Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Gangguan Mental Emosional

Gangguan mental emosional menurut Dictionary Reference dari Universitas


Priceton adalah bagian dari gangguan jiwa yang bukan disebabkan oleh kelainan
organik otak dan lebih didominasi oleh gangguan emosi (disturbace of emotions).
Richmond mendefinisikan gangguan mental emosional sebagai perubahan mood
dan afek yang dihubungkan kepada pikiran-pikiran spesifik atau kondisi fisik
yang sesuai dengan seiring dan seiring dengan mood dan afek. Gangguan mnetal
emosional merupakan perubahan atau gangguan mood dan afek yang berpengaruh
juga terhadap fisik seseorang akibat aspek biologis (fisik), psikis (salah satunya
emosi), dan sosial. Hal ini menyebabkan aspek fisik dan mental saling
mempengaruhi terhadap gangguan mental emosional seseorang.1
Setiap orang pernah mengalami perubahan dalam hidupnya dimana perubahan
tersebut menuntut seseorang unutk beradaptasi dalam mengatasi masalahnya.
Perubahan tersebut bisa menjadi kondisi yang mengancam.2 Seorang individu
ketika tidak mampu menemukan penyelesaian terhadap situasi yang
mengancamnya, maka individu tersebut mengalami gangguan mental emosional.1
Gangguan mental emosional didefiniskan sebagai ketidakseimbangan jiwa
yang mengakibatkan terjadinya ketidaknormalan sikap dan tingkah laku yang
dapat menghambat dalam proses penyesuaian diri. Gangguan mental emosional
ditandai dengan perubahan dalam berpikir, berperilaku, atau suasana hati terkait
dengan tekanan yang bermakna dan disertai gangguan fungsi selama jangka waktu
tertentu.2
Gangguan mental emosional merupakan suau keadaan yang mengindikasikan
individu mengalami perubahan emosional yang dapat berkembang menjadi
keadaan patologis apabila berlanjut.3 Gangguan mental emosional dapat berupa
gejala depresi, gangguan psikosomatik, dan gangguan kecemasan. Tanda-tanda
gejala depresi, psikosomatik, dan kecemasan menurut ICD-10 (International
Classification of Disease – Tenth Edition) dalam WHO (World Health
Organization) meliputi:
1. Perasaan depresif
2. Kehilangan minat dan semangat
3. Mudah lelah dan hilang tenaga
4. Penurunan konsentrasi
5. Penurunan harga diri
6. Perasaan bersalah
7. Pesimistis terhadap masa depan
8. Gagasan membahayakan diri sendiri (self harm) atau bunuh diri
9. Gangguan tidur
10. Penurunan libido2

2.2. Faktor Pencetus Gangguan Mental Emosional

Pada Teori Stimulus Respon oleh Dollard dan Miller disebutkan bahwa sebuah
perilaku yang merupakan respon dari adanya suatu stimulus, mucul karena
dipengaruhi oleh adanya 2 faktor yag meliputi:
1. Faktor Internal
Faktor internal disebut juga sebagai stimulus internal. Pada Teori Stimulus
Respon, faktor internal ini bersifat sebagai dorongan. Faktor genetik, kondisi
tubuh, dan status gizi merupakan beberapa hal yang berasal dari dalam diri
seseorang yang mempengaruhi metal emosional.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang muncul merupakan akibat adanya stimulus yang berasal
dari luar individu, sehingga menyebabkan individu tersebut membentuk suatu
respon. Stres, kurang sosialiasi, kabar buruk, dan dukungan sosial merupakan
contoh dari faktor luar yang berperan dalam mental emosional seseorang. 1
2.3. Penyebab Gangguan Mental Emosional

Gejala utama atau gejala yang menonjol pada gangguan mental emosional
terdapat pada unsur kejiwaan, namun penyebab utamanya mungkin berasal dari
jasmaniah (somatogenik), lingkungan sosial (sosiogenik), kejiwaan (psikogenik),
tekanan kebudayaan (kultural), atau tekanan agama (spiritual). Salah satu unsur
mungkin dapat menjadi penyebab utama, namun biasanya gangguan somatis atau
psikis diakibatkan oleh banyak aspek yang terjadi secara bersamaan. 4
1. Faktor Somatik atau Organobiologis
Faktor somatik dapat berasal dari adanya suatu gangguan pada
neurotransmitter, pengaruh genetik, dan perbedaan struktur anatomi dari setiap
individu dalam menerima reseptor ke hipotalamus sebagai respon dan reaksinya
berbeda-beda.
a. Genetika atau keturunan
Individu yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan mental
emosional memiliki kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang
tidak memiliki faktor herediter. Individu yang memeiliki hubugan sebagai ayah,
ibu, saudara,, atau anak dari pasien yang mengalami gangguan mental emosional
memiliki kecenderungan sebesar 10%, sedangkan keponakan atau cucu memiliki
angka kecenderungan 2-4%. Faktor genetic tersebut sangat ditunjang dengan pola
asuh yang diwariskan sesuai pengalaman yang dimiliki oleh anggota keluarga
pasien yang mengalami gangguan mental emosional.
b. Cacat kongenital
Cacat kongenital yang didapatkan sejak lahir dapat memengaruhi
perkembangan jiwa remaja, terlebih apabila cacat yang dideritanya berat. Namun
umumnya pengaruh cacat kongenital ini terhadap timbulnya gangguan mental
emosional tergantung pada penilaian dan penyesuaian individu tersebut terhadap
keadaan hidupnya. Orang tua dapat memersulit penyesuaian ini dengan
perlindungan yang berlebihan.
c. Faktor jasmaniah
Beberapa peneliti berpendapat bahwa bentuk tubuh seseorang berhubugan
dengan gangguan jiwa tertentu. Ketidakseimbangan hormonal mungkin menjadi
penyebab dari hal ini. Faktor sikap lingkungan sekitar terhadap jasmaniah
seseorang juga memberika dampak pada kejiwaan seseorang.
d. Deprivasi
Deprivasi atau kehilangan fisik, baik yang dibawa sejak lahir ataupun yang
didapat ketika masa tumbuh kembang, misalnya kecelakaan anggota gerak yang
menyebabkan amputasi memberika dampak pada seseorang secara psikis.
e. Temperamen atau proses emosis yang berlebihan
Individu yang terlalu peka atau sensitive biasanya memilki masalah kejiwaan
dan ketegangan, sehingga memiliki kecenderungan mengalami gangguan jiwa.
Proses emosi yng terus menerus dengan koping yang tidak efektif akan
mendukung timbulnya gejala gangguan psikis.
f. Penyalahgunaan obat-obatan
Proses koping yang maladaptif yang digunakan individu untuk menanggulangi
stresor yang dialaminya melalui obat-obatan yang berefek ketergantungan
menyebabkan terjadinya gangguan persepsi, gangguan proses berpikir, gangguan
mental emosional, gangguan motorik, dan lain sebagainya.
g. Patologi otak
Trauma pada otak, lesi di otak, infeksi otak, perdarahan, tumor otak, toksin
yang menyerang otak, gangguan metabolisme otak, dan atrofi otak dapat menjadi
penyebab dalam munculnya gangguan jiwa, termasuk gangguan mnetal
emosional. Hal ini dikarenakan otak merupakan bagian dalam susunan sistem
saraf yang menjadi pusat dari kerja kejiwaan seseorang.
h. Penyakit dan cedera tubuh
Penyakit-penyakit tertentu, seperti penyakit jantung, kanker, dan lain-lain dapat
menyebabkan munculnya rasa murung dan sedih pada penderitanya. Hal ini
dikarenakan seseorang merasa menjadi individu yang tidak sempurna dan menjadi
beban bagi orang lain, sehingga muncul rasa rendah diri pada jiwanya.
2. Faktor Psikologik atau Psikoedukatif
Faktor psikososial adalah masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang
mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai akibat terjadinya perubahan sosial dan
atau gejolak sosial dalam masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan
kejiwaan.
Berbagai macsm pengalaman psikis seperti frustasi, kegagalan, penolakan,
penerimaan, dan keberhasilan yang dialami seseorang akan mewarnai sikap dan
kebiasaan seseorang di masa yang akan datang.
a. Trauma di masa kanak-kanak
Deprivasi dini secara biologis maupun psikologis yang terjadi pada masa bayi
atau anak-anak dapat memberikan efek secara psikolgis pada individu di amsa
kemudian. Seorang anak yang ditolak (rejected child) akan menimbulkan rasa
tidak nyaman dan penyesuaian yang salah di masa yang akan datang.
b. Deprivasi parental
Deprivasi parental atau kehilangan asuhan ibu dirumah sendiri, terpisah
dengan ibu atau ayah kandung, tinggal di asrama, dapat menimbulkan
perkembangan yang psikologis abnormal pada individu.
c. Hubungan keluarga yang patogenik
Masa kanak-kanak merupakan masa saat keluarga memegang peranan yang
penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Hubungan orang tua-anak
yang salah atau interaksi yang patogenik dalam keluarga merupakan sumber
gangguan penyesuaian diri. Orang tua kadang terlalu banyak berbuat untuk anak
dan tidak memberi kesempatan anak itu untuk berkembang sendiri. Orang tua juga
terkadang berbuat terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi
bimbingan dan anjuran yang dibutuhkan dalam berbuat dan melangkah dalam
kehidupan. Kedua hal tersebut dapat menjadi suatu penyebab seorang anak
mengalami gangguan mental emosional di kemudian hari.
Beberapa jenis hubungan keluarga yang sering melatar belakangi adanya
gangguan jiwa, misalnya penolakan, perlindungan berlebihan, manja berlebihan,
tuntutan perfeksionistik, disiplin yang salah, dan persaingan antara saudara yang
tidak sehat .
d. Struktur keluarga yang patogenik
Struktur keluarga inti kecil atau besar mempengaruhi terhadap perkembangan
jiwa anak, apalagi bila terjadi ketidaksesuaian perkawinan dan masalah rumah
tangga yang berantakan.
Anak tidak mendapat kasih sayang, tidak dapat menghayati displin, tidak ada
panutan, pertengkaran, dan keributan yang membingungkan akan menimbulkan
rasa cemas serta rasa tidak aman. Hal tersebut merupakan dasar yang kuat untuk
timbulnya tuntunan tingkah laku dan gangguan kepribadian pada anak di
kemudian hari.
Kejadian kekerasan dalam rumah tangga memungkinkan anak-anak
menyaksikan pertengkaran orang tuanya, mengalami kekerasan seperti yang
dialami ibunya, bahkan menjadi sasarn kekeran sebagai pelampiasan emosi orang
tuanya. Hal-hal tersebut dapat membentuk suatu gangguan kejiwaan pada anak di
kemudian hari. Pada remaja dapat muncul perilaku penarikan diri, kegelisahan,
sulit tidur, mimpi buruk, gangguan konsentrasi, dan gangguan dalam belajar.
e. Kekecewaan dan pengalaman yang menyakitkan
Kematian, kecelakaan, sakit berat, perceraian, perpindahan yang mendadak,
kekecewaan yang berlarut-larut, dan sebagainya akan memengaruhi
perkembangan kepribadian. Selain itu hal tersebut juga tergantung pada dukungan
atau dorongan dari lingkungan sekitarnya.
f. Stres berat
Tekanan stres yang timbul bersamaan dan atau berturut-turut, bisa
menyebabkan berkurangnya atau hilangnya daya tahan terhadap stres. Contohnya
kasus seseorang yang baru saja mengalami perceraian kemudian harus juga
kehilangan anak, baik karena anaknya meninggal atau diputus secara paksa,
mengakibatkan daya tahan dirinya dalam menghadapi masalah menjadi lebih
rentan.
3. Sebab Sosiokultural
Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat dilihat
maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan merupakan penyebab langsung
timbulnya gangguan jiwa, melainkan terbatas menentukan “warna” gejala-gejala.
Selain itu kebudayaan juga memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
kepribadian seseorang misalnya melalui atauran-aturan kebiasaanya yang berlaku
dalam kebudayaan tersebut. Beberapa faktor-faktor kebudayaan tersebut, antara
lain:
a. Cara membesarkan anak
Cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter akan menyebabkan hubungan
orang tua anak menjadi kaku dan tidak hangat. Anak-anak setelah dewasa
mungkin bersifat sangat agresif, pendiam, tidak suka tergaul, ataujustru menjadi
penurut yang berlebihan.
b. Sistem nilai
Perbedaan sistem nilai, moral dan etika antara kebudayaan yang satu dengan
yang lain sering menimbulkan masalah kejiwaan.
c. Kepincangan antara keinginan dengan kenyataan
Iklan-iklan di radio, televisi, surat kabar, film dan lain-lain menimbulkan
bayangan-bayangan yang menyilaukan tentang kehidupan modern yang mungkin
jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Rasa kecewa yang timbul menyebabkannya
untuk mencoba mengatasin dengan khayalan atau melakukan kegiatan yang
merugikan masyarakat.
d. Ketegangan akibat faktor ekonomi
Masyarakat modern memiliki kebutuhan dan persaingan yang semakin
meningkat. Selain itu persaingan dalam meningkatkan ekonomi hasil-hasil
teknologi modern juga semakin meningkat dan ketat. Faktor-faktor gaji yang
rendah, perumahan yang buruk, waktu istirahat, waktu berkumpul dengan
keluarga yang sangat terbatas, dan sebagainya merupakan sebagian hal yang
mengakibatkan perkembangan kepribadian yang abnormal. Menurut World
Health Organization (WHO) krisis keuangan global tampaknya akan
meningkatkan gangguan kesehatan mental dan bahkan bunuh diri, sementara
orang berjuang menghadapi kemiskinan dan pengangguran. Ratusan juta orang di
seluruh dunia sudah terkena pengaruh gangguan mental seperti depresi dan
gangguan bipolar. Kemerosotan pasar global saat ini juga dapat menambah rasa
kecewa di kalangan orang yang rentan terhadap penyakit semacam itu. WHO juga
menyebutkan, dampaknya dapat terlihat pada orang-orang yang tinggal di negara
berpenghasilan rendah dan menengah, dengan akses perawatan yang terbatas.
Masalah keuangan (kondisi sosial-ekonomi) yang tidak sehat, misalnya
pendapatan jauh lebih rendah dari pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan
usaha, warisan dan sebagainya. Problem keuangan amat berpengaruh pada
kesehatan jiwa seseorang dan seringkali masalah keuangan ini merupakan faktor
yang membuat seseorang jatuh dalam gangguan mental emosional. Bagan yang
digambarkan di A Public Health Approach to Mental Health menunjukkan bahwa
hubungan antara faktor ekonomi khususnya kemiskinan dengan kesehatan mental
adalah seperti lingkaran setan yang berketerusan .
e. Perpindahan kesatuan keluarga
Khusus untuk anak yang sedang berkembang kepribadiannya, perubahan-
perubahan lingkungan (kebudayaan dan pergaulan) cukup mengganggu.
f. Masalah golongan minoritas
Tekanan-tekanan perasaan yang dialami golongan ini dari lingkungannya dapat
mengakibatkan rasa pemberontakan yang selanjutnya akan tampil dalam bentuk
sikap acuh atau melakukan tindakan-tindakan yang akan merugikan orang
banyak.5,4

2.4. Penyebab Gangguan Mental Emosional pada Remaja

Penyebab gangguan mental emosional pada remaja berasal dari 2 aspek, yaitu
aspek remaja tersebut dan aspek lingkungan. Kedua aspek ini akan saling
memengaruhi hingga timbulnya gangguan mental emosional pada remaja.
1. Aspek Remaja
a. Penyebab yang diturunkan
Diketahui bahwa ciri dan bentuk anggota tubuh dapat diturunkan. Demikian
juga beberapa sifat kepribadian yag umum dapat diturunkan dari orang tua kepada
anaknya. Hal ini karena seorang remaja yang berada pada kondisi tertentu dan
memiliki riwayat genetik stres, akan timbul suatu stres pada dirinya, sedangkan
hal demikian tidak terjadi pada remaja lain dengan kondisi yang sama. 4 Studi
menunjukkan bahwa orang tua dengan depresi mungkin empat kali lipat
meningkatkan risiko seorang anak untuk memiliki gangguan suasana hati sebelum
usia 18 tahun dibandingkan dengan risiko pada anak dengan dua orang tua yang
tidak mengalami depresi.1
b. Penyebab yang diperoleh
Penyebab ini didapat pada saat remaja berkembang sejak lahir. Telah lama
diketahui bahwa gangguan otak seperti trauma kepala, ensefalitis, keganasan, dan
lain-lain dapat mengakibatkan perubahan kepribadian. Remaja dengan sindroma
otak organik mungkin menunjukkan hyperkinesia, kegelisahan, kecenderungan
untuk merusak, dan kekejaman.
2. Aspek Lingkungan
Meskipun faktor-faktor yang diturunkan memengaruhi perilaku remaja, akan
tetapi aspek lingkungan sering lebih menentukan. Beberapa penyebab gangguan
perilaku yang berasal dari lingkungan, yaitu:
a. Orang tua
Sikap orang tua terhadap anak mereka merupakan faktor yang sangat penting
bagi perkembangan kepribadian remaja tersebut. Perkawinan yang tidak bahagia
atau perceraian menimbulkan kebingungan pada remaja. Apabila orang tua hidup
tidak rukun, maka sering mereka tidak konsekuen dalam hal mengatur
kedisplinan. Sebaliknya disiplin yang dipertahankan secara kaku dapat
menimbulkan frustasi yang hebat. Kedisplinan harus dipertahankan secara
bijaksana dan konsekuen. Selain itu seringkali pertengkaran orang tua terjadi di
hadapan anak dapat menimbulkan trauma psikis yang memiliki efek mendalam
dan jangka panjang.
Kepribadian orang tua juga meruakan hal yang sangat penting. Seorang ibu
yang memiliki kepribadian nerotik atau psikopat tidak dapat mnegadakan
hubungan orang tua-anak yang baik, sehingga perkembangan kepribadian anak
akan terganggu. Orang tua seperti ini pada umumnya bersikap menolak terhadap
anaknya. Sikap penolakan ini memiliki latar belakang tertentu, misalnya:
i. Perkawinan tidak bahagia. Istri mengira bahwa dengan adanya anak,
hubungan suami istri akan menjadi lebih baik. Bila kemudian demikian,
maka anaklah yang dipersalahkan, mungkin secara tidak disadari.
ii. Ketakutan ibu untuk hamil lagi akibat kesulitan ekonomi (menurut ibu)
dan penambahan beban keluarga bila anak lahir.
Adapun beberapa hal-hal yang dapat dilihat sebagai sikap penolakan orang tua
terhadap anaknya, antara lain:
i. Menghukum anak secara berlebihan.
ii. Anak kurang diperhatikan mengenai makanan, pakaian, kemajuan di
sekolah, dan kegiatan sekolah.
iii. Kurang sabar terhadap anaknya an mudah marah.
iv. Ancaman-ancaman mengusir anak.
v. Anak yang bersangkutan diperlakukan lain dibandingkan dengan
saudara-saudaranya.
vi. Sikap kritis yang berlebihan terhadap anak tersebut.
Sikap penolakan tersebut pada kondisi tertentu sulit untuk dikenali karena sikap
penolakan tersebut disembunyikan dan ditutupi degngan sikap yang berlawanan,
seperti sikap perlindungan yang berlebihan (over protection)
b. Saudara
Rasa iri hati terhadap saudara merupakan hal yang normal, biasanya tampak lebih
nyata pada anak pertama dan lebih besar anatara anak-anak dengan jenis kelamin
yang sama. Perasaan ini akan bertambah keras bila orang tua memperlakukan
anak-anaknya tidak sama atau pilih kasih. Guna menarik perhatian dan simpati
orang tua, anak-anak tersebut biasanya menunjukkan perilaku yang agresif atau
negativistik.
c. Orang lain
Orang lain dalam hal ini yang dimaksud adalah orang lain yang tinggal
serumah, seperti kakek, nenek, saudara orang tua, atau pelayan. Orang-ornag
tersebut juga turut memengaruhi perkembangan kepribadian seorang remaja.
Pelayan yang cenderung melayani segala keinginan dan perintah dapat
membentuk suatu kepribadian yang tidak mandiri dan penuh ketergantungan bagi
remaja. Selain itu sikap seorang nenek yang cenderung memanjakan cucunya juga
memengaruhi pola pengasuhan dan bentuk kepribadian seorang remaja.
Perbedaan usia yang jauh antara nenek dan cucunya juga terkadang memberikan
celah hubungan keleuargaan yang cukup bermakna.
d. Hubungan di sekolah
Sekolah merupakan wahana belajar bagi remaja secara akademik dan non-
akademik. Selain itu di sekolah pula para remaja banyak menghabiskan waktunya
sehari-hari. Hubungan antarindividu di sekolah juga cukup kompleks karena
melibatkan banyak individu dengan peran yang berbeda-beda. Temuan kasus
menunjukkan bahwa tidak jarang sifat guru yang terlalu keras terhadap muridnya
menimbulkan kenakalan bagi murid. Perundungan yang dialami seorang remaja
juga menimbulkan sikap penarikan individu terhadap lingkungannya.
e. Keadaan ekonomi
Gangguan perilaku lebih sering dijumpai pada remaja dari golongan sosio-
ekonomi tinggi atau rendah. Hal ini terjadi mungkin karena orang tua mereka dari
kalangan atas terlalu sibuk dengan kegiatan-kegaiatan sosial. Sedangkan untuk
orang tua dari kalangan sosio-ekonomi rendah cenderung sibuk mencari nafkah.
Kedua hal tersebut menjadikan mereka lupa menyediakan waktu yang cukup
untuk berkomunikasi dengan baik dan berinteraksi dengan anak-anak mereka.4

2.5. Pengukuran Gangguan Mental Emosional

Gangguan mental emosional dapat diukur dengan menggunakan Self Reporting


Quistionare (SRQ) yang telah dirilis World Health Organization (WHO). SRQ
pada awalnya memiliki 25 pertanyaan yang terdiri dari 20 pertanyaan
berhubungan dengan gejala neurosis, 4 pertanyaan berhubungan dengan gejala
psikosis, dan 1 pertanyaan berhubungan dengan epilepsi. Ini kemudian dikenal
dengan SRQ-25. Pada beberapa penelitian hanya digunakan pertanyaan yang
berhubungan dengan gejala neurosis dan psikosis, sehingga dikenal sebagai SRQ-
24. World Health Organization (WHO) pada 1994 menganjurkan hanya
menggunakan 20 butir pertanyaan pada SRQ yang berhubungan dengan gejala
neurosis dan dikenal dengan sebutan SRQ-20. Gejala yang berhbungan dengan
depresi terdapat pada butir pertanyaan nomor 6, 9, 10, 14, 15, 16, dan 17. Gejala
gangguan kecemasan ditanyakan pada butir pertanyaan 3, 4, dan 5. Penggalian
mengenai gejala gangguan somatik terdapat pada butir pertanyaan 1, 2, 7, dan 19.
Gejala gangguan kognitif terdapat pada butir pertanyaan normor 8, 12, dan 13.
Perihal gejala penurunan energi terdapat pada butir pertanyaan 8, 11, 12, 13, 18,
dan 20.4
Self Reporting Quistionare (SRQ) merupakan kuisioner yang biasa digunakan
untuk penapisan masalah kesehatan jiwa di kalangan masyarakat. Hal ini karena
kuisioner tersebut memiliki jawaban “ya” dan “tidak” yang mempermudah
masyarakat awam dalam menjawab. 6
Uji validasi terhadap Self Reporting Quistionare (SRQ) dilakukan pada tahun
1995 oleh Hartono. Beliau melakukan uji validasi terhadap penggunaan Self
Reporting Quistionare (SRQ) dengan nilai batas pisah 6. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada
tahun 2007 menggunakan Self Reporting Quistionare (SRQ) yang telah divalidasi
oleh Hartono tersebut. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan gabaran status
kesehatan mental atau gangguan mental emosional yang terjadi di masyarakat. 7,8
Self Reporting Quistionare (SRQ) memiliki keterbatasan karena hanya
mengungkap status mental emosional sesaat dalam jangka waktu  2 minggu dan
tidak dirancang guntuk diagnostic gangguan jiwa yang spesifik.
Daftar pertanyan Self Reporting Quistionare (SRQ) yang ditanyakan pada
responden yaitu:
1. Apakah anda sering mnederita sakit kepala?
2. Apakah anda tidak nafsu makan?
3. Apakah anda sulit tidur?
4. Apakah anda mudah takut?
5. Apakah anda merasa tegang, cemas, dan khawatir?
6. Apakah tangan anda gemetar?
7. Apakah pencernaan anda terganggu atau buruk?
8. Apakah anda sulit untuk berpikir jernih?
9. Apakah anda merasa tidak bahagia?
10. Apakah anda menangis lebih sering?
11. Apakah anda merasa sulit untuk menikmati kegiatan sehar-hari?
12. Apakah anda sulit mengambil keputusan?
13. Apakah pekerjaan anda sehari-hari terganggu?
14. Apakah anda tidak mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam
hidup?
15. Apakah anda kehilangan minat pada berbagai hal?
16. Apakah anda merasa tidak berharga?
17. Apaah anda mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidup?
18. Apakah anda merasa lelah sepanjang waktu?
19. Apakah anda mengalami rasa tidak enak di perut?
20. Apakah anda mudah lelah? 6
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock, Benjamin J., Virginia Alcott Sadock. (2004). Kaplan &


Sadock’s Concise Textbook of Clinical Psychiatry 2nd editions.
Philladelpia: Lippincot Williams & Wilkins Inc.
2. Siswoyo, Hadi. (2011). Hubungan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Dengan Gangguan Mental Emosional pada Remaja dan Dewasa Muda
di Lima Kota Besar, Tesis. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
3. Idaian,Sri. (2008). Analisis Gangguan Mental penduduk Indonesia,
Majalah Kedokteran Indonesia Volume 59, No 10.
4. Maramis, Willy F dan Albert A Maramis. (2009). Ilmu kedokteran Jiwa
Edisi ke 2 . Surabaya: Airlangga Press.
5. Suyoko, Suyoko. (2012). Faktor-faktor Risiko yang Berhubungan
dengan Gangguan Mental Emosional. Depok: Fakulas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
6. Health, Division of Mental. (1994). A User’s Guide to the Self
Reporting Questionnare (SRQ). Geneva: World Health Organization.
7. Dinuriah, Syahdah. (2015). Gambaran Gangguan Mental Emosional
Pada Penderita Kanker Dalam Masa Kemoterapi di RSU Kabupaten
Tangerang. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
8. Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan. (2008). Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai