PENDAHULUAN
Hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) menyebutkan bahwa syarat sah dari sebuah perjanjian haruslah memenuhi
syarat sah perjanjian, yang terbagi dalam empat kriteria:4
1
Ganie Junaedy, Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2011),hlm. 1
2
Ibid,hal.5.
3
Kitab Kitab Undang-Undang Dagang (KUHD) Pasal 246, BAB IX tentang Asuransi atau Pertanggungan
Pada Umumnya.
4
Lihat Kitab Undang-undang Hukum Perdata BAB II tentang Perikatan Yang Lahir dari Kontrak Atau
Persetujuan, Bagian II Syarat-Syarat Terjadinya Suatu Perjanjian yang Sah.
2
Ada beberapa jenis asuransi yang dikenal di antaranya asuransi jiwa (life insurance)
dan asuransi kerugian (general insurance). Asuransi jiwa bertujuan menanggung orang
terhadap kerugian finansial yang tak terduga yang disebabkan karena meninggalnya terlalu
cepat atau hidupnya terlalu lama.5 Sedangkan asuransi kerugian bertujuan menanggung
harta benda dipertanggungkan disebabkan karena hilangnya harta benda tersebut akibat
kejadian tak terduga.6
Dalam hal penanggung memberikan ganti rugi kepada tertanggung atas ketidak-
pastian dan risiko yang akan ditimpa oleh tertanggung didasarkan pada sebuah perjanjian
yang mengikat keduanya. Perjanjian yang dimaksud didasarkan atas prinsip kejujuran dan
keterbukaan atau dikenal dengan asas itikad baik (utmost good faith).
Asas ini merupakan dasar dari mekanisme perjanjian asuransi. Tertanggung sudah
menyatakan berkesesuian dengan yang dinyatakan dalam perjanjian maka akan dikenakan
beban tanggungan yang harus dibayarkan (premi). Oleh karena itu, suatu perjanjian bisa
disebut sebagai asuransi bila di dalamnya memiliki unsur premi, unsur ganti rugi dan unsur
peristiwa yang belum terjadi.7
Keterangan tertanggung tentang asuransi ini penting, karena merupakan dasar dari
diselenggarakannya sebuah perjanjian. Hal ini disinggung dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH
Perdata bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut. 8 Berkenaan dengan
prinsip kepatutan dan kepantasan tersebut maka pihak tertanggung berkewajiban
memberikan informasi sesuai dengan realitas agar tertanggung dapat memberikan
tanggung jawabnya secara maksimal. Apabila dalam prosesnya tertanggung diketahui
kedapatan memanipulasi keterangan yang diperjanjikan di awal maka klaim yang diajukan
tidak dapat diproses oleh penanggung. Untuk itu asas utmost good faith menjadi dasar
utama dalam Asuransi. Berfungsi menjembatani pemenuhan kewajiban penanggung
5
Abbas Salim, Asuransi dan Menejemen Resiko (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), edisi 2,
hlm.25.
6
Ibid, hal.26.
7
CST Kansil Haddad, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika,
2002).hlm 53.
8
Lihat KUH Perdata, Pasal 1338, Bagian 3, Akibat Persetujuan.
3
kepada tertanggung atas hak-hak yang perlu diperoleh, serta menjelaskan hak-hak jaminan
apa saja yang akan diperoleh tertanggung.9
Sedangkan dalam konsep asuransi syariah, perjanjian yang dilakukan juga harus
sesuai dengan hukum Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) dalam pengaturan tentang akad. Disebutkan dalam KHES Buku II Bab I
pasal 20 angka 1, bahwa yang dimaksud dengan akad adalah kesepakatan dalam suatu
perjanjian di antara kedua belah pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan
perbuatan hukum tertentu.10
Dalam khasanah fikih, kata akad berasal dari lafal Arab al-‘aqad yang berarti
perikatan, perjanjian dan permufakatan (al-ittifaq). Secara terminologi fikih, akad
didefinisikan dengan “pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan
penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek
perikatan”. Jadi esensi akad adalah pertemuan ijab dan kabul, kehendak para pihak.11
Untuk mencapai akad yang maqbul seorang muslim harus menjaga dirinya dari
unsur kebohongan. Kejujuran merupakan fondasi dasar dalam melakukan akad tersebut.
sebagaimana diterangkan dalam al-Quran agar dalam bisnis tidak lagi diterapkan dengan
cara-cara yang mengandung kebatilan, kerusakan dan kezaliman. Sebagaimana ditekankan
oleh Allah SWT dalam surah an-Nisa: 29:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Sebagaimana ayat di atas, asas Utmost good faith atau yang diartikan sebagai
kejujuran yang sempurna memiliki kesesuaian dengan firman Allah dalam melakukan
9
Radiks Purba, Memahami Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992),hlm. 44.
10
Lihat Peraturan Mahkamah Agung RI No.02 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES) Buku II tentang akad.
11
Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian dalam Islam: Kajian Cacat Kehendak (Wilsgebreken)”, dalam Jurnal
Penelitian Agama, No. 21 th. VIII, Januari-April 1999, hlm.94.
4
perniagaan. Dari sini dapat dikatakan bahwa kejujuran sebagai nilai dan utmost good faith
sebagai sebuah prinsip memiliki kesamaan visi yang sama untuk menciptakan keadilan
dalam menjalankan sebuah perjanjian. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam menjalankan
prinsip asuransi syariah yang sesuai dengan tuntutan syar’i harus disepakati secara bersama
antara kedua belah pihak. Dengan demikian, proses berlangsungnya akad dalam asuransi
memiliki keralaan di antara kedua belah pihak, serta terhidar dari sesuatu yang dapat
merugikan di antara kedua belah pihak.
Begitu pula dalam asuransi jiwa syariah, yang dikenal menggunakan beberapa
akad. Salah satunya adalah akad wakalah bil ujroh. Dalam akad ini para tertanggung
(muwakil) memberikan kewenangan kepada penanggung (wakil) untuk mewakili
kepentingan muwakil dengan imbalan pemberian ujrah (fee) selama batas waktu tertentu.
5
Tetapi berdasarkan hukum Islam dijelaskan dalam akad wakalah bil ujrah terdapat
larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi sebagai wakil.
Misalnya wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi muwakil, karena akad
yang digunakan adalah akad wakalah.
Pada pengelolaan dana investasi baik dana tabarru’ maupun saving, dapat
digunakan akad wakalah bil ujrah dengan mengikuti ketentuan fatwa akad tersebut, fatwa
mudharabah dengan mengikuti ketentuan fatwa mudharabah, atau akad mudharabah
musyarakah. Namun masih saja terdapat beberapa permasalahan dalam konsep akad ini
dilaksanakan. Misalnya di dalam fatwa DSN MUI tersebut tidak disebutkan secara jelas
tentang cara dan pengambilan ujrah. Dalam ketentuan khusus fatwa tersebut hanya
disebutkan bahwa dalam asuransi syariah berhak mendapatkan ujrah atas pengelolaan
dana tabarru’ yang besarannya tidak dicantumkan dalam fatwa.12
Bila mengacu pada prinsip utmost good faith, serta prinsip menghindari
ketidakjelasan dalam berakad (gharar), maka, wakalah bil ujroh dalam hal pelaksanaan
dan penerapannya penting untuk dipertegas kembali. Untuk itu dalam hal ini penulis
bermaksud mengangkat tema penelitian “Penerapan Asas Itikad Baik (Utmost Good Faith)
Pada Akad Wakalah bil Ujroh Dalam Asuransi Jiwa Syariah”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prinsip utmost good faith yang berlaku dalam asuransi konvensional dan
syariah?
2. Bagaimana penerapan utmost good faith pada wakalah bil ujroh dalam asuransi jiwa
syariah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
12
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.52/DSN-MUI/III/2006 Tentang Wakalah
bil Ujrah pada Asuransi Syariah bagian keempat angka 6, hlm. 8.
6
Tujuan umum dari penelitian ini adalah dalam rangka memenuhi persyaratan
gelar magister hukum di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menganalisis sejauh mana prinsip utmost good faith dijalankan
dalam asuransi konvensional dan asuransi syariah.
b. Untuk menganalisis penerapan prinsip utmost good faith pada akad wakalah
bil ujroh dalam asuransi jiwa syariah.
D. Kerangka Teori
Konsep Keadilan Menurut Sayyid Quthb
13
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta; 1971), hal. 159.
7
dia ambil selalu bertumpu pada konsep yang dikehendaki oleh tuhannya.14 Dalam kasus
ini Allah berfirman:
Senada dengan pernyataan Quthb, Ibnu Katsir juga menafsirkan hal yang sama
berkaitan dengan makna surah an-Nisa ayat 135, bahwa setiap muslim wajib
menjalankan perintah tuhan terutama dalam hal menjunjung keadilan di muka bumi.
Dan janganlah mereka bergeming dari keadilan barang sedikit pun, dan janganlah
mereka kendur menegakkan keadilan karena Allah hanya karena celaan banyak orang
dan janganlah mereka dipengaruhi oleh sesuatu yang membuatnya berpaling dari
keadilan. Dan hendaklah mereka bersatu, tolong-menolong dan saling mendukung
dalam hal keadilan.17
14
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Quran, Jilid III, hal. 182.
15
Departemen Agama RI, al-Quran…, (Jakarta; 1971), hal. 144.
16
Ibid,. hlm. 99.
17
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung; Sinar Baru Algensindo), hlm. 561.
8
Keadilan dalam Islam tidak terbatas pada satu aspek saja, misalnya keadilan ekonomi
semata. Lebih dari itu, keadilan dalam Islam mencakup kerangka universal keadilan itu
sendiri. Bahkan terkait dengan pikiran dan sikap. Dalam pandangan luasnya, keadilan
dalam Islam mencakup nilai-nilai moralitas dan spiritualitas yang tidak bisa dipisahkan
satu sama lain.
اس أَن ت َۡح ُك ُمواْ بِٱ ۡلعَ ۡد ْۚ ِل ِ َ۞إِ َّن ٱ َّّلِلَ يَ ۡأ ُم ُر ُك ۡم أَن ت ُ َؤدُّواْ ٱ ۡۡل َ َمن
ِ َّت إِلَ َٰٓى أ َ ۡه ِل َها َوإِ َذا َح َكمۡ تُم بَ ۡينَ ٱلن
٥٨ ص ٗيرا ِ َس ِمي ُۢعَا ب َ َّلِل َكان ُ إِ َّن ٱ َّّلِلَ نِ ِع َّما يَ ِع
َ َّ ظ ُكم بِ ِهۦَٰٓ إِ َّن ٱ
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum
di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. an-Nahl ayat 90)19
Untuk mendalami ayat ini Quthb menyebutkan bahwa sejatinya tugas seorang
muslim adalah menunaikan amanat itu kepada yang berhak dan memutuskannya secara
adil.20 Secara langsung juga Quthb mengatakan jika umat Islam harus menegakkan
keadilan ini dalam memutuskan hukum di antara manusia dengan keadilan yang sama
sekali belum pernah dikenal oleh manusia kecuali hanya di tangan Islam saja, kecuali
di dalam hukum kaum muslimin saja, kecuali di dalam masa kepemimpinan Islam
terhadap manusia saja. Quthb dalam hal ini membagi dua aspek keadilan dalam Islam:
18
Jurnal UNISIA, Pendekatan Islam Terhadap Keadilan Sosial, Sayyid Quthb, (N0..39/XXII/III/199), hlm.
10.
19
Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahannya..Hlm. 415.
20
Ibid,. hlm. 396.
9
A. Persamaan
Kata adil dalam surah ini mencakup sikap dan perlakuan hakim dalam
memutuskan proses pengambilan hukum. Ayat ini menuntun hakim untuk
menempatkan para pihak yang bersengketa pada posisi yang sama agar terwujud
keadilan di antara keduanya. Begitu pula dalam hal akad prinsip keadilan tanpa
membedakan hak dan kewajiban merupakan hal yang fundamental.
B. Keseimbangan
21
Sayyid Quthb, Fi Zhilal..., Jilid X, h.422.
10
E. Kerangka Konsep
1. Syariah
Syariah adalah kosa kata bahasa Arab yang secara harfiah berarti sumber air
atau sumber kehidupan.23 Dalam Mukhtar al-Sihah diungkapkan sebagai berikut: 24
syariah adalah sumber air dan ia adalah tujuan bagi orang yang akan minum. Syariah
juga sesuatu yang telah ditetapkan Allah swt. kepada hamba-Nya berupa agama yang
telah disyariahkan kepada mereka. Orang-orang Arab menerapkan istilah ini khususnya
pada jalan setapak menuju palung air yang tetap dan diberi tanda yang jelas terlihat
mata. Jadi, kata demikian ini berarti jalan yang jelas kelihatan atau jalan raya untuk
diikuti.
Al-Quran menggunakan kata syariah dalam arti agama, atau dalam arti jalan
yang jelas yang ditunjukkan Allah bagi manusia. Syariah sering digunakan sebagai
sinonim dari kata ad-din dan millah yang bermakna segala peraturan yang berasal dari
Allah SWT. yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis yang bersifat qat’i atau jelas
nasnya.25 Allah jelaskan mengenai hal ini dalam surah Muhammad 33:
22
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 132.
23
Muhammad bin Makram bin Manzur al-Afriqiy atau Ibnu Manzur, Lisan al-Arab (Dar al- Shadr, tth.),
hlm. 40-44.
24
Muhammad bin Abi Bakr bin Abd al-Qadir a-Raziy, Mukhtar al-Shihah (Beirut: Maktabah Lubnan
Nasyrirun,1995), juz 1,hlm.141
25
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 200
11
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada
rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu”(Qs. Muhammad:
33).
a. al-Quran
b. Hadis
c. Ijma
d. Qiyas
2. Akad (Perjanjian) dalam Islam
Akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan qabul yang berakibat
timbulnya akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak,
dan qabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan
terhadap penawaran pihak yang pertama.
Oleh karenanya Islam telah memerintahkan bahwa syarat sah akad dalam
sebuah perjanjian haruslah memenuhi rukun dan syarat sebagaimana telah ditentukan
oleh kalangan ulama fikih.
26
M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta:PT RajaGrafindo, 2003), hlm.102.
27
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari‟ah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 75
12
1) Rukun Akad
Pada dasarnya setelah diketahui bahwa akad dan transaksi yang dilakukan
di antaranya berimplikasi hukum, maka paling tidak ada beberapa acuan ketika
hendak melakukan akad, yang di antaranya adalah:
a) Aqid ialah orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu
orang terkadang terdiri dari beberapa orang, seseorang yang berakad terhalang
orang yang memiliki haq (aqid ashli) dan terkadang merupakan merupakan
wakil dari yang memiliki hak. Ulama fiqh memberikan persyaratan atau kriteria
yang harus dipenuhi oleh aqid, antara lain:28
(a) Ahliyah, keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan
transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau
mumayyiz dan berakal. Berakal di sini adalah tidak gila sehingga
mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz
di sini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk antara yang
berbahaya dan tidak berbahaya dan antara merugikan dan
menguntungkan.
(b) Wilayah, atau bisa diartikan sebagai hak dan kewanangan seseorang
yang mendapatkan legalisasi syar’i untuk melakukan transaksi atas
suatu objek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan
pemilik asli, wali atau wakil atas suatu objek transaksi, sehingga ia
memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang
penting, orang yang melakukan akad harus bebas dari tekanan sehingga
mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas.
b) Mauqud alaih ialah benda-benda yang diakadkan.
c) Maudhu al-aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad, berbeda
akad, maka berbedalah tujuan pokok akad.
d) Sighat al-aqd ialah ijab dan qabul, ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar
yang dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya.
28
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014) hlm.54.
13
2) Syarat Akad
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam aqad yaitu:29
a) Kedua orang yang melakukan aqad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad
orang gila, orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur) karena boros
atau lainnya.
b) Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
c) Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak
melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang
d) Aqad tidak dilarang oleh syara’.
e) Aqad dapat memberikan faedah.
f) Ijab tersebut berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi qabul.
g) Ijab dan qabul bersambung jika berpisah sebelum adanya qabul maka batal.
b. Asuransi
a. Pengertian
Asuransi adalah salah satu bentuk pengendalian risiko yang dilakukan dengan
cara mengalihkan atau transfer risiko dari satu pihak ke pihak lain dalam hal ini adalah
perusahaan asuransi.30
Definisi mengenai asuransi juga dapat dilihat dalam UU No. 40 tahun 2014
tentang Perasuransian pada Ketentuan umum Pasal 1 yang menyebutkan bahwa
29
Ibid, hlm. 44
30
Tuti Rastuti, Aspek Hukum Perjanjian Asuransi, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), hlm. 11.
31
AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Prespektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 58-59.
14
asuransi adalah perjanjian di antara dua belah pihak yaitu perusahaan asuransi dan
pemegang polis, yang menjadi dasar dari penerimaan premi oleh perusahaan asuransi.32
Dalam KUHD Pasal 246 juga disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
asuransi adalah suatu perjanjian dimana seorang penanggung mengikatkan diri kepada
seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian yang tidak diharapkan yang mungkin akan
dideritanya karena suatu peristiwa tak tentu.
Bila melihat kedua definisi di atas, baik KUHD maupun UU No. 40 tahun 2014,
maka kita bisa membagi asuransi ke dalam empat unsur:33
1) Pihak peserta (insured) ialah orang yang berjanji untuk membayar uang premi
kepada pihak penanggung secara sekaligus atau berangsur.
2) Pihak penanggung (insurer) yang berjanji akan membayar sejumlah uang
kepada pihak peserta sekaligus atau secara berangsur apabila terjadi sesuatu
unsur yang tentu.
3) Suatu peristiwa (accident) yang tidak tentu (yang tidak diketahui sama sekali
sebelumnya)
4) Kepentingan (interest) yang mungkin akan mengalami kerugian karena
peristiwa yang tidak tentu.
c. Utmost Good Faith
Utmost good faith atau kejujuran sempurna adalah bagian dari setiap aturan yang
diikatkan kepada para pihak yang hendak melakukan transaksi asuransi.34 Prinsip utmost
good faith (itikad terbaik) merupakan prinsip bahwa setiap tertanggung berkewajiban
memberitahukan secara jelas dan teliti mengenai segala fakta penting yang berkaitan
dengan obyek yang diasuransikan serta tidak mengambil untung dari asuransi. Prinsip ini
32
Pengertian lengkap lihat UU No.40 tahun 2014 tentang Perasuransian.
33
Khotibul Umam, Memahami dan Memilih Produk Asuransi, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), hlm.
3-6.
Mohd. Ma’sum Billah, Islamic and Modern Insurance Principles dan Practices, (Selangor: Ilmiah
34
juga berlaku bagi perusahaan asuransi, yaitu kewajiban menjelaskan risiko yang dijamin
maupun yang dikecualikan secara jelas dan teliti.
Setiap transaksi komersial harus dibuat dengan dasar kejujuran satu sama lain
sehingga tidak ada lagi hal yang disembunyikan atau terjadi kesalahpahaman dan kesalahan
interpretasi dari perjanjian tersebut.
Good faith merupakan aturan prinsip yang diterapkan pada seluruh kontrak
asuransi. Good faith melarang setiap pihak untuk menyembunyikan informasi yang
dimiliki untuk ditulis di dalam sebuah perjanjian yang merupakan dasar dari fakta.
Menyembunyikan setiap fakta yang dimiliki berarti melanggar sebuah perjanjian
dan aturan yang timbul setelah itu tidak sah menurut hukum.
F. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian yuridis normatif mengenai prinsip utmost good faith ini,
penelitian mengacu pada kajian hukum formal yang tertera dalam KUH Perdata, KUH
Dagang perihal aturan prinsip utmost good faith. Undang-undang No. 40 Tahun 2014
35
Ibid, hlm.223.
36
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing,
2006), hlm. 294.
37
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1988), hlm. 13-14.
16
Tentang Perasuransian digunakan sebagai bahan tambahan untuk melihat aturan hukum
asuransi konvensional dan asuransi syariah yang berlaku di Indonesia. Serta Fatwa Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) yang berkaitan dengan asuransi
jiwa syariah, khususnya akad wakalah bil ujroh dalam asuransi jiwa syariah.
1. Sumber Data
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Diperoleh langsung dari
masyarakat dinamakan data primer (atau data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-
bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.39
Data dalam penulisan ini adalah data sekunder, yaitu bahan pustaka yang mencakup
dokumen-dokumen resmi, buku-buku pustaka, peraturan perundang-undangan, karya
ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian. Dari bahan
hukum sekunder tersebut mencakup dua bagian, yaitu:
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum
primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peraturan perundang-
undangan yaitu: aturan-aturan di dalam KUH Perdata diatur Kitab, KUH Dagang,
Kajian hukum Islam seperti, Alquran dan Hadist, hasil Ijtihad hukum Islam seperti;
Fatwa DSN MUI.
38
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum,(Jakarta; Granit, 2004),hlm.92.
39
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,(Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), hlm. 12.
17
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka,
yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran dan menelaah
bahan pustaka (literatur, hasil penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah
dsb). Bahan hukum dikumpulkan melalui prosedur inventarisasi dan identifikasi
peraturan perundang-undangan, serta klarifikasi dan sistematisasi bahan hukum sesuai
permasalahn penelitian.
Oleh karena itu, metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan ini dilakukan dengan cara
membaca, menelah, mencatat membuat ulasan bahan-bahan pustaka yang ada
kaitannya dengan prinsip utmost good faith.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian tesis ini terdiri dari lima bab. Adapun bab yang pertama
terdiri dari; Berisi tentang uraian latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kerangka teori, kerangka konsep, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
40
Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Cet.1, (Jakarta: Fakultas Hukum UI,
2005),hlm.22.
18
Bab kedua adalah tinjauan umum prinsip utmost good faith dalam Asuransi
Konvensional dan Asuransi Syariah. Bab ini berisi konsep dasar prinsip utmost good faith.
Konsep dasar asuransi konvensional, konsep dasar asuransi syariah, prinsip utmost good
faith dalam asuransi konvensional, prinsip utmost good faith dalam asuransi syariah.
Bab ketiga membahas mengenai konsep dasar wakalah bil ujroh dalam asuransi
jiwa syariah, dan konsep implementasi ataupun penerapan utmost good faith dalam
asuransi jiwa syariah.
Bab keempat adalah penutup yang terdiri dari; kesimpulan, serta saran ataupun
rekomendasi. Daftar pustaka serta daftar riwayat hidup sebagai bagian tak terpisahkan dari
tesis ini ditempatkan pada bagian akhir dari pembahasan penelitian tesis ini.