Anda di halaman 1dari 70

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

FARMASI RUMAH SAKIT

di
RSUD Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN

LAPORAN KASUS

DIABETES MELITUS TIPE II + HIPERTENSI + VERTIGO

Disusun Oleh:
Vriona Ade Maenkar, S. Farm
NIM 183202133

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI


FARMASI RUMAH SAKIT

di

RSUD Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN

Laporan ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Apoteker pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh:

Vriona Ade Maenkar, S. Farm.


NIM 183202133

Pembimbing,

Pembimbing Fakultas, Pembimbing Rumah Sakit,

Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. Jonshon L. Tobing, S.Si., MM., Apt.
NIP. 195103261978022001 No. SKPA 02.2017/PP IAI/XII/2013
Staf Pengajar Fakultas Farmasi Staf Instalasi Farmasi
Universitas Sumatera Utara RSUD Dr. Pirngadi
Medan Medan

Medan, November 2019


Kepala Instalasi Farmasi
RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan

Dra. Peri, Apt.


NIP 196701101997032001
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Praktik

Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan.

Pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Apoteker ini tidak lepas dari bantuan

berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis inginmengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Dekan Fakultas

Farmasi dan Ibu Dr. Aminah Dalimunthe, M.Si., Apt., selaku Ketua Program Studi

Profesi Apoteker Fakultas Farmasi USU yang telah memberikan fasilitas kepada

penulis untuk melaksanakan PKPA.

Bapak dr. Suryadi Panjaitan, Sp. PD., sebagai Direktur RSUD Dr. Pirngadi

Kota Medan yang telah memberikan fasilitas untuk melaksanakan PKPA. Ibu Dra.

Peri, Apt., sebagai Kepala Instalasi Farmasi RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan yang

telah memberikan fasilitas, bimbingan, serta arahan kepada penulis selama

melaksanakan PKPA.

Terima kasih juga saya ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.

sebagai pembimbing dari Fakultas Farmasi USU dan Bapak Jonshon L. Tobing,

S.Si., MM., Apt. sebagai pembimbing dari Instalasi Farmasi RSUD Dr. Pirngadi

Kota Medan yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan selama

penulis melaksanakan PKPA hingga proses penulisan laporan ini selesai. Terima

kasih juga kepada Bapak dan Ibu Apoteker, staf dan karyawan RSUD Dr. Pirngadi

Kota Medan yang telah memberikan arahan dan bantuan selama melaksanakan

PKPA.

iii
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisam laporan ini.

Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari

seluruh pembaca. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang

membutuhkan.

Medan, November 2019


Penulis,

Vriona Ade Maenkar, S. Farm.


NIM 183202208

iv
RINGKASAN

Telah dilakukan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Rumah


Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan. PKPA ini
dilaksanakan agar calon apoteker memperoleh bekal, ilmu pengetahuan,
keterampilan dan keahlian dalam mengelola perbekalan farmasi di rumah sakit dan
melihat secara langsung peran serta apoteker dalam pelayanan kefarmasian di
rumah sakit.

Praktik Kerja Profesi Apoteker ini dilaksanakan pada tanggal 9 September


– 30 Oktober 2019. Kegiatan PKPA yang dilaksanakan di rumah sakit meliputi:
mempelajari fungsi dan tugas rumah sakit dalam pelayanan kesehatan masyarakat,
mempelajari sistematika kerja Instalasi Farmasi Rumah Sakit, mempelajari sistem
pendistribusian perbekalan farmasi di rumah sakit yang meliputi: pelayanan rawat
inap pasien Jaminan PBI dan Non PBI, pelayanan pasien rawat jalan pasien Non
PBI, PBI dan jaminan kesehatan lain, pelayanan IGD/KBE, pelayanan Instalasi
Bedah Sentral, distribusi ruangan, dan pelayanan kemoterapi.

Kegiatan PKPA dalam mengelola perbekalan farmasi di rumah sakit yaitu


mempelajari pengadaan perbekalan farmasi, penyimpanan di gudang obat dan
gudang alat kesehatan, pengelolaan keuangan dan administrasi. Calon apoteker juga
melakukan pelayanan farmasi klinis seperti Pemberian Informasi Obat (PIO) di unit
rawat jalan dan rawat inap, Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) mengenai cara
penggunaan obat, serta meningkatkan kepatuhan pasien dalam menggunakan obat.
Selain itu juga melakukan pemantauan terapi obat dan pengkajian rasionalitas
penggunaan obat melalui metode pendekatan terintegrasi yaitu metode SOAP
(Subjective, Objective, Assesment, Plan), serta melakukan peninjauan ke Instalasi
Central Sterilized Supply Department (CSSD) untuk melihat sistem sterilisasi alat
dan bahan medis di rumah sakit dalam rangka pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial.

v
DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL ........................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR ................................................................................ iii
RINGKASAN ............................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Tujuan Kegiatan ........................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 4
2.1 Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronik ............................... 4
2.2 Patofisiologi ............................................................................ 4
2.3 Manifestasi Klinik ................................................................... 6
2.4 Etiologi .................................................................................... 7
2.5 Faktor Resiko .......................................................................... 7
2.6 Diagnosis PPOK ..................................................................... 8
2.6.1 Anamnesis ..................................................................... 8
2.6.2 Pemeriksaan Fisik ......................................................... 10
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang ................................................ 12
2.6.3.1 Pemeriksaan Spirometri ................................... 12
2.6.3.2 Pemeriksaan Penunjang Lain ........................... 13
2.6.4 Kriteria Diagnosis ......................................................... 14
2.7 Penatalaksanaan PPOK ........................................................... 15
BAB III PENATALAKSANAAN UMUM ................................................ 21
3.1 Identitas Pasien ....................................................................... 21
3.2 Riwayat Penyakit dan Pengobatan .......................................... 21
3.3 Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk RSUD Dr. Pirngadi
Kota Medan............................................................................ 21
3.4 Hasil Pemeriksaan ................................................................... 22
3.5 Diagnosa Penyakit .................................................................. 24
3.6 Terapi ...................................................................................... 24
3.7 Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi ............................ 26
BAB IV PEMBAHASAN ........................................................................... 33
4.1 Pembahasan............................................................................. 33
4.2 Pengkajian Tepat Pasien ......................................................... 36
4.3 Pengkajian Tepat Indikasi dan Tepat Obat ............................. 37
4.4 Pengkajian Tepat Dosis........................................................... 38
4.5 Pengkajian Waspada Efek Samping Obat dan Interaksi

vi
Obat ...................................................................................... 40
4.6 Edukasi Pasien ........................................................................ 41
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 42
5.1 Kesimpulan ............................................................................. 42
5.2 Saran ...................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 43

vii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk

mengindentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah terkait obat. Tuntutan

pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian,

mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada

produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi kepada pasien

(patient oriented) dengan filosofi pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care)

(Menkes RI, 2016).

Apoteker khususnya yang bekerja di rumah sakit dituntut untuk

merealisasikan perluasan paradigma pelayanan kefarmasian dari orientasi produk

menjadi orientasi pasien. Untuk itu kompetensi apoteker perlu ditingkatkan secara

terus-menerus agar perubahan paradigma tersebut dapat diimplementasikan

(Menkes RI, 2016).

Visite pasien merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap baik yang

dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk

mengamati kondisi klinis pasien secara langsung. Tujuannya adalah menilai

rasionalitas penggunaan obat dengan evaluasi penggunaan obat untuk menjamin

obat-obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman, dan terjangkau oleh pasien

(Menkes RI, 2016).

Drug Related Problems (DRPs) merupakan kejadian yang tidak diinginkan

yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat. Penelitian di

University of Tolouse Perancis, menemukan bahwa 8,37% penyebab orang dirawat

1
inap dirumah sakit adalah karena reaksi obat yang merugikan yang merupakan salah

satu dari Drug Related Problems (DRPs) (Olivier, dkk., 2009). Penelitian lain di

University of Leicester Inggris menunjukan bahwa dari jumlah total pasien yang

diteliti, 14% nya mengalami Drug Related Problems (DRPs) (Yarda, 2010).

Diabetes mellitus merupakan penyakit degeneratif yang diperkirakan

prevalensinya akan terus meningkat. Pada tahun 2003 World Health Organization

mengatakan bahwa prevalensi diabetes didunia diperkirakan 194 juta penderita dan

jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 335 juta penderita pada tahun

2025. Kenaikan jumlah penderita diabetes ini disebabkan oleh pola hidup yang

santai dan pola makan penduduk yang tidak seimbang. Indonesia merupakan negara

dengan penderita diabetes terbanyak ke 4 di dunia setelah Cina, India dan Amerika

Serikat. Di tahun 2000 di Indonesia terdapat 8,4 juta penderita diabetes dan

diperkirakan akan mengalami peningkatan menjadi 21,3 juta penderita pada tahun

2030 (Soegondo, dkk., 2004).

Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular dimana

penderita memiliki tekanan darah diatas normal. Penyakit ini diperkirakan telah

menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5 %, dan

prevalensinya hampir sama besar di negara berkembang maupun di negara maju

(Depkes, 2006). Menurut World Health Organization (WHO) prevalensi hipertensi

setiap tahun makin meningkat. Pada tahun 2000 sekitar 972 juta orang atau 26,4%

penduduk diseluruh dunia menderita hipertensi. Sebanyak 333 juta atau 34,26%

berada di negara maju dan 639 juta atau 65,74% berada di negara berkembang

termasuk di Indonesia.

2
Vertigo adalah keluhan yang sering dijumpai dalam praktek yang

digambarkan sebagai rasa berputar, pening, tak stabil (giddiness, unsteadiness) atau

pusing (dizziness). Pasien yang mengalami vertigo vestibular, 75% mendapatkan

gangguan vertigo perifer dan 25% mengalami vertigo sentral (Chaker, et al., 2012).

Di Indonesia angka kejadian vertigo sangat tinggi, pada tahun 2010 dari usia

40 sampai 50 tahun sekitar 50% yang merupakan keluhan nomor tiga paling sering

dikeluhkan oleh penderita yang datang ke praktek umum, setelah nyeri kepala, dan

stroke. Umumnya vertigo ditemukan sebesar 15% dari keseluruhan populasi dan

hanya 4% – 7% yang diperiksakan ke dokter (Sumarilyah, 2010).

Berdasarkan penjelasan di atas maka dilakukan studi pengkajian

penggunaan obat pada pasien DM tipe 2, hipertensi dan vertigo rawat inap di

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan untuk mengetahui apakah

terjadi apakah terjadi DRP pada pasien.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari studi kasus ini adalah:

a. Memantau rasionalitas penggunaan obat pada pasien dengan diagnosa Diabetes

Melitus Tipe 2, Hipertensi dan Vertigo

b. Mengetahui terapi yang rasional terhadap pemilihan obat Diabetes Melitus Tipe

2, Hipertensi dan Vertigo

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan

metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar

gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, protein

sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat

disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel β

Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel

tubuh terhadap insulin (Depkes RI, 2005).

Diabetes Melitus disebut dengan the silent killer karena dapat mengenai

semua organ tubuh. Penyakit yang ditimbulkan antara lain gangguan penglihatan

mata, penyakit jantung, sakit ginjal, impotensi seksual, luka sulit sembuh dan

membusuk/gangren, infeksi paru-paru, gangguan pembuluh darah, stroke, dan

sebagainya (Fatimah, 2015).

2.1.2 Epidemiologi

Data dari berbagai studi global menyebutkan bahwa penyakit DM adalah

masalah kesehatan yang besar. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan jumlah

penderita diabetes dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017, sekitar 425 juta orang

dewasa menderita diabetes, kenaikan 4 kali lipat dari 108 juta di tahun 1980an.

Apabila tidak ada tindakan pencegahan maka jumlah ini akan terus meningkat tanpa

ada penurunan. Diperkirakan pada tahun 2045 meningkat menjadi 629 juta

penderita (IDF, 2017).

Berdasarkan data IDF 2014, jumlah penderita DM di Indonesia diperkirakan

sudah mencapai angka 9,1 juta orang penduduk. Data tersebut menjadikan

4
Indonesia menduduki peringkat ke-5 di dunia atau naik dua peringkat dibandingkan

data IDF tahun 2013 yang menempati peringkat ke-7 di dunia dengan 7,6 juta orang

penderita DM (Perkeni, 2015).

Menurut WHO, pada tahun 2014, 8,5% dari orang dewasa berusia 18 tahun

dan lebih tua menderita DM. Pada tahun 2012, DM menjadi penyebab utama dari

1,5 juta kematian. Prevalensi penyakit DM di dunia terus meningkat, pada tahun

1995 prevalensinya 4,0% dan diperkirakan pada tahun 2025 menjadi 5,4%. Data

WHO menyebutkan, angka kejadian DM di Indonesia mendekati 4,6%, padahal di

negara berkembang DM menyerang masyarakat yang ada pada usia produktif, yaitu

sekitar 45 sampai 65 tahun. Kurang lebih 67.000 orang mengalami amputasi

ekstremitasi bawah setiap tahunnya, dan 75% pasien meninggal dengan DM tipe 2

karena gangguan kardiovaskuler (Triplitt dan Reasner, 2011).

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2019, diabetes dapat

diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori berikut:

a. Diabetes melitus tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 sebelumnya disebut dengan istilah diabetes

tergantung insulin (insulin-dependent diabetes) atau diabetes yang muncul sejak

kanak-kanak atau remaja (juvenile-onset diabetes) (ADA, 2019). Walaupun bentuk

diabetes ini biasanya muncul pada anak-anak dan remaja ini juga dapat muncul pada

usia berapa saja (Triplitt dan Reasner, 2011).

b. Diabetes Melitus tipe 2

Diabetes Melitus tipe 2 sebelumnya dikenal dengan istilah diabetes yang

tidak tergantung insulin (non-insulin-dependent diabetes) atau diabetes yang

5
muncul setelah dewasa (adult-onset) (ADA, 2019). Diabetes tipe ini ditandai

dengan resistensi insulin dan berkurangnya sekresi insulin secara progresif dari

waktu ke waktu. Timbulnya DM tipe 2 dikaitkan dengan pola gaya hidup yang

buruk seperti kurangnya olahraga, obesitas dan diet tinggi lemak dan rendah serat

(Triplitt dan Reasner, 2011).

c. Diabetes Melitus Gestasional (Gestational Diabetes Mellitus/ GDM)

Diabetes melitus gestasional didefinisikan sebagai intoleransi glukosa yang

pertama kali dikenali selama kehamilan (ADA, 2019). Diabetes ini biasanya

berlangsung hanya sementara atau temporer. Walaupun umumnya GDM kelak

dapat pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk

terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain

malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan

meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah

menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa

depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut

(Depkes RI, 2005).

d. Diabetes Tipe Spesifik Lain

Diabetes tipe spesifik lain adalah diabetes melitus yang muncul karena fakor

lain seperti sindrom diabetes monogenik (seperti neonatal diabetes dan maturity-

onset diabetes of the young (MODY)), penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic

fibrosis dan pankreatitis), dan obat atau bahan kimia yang menginduksi diabetes

(seperti penggunaan glukokortikoid pada pengobatan HIV/AIDS atau setelah

transplantasi organ) (ADA, 2019).

2.1.4 Gejala Klinik Diabetes Melitus

6
Penyakit diabetes ditandai dengan gejala klasik berupa poliuria (banyak

berkemih), polidipsia (banyak minum) dan polifagia (banyak makan/ mudah lapar).

Disamping meningkatnya kadar gula darah, diabetes bercirikan adanya gula dalam

kemih (glycosuria). Hal ini karena glukosa yang diekskresikan mengikat banyak

air. Akibatnya timbul rasa haus, kehilangan energi, turunnya berat badan tanpa

sebab yang jelas serta rasa letih (Tan dan Rahardja, 2013).

Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak

anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang

seringkali sangat mengganggu (priuritis) (Depkes RI, 2005).

2.1.5 Etiologi dan Patofisiologi Diabetes Melitus

Kasus DM tipe 1 berkisar antara 5-10% dari seluruh populasi penderita

diabetes. Diabetes tipe ini terjadi karena destruksi autoimun dari sel β pankreas

(ADA, 2019). Proses autoimun diperantarai oleh makrofag dan limfosit T dengan

autoantibodi yang bersirkulasi ke berbagai antigen sel β (misalnya antibodi sel islet,

antibodi insulin) (Sukandar, dkk., 2013).

Diabetes tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak

penderitanya dibandingkan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95%

dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun,

tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak

populasinya meningkat (Depkes RI, 2005). Diabetes tipe ini biasanya ditandai

dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Resistensi insulin ditandai

dengan peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi

glukosa hepatik dan penurunan pengambilan glukosa pada otot skelet. (Sukandar,

dkk., 2013).

7
2.1.6 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara

enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat

dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan

glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM

perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan

yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi

pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada.

Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM

digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa

terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma

puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam

<140 mg/dL

8
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -

jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100

mg/dL

 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan

HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 2.2 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan prediabetes.

Tabel 2.3 Cara pelaksanaan TTGO:

(PERKENI, 2015)

9
2.1.7 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Gambar 1 Algoritme Pengelolaan DM Tipe 2 (PERKENI, 2015)

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan

morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2

target utama, yaitu:

a. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal

b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes

(Depkes RI, 2005).

Pada dasarnya terdapat dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes

yaitu sebagai berikut:

1. Terapi Non Farmakologi

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.

Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi seimbang dalam hal

10
karbohidrat, protein dan lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan,

status gizi, umur, stress akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk

mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah

dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki sel-sel β terhadap

stimulus glukosa (Depkes RI, 2005).

Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah

tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olahraga berat, olahraga ringan asal dilakukan

secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Beberapa contoh

olahraga yang disarankan antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang dan

lain sebagainya. Olahraga akan memperbanyak julah dan meningkatkan aktivitas

reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Depkes

RI, 2005).

2. Terapi Farmakologi

A. Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi

menjadi 5 golongan yaitu:

a. Pemacu sekresi insulin (insulin secretagogues)

i. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi

insulin oleh sel β pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan

peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonilurea pada pasien

dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati dan ginjal)

(Perkeni, 2015). Obat yang termasuk golongan ini yaitu glibenklamid,

gliklazid, glipizid, glikuidon dan glimepiride (Tan dan Rahardja, 2013).

11
ii. Meglitinid

Golongan ini terdiri dari repaglinid dan nateglinid. Mekanisme

kerjanya sama dengan sulfonilurea tetapi struktur kimianya sangat berbeda.

Golongan ini merangsang insulin dengan menutup kanal kalium yang ATP-

independent di sel β pankreas (Suherman dan Nafrialdi, 2012).

b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin

i. Biguanida

Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah metformin. Berbeda

dengan sulfonilurea, metformin tidak menstimulasi pelepasan insulin dan

umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia. Metformin menurunkan

produksi glukosa di hati dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan

adipose terhadap insulin (Suherman dan Nafrialdi, 2012).

ii. Tiazolidindion

Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator

Activator Receptor-γ (PPAR-γ), suatu reseptor inti yang terdapat di sel otot,

lemak dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi

insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga

meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer (Perkeni, 2015). Obat

yang termasuk golongan ini adalah rosiglitazon dan pioglitazon (Tan dan

Rahardja, 2013).

c. Penghambat absorpsi glukosa di saluran pencernaan

Inhibitor enzim α-glukosidase

Obat golongan ini memperlambat absorpsi polisakarida (starch),

dekstrin dan disakarida di usus halus, sehingga mempunyai efek

12
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Karena kerjanya tidak

mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan menyebabkan efek samping

hipoglikemia. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah akarbose

(Suherman dan Nafrialdi, 2012).

d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-

IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang

tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi

insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung pada kadar glukosa darah

(glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah sitagliptin dan

linagliptin (Perkeni, 2015).

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes

oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli

distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2.

Obat yang termasuk golongan ini antara lain: canagliflozin, empagliflozin,

dapagliflozin, ipragliflozin (Perkeni, 2015).

B. Insulin

Insulin masih merupakan obat utama untuk DM tipe I dan beberapa jenis

DM tipe II. Suntikan insulin dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti

intravena, intramuskular, dan umumnya pada penggunaan jangka panjang lebih

disukai pemberian subkutan (Suherman dan Nafrialdi, 2012).

Jenis-jenis insulin:

1. Insulin kerja ultra pendek (rapid acting insulin)

13
Insulin kerja ultra pendek mempuyai daya absorpsi pada tempat suntikan

lebih cepat (90% dalam 100 menit) dibandingkan dengan insulin regular (90%

dalam 150 menit), onset kerja lebih cepat, puncak konsentrasi lebih tinggi dan lebih

dini, serta lama kerja lebih singkat. Contohnya insulin aspart dan insulin glulisine

dengan onset 15-30 menit dan masa kerja maksimum 5-6 jam. Insulin lispro dengan

onset 15-30 menit dan masa kerja maksimum 4-6 jam (Triplitt dan Reasner, 2011).

2. Insulin kerja pendek (short acting insulin)

Potensi dan efek hipoglikemia insulin kerja pendek atau insulin regular,

hampir sama dengan insulin kerja ultra pendek. Selain dapat diberikan subkutan,

insulin regular adalah insulin yang dapat diberikan secara intravena, oleh karena itu

insulin ini biasa dipakai untuk mengatasi keadaan akut seperti ketoasidosis, pasien

baru, dan tindakan bedah (Deliana, dkk., 2007). Contohnya adalah insulin regular

yang memiliki onset 0,5-1 jam dengan masa kerja maksimum 6-8 jam (Triplitt dan

Reasner, 2011).

3. Insulin kerja menengah (intermediate insulin)

Insulin kerja menengah mempunyai onset yang lambat dan masa kerja yang

panjang tetapi masih kurang dari 24 jam. Insulin jenis ini dapat digunakan dua kali

sehari. Contohnya adalah insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn) dengan onset

2-4 jam dan masa kerja maksimum 14-18 jam (Triplitt dan Reasner, 2011).

4. Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Mengingat masa kerja yang panjang, maka pemakaian insulin ini cukup

diberikan satu kali dalam satu hari. Penggunaan insulin kerja panjang secara

bermakna mengurangi kejadian hipoglikemia pada malam hari (nocturnal

hypoglycemia). Penggunaan insulin ini juga secara bermakna dapat menurunkan

14
kadar HbA1c serta frekuensi terjadinya hipoglikemia. Contohnya adalah insulin

detemir dengan onset 2 jam dan masa kerja maksimum 24 jam. Kemudian insulin

glargine dengan onset 4-5 jam dan masa kerja maksimum 24 jam (Triplitt dan

Reasner, 2011).

2.2 Hipertensi

2.2.1 Definisi hipertensi

Hipertensi adalah salah satu penyakit dengan kondisi medis yang beragam.

Kebanyakan pasien hipertensi etiologi patofisiologinya tidak diketahui atau yang

dikenal sebagai hipertensi primer (Depkes RI, 2006). Hipertensi merupakan

penyakit tekanan darah tinggi di atas batas normal (120/80 mmHg) (Scanlon,2007).

Klasifikasi tekanan darah menurut JNC (Joint National Commitee) VII 2003 dapat

dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.3 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII (NIH, 2003).
Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik
Klasifikasi
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 <80
Pre Hipertensi 120-139 80-89
Stage I 140-159 90-99
Stage II ≥160 ≥100

Klasifikasi tekanan darah yang telah dirilis oleh JNC VIII pada tahun 2013

masih merujuk klasifikasi tekanan darah JNC VII. Tetapi, manajemen terapi

hipertensi dalam JNC VIII lebih berdasarkan Evidence Based Medicine (EBM),

komplikasi penyakit, ras dan riwayat penderita. Target tekanan darah pada

managemen terapi hipertensi dalam JNC VIII bergantung pada komplikasi penyakit

penderita (James, et al., 2014).

15
Berdasarkan etiologi patofisiologinya hipertensi dapat dibedakan menjadi

hipertensi primer (essensial) yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di control

dan kelompok penderita hipertensi lain dari populasi dengan persentase rendah

mempunyai penyebab yang khusus yang dikenal sebagai hipertensi sekunder (non

essensial). Banyak faktor penyebab hipertensi sekunder, endogen maupun eksogen.

Bila penyebab penderita hipertensi sekunder dapat diidentifikasi maka

kemungkinan dapat disembuhkan secara potensial (Depkes RI, 2006).

2.2.1.1 Hipertensi Primer

Hipertensi primer juga disebut hipertensi essensial atau hipertensi idiopatik.

Lebih dari 90% kasus merupakan hiprtensi primer. Penyebabnya multifaktorial

meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan

terhadap natrium, kepekaan terhadap stres, reaktivitas pembuluh darah terhadap

vasokonstriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor

lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stres emosi, obesitas dan lain-lain

(Gunawan, 2007).

2.2.1.2 Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder meliputi 5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam

kelompok ini antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal),

hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obatan dan lain-lain (Gunawan,

2007). Penyakit ginjal merupakan penyebab penyakit hipertensi sekunder yang

paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat

menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan

darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan

obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi penyakit lain yang

16
menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi

sekunder (Depkes RI, 2006).

2.2.2 Patofisiologi Hipertensi

Banyak faktor patofisiologi yang telah dihubungkan dalam penyebab

hipertensi seperti meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik, mungkin

berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap stress psikososial, produksi

berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor, asupan natrium

(garam) berlebihan, tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium, meningkatnya

sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi angiotensin II dan

aldosteron dan defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan

peptide natriuretik (Depkes RI, 2006).

Gambar 2 Patogenesis hipertensi (Dipiro, et all, 2008)

Korteks adrenal adalah bagian ginjal yang memproduksi hormon mineral

kortikoid dan glukokortikoid, yaitu aldosteron dan kortisol. Kelebihan aldosteron

17
akan meningkatkan reabsorpsi air dan natrium, sedangkan kelebihan kortisol

meningkatkan sintesa epinefrin dan norepinefrin yang bertindak sebagai

vasokonstriktor pembuluh darah. Secara tidak langsung, ini akan mempengaruhi

peningkatan volume darah, curah jantung dan menyebabkan peningkatan tahanan

perifer total (Dipiro, et al., 2008).

2.2.3 Farmakoterapi Hipertensi

Gambar 3 JNC 8 Algoritma Guideline Hipertensi (JNC VIII,2013)

Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan

morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ target seperti gagal jantung,

penyakit jantung koroner, stroke atau penyakit ginjal kronik. Target nilai tekanan

darah yang di rekomendasikan adalah <140/90 mmHg untuk pasien dengan tanpa

komplikasi, <130/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit komplikasi (NIH, 2003).

Menurut JNC VIII (2013), target penurunan tekanan darah berbeda-beda pada

pasien hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit dan ras penderita hipertensi.

18
Pasien hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk

mencapai tekanan darah target terapi. Penambahan regimen obat dari kelas yang

berbeda dimulai apabila penggunaan obat tunggal dengan dosis lazim gagal

mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Apabila tekanan darah melebihi

20/10 mmHg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan

dua obat. Yang harus diperhatikan adalah risiko untuk hipotensi ortostatik, terutama

pada pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia (Depkes

RI,2006).

2.2.3.1 Terapi Non Farmakologi

Terapi ini dapat dilakukan dengan mengubah gaya hidup seseorang. Semua

pasien dan individu dengan riwayat keluarga hipertensi perlu dinasehati mengenai

gaya hidup, seperti menurunkan kegemukan, asupan garam (total, < 5 g/hari),

asupan lemak jenuh dan alkohol (pria < 21 unit dan perempuan < 14 unit per

minggu), banyak makan buah dan sayuran, tidak merokok dan berolah raga yang

teratur, semua ini terbukti dapat merendahkan tekanan darah dapat menurunkan

penggunaan obat-obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

2.2.3.2 Terapi Farmakologi

Selain cara non farmakologi, penatalaksanaan utama hipertensi adalah obat.

Keputusan untuk memulai memberikan obat antihipertensi berdasarkan beberapa

faktor seperti derajat peninggian tekanan darah, terdapatnya kerusakan organ target,

dan terdapatnya manifestasi klinis penyakit kardiovaskular atau faktor risiko lain.

Adapun obat-obat yang digunakan adalah: Diuretics, Angiostensin Converting

Enzyme Inhibitor (ACE Inhibitor), Angiostensin Reseptor Blocker (ARB), Beta

19
Blocker (BBs), Calcium Chanel Blocker (CCB) (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,

2006).

2.2.3.3 Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Hipertensi

Secara umum diperkirakan hipertensi dijumpai dua kali lebih banyak pada

populasi diabetes dibanding non diabetes. Hipertensi diketahui mempercepat dan

memperberat penyulit-penyulit akibat diabetes seperti penyakit jantung koroner,

stroke, nefropati diabetik, retinopati diabetik, dan penyakit kardiovaskular akibat

diabetes, yang meningkat dua kali lipat bila disertai hipertensi. Hipertensi

merupakan faktor utama dari harapan hidup dan komplikasi pada pasien diabetes

dan menentukan evaluasi dari nefropati dan retinopati penderita diabetes

khususnya. Adapun salah satu penyebab terjadinya hipertensi adalah resistensi

insulin/hiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin telah

diketahui sejak beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin

merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar ketekolamin dan reabsorpsi

natrium (Saseen dan Carter, 2005).

Hubungan antara diabetes tipe 2 dan hipertensi lebih kompleks dan tidak

berkaitan dengan nefropati. Pada pasien diabetes tipe 2, hipertensi seringkali bagian

dari sindrom metabolik dari resistensi insulin. Hipertensi mungkin muncul selama

beberapa tahun pada pasien ini sebelum diabetes mellitus muncul. Hiperinsulinemia

memperbesar patogenesis hipertensi dengan menurunkan ekskresi sodium pada

ginjal, aktivitas stimulasi dan tanggapan jaringan pada sistem saraf simpatetik, dan

meningkatkan resistensi sekeliling vaskular melalui hipertropi vaskular.

Penatalakasanaan yang giat dari hipertensi

20
2.2.3.4 Penatalaksanaan Terapi pada Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan

Komplikasi Hipertensi

1. Terapi Non Farmakologi

Tujuan pengobatan hipertensi pada diabetes adalah untuk mengurangi

morbiditas dan mortalitas akibat diabetes sendiri dan akibat hipertensinya. Dalam

penanganan diabetes dengan komplikasi hipertensi, diperlukan perhatian khusus

seperti nefropati, retinopati, gangguan serebrovaskular, obesitas, hiperinsulinemia,

hipokalemia, hiperkalemia, impotensi penyakit vaskuler perifer, neuropati

autonom, dan dislipidemia. Pengobatan non farmakologi berupa pengurangan

asupan garam, penurunan berat badan untuk pasien gemuk, dan berolah raga

(Saseen dan Carter, 2005).

2. Terapi Farmakologi

Penanggulangan farmakologi dilakukan secara individual dengan

memperhatikan berbagai aspek pasien. Oleh karena penyandang diabetes mellitus

mempunyai kelainan metabolik, hal ini harus diperhatikan dalam pemilihan obat.

Obat antihipertensi yang ideal untuk penyandang diabetes mellitus sebaiknya

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Efektif menurunkan tekanan darah.

2. Tidak mengganggu toleransi glukosa atau mengganggu respons terhadap

hipohiperglikemia.

3. Tidak mempengaruhi fraksi lipid.

4. Tidak menyebabkan hipotensi postural, tidak mengurangi aliran darah tungkai,

tidak meningkatkan risiko impotensi.

5. Bersifat kardio-protektif dan reno-protektif (Saseen dan Carter, 2005).

21
Adapun obat yang digunakan untuk pasien hipertensi dengan diabetes

mellitus adalah senagai berikut:

1. Angiostensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor

ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan menghambat perubahan

angiostensin I menjadi angiostensin II, dimana angiostensin II adalah

vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron (Ditjen Bina

Farmasi dan Alkes, 2006). ACE inhibitor sangat dianjurkan dalam mengendalikan

diabetes. Obat ini merupakan pilihan utama untuk penyakit hipertensi dengan

kondisi diabetes. Rekomendasi ini berdasarkan fakta yang menunjukan penurunan

hipertensi yang berhubungan dengan komplikasi, termasuk penderita sakit jantung,

peningkatan penyakit ginjal, dan stroke. Terapi ACE inhibitor mungkin merupakan

bahan antihipertensif yang sangat penting bagi pasien diabetes (Saseen dan Carter,

2005).

ACE inhibitor amat berguna untuk nefropati diabetik, dimana dilatasi

arteriol eferen memperlambat penurunan progresif fungsi ginjal dan dapat

mengurangi proteinuria juga dapat memperbaiki sensivitas insulin dan tanpa efek

pada lipid atau asam urat dalam serum (Saseen dan Carter, 2005). Contoh obat-obat

golongan ini yaitu Captropil, Lisinopril, Ramipril, Enalapril, Tanapres (Ditjen Bina

Farmasi dan Alkes, 2006).

2. Angiostensin II Reseptor Blocker (ARB)

ARB menurunkan tekanan darah dengan menghambat secara langsung

reseptor angiostensin II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstrisi,

pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan

konstriksi arteriol efferent dari glomelurus ( Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

22
ARB mempunyai kemiripan dengan ACE inhibitor yaitu merupakan obat

pilihan pertama dalam pengobatan hipertensi dengan diabetes. ARB lebih disukai

sebagai bahan pertama untuk mengontrol hipertensi dengan diabetes. Secara

farmakologis, ARB akan memberikan nepropoteksi pada vasodilasi dalam efferent

arteriol dari ginjal selain itu ARB juga meningkatkan sensifitas insulin ( Ditjen Bina

Farmasi dan Alkes, 2006).

ARB digunakan untuk mengurangi progresi pada diabetik nefropati,

diabetes mellitus tipe 2 dengan protenuria dan kejadian penyakit ginjal. ARB

merupakan antihipertensi yang menunjukkan bukti pengurangan kerusakan ginjal

pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan nefropati (Saseen dan Carter, 2005).

Contoh obat-obat golongan ini yaitu Valsartan, Losartan, Irbesartan, Telmisartan,

Olmesartan (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

3. CCB (Calcium Chanel Blocker)

CCB direkomendasikan sebagai pilihan untuk merawat hipertensi pada

pasien diabetes. CCB tidak mempengaruhi sensivitas insulin atau metabolisme

glukosa dan nampak menjadi obat antihipertensif yang ideal untuk pasien diabetes

dan hipertensi. Bagaimanapun bukti menunjukkan penurunan kardiovaskular

dengan CCB pada pasien diabetes tidak meyakinkan sebagaimana antihipertensif

yang lain (diuretic, beta blocker, ACE inhibitor, dan ARB) (Sassen dan Carter,

2005).

Target tekanan darah pada pasien diabetes adalah < 130/80 mmHg karena

kebanyakan pasien diabetes membutuhkan tiga atau lebih antihipertensif untuk

mencapai tujuan ini, CCB merupakan bahan yang berguna dalam populasi ini,

khususnya bila dikombinasi dengan bahan lain (Saseen dan Carter, 2005).

23
Contoh obat-obat golongan ini yaitu Amlodipin, Felodipin, Nifedipin,

Diltiazem, dan Verapamil (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

4. Diuretics

Diuretik hemat kalium bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus

kolingentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorbsi natrium dan sekresi

kalium dengan jalan antagonisme kompetitif. Contoh diuretik hemat kalium adalah

spironolakton. Diuretik ini menyebabkan diuresis tanpa menyebabkan kehilangan

kalium dalam urin (Saseen dan Carter, 2005).

5. Beta Bocker (β-blocker)

Beta Blocker ditujukan untuk resiko kardiovaskular pada pasien diabetes,

dan bahan ini digunakan ketika dibutuhkan. Beta Blocker telah ditunjukan paling

tidak pada satu studi menjadi sama efektif dengan ACE Inhibitor dalam hal

perlindungan terhadap morbiditas dan mortalitas pasien diabetes (Saseen dan

Carter, 2005).

Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat beta yang

kardioselektif, jadi lebih aman daripada penyekat beta yang nonselektif pada

penyakit arteri perifer dan diabetes yang karena alasan khusus harus diberi penyekat

beta. Tetapi kardioselektif adalah fenomena yang tergantung dosis. Pada dosis yang

lebih tinggi, penyekat beta yang kardioselektif kehilagan selektifitas relatifnya

untuk reseptor beta-1 dan akan memblok reseptor beta-2 seefektif memblok

reseptor beta-1 (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

2.3 Vertigo

2.3.1 Definisi Vertigo

24
Vertigo adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Latin “ Vertere “ yang

berarti memutar. vertigo seringkali dinyatakan sebagai rasa pusing, sempoyongan,

rasa melayang, badan atau dunia sekelilingnya berputar – putar dan berjungkir balik

(Pirawati dan Siboe, 2004).

2.3.2 Klasifikasi Vertigo

1) Vertigo Sistematis/Vestibuler

a) Vertigo Perifer

Vertigo perifer merupakan vertigo yang kelainan dapat berasal darikelainan

di perifer seperti di telinga atau saraf vestibular. Durasi serangan pada vertigo

perifer ini dapat berbeda-beda. Episode (serangan) dapat berlangsung selama

beberapa detik, menit atau jam, bahkan dapat berlangsung sampai beberapa hari

hingga beberapa minggu.

Etiologi dari vertigo perifer diantaranya:

(1) Telinga bagian luar : serumen, benda asing

(2) Telinga bagian tengah: retraksi membran timpani, otitis media purulenta akuta,

otitis media dengan efusi, labirintitis, kolesteatoma, rudapaksa dengan perdarahan

(3) Telinga bagian dalam: labirintitis akuta toksika, trauma, serangan vaskular,

alergi, hidrops labirin (morbus Meniere), mabuk gerakan, vertigo postural

(4) Nervus VIII. : infeksi, trauma, tumor

(5) Inti Vestibularis: infeksi, trauma, perdarahan, trombosis arteria serebeli

posterior inferior, tumor, sklerosis multipleks (Pirawati dan Siboe, 2004).

b) Vertigo Sentral

Vertigo sentral dapat diakibatkan oleh kelainan pada batang otak,

cerebellum, thalamus, atau cortex cerebri, dan dapat diakibatkan oleh infark,

25
transient ischemia, perdarahan, tumor, penyakit demyelinasi, atau Chiari

malformation (Mong, et al., 1999).

2) Vertigo Nonsistematis/Nonvestibuler

Penyebab vertigo nonvestibular diantaranya:

a) hipoksia iskemia otak seperti hipertensi kronis, arteriosklerosis, anemia,

hipertensi kardiovaskular

b) kelainan endokrin: hipotiroid, hipoglikemi, hipoparatiroid, tumor medula

adrenal, keadaan menstruasi-hamil-menopause

c) kelainan psikiatrik: depresi, neurosa cemas, sindrom hiperventilasi, fobia.

d) kelainan mata: kelainan proprioseptik.

e) Intoksikasi (Suratno, 2004).

2.3.3 Patofisiologi

Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan

tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya

dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Menurut Wreksoatmodjo

(2004), ada beberapa teori yang dapat menerangkan terjadinya vertigo, yaitu:

1) Teori rangsang berlebihan (overstimulation)

Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan

menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu;

akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.

2) Teori Konflik Sensorik

Dalam keadaan normal, informasi untuk alat keseimbangan tubuh

ditangkap oleh tiga jenis reseptor, yaitu reseptor vestibuler, penglihatan, dan

propioseptik. Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang

26
berasal dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu antara mata/visus, vestibulum

dan proprioseptik, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik dari sisi kiri

dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral

sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata),

ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang,

berputar (yang berasal dari sensasi kortikal).

3) Teori neural mismatch

Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik. Menurut teori

ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu; sehingga jika

pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang

telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola gerakan yang

baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga

berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala

4) Teori Otonomik

Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha

adaptasi gerakan/perubahan posisi; gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu

dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.

5) Teori Sinap

Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan

neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses

adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan

memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor). Peningkatan kadar CRF

selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya

mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistem saraf

27
parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering timbul

berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang

berkembang menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat

akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.

2.3.4 Terapi Vertigo

Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita seringkali

merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali

menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi.

Sebagian besar kasus terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu. Beberapa

golongan yang sering digunakan :

1. Antihistamin

Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo.

Antihistamin yang dapat meredakan vertigo seperti obat dimenhidrinat,

difenhidramin, meksilin, siklisin. Antihistamin yang mempunyai anti vertigo

juga memiliki aktivitas antikholinergik di susunan saraf pusat. Mungkin sifat anti-

kholinergik ini ada kaitannya dengan kemampuannya sebagai obat antivertigo.

Efek samping yang umum dijumpai ialah sedasi (mengantuk). Pada penderita

vertigo yang berat efek samping ini memberikan dampak yang positif.

 Betahistin

Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat meningkatkan

sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk mengatasi gejala vertigo. Efek

samping Betahistin ialah gangguan di lambung, rasa enek, dan sesekali “rash” di

kulit.

 Betahistin Mesylate (Merislon)

28
Dengan dosis 6 mg (1 tablet) – 12 mg, 3 kali sehari per oral.

 Betahistin di Hcl (Betaserc)

Dengan dosis 8 mg (1 tablet), 3 kali sehari. Maksimum 6 tablet dibagi dalam

beberapa dosis.

 Dimenhidrinat (Dramamine)

Lama kerja obat ini ialah 4 – 6 jam. Dapat diberi per oral atau parenteral

(suntikan intramuscular dan intravena). Dapat diberikan dengan dosis 25 mg – 50

mg (1 tablet), 4 kali sehari. Efek samping ialah mengantuk.

 Difhenhidramin Hcl (Benadryl)

Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam, diberikan dengan dosis 25 mg (1 kapsul) –

50 mg, 4 kali sehari per oral. Obat ini dapat juga diberikan parenteral. Efek

samping mengantuk.

2. Antagonis Kalsium

Dapat juga berkhasiat dalam mengobati vertigo. Obat antagonis kalsium

Cinnarizine (Stugeron) dan Flunarizine (Sibelium) sering digunakan. Merupakan

obat supresan vestibular karena sel rambut vestibular mengandung banyak

terowongan kalsium. Namun, antagonis kalsium sering mempunyai khasiat lain

seperti anti kholinergik dan antihistamin. Sampai dimana sifat yang lain ini

berperan dalam mengatasi vertigo belum diketahui.

 Cinnarizine (Stugerone)

Mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular. Dapat mengurangi respons

terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya ialah 15 – 30 mg, 3

kali sehari atau 1 x 75 mg sehari. Efek samping ialah rasa mengantuk (sedasi),

rasa cape, diare atau konstipasi, mulut rasa kering dan “rash” di kulit.

29
3. Fenotiazine

Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti muntah).

Namun tidak semua mempunyai sifat anti vertigo. Khlorpromazine (Largactil) dan

Prokhlorperazine (Stemetil) sangat efektif untuk nausea yang diakibatkan oleh

bahan kimiawi namun kurang berkhasiat terhadap vertigo.

 Promethazine (Phenergan)

Merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif mengobati vertigo. Lama

aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam. Diberikan dengan dosis 12,5 mg – 25 mg

(1 draze), 4 kali sehari per oral atau parenteral (suntikan intramuscular atau

intravena). Efek samping yang sering dijumpai ialah sedasi (mengantuk),

sedangkan efek samping ekstrapiramidal lebih sedikit disbanding obat Fenotiazine

lainnya.

 Khlorpromazine (Largactil)

Dapat diberikan pada penderita dengan serangan vertigo yang berat dan akut. Obat

ini dapat diberikan per oral atau parenteral (suntikan intramuscular atau

intravena). Dosis yang lazim ialah 25 mg (1 tablet) – 50 mg, 3 – 4 kali

sehari. Efek samping ialah sedasi (mengantuk).

4. Obat Simpatomimetik

Obat simpatomimetik dapat juga menekan vertigo. Salah satunya obat

simpatomimetik yang dapat digunakan untuk menekan vertigo ialah efedrin.

 Efedrin

Lama aktivitas ialah 4 – 6 jam. Dosis dapat diberikan 10 -25 mg, 4 kali sehari.

Khasiat obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi dengan obat anti vertigo

30
lainnya. Efek samping ialah insomnia, jantung berdebar (palpitasi) dan menjadi

gelisah – gugup.

5. Obat Penenang Minor

Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi kecemasan

yang diderita yang sering menyertai gejala vertigo. Efek samping seperti mulut

kering dan penglihatan menjadi kabur.

 Lorazepam

Dosis dapat diberikan 0,5 mg – 1 mg

 Diazepam

Dosis dapat diberikan 2 mg – 5 mg.

6. Obat Anti Kholinergik

Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas sistem

vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo.

 Skopolamin

Skopolamin dapat pula dikombinasi dengan fenotiazine atau efedrin dan

mempunyai khasiat sinergistik. Dosis skopolamin ialah 0,3 mg – 0,6 mg, 3 –

4 kali sehari.

7. Terapi medicinal kausatif

Terapi ini diberikan sesuai dengan penyebab vertigo seperti antimigren,

antiplatelet agregasi, antiepilepsi.

8. Terapi operatif

Terapi operatif yang diberikan diantaranya spondilosis servikalis, tumor

perdarahan cerebellum, tumor cerebellopontin, tumor ventrikel IV, BPPV, dan

Meniere sindrom (Suratno, 2004).

31
BAB III

PENATALAKSANAAN UMUM

3.1 Identitas Pasien

Nama :M

Jenis Kelamin : Perempuan

RM : 00.77.45.57

Tanggal Lahir/ Umur : 18/03/1969/ 50 tahun

Berat Badan/ Tinggi Badan : 70 kg/ 160 cm

Agama : Kristen Protestan

Mauk RS : 29/09/2019

Keluar RS : 05/10/2019

Ruangan/ Kelas : Anggrek 1 / VIP 1

Diagnosa : DM type II + Hipertensi + Vertigo Sentral

3.2 Riwayat Penyakit dan Pengobatan

3.2.1 Riwayat Penyakit Terdahulu

Hipertensi, DM dan Kolestrol

3.2.2 Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada

3.2.3 Riwayat Alergi

Tidak ada

32
3.2.4 Riwayat Pengobatan

Amlodipin, Metformin dan Simvastatin

3.3 Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan

Pasien masuk RSUD Dr. Pirngadi pada tanggal 29 September 2019 pukul

12.12 WIB dari Instalasi Gwat Darurat (IGD). Pasien datang dengan keluhan badan

lemas, kepala oyong sudah seminggu dan mual.

Pasien menerima penanganan awal dari tenaga edis dan mendapat terapi

obat saat di IGD yaitu:

 IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit

 Injeksi Ranitidin 1 ampul

 Injeksi Ondansentron 1 ampul

3.4 Hasil Pemeriksaan

Selama dirawat di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan, pasien telah menjakani

pemeriksaan yaitu pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium patologi klinik

yang meliputi pemeriksaan darah lengkap (hematologi) dan pemeriksaan kimia

klinik.

3.4.1 Pemeriksaan Fisik

Selama dirawat di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan, pasien telah menjakani

pemeriksaan yaitu pemeriksaan fisik. Hasil pemeriksaan Fisik ditunjukkan pada

Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Fisik


Tanggal BP HR RR T Skor
Sensorium
Pemeriksaan (mmHg) (x/menit) (x/menit) (⁰C) Nyeri
29/09/2019 Compos Mentis 130/80 84 22 36 3
30/09/2019 Compos Mentis 110/70 80 20 36,5 3
01/10/2019 Compos Mentis 130/80 80 20 37 3

33
02/10/2019 Compos Mentis 130/80 80 20 36.5 3
03/10/2019 Compos Mentis 130/80 80 20 37 3
04/10/2019 Compos Mentis 130/80 82 22 37 3
05/10/2019 Compos Mentis 120/80 80 22 36,5 3
Keterangan: BP = Blood Preasure, HR = Heart Rate, RR = Respiratory Rate, T =

Temperature.

3.4.2 Pemeriksaan Laboratorium

Selama dirawat di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan, pasien telah menjalani

pemeriksaan yaitu pemeriksaan laboratorium patologi klinik. Hasil pemeriksaan

patologi klinik ditunjukka pada Tabel 3.2 dan 3.3.

Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik


Hasil Laboratorium
No Parameter Rentang Normal
29/09/19
1 Leukosit (WBC) 4.0 – 11.0 [103 /𝜇L] 10.38
2 Eritrosit (RBC) 4.00 – 5.40 [106 /𝜇L] 4.67
3 Hemoglobin (HGB) 12 – 16 [g/dL] 12.2
4 Hematrokrit (HCT) 36.0 – 48.0 [%] 36.2
5 MCV 80.0 – 97.0 [fL] 77.5
6 MCH 27.0 – 33.7 [pg] 26.1
7 MCHC 31.5 – 35.0 [g/dL] 33.7
8 PLT 150 – 400 [103 /𝜇L] 326
9 RDW-CV 10.0 – 15.0 [%] 15.7
10 RDW-SD 35 – 47 [fL] 42.9
11 PDW 10.0 – 18.0 [fL] 11.1
12 MPV 6.5 – 11.0 [fL] 9.8
13 P-LCR 15.0 – 25.0 [%] 24.0
14 PCT 0.2 – 0.5 [%] 0.32
1 Neut % 50 – 70 [%] 73.4
2 Lymph % 20.0 – 40.0 [%] 19.1
3 Mono % 2.0 – 8.0 [%] 6.0

34
4 EO % 0.0 – 5.0 [%] 1.1
5 BASO % 0.0 – 1.0 [%] 0.4

3.3 Hasil Pemeriksaan Kimia Klinis


Hasil Laboratorium
Parameter Rentang Normal 29/09 30/09 01/10 02/10 03/10 04/10

SGOT 0.00 – 40.00 U/L 17.00


SGPT 0.00 – 40.00 U/L 19.00
Alkaline
30.00-142.00 U/L 83.00
Phospatase
Total Bilirubbin 0.00 – 1.20 mg/dL 0.33
Direct
00.05 – 0.30 mg/dL 0.11
Bilirubbin
Ureum 10.00 – 50.00 mg/dL 18.00
Creatinin 0.60 – 1.20 mg/dL 0.93
Uric Acid 3.50 – 7.00 mg/dL 4.50
Glukosa 257 241 202 230
<140 mg/dL 328
Adrandom
136.00 – 155.00
Natrium 143.0
mmol/ L
Kalium 3.50 – 5.50 mmol/L 4.10
95.00 – 103.00 110.0
Chlorida
mmol/L 0
Lipid Profile
140.00 – 200.00 162
Cholestrol Total
mg/dL
10.00 – 190.00 230
Trigliserida
mg/dL
HDL – 35
35.00 – 55.00 mg/dL
Cholestrol
LDL - 81
<190 mg/dL
Cholestrol
74.00 – 106.00 236
Gula Puasa
mg/dL
HbA1c <6.0% 12.48
Gula PP <140 mg/dL 273

35
3.5 Riwayat Pengobatan Pasien

Tabel 3.4 Pengobatan Pasien

Hari ke-2
Tanggal & Jam Hari ke-1 29/09/2019
No Nama Obat Signa Rute 30/09/2019
Mulai Stop I II III IV I II III IV
20
1 IVFD NaCl 0.9% IV 29/9 5/10 √ √ √ √ √ √ √ √
gtt/menit
1 amp/12
2 Inj. Ranitidin IV 29/9 5/10 10 23 04 16
jam
Inj. Ondansentron 8 1 amp/8
3 IV 29/9 5/10 10 19 03 16 24
mg jam
3x1
4 Sucralfat syr Oral 30/9 5/10 07. 20
sendok
5 Paracetamol 3 x 1 tab Oral 30/9 5/10 07 12 20
6 Betahistine 6 mg 1 x 1 tab Oral 30/9 02/9 20

36
Tabel 3.4 Pengobatan Pasien (Lanjutan)

Hari ke-3
Tanggal & Jam Hari ke-4 02/10/2019
No Nama Obat Signa Rute 01/10/2019
Mulai Stop I II III IV I II III IV
20
1 IVFD NaCl 0.9% IV 29/9 5/10 √ √ √ √ √ √ √ √
gtt/menit
1 amp/12
2 Inj. Ranitidin IV 29/9 5/10 04 16 04 16
jam
Inj. Ondansentron 8 1 amp/8
3 IV 29/9 5/10 08 16 24 08 16 24
mg jam
3x1
4 Sucralfat syr Oral 30/9 5/10 08 12 20 08 12 19
sendok
5 Paracetamol 3 x 1 tab Oral 30/9 5/10 08 12 20 08 12 19
6 Betahistine 6 mg 1 x 1 tab Oral 30/9 02/9 20 19
7 Amlodipine 5 mg 1 x 1 tab Oral 01/10 5/10 08 08
8 Glimepirid 2 mg 1 x 1 tab Oral 01/10 01/9 08
9 Glimepirid 4 mg 1 x 1 tab Oral 02/9 5/10 08
10 Inj. Lantus 1 x 14 iu Sc 01/9 03/10 22 22

37
Tabel 3.4 Pengobatan Pasien (Lanjutan)

Hari ke-5 Hari ke-6


Tanggal & Jam
No Nama Obat Signa Rute 03/10/2019 04/10/2019
Mulai Stop I II III IV I II III IV
1 IVFD NaCl 0.9% 20 gtt/menit IV 29/9 5/10 √ √ √ √ √ √ √ √
2 Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam IV 29/9 5/10 04 16 04 16
Inj. Ondansentron 8
3 1 amp/8 jam IV 29/9 5/10 08 16 24 08 16 24
mg
4 Sucralfat syr 3 x 1 sendok Oral 30/9 5/10 07 12 19 07 12 19
5 Paracetamol 3 x 1 tab Oral 30/9 5/10 07 12 19 07 12 19
6 Amlodipine 5 mg 1 x 1 tab Oral 30/9 5/10 07 07
7 Glimepirid 4 mg 1 x 1 tab Oral 02/10 5/10 07 07
8 Inj. Lantus 1 x 14 iu Sc 01/10 03/10 22
9 Betahistin 6 mg 3 x 1 tab Oral 04/10 5/10 07 12 20
10 Diazepam 2 mg 3 x 1 tab Oral 03/10 5/10 22 07 12 22
11 Pletal 100 mg 2 x 1 tab Oral 03/10 5/10 19 07 19

38
Tabel 3.4 Pengobatan Pasien (Lanjutan)

Tanggal & Jam Hari ke-7 05/10/2019


No Nama Obat Signa Rute
Mulai Stop I II III IV
20
1 IVFD NaCl 0.9% IV 29/9 5/10 √ √ √ √
gtt/menit
1 amp/12
2 Inj. Ranitidin IV 29/9 5/10 04
jam
Inj. Ondansentron 8 1 amp/8
3 IV 29/9 5/10 08
mg jam
3x1
4 Sucralfat syr Oral 30/9 5/10 07
sendok
5 Paracetamol 3 x 1 tab Oral 30/9 5/10 07
6 Amlodipine 5 mg 1 x 1 tab Oral 30/9 5/10 07
7 Glimepirid 4 mg 1 x 1 tab Oral 02/10 5/10 07
9 Betahistin 6 mg 3 x 1 tab Oral 04/10 5/10 07
10 Diazepam 2 mg 3 x 1 tab Oral 03/10 5/10 07
11 Pletal 100 mg 2 x 1 tab Oral 03/10 5/10 07
12 Metformin 500 mg 3 x 1 tab Oral 05/10 5/10 07

39
3.6 Pencatatan dan Pemantauan SOAP

Pencatatan dan Pemantauan SOAP pada tanggal 29 September – 5 Oktober

2019

SOAP FARMASI

HARI ke-1 tanggal 29 September 2019

Subjek Oyong, lemas, mual, nyeri kepala,

RPO: Amlodipin, Metformin dan Simvastatin,

RPT: Hipertensi, DM dan Kolestrol

Objek TD: 130/80 mmHg Gula adrandom: 328 mg/dL

RR: 22x/ menit HbA1c: 12,48%,

HR: 84x/ menit Skala nyeri: 3

T: 36⁰C Trigliserida: 230 mg/dL

Assesment Masalah terkait obat

 Pasien oyong dan nyeri kepala dapat disebabkkan oleh kadar

gula darah adrandom pasien yang tinggi, meskipun pasien

sudah diberi terapi OAD metformin karena HbA1C > 9%

namun belum diberikan terapi , sehingga perlu diberikan

terapi insulin sampai kadar gula normal tercapai

 Kadar Trigliserida pasien tinggi namun belum diberi terapi

Plan  Dipertimbangkan pemberian terapi untuk oyong dan nyeri

kepala Betahistine

 Dipertimbangkan pemberian terapi injeksi insulin 14 iu

 Dipertimbangkan pemberian terapi kolestrol Simvastatin

 Pantau kadar gula darah

40
 Pantau vital sign

Terapi obat yang diberikan:

 NaCl 0,9% 20 gtt/ menit

 Ranitidin 1 amp/ 12 jam

 Ondasentron 8 mg/ 8 jam

41
SOAP FARMASI

HARI ke-2 tanggal 30 September 2019

Subjek Oyong, lemas, mual berkurang, nyeri kepala berkurang.

Objek TD: 110/70 mmHg Gula puasa: 236 mg/dL

RR: 20x/ menit HbA1c: 12,48%,

R: 84x/ menit T: 36,5⁰C

Assesment Masalah terkait obat

 Berdasarkan pemeriksaan gula darah puasa tinggi, sehingga

perlu diberikan injeksi insulin basal

Plan  Dipertimbangkan pemberian injeksi lantus 14 iu

 Pantau kadar gula darah

 Pantau vital sign

Terapi obat yang diberikan:

 NaCl 0,9% 20 gtt/ menit

 Ranitidin 1 amp/ 12 jam

 Ondasentron 8 mg/ 8 jam

 Sucralfat 3 x 1 sendok

 Paracetamol 3 x 1 tab

 Betahistine 8 mg 1 x 1 tab

 Amlodipine 5 mg 1 x 1 tab

42
SOAP FARMASI

HARI ke-3 tanggal 1 Oktober 2019

Subjek Oyong, lemas, mual berkurang, nyeri kepala, demam

Objek TD: 130/80 mmHg Gula adrandom: 257 mg/dL

RR: 20x/ menit T: 37⁰C

HR: 80x/ menit Skala nyeri: 3

Assesment Masalah terkait obat

 Tidak ada masalah terkait obat

Plan  Pantau kadar gula darah

 Pantau vital sign

Terapi obat yang diberikan:

 NaCl 0,9% 20 gtt/ menit

 Ranitidin 1 amp/ 12 jam

 Ondasentron 8 mg/ 8 jam

 Sucralfat 3 x 1 sendok

 Paracetamol 3 x 1 tab

 Betahistine 8 mg 1 x 1 tab

 Amlodipine 5 mg 1 x 1 tab

 Inj. Lantus 1 x 14ui

 Glimepiride 2 mg 1 x 1 tab

43
SOAP FARMASI

HARI ke-4 tanggal 2 Oktober 2019

Subjek Oyong, nyeri kepala berkurang.

Objek TD: 130/80 mmHg Gula adrandom: 241 mg/dL

RR: 20x/ menit Skala nyeri: 3

HR: 80x/ menit T: 36,5⁰C

Assesment Masalah terkait obat

 Tidak ada masalah terkait obat

Plan  Pantau kadar gula darah

 Pantau vital sign

A. Terapi obat yang diberikan

 NaCl 0,9% 20 gtt/ menit

 Ranitidin 1 amp/ 12 jam

 Ondasentron 8 mg/ 8 jam

 Sucralfat 3 x 1 sendok

 Paracetamol 3 x 1 tab

 Betahistine 8 mg 1 x 1 tab

 Amlodipine 5 mg 1 x 1 tab

 Inj. Lantus 1 x 14ui

 Glimepiride 4 mg 1 x 1 tab

44
SOAP FARMASI

HARI ke-5 tanggal 3 Oktober 2019

Subjek Oyong, pasien merasa tidak seimbang dalam penglihatan

(vertigo sentral)

Objek TD: 130/80 mmHg Gula adrandom: 202 mg/dL

RR: 20x/ menit T: 37⁰C

HR: 84x/ menit Skala nyeri: 3

Assesment Masalah terkait obat

 Tidak ada masalah terkait obat

Plan  Pantau kadar gula darah

 Pantau vital sign

A. Terapi obat yang diberikan

 NaCl 0,9% 20 gtt/ menit

 Ranitidin 1 amp/ 12 jam

 Ondasentron 8 mg/ 8 jam

 Sucralfat 3 x 1 sendok

 Paracetamol 3 x 1 tab

 Betahistine 8 mg 3 x 1 tab

 Amlodipine 5 mg 1 x 1 tab

 Inj. Lantus 1 x 14ui

 Glimepiride 4 mg 1 x 1 tab

 Diazepam 2 mg 3 x 1

 Pletaal 100 mg 2x1 tab

45
SOAP FARMASI

HARI ke-6 tanggal 4 Oktober 2019

Subjek Oyong, vertigo sentral, nyeri ulu hati

Objek TD: 130/80 mmHg Gula adrandom: 230 mg/dL

RR: 22x/ menit T: 37⁰C

HR: 82x/ menit Skala nyeri: 3

Assesment Masalah terkait obat

 Kadar gula adrandom pasien meningkat

Plan  Dipertimbangkan pemberian terapi Acarbose untuk

mengontrol kadar gula darah pasien

 Pantau kadar gula darah

 Pantau vital sign

Terapi obat yang diberikan

 NaCl 0,9% 20 gtt/ menit

 Ranitidin 1 amp/ 12 jam

 Ondasentron 8 mg/ 8 jam

 Sucralfat 3 x 1 sendok

 Paracetamol 3 x 1 tab

 Betahistine 8 mg 3 x 1 tab

 Amlodipine 5 mg 1 x 1 tab

 Glimepiride 4 mg 1 x 1 tab

 Diazepam 2 mg 3 x 1

 Pletaal 100 mg 2x1 tab

46
SOAP FARMASI

HARI ke-7 tanggal 5 Oktober 2019

Subjek Oyong berkurang, nyeri ulu hati

Objek TD: 120/80 mmHg HR: 80x/ menit

RR: 22x/ menit T: 36,5⁰C

Assesment Masalah terkait obat

 Tidak ada masalah terkait obat

Plan  Pantau kadar gula darah

 Pantau vital sign

Terapi obat yang diberikan

 Ranitidin 1 amp/ 12 jam

 Ondasentron 8 mg/ 8 jam

 Sucralfat 3 x 1 sendok

 Paracetamol 3 x 1 tab

 Betahistine 8 mg 3 x 1 tab

 Amlodipine 5 mg 1 x 1 tab

 Glimepiride 4 mg 1 x 1 tab

 Diazepam 2 mg 3 x 1

 Pletaal 100 mg 2x1 tab

 Metformin 500 mg

 Acarbose 100 mg

47
Keterangan : Pasien pulang pada tanggal 5 April 2019 dengan kondisi membaik

dan membawa obat pulang :

- Ranitidin 150 mg 2 x 1 tab

- Betahistine 6 mg 1 x 1 tab

- Domperidone 10 mg 3 x 1 tab

- Pletaal 100 mg 3 x 1 tab

- Glimepirid 2 mg 2 x 1 tab

- Metformin 500 mg 1 x 1 tab

- Paracetamol 500 mg 3 x 1 tab

- Amlodipin 5 mg 3 x 1 tab

48
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien masuk RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan pada tanggal 29 September

2019 pukul 12.12 WIB melalui Instalasi Gawat Darurat. Pasien datang dengan

keluhan badan lemas, kepala oyong sudah seminggu dan mual. Pasien masuk pada

tanggal 29 September 2019 dengan keadaan:

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah (TD) : 130/80 mmHg

Heart Rhythm (HR) : 101x/menit

Pernafasan (RR) : 20x/menit

Temperatur (T) : 36,6oC

dan mendapat penanganan di IGD yaitu IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit, Injeksi

Ranitidin 1 ampul, Injeksi Ondansentron 1 ampul.

Diagnosa awal pasien adalah DM type II + Cepalgia. Pasien dirawat di

ruang VIP I/ Anggrek I. Selama dirawat di RSUD Dr. Pirngadi, pasien telah

menjalani beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

Laboratorium Patologi Klinik. Dokter mendiagnosa: DM type II + Hipertensi +

Vertigo.

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, nilai gula darah pasien diatas

nilai normal dan nilai HbA1c 12,48% menunjukkan bahwa pasien menderita

penyakit Diabetes Melitus. %. PERKENI 2015 menyatakan bahwa pasien dengan

HbA1c ≥ 6,5% dikatakan Diabetes Melitus dan pasien dengan nilai HbA1c ≥ 9%

harus diberi terapi insulin (PERKENI, 2015) dan melihat nilai Gula Darah Puasa

49
pasien 236 mg/dL sehingga pasien diberikan Injeksi Insulin Basal yaitu Lantus

sebanyak 14 iu bedasarkan perhitungan IHT. Dan pasien diberi terapi Diabetes

Melitus oral yaitu Glimepirid 2 mg dan dititrasi menjadi 4 mg untuk menurunkan

gula darah pasien dimana Glimepirid mempunyai efek utama meningkatkan sekresi

insulin oleh sel β pancreas (Perkeni,2015) sehingga bekerja cepat dalam

menurunkan gula darah pasien.

Pada hari ke-7 kadar gula darah pasien sudah turun dan oyong yang

dirasakan pasien sudah membaik, pasien diberikan terapi oral Metformin dan

Acarbose. Metformin bekerja dengan menurunkan produksi glukosa di hati dan

meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin (Suherman

dan Nafrialdi, 2012) dan pemberian Acarbose untuk mengontrol gula darah pasien,

dimana mekanisme Acarbose adalah memperlambat absorpsi polisakarida (starch),

dekstrin dan disakarida di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar

glukosa darah sesudah makan (Suherman dan Nafrialdi, 2012).

Pasien memiliki riwayat penyakit terdahulu yaitu Hipertensi dan rutin

menggunakan obat selama 2 tahun terakhir. Pengobatan hipertensi adalah

pengobatan jangka panjang, bahkan pengobatan seumur hidup

(Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, 2006) sehingga terapi hipertensi

pasien dengan terapi Amlodipin harus tetap dilanjutkan untuk menjaga tekanan

darah pasien.

Gejala-gejala klinis yang dialami oleh pasien badan lemas, kepala oyong

sudah seminggu. Berdasarkan hal diatas dokter mendiagnosa pasien menderita

Vertigo dan diberi terapi betahistine, pasien dengan penggunaan betahistin

dilaporkan lebih sedikit mengalami efek samping daripada obat vertigo lainnya

50
walaupun dengan dosis yang lebih tinggi. Betahistine merupakan obat analog

histamin dengan fungsi sebagai agonis reseptor histamin H1 dan antagonis reseptor

H3, dengan efek tersebut betahistin bekerja di sistem syaraf pusat dan secara khusus

di sistem neuron yang terlibat dalam pemulihan gangguan vestibular, dengan

mengaktifkan reseptor ini menyebabkan pembesaran pembuluh darah dan

peningkatan sirkulasi darah yang membantu menghilangkan tekanan di dalam

telinga dan frekuensi serangan penyebab vertigo khususnya penyakit meniere

(Lacour, 2007).

Pasien juga mendapatkan terapi Pleetal, yang mekanisme kerjanya adalah

dengan menghambat fosfodiesterase III (PDE III), enzim yang menguraikan cAMP,

mengakibatkan peningkatan cAMP dalam platelet dan pembuluh darah, sehingga

terjadi penghambatan agregasi platelet dan vasodilatasi (Shi, dkk., 2005). Dimana

dikatakan Vertigo dapat disebabkan karena adanya gangguan peredaran darah otak

(Sutarni, 2015), sehingga dengan adanya efek vasodilatasi peredaran darah ke otak

lebih membaik.

Pasien diberikan terapi Diazepam, terapi tersebut diberikan kepada

penderita vertigo untuk mengurangi kecemasan yang diderita yang sering menyertai

gejala vertigo. Benzodiazepin merupakan modulator GABA, yang akan berikatan

di tempat khusus pada reseptor GABA. Efek sebagai supresan vestibuler

diperkirakan terjadi melalui mekanisme sentral. Namun, seperti halnya obat-

obat sedatif, akan memengaruhi kompensasi vestibuler (Wahyudi, 2012).

Pasien juga menerima terapi Paracetamol sebagai antinyeri bedasarkan

keluhan pasien selama dirawat, parasetamol merupakan penghambat biosintesis

prostaglandin dengan menghambat pelepasan enzim siklooksigenase (COX:

51
cyclooxigenase) yang merubah asam arakidonat menjadi prostaglandin (Katzung,

1997). Paracetamol memiliki efek samping mengiritasi lambung, dikatakan pada

Dipiro 2012, penggunaan obat golongan NSAID yaitu Analsik, Ketorolac,

Dotramol, Parasetamol, OA Forte dapat mengiritasi lambung.

Selama pasien dirawat di RS, pasien mendapatkan terapi injeksi ranitidine

untuk mencegah efek samping obat dan mengatasi keluhan nyeri ulu hati yang

dialami. Ranitidin merupakan antagonis kompetitif histamin yang khas pada

reseptor H2 sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung,

menekan kadar asam dan volume sekresi lambung (Siswondono dan Soekardjo,

1995).

Pasien juga diberikan terapi Suralfat syrup untuk mencegah efek samping

obat dan perlindungan terhadap lambung. Sucralfat merupakan Golongan obat

pelindung mukosa, Sukralfat bekerja melalui pelepasan kutub aluminium

hidroksida yang berikatan dengan kutub positif molekul protein membentuk lapisan

fisikokemikal pada dasar tukak, yang melindungi tukak dari pengaruh asam dan

pepsin. Efek lainnya adalah membantu sintesa prostaglandin, menambah sekresi

bikarbonat dan mukus, sehingga meiningkatkan daya pertahanan dan perbaikan

mukosal (Setiawati, 2015).

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan mual sudah 1 minggu, diberikan

terapi selama di rumah sakit yaitu Ondansetron. Ondansetron termasuk kelompok

obat antagonis serotonin 5-HT3, yang bekerja dengan menghambat secara selektif

serotonin 5- hydroxytriptamine (5HT3) berikatan pada reseptornya yang ada di

CTZ (chemoreseceptor trigger zone) pada saluran cerna. Serotonin merupakan zat

yang akan dilepaskan jika terdapat toksin dalam saluran cerna, serotonin berikatan

52
dengan reseptornya dan akan merangsang saraf vagus menyampaikan rangsangan

ke CTZ dan pusat muntah kemudian terjadi mual dan muntah (Anonim, 2007).

Penulis melakukan pemantauan terapi obat dan konseling dengan pasien

untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat mulai dari tanggal

29 September 2019 – 05 Oktober 2019. Pemantauan terapi obat dilakukan untuk

melihat apakah penggunaan obat untuk terapi pasien diberikan secara rasional.

Terapi yang diterima oleh pasien selama dirawat di RSUD Dr. Pirngadi

Kota medan cukup rasional, yaitu dengan diberikan NaCl 0,9% 20 gtt/ menit, Inj.

Lantus 1 x 14ui, Ranitidin 1 amp/ 12 jam, Ondasentron 8 mg/ 8 jam, Sucralfat 3 x

1 sendok, Paracetamol 3 x 1 tab, Betahistine 8 mg 3 x 1 tab, Amlodipine 5 mg 1 x

1 tab, Glimepiride 4 mg 1 x 1 tab, Diazepam 2 mg 3 x 1, Pletaal 100 mg 2x1 tab,

Metformin 500 mg dan Acarbose 100 mg.

Pasien pulang pada 05 Oktober 2019 atas ijin dokter dengan kondisi

membaik dan membawa obat pulang Ranitidin 150 mg 2 x 1 tab, Betahistine 6 mg

1 x 1 tab, Domperidone 10 mg 3 x 1 tab, Pletaal 100 mg 3 x 1 tab, Glimepirid 2 mg

2 x 1 tab, Metformin 500 mg 1 x 1 tab, Paracetamol 500 mg 3 x 1 tab dan Amlodipin

5 mg 3 x 1 tab.

Rasionalitas penggunaan obat meliputi tepat pasien, tepat indikasi, tepat

obat, tepat dosis, waspada efek samping obat dan Drug Related Problems (DRPs).

Pemantauan terapi obat dilakukan setiap hari sesuai dengan obat yang diberikan.

Penyampaian informasi obat disampaikan secara langsung kepada pasien atau

keluarganya untuk meningkatkan pemahaman pasien mengenai obat yang

digunakan pasien.

53
4.1 Pengkajian Tepat Pasien

Pasien masuk ke RSUD dr. Pirngadi dengan rencana perbaikan kondisi

pasien. Berdasarkan pengamatan, gelang yang dipakai pasien telah sesuai dengan

nama, tanggal lahir, serta nomor Rekam Medis (RM) pasien. Obat yang diberikan

kepada pasien juga sesuai dengan nama dan nomor Rekam Medis yang tertera pada

etiket, serta pasien telah diidentifikasi dengan cara meminta menyebutkan nama

dan tanggal lahirnya.

4.2 Pengkajian Tepat Indikasi dan Obat

Tabel 4.1 Pengkajian Tepat Indikasi dan Obat


Pasien Anamnesa / Obat Yang Pengkaji Anjuran / Pengkajian Anjuran /
Diagnosa Diberikan an Tepat Intervensi Tepat Obat Intervensi
Indikasi
MS Lemas IVFD NaCl 0,9 Tepat - Tepat -
(Wanita) %
00.77.45. Ondansetron Tepat - Tepat -
Mual
57 Domperidon Tepat - Tepat -
18-03- Perlindungan Ranitidin Tepat - Tepat
1969 lambung dari Sucralfat syr Tepat - Tepat
E.S obat
DM tipe II Lantus Tepat - Tepat -
Glimepirid Tepat - Tepat -
Metformin Tepat - Tepat -
Acarbose Tepat - Tepat -
Terapi Amlodipin Tepat - Tepat -
Hipertensi
Nyeri Parasetamol Tepat - Tepat -
Vertigo Betahistine Tepat - Tepat -
Diazepam Tepat - Tepat -
Pletaal Tepat - Tepat -

54
4.3 Pengkajian Tepat Dosis

Pengkajian Tepat Dosis dilakukan untuk memantau dosis yang diberikan

kepada pasien sudah sesuai dengan penyakit pasien dan komplikasi lainnya.

Pengkajian Tepat Dosis dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 4.2 Pengkajian Tepat Dosis


Bentuk Dosis
Nama Obat Signa Dosis Lazim Keterangan Intervensi
Sediaan Pasien
Terapi
1 amp/ 50 mg tiap 8- 100
Ranitidin Injeksi Dosis sesuai dilanjutkan
12 jam 12 jam mg/hari
Ondansetron 8 8 mg setiap 8 Terapi
Tablet 3x1 24mg/ hari Dosis sesuai
mg jam dilanjutkan
3x1 3-4 kali sehari Terapi
Sucralfat Syrup 3x1 sdt/hari Dosis sesuai
sdt/hari 1-2 sendok teh dilanjutkan
500 mg
Parasetamol 500 Setiap 0.5 g- 1 g Terapi
Tablet setiap 8 Dosis sesuai
mg 8 jam setiap 4-6 jam dilanjutkan
jam
3x1 8-16 mg/ 3 x Terapi
Betahistine 8 mg Tablet 8 mg/ 8 jam Dosis sesuai
tab sehari dilanjutkan
1x1 Terapi
Amlodipin 5 mg Tablet 5 – 10 mg/ hari 5 mg/ hari Dosis sesuai
tab dilanjutkan
40% dari 0,3 –
1x14 14 IU/ 24 Terapi
Lantus Injeksi 0,5 Dosis sesuai
IU jam dilanjutkan
unit/kg/hari
Glimepiride 2 Terapi
Tablet 1x1 tab 1-8 mg/ hari 2 mg/ hari Dosis sesuai
mg dilanjutkan
Glimepiride 4 Terapi
Tablet 1x1 tab 1-8 mg/ hari 4 mg/ hari Dosis sesuai
mg dilanjutkan
3 x 2 mg / hari
3x1 Terapi
Diazepam 2 mg Tablet Maks 30 mg/ 6 mg/ hari Dosis sesuai
tab dilanjutkan
hari
2x1 100 mg/ 12 200 mg/ Terapi
Pletaal 100 mg Tablet Dosis sesuai
tab jam hari dilanjutkan
Metformin 500 3x1 500 – 1500 1500 mg/ Terapi
Tablet Dosis sesuai
mg tab mg/ hari hari dilanjutkan
Acarbose 100 1x1 100 mg/ Terapi
Tablet 50 mg/ 8 jam Dosis sesuai
mg tab hari dilanjutkan
Domperidon 10 3x1 Terapi
Tablet 30 mg/ hari 30 mg/ hari Dosis sesuai
mg tab dilanjutkan

55
4.3 Pengkajian Waspada Efek Samping dan Interaksi Obat

Tabel 4.3 Pengkajian Waspada Efek Samping dan Interaksi Obat


Efek
Interaksi Manifestasi Samping
Nama Obat Efek Samping Umum Anjuran
Obat Klinik pada
Pasien
Ranitidin Mual, muntah, konstipasi,
- - - -
diare
Ondansetron 8 Diare, lemah, demam,
- - - -
mg sakit kepala, mengantuk
Sucralfat Konstipasi, diare, mulut
- - - -
kering
Parasetamol Gangguan GI,
- - - -
500 mg Hepatotoksik
Betahistine 8 Ruam kulit, kulit gatal,
- - - -
mg sesak nafas, mual muntah
Bengkak ditangan,
Amlodipin 5 pergelangan kaki, detak
- - - -
mg jantug berdebar, nyeri
dada, mual
Hipoglikemia,
Lantus - - pengelihatan kabur, alergi - -
pada daerah injeksi
Glimepiride 2 Hipoglikemia,
- - - -
mg peningkatan berat badan
Glimepiride 4 Hipoglikemia,
- - - -
mg peningkatan berat badan
Diazepam 2
- - Diare, pengelihatan kabur - -
mg
Pletaal 100 mg - - Diare, infeksi, rhinitis - -
Metformin 500 Astenia,diare, flatulansi,
- - - -
mg lemah
Acarbose 100
- - Diare, nyeri perut, flatus - -
mg
Domperidon Diare, denyut jantung
- - - -
10 mg meningkat, mengantuk

56
4.5 Edukasi pasien

Edukasi kepada pasien oleh apoteker dimaksudkan agar pasien

menggunakan obat dengan tepat baik jenis obat maupun waktu pemberiannya dan

menjaga pola makan dan gaya hidup untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Adapun edukasi yang dilakukan meliputi:

a. Menanyakan apakah pasien menerima terapi obat atau tidak

b. Memeriksa ketepatan penggunaan obat pada pasien

c. Menjelaskan indikasi dari pengobatan yang diterima pasien

d. Memantau apakah ada reaksi efek samping yang timul dari obat yang

digunakan pasien

57
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Telah dilakukan pemantauan rasionalitas penggunaan obat pada pasien inisial

MS dengan diagnosa DM type II + Hipertensi + Vertigo meliputi tepat pasien,

tepat indikasi, tepat obat dan waspada efek samping obat pada pasien.

2. Terapi yang diberikan terhadap pasien sudah memenuhi kriteria penggunaan obat

yang rasional.

5.2 Saran

Sebaiknya visite dilakukan secara intensif dan berkesinambungan ke

seluruh ruangan sehingga terapi yang diberikan kepada pasien dapat dipantau oleh

apoteker.

58
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA). 2019. Standards of Medical Care in


Diabetes. Diabetes Care. 42(1): 13, 16, 18, 21.

Anonim. 2007. Perbandingan Efektifitas Antara Metoclopramide dan Ondansetron


Sebagai Premedikasi Anestesi dalam Mencegah Insiden Post Operative
Nausea and Vomiting. Surakarta: Bagian Anestesi Fakultas Kedokteran
U.N.S. Hal: 6-7.

Chaker Rahul T., Eklare, Nishikant. 2012. Vertigo in Cerebrovaskuler Disease.


Otolaryngology Clinics : An International Journal. 4 (1): 46.

Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Hal: 7, 15, 22-30.

Departemen Kesehatan, R.I. (2006). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit


Hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan . Hal: 12, 46-47.

Dipiro, T.J., Talbert,L.R., Yee, C.G., Matzke, R.G., Wells, G.B., dan Posey, M.L.
(2008). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. New York:
McGraw-Hills Companies. Hal: 141-142.

Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., dan Dipiro, C.V. (2012).
Pharmacotherapy Handbook. Ninth Edition. Inggris: McGraw-Hill
Education Companies.

Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular (2006) Pedoman Teknis


Penemuan Dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI.

Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal: 37- 49.

Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2006). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal: 25-43.

Fatimah, R. N. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. Majority. 4(5): 93-101.

Gunawan, S.G. (2007). Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta: Gaya Baru. Hal:
342-343.

International Diabetes Federation (IDF). 2017. Diabetes Atlas. Edisi Kedelapan.


https://www.idf.org/diabetesatlas. Diakses pada tanggal 20 May 2019.

59
James, A.P., Suzanne, O., Barry, L., William, C., Cheryl, D., Joel, H., Daniel, T.,
dkk. (2014). From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint
National Committee Evidence-Based Guideline for the Management of High
Blood Pressure in Adults Report (JNC 8). Lowa: American Medical
Association. Hal: 1-14.

JNC VII. (2003). National High Blood Pressure Education Program. The Seventh
Report of the Joint National of Comittee Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure.USA: Department of
Health and Human Service. Hal 7-13.
Katzung, Bertram, G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik , Edisi Ke 6. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 737-741.
Lacour M., H van de Heyning, Paul., Novotny, Miroslav., Tighilet, Brahim., 2007.
Betahistine in the treatment of Meniere’s disease. Neuropsychiatric
Disease and Treatment..3(4): 429.
Menkes RI. (2016). Keputusan Menkes No. 72/MENKES/SK/V/2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.
Mong Andrew , Loevner Laurie A., Solomon David, Bigelow Doglas C. 1999.
Sound- and Pressure-Induced Vertigo Associated with Dehiscence of the
Roof of the SuperiorSemicircular Canal. American Journal of
Neuroradiology. 20: 1973-75.

National Institute of Health. (2003). JNC 7 Express: The 7th Report of the Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment
of High Blood Pressure. United States of America: Departement National
Institute of Health. 98: 4080.

Olivier, P., Bertrand, L., Tubery, M., Laugue, D., Mostratuc, J., dan Mestre, M.
(2009). Hospitalizations Because of Adverse Drug Reaction in Ederly
Patients Admitted Trough The Emergency Department: A Prospective
Survey. Drugs and Aging. 26(6): 475-482.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni). 2015. Konsensus Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB. Perkeni.
Hal 3.

Pirawati Prasti dan Siboe L. Yvonne. 2004. Terapi Akupunktur untuk Vertigo.
Cermin Dunia Kedokteran. 144:47-51.

Sassen, J.J., dan Carter, B.L. (2005). Hypertension. Pharmacotherapy: A


Phatophysiologic Approach. Editor: Joseph Dipiro, Robert Talbert, Gary
Yee, Gary Matzke, Barbara Wells, dan Michael Posey. Edisi 8. New York:
Appleton and Lange. Hal: 186-217.

60
Setiawati, S., Alwi, S., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M.K., Setiyohadi, B., dan
Syam, A.F. (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing.

Shi, S. J., Li, Z. F., Chen, H. T., Zeng, Z. D. 2005. Cardiovascular Effects and
Simultaneous Pharmacokinetic and Pharmacodynamic Modeling of
Cilostazol in Healthy Subjects. Asian J Drug Metab Pharmacokinet. 5(4):
301-308.

Siswandono dan Soekardjo, B., 1995, Kimia Medisinal, 28-29, 157, Airlangga
University Press, Surabaya.

Soegondo, Sidartawan., Pradana Soewondo., dan Imam Soebekti. (2004).


Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Cetakan Keempat. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI. Hal 8-10, 13, 17, 29, 41.
Suherman, S. K. dan Nafrialdi. 2012. Insulin dan Antidiabetik Oral. Dalam
Gunawan dan Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Edisi Kelima. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI. Hal: 491-493.

Sukandar E. (2013). Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/ RS. Dr. hasan
Sadikin. Hal: 465 – 470, 488, 650.
Sumarilyah, E., 2010. Jurnal Penelitian Pengaruh Senam Vertigo Terhadap
Keseimbangan Tubuh pada Pasien Vertigo di RS Siti Khodijah Sepanjang.
RS Siti Khodijah Sepanjang: Jawa Timur. Hal: 34.
Suratno. 2004. Vertigo. Dalam: Sri Widayanti (Ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf
Edisi Pertama. Surakarta: BEM Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret Press. Hal: 39-49.

Sutarni, S., Malueka,R. G.,Gofir A. Bunga Rampai Vertigo. 2015. Yogyakarta :


Gadjah Mada University Press.

Tan, H. T., dan Kirana R. 2013. Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-efek Sampingnya. Edisi Keenam. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo. Hal: 740.

Triplitt, C. L., dan Charles A. R. 2011. Diabetes Mellitus. Dalam Dipiro, J. T.,
Robert L. T., Gary C. Y., Gary R. M., Barbara G. W., dan L. Michael P.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. Edisi Kedelapan. USA:
Mc-GrawHills Companies. Hal: 1225-1301.

Wahyudi, K. P. (2012). Vertigo. Jakarta: PT. Kalbe Farma Tbk. Hal: 741.

WHO.(2016). WHO.http://www.who.int/en/. Diakses Februari 2019.

61
Wreksoatmodjo Budi Riyanto. 2004. Vertigo: Aspek Neurologi. Cermin Dunia
Kedokteran. 144:41-46.

Yarda. (2010). Obat Salah Satu Penyebab Kematian Dunia. http://


yardapoteker.wordpress.com. Diakses Maret 2019.

62

Anda mungkin juga menyukai