Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Asuransi timbul karena kebutuhan manusia, di mana perjanjiannya dilakukan


antara dua pihak atau lebih.1 Pihak tertanggung mengikatkan diri kepada penanggung,
dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak kedua yang akan dipenuhi oleh penanggung. Dengan kata lain
asuransi merupakan bentuk pengalihan dari sebuah risiko.2

Dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) disebutkan


bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian di mana penanggung mengikat diri
terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi
karena suatu kehilangan, kerusakan atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan dan
mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti.3 Dengan artian
asuransi yang disebutkan dalam KUHD, memiliki nilai komersil yang di dapatkan oleh
nasabah dalam suatu lembaga asuransi, dengan tujuan untuk memberi pertolongan kepada
nasabah jika terjadi sesuatu peristiwa dikemudian hari.

Hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) menyebutkan bahwa syarat sah dari sebuah perjanjian haruslah memenuhi
syarat sah perjanjian, yang terbagi dalam empat kriteria:4

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.

1
Ganie Junaedy, Hukum Asuransi Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2011),hlm. 1
2
Ibid,hal.5.
3
Kitab Kitab Undang-Undang Dagang (KUHD) Pasal 246, BAB IX tentang Asuransi atau Pertanggungan
Pada Umumnya.
4
Lihat Kitab Undang-undang Hukum Perdata BAB II tentang Perikatan Yang Lahir dari Kontrak Atau
Persetujuan, Bagian II Syarat-Syarat Terjadinya Suatu Perjanjian yang Sah.
2

4. Suatu sebab yang halal.

Ada beberapa jenis asuransi yang dikenal di antaranya asuransi jiwa (life insurance)
dan asuransi kerugian (general insurance). Asuransi jiwa bertujuan menanggung orang
terhadap kerugian finansial yang tak terduga yang disebabkan karena meninggalnya terlalu
cepat atau hidupnya terlalu lama.5 Sedangkan asuransi kerugian bertujuan menanggung
harta benda dipertanggungkan disebabkan karena hilangnya harta benda tersebut akibat
kejadian tak terduga.6

Dalam hal penanggung memberikan ganti rugi kepada tertanggung atas ketidak-
pastian dan risiko yang akan ditimpa oleh tertanggung didasarkan pada sebuah perjanjian
yang mengikat keduanya. Perjanjian yang dimaksud didasarkan atas prinsip kejujuran dan
keterbukaan atau dikenal dengan asas itikad baik (utmost good faith).

Asas ini merupakan dasar dari mekanisme perjanjian asuransi. Tertanggung sudah
menyatakan berkesesuian dengan yang dinyatakan dalam perjanjian maka akan dikenakan
beban tanggungan yang harus dibayarkan (premi). Oleh karena itu, suatu perjanjian bisa
disebut sebagai asuransi bila di dalamnya memiliki unsur premi, unsur ganti rugi dan unsur
peristiwa yang belum terjadi.7

Keterangan tertanggung tentang asuransi ini penting, karena merupakan dasar dari
diselenggarakannya sebuah perjanjian. Hal ini disinggung dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH
Perdata bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut. 8 Berkenaan dengan
prinsip kepatutan dan kepantasan tersebut maka pihak tertanggung berkewajiban
memberikan informasi sesuai dengan realitas agar tertanggung dapat memberikan
tanggung jawabnya secara maksimal. Apabila dalam prosesnya tertanggung diketahui
kedapatan memanipulasi keterangan yang diperjanjikan di awal maka klaim yang diajukan
tidak dapat diproses oleh penanggung. Untuk itu asas utmost good faith menjadi dasar
utama dalam Asuransi. Berfungsi menjembatani pemenuhan kewajiban penanggung

5
Abbas Salim, Asuransi dan Menejemen Resiko (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), edisi 2,
hlm.25.
6
Ibid, hal.26.
7
CST Kansil Haddad, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika,
2002).hlm 53.
8
Lihat KUH Perdata, Pasal 1338, Bagian 3, Akibat Persetujuan.
3

kepada tertanggung atas hak-hak yang perlu diperoleh, serta menjelaskan hak-hak jaminan
apa saja yang akan diperoleh tertanggung.9

Sedangkan dalam konsep asuransi syariah, perjanjian yang dilakukan juga harus
sesuai dengan hukum Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) dalam pengaturan tentang akad. Disebutkan dalam KHES Buku II Bab I
pasal 20 angka 1, bahwa yang dimaksud dengan akad adalah kesepakatan dalam suatu
perjanjian di antara kedua belah pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan
perbuatan hukum tertentu.10

Dalam khasanah fikih, kata akad berasal dari lafal Arab al-‘aqad yang berarti
perikatan, perjanjian dan permufakatan (al-ittifaq). Secara terminologi fikih, akad
didefinisikan dengan “pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan
penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek
perikatan”. Jadi esensi akad adalah pertemuan ijab dan kabul, kehendak para pihak.11

Untuk mencapai akad yang maqbul seorang muslim harus menjaga dirinya dari
unsur kebohongan. Kejujuran merupakan fondasi dasar dalam melakukan akad tersebut.
sebagaimana diterangkan dalam al-Quran agar dalam bisnis tidak lagi diterapkan dengan
cara-cara yang mengandung kebatilan, kerusakan dan kezaliman. Sebagaimana ditekankan
oleh Allah SWT dalam surah an-Nisa: 29:

َ ُ‫اض ِمن ُك ۡۚۡم َو ََل ت َۡقتُلُ َٰٓواْ أَنف‬


َّ ‫س ُك ۡۚۡم ِإ َّن‬
َ‫ٱَّلل‬ َٰٓ َّ ‫َٰ ََٰٓيأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُواْ ََل ت َۡأ ُكلُ َٰٓواْ أَمۡ َٰ َولَ ُكم َب ۡي َن ُكم ِب ۡٱل َٰ َب ِط ِل ِإ‬
ٖ ‫َل أَن ت َ ُكونَ ِت َٰ َج َرة ً َعن ت ََر‬
٢٩ ‫َكانَ بِ ُك ۡم َر ِح ٗيما‬

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Sebagaimana ayat di atas, asas Utmost good faith atau yang diartikan sebagai
kejujuran yang sempurna memiliki kesesuaian dengan firman Allah dalam melakukan

9
Radiks Purba, Memahami Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992),hlm. 44.
10
Lihat Peraturan Mahkamah Agung RI No.02 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES) Buku II tentang akad.
11
Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian dalam Islam: Kajian Cacat Kehendak (Wilsgebreken)”, dalam Jurnal
Penelitian Agama, No. 21 th. VIII, Januari-April 1999, hlm.94.
4

perniagaan. Dari sini dapat dikatakan bahwa kejujuran sebagai nilai dan utmost good faith
sebagai sebuah prinsip memiliki kesamaan visi yang sama untuk menciptakan keadilan
dalam menjalankan sebuah perjanjian. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam menjalankan
prinsip asuransi syariah yang sesuai dengan tuntutan syar’i harus disepakati secara bersama
antara kedua belah pihak. Dengan demikian, proses berlangsungnya akad dalam asuransi
memiliki keralaan di antara kedua belah pihak, serta terhidar dari sesuatu yang dapat
merugikan di antara kedua belah pihak.

Tentu saja bila titik tekannya menggunakan analisis terminologi dengan


mengedepankan prinsip analogi di dalamnya, akad takaful dalam asuransi syariah
mengenal utmost good faith sebagai asas kejujuran sebagai fondasi akadnya. Namun
apakah kemudian uraian di atas bisa menjadi sebuah indikator bahwa utmost good faith
juga telah diadopsi dalam sistem asuransi syariah. Dengan ini penulis memandang perlunya
kajian mendalam terkait penerapan prinsip utmost good faith ini di dalam konsep asuransi
syariah.

Dalam pengelolaan dana dan penanggungan resiko, asuransi syariah tidak


memperbolehkan adanya gharar (ketidakjelasan) dan maysir (judi). Dalam investasi atau
manajemen dana tidak diperkenankan adanya riba (bunga). Ketiga larangan ini, gharar,
maisir, dan riba adalah area yang harus dihindari dalam praktik asuransi. Prinsip utmost
good faith dimaksudkan untuk menghindari gharar atau ketidakjelasan tersebut. Selain itu,
utmost good faith juga menghindarkan yang mampu membuat kerugian. Pertama, physical
hazard suatu kondisi yang bersumber pada karakteristik secara fisik dari suatu objek yang
dapat memperbesar terjadinya peril. Atau dapat dikatakan juga sesuatu yang memang
melekat pada bendanya. Kedua, moral hazard, suatu yang bersumber dari mental seseorang
atau suatu pandangan hidup seseorang serta kebiasaannya yang dapat memperbesar suatu
peril. Penekanannya ada pada sikap dan behavior-nya.

Begitu pula dalam asuransi jiwa syariah, yang dikenal menggunakan beberapa
akad. Salah satunya adalah akad wakalah bil ujroh. Dalam akad ini para tertanggung
(muwakil) memberikan kewenangan kepada penanggung (wakil) untuk mewakili
kepentingan muwakil dengan imbalan pemberian ujrah (fee) selama batas waktu tertentu.
5

Tetapi berdasarkan hukum Islam dijelaskan dalam akad wakalah bil ujrah terdapat
larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi sebagai wakil.
Misalnya wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi muwakil, karena akad
yang digunakan adalah akad wakalah.

Pada pengelolaan dana investasi baik dana tabarru’ maupun saving, dapat
digunakan akad wakalah bil ujrah dengan mengikuti ketentuan fatwa akad tersebut, fatwa
mudharabah dengan mengikuti ketentuan fatwa mudharabah, atau akad mudharabah
musyarakah. Namun masih saja terdapat beberapa permasalahan dalam konsep akad ini
dilaksanakan. Misalnya di dalam fatwa DSN MUI tersebut tidak disebutkan secara jelas
tentang cara dan pengambilan ujrah. Dalam ketentuan khusus fatwa tersebut hanya
disebutkan bahwa dalam asuransi syariah berhak mendapatkan ujrah atas pengelolaan
dana tabarru’ yang besarannya tidak dicantumkan dalam fatwa.12

Bila mengacu pada prinsip utmost good faith, serta prinsip menghindari
ketidakjelasan dalam berakad (gharar), maka, wakalah bil ujroh dalam hal pelaksanaan
dan penerapannya penting untuk dipertegas kembali. Untuk itu dalam hal ini penulis
bermaksud mengangkat tema penelitian “Penerapan Asas Itikad Baik (Utmost Good Faith)
Pada Akad Wakalah bil Ujroh Dalam Asuransi Jiwa Syariah”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prinsip utmost good faith yang berlaku dalam asuransi konvensional dan
syariah?
2. Bagaimana penerapan utmost good faith pada wakalah bil ujroh dalam asuransi jiwa
syariah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus sebagai berikut:
1. Tujuan Umum

12
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.52/DSN-MUI/III/2006 Tentang Wakalah
bil Ujrah pada Asuransi Syariah bagian keempat angka 6, hlm. 8.
6

Tujuan umum dari penelitian ini adalah dalam rangka memenuhi persyaratan
gelar magister hukum di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menganalisis sejauh mana prinsip utmost good faith dijalankan
dalam asuransi konvensional dan asuransi syariah.
b. Untuk menganalisis penerapan prinsip utmost good faith pada akad wakalah
bil ujroh dalam asuransi jiwa syariah.
D. Kerangka Teori
Konsep Keadilan Menurut Sayyid Quthb

Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Dan memaksa setiap


pemeluknya untuk berbuat dan berlaku adil. Allah SWT sebagaimana dalam firmannya
menyerukan kepada umat manusia untuk selalu berlaku adil dengan selalu menjaga
ketaatan kepada-Nya.

ْ‫علَ َٰٓى أ َ ََّل ت َعۡ ِدلُو ْۚا‬


َ ‫ان قَ ۡو ٍم‬ َ ‫ش َه َدآَٰ َء بِٱ ۡل ِق ۡس ِط َو ََل يَ ۡج ِر َمنَّ ُك ۡم‬
ُ َ‫شن‬ ِ َّ ِ َ‫َٰٓيَأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُواْ ُكونُواْ قَ َّو ِمين‬
ُ ‫ّلِل‬
٨ َ‫ير بِ َما ت َعۡ َملُون‬ ُ ُۢ ِ‫ّلِل َخب‬ ُ ‫ٱ ۡع ِدلُواْ ُه َو أ َ ۡق َر‬
ْۚ َّ ‫ب ِللت َّ ۡق َوى َوٱتَّقُواْ ٱ‬
َ َّ ‫ّلِلَ ِإ َّن ٱ‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS al-Maidah 8)13

Maka berbuat adil merupakan kewajiban bagi seorang muslim. Ditegakkan


karena perintah tuhannya. Quthb menyebutkan perintah ini ditujukan untuk menjaga
kehormatan manusia, menegakkan keadilan dengan memenuhi kewajiban dan
memberikan hak kepada sesama. Secara otomatis manusia akan terhindar dari
tindakan-tindakan yang merendahkan. Menurut Quthb hal ini hanya bisa diwujudkan
jika manusia meningkatkan nilai takwanya kepada Allah sehingga segala tindakan yang

13
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta; 1971), hal. 159.
7

dia ambil selalu bertumpu pada konsep yang dikehendaki oleh tuhannya.14 Dalam kasus
ini Allah berfirman:

ْۚ ِ‫علَ َٰٓى أَنُفُ ِسكُ ۡم أ َ ِو ٱ ۡل َو ِل َد ۡي ِن َوٱ ۡۡل َ ۡق َرب‬


َ‫ين‬ ُ ‫۞ َٰٓيَأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُواْ ُكونُواْ قَ َّو ِمينَ ِبٱ ۡل ِق ۡس ِط‬
َ ‫ش َه َدآَٰ َء ِ َّّلِلِ َولَ ۡو‬
ْ‫ضوا‬ ُ ‫ى أَن ت َعۡ ِدلُو ْۚاْ َوإِن ت َۡل ُوۥَٰٓاْ أ َ ۡو تُعۡ ِر‬ َٰٓ ‫غنِيًّا أ َ ۡو فَ ِق ٗيرا فَٱ َّّلِلُ أ َ ۡولَى ِب ِه َما فَ ََل تَت َّ ِبعُواْ ٱ ۡل َه َو‬
َ ‫ِإن يَ ُك ۡن‬
ُ
١٣٥ ‫فَإ ِ َّن ٱ َّّلِلَ َكانَ ِب َما ت َعۡ َملونَ َخ ِب ٗيرا‬
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka
Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar
balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.(QS. an-Nisa 135)15

Seruan ini menjelaskan bahwa setiap manusia untuk menegakkan keadilan


dalam kondisi dan keadaan apapun. Keadilan mencegah seseorang berbuat zalim dan
semena-mena. Keadilan menjamin kesamaan di antara manusia memberikan hak
kepada masing-masing sesuai dengan haknya. Dalam konsep ini manusia ditempatkan
sama dan setara, baik muslim dan non-muslim antara kerabat dan tetangga, antara si
kaya dan miskin.16

Senada dengan pernyataan Quthb, Ibnu Katsir juga menafsirkan hal yang sama
berkaitan dengan makna surah an-Nisa ayat 135, bahwa setiap muslim wajib
menjalankan perintah tuhan terutama dalam hal menjunjung keadilan di muka bumi.
Dan janganlah mereka bergeming dari keadilan barang sedikit pun, dan janganlah
mereka kendur menegakkan keadilan karena Allah hanya karena celaan banyak orang
dan janganlah mereka dipengaruhi oleh sesuatu yang membuatnya berpaling dari
keadilan. Dan hendaklah mereka bersatu, tolong-menolong dan saling mendukung
dalam hal keadilan.17

Keadilan dalam Islam merupakan keadilan terhadap prinsip kemanusiaan secara


menyeluruh yang mencakup semua faktor dasar dan semua aspek kehidupan manusia.

14
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Quran, Jilid III, hal. 182.
15
Departemen Agama RI, al-Quran…, (Jakarta; 1971), hal. 144.
16
Ibid,. hlm. 99.
17
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung; Sinar Baru Algensindo), hlm. 561.
8

Keadilan dalam Islam tidak terbatas pada satu aspek saja, misalnya keadilan ekonomi
semata. Lebih dari itu, keadilan dalam Islam mencakup kerangka universal keadilan itu
sendiri. Bahkan terkait dengan pikiran dan sikap. Dalam pandangan luasnya, keadilan
dalam Islam mencakup nilai-nilai moralitas dan spiritualitas yang tidak bisa dipisahkan
satu sama lain.

Dengan kata lain, keadilan dalam Islam merupakan bentuk-bentuk hubungan


kasih sayang, saling menghormati, dan menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap
insan secara umum dan sesama muslim secara khusus.18

Islam menegaskan bahwa melanggar batas kepentingan masyarakat dengan


keinginan dan ambisi individu adalah sikap sosial yang bertentangan dengan prinsip
dan ajaran Islam sendiri. Begitu pula sebaliknya, Islam memandang pelanggaran
terhadap sikap individu oleh masyarakat merupakan bentuk ketidak adilan.

‫اس أَن ت َۡح ُك ُمواْ بِٱ ۡلعَ ۡد ْۚ ِل‬ ِ َ‫۞إِ َّن ٱ َّّلِلَ يَ ۡأ ُم ُر ُك ۡم أَن ت ُ َؤدُّواْ ٱ ۡۡل َ َمن‬
ِ َّ‫ت إِلَ َٰٓى أ َ ۡه ِل َها َوإِ َذا َح َكمۡ تُم بَ ۡينَ ٱلن‬
٥٨ ‫ص ٗيرا‬ ِ َ‫س ِمي ُۢعَا ب‬ َ َ‫ّلِل َكان‬ ُ ‫إِ َّن ٱ َّّلِلَ نِ ِع َّما يَ ِع‬
َ َّ ‫ظ ُكم بِ ِهۦَٰٓ إِ َّن ٱ‬
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum
di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. an-Nahl ayat 90)19

Untuk mendalami ayat ini Quthb menyebutkan bahwa sejatinya tugas seorang
muslim adalah menunaikan amanat itu kepada yang berhak dan memutuskannya secara
adil.20 Secara langsung juga Quthb mengatakan jika umat Islam harus menegakkan
keadilan ini dalam memutuskan hukum di antara manusia dengan keadilan yang sama
sekali belum pernah dikenal oleh manusia kecuali hanya di tangan Islam saja, kecuali
di dalam hukum kaum muslimin saja, kecuali di dalam masa kepemimpinan Islam
terhadap manusia saja. Quthb dalam hal ini membagi dua aspek keadilan dalam Islam:

18
Jurnal UNISIA, Pendekatan Islam Terhadap Keadilan Sosial, Sayyid Quthb, (N0..39/XXII/III/199), hlm.
10.
19
Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahannya..Hlm. 415.
20
Ibid,. hlm. 396.
9

A. Persamaan

Sesungguhnya dalam konsep Islam tentang keadilan tidak pernah


membeda-bedakan manusia berdasarkan ras, bahasa, negara dan kedudukan sosial.
Karena sesungguhnya orang yang paling mulia di sisinya ialah ialah orang yang
paling bertakwa di antara kamu. Dengan demikian tidak adil jika manusia
memutuskan sebuah hukum hanya berdasarkan kecenderungan agama, ras dan
kedudukan sosial tertentu di antara manusia. Oleh karenanya keadilan sejatinya
harus dipertimbangkan dengan berpacu pada nilai ketakwaan. Nilai ketakwaan ini
bisa dihadirkan jika nilai luhur ajaran keagamaan itu dijalankan dengan selalu
bertumpu pada tuhan. Inilah satu-satunya alasan manusia untuk menimbang ukuran
keadilan tersebut.21

Dalam nilai persamaan dalam surah an-Nisa (4): 58 dinyatakan bahwa,


“Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau
memutuskannya dengan adil...”

Kata adil dalam surah ini mencakup sikap dan perlakuan hakim dalam
memutuskan proses pengambilan hukum. Ayat ini menuntun hakim untuk
menempatkan para pihak yang bersengketa pada posisi yang sama agar terwujud
keadilan di antara keduanya. Begitu pula dalam hal akad prinsip keadilan tanpa
membedakan hak dan kewajiban merupakan hal yang fundamental.

B. Keseimbangan

Keseimbangan dalam sosial sangat penting, karena untuk menjaga


berlangsungnya keadilan sosial, dan selanjutnya untuk menjamin ketentraman
masyarakat. Di sini keadilan berkesesuaian dengan keseimbangan, dengan tidak
menyamaratakan kadar dan syarat semua bagian unit. Bisa saja yang lain besar dan
sebagian lain kecil disesuaikan dengan fungsi dan kepatutan dasar dalam keadilan.

21
Sayyid Quthb, Fi Zhilal..., Jilid X, h.422.
10

Keadilan dalam konteks ini mengedepankan keyakinan bahwa Allah SWT


maha bijaksana dan mengetahui mengelola segala sesuatu sesuai dengan ukuran
dan kadar yang dimaksud.

E. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara


konsep-konsep khusus yang akan diteliti. Kerangka konsep dalam penelitian biasanya
berupa kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah atau kata yang digunakan
untuk mengidentifikasi referensi atau acuan yang menjadi ruang lingkup penelitian.22

1. Syariah

Syariah adalah kosa kata bahasa Arab yang secara harfiah berarti sumber air
atau sumber kehidupan.23 Dalam Mukhtar al-Sihah diungkapkan sebagai berikut: 24

syariah adalah sumber air dan ia adalah tujuan bagi orang yang akan minum. Syariah
juga sesuatu yang telah ditetapkan Allah swt. kepada hamba-Nya berupa agama yang
telah disyariahkan kepada mereka. Orang-orang Arab menerapkan istilah ini khususnya
pada jalan setapak menuju palung air yang tetap dan diberi tanda yang jelas terlihat
mata. Jadi, kata demikian ini berarti jalan yang jelas kelihatan atau jalan raya untuk
diikuti.

Al-Quran menggunakan kata syariah dalam arti agama, atau dalam arti jalan
yang jelas yang ditunjukkan Allah bagi manusia. Syariah sering digunakan sebagai
sinonim dari kata ad-din dan millah yang bermakna segala peraturan yang berasal dari
Allah SWT. yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis yang bersifat qat’i atau jelas
nasnya.25 Allah jelaskan mengenai hal ini dalam surah Muhammad 33:

22
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 132.
23
Muhammad bin Makram bin Manzur al-Afriqiy atau Ibnu Manzur, Lisan al-Arab (Dar al- Shadr, tth.),
hlm. 40-44.
24
Muhammad bin Abi Bakr bin Abd al-Qadir a-Raziy, Mukhtar al-Shihah (Beirut: Maktabah Lubnan
Nasyrirun,1995), juz 1,hlm.141
25
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 200
11

‫ّللاَ أ َ ِطيعُوا آ َمنُوا الَّذِينَ أَيُّ َها َيا‬


َّ ‫سو َل َوأَ ِطيعُوا‬ َّ ‫أ َ ْع َمالَ ُك ْم تُب ِْطلُوا َو ََل‬
ُ ‫الر‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada
rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu”(Qs. Muhammad:
33).

Adapun rujukan yang dipakai dalam syariah yaitu:

a. al-Quran
b. Hadis
c. Ijma
d. Qiyas
2. Akad (Perjanjian) dalam Islam

Akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan qabul yang berakibat
timbulnya akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak,
dan qabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan
terhadap penawaran pihak yang pertama.

Akad tidak terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak


terkait satu sama lain karena akad adalah keterkaitan kehendak kedua pihak yang
tercermin dalam ijab dan qabul.26 Akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena
akad adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan
qabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Konsepsi akad sebagai tindakan dua
pihak adalah pandangan ahli-ahli hukum Islam modern. Tujuan akad adalah untuk
melahirkan suatu akibat hukum atau maksud bersama yang dituju dan yang hendak
diwujudkan oleh pihak melalui pembuatan akad.27

Oleh karenanya Islam telah memerintahkan bahwa syarat sah akad dalam
sebuah perjanjian haruslah memenuhi rukun dan syarat sebagaimana telah ditentukan
oleh kalangan ulama fikih.

a. Rukun dan Syarat Akad

26
M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta:PT RajaGrafindo, 2003), hlm.102.
27
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari‟ah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 75
12

1) Rukun Akad

Pada dasarnya setelah diketahui bahwa akad dan transaksi yang dilakukan
di antaranya berimplikasi hukum, maka paling tidak ada beberapa acuan ketika
hendak melakukan akad, yang di antaranya adalah:

a) Aqid ialah orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu
orang terkadang terdiri dari beberapa orang, seseorang yang berakad terhalang
orang yang memiliki haq (aqid ashli) dan terkadang merupakan merupakan
wakil dari yang memiliki hak. Ulama fiqh memberikan persyaratan atau kriteria
yang harus dipenuhi oleh aqid, antara lain:28
(a) Ahliyah, keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan
transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau
mumayyiz dan berakal. Berakal di sini adalah tidak gila sehingga
mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz
di sini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk antara yang
berbahaya dan tidak berbahaya dan antara merugikan dan
menguntungkan.
(b) Wilayah, atau bisa diartikan sebagai hak dan kewanangan seseorang
yang mendapatkan legalisasi syar’i untuk melakukan transaksi atas
suatu objek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan
pemilik asli, wali atau wakil atas suatu objek transaksi, sehingga ia
memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang
penting, orang yang melakukan akad harus bebas dari tekanan sehingga
mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas.
b) Mauqud alaih ialah benda-benda yang diakadkan.
c) Maudhu al-aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad, berbeda
akad, maka berbedalah tujuan pokok akad.
d) Sighat al-aqd ialah ijab dan qabul, ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar
yang dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya.

28
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014) hlm.54.
13

2) Syarat Akad

Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam aqad yaitu:29

a) Kedua orang yang melakukan aqad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad
orang gila, orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur) karena boros
atau lainnya.
b) Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
c) Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak
melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang
d) Aqad tidak dilarang oleh syara’.
e) Aqad dapat memberikan faedah.
f) Ijab tersebut berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi qabul.
g) Ijab dan qabul bersambung jika berpisah sebelum adanya qabul maka batal.
b. Asuransi
a. Pengertian

Asuransi adalah salah satu bentuk pengendalian risiko yang dilakukan dengan
cara mengalihkan atau transfer risiko dari satu pihak ke pihak lain dalam hal ini adalah
perusahaan asuransi.30

Wirjono Prodojikoro dalam bukunya Hukum Asuransi di Indonesia memaknai


asuransi sebagai suatu persetujuan antara pihak yang menjamin dengan sebuah
perjanjian bersama pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai
pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat suatu
peristiwa yang belum jelas.31

Definisi mengenai asuransi juga dapat dilihat dalam UU No. 40 tahun 2014
tentang Perasuransian pada Ketentuan umum Pasal 1 yang menyebutkan bahwa

29
Ibid, hlm. 44
30
Tuti Rastuti, Aspek Hukum Perjanjian Asuransi, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), hlm. 11.
31
AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Prespektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 58-59.
14

asuransi adalah perjanjian di antara dua belah pihak yaitu perusahaan asuransi dan
pemegang polis, yang menjadi dasar dari penerimaan premi oleh perusahaan asuransi.32

Dalam KUHD Pasal 246 juga disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
asuransi adalah suatu perjanjian dimana seorang penanggung mengikatkan diri kepada
seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian yang tidak diharapkan yang mungkin akan
dideritanya karena suatu peristiwa tak tentu.

Bila melihat kedua definisi di atas, baik KUHD maupun UU No. 40 tahun 2014,
maka kita bisa membagi asuransi ke dalam empat unsur:33
1) Pihak peserta (insured) ialah orang yang berjanji untuk membayar uang premi
kepada pihak penanggung secara sekaligus atau berangsur.
2) Pihak penanggung (insurer) yang berjanji akan membayar sejumlah uang
kepada pihak peserta sekaligus atau secara berangsur apabila terjadi sesuatu
unsur yang tentu.
3) Suatu peristiwa (accident) yang tidak tentu (yang tidak diketahui sama sekali
sebelumnya)
4) Kepentingan (interest) yang mungkin akan mengalami kerugian karena
peristiwa yang tidak tentu.
c. Utmost Good Faith

Utmost good faith atau kejujuran sempurna adalah bagian dari setiap aturan yang
diikatkan kepada para pihak yang hendak melakukan transaksi asuransi.34 Prinsip utmost
good faith (itikad terbaik) merupakan prinsip bahwa setiap tertanggung berkewajiban
memberitahukan secara jelas dan teliti mengenai segala fakta penting yang berkaitan
dengan obyek yang diasuransikan serta tidak mengambil untung dari asuransi. Prinsip ini

32
Pengertian lengkap lihat UU No.40 tahun 2014 tentang Perasuransian.
33
Khotibul Umam, Memahami dan Memilih Produk Asuransi, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), hlm.
3-6.
Mohd. Ma’sum Billah, Islamic and Modern Insurance Principles dan Practices, (Selangor: Ilmiah
34

Publishers, 2003). Hlm. 222


15

juga berlaku bagi perusahaan asuransi, yaitu kewajiban menjelaskan risiko yang dijamin
maupun yang dikecualikan secara jelas dan teliti.

Setiap transaksi komersial harus dibuat dengan dasar kejujuran satu sama lain
sehingga tidak ada lagi hal yang disembunyikan atau terjadi kesalahpahaman dan kesalahan
interpretasi dari perjanjian tersebut.

Lord Mansfield dalam penelitiannya di Carter v. Boehm sebagaimana ditulis oleh


Ma’sum Billah dalam bukunya “Islamic and Modern Insurance Principles dan Practices”
mengatakan:35

Good faith merupakan aturan prinsip yang diterapkan pada seluruh kontrak
asuransi. Good faith melarang setiap pihak untuk menyembunyikan informasi yang
dimiliki untuk ditulis di dalam sebuah perjanjian yang merupakan dasar dari fakta.
Menyembunyikan setiap fakta yang dimiliki berarti melanggar sebuah perjanjian
dan aturan yang timbul setelah itu tidak sah menurut hukum.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini disusun dengan menggunakan model penelitian yuridis normatif,


yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-
norma dalam hukum positif.36 Yuridis Normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan
konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-norma
tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Konsepsi
ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat mandiri, tertutup dan
terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata.37

Dalam penelitian yuridis normatif mengenai prinsip utmost good faith ini,
penelitian mengacu pada kajian hukum formal yang tertera dalam KUH Perdata, KUH
Dagang perihal aturan prinsip utmost good faith. Undang-undang No. 40 Tahun 2014

35
Ibid, hlm.223.
36
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing,
2006), hlm. 294.
37
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1988), hlm. 13-14.
16

Tentang Perasuransian digunakan sebagai bahan tambahan untuk melihat aturan hukum
asuransi konvensional dan asuransi syariah yang berlaku di Indonesia. Serta Fatwa Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) yang berkaitan dengan asuransi
jiwa syariah, khususnya akad wakalah bil ujroh dalam asuransi jiwa syariah.

Dari beberapa produk kajian akan dilakukan analisis terhadap variabel-variabel


terkait dengan tema sentral penelitian.38 Dalam konteks penelitian ini, yaitu keberlakuan
prinsip utmost good faith dalam asuransi konvensional dan asuransi syariah, serta
implementasi prinsip utmost good faith pada asuransi jiwa syariah.

1. Sumber Data

Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Diperoleh langsung dari
masyarakat dinamakan data primer (atau data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-
bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.39

Data dalam penulisan ini adalah data sekunder, yaitu bahan pustaka yang mencakup
dokumen-dokumen resmi, buku-buku pustaka, peraturan perundang-undangan, karya
ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian. Dari bahan
hukum sekunder tersebut mencakup dua bagian, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum
primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peraturan perundang-
undangan yaitu: aturan-aturan di dalam KUH Perdata diatur Kitab, KUH Dagang,
Kajian hukum Islam seperti, Alquran dan Hadist, hasil Ijtihad hukum Islam seperti;
Fatwa DSN MUI.

b. Bahan Hukum Sekunder

38
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum,(Jakarta; Granit, 2004),hlm.92.
39
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,(Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), hlm. 12.
17

Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum


primer, seperti; buku-buku teks, penelusuran dalam jaringan (Daring), artikel
ilmiah, jurnal, makalah, tesis, dan hasil karya dari kalangan hukum lainnya.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka,
yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran dan menelaah
bahan pustaka (literatur, hasil penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah
dsb). Bahan hukum dikumpulkan melalui prosedur inventarisasi dan identifikasi
peraturan perundang-undangan, serta klarifikasi dan sistematisasi bahan hukum sesuai
permasalahn penelitian.

Oleh karena itu, metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan ini dilakukan dengan cara
membaca, menelah, mencatat membuat ulasan bahan-bahan pustaka yang ada
kaitannya dengan prinsip utmost good faith.

3. Metode Analisis Data

Untuk menganalisis data yang diperoleh, akan digunakan metode analisis


kualitatif.40 Data terkumpul akan dianalisis secara korelatif untuk memperoleh
gambaran mengenai prinsip utmost good faith dalam asuransi konvensional dan
asuransi syariah. Hasil analisis korelatif tersebut akan ditarik ke dalam pembahasan
yang lebih khusus mengenai implementasi prinsip utmost good faith pada akad
wakalah bil ujroh dalam asuransi jiwa syariah.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penelitian tesis ini terdiri dari lima bab. Adapun bab yang pertama
terdiri dari; Berisi tentang uraian latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kerangka teori, kerangka konsep, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

40
Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Cet.1, (Jakarta: Fakultas Hukum UI,
2005),hlm.22.
18

Bab kedua adalah tinjauan umum prinsip utmost good faith dalam Asuransi
Konvensional dan Asuransi Syariah. Bab ini berisi konsep dasar prinsip utmost good faith.
Konsep dasar asuransi konvensional, konsep dasar asuransi syariah, prinsip utmost good
faith dalam asuransi konvensional, prinsip utmost good faith dalam asuransi syariah.

Bab ketiga membahas mengenai konsep dasar wakalah bil ujroh dalam asuransi
jiwa syariah, dan konsep implementasi ataupun penerapan utmost good faith dalam
asuransi jiwa syariah.

Bab keempat adalah penutup yang terdiri dari; kesimpulan, serta saran ataupun
rekomendasi. Daftar pustaka serta daftar riwayat hidup sebagai bagian tak terpisahkan dari
tesis ini ditempatkan pada bagian akhir dari pembahasan penelitian tesis ini.

Anda mungkin juga menyukai