Makalah Struma
Makalah Struma
STRUMA
S1 ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI KESEHATAN SANTA ELISABETH
SEMARANG
2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya
atas berkat dan campur tangan-Nyalah, maka kami dapat menyelesaikan
makalahsistem endokrin “Asuhan Keperawatan pada pasien dengan penyakit struma “
ini dengan baik. Semoga apa yang kami tulis dan kami paparkan dalam makalah ini
dapat dimengerti dan di pahami dengan baik oleh pembaca sehingga dapat
bermanfaat bagi pembaca dalam menjaga dan meningkatkan status kesehatan dalam
kehidupan sehari – hari.
Penulis menyadari bahwa makalah asuhan keperawatan ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Manfaaat
1.2.1 Mahasiswa dapat mengetahui Anatomi dan fisiologi tiroid
1.2.2 Mahasiswa dapat mengetahui mekanisme umpan balik hormone dari kelenjar
tiroid dan Metabolisme basal
1.2.3 Mahasiswa dapat mengetahui Biosintesis dan metabolisme hormon-hormon
tiroid; Pengaruh hormone tiroid terhadap metabolism
1.2.4 Mahasiswa dapat mengetahui Patofisiologi/Pathway Struma dan Diit untuk
pasien struma
1.2.5 Mahasiswa dapat mengetahui Farmakologi untuk pasien struma : PTU, anti
tiroid, tiroksin, garam yodium dan implikasi keperawatannya dan
Pemeriksaan diagnostic (tes fungsi tiroid) dan penatalaksanaan struma :
tiroidectomi, strumektomi, RAI
1.2.6 Mahasiswa dapat menganalisa Asuhan keperawatan pada pasien dengan
Struma
1.2.7 Mahasiswa mengetahui Keterampilan pemeriksaan fisik tiroid, Keterampilan
persiapan pre operasistrumektomi, tiroidektomi, Perawatan post
operasistrumektomi, tiroidektomi
1.3 Tujuan
1.3.1 Agar mahasiswa dapat mengetahui Anatomi dan fisiologi tiroid
1.3.2 Agar mahasiswa dapat mengetahui mekanisme umpan balik hormone dari
kelenjar tiroid dan Metabolisme basal
1.3.3 Agar mahasiswa dapat mengetahui Biosintesis dan metabolisme hormon-
hormon tiroid; Pengaruh hormone tiroid terhadap metabolism
1.3.4 Agar mahasiswa dapat mengetahui Patofisiologi/Pathway Struma dan Diit
untuk pasien struma
1.3.5 Agar mahasiswa dapat mengetahui Farmakologi untuk pasien struma : PTU,
anti tiroid, tiroksin, garam yodium dan implikasi keperawatannya dan
Pemeriksaan diagnostic (tes fungsi tiroid) dan penatalaksanaan struma :
tiroidectomi, strumektomi, RAI
1.3.6 Agar mahasiswa dapat menganalisa Asuhan keperawatan pada pasien dengan
Struma
1.3.7 Agar mahasiswa mengetahui Keterampilan pemeriksaan fisik tiroid,
Keterampilan persiapan pre operasistrumektomi, tiroidektomi, Perawatan post
operasistrumektomi, tiroidekto
BAB II
ISI
Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik secara cepat
berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan kurang dari 0,1%
T4 tetap berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini memang luar biasa
mengingat bahwa hanya hormon bebas dari keseluruhan hormon tiroid memiliki
akses ke sel sasaran dan mampu menimbulkan suatu efek.
Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:
1. TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55% T4
dan 65% T3 yang ada di dalam darah.
2. Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik,
termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3.
3. TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.
Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun T3 memiliki
aktivitas biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4. Namun, sebagian besar
T4 yang disekresikan kemudian dirubah menjadi T3, atau diaktifkan, melalui proses
pengeluaran satu yodium di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari
sekresi T4 yang mengalami proses pengeluaran yodium di jaringan perifer. Dengan
demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid yang secara biologis aktif di tingkat sel.
Fungsi hormon tiroid
a. Mengatur metabolisme protein,lemak,karbohidrat dalam sel.
b. Meningkatkan konsumsi oksigen di semua jaringan.
c. Meningkatkan frekuensi dan kontraksi denyut jantung.
d. Mempertahankan tonus otot.
e. Merangsang pemecahan lemakdan sintesa kolesterol.
2.2 Mekanisme umpan balik hormone dari kelenjar tiroid
BMR = kcal/ m2/jam (kilokalori energi yang digunakan per meter persegi
permukaan tubuh per jam)
BMR
Pengaturan suhu
Makanan
Makanan kaya protein akan lebih meningkatkan BMR daripada
makanan kaya lipid atau kaya karbohidrat. Hal ini mungkin terjadi
karena deaminasi asam amino terjadi relatif cepat.
Status hormon tiroid
Hormon tiroid meningkatkan konsumsi oksigen, sintesis protein, dan
degradasi yang merupakan aktivitas termogenesis. Peningkatan BMR
merupakan hal yang klasik pada hipertiroid, dan menurun pada
penurunan kadar tiroid
Aktivitas saraf simpatis.
Pemberian agonis simpatis juga meningkatkan BMR. Sistem saraf
simpatis secara langsung melalui nervus vagus ke hati mengaktivasi
pembentukan glukosa dari glikogen. Sehingga aktivitas saraf simpatis
meningkatkan BMR.
Latihan
Latihan membutuhkan kalori ekstra dari makanan. Jika s/ makanan lebih
banyak mengandung energi, maka berat badan akan meningkat. Jika
penggunaan energi lebih banyak dari yg tersedia dlm makanan, maka
tubuh akan memakai simpanan lemak yang ada dan mungkin akan
menurunkan berat badan.
Umur & faktor lain
BMR seorang anak umumnya lebih tinggi daripada orang dewasa, krn
anak memerlukan lebih banyak energi selama masa pertumbuhan.
Wanita hamil & menyusui juga memiliki BMR yang lebih tunggu.
Demam meningkatkan BMR. Orang yg berotot memiliki BMR lebih
tinggi daripada orang yg gemuk .
2.4 Biosintesis dan metabolisme hormon-hormon tiroid
Biosintesis hormone tyroid merupakan suatu urutan langkah” proses yang
diatur oleh enzim” tertentu. Langkah” tersebut adalah:
1. Penangkapan yodida
2. Oksidasi yodida menjadi yodium
3. Organifikasi yodium menjadi monoyodotirosin dan diyodotirosin
4. Proses penggabungan precursor yang teryodinasi
5. Penyimpanan hormone
6. Pelepasan Hormon
Pengertian Struma
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa
gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid
yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian
posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat
mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak
terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila
pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat
asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.
Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan
faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain:
a. Defisiensi iodium. Pada umumnya, penderita penyakit struma sering
terdapat di daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang
mengandung iodium, misalnya daerah pegunungan.
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
c. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol,
lobak, kacang kedelai).
d. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya:
thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).
Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus,
masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar
tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang
distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi
molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid.
Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk
tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan
pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid Stimulating Hormon dan
bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang tyrodotironin (T3)
merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat
mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus
menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik
negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini
menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.
Klasifikasi
a. Berdasarkan Fisiologisnya
1) Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal
sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang
meningkat. Goiter atau struma semacm ini biasanya tidak
menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi
secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
2) Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar
tiroid sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang.
Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang
cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai
kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid
akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme
adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin,
dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar,
rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan
penurunan kemampuan bicara.
3) Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat
didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap
pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat
timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang
merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon
yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala
hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat,
keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka udara dingin, sesak napas.
Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada
tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak
teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.
b. Berdasarkan Klinisnya
1) Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik
dan struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah
kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan
menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis
sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik
teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan
hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon
tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab tersering adalah
penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophthalmic goiter), bentuk
tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme
lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah
diiidap selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH
beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan
menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan
peningkatan pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi
hormon tersebut sebagai hasilpengobatan penyakit ini cenderung
untuk menurunkan antibodi tetapi bukan mencegah pembentuknya.
Apabila gejala-gejala hipertiroidisme bertambah berat dan
mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala
klinik adanya rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin,
pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan dapat meninggal.
Komplikasi Struma
a. Penyakit jantung hipertiroid
Gangguan pada jantung terjadi akibat dari perangsangan berlebihan pada
jantung oleh hormon tiroid dan menyebabkan kontraktilitas jantung
meningkat dan terjadi takikardi sampai dengan fibrilasi atrium jika
menghebat. Pada pasien yang berumur di atas 50 tahun, akan lebih
cenderung mendapat komplikasi payah jantung.
b. Oftalmopati Graves
Oftalmopati Graves seperti eksoftalmus, penonjolan mata dengan
diplopia, aliran air mata yang berlebihan, dan peningkatan fotofobia dapat
mengganggu kualitas hidup pasien sehinggakan aktivitas rutin pasien
terganggu.
c. Dermopati Graves
Dermopati tiroid terdiri dari penebalan kulit terutama kulit di bagian atas
tibia bagian bawah (miksedema pretibia), yang disebabkan penumpukan
glikosaminoglikans. Kulit sangat menebal dan tidak dapat dicubit.
Pemberian beta-bloker
I. Obat-obatan
Mekanisme Kerja
Efek Samping
Evaluasi
ANALISA DATA
DO :
DO :
pasien selesai
lobektomy hari ke
3
Terpasang drain
dengan isi 2cc
terdapat 3 jahitan
kondisi luka kering
tidak bau
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nyeri, ansietas ditandai dengan,
Klien mengatakan sesak nafas, Klien mengeluh nyeri saat menelan,pasien
mengatakan merasa cemas akan kehilangan suaranya jika dioperasi , nadi 110
x/menit, Hasil lab sebelum operasi T3 dan T4 menurun, TSH meningkat
2. Resiko infeksi ditandai dengan Klien selesai lobektomy hari ke 3Terpasang
drain dengan isi 2cc, terdapat 3 jahitan, kondisi luka kering tidak bau
INTERVENSI
4. Nadi (60-100x/menit)
T4 : 11 mikro gram/
100 ml
6. Kolaborasi
pemberian 6.Adanya pemberian
oksigen oksigen dapat memenuhi
kebutuhan oksigen klien
7. anjurkan
keluarga untuk 7. dukungan dari orang-
memberikan orang terdekat membuat
support dan klien semangat
dukungan kepada
keluarga
8.
2. infeksi tidak terjadi 1. Monitor 1. adanya
setelah dilakukan sekitar jahitan perdarahan
tindakan keperawatan tiap 4jam dapat
selama 7x24jam dengan mengakibatka
kriteria hasil: n terjadinya
infeksi
1. disekitar pemasangan
2. Perawatan 2. adanya
drain tidak ada tanda-
luka dan drain perawatan
tanda infeksi
setelah 3hari luka untuk
2. jahitan mengering, mencegah
tidak ada pendarahan infeksi dan
disekitar jahitan luka bisa cepat
kering
3. kondisi luka kering
3. Pantau daerah 3. resiko infeksi
tidak bau
luka biasanya
ditandai
dengan adanya
pus
5. Kolaborasi 5. adanya
pemberian pemberian
obat antibiotik antibiotik
mengurahi
terjadinya
infeksi
6. Kolaborasi 6. memantau
pemeriksaan hasil lab.
lab Khususnya
darah(leukosit leukosit
) karena salah
satu tanda
peradangan
leukosit
meningkat.
2.11 Keterampilan pemeriksaan fisik tiroid
Pemeriksaan fisik kelenjer tiroid merupakan bagian dari pemeriksaan
umum seorang penderita. Dalam memeriksa leher seseorang, struktur leher
lainnya pun harus diperhatikan. Ada beberapa alasan untuk hal ini, pertama
sering struktur ini tertutup atau berubah oleh keadaan kelenjar tiroid, kedua
metastasis tiroid sering terjadi ke kelenjar limfe leher dan ketiga banyak juga
kelainan leher yang sama sekali tidak berhubungan dengan gangguan kelenjer
gondok. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sistematik juga diperlukan,
sebab dampak yang ditimbulkan oleh gangguan fungsi kelenjer tiroid
melibatkan hampir seluruh oragan tubuh, sehingga pengungkapan detail
kelainan organ lainnya sangat membantu menegakkan maupun mengevaluasi
gangguan kelainan penyakit kelenjar tiroid. Pemeriksaan kelenjar tiroid
meliputi inspeksi, palpasi dan auskultasi.
A. Inspeksi
Waktu memeriksa kelenjar tiroid hendaknya dipastikan arah sinar
yang tepat, sehingga masih memberi gambaran jelas pada kontur, relief,
tekstur kulit maupun benjolan. Demikian pula harus diperhatikan apakah ada
bekas luka operasi. Dengan dagu agak diangkat, perhatikan struktur dibagian
bawah-depan leher. Kelenjar tiroid normal biasanya tidak dapat dilihat dengan
cara inspeksi, kecuali pada orang yang amat kurus, namun apabila dalam
keadaan tertentu ditemukan deviasi trachea atau dilatasi vena maka harus
curiga kemungkinan adanya gondok substernal. Biasanya dengan inspeksi
saja kita dapat menduga adanya pembesaran kelenjar tiroid yang lazim disebut
gondok. Gondok yang agak besar dapat dilihat, namun untuk memastikan
serta melihat
gambaran lebih jelas maka pasien diminta untuk membuat gerakan menelan
(oleh karena tiroid melekat pada trachea ia akan tertarik keatas bersama
gerakan menelan). Manuver ini cukup diagnostik untuk memisahkan apakah
satu struktur leher tertentu berhubungan atau tidak dengan tiroid. Sebaliknya
apabila struktur kelenjar tiroid tidak ikut gerakan menelan sering disebabkan
perlengkapan dengan jaringan sekitarnya. Untuk ini dipikirkan kemungkinan
radang kronik atau keganasan tiroid.
B. Palpasi
Dalam menentukan besar, bentuk konsistensi dan nyeri tekan kelenjar
tiroid maka palpasi merupakan jalan terbaik dan terpenting. Ada beberapa
cara, tergantung dari kebiasaan pemeriksa. Syarat untuk palpasi tiroid yang
baik adalah menundukkan leher sedikit serta menoleh kearah tiroid yang akan
diperiksa (menoleh kekanan untuk memeriksa tiroid kanan, maksudnya untuk
memberi relaksasi otot sternokleidomastoideus kanan). Pemeriksa berdiri
didepan pasien atau duduk setinggi pasien. Sebagian pemeriksa lebih senang
memeriksa tiroid dari belakang pasien. Apapun yang dipilih langkah pertama
ialah meraba daerah tiroid dengan jari telunjuk (dan atau 3 jari) guna
memastikan ukuran, bentuk, konsistensi, nyeri tekan dan simetri. Untuk
mempermudah meraba tiroid, kita dapat menggeser laring dan tiroid ke satu
sisi dengan menggunakan ibu jari atau jari tangan lain pada kartilago tiroid.
Kedua tiroid diperiksa dengan cara yang sama sambil pasien melakukan
gerakan menelan.
Palpasi lebih mudah dilakukan pada orang kurus, meskipun pada orang
gemuk tiroid yang membesar juga dapat diraba dengan mudah. Ukuran tiroid
dapat dinyatakan dalam bermacam-macam cara :
Misalnya dapat diterjemahkan dalam ukuran volume (cc) dibandingkan
dengan ukuran volume ibu jari pemeriksa
Ukuran lebar dan panjang (cm x cm) atau ukuran berat (gram jaringan dengan
perbandingan ibu jari pemeriksa yang sudah ditera sendiri berdasarkan
volume air yang tergeser oleh ibu jari dan volume dikaitkan dengan berat
daging dalam gram)
Mengukur luas permukaan kelenjar dapat digunakan sebagai ukuran besarnya
tiroid
Gradasi pembesaran kelenjar tiroid untuk keperluan epidemiologi (untuk
menentukan prevalensi gondok endemik) menggunakan klasifikasi perez atau
modifikasinya. Umumnya wanita mempunayi gondok lebih besar sehingga
lebih mudah diraba. Tujuan menggunakan metoda ini ialah mendapat angka
statistik dalam mengendalikan masalah gondok endemik dan kurang yodium,
dengan cara yang reploducible. Klasifikasi awal (Perez 1960) adalah sebagai
berikut :
Derajat 0 : Subjek tanpa gondok
Derajat 1 : Subjek dengan gondok yang dapat diraba (palpable)
Derajat 2 : Subjek dengan gondok terlihat (visible)
Derajat 3 : Subjek dengan gondok besar sekali, terlihat dari beberapa cm.
Dalam praktek masih banyak dijumpai kasus dengan gondok yang teraba
membesartetapi tidak terlihat. Untuk ini dibuat subklas baru yaitu derajat IA
dan derajat IB.
Derajat IA : Subjek dengan gondok teraba membesar tetapi tidak terlihat
meskipun leher sudah ditengadahkan maksimal.
Derajat IB : Subjek dengan gondok teraba membesar tetapi terlihat dengan
sikap kepala biasa, artinya leher tidak ditengadahkan.
C. Auskultasi
Tidak banyak informasi yang dapat disumbangkan oleh auskultasi
tiroid, kecuali untuk mendengarkan bruit, bising pembuluh di daerah gondok
yang paling banyak ditemukan pada gondok toksik (utamanya ditemukan di
lobus kanan tiroid-ingat vaskularisasinya).
Perawatan yang dapat dilakukan pada pasien pasca operasi pada tiroidektomi adalah :
Nama Alat
1 Langenbeck besar 2
2 Langenbeck sedang 2
5 Tumor klem 2
6 Needle holder 2
7 Yoderen klem 1
8 Duk klem 6
15 Tangkai pisau no 4 1
16 Tangkai pisau no 3 1
19 Pincet chirurgy 2
20 Pincet anatomi 2
23 Gunting benang 1
24 Bengkok steril 1
25 Mangkok stenlis 2
26 Mangkok cina 2
27 Jarum jahit 1 set
1 Kasa 2 ikat
3 Suction 1
5 Mess no 15 1
8 Betadine Secukupnya
Prosedur
Prosedur
2 Basahi tangan dengan air mengalir dari ujung jari sampai 2 cm di atas siku
3 Gunakan cairan hebiscrup, dan cuci tangan mulai dari telapak tangan dan
jari-jari serta lengan bawah secara menyeluruh sampai 2 cm atas siku,
kemudian bilas merata selama 1 menit.
10 Bilas tangan dan lengan secara merata, pastikan tangan ditahan lebih
tinggi dari siku, ulangi pemakaian Hebiscrup dengan merata tanpa dibilas
dengan air. (1 menit untuk kedua tangan)
11 Pastikan posisi tangan di atas dan biarkan air menetes melalui siku
Prosedur
1 Ambil gaun bedah steril, dengan cara memegang bagian leher angkat
dengan kedudukan tangan setinggi bahu
2 Pegang bagian leher dengan tangan setinggi bahu dengan menjaga bagian
dalam tetap menghadap pemakai
3 Kibaskan gaun dan bersamaan dengan itu masukan tangan kedalam lengan
gaun dengan tetap menjaga ketinggian setinggi bahu
4 Petugas yang tidak steril mengambil bagian dalam dari gaun dan menarik
kebelakang untuk merapikan dan harus menutup seluruh bagian belakang
pemakai, serta mengikatkan tali gaun dengan rapi.
Prosedur
1 Tangan berada di dalam gaun bedah saat menjemput sarung tangan yang
terlipat keluar
2 Dengan dibantu tangan sebelah yang masih berada di dalam lengan gaun
pakai sarung tangan yang satu
3 Dengan tangan yang sudah bersarung pakai sarung tangan yang satunya
lagi
Prosedur operasi dibagi menjadi tiga yaitu: pre operasi, intra operasi dan pos
operasi.
A. Pre Operasi
- Sprai
- Plastik/kain kedap air ditaruh dibagian atas (daerah kepala sampai leher)
- Slimut
B. Intra Operasi
- Yoderem klem
- Dua duk kecil dibentuk segi tiga dan segi empat digabung dimasukan di
bawah kepala pasien, duk segi tiga untuk menutup kepala pasien.
- Memasang ESU
- Memasang section
- Kabel dan selang dipiksasi didaerah perut dan dengan aman serta
terjangkau.
• Langkah-langkah pembedahan:
2 Buka sub kutis (Pincet cirurgy, kasa dan pean bengkok dan ESU
Pembuluh darah kecil dikoter sedangkan pembuluh darah besar dilakukan ligasi
dengan ikat benang side 2/0.
9 Mengikat drain (Nedle holder, benag side 2/0, pincet cirurgy, jarum
cating dan gunting benang
10 Jahit otot (Nedle holder, pincet cirurgy, gunting benang, plain 2/0,
jarum otot.
11 Jahit Fasia (Nedle holder, pincet cirurgy, gunting benang, dexson 2/0
12 Jahit subkutis (Nedle holder, pincet cirurgy, gunting benang, dexson 2/0
C. Post Operasi:
c. Melepas kedua tangan dan gulung gaun oprasi dari daerah tali ke daerah
yang tidak menempel pada tubuh kita, sehingga akan terjadi posisi
dimana gaun yang menempel pada tubuh kita berada diluar gulungan
4. Ruangan dibersihkan dengan dipel satu arah mulai dari pinggir ketengah
dengan menggunakan cairan presept (0,2%).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Johan, S. M. 2006. Nodul tiroid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III,
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI