Anda di halaman 1dari 10

DIMANA TUHANKU

Karya : Felda Tsana Amelia / 12 / IX A

Matahari mulai meninggi pada pagi itu, hawa sejuk


tanah menyerbu penciumanku. Untung saja Bi Ida
pembantuku membangunkanku, kalau tidak mungkin aku tak
akan bangun. Setelah bangun, aku langsung bersiap mandi
supaya tidak berebut dengan saudaraku yang lain.
Aku dan semua saudaraku langsung bersiap untuk
sarapan di meja makan. Kami semua diurus pembantu –
pembantu di rumah kami. Karena seperti biasa , bapak dan ibu
sudah berangkat ke pasar sejak dini hari untuk menggelar
lapak.
“Dinten iki maem kalih daging babi kaliyan katak ,
nggeh” kata salah satu pembantuku.
Kami semua hanya menjawab “Nggeh, Mbak” .
Kami pun makan dengan keadaan hening tanpa
berbicara satu sama lain.
Aku dan saudaraku yang lain bersiap untuk pergi ke
sekolah setelah menyelesaikan sarapan. Aku dan kakak
perempuanku yang satu sekolah dan satu kelas berangkat
bersama. Hari itu adalah hari kelulusan kami dari sekolah
dasar. Tapi, tak ada yang mengetahui perihal itu, kecuali Mbak
Ida dan pembantu lainnya.
“Wis siap mbok, Mba?” tanyaku pada kakak
perempuanku itu.
“ Wis, ayuh mangkat” jawabnya.
Kami pun berjalan bersama menuju sekolah kami yang
jaraknya tak terlalu jauh dari rumah.
Sesampainya di sekolah, hiasan-hiasan dipajang di
dinding kelas kami. Beberapa orang tua dari teman – temanku
terlihat datang. Tapi tidak dengan orang tuaku, mereka sama
sekali tak datang, pasti mereka sedang sibuk berdagang di
pasar.
Acara pelepasan murid – murid kelas enam pun dimulai,
aku dan kakakku ikut tampil di beberapa pementasan. Setelah
itu, dilanjutkan dengan acara pengumuman hasil UN. Aku tidak
pernah berharap aku bisa memperoleh peringkat tinggi ,
karena selama sekolah masuk peringkat sepuluh besar saja tak
pernah.
Setelah hasil UN diumumkan, aku memperoleh hasil
yang biasa-biasa saja, tapi mungkin masih lebih baik daripada
hasil UN milik kakak perempuanku. Kakak perempuanku itu
memang satu kelas denganku, bukan karena dia kembaranku.
Tapi, dia menunggak satu kelas sehingga berada di kelas yang
sama denganku.
Sampai akhir acara kelulusan , bapak dan ibu benar
benar tidak datang.
“Mieh karo bapak ora teka koh ?” kata kakakku.
“Iya mba, paling lagi sibuk dodol”.
Kami memaklumi kalau kedua orang tua kami tak bisa
datang, atau kami terlalu banyak memaklumi semua
perbuatan mereka.
Kami pulang ke rumah setelah acara kelulusan selesai.
Hari itu sudah pukul tiga sore tapi ibu dan bapak belum juga
pulang. Kami sudah terbiasa tidak disambut bapak atau mieh.
Dan seperti biasa, pembantu yang mengurus aku dan kakakku
yang menyambut kami dan mempersilahkan kami makan.
“Maem riyin nopo?” Tanya Mba Ida.
“Nggeh mba, sampun ngelih”.
“Oh nggeh, sekedap tak siapke riyin”kata Mba ida.
Selagi Mba Ida menyiapkan makanan, aku berganti pakaian di
kamarku di lantai atas.
Ketika aku lihat, Mas Gio kakak pertamaku sedang
berada di kamarnya, begitu pun dengan kakak keduaku Mas
Slamet . Kakak perempuanku Mba Ugi sedang duduk menyisir
rambut pendeknya di kamar. Dan ketiga adikku , Rendi, Ana,
Rani sedang diasuh pembantu kami. Beberapa pembantu di
rumah kami sedang mencuci pakaian, menyiapkan makanan,
membersihkan rumah, dan mengurus adikku.
Pukul setengah empat sore , kami semua makan di meja makan
bersama , tentunya tanpa bapak dan mieh. Lauk yang dihidangkan
ternyata daging ayam, bukan daging babi atau katak lagi
Setelah menyelesaikan makan siang yang sedikit terlambat itu, aku
langsung bersiap untuk pergi mengaji di dekat rumah. Sebenarnya, aku baru
mengikuti kegiatan mengaji itu beberapa hari belakangan , itupun karena
ajakan salah satu temanku di sekolah. Aku pergi mengaji sendiri , di antara
saudara – saudaraku yang lain, hanya aku seorang yang ikut mengaji.
***
Di tempat mengaji , ibu guru mulai mengajari aku tata cara shalat. Aku
mulai mengerti sedikit mengenai tata cara shalat, sebelumnya mieh dan bapak
tak pernah mengajariku tentang shalat. Karena mereka saja tak pernah shalat.
Hari itu, ustazah mengajari aku bahwa seorang muslim bukan hanya dilihat
dari status di KTP, tapi tindak tanduk nya itu juga mencerminkan diri seorang
muslim.
Mulai dari kegiatan mengaji itu, aku mulai menolak untuk memakan
makanan haram yang disediakan pembantuku yang beragama Kristen. Selain
itu, aku juga mulai melaksanakan shalat walau belum penuh lima waktu. Aku
juga membaca al qur’an ketika di rumah. Namun, semua hal yang kulakukan
itu tidak menggugah perasaan saudara – saudaraku ataupun kedua orang
tuaku .
Semua ibadah yang kulakukan di dalam rumah justru menimbulkan rasa
kecurigaan pada pikiran semua orang di rumah. Aku tau bahwa aku harus
mulai berubah, aku ingin mencari tuhanku, aku ingin merubah hidup kedua
orang tuaku , saudaraku dan juga diriku pada jalan Allah SWT , kembali pada
jalan yang seharusnya.
Seiring dengan perkembangan diriku dalam melaksanakan ibadah, satu
pun dari keluargaku tidak ada yang mengikutinya. Bapak yang masih tetap
merokok sepanjang hari , bahkan menghabiskan tiga bungkus rokok per hari.
Mieh yang tetap mengorientasikan hidupnya hanya pada mengumpulkan
harta. Dan, saudara- saudaraku yang masih tak memiliki tujuan dalam
hidupnya.
Karena keinginanku yang kuat, aku pun membulatkan tekadku
untuk pergi ke pondok saat aku SMP. Pada malam hari itu, ketika bapak dan
mieh sudah pulang dari berdagang , aku berusaha berbicara dengan mereka.
“ Mieh, Pak, kula badhe sanjang” kataku.
“Arep ngomong apa? Cepetan ngomong” jawab Mieh.
“Niku kula badhe mondok pas SMP, kula kan sampun lulus SD”
jawabku.
“Deneng mondok barang, ngerti apa kowe nek shalat, mending nang
kene . Mbantu nggolet duwit” kata bapak.
“Kula pengen berubah pak, kula badhe sinau kepripun dadi muslimah
ingkang sabenere” jawabku.
“ Ya wis nganah, tapi ndaftar dewek” jawab mieh.
Setelah mendapatkan izin dari bapak dan mieh untuk meneruskan SMP
ku di pondok Pangandaran, aku menceritakannya pada kakak perempuanku.
Alangk ah terkejutnya aku ketika ia mengatakan bahwa ia akan pergi
bersamaku ke pondok. Subhanallah, terimakasih ya Allah , kataku dalam hati.
Malam itu, kami menyiapkan segala keperluan kami sendiri yang mungkin
dibutuhkan ketika di pondok.
Esok harinya , kami berpamitan kepada semua orang di rumah. Aku tak
kuasa ketika harus berpamitan pada Mieh dan Bapak. Mereka akan sangat
kurindukan ketika aku telah di pondok nanti. Ya Allah, tolong jaga selalu kedua
orang tuaku, ketuklah mata hati mereka untuk kembali pada jalanmu ya Allah,
doaku dalam hati.
Kami berdua hanya diberi bekal uang untuk pendaftaran dan
transportasi, setelah itu kami berjalan dengan jarak yang cukup jauh hampir
sembilan kilometer. Kami berdua memang harus berjalan, karena mieh dan
bapak tidak bisa mengantar kami. Setelah menunggu beberapa jam, bis
menuju arah Yogyakarta pun datang. Kami segera membayar tiket dan naik ke
dalam bis.
Karena kami kelelahan, akhirnya kami tertidur sepanjang perjalanan.
Setelah perjalanan selama empat jam lebih, akhirnya kami sampai di terminal.
Karena kami belum mengetahui tentang lokasi Pondok Pangandaran, akhirnya
kami menaiki becak. Suasana Yogyakarta memang berbeda, ramah tamah ,
budaya, dan semua yang ada di sini aku sangat menyukainya.
Sesampainya kami di Pondok Pesantren Pangandaran yang tepatnya
berada di Sleman, kami langsung melihat banyak sekali remaja putri yang
berkerudung. Mereka nampak sangat cantik, mereka seperti terjaga dari
apapun, dan itu karena kerudung yang dikenakan untuk menutup aurat
mereka, seperti kata ustazah di Kroya. Ketika pertama kali melihat mereka
berhijab, langsung timbul keinginanku untuk berhijab.
Setelah diarahkan oleh salah satu santri putri yang berada di depan
pondok pesantren, kami langsung menuju ke bagian pendaftaran. Ternyata
hari itu tidak terlalu ramai, karena mungkin ini sudah hari hari terakhir untuk
pendaftaran. Berbagai berkas, serta biaya dan keterangan mengenai
peraturan , dan lain lain sudah diberitahu, kami pun pergi ke kamar kami.
“Wih, wis ana wonge, Mba” kataku . “Iya , isin koh aku” jawab kakakku.
“Lah rapapa, ngapa isin , yuh mlebu” ajakku. Kami berdua mengucapkan salam
ketika memasuki kamar itu, ternyata sudah ada empat santri lain di dalam.
Kami pun berkenalan, kesan pertamaku ketika berkenalan dengan mereka ,
semoga saja aku bisa menjadi seperti mereka untuk menyempurnakan
akhlakku dan membenahi keluargaku di rumah.Ternyata berbagai persiapan
untuk kami sudah diletakkan di almari seperti kerudung, seragam, dan lain
sebagainya.
Pada hari kami masuk di pondok pesantren, kami melaksanakan ibadah
shalat lima waktu berjamaah, tadarus al-quran, dan melaksanakan shalat
sunah dhuha dan tahajud bersama juga. Kebersamaan tersebut nyatanya tak
membuatku merasa tertekan, justru membahagiakan sekali apalagi itu semua
menuntunku pada tuhanku Allah SWT.
Esok harinya , kami mulai berangkat ke sekolah. Hari itu aku
membulatkan niatku untuk berhijab. Mulai hari itu, aku dan kakak
perempuanku berhijab, aku tak mau bapak mendapat siksaan di neraka nanti
karena anak perempuannya tak berhijab. Sungguh aku tak mau menimpakan
siksaan itu pada bapakku.
Kegiatan pembelajaran di SMP aku harap dapat aku laksanakan dengan
sebaik-baiknya , supaya aku tak lagi menyusahkan kedua orang tuaku. Pihak
pondok menyampaikan bahwa di akhir minggu itu , semua orang tua dari
santri baru akan diundang ke pondok untuk mendapat pembimbingan
mengenai islam secara lebih mendalam, dan menjelaskan kegiatan putra putri
mereka di pondok pesantren.
Ketika aku mendengar perihal tersebut, aku sangat berharap Mieh dan
Bapak bisa datang. Setidaknya, mereka akan mendapat sedikit ilmu dan
pencerahan dari seminar tersebut utamanya mengenai islam. Namun, aku dan
kakakku sempat takut apabila kedua orang tua kami tak menerima keputusan
kami untuk berhijab.
“Mba, kepriwe nek bapak karo mieh ora setuju dewek nggo jilbab ?”
tanyaku pada kakakku.
“Wis, rapapa. Insyaallah mieh karo bapak setuju”.
Aku berdoa siang dan malam, memohon pada Yang Maha Kuasa untuk
tetap mempertahankan iman ini di dalam hatiku, karena setelah sekian lama
hatiku hampa tanpa imanku, akhirnya kini hatiku tenang karena imanku itu.
Aku selalu memohon , semoga kedua orang tuaku diberi kesadaran untuk
kembali pada tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT.
***
Seminggu aku berada di pondok pesantren, kini aku merasakan begitu
banyak perubahan dalam hidupku. Namun, aku juga merindukan keluargaku.
Aku ingin bertemu mereka semua, aku selalu membayangkan betapa indahnya
ketika kami mendirikan salat berjamaah bersama, mengaji bersama. Hal – hal
itu adalah hal yang paling kuimpikan dalam hidupku.
Pada hari minggu, kurasakan debar jantungku yang semakin tidak
karuan. “Ya Allah, aku takut ya Allah. Aku takut kedua orang tuaku tak
menerima keputusanku ini ya Allah.” Kataku pada pagi hari itu. Pukul sebelas
siang , beberapa orang tua siswa mulai berdatangan. Aku selalu mencari –cari
kedatangan kedua orang tuaku.
“Ya Allah. Mba kae mieh karo bapak.” Kataku.
“Ayuh, ming nganah!” ajak kakakku.
Kedua orang tua ku kebingungan ketika menatap kami, mereka bahkan
tak berkutik sedikit pun. Kami langsung menyalimi mereka, mengatakan
bahwa kami telah berhijab.
“Mieh, Pak, kula kalih mba sampun ngagem jilbab, mugi-mugi mieh
kaliyan bapak saged nrima.”kataku.
Kedua orang tuaku ternyata menerima keputusan kami ini, mereka
tidak memarahi kami. Alhamdulillah, ini adalah salah satu langkah yang
baik.Setelah acara seminar tersebut selesai , mieh dan bapak menghampiri
kami. “ Mieh karo bapak wis sadar siki, mieh karo bapak arep shalat.” Kata
bapakku. Subhanallah, itu adalah hadiah terbesar bagiku, kedua orang tuaku
ingin beribadah dan mendekatkan diri pada Allah SWT.
Selepas acara seminar, ternyata santri diperbolehkan untuk ikut pulang
bersama orang tuanya. Aku dan kakakku tentunya sangat bahagia mendengar
hal tersebut. Akhirnya, akhirnya kerinduanku akan rumah segera terobati.
Kami pulang ke Kroya menaiki mobil yang dikendarai oleh bapak. Bapak
memang terampil sekali dalam hal menyetir mobil.
Sesampainya di rumah, semua orang menyambut kami. Mereka seolah
– olah terpana dengan kami yang sekarang berhijab. Mereka sangat
mendukung keputusan kami ini. Bapak dan Mieh juga menjelaskan pada
saudara-saudaraku untuk mulai melaksanakan shalat dan melaksanakan ajaran
islam.
Setiap masuk waktu shalat fardu, bapak selalu mengumpulkan kami
untuk melaksanakan shalat fardu berjamaah di rumah. Bapak akan menjadi
imam shalat, walaupun bacaannya masih tersendat-sendat tapi itu jauh lebih
dari cukup bagiku.
Selama kami berada di rumah, kami pun selalu mengajarkan beberapa
ajaran agama islam pada saudara – saudara kami termasuk Mieh dan bapak.
Betapa bersinarnya rumah kami ketika dihiasi dengan cahaya islami. Betapa
indahnya hal itu. Kami pun harus kembali ke pondok pesantren, namun kali ini
kepergian kami diikuti kepuasan karena keluarga kami telah kembali di jalan
Allah SWT, dan aku telah menemukan kembali tuhanku yang sebenarnya.
TERJEMAHAN KALIMAT BAHASA JAWA
DALAM CERPEN DIMANA TUHANKU

1. Dinten iki maemme kalih daging babi kaliyan katak , nggeh : Hari
ini makannya pakai daging babi dan katak ya.
2. Wis siap mbok, mba : Sudah siap kan, mba.
3. Nggeh, mbak : Iya , mba.
4. Wis, ayuh mangkat : Sudah, ayo berangkat.
5. Mieh karo bapak ora teka koh : Mieh dan bapak tidak datang
kan.
6. Iya mba, paling lagi sibuk dodol : Iya mba, paling sedang sibuk
jualan.
7. Maem riyin nopo : Mau makan dulu
8. Nggeh mba, sampun ngelih : Iya mba, sudah lapar
9. Oh nggeh, sekedap tak siapke riyin : Oh ya, sebentar tak siapkan
dulu
10. Mieh, Pak, kula badhe sanjang : Mieh , Pak, aku mau bilang
11. Arep ngomong apa? Cepetan ngomong : Mau bilang apa? Cepat
bilang
12. Niku kula badhe mondok pas SMP, kula kan sampun lulus SD :
Itu , aku mau mondok ( tinggal di pondok pesantren) saat SMP,
aku kan sudah lulus SD
13. Deneng mondok barang, ngerti apa kowe nek shalat, mending
nang kene . Mbantu nggolet duwit : Kenapa tinggal di pondok
pesantren segala, lebih baik disini. Membantu mencari uang
14. Kula pengen berubah pak, kula badhe sinau kepripun dadi
muslimah ingkang sabenere: Aku mau berubah pak, aku mau
belajar bagaimana caranya menjadi seorang muslimah yang
sebenarnya.
15. Ya wis nganah, tapi ndaftar dewek : Ya sudah sana, tapi
mendaftar sendiri
16. Wih, wis ana wonge mba : Wah, sudah ada orangnya mba
17. Iya , isin koh aku : Iya , malu aku
18. Lah rapapa, ngapa isin , yuh mlebu : Tidak apa apa , kenapa
malu, ayo masuk
19. Mba, kepriwe nek bapak karo mieh ora setuju dewek nggo
jilbab : Mba, bagaimana kalau bapak dan mieh tidak setuju kita
memakai jilbab
20. Wis, rapapa. Insyaallah mieh karo bapak setuju : Sudah tidak apa
apa, Insyaallah mieh dan bapak setuju
21. Mba kae mieh karo bapak : Mba itu mieh dan bapak
22. Ayuh, ming nganah : Ayo , kesana
23. Mieh, Pak, kula kalih mba sampun ngagem jilbab, mugi-mugi
mieh kaliyan bapak saged nrima : Mieh, Pak, aku dan mba sudah
memakai jilbab, semoga mieh dan bapak bisa menerima
24. Mieh karo bapak wis sadar siki, mieh karo bapak arep shalat :
Mieh dan bapak sudah sadar sekarang, mieh dan bapak akan
melaksanakan shalat

Anda mungkin juga menyukai