diangkut ke hipofisis anterior lewat darah porta hipotalamus-hipofisis. TRH
langsung mempengaruhi hifofisis anterior untuk meningkatkan pengeluaran TSH.
TSH merupakan salah satu kelenjar hipofisis anterior yang mempunyai efek
spesifik terhadap kelenjar tiroid:
1. Meningkatkan proteolisis tiroglobulin yang disimpan dalam folikel, dengan
hasil akhirnya adalah terlepasnya hormon-hormon tiroid ke dalam sirkulasi
darah dan berkurangnya subtansi folikel tersebut.
2. Meningkatkan aktifitas pompa yodium, yang meningkatkan kecepatan proses
iodide trapping di dalam sel-sel kelenjar, kadangakala meningkatkan rasio
konsentrasi iodida intrasel terhadap konsentrasi iodida ekstrasel sebanyak
delapan kali normal.
3. Meningkatkan iodinasi tirosin untuk membentuk hormon tiroid.
4. Meningkatkan ukuran dan aktifitas sensorik sel-sel tiroid.
5. Meningkatkan jumlah sel-sel tiroid, disertai dengan dengan perubahan sel
kuboid menjadi sel kolumner dan menimbulkan banyak lipatan epitel tiroid ke
dalam folikel.

2.3 Metabolisme basal


Metabolisme basal adalah banyaknya energi yang dipakai untuk aktifitas
jaringan tubuh sewaktu istirahat jasmani dan rohani. Energi tersebut
dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi vital tubuh berupa metabolisme
makanan, sekresi enzim, sekresi hormon, maupun berupa denyut jantung,
bernafas, pemeliharaan tonus otot, dan pengaturan suhu tubuh.
Metabolisme basal ditentukan dalam keadaan individu istirahat fisik dan
mental yang sempurna. Pengukuran metabolisme basal dilakukan dalam
ruangan bersuhu nyaman setelah puasa 12 sampai 14 jam (keadaan
postabsorptive). Sebenarnya taraf metabolisme basal ini tidak benar-benar
basal. Taraf metabolisme pada waktu tidur ternyata lebih rendah dari pada
taraf metabolisme basal, oleh karena selama tidur otot-otot terelaksasi lebih
sempurna. Apa yang dimaksud basal disini ialah suatu kumpulan syarat
standar yang telah diterima dan diketahui secara luas.
Metabolisme basal dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu jenis kelamin,
usia, ukuran dan komposisi tubuh, faktor pertumbuhan. Metabolisme basal
juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan
keadaan emosi atau stres.
Orang dengan berat badan yang besar dan proporsi lemak yang sedikit
mempunyai Metabolisme basal lebih besar dibanding dengan orang yang
mempunyai berat badan yang besar tapi proporsi lemak yang besar.
Demikian pula, orang dengan berat badan yang besar dan proporsi lemak
yang sedikit mempunyai Metabolisme basal yang lebih besar dibanding
dengan orang yang mempunyai berat badan kecil dan proporsi lemak sedikit.
Metabolisme basal seorang laki-laki lebih tinggi dibanding dengan
wanita. Umur juga mempengaruhi metabolisme basal dimana umur yang lebih
muda mempunyai metabolisme basal lebih besar dibanding yang lebih tua.
Rasa gelisah dan ketegangan, misalnya saat bertanding
menghasilkanmetabolisme basal 5% sampai 10% lebih besar. Hal ini terjadi
karena sekresi hormon epinefrin yang meningkat, demikian pula tonus otot
meningkat.

Laju Metabolik Basal (Basal Metabolic Rate/BMR) ialah energi yang


dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi fisiologis normal pada saat
istirahat.

BMR = kcal/ m2/jam (kilokalori energi yang digunakan per meter persegi
permukaan tubuh per jam)

BMR

Fungsi fisiologis normal tersebut meliputi :


 Lingkungan kimia internal tubuh, yaitu
gradient konsentrasi ion antara intrasel
dan ekstrasel

 Aktivitas elektrokimia sistem saraf

 Aktivitas elektromekanik sistem


sirkulasi

 Pengaturan suhu

Faktor-faktor yang mempengaruhi BMR

 Makanan
Makanan kaya protein akan lebih meningkatkan BMR daripada
makanan kaya lipid atau kaya karbohidrat. Hal ini mungkin terjadi
karena deaminasi asam amino terjadi relatif cepat.
 Status hormon tiroid
Hormon tiroid meningkatkan konsumsi oksigen, sintesis protein, dan
degradasi yang merupakan aktivitas termogenesis. Peningkatan BMR
merupakan hal yang klasik pada hipertiroid, dan menurun pada
penurunan kadar tiroid
 Aktivitas saraf simpatis.
Pemberian agonis simpatis  juga meningkatkan BMR. Sistem saraf
simpatis secara langsung melalui nervus vagus ke hati mengaktivasi
pembentukan glukosa dari glikogen. Sehingga aktivitas saraf simpatis
meningkatkan BMR.
 Latihan
Latihan membutuhkan kalori ekstra dari makanan. Jika s/ makanan lebih
banyak mengandung energi, maka berat badan akan meningkat. Jika
penggunaan energi lebih banyak dari yg tersedia dlm makanan, maka
tubuh akan memakai simpanan lemak yang ada dan mungkin akan
menurunkan berat badan.
 Umur & faktor lain
BMR seorang anak umumnya lebih tinggi daripada orang dewasa, krn
anak memerlukan lebih banyak energi selama masa pertumbuhan.
Wanita hamil & menyusui juga memiliki BMR yang lebih tunggu.
Demam meningkatkan BMR. Orang yg berotot memiliki BMR lebih
tinggi daripada orang yg gemuk .
2.4 Biosintesis dan metabolisme hormon-hormon tiroid
Biosintesis hormone tyroid merupakan suatu urutan langkah” proses yang
diatur oleh enzim” tertentu. Langkah” tersebut adalah:

1. Penangkapan yodida
2. Oksidasi yodida menjadi yodium
3. Organifikasi yodium menjadi monoyodotirosin dan diyodotirosin
4. Proses penggabungan precursor yang teryodinasi
5. Penyimpanan hormone
6. Pelepasan Hormon

Penangkapan yodida oleh sel” folikel tyroid merupakan suatu proses


aktif dan membutuhkan energi. Energy yang didapat dari metabolisme
oksidatif dalam kelenjar. Yodida yang tersedia untuk tyroid berasal dari
yodida dalam makanan atau air, atau yang dilepaskan pada deyodinasi
hormone tyroid atau bahan” yang mengalami yodinasi. Tyroid mengambil dan
mengkonsentrasikan yodida 20 hingga 30 kali kadarnya dalam plasma.
Yodida dirubah menjadi yodium, dikatalis oleh enzim yodida peroksidase.
Yodium kemudian digabungkan dengan molekul tirosin, yaitu proses yang
dijelaskan sebagai organifikasi yodium. Proses ini terjadi pada interfase sel
koloid. Senyawa yang terbentuk, monoyodotirosin dan diyodo-tirosin
kemudian digabungkan sebagai berikut: dua molekul diyodotirosin
membentuk tirosin (T4) dan satu molekul diyodotirosin dan satu molekul
monoyodotirosin membentuk triyodotirosin (T3). Penggabungan senyawa-
senyawa ini dan penyimpanan hormone yang dihasilkan berlangsung dalam
tiroglobulin. Pelepasan hormone dari tempat penyimpanan terjadi dengan
masuknya testes-tetes koloid ke dalam sel” folikel dengan proses yang disebut
pinositosis. Di dalam sel” ini tiroglobulin dihidrolisis dan hormone dilepaskan
ke dalam sirkulasi. Berbagai langkah yang dilakukan tersebut dirangsang oleh
tirotropin (TSH)

2.5 Pengaruh hormone tiroid terhadap metabolisme


Hormon tiroid mempunyai 2 efek utama pada tubuh:1. Meningkatkan
kecepatan metabolism secara keseluruhan dan 2. Pada anak-anak,merangsang
pertumbuhan

Peningkatan umum kecepatan metabolisme

Hormone tiroid meningkatkan aktifitas metabolism hamper semua


jaringan tubuh.kecepatan metabolism basal dapat meningkat sebanyak 60-100
persen diatas normal bila disekrsi hormone dalam jumlah besar. Keceptan
penggunaan makanan untuk energy sangat dipercepat.kecepatan sintesis
protein kadang-kadang meningkat, semnetara pada saat yang sama kecepatan
katabolisme protein juga meningkat. Keceptan pertumbuhan orang muda
sangat dipercepat. Proses mental terangsang, dan aktifitas banyak kelenjar
endokrin lain sering meningkat. Beberapa mekanisme kerja yang mungkin ada
dari hormone teroid dijelaskan dalam bagian berikut

1. Efek hormone tiroid menyebabakan sintesis protein


Hormone tiroid digabung dengan protein”reseptor”didalam nucleus sel
gabungan ini atau produk darinya kemudian mengaktifasi sebagaian besar gen
sel untuk menyebabakan pembentukan RNA dn kemudian pembentukan
protein
2. Efek hormone tiroid pada system enzim sel
Dalam 1 minggu atau lebih setelah pemberian hormon tiroid,paling sedikit
100 dan mungkin lebih banyak lagi enzim intra sel meningkat jumlahnya
3. Efek hormone tiroid pada metokondria
Fungsi utama tiroksin mingkin hanya meningkatkan jumlah dan aktifitas
mitokondria, serta peningkatan ini selanjutrnya meningkatkan kecepatan
pembentukan ATP untuk member energy fungsional sel.
4. Efek hormone tiroid dalam meningkatkan transport aktif ion melalui
membrane sel
Salah satu enzim yang meningkat sebgai respon terhadap hormon tiropid
adalah Na-K ATPse yang meningkatkan kecepatan transport natrium dan
kalium melalui membrane sel beberapa jaringan

2.6 Patofisiologi/Pathway Struma

Pengertian Struma
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa
gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid
yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian
posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat
mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak
terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila
pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat
asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.
Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan
faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain:
a. Defisiensi iodium. Pada umumnya, penderita penyakit struma sering
terdapat di daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang
mengandung iodium, misalnya daerah pegunungan.
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
c. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol,
lobak, kacang kedelai).
d. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya:
thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).

Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus,
masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar
tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang
distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi
molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid.
Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk
tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan
pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid Stimulating Hormon dan
bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang tyrodotironin (T3)
merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat
mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus
menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik
negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini
menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.

Klasifikasi
a. Berdasarkan Fisiologisnya
1) Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal
sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang
meningkat. Goiter atau struma semacm ini biasanya tidak
menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi
secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
2) Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar
tiroid sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang.
Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang
cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai
kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid
akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme
adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin,
dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar,
rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan
penurunan kemampuan bicara.
3) Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat
didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap
pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat
timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang
merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon
yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala
hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat,
keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka udara dingin, sesak napas.
Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada
tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak
teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.
b. Berdasarkan Klinisnya
1) Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik
dan struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah
kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan
menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis
sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik
teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan
hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon
tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab tersering adalah
penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophthalmic goiter), bentuk
tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme
lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah
diiidap selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH
beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan
menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan
peningkatan pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi
hormon tersebut sebagai hasilpengobatan penyakit ini cenderung
untuk menurunkan antibodi tetapi bukan mencegah pembentuknya.
Apabila gejala-gejala hipertiroidisme bertambah berat dan
mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala
klinik adanya rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin,
pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan dapat meninggal.

2) Struma Non Toksik


Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi
menjadi struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik.
Struma non toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik.
Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter
koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang
sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa
hormon oleh zat kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul,
maka pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa
disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma
nodusa non toksik. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia
muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat karena
keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian
pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada
esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai
rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat
ringannya endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium
urin. Dalam keadaan seimbang maka yodium yang masuk ke dalam
tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat urin. Kriteria daerah
endemis gondok yang dipakai Depkes RI adalah endemis ringan
prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang 20 % - 29 %
dan endemik berat di atas 30 %.
Tanda dan Gejala
Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan, maka tanda dan gejala
pasien struma adalah :
a. Status Generalis (umum)
1) Tekanan darah meningkat (systole)
2) Nadi meningkat
3) Mata : Exophtalamus
a) Stellwag sign : jarang berkedip
b) Von Graefe sign : palpebra mengikuti bulbus okuli waktu melihat
ke bawah.
c) Morbius sign : sukar konvergensi
d) Jeffroy sign : tak dapat mengerutkan dahi.
e) Rossenbach sign : tremor palpebra jika mata ditutup.
4) Hipertoni simpatis : kulit basah dan dingin, tremor
5) Jantung : takikardi
b. Status Lokalis : Regio Colli Anterior
1) Inspeksi : benjolan, warna, permukaan, bergerak waktu menelan
2) Palpasi : permukaan, suhu
a) Batas atas—– kartilago tiroid
b) Batas bawah — incisura jugularis
c) Batas medial — garis tengah leher
d) Batas lateral — m.sternokleidomastoid
c. Gejala Khusus
1) Struma kistik
a) Mengenai 1 lobus
b) Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
c) Kadang multilobularis
d) Fluktuasi (+)
2) Struma Nodusa
a) Batas jelas
b) Konsistensi : kenyal sampai keras
c) Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarsinoma
tiroidea
3) Struma Difusa
a) Batas tidak jelas
b) Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek.
4) Struma vaskulosa
a) Tampak pembuluh darah (biasanya arteri), berdenyut
b) Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
c) Kelenjar getah bening : Paratracheal Jugular Vein.

Komplikasi Struma
a. Penyakit jantung hipertiroid
Gangguan pada jantung terjadi akibat dari perangsangan berlebihan pada
jantung oleh hormon tiroid dan menyebabkan kontraktilitas jantung
meningkat dan terjadi takikardi sampai dengan fibrilasi atrium jika
menghebat. Pada pasien yang berumur di atas 50 tahun, akan lebih
cenderung mendapat komplikasi payah jantung.
b. Oftalmopati Graves
Oftalmopati Graves seperti eksoftalmus, penonjolan mata dengan
diplopia, aliran air mata yang berlebihan, dan peningkatan fotofobia dapat
mengganggu kualitas hidup pasien sehinggakan aktivitas rutin pasien
terganggu.
c. Dermopati Graves
Dermopati tiroid terdiri dari penebalan kulit terutama kulit di bagian atas
tibia bagian bawah (miksedema pretibia), yang disebabkan penumpukan
glikosaminoglikans. Kulit sangat menebal dan tidak dapat dicubit.

2.7 Diit untuk pasien struma


 Makanan yang mengandung yodium : garam meja , seafood ,
supplemen yang mengandung yodium
 Makanan yang mengandung rendah gula ,karena dapat mengontrol
produksi insulin dalam tubuh . Makan makanan seperti ice cream ,
permen adalah makanan yang mengandung kadar gula tinggi , tapi
tdak hanya itu , masih ada makanan lain yang mengandung kadar gula
tinggi seperti : wortel , jagung , roti , beras putih , kentang .
 Makanan yang rendah protein : seafood , daging yang berwarna putih ,
telur
 Makanan yang banyak mengandung serat : gandum , lentil ,apel ,
kacang merah , sayuran berdaun hijau
 Vitamin dan Mineral : Zink dan Selenium

Hindari makan kacang , karena kacang merupakan makanan yang bersifat


goitrogenik , tapi efek tersebut berkurang apabila kacang tersebut sudah
dimasak / diolah .
2.8 Farmakologi untuk pasien struma : PTU, anti tiroid, tiroksin, garam
yodium dan implikasi keperawatannya

Obat jenis asetaminopen

Pemberian beta-bloker

Propanolol secara intravena dosis yang diberikan adalah 1mg/mnt


sampai bberapa mg hingga efek yang diinginkan tercapai atau 2-4mg/4jam
secara intravena atau 60-80mg/4mg secara oral atau melalui NGT

Pemberian tionamide seperti methimazole 30mg/6jam atau PTU


200mg/4jam secara oral atau NGT untuk memblok sintesishormon

Larutan lugol 10tts/8jam secara oral

Glucocorticoid 100mg/8jam secara intravena

I. Obat-obatan

1. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.


Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol
dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol.(4) Obat golongan
tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan
metimazol..

Mekanisme Kerja

Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.


Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi
biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan
organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur
molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan
mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T-4
menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas
dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih
dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon
tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan
biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan
sebagai dosis tunggal.
Dosis

Besarnya dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi


umumnya dosis PTU dimulai dengan 3×100-200 mg/hari dan
metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6
minggu pertama. Setelah periode ini, dosis dapat diturunkan atau dinaikkan
sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis
dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/
tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis
eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal.4 Bila dengan dosis awal
belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat dinaikkan
bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor
penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan
psikis.

Efek Samping

Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya


efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping
agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome,
yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan.3 Untuk
mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi
perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi
hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila
ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan
memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih
modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi. Bila timbul efek
samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat
jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.

Evaluasi

Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit


Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan
terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk
menilai perkembangan klinis dan bikokimia guna menentukan dosis obat
selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis
tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan
perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan
eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3
toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis,
sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai
beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis
yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan
mata.

2. Obat Golongan Penyekat Beta

Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat


bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis
(hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas
melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik,
obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3
melalui penghambatannya terhadap konversi T-4 ke T-3. Dosis awal
propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari.3,4
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan
durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal
atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek
serupa dengan propranolol.

Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa


efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia,
fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam,
agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini
dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal
jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga
dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada
pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase.

2.9 Pemeriksaan diagnostic (tes fungsi tiroid) dan penatalaksanaan struma :


tiroidectomi, strumektomi, RAI

1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengukur fungsi tiroid: Pemerikasaan hormon


tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay (RIA) dan cara
enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau plasma darah.
Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar
normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat
membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6
nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui
hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang
meningkat sampai 3 kali normal.
2. Pemeriksaan laboratorium untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid:
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum penderita
dengan penyakit tiroid autoimun.
- antibodi tiroglobulin
- antibodi mikrosomal
- antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
- antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
- thyroid stimulating hormone antibody (TSA)
3. Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi
trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun
sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan Lateral diperlukan untuk
evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan dengan intubasi anastesinya. Bahkan
tidak jarang untuk konfirmasi diagnostik tersebut sampai memerlukan CT-scan
leher.
4. USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
 menentukan jumlah nodul
 membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
 mengukur volume dari nodul tiroid
 mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
 Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah
 Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
5. Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji tangkap tiroid, yaitu dengan
prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif akan menangkap radioaktivitas
yang lebih tinggi. Metabolisme hormon tiroid sangat erat hubungannya dengan
yodium, sehingga dengan yodium yang dimuati bahan radioaktif kita bisa
mengamati aktivitas kelenjar tiroid maupun bentuk lesinya.
6. Pemeriksaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle aspiration
biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan sampai
menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.
7. Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi
diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu
keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC dilakukan
pemeriksaan patologi anatomis untuk memastikan proses ganas atau jinak serta
mengetahui jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.
2.10 Asuhan keperawatan pada pasien dengan Struma
KASUS STRUMA

Ny. H (30 tahun) dirawat di RS dengan Diagnosa medis struma derajat


II. Dari hasil pengkajian didapatkan data klien tinggal di daerah
pegunungan,mengeluh nyeri saat menelan, sesak nafas, telapak tangan sering
berkeringat, terdapat exophthalmus, belum ada kardiomegali, tidak malu
dengan keadaannya, TD 100/70 mmHg, nadi 110 x/menit, RR 21 x/menit,
suhu 37,40C, hasil laboratorium sebelum operasi T3 dan T4 menurun, TSH
meningkat, pemeriksaan kepadatan tulang masih dalam batas normal. Klien
mendapat terapi propanolol 3x5mg. Sebelum operasi klien merasa cemas akan
kehilangan suaranya jika di operasi, saat ini klien selesai lobectomy hari ke
3,terpasang drain dengan isi 2cc, kondisi luka kering, tidak berbau, terdapat 3
jahitan.

PENGKAJIAN PERPOLA KESEHATAN

PENGKAJIAN 11 POLA GORDON

 Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan


Pasien mengatakan tinggal di daerah pegunungan.
 Pola nutrisi metabolik
Pasien mengatakan nyeri saat menelan, karena pembesaran tiroid, sehinga
susah menelan.
 Pola eliminasi
Tidak terkaji

 Pola aktivitas dan latihan


Tidak terkaji
 Pola tidur dan istirahat
Tidak terkaji
 Pola persepsi dan konsep diri
Pasien mengatakan tidak malu dengan keadaannya sekarang.
 Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress
Pasien mengatakan stres sebelum operasi merasa cemas akan kehilangan
suaranya jika di operasi.
 Pola kognitif dan persepsi sensori.
Pasien mengeluh nyeri saat menelan dan sesak nafas
 Pola peran dan hubungan dengan sesama
Tidak terkaji
 Pola reproduksi dan seksualitas
Tidak terkaji
 Pola sistem kepercayaan
Tidak terkaji

ANALISA DATA

DATA MASALAH ETIOLOGI

DS : Pola nafas tidak efektif Nyeri, Ansietas

-Pasien mengatakan sesak


nafas
-Klienmengeluh nyeri saat
menelan
- Pasien mengatakan
merasa cemas akan
kehilangan suaranya jika
dioperasi

DO :

-Nadi 110 x/menit


-Hasil lab sebelum operasi
T3 dan T4 menurun, TSH
meningkat
DS : Resiko infeksi Prosedur invasif

DO :

 pasien selesai
lobektomy hari ke
3
 Terpasang drain
dengan isi 2cc
 terdapat 3 jahitan
 kondisi luka kering
tidak bau

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nyeri, ansietas ditandai dengan,
Klien mengatakan sesak nafas, Klien mengeluh nyeri saat menelan,pasien
mengatakan merasa cemas akan kehilangan suaranya jika dioperasi , nadi 110
x/menit, Hasil lab sebelum operasi T3 dan T4 menurun, TSH meningkat
2. Resiko infeksi ditandai dengan Klien selesai lobektomy hari ke 3Terpasang
drain dengan isi 2cc, terdapat 3 jahitan, kondisi luka kering tidak bau

INTERVENSI

NO Tgl/ Tujuan dan kriteria hasil INTERVENSI Rasional TTD


DP
jam

1. Pola nafas kembali efektif 7. Adanya perubahan


1. monitor TTV
setelahdilakukantindakank tanda-tanda vital
(RR,NADI)
eperawatan selama 7 x 24 seperti respirasi
jam dengan kriteria hasil: menunjukkan kurang
ventilasi yg masuk.
1. Pasien mengatakan
tidak sesak nafas

2. pasien tidak mengeluh 2. Monitor skala 2.Mengetahui


nyeri saat menelan nyeri perkembangan skala
nyeri pasien.
3. RR (16-20 x/menit)

4. Nadi (60-100x/menit)

5. Hasil lab normal 3. ajarkan teknik 3. mengurangi nyeri yang


relaksasi tiap di rasakan pasien.
T3 : 80-160ng/100M 2jam

T4 : 11 mikro gram/

100 ml

TSH : 0,5 – 5,0 mikro


4.Mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
U
pemberian
analgetik

5.adanya pemberian obat


5. Lanjutkan propanolol(antityroid)
pemberian obat untuk mengurangi
propanolol pembesaran kelenjar
3x5mg tyroid

6. Kolaborasi
pemberian 6.Adanya pemberian
oksigen oksigen dapat memenuhi
kebutuhan oksigen klien

7. anjurkan
keluarga untuk 7. dukungan dari orang-
memberikan orang terdekat membuat
support dan klien semangat
dukungan kepada
keluarga

8.
2. infeksi tidak terjadi 1. Monitor 1. adanya
setelah dilakukan sekitar jahitan perdarahan
tindakan keperawatan tiap 4jam dapat
selama 7x24jam dengan mengakibatka
kriteria hasil: n terjadinya
infeksi
1. disekitar pemasangan
2. Perawatan 2. adanya
drain tidak ada tanda-
luka dan drain perawatan
tanda infeksi
setelah 3hari luka untuk
2. jahitan mengering, mencegah
tidak ada pendarahan infeksi dan
disekitar jahitan luka bisa cepat
kering
3. kondisi luka kering
3. Pantau daerah 3. resiko infeksi
tidak bau
luka biasanya
ditandai
dengan adanya
pus

4. Anjurkan 4. kuman dan


pengunjung bakteri dapat
untuk mencuci jga dibawa
tangan oleh
sebelum dan pengunjung
setelah dari
meninggalkan lingkungan
ruangan luar
pasien

5. Kolaborasi 5. adanya
pemberian pemberian
obat antibiotik antibiotik
mengurahi
terjadinya
infeksi
6. Kolaborasi 6. memantau
pemeriksaan hasil lab.
lab Khususnya
darah(leukosit leukosit
) karena salah
satu tanda
peradangan
leukosit
meningkat.
2.11 Keterampilan pemeriksaan fisik tiroid
Pemeriksaan fisik kelenjer tiroid merupakan bagian dari pemeriksaan
umum seorang penderita. Dalam memeriksa leher seseorang, struktur leher
lainnya pun harus diperhatikan. Ada beberapa alasan untuk hal ini, pertama
sering struktur ini tertutup atau berubah oleh keadaan kelenjar tiroid, kedua
metastasis tiroid sering terjadi ke kelenjar limfe leher dan ketiga banyak juga
kelainan leher yang sama sekali tidak berhubungan dengan gangguan kelenjer
gondok. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sistematik juga diperlukan,
sebab dampak yang ditimbulkan oleh gangguan fungsi kelenjer tiroid
melibatkan hampir seluruh oragan tubuh, sehingga pengungkapan detail
kelainan organ lainnya sangat membantu menegakkan maupun mengevaluasi
gangguan kelainan penyakit kelenjar tiroid. Pemeriksaan kelenjar tiroid
meliputi inspeksi, palpasi dan auskultasi.

A. Inspeksi
Waktu memeriksa kelenjar tiroid hendaknya dipastikan arah sinar
yang tepat, sehingga masih memberi gambaran jelas pada kontur, relief,
tekstur kulit maupun benjolan. Demikian pula harus diperhatikan apakah ada
bekas luka operasi. Dengan dagu agak diangkat, perhatikan struktur dibagian
bawah-depan leher. Kelenjar tiroid normal biasanya tidak dapat dilihat dengan
cara inspeksi, kecuali pada orang yang amat kurus, namun apabila dalam
keadaan tertentu ditemukan deviasi trachea atau dilatasi vena maka harus
curiga kemungkinan adanya gondok substernal. Biasanya dengan inspeksi
saja kita dapat menduga adanya pembesaran kelenjar tiroid yang lazim disebut
gondok. Gondok yang agak besar dapat dilihat, namun untuk memastikan
serta melihat
gambaran lebih jelas maka pasien diminta untuk membuat gerakan menelan
(oleh karena tiroid melekat pada trachea ia akan tertarik keatas bersama
gerakan menelan). Manuver ini cukup diagnostik untuk memisahkan apakah
satu struktur leher tertentu berhubungan atau tidak dengan tiroid. Sebaliknya
apabila struktur kelenjar tiroid tidak ikut gerakan menelan sering disebabkan
perlengkapan dengan jaringan sekitarnya. Untuk ini dipikirkan kemungkinan
radang kronik atau keganasan tiroid.

B. Palpasi
Dalam menentukan besar, bentuk konsistensi dan nyeri tekan kelenjar
tiroid maka palpasi merupakan jalan terbaik dan terpenting. Ada beberapa
cara, tergantung dari kebiasaan pemeriksa. Syarat untuk palpasi tiroid yang
baik adalah menundukkan leher sedikit serta menoleh kearah tiroid yang akan
diperiksa (menoleh kekanan untuk memeriksa tiroid kanan, maksudnya untuk
memberi relaksasi otot sternokleidomastoideus kanan). Pemeriksa berdiri
didepan pasien atau duduk setinggi pasien. Sebagian pemeriksa lebih senang
memeriksa tiroid dari belakang pasien. Apapun yang dipilih langkah pertama
ialah meraba daerah tiroid dengan jari telunjuk (dan atau 3 jari) guna
memastikan ukuran, bentuk, konsistensi, nyeri tekan dan simetri. Untuk
mempermudah meraba tiroid, kita dapat menggeser laring dan tiroid ke satu
sisi dengan menggunakan ibu jari atau jari tangan lain pada kartilago tiroid.
Kedua tiroid diperiksa dengan cara yang sama sambil pasien melakukan
gerakan menelan.

Gambar 1. Pemeriksaan palpasi Kelenjar tiroid

Palpasi lebih mudah dilakukan pada orang kurus, meskipun pada orang
gemuk tiroid yang membesar juga dapat diraba dengan mudah. Ukuran tiroid
dapat dinyatakan dalam bermacam-macam cara :
 Misalnya dapat diterjemahkan dalam ukuran volume (cc) dibandingkan
dengan ukuran volume ibu jari pemeriksa
 Ukuran lebar dan panjang (cm x cm) atau ukuran berat (gram jaringan dengan
perbandingan ibu jari pemeriksa yang sudah ditera sendiri berdasarkan
volume air yang tergeser oleh ibu jari dan volume dikaitkan dengan berat
daging dalam gram)
 Mengukur luas permukaan kelenjar dapat digunakan sebagai ukuran besarnya
tiroid
 Gradasi pembesaran kelenjar tiroid untuk keperluan epidemiologi (untuk
menentukan prevalensi gondok endemik) menggunakan klasifikasi perez atau
modifikasinya. Umumnya wanita mempunayi gondok lebih besar sehingga
lebih mudah diraba. Tujuan menggunakan metoda ini ialah mendapat angka
statistik dalam mengendalikan masalah gondok endemik dan kurang yodium,
dengan cara yang reploducible. Klasifikasi awal (Perez 1960) adalah sebagai
berikut :
Derajat 0 : Subjek tanpa gondok
Derajat 1 : Subjek dengan gondok yang dapat diraba (palpable)
Derajat 2 : Subjek dengan gondok terlihat (visible)
Derajat 3 : Subjek dengan gondok besar sekali, terlihat dari beberapa cm.

Dalam praktek masih banyak dijumpai kasus dengan gondok yang teraba
membesartetapi tidak terlihat. Untuk ini dibuat subklas baru yaitu derajat IA
dan derajat IB.
Derajat IA : Subjek dengan gondok teraba membesar tetapi tidak terlihat
meskipun leher sudah ditengadahkan maksimal.
Derajat IB : Subjek dengan gondok teraba membesar tetapi terlihat dengan
sikap kepala biasa, artinya leher tidak ditengadahkan.

Adapun kriteria untuk menyatakan bahwa gondok membesar ialah


apabila lobus leteral tiroid sama atau lebih besar dari falang akhir ibu jari
tangan pasien (bukan jari pemeriksa). Dalam sistem klasifikasi ini setiap
nodul perlu dilaporkan khusus (pada survey GAKI dapatan ini mempunyai
arti tersendiri).
Apabila dalam pemeriksaan survei populasi ditemukan nodularitas
artinya ditemukan
nodul pada lobus kelenjar tiroid, maka temuan ini perlu dilaporkan secara
khusus. Kista kita duga apabila pada rabaan berbentuk hemisferik,
berkonsistensi kenyal, dengan permukaan halus. Gondok keras sering
ditemukan pada tiroiditis kronik atau keganasan pada gondok, kenyal atau
lembek pada struma colloides dan pada defisiensi yodium. Nyeri tekan atau
nyeri spontan dapat dijumpai pada radang atau infeksi (tiroiditis autoimun,
virus atau bakteri) tetapi dapat juga karena peregangan mendadak kapsul
tiroid oleh hemoragi ke kista, keganasan atau malahan dapat ditemukan pada
hipertiroidisme.
Pita ukuran seperti gambar diatas kadang digunakan untuk menilai
secara kasar perubahan ukuran kelenjar, membesar, tetap atau mengecil
selama pengobatan atau observasi. Dalam pengobatan penyakit Graves
pengecilan kelenjar diawal pengobatan memberikan indikasi respon baik
sedangkan pembesaran menandakan adanya overtreatment Obat Anti Tiroid
(terjadi hipotiroidisme → TSH naik → stimulasi dan lingkar leher membesar).
Namun ini biasanya terlambat 2 minggu sesudah perubahan biokimia. Palpasi
juga berguna dalam menentukan pergeseran trachea (bisa karena trachea
terdesak atau tertarik sesuatu). Cari massa yang menyebabkan pergeseran
dengan cara palpasi. Rabalah pembesaran limfonodi yang dapat merupakan
petunjuk penyebaran karsinoma kelenjar tiroid ke kelenjar limfe regional.
Khusus perhatikan limfonodi sepanjang daerah trachea yang menutupi
trachea, kartilago krikoid, kartilago tiroid di linea mediana (disebut upper
pretracheal node atau delphian group) dan limfonodi mastoid yang terdapat di
sudut radang bawah, raba pula kalau ada pembesaran vena.

C. Auskultasi
Tidak banyak informasi yang dapat disumbangkan oleh auskultasi
tiroid, kecuali untuk mendengarkan bruit, bising pembuluh di daerah gondok
yang paling banyak ditemukan pada gondok toksik (utamanya ditemukan di
lobus kanan tiroid-ingat vaskularisasinya).

2.12 Keterampilan persiapan pre operasistrumektomi, tiroidektomi

Perawatan yang tepat dapat dilakukan pada pasian pre-oprerasi pada


tiroidektomi adalah :
1. Kadar hormon tiroid harus diupayakan dalam keadaan normal
2. Pemberian obat antitiroid masih tetap dipertahankan disamping menurunkan
kadar hormon darah
3. Masalah jantung juga sudah harus teratasi
4. Kondisi nutrisi harus optimal, diet tinggi protein dan karbohidrat
5. Beri tahu pasien kemungkinan suara menjadi serak setelah operasi jelaskan
bahwa itu adalah hal yang wajar dan dapat kembali seperti semula
6. Penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai tindakan operasi
yang akan dijalani serta resiko komplikasi disertai dengan tandatangan
persetujuan dan permohonan dari penderita untuk dilakukan
operasi. (Informed consent)
7. Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi,
persiapan ruang ICU untuk monitoring setelah operasi.
8. Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi
9. Tanpa antibiotika profilaksis
2.13 Perawatan post operasistrumektomi, tiroidektomi

Perawatan yang dapat dilakukan pada pasien pasca operasi pada tiroidektomi adalah :

1. Monitor tanda-tanda vital setiap 15 menit sampai stabil dan kemudian


lanjutkan setiap 30 menit selama 6 jam
2. Gunakan bantal pasir atau bantal tambahan untuk menahan posisi kepala tetap
ekstensi sampai klien sadar penuh
Bila sadar, berikan posisi semi fowler, apabila memindahkan klien hindarkan
penekanan pada daerah insisi.
Berikan obat analgesic sesuai program terapi
Bantu klien batuk dan napas dalam setiap 30 menit
Gunakan penghisap oral atau trachea sesuai kebutuhan
Monitor komplikasi yang terjadi pada pasca operasi tiroidektomi, seperti:
Perdarahan, Distress pernapasan¸Hipokalsemia akibat pengangkatan paratiroid
yang ditandai dengan tetani, Kerusakan saraf laryngeal.
2.12 keterampilan persiapan pre operasi strumektomi,tiroidektomi

2.12.1 Prosedur Tindakan Strumektomi

I. Persiapan alat dasar strumektomi:

a. Alat Tenun Steril:

• Doek besar 2 buah

• Doek kecil 5 buah

• Jas oprasi 5 buah

b. Instrumen (standar alat strumektomi)

Nama Alat

1 Langenbeck besar 2

2 Langenbeck sedang 2

3 Dissecting / raigth engle 3


4 Allis klem 2

5 Tumor klem 2

6 Needle holder 2

7 Yoderen klem 1

8 Duk klem 6

9 Pean bengkok panjang 6

10 Pean bengkok sedang 6

11 Pean bengkok kecil 12

12 Pean lurus kecil 2

13 Kocher lurus sedang 10

14 Kocher lurus panjang 6

15 Tangkai pisau no 4 1

16 Tangkai pisau no 3 1

17 Pincet tissue chirurgy 1

18 Pincet tissue anatomi 1

19 Pincet chirurgy 2

20 Pincet anatomi 2

21 Gunting jaringan kecil 1

22 Gunting jaringan besar 1

23 Gunting benang 1

24 Bengkok steril 1

25 Mangkok stenlis 2

26 Mangkok cina 2
27 Jarum jahit 1 set

Persiapan Diluar Kontener Set

1 Kasa 2 ikat

2 Darem gas 3 lbr

3 Suction 1

4 ESU dan cucuknya 1

5 Mess no 15 1

6 Benang side no 2/0, no 3/0, dexon 4/0 & 2/0

7 Waskom besar steril 2

8 Betadine Secukupnya

9 Aquabidest steril Secukupnya

10 Tinta dan tusuk gigi 1

II. Prosedur Persiapan alat-alat sebelum tindakan operasi:

A. Prosedur menyiapkan meja linen steril dan instrumen steril sebelum


operasi:

Prosedur

1 Cuci tangan biasa

2 Bersihkan meja instrumen dengan chlorin 0,2%

3 Pasang perlak steril dengan teknil tanpa sentuh

4 Buka doek /drape sesuai dengan kebutuhan dan sarung tangan


menggunakan korentang.

5 Cuci tangan steril


6 Keringkan tangan dengan handuk/lap steril

7 Gunakan gaun oprasi steril

8 Atur duk / drape / instrumen dan sarung tangan steril

9 Tutup meja dengan doek steril

B. Prosedur cuci tangan prosedural:

Prosedur

1 Lepaskan semua perhiasan, cincin dan jam tangan

2 Basahi tangan dengan air mengalir dari ujung jari sampai 2 cm di atas siku

3 Gunakan cairan hebiscrup, dan cuci tangan mulai dari telapak tangan dan
jari-jari serta lengan bawah secara menyeluruh sampai 2 cm atas siku,
kemudian bilas merata selama 1 menit.

4 Ambil sikat dan beri cairan Hebiscrup

5 Bersihkan kuku secara menyeluruh dengan sikat

6 Kemudian bersihkan jari-jari, telapak tangan dan punggung tangan, cuci


setiap jari seakan mempunyai empat sisi

7 Scrub daerah pergelangan tangan pada tiap tangan

8 Kemudian scrub lengan bawah sampai 2 cm diatas siku (selama satu


setengah menit)

9 Ulangi pada lengan satunya, dengan waktu yang sama

10 Bilas tangan dan lengan secara merata, pastikan tangan ditahan lebih
tinggi dari siku, ulangi pemakaian Hebiscrup dengan merata tanpa dibilas
dengan air. (1 menit untuk kedua tangan)

11 Pastikan posisi tangan di atas dan biarkan air menetes melalui siku

12 Cuci tangan slesai, keringkan tangan dengan handuk steril


C. Menggunakan Gaun Steril Untuk Operasi

Prosedur

1 Ambil gaun bedah steril, dengan cara memegang bagian leher angkat
dengan kedudukan tangan setinggi bahu

2 Pegang bagian leher dengan tangan setinggi bahu dengan menjaga bagian
dalam tetap menghadap pemakai

3 Kibaskan gaun dan bersamaan dengan itu masukan tangan kedalam lengan
gaun dengan tetap menjaga ketinggian setinggi bahu

4 Petugas yang tidak steril mengambil bagian dalam dari gaun dan menarik
kebelakang untuk merapikan dan harus menutup seluruh bagian belakang
pemakai, serta mengikatkan tali gaun dengan rapi.

5 Pemakaian gaun selesai

D. Menggunakan Sarung Tangan steril:

Prosedur

1 Tangan berada di dalam gaun bedah saat menjemput sarung tangan yang
terlipat keluar

2 Dengan dibantu tangan sebelah yang masih berada di dalam lengan gaun
pakai sarung tangan yang satu

3 Dengan tangan yang sudah bersarung pakai sarung tangan yang satunya
lagi

4 Pemakaian sarung tangan selesai


III. Prosedur Tindakan Operasi Strumektomi

Prosedur operasi dibagi menjadi tiga yaitu: pre operasi, intra operasi dan pos
operasi.

A. Pre Operasi

• Persiapan brankar untuk menerima pasien dengan mempersiapkan:

- Sprai

- Plastik/kain kedap air ditaruh dibagian atas (daerah kepala sampai leher)

- Slimut

- Baju oprasi dan topi.

• Menerima pasien / timbang terima di ruang timbang terima:

- Mencocokan nama pasien antara lest dengan gelang pasien

- Memindahkan pasien ke brankar

- Mengganti baju pasien dan memakaikan topi

- Mengecek perlengkapan / persiapan oprasi sesuai dengan chek list

- Mendorong pasien ke ruang oprasi (Ok 6)

B. Intra Operasi

Pelaksanaan tindakan pembedahan intra operatif dimulai dari pasien dipasang


monitor dan dilakukan tindakan pembiusan oleh dokter anastesi, urutan
pembedahan meliputi:

• Pasien telah dipasang monitor dan dilakukan pembedahan kemudian


pasien dipasang arde dengan benar.

• Operator, asisten dan instrumen melakukan cuci tangan prosedural,


pemakaian jas oprasi dan sarung tangan steril, (sesuai dengan cara diatas)

• Memberikan preparasi set kepada operator:


- Mangkok cina berisi betadine

- Kom steril berisi dan 3 lembar kasa

- Yoderem klem

• Bersama-sama oprator melakukan draping:

- Dua duk kecil dibentuk segi tiga dan segi empat digabung dimasukan di
bawah kepala pasien, duk segi tiga untuk menutup kepala pasien.

- Pasang duk besar untuk menutup badan pasien

- Pasang duk kecil disebelah kanan dan kiri kepala pasien

- Pasang duk besar untuk lapisan badan yang kedua

- Semua duk dipiksasi dengan duk klem

• Mendekatkan meja instrumen kedekat pasien dan mempersiapkan alat-


alat:

- Memasang ESU

- Memasang section

- Kabel dan selang dipiksasi didaerah perut dan dengan aman serta
terjangkau.

• Langkah-langkah pembedahan:

Langkah Pembedahan (Alat / Bahan yang Digunakan)

1 Incici kulit leher (Bisturi no 15 beserta tangkainya, pincet cirurgy.

2 Buka sub kutis (Pincet cirurgy, kasa dan pean bengkok dan ESU

3 Membuka fasia (Pincet cirurgy, kasa, darem gas, pean bengkok,


ESU, kokher dan gunting jaringan

4 Membuka otot (Pean bengkok, pincet.


5 Exsplorasi tumor (Elis klem, pean bengkok, ESU, pincet cirurgy,
gunting jaringan, suktion, kasa/darem gas.

Pembuluh darah kecil dikoter sedangkan pembuluh darah besar dilakukan ligasi
dengan ikat benang side 2/0.

6 Massa terangkat (Pemeriksaan PA

7 Pencucian luka (Nacl 0,9%, suction

8 Memasang drain (Ngt no 16, pean bengkok, mes no 15.

9 Mengikat drain (Nedle holder, benag side 2/0, pincet cirurgy, jarum
cating dan gunting benang

10 Jahit otot (Nedle holder, pincet cirurgy, gunting benang, plain 2/0,
jarum otot.

11 Jahit Fasia (Nedle holder, pincet cirurgy, gunting benang, dexson 2/0

12 Jahit subkutis (Nedle holder, pincet cirurgy, gunting benang, dexson 2/0

13 Jahit kulit secara subkutikuler Nedle holder, pincet cirurgy, gunting


benang, dexson 4/0

14 Membersihkan luka dan sekitarnya Kasa basah

15 Tutup luka Sofratule, kasa steril, plester/hypapik.

16 Memasang penampung drain Botol plabot kosong

17 Oprasi selesai Pasien dibereskan

C. Post Operasi:

1. Cek alat dan bahan habis pakai:

a. Linen kotor dimasukan ketempatnya.

b. Cek alat,kasa dan darem gas, dan jarum eating

c. Jarum dan bisturi dimasukan kedalam tempat khusus


d. Lakukan pencucian alat/instrumen

e. Instrumen dikembalikan ke ruang seting alat

2. Melepas gaun oprasi:

a. Minta bantuan orang lain untuk melepsas ikatan tali gaun

b. Melepas gaun oprasi dengan cara menarik kearah depan

c. Melepas kedua tangan dan gulung gaun oprasi dari daerah tali ke daerah
yang tidak menempel pada tubuh kita, sehingga akan terjadi posisi
dimana gaun yang menempel pada tubuh kita berada diluar gulungan

d. Menggulung gaun oprasi dari daerah leher gaun kebawah

e. Meletakkan gaun oprasi ketempat yang disediakan

3. Pasien mulai sadar dilakukan exstubasi dan penghisapan lendir kemudian


pasien dibawa ke ruang RR untuk observasi.

4. Ruangan dibersihkan dengan dipel satu arah mulai dari pinggir ketengah
dengan menggunakan cairan presept (0,2%).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pembesaran (struma) thyroidea sedang lazim ditemukan, tampil dalam sekitar


10 persen dari semua wanita daam area geografi yang tidak kekurangan yodium.
Kebanyakan struma seluruh dunia akibat defisiensi yodium, langsung atau akibat
makan goitrogen dalam hal diet aneh pada area dunia tertentu. Keadaan klinik ini
tampil tanpa kesulitan dalam diagnosis atau penatalaksanaan. Banyak bentuk lain
pembesaran thyroidea yang menampilkan kesulitan dalam diagnosis dan
penatalaksanaan serta alogoritma klinik telah dibentuk untuk membantu pemeriksaan
dan terapi.

Apabila pada pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul maka


pembesaran ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme disebut struma nodosa non toksik. Kelainan ini sangat sering
dijumpai bahkan dapat dikatakan bahwa dari semua kelainan tiroid, struma nodosa
non toksik merupakan kelainan yang paling sering ditemukan. Gondok endemik
paling sering di daerah-daerah dengan defisiensi yodium. Penurunan produksi
hormon tiroid mengahasilkan penongkatan TSH kompensatoar dengan akibat
hiperplasia dan hipertropi kelenjar, serta keadaan eutiroid. Terutama pada wanita,
umumnya timbul sekitar pubertas

3.2 Saran

Diharapkan bagi mahasiswa keperawatan dapat menerapkan asuhan


keperawatan kepada pasien struma serta impilkasi keperawatannya sehingga masalah
dapat teratasi.
DAFTAR PUSTAKA

Daucgh, patricik , at glance.2002. ilmu penyakit dalam. Jakarta : erlanga


medicine

Sjamsuhidayat, R, Buku Ajar Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran EGC,


Jakarta, 1998, hal 926-935.

Kaplan, Edwin. L, Thyroid and Parathyroid, in Principles of Surgery, New


York, 1994, page : 1611-1621.

Johan, S. M. 2006. Nodul tiroid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III,
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI

Djokomoeljanto, R. 2006. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan


hipertiroidisme. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III, Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI

Wijayahadi, Y., Marwowinoto, M., Reksaprawira., Murtedjo, U. 2000.


Kelenjar Tiroid: Kelainan, Diagnosis dan Penatalaksanaan. Seksi Bedah
Kepala & Leher, Bagian Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. Surabaya: Jawi Aji Surabaya

Anda mungkin juga menyukai