Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

Diagnosis dan Penatalaksanaan Rhinosinusitis

Penyusun:

Mohd Amir Bin Mohd Halim

(11-2016-200)

Pembimbing :

dr. Arroyan Wardhana Sp. THT-KL

dr. Irma Suryati Sp. THT-KL

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

RSUD KOJA

Periode 31 Juli- 2 September 2017

1
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Tujuan Penulisan 4
1.3 Metode Penulisan 4
1.4 Manfaat Penulisan 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasalis 4
2.1.1 Hidung Luar 4
2.1.2 Hidung Dalam 6
2.1.3 Kompleks Ostiomeatal (KOM) 7
2.1.4 Perdarahan Hidung 7
2.1.5 Persarafan Hidung 8
2.1.6 Mukosa Hidung 9
2.1.7 Sinus Paranasalis 10
2.1.7.1 Sinus Maksila 10
2.1.7.2 Sinus Frontal 10
2.1.7.3 Sinus Etmoid 11
2.1.7.4 Sinus Sfenoid 12
2.1.8 Sistem Mukosiliar 12
2.2 Fisiologi Sinus Paranasal 12
BAB III Rhinosinusitis 14
3.1 Definisi 14
3.2 Epidemiologi 14
3.3 Etiologi 15
3.4 Patogenesis dan Patofisiologi Rhinosinusitis 16
3.5 Manifestasi Klinis 20

2
3.6 Klasifikasi Rhinosinusitis 20
3.7 Pemeriksaan Penunjang 22
3.8 Diagnosis Banding 22
3.9 Penatalaksanaan 23
3.9.1 Medikamentosa 23
3.9.2 Tindakan Operasi 24
3.10 Komplikasi 25
3.11 Prognosis 26
BAB IV DAFTAR PUSTAKA 26

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sinusitis merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada praktik sehari-
hari dokter umum maupun dokter spesialis THT. Menurut American Acadenny of
Otolaryngology - Head & Neck Surgery 1996, istilah sinusitis lebih tepat diganti dengan
rinosinusitis karena dianggap lebih akurat dengan alasan yaitu secara embriologis mukosa sinus
merupakan lanjutan mukosa hidung, sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis, dan gejala-
gejala obstruksi nasi, rinore dan hiposmia dijumpai pada rinitis ataupun sinusitis.

Rinosinusitis merupakan penyakit keradangan dengan prevalensi yang tinggi dan


mungkin akan terus meningkat. Karena kualitas hidup penderita dengan kondisi ini dapat sangat
terganggu, sangatlah penting bagi dokter untuk dapat mengatasinya dengan memiliki
pengetahuan yang benar mengenai definisi, gejala serta metode diagnosis rinosinusitis.

Rinosinusitis tersebar luas dan diperkirakan mengenai 10% hinga 30% individu di Eropa.
Di Amerika Serikat hampir 15% penduduk pernah menderita paling sedikit sekali episode
rinosinusitis dalam hidupnya. Di Indonesisa angka kesakitan rinosinusitis belum diketahui
dengan pasti.

1.1. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui tentang rhinosinusinitis yang berguna dalam
praktek kedokteran terutama dalam bidang THT

1.2. Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan berbagai literatur sebagai sumber
kepustakaan.

1.3. Manfaat Penulisan

Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan informasi lebih dalam kepada pembaca
tentang rhinosinusitis.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasalis

Anatomi hidung adalah seperti berikut:

2.1.1. Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yaitu: 1,2

1. Pangkal hidung (bridge)


2. Batang hidung (dorsum nasi)
3. Puncak hidung (tip)
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hídung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang tersebut terdiri dari:

 Tulang hidung (os nasal)


 Prosesus frontalis os maksila
 Prosesus nasalis os frontal

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak
dibagian bawah hidung, yaitu:

 Sepasang kartilago nasalis lateralis superior.


 Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar
mayor.
 Beberapa pasang kartilago alar minor.
 Kartilago septum nasi.

5
2.1.2. Hidung Dalam

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan
oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang
masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dan kavum nasi
yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut
panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu: 1,2

 Dinding medial
 Dinding lateral
 Dinding inferior
 Dinding superior

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian
tulang adalah:

 Lamina perpendikularis os etmoid


 Vomer
 Krista nasalis os maksila
 Krista nasalis os palatina

Sedangkan pada bagian tulang rawan adalah:

 Kartilago septum (lamina kuadrangularis)


 Kolumela.

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang,
sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka.
Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah
konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. 1

6
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dan labirin etmoid. Di antara
konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung
dan letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior
terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus
frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di
antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Batas rongga hidung. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung. Lamina
kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dan os etmoid, tulang ini berlubang lubang
(kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap
rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid. 1

2.1.3. Kompleks Ostiomeatal (KOM)

Merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina
papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,
infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan resesus frontal. KOM
merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus yang
letaknya di anterior yaitu sinus maksilaris, etmoid anterior, dan frontal. Jika terjadi obstruksi
pada celah sempit ini maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus yang
terkait. 1

2.1.4. Perdarahan Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang
merupakan cabang dari a. oftalmika dan a. karotis Interna. Bagian bawah rongga hidung
mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a. palatina
mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen stenopalatina bersama n.sfenopalatina dan
memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dan cabang-cabang a. fasialis.1
7
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopatatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s
area). Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering
menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung
mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum
dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.
Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

2.1.5. Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior,
yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N. V-1). Rongga
hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
slenopalatina. Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensonis. juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf
sensoris dan n.maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut saraf simpatis dan n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak dibelakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dan n.olfaktorius. Saraf ini
turun melalui lamina kribrsa dan permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. Selain
itu terdapat saraf otonom pada hidung. Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu;1

 Saraf post ganglion saraf simpatis ( Adrenergik ).

Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – 3, berjalan ke atas dan mengadakan
sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut post sinapsis berjalan sepanjang pleksus
karotikus dan kemudian sebagai n. petrosus profundus bergabung dengan serabut saraf
parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor membentuk n. vidianus yang berjalan
didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis didalam ganglion
sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang palatine mayor ke pembuluh darah pada
mukosa hidung. Saraf simpatis secara dominan mempunyai peranan penting terhadap sistem
vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi kelenjar.

 Serabut saraf preganglion parasimpatis ( kolinergik ).

8
Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus salivatorius superior di
medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis mayor berjalan menuju ganglion
sfenopalatina dan mengadakan sinapsis didalam ganglion tersebut. Serabut-serabut post
ganglion menyebar menuju mukosa hidung. Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadap
jaringan kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang encer dan vasodilatasi jaringan
erektil. Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan impuls sekretomotorik / parasimpatis
pada mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan sensasi hidung tidak akan
terganggu.

2.1.6. Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa
pemapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel
torak berlapis semu yang mempunyai silia (cilliated pseudostratified collumner epithelium) dan
di antaranya terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia
(pseudostratified collumner non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel,
yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna
coklat kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan
kadang kadang terjadi metaplasja, menjadi sel epitel skuamosa. 1

Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel terdapat tunika
propria yang banyak mengandung pembuluh darah. kelenjar mukosa dan jaringan limfoid,
Pembufuh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas, Arteriol terletak pada
bagian yang lebih dalam dan tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol
ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan subepitel. Pembuluh eferen
dan anyaman kapiler ¡ni membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi
oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter otot.
Selnjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula.
Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang
mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstniksi pembuluh darah ini
dipengaruhi oleh saraf otonom.1
9
2.1.7. Sinus Paranasalis

Sinus paranalis adalah serangkaian rongga yang mengelilingi rongga hidung. Ada empat
pasang sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis, sinus sfenoidalis, sinus etmoidalis dan sinus
maksilaris.

2.1.7.1. Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila disebut juga antrum
Highmore. Saat lahir, sinus maksila bervolume 6-8ml. Sinus ini kemudian berkembang dengan
cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk
piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa canina,
dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah
dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya
adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah

(1) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar (P1 dan
P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang juga gigi taring dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi
tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi rahang atas mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis.

(2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.

(3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau
alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
sinusitis.

2.1.7.2. Sinus Frontal

Sinus Frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-empat fetus, berasal
dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal
mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20

10
tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainya dan
dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak berkembang.
Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm.
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran
septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi
sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase
melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum
etmoid.

2.1.7.3. Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena dapat merupakan fokus
infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan
lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior. 3-4 Sinus etmoid berongga-
rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian
lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini
jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior
yang bermuara ke meatus media dan sinus etmoid posterior bermuara ke meatus superior. Sel-sel
etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang
menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan sedikit jumlahnya dan terletak
di posterior dari lamina basalis.

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang
berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. Atap
sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral
sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita.
Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.
11
2.1.7.4. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid
dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya,
dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus. Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa superior
serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya
berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

2.1.8. Sistem mukosiliar

Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di
atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium
alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung
terdapat dua aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus
anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba
Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung dengan resesus
sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada
sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga
hidung.

2.2 Fisiologi Sinus Paranasal

Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena
terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Beberapa teori yang dikemukakan
sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah:1

a). Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara
inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada
tipa kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus.

12
b). Sebagai penahan suhu (thermal insulator)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri
dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar
tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.

c). Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka, akan tetapi bila
udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar
satu persen dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.

d). Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas
suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus
berfungsi sebagai resonansi yang efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan
besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.

e). Sebagai perendam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin
atau membuang ingus.

f). Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan
mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan
udara inspirasi kerana mukus ini keluar dari meatus media, tempat yang paling strategis.

13
BAB III

RHINOSINUSITIS

3.1 Definisi

Sinusitis merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada praktik sehari-
hari dokter umum maupun dokter spesialis THT. Menurut American Academy of
Otolaryngology - Head & Neck Surgery 1996, istilah sinusitis lebih tepat diganti dengan
rinosinusitis karena dianggap lebih akurat dengan alasan:

(1) secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung,

(2) sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis, dan

(3) gejala-gejala obstruksi nasi, rinore dan hiposmia dijumpai pada rinitis ataupun sinusitis. 3

Sinusitis diartikan sebagai suatu peradangan pada sinus paranasal. Sinusitis diberi nama sesuai
dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis. Bila mengenai
semua sinus paranasalis disebut pansinusitis. Disekitar rongga hidung terdapat empat sinus yaitu
sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus etmoidalis (kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi)
dan sinus sfenoidalis (terletak di belakang dahi). Sinusitis selalu melibatkan mukosa pada hidung
dan jarang terjadi tanpa disertai dengan rhinitis maka sering juga disebut rhinosinusitis.
Berdasarkan definisi, gejala acute rhinosinusitis terjadi kurang dari 3 minngu, gejala subacute
rhinosinusitis terjadi paling tidak 21-60 hari dan gejala chronic rhinosinusitis terjadi lebih dari 60
hari. Rhinosinusitis dapat diklasifikasikan berdasarkan tempat anatomi (maxillary, ethmoidal,
frontal, sphenoidal), organisme patogen (viral, bacterial, fungi), adanya komplikasi (orbital,
intracranial) dan dihubungkan dengan beberapa faktor (nasal polyposis, immunosupression,
anatomic variants).

3.2 Epidemiologi

Rhinosinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika dan jumlah yang
mengunjugi rumah sakit mendekati 16 juta orang. Menurut National Ambulatory Medical Care
Survey (NAMCS), kurang lebih dilaporkan 14% penderita dewasa mengalami rhinosinusitis
yang bersifat episode per tahunnya dan seperlimanya sebagian besar didiagnosis dengan
pemberian antibiotik. Pada tahun 1996, orang Amerika menghabiskan sekitar $3.39 miliyar
untuk pengobatan rhinosinusitis Sekitar 40% rhinosinusitis akut merupakan kasus yang bisa

14
sembuh dengan sendirinya tanpa diperlukan pengobatan. Penyakit ini terjadi pada semua ras,
semua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan dan pada semua kelompok umur. Kronik
rhinosinusitis mempengaruhi sekitar 32 juta orang per tahunnya dan 11,6 juta orang
mengunjungi dokter untuk meminta pengobatan. Penyakit ini bersifat persisten sehingga
merupakan penyebab penting angka kesakitan dan kematian. Adapun penyakit ini dapat
mengenai semua ras, semua jenis kelamin dan semua umur.3

3.3 Etiologi

Sinusitis dapat disebabkan oleh beberapa patogen seperti bakteri (Streptococcus pneumonia,
Haemophillus influenza, Streptococcus group A, Staphylococcus aureus, Neisseria, Klebsiella,
Basil gram (-), Pseudomonas, fusobakteria), virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza
virus), dan jamur. Patogen yang paling sering dapat diisolasi dari kultur sinus maksila pada
pasien sinusitis akut yang disebabkan bakteri seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus
influenza, dan Moraxella catarrhalis. Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan bakteri
anaerob. Selain itu beberapa jenis jamur juga berperan dalam patogenesis penyakit ini seperti
Mucorales dan Aspergillus atau Candida sp.
Pada sinusitis kronik ada beberapa bakteri yang telah dapat dilaporkan yang berperan sebagai
penyebab. Namun peran bakteri dalam patogenesis sinusitis kronik belum diketahui sepenuhnya.
Adapaun beberapa contohnya seperti Staphylococcus aureus, Coagulase-negative staphylococci ,
H influenza, M catarrhalis, dan S Pneumoniae. Disamping itu, ada beberapa jenis jamur yang
dapat dihubungkan dengan penyakit ini seperti Aspergillus sp, Cryptococcus neoformans,
Candida sp, Sporothrix schenckiidan Altemaria sp. Adapun etiologi yang mungkin dari pasien
diatas adalah adanya infeksi dari bakteri. Hal ini karena pasien mengeluhkan adanya pilek yang
kemungkinan disebabkan oleh bakteri.

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis
terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti
deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osti-meatal (KOM), infeksi tonsil,
infeksi gigi, kelainan imunologik, diskenesia silia seperti pada sindrom Kartgener, dan di luar
negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis
nasal yang timbul pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat
sinus.1,2
15
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering
serta kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan
merusak silia. 1
Penyebab sinusitis dibagi menjadi:
1. Rhinogenik
Penyebab kelainan atau masalah di hidung. Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan
pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip, deviasi
septum dan lain-lain. Alergi juga merupakan predisposisi infeksi sinus karena terjadi edema
mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak menyebabkan infeksi lebih lanjut,
yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang.
2. Dentogenik/odontogenik
Penyebab oleh karena adanya kelainan gigi. Sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi
pada gigi geraham atas (premolar dan molar). Bakteri penyebab adalah Streptococcus
pneumoniae, Hemophilus influenza, Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus,
Branchamella catarhalis dan lain-lain.

3.4 Patogenesis dan Patofisiologi Rhinosinusitis

Sinus biasanya steril dalam kondisi fisiologis. Produk sekresi yang dihasilkan dalam aliran
sinus dikeluarkan dengan aktivitas silia melalui ostia dan ditiriskan ke dalam rongga hidung.
Pada individu yang sehat, aliran sekresi sinus selalu searah (yaitu, menuju ostia), yang mencegah
kontaminasi sinus kembali. Dalam sebagian besar individu, sinus maksilaris memiliki ostium
tunggal (2,5 mm, 5 mm2 di daerah penampang) yang berfungsi sebagai satu-satunya saluran
keluar untuk drainase. Saluran ramping ini terletak tinggi di dinding medial rongga sinus.
Kemungkinan besar, edema mukosa di lubang ini dapat mencapai 1 sampai 3 mm yang akan
menyebabkan kongesti dengan beberapa cara (misalnya, alergi, virus, dan iritasi kimia) yang
mengakibatkan obstruksi saluran keluar dan stasis sekresi bertekanan negatif, yang mendukung
terjadinya infeksi oleh bakteri.4

Lendir yang tertahan ketika pada saat infeksi dapat menyebabkan sinusitis. Mekanisme lain
dikemukakan melalui hipotesis bahwa karena sinus kontinu dengan rongga hidung, bakteri yang
membentuk koloni di nasofaring dapat mencemari sinus yang seharusnya steril. Bakteri ini
biasanya disingkirkan oleh pembersihan mukosiliar. Dengan demikian, jika pembersihan
16
mukosiliar mengalami gangguan, bakteri dapat mengalami inokulasi dan infeksi dapat terjadi,
sehingga menyebabkan sinusitis.

Data yang tersedia mendukung fakta bahwa sinus yang mulanya sehat dapat menjadi tempat
berkembang biak kuman. Flora bakteri dari sinus tanpa inflamasi dipelajari untuk mengisolasi
bakteri aerob dan anaerob pada 12 orang dewasa yang menjalani operasi korektif terhadap
deviasi septum. Organisme uji diambil dari semua aspirasi, dengan rata-rata 4 isolat per aspirasi
sinus. Isolat anaerob yang dominan adalah Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan
spesies Peptostreptococcus. Bakteri aerob yang paling umum adalah Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumonia, dan Haemophilus influenzae. Dalam studi
lain, spesimen diproses untuk bakteri aerob saja, dan spesies Staphylococcus dan alpha-
hemolytic Streptococcus berhasil diisolasi. Organisme itu ditemukan pada 20% dari sinus
maksilaris pasien yang menjalani bedah reposisi rahang atas.

Sebaliknya, laporan lain dari hasil aspirasi pada 12 relawan tanpa penyakit sinus tidak
menunjukkan pertumbuhan bakteri. Penelitian Jiang et al berhasil mengevaluasi bakteriologi dari
sinus maksilaris dengan temuan endoskopi yang normal. Organisme didapat pada 14 dari 30
spesimen apusan (47%) dan 7 dari 17 spesimen mukosa (41%). Gordts et al melaporkan
mikrobiologi dari meatus tengah pada orang dewasa normal dan anak-anak. Penelitian ini dicatat
atas 52 pasien dengan 75%-nya memiliki bakteri pada isolat. Bakteri pada isolat yang paling
sering ditemukan adalah Staphylococcus koagulase-negatif (35%), spesies Corynebacterium
(23%), dan Staphylococcus aureus (8%) pada orang dewasa. Pada anak-anak, organisme yang
paling umum adalah Haemophilus influenzae (40%), Moraxella catarrhalis (34%), dan
Streptococcus pneumoniae (50%), berbeda jelas dengan temuan pada orang dewasa.
Streptococcus nonhemolitik dan spesies Moraxella tidak didapatkan pada isolat dari orang
dewasa

Patofisiologi rhinosinusitis terkait dengan 3 faktor, yaitu

 Obstruksi Jalur Drainase Sinus (Ostia Sinus)


 Gangguan Fungsi Silia
 Perubahan Kuantitas dan Kualitas Lendir
1) Obstruksi Jalur Drainase Sinus (Ostia Sinus)

17
Obstruksi ostia sinus mencegah terjadinya drainase lendir normal. Ostia yang dapat diblokir
oleh mukosa yang bengkak atau penyebab lokal (misalnya, trauma dan rhinitis), serta oleh
gangguan inflamasi sistemik tertentu terkait dan gangguan kekebalan tubuh. Penyakit sistemik
yang mengakibatkan penurunan bersihan mukosiliar, termasuk fibrosis kistik, alergi pada sistem
pernapasan, dan diskinesia silia primer (sindrom Kartagener), dapat menjadi faktor predisposisi
untuk sinusitis akut dalam kasus yang jarang. Pasien dengan imunodefisiensi (misalnya,
agammaglobulinemia, dikombinasikan dengan imunodefisiensi variabel, dan imunodefisiensi
dengan penurunan imunoglobulin G [IgG] – dan imunoglobulin A [IgA]) juga meningkatkan
risiko perkembangan menjadi sinusitis akut.

Obstruksi mekanik karena polip hidung, benda asing, deviasi septum, atau tumor juga dapat
menyebabkan penyumbatan ostial. Secara khusus, variasi anatomi yang mempersempit kompleks
ostiomeatal, termasuk deviasi septum, konka media paradoksikal, dan sel-sel Haller membuat
daerah ini lebih sensitif terhadap obstruksi akibat peradangan mukosa. Biasanya, tepi mukosa
yang mengalami edema memiliki penampilan bergigi, tetapi dalam kasus yang parah, lendir
dapat benar-benar mengisi sinus sehingga sulit untuk membedakan proses alergi dari sinusitis
infeksi. Khas, semua sinus paranasal yang terkena dan konka hidung yang berdekatan mengalami
edema. Air-fluid level dan erosi tulang bukan merupakan fitur sinusitis alergi yang sederhana.
Namun, mukosa yang membengkak pada drainase sinus yang buruk lebih rentan terhadap infeksi
bakteri sekunder.

Hipoksia dalam sinus terhalang diduga menyebabkan disfungsi silia dan perubahan dalam
produksi lendir hingga merusak mekanisme normal untuk pembersihan mukus.

2) Gangguan Fungsi Silia

Bertentangan dengan model sebelumnya dari sinus fisiologis, pola drainase sinus paranasal
tidak tergantung pada gravitasi tetapi pada mekanisme transportasi mukosiliar. Koordinasi
metakronus dari sel epitel kolumnar bersilia mendorong isi sinus menuju ostia sinus. Setiap
gangguan fungsi silia menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus. Fungsi silia yang buruk dapat
diakibatkan dari hilangnya sel epitel bersilia; aliran udara yang tinggi; virus, bakteri, atau
lingkungan siliotoksin; mediator inflamasi; hubungan antara 2 permukaan mukosa; bekas luka;
dan sindrom Kartagener.

18
Aktivitas silia dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, seperti sindrom Kartagener. Sindrom
Kartagener dikaitkan dengan silia yang imobil dan karenanya terjadi retensi sekret dan ini
menjadi predisposisi infeksi sinus. Fungsi silia juga berkurang dengan adanya pH rendah,
anoksia, asap rokok, racun kimia, dehidrasi, dan obat-obatan (misalnya obat antikolinergik dan
antihistamin).

Paparan toksin bakteri juga dapat mengurangi fungsi silia. Sekitar 10% kasus sinusitis akut
disebabkan oleh inokulasi langsung dari sinus dengan sejumlah besar bakteri. Abses gigi atau
prosedur yang mengakibatkan komunikasi antara rongga mulut dan sinus dapat menyebabkan
sinusitis dengan mekanisme ini. Selain itu, aktivitas silia dapat dipengaruhi setelah infeksi virus
tertentu.

Beberapa faktor lain dapat menyebabkan gangguan fungsi silia. Udara dingin dikatakan
melumpuhkan epitel silia, yang mengarah pada gangguan gerakan silia dan retensi sekret dalam
rongga sinus. Sebaliknya, menghirup udara kering akan mengiritasi palut mukosa sinus, yang
menyebabkan berkurangnya sekresi. Setiap lesi massa pada saluran udara hidung dan sinus,
seperti polip, benda asing, tumor, dan edema mukosa akibat rhinitis, dapat menghalangi ostia dan
merupakan predisposisi terjadinya hambatan sekresi dan infeksi berikutnya. Trauma wajah atau
inokulasi besar dari berenang dapat menghasilkan sinusitis juga. Minum alkohol juga dapat
menyebabkan hidung dan sinus mukosa membengkak dan menyebabkan gangguan drainase
lendir.

3) Perubahan Kuantitas dan Kualitas Lendir

Sekresi sinonasal memainkan peran penting dalam patofisiologi rhinosinusitis. Palut lendir
yang melapisi sinus paranasal mengandung mukoglikoprotein, imunoglobulin, dan sel-sel
inflamasi. Lapisan ini terdiri dari 2 bagian: (1) lapisan serosa dalam (yaitu, fase sol) saat silia
tidak dalam fase istirahat dan (2) lapisan luar, lapisan lebih kental (yaitu, fase gel), yang diangkut
oleh silia yang bergerak. Keseimbangan yang tepat antara fase sol dalam dan fase gel luar adalah
sangat penting untuk pembersihan mukosiliar normal.

Jika komposisi lendir berubah dan lendir yang dihasilkan lebih kental (misalnya, seperti pada
fibrosis kistik), transportasi menuju ostia yang jauh melambat, dan lapisan gel terbukti menjadi
lebih tebal. Hal ini menghasilkan kumpulan lendir tebal yang masih dipertahankan dalam sinus
untuk periode yang bervariasi. Di hadapkan dengan kurangnya sekresi atau hilangnya

19
kelembaban pada permukaan yang tidak dapat dikompensasi oleh kelenjar lendir atau sel goblet,
lendir menjadi semakin kental dan fase sol dapat menjadi sangat tipis sehingga memungkinkan
fase gel untuk memiliki kontak yang intens dengan silia dan menghambat gerakan mereka.
Kelebihan lendir dapat membanjiri sistem pembersihan mukosiliar, sehingga hasil sekresi
tertahan dalam sinus.

Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serosa yang dianggap sebagai sinusitis
nonbakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang
tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang poten untuk pertumbuhan dan multiplikasi
bakteri dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis sehingga
membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat, maka keadaan ini bisa berlanjut dan terjadi
hipoksia hingga bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan
perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.

3.5. Manifestasi Klinis

Tabel 1.Tanda dan Gejala Terkait dengan Diagnosis Rhinosinusitis3

Mayor Minor
Nyeri wajah / tekanan / kepenuhan * Sakit kepala
Penyumbatan hidung / Obstruksi Demam (selain rhinosinusitis akut)
Nasal atau postnasal discharge / purulence Halitosis (Mulut berbau)
(berdasarkan riwayat atau pemeriksaan fisik)
Hiposmia / anosmia Kelelahan
Demam (hanya pada rhinosinusitis akut) † Sakit gigi
Batuk
Sakit telinga / tekanan / kepenuhan

* Nyeri wajah/tekanan saja bukan merupakan riwayat sugestif karena tidak ada temuan lain yang
tercantum dalam kategori Mayor.

† -Demam pada rhinosinusitis akut saja, bukan merupakan riwayat sugestif karena tidak ada temuan lain
yang tercantum dalam kategori Mayor.

3.6. Klasifikasi Rhinosinusitis

Rinosinusitis akut memiliki onset yang relatif cepat, normalnya berdurasi empat minggu
atau kurang dan gejala benar-benar sembuh. Sebagian besar kasus berasal dari virus. Resolusi
gejala biasanya terjadi dalam lima sampai tujuh hari, dan kebanyakan pasien sembuh tanpa
20
intervensi medis. Subkategori rhinosinusitis bakteri akut lebih cenderung berkembang menjadi
penyakit kronis atau menyebar di luar sinus ke daerah orbit atau ke meninges. Rinosinusitis
bakteri akut dengan gejala drainase purulen yang memburuk setelah lima hari atau bertahan lebih
dari 10 hari, dan / atau gejala yang tidak sesuai dengan proporsi yang biasanya terkait dengan
virus pada proses pernapasan bagian atas. Rinosinusitis akut berulang didefinisikan sebagai
empat atau lebih banyak episode dalam periode 12 bulan, dengan resolusi gejala antara setiap
episode (setiap episode berdurasi setidaknya tujuh hari). Rinosinusitis subakut pada dasarnya
adalah rangkaian infeksi akut selama lebih dari empat minggu tapi kurang dari 12 minggu.
Rinosinusitis kronis dibedakan dengan gejala yang bertahan selama 12 minggu atau lebih.

Tabel 2. Klasifikasi Rhinosinusitis3

Klasifikasi Durasi Anamnesa/ Pemeriksaan Keterangan lain


Akut Sampai 4 minggu Adanya dua atau lebih Nyeri wajah / tekanan saja bukan
tanda dan gejala mayor. merupakan riwayat sugestif
atau karena tidak ada temuan lain yang
tercantum dalam kategori Mayor.
Satu Mayor dan dua atau Pertimbangkan rinosinusitis
lebih Tanda atau gejala bakteri akut jika gejala memburuk
minor; Atau setelah lima hari, jika gejala
bertahan selama 10 hari atau
Purulensi hidung pada dengan gejala tidak proporsional
pemeriksaan * dengan yang biasanya terkait
dengan infeksi virus.

Subakut 4- < 12 minggu Sama Resolusi penuh setelah terapi


efektif medikal
Akut Empat atau lebih Sama -
Berulang episode per tahun
(rekuren) dengan setiap
episode paling
sedikit tujuh hari;
Tidak adanya tanda
dan gejala
intervensi
Kronik 12 minggu dan Sama Nyeri wajah / tekanan saja bukan
lebih merupakan riwayat sugestif
karena tidak ada temuan lain yang
tercantum dalam kategori Mayor

21
3.7. Pemeriksaan Penunjang

1 Laboratorium

Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis sinusitis akut.
Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi harus dilakukan pada
pasien immunocompromise dengan perawatan intensif dan pada anak-anak yang tidak respon
dengan pengobatan yang tidak adekuat, dan pasien dengan komplikasi yang disebabkan sinusitis.

2. Imaging5,6

Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi sinus


maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus
kanan dan kiri.
Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-foto posisi
Water, CT-scan, dan MRI,. CT-scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi
dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak
memberikan respon. Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan
pembedahan.

CT scan sekarang ini merupakan pilihan yang terbaik untuk melihat keadaan sinus dengan
baik. Pada rhinosinusitis kronik, CT scan/endoskopi nasal diperlukan untuk diagnosis. Selain
dapat memberikan visualisasi yang baik adanya penbalan mukosa, air fluid levels, dan gambaran
struktur tulang, CT scan juga dapat memberikan visualisasi kompleks osteomeatal yang baik
yang dapat dilihat dari potongan coronal, sehingga hal ini dapat membantu dalam operasi.

MRI sinus lebih jarang dilakukan dibandingkan dengan CT scan karena modalitas ini tidak
dapat memberikan visualisasi pada tulang dengan baik. Meskipun begitu, MRI dapat
membedakan isi/konten yang terdapat di dalam sinus berdasarkan karakteristik intensitas sinyal
yang berbeda, seperti membedakan tumor dengan sekret yang tertahan di sinus, di mana
keduanya terlihat identic pada CT scan.

3.8. Diagnosis Banding

Gejala pada rhinosinusitis mirip dengan gejala pada rhinitis alergi dan rinitis vasomotor.
Perbedaan antara rhinitis vasomotor dan alergi diperlihatkan pada tabel 2.
22
Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor
Mulai Serangan Belasan tahun Dekade 3 – 4
Etiologi Reaksi Ag - Ab terhadap Reaksi neurovaskuler terhadap
rangsangan spesifik beberapa rangsangan mekanis atau
kimia, juga faktor psikologis
Gatal dan bersin Sering Jarang
Gatal dimata Sering Jarang
Test kulit Positif Negatif
Eosinofil sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal
IgE darah Meningkat Tidak meningkat
Neurektomi Tidak membantu Membantu
n. vidianus

Tabel 3. Perbedaan Rhinitis Vasomotor dan Rhinitis Alergi

3.9. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis meliputi pengobatan dan pencegahan infeksi,


perbaikan patensi otium sinus, perbaikan mukosilia dan menekan peradangan mukosa saluran
nafas. 1-3,6
3.9.1. Medikamentosa
Penatalaksanaan medis rinosinusitis merupakan pendekatan bertahap. Sekali diagnosis
rinosinuitis ditegakkan, terapi dengan antibiotika secara umum merupakan terapi lini pertama
Pembuntuan ostium sinus perlu dihilangkan dengan dekongestan agar drainase sinus kembali
normal.Pengobatan dengan antibiotika sering kali berdasarkan pengalaman karena sulitnya
memperoleh spesimen yang terpercaya untuk kultur. Yang terpenting, pemilihan antibiotika
harus didasarkan atas prediksi keefektifannya, potensi terjadinya efek samping, serta harganya.
Pada sinusitis dianjurkan pemberian terapi antibiotika selama 10-14 hari. Jenis antibiotika yang
digunakan adalah antibiotika spektrum luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
23
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik. Kortikosteroid
sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik dengan polip nasi dan rinosinusitis fungal
alergi. Kortikosteroid topikal seperti beklometason, flutikason, mometason

Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti
analgetik, mukolitik, steroid oral/topical, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan
(diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan
secret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2.
Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang
dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang
berat.

3.9.2. Tindakan operasi


Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana dengan
peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi. Beberapa
jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi ialah:23
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi

24
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal
5. FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama kali oleh Messerklinger
tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah:2
a. Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronis
b. Poliposis nasi
c. Mukokel sinus paranasal
d. Mikosis sinus paranasal
e. Benda asing
f. Osteoma kecil
g. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)
h. Dekompresi orbita / n.optikus
i. Atresia koanae
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk
sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis
bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan
dan tidak radikal.
Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis
kronik disertai kista atau kelainan yang irreversible, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis
serta sinusitis jamur.

3.10. Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotic.
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan
eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intracranial.1
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita).
Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran
infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah
edema palpebral, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi
thrombosis sinus kavernosus.

25
Kelainan Intrakranial. Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses
otak dan thrombosis sinus kavernosus.
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa: osteomyelitis dan abses
subperiosteal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-
anak. Pada osteomyelitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.
Kelainan paru, seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus
paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga
menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya
disembuhkan.
3.11. Prognosis
Prognosis pada rhinosinusitis bervariasi. Jika penyebab anatomis telah ditemukan dan
dapat diperbaiki dengan operasi, maka prognosisnya baik. Lebih dari 90% pasien menunjukkan
perbaikan dengan operasi. Meskipun begitu, kemungkinan untuk relaps tetap ada pada setiap
pasien.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, ed. Bukua ajar ilmu kesehatan: telinga,
hidung, tenggorok, kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.h.118-54.
2. Snow, J. Ballenger's manual of otorhinolaryngology head and neck surgery. Hamilton:
BC Decker. 2003 760-87
3. J. David Osguthorpe M.D., Adult Rhinosinusitis: Diagnosis and Management. Medical
University of South Carolina, Charleston, South Carolina. Am Fam Physician. 2001 Jan
1;63(1):69-77.diunduh dari http://www.aafp.org/afp/2001/0101/p69.html pada 4
Augustus 2017
4. Brook, I. (2017, Jan 05). Acute Sinusitis. Diunduh pada Augustus 3, 2017, dari
Medscape: http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview
5. Siswantoro. Tatalaksana bedah pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA,
Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan
penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 67-74.
6. Lalwani AK. Current diagnosis & treatment: otolaryngology head and neck surgery.
2nd ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2008. p. 273-81.

26

Anda mungkin juga menyukai