Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Reproduksi merupakan kemampuan makhluk hidup untuk menghasilkan


keturunan yang baru. Tujuannya adalah untuk mempertahankan jenisnya dan
melestarikan jenis agar tidak punah. Hal ini juga bertujuan agar keseimbangan
alam tetap terjaga.
Gangguan reproduksi yang umum terjadi pada sapi diantaranya retensio
sekundinarium (ari-ari tidak keluar), distokia (kesulitan partus), abortus
(keguguran), dan prematur. Hal ini menyebabkan kerugian ekonomi sangat besar
bagi petani yang berdampak terhadap penurunan pendapatan peternak. Umumnya
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya penyakit reproduksi dan buruknya
sistem pemeliharaan (Riady 2006).
Penanganan gangguan reproduksi ditingkat pelaku usaha peternakan masih
kurang, bahkan beberapa peternak terpaksa menjual sapinya dengan harga yang
murah karena ketidaktahuan cara menangani. Perlu pemasyarakatan teknologi
inovatif untuk penanggulangan gangguan reproduksi sapi perah, khususnya pada
sapi induk usaha perbibitan rakyat dengan harapan sapi induknya produktif
sehingga memacu semangat untuk berusaha.

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana deskripsi dan gejala klinis dari Bovine Viral Diarrhea ?


2. Bagaimana penanganan pada kasus Bovine Viral Diarrhea ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui deskripsi dan gejala klinis dari kasus Bovine Viral
Diarrhea
2. Untuk mengetahui penanganan yang tepat pada kasus Bovine Viral
Diarrhea
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendahuluan

Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) merupakan penyakit menular pada


sapi yang disebabkan oleh virus. Virus ini mudah ditransmisikan diantara sapi dan
telah menyebar luas ke seluruh dunia. Penyakit BVD telah bersifat endemik di
Indonesia dengan tingkat prevalensi reaktor yang bervariasi dan di beberapa
daerah yang cukup tinggi (Sudarmono dan Bambang, 1992).

2.2 Etilogi

Virus BVD (Bovine Viral Diarrhea) termasuk dalam genus Pestivirus,


anggota dari family Togaviridae dan merupakan RNA virus. Virus memiliki
antigenic determinant yang mirip dengan virus hog cholera. Dalam batas-batas
tertentu virus bersifat termostabil, peka terhadap asam, kloroform dan tripsin.
Virus tidak menyebabkan hemaglutinasi. Semua galur virus BVD menunjukkan
reaksi silang (Subronto, 2008).
Partikel virus berbentuk bulat, mempunyai tiga macam ukuran. Pertama
berukuran 80-100 nm, pleomorf, merupakan virion matang yang mempunyai
selaput. Kedua berukuran 30-50 nm dan ketiga partikel kecil dengan ukuran 15-20
nm yang dianggap mengandung antigen larut. Diduga virion besar itu pecah dan
menjadi sejumlah partikel-partikel kecil yang masing-masing tetap infeksius
(Ditjennak, 2014).

2.3 Gejala Klinis


2.3.1 Bentuk subklinis

Bentuk ini merupakan bentuk yang paling banyak dijumpai di Amerika


Serikat dan daerah enzootik lainnya. Gejala meliputi demam yang tidak begitu
tinggi, lekopenia, diare ringan dan secara serologis ditemukan titer antibodi
yang tidak tinggi.(Subronto, 2003).
2.3.2 Bentuk akut

Bentuk akut penyakit terjadi pada sapi muda umur 6-24 bulan. Sapi muda
kurang dari 6 bulan atau sapi dewasa lebih dari 2 tahun terserang diare ganas
pada sapi (DGS) bentuk akut ini. Secara alami masa inkubasi penyakit
berjalan 1-3 minggu, pada infeksi percobaan gejala klinis terlihat setelah 4-10
hari. Suhu hewan sakit sedikit meningkat disertai dengan menurunnya jumlah
leukosit hingga 50 %. Kenaikan suhu tubuh terulang kembali pada hari ke 7-8
setelah percobaan. Kedua kenaikan suhu tubuh ini pada kasus di alam jarang
teramati, gejala klinis yang segera terlihat adalah turunnya produksi susu,
kelesuan yang sangat, nafsu makan menurun dan temperatur tinggi 41°C
kelihatan bersamaan. Diare biasanya berair, berbau busuk berisi mukus dan
darah. Lesi pada mukosa pipi terbentuk sebagai akibat nekrosis epitel mukosa.
Erosi ini terjadi pada bibir, bagian belakang langit-langit keras, gusi, sudut
mulut dan lidah. Pada kasus akut seluruh rongga mulut terlihat seperti
dimasak, dengan epitel nekrosis bewarna abu-abu menutupi bagian dasar
bewarna merah muda. Biasanya air liur dikeluarkan dalam jumlah banyak ,
dan bulu sekitar mulut terlihat basah. Lesi yang sama didapatkan juga pada
cuping hidung. Pada bentuk akut ini, dehidrasi dan kelesuan berlangsung
sangat cepat, dan kematian terjadi pada 5-7 hari setelah gejala klinis terlihat.
Pada kasus perakut kematian terjadi pada hari ke 2. Beberapa hewan yang
sakit dapat berkembang ke bentuk kronis yang berlangsung sampai beberapa
bulan. Kepincangan terlihat pada beberapa hewan sakit akut dan ini
nampaknya akibat radang pada teracak (laminitis) daan lesi erosif kulit pada
celah interdigital yang umumnya terjadi pada keempat kakinya. Sapi betina
bunting dapat mengalami keguguran sebagai akibat infeksi, biasanya setelah
fase akut terlewati dan kadang-kadang sampai 3 bulan setelah sembuh
(Subronto, 2008).

2.2.3 Bentuk kronis

Bentuk ini ditandai dengan diare yang intermiten, kekurusan, kembung


rumen yang kronik, serts erosi mukosa mulut dan kulit yang kronik pula.
Anemia dan lekopenia akan ditemukan secara menyolok (Subronto, 2008).
2.2.4 Bentuk Neonatal

Bentuk ini mengenai pedet - pedet dengan umur kurang dari 1 bulan, yang
ditandai dengan suhu tubuh yang tinggi, diare, serta gangguan pernapasan. Pedet
yang menderita kebanyakan berasal dari induk dengan kekebalan yang rendah,
atau berasal dari induk yang sakit. Infeksi atas pedet umumnya terjadi setelah
kelahiran.Pada infeksi prenatal, terjadi sindrom pedet lemah, yang selain
kelemahan umum pedet yang baru lahir terus mengalami diare (Dijetnak, 2014).

2.4 Diagnosa

Penentuan diagnosa didasarkan atas gejala klinis, perubahan dalam seksi


dan pemeriksaan laboratorium. Umumnya pemeriksaan titer antibodi dilakukan
dengan uji serum netralisasi terhadap sepasang sera yang diambil dengan sela 3 -
4 minggu. Kenaikan empat kali atau lebih atas titer dipakai sebagai patokan
penentuan diagnosa. Cara lain dilakukan dengan inokulasi virus pada biakan sel
atau dengan uji Flouresen antibodi. Hasil pemeriksaan darah juga sangat penting
diperhatikan dalam penentuan diagnosa. Rendahnya jumlah sel darah putih dan
adanya demam pada hewan yang terinfeksi di daerah wabah harus dicurigai
terhadap BVD (Subronto, 2003).
Diagnosa banding yang perlu diperhatikan meliputi ingusan, IBR,
Stomatitis vesikuler, PMK, Salmonelosis, dan Paratuberkulosis (Ditjenak, 2014).

2.5 Terapi

Pengobatan terhadap penderita berupa pengobatan suportif terutama cairan


elektrolit. Pemberian antibiotika dengan spektrum luas, untuk cairan infeksi
sekunder dan aspirin sebagai analgesika dan antipiretika dianjurkan (Eko et al.,
2008).

2.6 Pengaruh Bovine Vial Diarrhea terhadap reproduksi


 Fungsi Ovarium

Organ-organ utama dalam saluran reproduksi wanita rentan pada BVDV


dan penyebaran virus pada hewan yang membawa infeksi akut maupun terus-
menerus. Virus dapat berubah dari sel-sel dalam oviduct, endometrium,
miometrium, serta membran plasenta. Virus pada ovarium terletak di interstisial,
luteal, granulosa dan sel-sel thecal, serta folikular cairan. Selain itu, RNA dan
antigen virus telah terdeteksi oosit yang tidak dibuahi berubah pada sapi PI.
Meskipun ini belum dilaporkan data harian pada infeksi akut. Hipoplasia ovarium
terjadi pada sapi PI dan dapat menjadi salah satu faktor dimana lambatnya respon
dari treatment super ovulasi pada sapi PI. Infeksi ovarium yang diakibatkan oleh
BVDV mungkin berkepanjangan. Infeksi eksperimental telah diikuti oleh
pemulihan menular virus dan virus antigen dalam ovarium jaringan sampai
dengan 60 hari post-chalange. Konsistensi dengan pergerakan lambat antigen
virus, melaporkan ovaritis interstisial yang membentang hingga 61 hari post
infeksi, Menurut Grooms et al., (1998). mengatakan bahwa pertumbuhan folikel
pra-ovulasi pasca terbelakang selama dua siklus berturut-turut. Bagaimana BVDV
kompromi fungsi ovarium ini tidak pasti namun tiga mekanisme yang mungkin
menyarankan sendiri. Infeksi hipofisis gonadotropin mungkin tidak dapat
memberikan dukungan gonadotrophic memadai; kadar estradiol ditekan plasma
selama terjadi infeksi mungkin cukup untuk silent oestrus dan mencegah ovulasi
(Fray et al., 2000)

 Infeksi saat kebuntingan

Fetus rentan terhadap infeksi ketika hewan terserang penyakit BVDV.


Secara umum, infeksi transplasenta sangat berbahaya selama pertama 180 hari
kebuntingan dan dapat mengakibatkan kematian janin , kelainan congenital atau
kelahiran pedet PI. Infeksi BVDV bselama periode pra-implantasi dapat
mengakibatkan tinggi insiden embrio atau kematian janin, dimana infeksi yang
terjadi antara implantasi dan akhir bulan keempat kebuntingan sekitar 40 sampai
125 hari. ditandai oleh kematian janin, abortus,mummifikasi, kelahiran pedet PI
dan tingkat yang terbatas teratogenesis. Tingkat aborsi tertinggi sebanyak 40%
telah dilaporkan mengikuti infeksi pada hari ke-100 kebuntingan meskipun
tingkat terjadi dilapangan. Sapi pedet PI biasanya lahir lemah, berukuran kecil dan
memiliki cacat dari berbagai makroskopik dan mikroskopis. Meskipun beberapa
hewan PI biasanya tanda klinis normal, mereka biasanya lahir secara prematur
(Fray et al., 2000).
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kasus

Anamnesa

Seorang peternak sapi di desa Lampoko, kecamatan Barebbo, kabupaten


Bone melaporkan sapi betina dengan gejala diare terus menerus, lemas, ambruk
dan sekitar hidung basah.

Sinyalemen

Nama Pemilik : Ari


Alamat : Desa Lampoko, Kecamatan Barebbo
Nama Hewan :-
Spesies : Sapi
Breed : Bali
Warna bulu/rambut : Coklat
Jenis kelamin : Betina
Umur : 2 tahun

Diagnosa

Dari hasil anamnesa sapi tersebut didiagnos menderita Bovine Viral


Diarrhea

3.2 Penanganan di Lapangan

Berdasarkan hasil dari anamnesa dari peternak bahwa sapi mengalami


dehidrasi dikarenakan diare yang terus-menerus sehingga menyebabkan sapi
menjadi lemas dan ambruk, sehingga perlu diberikan pemberian untuk mengganti
cairan dan elektrolit yang hilang. Di lapangan, penanganan pertama diberikan
larutan oralit pada sapi agar sapi tidak lemas.
Setelah itu pemberian 1 kaplet sulfabac yang dicampur dengan becarbon
(arang aktif) kemudian dilarutkan dengan air. Arang aktif atau karbon aktif
merupakan suatu jenis karbon yang diaktifkan dengan tujuan untuk memperbesar
luas permukaannya dan meningkatkan kemampuan menyerap karbon aktif
tersebut. Daya serap ditentukan oleh luas permukaan partikel dan kemampuan ini
dapat menjadi tinggi jika terhadap arang tersebut dilakukan aktifasi dengan aktif,
faktor bahan-bahan kimia ataupun dengan pemanasan pada temperatur tinggi.
Luas permukaan arang aktif berkisar antara 300-3500 m2/ gram. Arang aktif dapat
menyerap gas dan senyawa-senyawa kimia tertentu atau sifat penyerapannya
selektif, tergantung pada besar atau volume pori-pori dan luas permukaan.
Menurut Djanatun (2000), arang aktif merupakan suatu bentuk karbon
yang memiliki daya adsorpsi tinggi dan banyak digunakan dalam industri obat-
obatan, industri bahan makanan yang berfungsi sebagai penghilang warna, untuk
menyerap bahan-bahan beracun dalam respirator. Daya serap dari karbon aktif
umumnya bergantung kepada jumlah senyawaan karbon yang berkisar antara
85% sampai 95% karbon bebas.
Sulfabac bolus merupakan kombinasi antibiotik sulfadiazine dan
trimethopirm dalam bentuk bolus. Kombinasi antibiotik ini menghasilkan
kemampuan bakterisidal. Sulfabac bolus bekerja dengan cara mengganggu
pembentukan asam folat bakteri. Indikasi yaitu pencegahan terhadap penyakit
endometritis, metritis dan pyometra, pengobatan penyakit calf diarrhea intestinal
disease, gangguan pernafasan, gangguan urogenital.
Pemberian imunosupportif yaitu vitamin B-complex sebanyak 0,5 ml/kg
bb untuk meningkatkan imunitas tubuh yang terserang oleh virus.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) merupakan penyakit menular pada


sapi yang disebabkan oleh virus. Virus ini mudah ditransmisikan diantara sapi dan
telah menyebar luas ke seluruh dunia.
Penanganan Bovine Viral Diarrhea dengan pemberian cairan elektrolit
agar menggantikan cairan tubuh yang hilang sehingga mencegah terjadinya
dehidrasi.

4.2 Saran

Untuk mencegah terjadinya Bovine Viral Diarrhea yaitu perlu dilakukan


vaksinasi dengan vaksin inaktif maupun vaksin aktif MLV. Meskipun hasil hasil
vaksinasi tidak selalu meyakinkan akan tetapi lebih baik dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Manual Penyakit


Hewan Mamalia : Jakarta
Eko Susilorini, Tri, Manik Eirry Sawitri dan Muharlien. 2008. Budidaya 22
Ternak Potensial. Jakarta: Penebar Swadaya.
M.D.Fray, D.J. Paton, S.Alenius. 2000. The effects of bovine viral diarrhoea virus
on cattle reproduction in relation to disease control. Animal Reproduction
Science 60-61(2000) 615-627
S. Sudarmono, A dan Y. Bambang Sugeng. 1992. Sapi potong dan pemeliharaan,
perbaikan produksi, prospek bisnis, analisis penggemukan. Edisi Revisi.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia). Edisi kedua.Yogyakarta :
Gama Press.
Subronto. 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumen)
Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial dan Prion. Edisi ketiga.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
LAMPIRAN

(Pencampuran bicarbon dengan sulfabac dengan dilarutkan dengan air)

( Pemberian larutan terhadap sapi untuk mengobati dehidrasi pada sapi)


(Sulfabac)
Co-Asistensi Bidang Reproduksi

BVD (BOVINE VIRAL DISEASE)

STEPHANIE DATU RARA


C024 18 1002

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2018

Anda mungkin juga menyukai