Zahra Nur Fadilah Jurnal
Zahra Nur Fadilah Jurnal
1
Zahra Nur Fadilah
Korespondensi: zahrafadilah6@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Face Threatening Acts dan Strategi Ketidaksantunan Pada Murid dan Guru dalam Film Freedom
Writers: Kajian Pragmatis”. Penelitian ini berfokus pada ujaran antara murid dan guru ketika berinteraksi dalam kelas. Teori
Face Threatening Acts dari Brown dan Levinson (1987) digunakan untuk menganalisis jenis ujaran para murid dan guru yang
mengancam face masing-masing pihak. Teori Conventionalised Impoliteness Formulae dan Impoliteness Strategies dari
Culpeper tahun 2010 dan 1996 digunakan untuk menentukan jenis formula dan strategi ketidaksantunan dari ujaran-ujaran
yang dituturkan. Teori Speech Acts dari Cutting (2002) merujuk Austin (1962) dan Searle (1976) digunakan untuk menentukan
tindak tutur yang cenderung digunakan para murid dan guru. Data dalam penelitian ini adalah percakapan dalam film yang
berjudul Freedom Writers. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menghasilkan data
deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ujaran para murid dan guru yang mengandung FTA diutarakan melalui
cara yang tidak santun (impoliteness) dapat menyebabkan konflik antara dua pihak sehingga kegiatan belajar mengajar tidak
dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Hal tersebut disebabkan oleh tindakan diskriminasi yang dialami oleh para murid
dan guru.
Kata kunci: Face Threatening Acts, ketidaksantunan, tindak tutur, murid, guru, Freedom Writers, kulit putih, kulit hitam,
diskriminasi
ABSTRACT
The title of this research is “Face Threatening Acts dan Strategi Ketidaksantunan Pada Murid dan Guru dalam Film Freedom
Writers: Kajian Pragmatis”. This research is focused on the utterances between students and the teacher when interacting in
the classroom. The Face Threatening Acts theory of Brown and Levinson (1987) is used to analyze the types of utterances of
students and the teacher who threaten the face of each party. The Culpeper’s Theories of Conventionalized Impoliteness
Formulae (2010) and Impoliteness Strategies (1996) are used to determine the type of formula and impoliteness strategie of
the utterances. The Speech Acts theory of Cutting (2002) refers to Austin (1962) and Searle (1976) is used to determine the
kinds of speech acts that tend to be used by students and the teacher. The data of this research is a conversation of the movie
called Freedom Writers. The method used in this research is a qualitative method by producing descriptive data. The results
of this study indicate that the utterances of students and the teacher containing FTA are expressed in an impoliteness manner.
It can lead to the conflict between the two parties so that the teaching and the learning activities can not take place properly.
This is due to the discriminatory acts experienced by the students and the teacher.
Keywords: Face Threatening Acts, impoliteness, speech acts, students, teachers, Freedom Writers, white people, black
people, discrimination
PENDAHULUAN
Film Freedom Writers, berdasarkan kisah nyata, bercerita mengenai guru berkulit putih yang berusaha
mengajarkan muridnya yang mayoritas berkulit hitam. Perbedaan warna kulit tersebut dapat menimbulkan konflik
dalam interaksi di kelas.
Pemilihan film Freedom Writers sebagai sumber data karena peneliti bermaksud membahas ujaran murid
dan guru yang dikaji berdasarkan alat yaitu face threatening acts disampaikan melalui strategi ketidaksantunan.
Para murid dan guru cenderung saling melemparkan ujaran yang mengancam citra masing-masing pihak. Ujaran
tersebut menyebabkan terjadinya konflik antara dua pihak.
Dasar pemikiran untuk membahas ujaran antara murid dan guru dengan face threatening acts (FTA) dan
strategi ketidaksantunan adalah terdapatnya kecenderungan ujaran-ujaran murid yang tampak tidak menghargai
guru yang berkulit putih. Guru tersebut mendapat ujaran kebencian dan kritik dari para murid. Terdapat isu
perbedaan warna kulit yang menyebabkan para murid tidak memperhatikan dan mencoba memahami materi
pelajaran yang guru berikan.
1
Zahra Nur Fadilah adalah mahasiswa Program Studi Sastra Inggris Universitas Padjadjaran dengan
mengambil Kajian Linguistik
Hal tersebut yang memicu para pihak mengutarakan ujaran yang dapat menjatuhkan harga diri masing-
masing pihak. Ujaran-ujaran dari para murid maupun guru dapat dianalisis menggunakan FTA dan
conventionalised impoliteness formulae melalui strategi ketidaksantunan.
Perkataan yang tidak santun adalah dampak dari terdapatnya ujaran yang mengandung FTA. Guru
memiliki status yang lebih tinggi dari murid. Hal tersebut terlihat dari ilmu yang didapatkan guru lebih tinggi.
Maka sudah sepatutnya guru dihormati dan dihargai oleh para muridnya. Dengan adanya FTA dari ujaran para
murid serta guru menyebabkan timbulnya tindakan yang tidak santun. Tindakan tersebut dapat menimbulkan
konflik dan kegiatan belajar mengajar tidak dapat berlangsung lancar.
Penelitian ini dapat dikatakan termasuk ke dalam kajian pragmatis dengan menganalisis ujaran-ujaran
antara murid dan guru. Ujaran yang memungkinkan dapat menjatuhkan harga diri (FTA) melalui tindakan
ketidaksantunan menjadi penting untuk dibahas dengan kaitannya antara murid dan guru.
Oleh karena itu, skripsi ini berjudul “Face Threatening Acts dan Strategi Ketidaksantunan Pada
Murid dan Guru dalam Film Freedom Writers: Kajian Pragmatis” dengan analisis menggunakan teori face
threatening acts dan conventionalised impoliteness formulae melalui strategi ketidaksantunan.
METODE
“(a) offers (S indicates that he wants H to commit himself to whether or not he wants S to do some act
for H, with H thereby incurring a possible debt)
(b) promises (S commits himself to a future act for H’s benefit)”
Jenis kedua meminta pendengar untuk memberi respon apakah akan menerima atau menolak dari tindakan
pembicara. “(a) compliments, expressions of envy or admiration (b) expressions of strong (negative) emotions
toward H — e.g. hatred, anger, lust”. Jenis ketiga mengungkapkan bagaimana perasaan pembicara seperti, benci,
suka, atau dalam bentuk pujian terhadap pendengar atau lawan bicara.
“(a) expressions of violent (out-of-control) emotions, (b) irreverence , (c) bringing of bad news
about H, or good news (boasting) about S, (d) raising of dangerously emotional or divisive topics,
e.g. politics, race, religion, women’s liberation, (e) blatant non-cooperation in an activity — e.g.
disruptively interrupting H’s talk, (f) use of address terms and other status-marked identifications
in initial encounters”.
Ujaran-ujaran tersebut tidak mempedulikan perasaan pendengar. Positive-face lawan bicara atau
pendengar dapat terancam atas ujaran dari pembicara yang bermaksud untuk menakuti, memberikan tekanan, atau
memunculkan konflik dari pembicaraan yang sensitif. Menginterupsi tuturan lawan bicara dapat menggambarkan
pembicara mempunyai perbedaan pendapat terhadap S2 atau mereka sedang dalam keadaan berdebat. Keterkaitan
unsur ras maupun agama dapat mengancam positive face lawan bicara karena hal tersebut telah menyangkut
masalah hak individu terlahir dalam ras tertentu.
Ekspresi (a) dan (b) berkaitan dengan ucapan terima kasih serta menerima permintaan maaf dapat
disebabkan oleh kehilangan kontrol terhadap situasi sehingga terdapat ujaran penerimaan permintaan maaf
maupun terdapatnya pelanggaran dari lawan bicara.
“(c) excuses (S indicates that he thinks he had good reason to do, or fail to do, an act which H has just
criticized), (d) acceptance of offers, (e) responses to H’s faux pas, (f) unwilling promises and offers”.
Ekspresi (c), (d), (e), (f) menyatakan bahwa pembicara punya alasan untuk melakukan kesalahan serta
pembicara terpaksa berjanji walaupun tidak ingin melakukannya. Tindakan-tindakan terssebut dapat
menyinggung negative face pembicara.
“(a) apologies
(b) acceptance of a compliment (S may feel constrained to denigrate the object of H’s prior
compliment, thus damaging his own face; or he may feel constrained to compliment H in turn)
(c) breakdown of physical control over body, bodily leakage, stumbling or falling down, etc”.
Berdasarkan ujaran apologies, pembicara menunjukkan bahwa dia menyesal telah melakukan FTA, dengan
demikian merusak citranya sendiri. Menerima pujian maupun keadaan pertentangan yang ada pada diri sendiri
(atau kesalahan yang disebabkan oleh diri pembicara sendiri) termasuk FTA terhadap positive face dari pembicara.
Kontrol fisiknya pun tidak bisa ditahan yang berakibat merusak citranya sendiri.
Poin (d), (e), dan (f) terdapat beberapa tindakan seperti satu tindakan dilakukan karena ketidaktahuan akan
sesuatu saat pembicara diharapkan mengetahuinya. Tindakan lainnya seperti pengontrolan emosi yang tidak
dapat ditahan, maupun tindakan menghina atau memalukan diri sendiri, seperti ekspresi mengejek diri sendiri.
Ketidaksantunan
Merujuk Culpeper (1996) teori ketidaksantunan adalah perkembangan dari teori kesantunan Brown dan
Levinson (1987). Teori memang terus berkembang dari waktu ke waktu. Tak terkecuali teori yang menganalisis
ujaran. Culpeper (1996: 350) mengusulkan teori ketidaksantunan “I shall investigate impoliteness, the use of
strategies that are designed to have the opposite effect - that of social disruption”. Culpeper (2010)
mendefinisikan ketidaksantunan adalah sikap negatif terhadap perilaku tertentu yang terjadi dalam konteks yang
spesifik.
Berikut lima strategi ketidaksantunan yang diusulkan Culpeper (1996):
1. Bald on record impoliteness
FTA dinyatakan secara langsung dengan jelas serta tanpa unsur ambiguitas.
2. Positive impoliteness
Strategi ini digunakan untuk membahayakan atau mengancam positive face pendengar.
3. Negative impoliteness
Strategi ini dibuat untuk membahayakan atau mengancam negative face lawan bicara.
4. Sarcasm or mock politeness
Strategi ini menggunakan FTA dengan penambahan strategi kesantunan yang memang jelas terlihat tidak jujur
atau terbukti benar dari ujarannnya.
5. Withhold politeness
Strategi ini tidak memunculkan ujaran kesantunan saat diharpkan untuk muncul. Contoh tindakan dari strategi ini
adalah gagalnya dalam mengucapkan terima kasih untuk hadiah yang telah diterima.
2. Pointed Criticisms/Complaints
Pada formula ini komplain dan kritik bertujuan untuk menyerang citra lawan bicara. Kritik atau komplain yang
diajukan dapat terkait dengan tidak setujunya pembicara terhadap pendengar.
“[that/this/it] [is/was] [absolutely/extraordinary/unspeakably/etc.] [bad/rubbish/ crap/horrible/terrible/etc.]”
Culpeper (2010: 3241) juga menyatakan bahwa expressions of disapproval dan statement of fault termasuk ke
dalam formula ini.
4. Condescensions
Penggunaan kata sifat negatif dengan merendahkan dan menggap remeh atau mengejek lawan bicara terdapat
dalam formula ini.
[that] [‘s/is being] [babyish/childish]
Merujuk Culpeper (2010: 3240) merujuk Montry (2002: 4) bahwa tindakan condescending termasuk patronising
behaviour dengan contoh tindakan seperti “Make fun of people: laugh loudly and point”. Membuat seseorang
menjadi bahan ejekan atau lelucon dapat termasuk pada formula ketidaksantunan ini.
5. Message enforces
Pada formula ini, pembicara memberikan tekanan pada ujarannya untuk menyerang citra lawan bicara. Formula
ini berbentuk perintah terhadap lawan bicara. Pembicara memaksa lawan bicara untuk menuruti keinginannya
atau memahami apa yang dikatakan.
6. Dismissals
Ujaran pada formula ini bermaksud untuk menghindari permasalahan atau topik pembicaraan. Formula ini juga
menggambarkan pembicara yang sudah tidak ingin melihat lawan bicara atau menolak kehadiran lawan bicara.
- “[go] [away]
- [get] [lost/out]
- [fuck/piss/shove] [off]”
7. Silencers
Terlihat pada formula ini bahwa pembicara bermaksud untuk membuat lawan bicara berhenti berbicara. Berikut
beberapa istilah untuk memerintahkan lawan bicara diam dan tidak mengganggu pembicara.
8. Threats
Pembicara menggunakan ujaran yang mengancam untuk menakuti lawan bicara. Lawan bicara terpaksa harus
menuruti keinginan pembicara (S1). Jika lawan bicara (S2) tidak mengikuti apa yang disuruh pembicara (S1), (S2)
akan melakukan sesuatu pada S2
- [I’ll/ I’m/we’re] [gonna] [smash your face in/beat the shit out of you/box your ears/bust your fucking head
off/straighten you out/etc.] [If you don’t] [X]
- [X] [before I] [hit you/strangle you]
Penerapan teori face threatening acts dan impoliteness conventionalized formualae terdapat pada percakapan
antara guru dan murid seperti di bawah ini:
Erin: Hello.
Jamal: Hey, girl, you wanna give me some fries with that shake?
Erin: My name is Erin Gruwell. Welcome to Freshman English.
Situasi tutur: Erin adalah seorang guru bahasa Inggris berkulit putih dengan mayoritas murid berkulit hitam.
Erin, yang menjadi guru, memberi salam kepada para murid sambil menunggu semua murid masuk ke dalam
kelas. Erin menulis namanya, Ms. Gruwell dan nama kelasnya di papan tulis yaitu Freshman English. Lalu Erin
merasa ada yang salah pada tulisannya kemudian dia menghapus tulisan yang salah di papan tulis. Bagian
belakang tubuh Erin dari bagian pinggul terlihat beroyang. Di bagian belakang rok Erin atau “ass”, terdapat noda
kapur yang memicu Jamal untuk menggoda Erin atau gurunya sendiri.
Analisis:
FTA yang digunakan dalam tuturan Jamal adalah pengancaman terhadap positive-face pendengar
dengan ekspresi ridicule. Jamal menyebut Erin dengan kata ganti girl. Kata ganti tersebut tampak merendahkan
Erin yang posisinya sebagai guru. Pernyataan mengenai sikap seorang guru terhadap muridnya dikemukakan oleh
Fraser dari The Telegraph (2014, para 8) yang menyatakan bahwa menjadi hal yang penting untuk diperhatikan
bahwa tingkat profesional perlu dipertahankan oleh seorang guru. Ada perbedaan antara bersikap ramah dan
menjadi teman seseorang. Kata ganti girl tidak bisa digunakan dalam konteks memanggil seorang guru. Seorang
guru bisa saja bersikap ramah namun guru tidak bisa diposisikan sama dengan teman karena ada pembatas antara
murid dan guru. Pembatas tersebut yang membuat guru merasa patut dihargai terdapat dalam hubungan antara
murid dan guru. Penyebutan girl terhadap gurunya menandakan bahwa tidak ada rasa hormat pada diri Jamal serta
Erin tampak tidak dihargai oleh Jamal. Fraser juga mengatakan ada beberapa penggunaan dalam memanggil guru
seperti Ma’am, Mrs atau Mr dengan surname atau nama belakang. Jamal mengejek Erin dengan lelucon seperti
itu serta membuat beberapa temannya tertawa. Ejekan jamal “you wanna give me some fries with that shake?”
berdasarkan Urban Dictionary ujaran tersebut dikatakan ketika seseorang sedang berjalan atau berada di posisi
depan pembicara, lalu bagian belakang tubuhnya atau “ass” tampak bergoyang. Pembicara mengatakan ujaran
tersebut yang menunjukkan bahwa dia “want to have intercourse, where the fry is meant to simbolize a dick”.
Ujaran pertama yang diutarakan Jamal saat pertama kali bertemu gurunya, Erin, menunjukkan bahwa Jamal tidak
menghormati Erin sebagai seorang guru.
Conventionalised impoliteness formulae yang terdapat dalam perkataan Jamal adalah condescensions.
Jamal memandang rendah Erin dengan bertanya apakah dengan “goyangan” tersebut Erin mau memberinya
kentang yang mengarah pada pernyataan to have sex. Maka ujaran Jamal mengandung unsur make fun of people
yang membuat teman-temannya tertawa. Strategi ketidaksantunan yang digunakan adalah positive impoliteness
dengan jenis make the other feel uncomfortable. Jamal membuat Erin merasa tidak nyaman dengan leluconnya
sehingga dapat menyerang positive face Erin. Jenis respon terhadap tindakan ketidaksantunan tersebut adalah
staying silent. Erin lebih memilih untuk tidak menanggapi tuturan Jamal. Rasa tidak nyaman Erin ditunjukkan
dengan sikap diam atas ujaran dari Jamal. Berdasarkan tuturan Jamal, sebagai murid, tindak tutur yang muncul
adalah direktif. Jamal seolah-olah meminta fries (atau meminta Erin untuk melakukan “sesuatu”) karena bagian
pinggul Erin yang bergoyang sampai bagian bawah (ass). Konteks yang terdapat pada percakapan ini adalah
situational context karena Jamal berkata seperti itu sesuai penglihatannya terhadap bagian pinggul sampai bagian
bawah pinggul Erin yang bergoyang.
Berdasarkan analisis tersebut, Jamal mengejek dan merendahkan gurunya dengan penggunaan kata
ganti girl, yang seharusnya digunakan saat bersama teman, dan pernyataan yang mengarahkan pada keinginan to
have intercourse. Sikap Jamal tersebut dapat membuat seorang guru tidak nyaman untuk mengajar di kelas.
Situasi tutur: Beberapa siswa tidak setuju dengan pendapat Erin bahwa ketika seseorang ingin dihormati,
seseorang tersebut juga harus memberikan rasa hormatnya. Erin memerintahkan para murid untuk pindah
tempat duduk. Mereka dipisahkan. Erin tidak mau mereka duduk berkelompok karena beberapa dari mereka
selalu membuat keributan.
Analisis:
Jenis FTA yang digunakan adalah addressee’s (H’s) positive face dengan tindakan yang dilakukan
ridicule. Erin mengejek para muridnya yang susah diatur untuk pindah posisi tempat duduk. Pada awalnya, mereka
duduk sesuai kemauan mereka dimana mereka nyaman satu sama lain pada kelompok ras masing-masing. Mereka
mempunyai batas (borders) antara Latino dan ras Cambodia.
Formula ketidaksantunan yang digunakan adalah challenging or unpalatable questions and/or
presuppositions. Pertanyaan Erin tidak perlu dijawab oleh para muridnya yang tidak menyukai posisi tempat
duduk yang baru diubah. Strategi ketidaksantunan yang digunakan adalah mock politeness/sarcasm. Pertanyaan
Erin tidak sesuai dengan apa yang dirasakan muridnya. Respon para murid adalah memilih tetap diam. Tindak
tutur yang terdapat pada tuturan Erin adalah ekspresif. Erin mengutarakan perasaan puasnya merombak posisi
tempat duduk para muridnya yang semula duduk berkelompok. Erin menunjukkan rasa kesalnya dan rasa puas
pada tuturan tersebut. Berbeda dengan Erin yang mengatakan “so, everybody happy with the new borders?”, para
muridnya tampak tidak senang dengan perubahan posisi duduk tersebut. Hal tersebut terlihat dari ujaran para
muridnya yang pada awalnya menolak untuk pindah posisi. Konteks yang terdapat pada ujaran Erin adalah
situational context. Erin mengetahui bahwa para muridnya tidak senang dengan perpindahan tersebut. Konteks
percakapan memperlihatkan bagaimana kelompok para murid yang biasanya berkumpul sesuai rasnya menjadi
diacak tempat duduk mereka.
Berdasarkan analisis terhadap ujaran Erin, dapat disimpulkan bahwa Erin puas dengan pemindahan
tempat duduk yang sudah sengaja diaturnya dengan posisi ras yang berbeda-beda.
Marcus: Lady, stop acting like you're trying to understand our situation and just do your little
babysitting up there.
Erin: That's all you think this is?
Situasi tutur: Marcus tidak mau lagi mendengar ujaran gurunya, Erin. Marcus merasa Erin tidak pernah bisa
mengerti keadaan para muridnya yang terdiri dari warna kulit yang berbeda-beda serta kebencian yang timbul
dari mayoritas murid terhadap orang-orang kulit putih. Marcus menyuruh Erin untuk berhenti berusaha
memahami keadaan mereka di kelas.
Analisis:
Jenis FTA yang digunakan adalah addressee’s (H’s) negative-face want dengan tindakan yang terlihat
adalah order. Perintah yang dilakukan Marcus sebagai dampak dari terdapatnya konflik perbedaan warna kulit
yang Marcus anggap Erin tidak pernah bisa memahaminya. Merujuk Merriam-Webster Dictionary, panggilan
Lady mengandung makna “a woman of superior social position”. Marcus, sebagai golongan kulit hitam,
memposisikan dirinya berada pada kelas sosial di bawah Erin, sebagai orang yang berkulit putih.
Marcus menjaga jarak dengan Erin serta memberinya perintah untuk tidak perlu mencampuri masalah
terkait situasi diskriminasi yang sedang terjadi di kelas.
Formula ketidaksantunan yang digunakan adalah message enforces. Perintah Marcus “do your little
babysitting up there” menunjukkan bahwa Erin tidak perlu berusaha memahami keadaan para murid dan lakukan
saja seperti biasa kegiatan mengajarnya. Strategi ketidaksantunan yang muncul adalah negative impoliteness
dengan tindakan yang dilakukan atau output yang dihasilkan condescend, scorn or ridicule. Marcus merendahkan
dan tidak menganggap serius perkataan atau nasihat Erin mengenai rasa hormat. Respon Erin adalah strategi
defensive dengan mempertahankan face. Marcus memerintah Erin untuk tidak mengajar lagi di kelas tersebut
karena bagaimanapun, menurutnya Erin tidak bisa memahami situasi yang sedang terjadi di kelas antara konflik
dan perbedaan warna kulit. Terdapat tindak tutur direktif pada tuturan Marcus. Konteks yang terdapat pada tuturan
tersebut adalah co-textual context. Our situation digunakan Marcus untuk mewakili situasi teman-temannya yang
merasa Erin tidak bisa memahami mereka walupun Erin sudah berusaha.
Berdasarkan analisis di atas, dapat dikatakan bahwa Marcus tidak ingin gurunya yang berkulit putih
ikut mencampuri masalahnya dan teman-temannya terkait diskriminasi di kelas maupun di lingkungannya.
Masalah yang ada tersebut membuat Marcus tidak mau menghormati gurunya.
Situasi tutur: Erin telah kesal dengan beberapa ujaran para murid yang mengkritik dan tidak menghormati
dirinya. Kemudian Erin memisahkan posisi para murid agar tidak duduk berkelompok.
Analisis:
Jenis FTA yang digunakan adalah mengancam addressee’s (H’s) negative face dengan tindakan order
yang akan menghasilkan future action dari Jamal. Erin berusaha menunjukkan kuasanya dalam kelas tersebut
dengan memberikan beberapa perintah, seperti menyuruh Jamal berhenti bicara dan menyuruhnya pindah tempat
duduk.
Formula ketidaksantunan yang tampak berupa message enforces. Perintah Erin terlihat memaksa karena
Erin tampak memuncak kekesalannya di kelas tersebut. Ujaran Eiva, Jamal, Andre Bryant, dan juga Marcus pada
data sebelumnya menjadi penyebab memuncaknya kemarahan Erin. Strategi ketidaksantunan yang muncul yaitu
Bald on record impoliteness. Erin mengatakan perintah tersebut secara jelas tanpa adanya unsur yang ambigu
yang dapat menyerang citra Jamal. Respon Jamal terhadap ujaran Erin adalah strategi defensive. Jamal tampak
tidak terima dengan perintah Erin menyuruhnya untuk pindah tempat duduk menjadi di depan. Tindak tutur yang
terlihat dalam ujaran Erin adalah direktif dengan memerintahkan Jamal untuk berhenti berbicara dan menyuruh
Jamal untuk pindah tempat duduk. Perintah Erin disebabkan oleh tuturan Jamal yang memicu emosinya. Konteks
yang terjadi yaitu situational context. Tuturan Erin menunjukan lokasi dimana Jamal harus pindah yang
kemungkinan akan menyebabkan perselisihan baru antara murid-murid yang berbeda ras serta warna kulit.
Analisis di atas menunjukkan bahwa seorang guru dapat memperlihatkan kekuasaannya di kelas dengan
memberikan perintah. Kekesalan yang timbul adalah akibat ulah para murid yang mengesalkan gurunya. Perintah
tersebut adalah reaksi dari ujaran para murid yang membuat lelucon terhadap guru.
SIMPULAN
Jenis-jenis FTA yang digunakan oleh murid dan guru adalah tindakan yang mengancam addressee’s
positive face dan addressee’s (H’s) negative face. Jenis FTA yang cenderung digunakan oleh murid adalah
tindakan yang mengancam addressee’s (H’s) positive face dengan menyerang positive face Erin yang berusaha
mendekatkan diri dengan muridnya agar kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung lancar. Namun para
muridnya, yang mayoritas berkulit hitam, menolak dan mengkritik. Tindakan yang cenderung dilakukan muridnya
terkait FTA adalah mengangkat masalah perbedaan warna kulit (raising of dangerously emotional or divisive
topics, e.g. race) dan tidak setuju (expressions of disapproval) terhadap pendapat Erin serta apa yang diajarnya.
Jenis FTA yang cenderung digunakan oleh Erin sebagai guru adalah addressee’s (H’s) negative face dengan
tindakan warning.
Jenis-jenis Conventionalised impoliteness formulae yang digunakan oleh murid dan guru adalah
condescensions, pointed criticisms/complaints, insults, challenging or unpalatable questions and/or
presuppositions, message enforces, dan dismissals. Jenis Conventionalised impoliteness formulae yang
cenderung digunakan para murid adalah pointed criticisms/complaints. Para murid yang mayoritas mengkritik
dan memberikan komplain terhadap Erin disebabkan atas dasar rasa hormat yang tidak diberikan oleh para
murid, serta perbedaan warna kulit yang dapat menyebabkan konflik. Conventionalised impoliteness formulae
yang cenderung digunakan guru adalah challenging or unpalatable questions and/or presuppositions. Erin,
sebagai guru, memberikan peringatan berupa pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban dari para murid.
Sebagian besar murid mengujarkan tuturan yang mengandung FTA dan Conventionalised impoliteness formulae
melalui strategi ketidaksantunan positive impoliteness dengan output, use taboo words – swear, or use abusive
or profane language dan seek disgreement/avoid agreement. Para murid cendderung mengancam positive face
Erin yang berusaha dekat dengan murid dan mengingatkannya. Sedangkan Erin, sebagai guru, dalam
mengutarakan tuturan yang mengandung FTA dan Conventionalised impoliteness formulae melalui strategi
ketidaksantunan bald on record impoliteness dengan tindakan yang dilakukan memerintah dan memperingatkan.
Jenis-jenis tindak tutur yang digunakan para murid dan guru adalah direktif, ekspresif, dan komisif. Jenis tindak
tutur yang cenderung digunakan para murid adalah komisif dengan tindakan yang dilakukan adalah peringatan
dan penolakan terhadap kehadian Erin. Tindak tutur yang cenderung dilakukan Erin adalah komisif dengan
memperingatkan para muridnya terhadap apa yang akan terjadi jika mereka terus seperti itu, tidak menghormati
guru dan tidak memperhatikan pelajaran di kelas.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Kamus
Online Oxford Dictionaries. Diakses dari https://en.oxforddictionaries.com/
Merriam-Webster. Diakses dari https://www.merriam-webster.com/
Urban Dictionary. Diakses dari https://www.urbandictionary.com/