Art File 13 1491364055 PDF
Art File 13 1491364055 PDF
Dr. dr. Sandra Widaty, Sp.KK(K), FINS‐DV, FAADV
Hingga saat ini skabies masih merupakan penyakit kulit yang banyak dijumpai terutama di negara‐negara
berkembang. Penyakit ini dapat menyerang individu dari semua ras, strata sosial & ekonomi. Kendati dapat
disembuhkan tetapi pada kenyataanya skabies seringkali dianggap sebagai penyakit kulit biasa dan luput
terdiagnosis sehingga dapat berkembang menjadi berat dan mengalami komplikasi yang menimbulkan problema
fisik, psikis, sosial, dan ekonomi.
Skabies atau yang dikenal dengan istilah gudik, the itch, atau kudis, berasal dari bahasa latin “scabere”
yang artinya menggaruk. Skabies adalah suatu penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infeksi dan
infestasi ektoparasit (tungau) Sarcoptes scabiei var. hominis. Beberapa penelitian mengindikasikan
kurangnya kewaspadaan tenaga medis, khususnya dokter, dalam menghadapi masalah kulit ini. Oleh
karena itu, keterlibatan dokter bukan hanya dibutuhkan dalam hal pengobatan skabies tetapi juga dalam
pencegahan penularan melalui pemberian edukasi kesehatan kepada masyarakat.
Epidemiologi
Diperkirakan setiap saat ada kurang lebih 130 juta orang di seluruh dunia yang terjangkit skabies. Hal ini
terlihat dari tingginya kasus skabies yang dilaporkan di seluruh dunia setiap tahunnya yaitu ±300 juta
kasus.1 Kasus skabies dapat dijumpai di semua negara dengan prevalensi bervariasi, antara 0,3 hingga
46%.2 (lihat Tabel 1)
Tabel 1. Prevalensi skabies di berbagai negara berkembang sejak tahun 2004 hingga 2010.
Menurut hasil yang diperoleh dari laporan PUSKESMAS di seluruh Indonesia, skabies merupakan
penyakit kulit terbanyak ke‐3 dengan prevalensi 5,6‐12,9%. Penelitian yang dilakukan di pesantren dan
panti asuhan menemukan adanya 51,6% kasus skabies di Jakarta Timur pada tahun 2012 dan 68% kasus
skabies di Jakarta Selatan pada tahun 2014.
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa kasus skabies jauh lebih banyak didapati pada mereka
dengan personal higiene yang buruk dibandingkan dengan mereka dengan personal higiene baik. Dari
penelitian tersebut terlihat hubungan yang signifikan antara tingkat kebersihan perorangan dengan
kasus/kejadian skabies.3
Transmisi
Skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung (kulit dengan kulit) misalnya berjabat tangan,
bersentuhan, dan hubungan seksual, atau kontak tidak langsung yaitu melalui penggunaan pakaian,
sprei (bed linen), atau handuk secara bergantian dengan individu yang mengidap skabies karena kutu
skabies dapat bertahan hidup diluar tubuh manusia selama 3 hari (72 jam).4
Etiologi Skabies
Sarcoptes scabiei (S.scabiei) termasuk filum Arthropoda, kelas
Arachnida, ordo Acarina, famili Sarcoptidae, genus Sarcoptes. Secara
morfologi, S. scabiei merupakan tungau kecil, berbentuk oval/lonjong,
berkaki delapan, dengan punggung cembung dan bagian perut rata,
dan tidak memiliki mata. Infestasi tungau diawali berpindahnya tungau
dewasa dari kulit individu yang terinfeksi skabies ke kulit individu
sehat. Selanjutnya, tungau dewasa betina menggali terowongan pada
stratum korneum dan tinggal di dalamnya. Tungau dewasa keluar ke
atas kulit untuk berkopulasi dan setelah kopulasi, tungau jantan akan mati dan tungau betina korneum
dan menaruh 2‐3 telurnya setiap hari selama 4‐6 minggu. Sesudah 3‐4 hari, telur menetas menjadi larva.
Dalam sehari setelah ditetaskan, larva bermigrasi ke permukaan kulit dan menggali lubang kecil dan
mengisap cairan yang terkandung dalam sel‐sel kulit. 3‐4 hari kemudian, larva berubah menjadi nimfa
(tungau dewasa muda). Dalam 4‐6 hari selanjutnya, nimfa berubah menjadi tungau jantan atau tungau
betina dewasa. Secara keseluruhan, siklus hidup Sarcoptes scabiei terdiri dari 4 fase yaitu telur (3‐8
hari), larva (2‐3 hari), nimfa (± 7‐10 hari), dan dewasa.5
Patogenesis dan Gambaran Klinis
Patogenesis
Gejala pruritus, eritema, papul, dan nodul disebabkan oleh respon imun (hipersensitivitas tipe I & IV)
terhadap tungau. Tungau mempengaruhi imunitas, menghasilkan pembentukan infiltrat inflamasi yang
terdiri dari limfosit, histiosit, dan eosinofil pada permukaan dan bagian dalam kulit, serta perivaskuler.
Titer antibodi yang spesifik terhadap antigen tungau meningkat secara bertahap. Keratinosit epidermis
pada gilirannya menghasilkan interleukin‐6 (IL‐6) dan faktor pertumbuhan endotelial vaskuler serta
granulocyte‐colony stimulating factor (G‐CSF). IL‐6 menstimulasi proliferasi keratinosit, aktivasi sel CD4+
Th1 dan menyebabkan peningkatan produksi IL‐2. Hal ini mengaktivasi sel‐sel CD4+ untuk menghasilkan
IL‐4, sehingga meningkatkan produksi antibodi. IL‐8 dan G‐CSF meningkatkan diferensiasi monosit
menjadi sel‐sel dendritik dan proliferasi neutrofil. 6
Gambaran klinis
Gambaran klinis skabies meliputi 4 tanda cardinal/klasik yaitu pruritus nokturna (gatal, terutama pada
malam hari), menyerang sekelompok manusia, ditemukan adanya terowongan (kunikulus) dan
ditemukan tungau.7 Selain pruritus, adakalanya didapati ruam berupa erupsi papul, pustul, dan nodul.5
Papul eritematosa diakibatkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap tungau dewasa, telur
tungau, dan/atau eksreta tungau.1 Pada bayi dan anak kecil, ruam timbul di kepala, wajah, leher, telapak
tangan, dan telapak kaki, dan adakalanya ditemukan lesi yang menyerupai vesikel pada kulit kepala,
leher, telapak tangan, dan telapak kaki.5 Tempat predileksi yang khas dari kunikulus yaitu pada area
kulit dengan stratum korneum yang tipis, seperti sela‐sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar,
aksila, umbulikus, abdomen bagian bawah, areola mamae, bokong, dan genitalia eksterna (pria).1,8
Garukan seringkali mengakibatkan skabies mengalami infeksi sekunder oleh bakteri seperti
Staphylococcus aureus dan Streptococcus grup A. infeksi sekunder pada bayi dapat mengakibatkan
septikemia, bahkan kematian. 6
Faktor predisposisi seperti lepra, infeksi virus leukemia sel T manusia tipe 1, HIV, dan imunosupresi oleh
obat‐obatan menyebabkan berkembangnya skabies menjadi bentuk yang lebih berat seperti skabies
Norwegia.9
Skabies Norwegia
Skabies Norwegia atau skabies berkrusta pertama kali ditemukan diantara pasien lepra di Norwegia
tahun 1848. Ini merupakan skabies dengan hiperinfestasi tungau dengan jumlah tungau yang sangat
banyak (hingga mencapai ribuan) di kulit sehingga bersifat sangat menular. Skabies Norwegia dicirikan
dengan krusta hiperkeratosis yang tebal dan plak bersisik yang menyerupai psoriasis. Umumnya didapati
pada individu dengan gangguan sistem imun (termasuk AIDS) dan psikosis. Gejala pruritus tergolong
ringan atau bahkan tidak ada sehingga seringkali keliru didiagnosis dan mengakibatkan wabah
nosokomial yang besar. Infeksi sekunder sering dijumpai dan dikaitkan dengan angka mortalitas yang
tinggi.4,9
Bagaimana Mengidentifikasi Skabies?
Skabies didiagnosis secara klinis yaitu berdasarkan tanda‐tanda kardinal skabies. Diagnosis pasti skabies
ditegakkan dengan ditemukannya tungau dewasa, telur, atau larva melalui pemeriksaan penunjang
antara lain dengan mengambil sedikit kelupasan kulit (dengan bantuan jarum) dari lesi yang
mencurigakan dan diperiksa di bawah mikroskop, atau menyikat kulit dengan sikat dan menampung
serpihannya di atas kertas untuk dilihat di bawah kaca pembesar.7 Adanya tungau di dalam stratum
korneum dapat diketahui melalui pemeriksaan histopatologi dari biopsi kulit (biopsi irisan, dan biopsi
eksisional).4
The Great Immitiator
Karena menyerupai berbagai penyakit kulit lainnya dengan gejala gatal, skabies juga dinamakan the
great immitator disease. Diagnosis banding skabies yaitu dermatitis atopik, reaksi kulit akibat gigitan
serangga (insect bites), dermatitis herpetiformis, eksema dishidrotik, dan psoriasis. (Tabel 2).
Tabel 2. Diagnosis Banding Skabies 6
Tatalaksana skabies
Pemilihan obat untuk skabies dilakukan berdasarkan efektivitas obat, potensi toksisitas, jenis skabies,
dan usia penderita.8 Pengobatan skabies meliputi pemberian obat skabisidal topikal (misalnya
permethrin, lindane, atau ivermectin) dan antihistamin oral (misalnya diphenhydramine HCl atau
cyproheptadine HCl) sebagai terapi simtomatis untuk mengurangi gatal (pruritus). Pada skabies dengan
pruritus berat dapat digunakan prednison (oral).
Antibiotik diindikasikan untuk skabies yang mengalami infeksi sekunder. Penggunaan antibiotik
diteruskan hingga infeksi sekunder teratasi, yang kemudian dilanjutkan dengan skabisidal topikal.
Pada skabies berkrusta (Skabies Norwegia), tatalaksana mencakup perawatan rumah sakit, karantina
penderita, dan terapi kombinasi skabisidal (misalnya permethrin) topikal dan ivermectin oral. Lesi
hiperkeratosis diatasi dengan keratolitik topikal. Selain untuk mengurangi keratosis, keratolitik topikal
dapat membantu absorpsi krim permethrin.
Skabisidal
Permethrin krim 5% merupakan terapi standar emas topikal skabies dengan efektivitas mencapai 90
persen. Direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pada penderita skabies berusia di atas 2 bulan.
Permethrin dioleskan ke seluruh tubuh selama 8 hingga 12 jam, biasanya pada malam hari menjelang
tidur. Guna membasmi telur tungau yang sudah matang dan luput terbasmi pada terapi awal,
permethrin diberikan ulang 1 minggu kemudian.10 Obat ini memiliki toksisitas rendah.8
Sulfur presipitatum 5‐10% dalam bentuk salep aman digunakan untuk pengobatan topikal skabies pada
anak, termasuk bayi berusia kurang dari 2 bulan. Dalam konsentrasi 10%, obat ini mampu membunuh
larva, nimfa, dan tungau dewasa tetapi tidak halnya dengan telur (non ovisidal).
Pada beberapa daerah endemik skabies, seperti di beberapa desa di India, sabun sulfur dalam kadar 6‐
10% digunakan sebagai terapi andalan skabies.11
Lindane (gama benzen heksaklorida) krim atau salep 1% dapat digunakan sebagai alternatif jika
permethrin 5% tidak tersedia.12 Efektif terhadap semua stadium S. scabiei (mulai dari telur hingga
tungau dewasa). Karena memiliki efek neurotoksik, obat ini tidak direkomendasikan pada anak usia
kurang dari 2 tahun, ibu hamil, dan ibu menyusui.
Skabisidal lainnya, ivermectine digunakan sebagai terapi oral skabies, baik sebagai monoterapi maupun
kombinasi dengan obat topikal. Karena menghasilkan efek terapeutik sistemik dalam waktu relatif cepat,
ivermectine oral dapat digunakan untuk mengatasi wabah skabies dan menghasilkan angka kesembuhan
yang setara dengan terapi konvensional dengan obat topikal untuk skabies klasik. Efikasi ivermectine
sebesar 76 hingga 100% diperlihatkan oleh beberapa studi open‐label. Ivermectin dapat membunuh
larva, nimfa, dan tungau dewasa, kecuali telur (non ovisidal) sehingga perlu dikombinasi dengan obat
lainnya. Tidak direkomendasikan untuk anak berusia dibawah 5 tahun, ibu hamil, atau menyusui karena
keterbatasan data mengenai keamanan obat ini.8
Kapan perlu pengulangan terapi?
Karena gejala‐gejala skabies disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap tungau dan fesesnya,
ruam mungkin masih terlihat selama beberapa minggu sesudah pengobatan, sedangkan gejala gatal
menghilang secara bertahap dalam waktu 2 hingga 3 minggu sesudah pengobatan walaupun semua
tungau dewasa dan telurnya telah dibasmi. Karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan ulang tiap minggu
selama 4 minggu sesudah terapi untuk mengetahui perkembangan resolusi gejala. Pengulangan terapi
perlu dilakukan pada hari ke‐14 jika gejala pruritus tetap ada selama lebih dari 2 minggu sesudah terapi
atau ditemukan terowongan baru atau lesi muncul kembali.13
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Skabies
Dalam melakukan upaya pencegahan dan pengendalian skabies, pemberian edukasi masyarakat untuk
menerapkan kebiasaan atau pola hidup bersih, tindakan karantina (isolasi) dan pengobatan terhadap
penderita skabies hingga (pengobatan) tuntas, serta cara penggunaan obat skabies secara tepat
merupakan hal yang esensial.
Guna mencegah terjadinya reinfestasi tungau, perlu dilakukan pengobatan, pencegahan (profilaksis),
dan environmental cleaning secara bersamaan dalam waktu 24 jam terhadap penderita skabies dan
semua individu yang kontak langsung dengan penderita harus diterapi. Terapi profilaksis dengan
skabisidal seperti permethrin 5% dosis tunggal diberikan terhadap orang‐orang yang kontak langsung
atau kontak dekat dengan penderita skabies, termasuk para petugas kesehatan. Environmental cleaning
antara lain mencakup penatalaksanaan linen yaitu mencuci pakaian, handuk, sprei yang digunakan oleh
penderita atau orang‐orang yang kontak dekat dengan penderita dengan deterjen dan air panas dan
dikeringkan dengan hot dryer, dry‐cleaning. Jika tidak tersedia air panas, masukkan barang‐barang
tersebut ke dalam kantung plastik yang ditutup rapat dan dibiarkan sekurang‐kurangnya selama 7 hari
karena tungau skabies umumnya tidak dapat hidup selama lebih dari 3 hari di luar tubuh pejamu
(manusia).5
Kesimpulan
‐Skabies merupakan masalah kesehatan yang bersifat global dan dapat menyerang semua individu dari
segala usia, ras, dan tingkat sosioekonomi.
‐Faktor‐faktor seperti lingkungan tempat tinggal yang padat dan kumuh, sanitasi lingkungan yang buruk,
serta rendahnya tingkat pendidikan dan atau pengetahuan mengenai skabies merupakan faktor‐faktor
yang turut meningkatkan prevalensi skabies.
‐Kemampuan tungau yang hanya dapat bertahan hidup selama 3 hari di luar kulit tubuh pejamu
(manusia) merupakan hal yang esensial untuk diketahui oleh masyarakat dan tenaga kesehatan dalam
melakukan langkah‐langkah pengendalian dan pencegahan skabies secara optimal.
‐Keterlambatan diagnosis serta terapi dan penanganan (penderita dan individu yang kontak dengan
penderita) yang tidak adekuat mengakibatkan berkembangnya skabies menjadi berat dan terkomplikasi.
‐Dibandingkan dengan preparat topikal lainnya, permethrin topikal 5% memiliki keunggulan karena
dapat membunuh semua stadium tungau, toksisitas rendah, dan meredakan gejala gatal (pruritus)
secara lebih cepat pada skabies.
Daftar Pustaka:
1.Micali G, Lacarrubba F, et al. Scabies: Advances in Noninvasive Diagnosis. PLoS Negl Trop Dis. 2016; 1‐13.
2.Hay et al. Scabies in the developing world—its prevalence, complications, and management. Clin Microbiol Infect 2012; 18: 313–23.
3.Akmal SC, Semiarty R. Hubungan Personal Hygiene Dengan Kejadian Skabies Di Pondok Pendidikan Islam Darul Ulum, Palarik Air Pacah,
Kecamatan Koto Tangah Padang Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Andalas 2013;164‐7.
4.Inakanti Y. An Old Disease in New Look ‐ Short Review of Literature: Scabies. International Journal of Clinical Case Reports 2015; 5 (13): 1‐5.
5. Management of scabies in long‐term care facilities, schools and other institutions. Trenton (NJ): New Jersey Department of Health; 2014 Jul.
Diunduh dari http://www.state.nj.us/health/cd/documents/faq/
scabies_guidance.pdf
6. Viswanath V, Gapalani V, Jambhore M. Infestation. In: Singal A, Grover C, eds. Comprehensive Approach to Infections in Dermatology. 1st ed.
New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers;2016:421‐31.
7.Handoko RP. Skabies. In: Djuanda A ed. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2016.
8.Golant AK, Levitt JO. Scabies : A Review of Diagnosis and Management Based on Mite Biology. Pediatr Rev. 2012 Jan;33(1):e1‐e12.
9.Problems in Diagnosing Scabies, a Global Disease in Human and Animal Populations. Waltons SF, et al. CLINICAL MICROBIOLOGY
REVIEWS;2007:268–279.
10. Comparative Efficacy of Topical Permethrin, Crotamiton and Sulfur Ointment in Treatment of Scabies. C Mila‐Kierzenkowska et al. Journal of
Arthropod‐Borne Diseases 2008.
11. Hengel RL et al. Disease caused by Arthropods. In: Braun‐Falco O, Plewig G, Wolff HH, Burgdorf WH, eds. Dermatology, 2nd completely
revised ed. Italia: Springer‐Verlag;2000:372
12. Scabies management. Paediatr Child Health. 2001 Dec; 6(10): 775–777
13. Centers for Disease Control and Prevention. Scabies. https://www.cdc.gov/parasites/scabies/treatment.html