Anda di halaman 1dari 9

Definisi

Guillain Bare’ Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan


oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses
penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saraf perifer dan
kranial yang Etiologinya tidak diketahui.
( Hudak & Gallo, 2010: 287)

Guillain Bare’ Syndrom adalah Gangguan degeneratif terkomplikasi yang


sifatnya dapat akut atau kronis. Etiologi belum jelas, meskipun gangguan ini
mempunyai kaitan dengan mekanisme autoimun sel dan humoral beberapa hari
sampai 3 minggu setelah infeksi saluaran pernapasan atas ringan.
(Lynda Juall C, 2004: 298)

Guillain Bare’ Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro-muskular akut yang


memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tatapi
biasanya paralisis sementara.
( Doenges:369)

2. Etiologi

Etiologi / Penyebab Guillain Bare’ Syndrom tidak jelas/ tidak


diketahui. Sebagian besar pasien-pasien dengan Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini
ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernapasan atau gastrointestinal) 1-4 minggu
sebelum terjadi serangan neurologik. Pada beberapa keadaan dapat terjadi setelah
vaksinasi atau pembedahan. Hal ini diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun,
dan bebeparapa proses lain atau sebuah kombinasi suatu proses. Beberapa peneliti
berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus
yang dapat diisolasi sampai sejauh ini.

3. Manifestasi Klinis
Flasid, simetris, paralisis asending dengan cepat berkembang. Otot
pernapasan dapat saja terkena, mengakibatkan insufisiensi pernapasan. Gangguan
otonomi seperti retensi urine dan hipotensi postural kadang terjadi. Rekleks-refleks
superfisial dan tendon dalam dapat hilang. Biasanya tidak terjadi kehilangan massa
otot karena paralisis yang flasid terjadi dengan cepat. Ada pasien yang mengalami
nyeri tekan dan nyeri pada tekanan dalam atau gerakan beberapa otot. Gejala-gajala
parastesia termasuk semutan ” jarum dan peniti ” dan kebas dapat terjadi secra
sementara, jika saraf kranial terkena, maka maka saraf fasial ( VII) lebih sering
terserang. Tanda dan gejala disfungsi saraf fasial termasuk ketidak mampuan dalam
tersenyum , bersiul, atau cemberut. GBS tidak mengenai LOC ( tingkat kesadaran ),
tanda –tanda pupil, atau fugsi serebral. Gejala-gejala biasanya memuncak dalam satu
minngu, tatapi dapat berkembnag selama beberapa minggu. Tingkat paralisis dapat
saja terhenti setiap saat. Fugsi motorik kembali dalam gaya desending. Demielinasi
terjadi dengan cepat, tetapi kecepatan remielinasi sekitar 1 sampai 2 mm perhari.

4. Patofisiologi

Pada GBS, Selaput myelin yang mengelilingi akson hilang. Selaput myelin
cukup rentan terhadap cidera karena banyak agen dan kondisi, termasik trauma fisik,
hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vascular, dan reaksi imunologi. Demielinasi
adalah respon umum dari jaringan saraf terhadap banyak kondisi yang merudikan ini.
Akson bermielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat di banding akson tak
bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terganggu dalam selaput ( Nodus
Ranvier ) tempat kontak langsung antara membran sel akson dengan cairan
eksraseluler.Membran sangat permiabel pada nodus tersebut, sehingga konduksi
menjadi baik.
Gerakan-gerakan masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat hanya
pada nodus ranvier sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat
melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat.
Kehilangan selaput mielin pada GBS membuat konduksi saltatori tidak mungkin
terjadi, dan trasnmisi impuls saraf dibatalkan.
Temuan patofisiologis pada gangguan ini multipel dan bervariasi meliputi
imflamasi, demielinasi dari saraf perifer, kehilangan badan granular, dan degenarasi
membaran basalis sel Swhann, mengakibatkan paralisis flaksid simetrik asenden dan
kehilangan funsi saraf kranial. ( Murray,1993)

5. Pathways (terlampir)

6. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada Guillaine Bare’ Syndrome beberapa


diantaranya yaitu :
a. Penyimpangan Kardiovaskuler
b. Komplikasi Plasmafaresis
c. Gagal pernapasan

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pada Lumbal Pungsi :
- didapatkan kenaikan protein tanpa diikuti kenaikan sel (dissosiasi
sitoalbumin)  pada minggu II
b. Pemeriksaan EMNG (Elekto Myo Neuro Grafi) :
penurunan kecepatan hantar saraf /lambatnya laju konduksi saraf
c. Darah Lengkap
Terlihat adanya leukositosis pada fase awal.
d. Foto rontgen
Dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan
, seperti atelektasis, pneumonia.
e. Pemeriksaan fungsi paru
Dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan
kemampuan inspirasi

8. Penatalaksanaan Medis

Tujuan utama dalam merawat pasien dengn GBS adalah untuk memberikan
pemeliharaan fungsi system tubuh, dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang
mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan
dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga.

- Dukungan Pernapasan
Jika vaskulatur pernapasan terkena, maka mngkin di butuhkan ventilasi
mekanik. Mungkin Perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat di sapih dari
ventilator dalam beberapa minngu. Gagal pernapasan harus di antisipasi sampai
kemajuan gangguan merata, karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan terjadi.

- Dukungan Kardiovaskuler
Jika sistem saraf otonom yang terkena, maka akan terjadi perubahan drastis
dalam tekanan darah ( hipotensi dan hipertensi ) serta frekwensi jantung akan terjadi
dan pasien harus dipantau dengan ketat. Identifikasi adanya disritmia dan diobati
dengan cepat. Gangguan saraf otonom dapat dipicu oleh valsava manuver, batuk,
sucsioning, dan perubahan posisi, sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan
secara hati-hati.

- Plasmafaresis
Untuk menyingkirkan antibidi yang membahayakan dari plasma. Plasma
pasien dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bhan-bahan abnormal
dibersihkan atau plasma digantikan dengan yang normal atau dengan pengantri
koloidal.

- IVIg = Intra Venous Immunoglobulin dosis tinggi (0,4 mg/kg BB / hari selama 5-
7 hari

- CSFF = Cerebro Spinal Fluid Filtration

9. Pengkajian
 Aktivitas/ Istirahat
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya
dimulai dari ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat
kearah atas.Hilangnya kontrol motorik halus tangan
Tanda : Klemahan otot, paralisis flaksid ( simetris)
Cara berjalan tidak mantap
 Sirkulasi
Tanda : Perubhan tekanan drah ( hipertensi/hipotensi )
Disritmia, takikardia/bradikardia
Wajah kemerahan, diaforesis
 Integritas Ego
Gejala : Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang
dihadapi.
Tanda : Tampak takut dan binggung
 Eliminasi
Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : Kelemahan otot-otot abomen.
Hilangnya sensasi anal ( anus ) atau berkemih dan refleks sfingter.
 Makanan dan Cairan
Gejala : Kesulitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda : Gangguan pada refleks menelan
 Neurosensori
Gejala : Kebas kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya terus
naik
Perubhan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu.
Perubahan ketajaman penglihatan.
 Tanda : Hilangnya/ menurunnya refleks tenon dalam.
Hilangnya tonus otot, adanya masalah keseimbangan.
Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata(keterlibatan
saraf kranial)
Kehilangan kemampuan untuk berbicara

 Nyeri/Keanyamanan
Gejala : Nyeri tekan pada otot; seperti terbakar , sakit, nyeri ( terutama pada bahu,
pelvis,pinggang , punggung dan bokong ) Hipersensitif terhadap sentuhan.
 Pernafasan
Gejala : Kesulitan dalam bernapas, napas pendek.
Tanda : Pernapasan perut, mengunakan otot bantu napas, apnea penurunan/
hilangnya bunyi napas.
Menurunnya kapasitas vital paru
Pucat/sianosis
Gangguan refleks menelan/batuk
 Keamanan
Gejala : Infeksi virus nonspesifik ( seperti; infeksi saluran pernapasan atas )
kira-kira 2 minggu sebelum munculnya tanda serangan.
Adanya riwayat terkena herper zoster, sitomegalovirus
Tanda : Suhu tubuh berfluktuasi ( sangat tergantung pada suhu lingkungan ).
Penurunan kekuatan/tonus otot, paralisis atau parastesia.
 Interaksi sosial
Tanda : Kehilangan kemampuan untuk
berbicara/berkomunikasi.

10. Diagnosa Keperawatan

 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri.
 Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan
kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma.
 Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf
autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )
 Perubahan Persepsi – Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra,
Ketidak mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon.
 Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring,
imobilitas.
 Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler (
parastesia, disestisia )
 Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
 Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.
 Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis,
paralisis, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.
11. Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau
nyeri Tujuan / Kriteria Hasil :
Pasien dapat terbebas dari komplikasi imobilitas yang dapat di cegah mis;
( kontraktur, kerusakan kulit, atelektasis, dropfoot, TVD.
Intervensi:
1. Pertahankan ROM sendi.
2. Baringkan dengan posisi yang baik di tempat tidur.
3. Dapatkan konsultasi rehabilitas, terapi fisik dan okupasi.
4. Ubah posisi sedikitnya setiap 2 jam.
5. Pertimbangkan pengunaan tempat tidur kinetik.
6. Hindari melatih otot-otot paasien selama terjadi nyeri, karena mungkin dapat
menigkatkan demielinasi.
7. Berikan analgesia sebelum sesi terapi atau sesuai advis dokter.
8. Mulai ajarkan pada keluarga latihan untuk ROM.

Diagnosa 2
Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan
kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Pertukaran gas yang adekuat akan di pertahankan.
Intervensi:
1. Auskultasi bunya napas dengan teratur.
2. Pantau saturasi oksigen dengan oksimetri.
3. Laporkan keluhan subyektif dari kelemahan otot atau kesulitan bernapas.
4. Tetaplah bersama pasien yang mengeluh sesak.
5. sukstion sesuai kebutuhan untuk menjaga patensi jalan napas.
6. Baringka pasien untuk memudahkan pertukaran gas.
7. Cata parimeter pernapasan ( frekwensi, volume, upaya bernapas )
8. Catat AGD dan perhatikan kecenderungan.
9. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang intubasi dan ventilator jika hal
tersebut akan diperlukan.
10. Pasang alrm ventilator.
Diagnosa 3
Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf
autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, disritmia jantung terkontrol/takada.
Intervensi:
1. Ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi. Observasi adanya hipotensi postural,
Berikan latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien.
2. Pantau frekwensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya disritmia.
3. Pantau suhu tubuh berikan lingkungan suhu yang nyaman.
4. Catat masukan dan haluaran.
5. Tinggikan kaki sedikit dari tempat tidur.
6. kolaborasi pemberian cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi.
7. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti JDL Hb/Ht, elektrolit serum.
8. Pakailah stiking antiemboli atau pemijat kontinue; lepaskan sesuai jadwal dengan
interval tertentu.

Diagnosa 4
Perubahan Persepsi – Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra,
Ketidak mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensori
Mempertahankan mental/orientasi umum.
Mengidentifilkasi intervensi untuk meminimalkan kerusakan komplikasi sensori.
Intervensi:
1. Pantau status neurologis secara periodik
2. Berikan alternatif cara untuk berkomunikasi jika pasien tidak dapat berbicara.
3. Berikan lingkungan yang aman ( penghalang tempat tidur, proteksi terhadap
trauma termal )
4. Berikan kesempatan untuk istirahat pada daerah yang tidak mengalami
gangguan, dan berikan aktivitas lain sesuai dengan kemampuan.
5. Berikan stimulasi sensori yang sesua, meliputi suara misik yang lembut; televisi (
berita/pertujukkan ) bercakap-cakap santai.
6. Sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada pasien
untuk memlihara keterikatan.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2004. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2.


Jakarta: EGC

Doenges, Marlyn E. 2002. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta: EGC

Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 2010. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik.


Ed,VI. Vol 1. Jakarta: EGC

Robin, dan Kumar. 2004. Patologi 2. Ed 4. Jakarta: EGC

Wikinson, Judith M. 2012. Buku saku diagnosa keperawatan : Diagnosis NANDA,


intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai