Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

SEJARAH BIMBINGAN DAN KONSELING DI AMERIKA


DAN DI INDONESIA

Disusun sebagai salah satu Tugas Mata Kuliah Dasar-Dasar Bimbingan dan
Konseling
yang diampu oleh : Muwakhidah S.pd., M.pd

Oleh:
DANI SETIAWAN (165000004)
DIAN NAJMA ZAHIROH (165000040)
JUNIAR AYU KRISMONICASARI (165000043)
M. HASAN AFFANDI (165000044)

KELAS A1-2016

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,
berkat rahmat dan hidayah yang dilimpahkan kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan makalah Sejarah Bimbingan dan Konseling di Amerika dan di
Indonesia.

Penyajian materi makalah ini kami sesuaikan dengan tugas yang diberikan
oleh dosen kami. Makalah ini disusun dengan maksud untuk mengetahui tentang
sejarah berdirinya bimbingan dan konseling di Amerika dan di Indonesia dan
untuk mengetahui tentang para ahli yang mempelopori perkembangan bk di
Amerika dan di Indonesia.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Adapun


kekurangan dari makalah ini, kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan untuk perbaikan.

Akhir kata semoga Allah SWT akan selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada
kita semua, dan semoga karya kecil ini dapat menjadi ilmu yang berguna.

Surabaya, 11 Maret 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................

Daftar Isi.....................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………………………….1

B. Rumusan Masalah…………………………………………………………2

C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………..2

BAB II PEMBAHASAN

A. Perkembangan bk di Amerika……………………………………..............3

B. Perkembangan layanan bk di Indonesia…………………………………………6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………………14

Daftar Pustaka…………………………………………………………………...15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum, konsep bimbingan dan konseling telah lama dikeal
manusia melalui sejarah. Sejarah tentang “developing one’s potential”
(pengembangan potensi individu) dapat ditelususri dari masyarakat
Yunanai kuno. Menekankan tentang upaya-upaya untuk mengembangkan
dan memperkuat individu melalui pendidikan, sehingga mereka dapat
mengisi peranannya di masyarakat.Meyakini bahwa dalam diri individu
terdapat kekuatan-kekuatan yang dapat distimulasi dan dibimbing ke arah
tujuan-tujuan yang berguna, bermanfaat, atau menguntungkan baik bagi
dirinya sendiri maupun masyarakat.
Terkait dengan perhatian masyarakat Yunani , Plato dapat
dipandang sebagai “konselor” Yunani kuno, karena telah menaruh
perhatian yang begitu besar terhadap pemahaman psikologis individu,
menyangkut aspek isu-isu moral, pendidikan, hubungan dalam
masyarakat, dan teologis. Plato menaruh perhatian terhadap masalah-
masalah (1) bagaimana membangun pribadi manusia yang baik melalui
asuhan atau pendidikan formal (2) bagaimana caranya supaya anak
berpikir lebih efektif, dan (3) teknik apa yang telah berhasil mempengaruhi
manusia dalam kemampuannya mengambil keputusan dan
mengembangkan keyakinannya.
Konselor kedua dari Yunani adalah Aristoteles (murid
Plato).Aristoteles banyak berkontribusi pemikiran ke dalam bidang
psikologi.Slah satu pemikirannya adalah studi tentang interaksi individu
dengan lingkungan dan yang lainnya, serta upaya mengembangkan fungsi-
fungsi individu secara optimal.
Paparan para tokoh tentang bagaimana bimbingan dan konseling
berkembang, dari mulai zaman yunani kuno sampai dengan abad 18-an.[¹]

4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah layanan bimbingan dan konseling di Amerika
Serikat?
2. Bagaimana sejarah layanan bimbingan dan konseling di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui tokoh-tokoh yang mempelopori timbulnya bimbingan dan
konseling di Amerika Serikat dan di Indonesia.
2. Mengetahui sejarah perkembangan bimbingan dan konseling di
Amerika Serikat dan di Indonesia.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Layanan Bimbingan Konseling di Amerika.


Gerakan bimbingan di sekolah mulai berkembang sebagai dampak
dari revolusi industry, dan keragaman latar belakang para siswa yang
masuk ke sekolah-sekolah negeri.Pada tahun 1898, Jesse B. Davis,
seorang konselor sekolah di Detroit memulai memberikan layanan
konseling berpendidikan dan pekerjaan di SMA.Pada tahun 1907, dia
diangkat menjadi kepala SMA di Grand Rapids, Michigan.Dia
memasukkan program bimbingan disekolah tersebut. Tujuan dari program
bimbingan ini adalah untuk membantu siswa agar mampu
mengembangkan karakternya yang baik (memiliki nilai moral, ambisi,
bekerja keras dan kejujuran) sebagai asset yang sangat penting bagi setiap
siswa dalam rangka merencanakan, mempersiapkan , dan memasuki dunia
kerja, mencegah dirinya dari perilaku bermasalah, dan menghubungkan
minat pekerjaan dengan kurikulum (mata pelajaran).
Pada tahun 1950, terjadi peristiwa peluncuran Sputnik I Uni
Soviet.Peristiwa ini sangat mencemaskan warga Negara Amerika Serikat,
karena mereka berpikir bahwa peristiwa ini merupakan isyarat tentang
dominasi Uni Soviet dalam bidang teknologi industri dan bidang ilmiah
lainnya. Pada bulan September tahun 1958 kongres meyusun undang-
undang, termasuk undang-undang pertahanan pendidikan nasional
(National Defense Education Act). Undang-undang ini memberikan
kewenangan kepada pemerintah untuk mengucurkan dana bagi
pendidikan, seperti untuk pelatihan konselor SMP dan SMA, dan program
bimbingan lainny. Peristiwa yang terjadi pada bulan September tahun
1958 ini merupakan landmark (peristiwa penting) dalam dunia pendidikan
di Amerika, termasuk gerakan bimbingan dan konseling.Departemen
pertahanan pendidikan memberikan keuntungan khusus bagi
pembimbingan generasi muda dengan 5 dari 10 seksi yang ada.Kelima

6
seksi ini merupakan kunci bagi kemajuan pengembangan program
bimbingan dan konseling.
Gibson dan Higgins (Robert L. Gibson & Marianne H. Mitchell,
1986) memgemukakan bahwa enam tahun setelah peristiwa tersebut, yaitu
bulan September 1964, bantuan yang diberikan dapat diketahui dari
pemberitahuan yang dikemukakan oleh Departemen Kesehatan,
Pendidikan, dan Kesejahteraan Amerika, yaitu sebagai berikut.
1. Kucuran dana $30 juta untuk membantu para konselor SMA
yang bekerja full-time, yang jumlahnya 12.000 orang (rasio
konselor dengan siswa, 1:960) pada tahun 1958, 30.000 orang
konselor (1:510) pada tahun 1964.
2. Pada tahun akhir akademik 1964-1965 telah dikucurkan dana
untuk membantu 480 lembaga sekolah dalam upaya
meningkatkan kemampuan konseling. Program ini diikuti oleh
lebih dari 15.700 orang konselor SMP, dan para guru yang di
persiapkan untuk menjadi konselor.
3. Mulai tahun 1959-1964 telah dilakukan tes prestasi dan bakat
persekolahan (scholastic aptitude and achievement tests)
kepada 109 juta siswa SMP Negeri, dan tiga juta siswa SMP
swasta.
4. 600.000 siswa telah dibantu untuk memperoleh atau
melanjutkan studi ke perguruan tinggi melalui loan (pinjaman)
dari Negara bagian federal.
5. 42.000 teknisi telah dilatih untuk memenuhi kebutuhan
“manpower” yang mengalami krisis.
6. Memberi kucuran dana beasiswa 8.500 calon guru di beberapa
perguran tinggi keguruan.

7
Selama tahun 1960-1980, telah terjadi perkembangan dalam peran
dan fungsi konselor sekolah berikut program-programnya. Perkembangan
tersebut meliputi :

1. Pengembangan, penerapan, dan evaluasi program bimbingan


komprehensif
2. Pemberian layanan konseling secara langsung kepada para
siswa, orang tua, dan guru
3. Perencanaan pendidikan dan pekerjaan
4. Penempatan siswa
5. Layanan “referral” rujukan
6. Konsultasi dengan guru-guru, tenaga administrasi, dan orang
tua.

Khusus menyangkut peran konselor di sekolah dasar, “Joint


Committee on Elementary School Counselor” mengklasifikasikannya
menjadi tiga peran (fungsi) yaitu konseling, konsultasi, dan koordinasi.

Pada tahun 1975, The Education Act for All Handicapped Children
menyediakan dana untuk memberikan layanan pendidikan secara khusus
kepada anak-anak cacat (berkelainan).

Perkembangan program bimbingan dan konseling di sekolah


dipengaruhi juga oleh munculnya berbagai organisasi professional dalam
bidang konseling.Organisasi ini berupaya meningkatkan profesionalitas
para konselor, dengan meluncurkan program akreditasi dan sertifikasi.
Berikut ini organisasi-organisasinya:

1. American Counseling Association (ACA)


2. American School Counselor Association (ASCA)
3. Association of Counselor Education and Supervision
(ACES).[²]

8
B. Perkembangan Layanana Bimbingan di Indonesia

Layangan bimbingan di Amerika dimulai dari usaha swasta, kemudian


berangsur-angsur menjadi usaha pemerintah. Sementara, di Indonesia,
perkembangannya dimulai dengan kegiatan sekolah dan usaha-usaha pemerintah.

Layanan bimbingan dan konseling di Indonesia telah mulai dibicarakan secara


terbuka sejak tahun 1962. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan sistem
pendidikan di SMA, yaitu terjadinya perubahan nama SMA Gaya Baru, dan
berubahnya waktu penjurusan, yang awalnya kelas I menjadi kelas II. Program
penjurusan ini merupakan respon akan kebutuhan untuk menyalurkan para siswa
kejurusan yang tepat bagi dirinya secara perorangan. Dalam rencana pelajaran
SMA Gaya Baru, diantaranya ditegaskan sebagai berikut.

a. Di kelas I setiap pelajar diberi kesempatan untuk lebih mengenal bakat dan
minatnya.
b. Dengan menggunakan peraturan kenaikan kelas dan bahan-bahan catatan
dalam kartu pribadi setiap murid, para pelajar disalurkan ke kelas II
kelompok khusus ; Budaya, Sosial, Pasti dan pengetahuan alam
c. Untuk kepentingan tersebut, maka pengisisan kartu pribadi murid harus
dilaksanakan seteliti-telitinya (Rochman Natawidjaja, 1971)

Perumusan dan pencantuman resmi di dalam rencana pelajaran SMA ini disusul
dengan berbagai kegiatan pengembangan layanan bimbingan dan konseling di
sekolah, seperti rapat kerja, penataran, dan lokakrya.Puncak dari usaha ini adalah
didirikannya jurusan bimbingan dan penyuluhan di Fakultas Ilmu Pendidikan
IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Negeri.Salah satu yang membuka
jurusan-jurusan Bimbingan dan Penyuluhan adalah IKIP Bandung, yaitu pada
tahun 1963.

Dengan diperkenalkannya gagasan Sekolah Pembangunan pada tahun 1970/1971,


peranan bimbingan kembali mendapat perhatian. Gagasan Sekolah Pembangunan
ini kemudian dituangkan dalam program Sekolah Menengah Pembangunan
Persiapan (SMPP), yang berupa proyek percobaan dan peralihan dari sistem

9
persekolahan lama menjadi sekolah pembangunan. Pembentukan SMPP ini
dimaktubkan dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
0199/0/1973.Untuk melaksanakan bimbingan dan penyuluhan SMPP ini, badan
pengembangan pendidikan departemen pendidikan dan kebudayaan telah
menyusun Program Bimbingan dan Penyuluhan SMPP.

Usaha mewujudkan sistem sekolah pembangunan tersebut dilaksanakan melalui


proyek pembaharuan pendidikan, yang diberi nama Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan (PPSP). PPSP diujicobakan di delapan IKIP, yang diantaranya
IKIP Bandung dan Jakarta.Badan pengembangan pedidikan, melalui lokakarya-
lokakarya telah berhasil menyusun dua naskah penting dalam sejarah
perkembangan layanan bimbingan di Indonesia, yaitu sebagai berikut.

a. Pola dasar rencana dan pengembangan program bimbingan dan


penyuluhan melalui proyek-proyek perintis sekolah pembangunan.
b. Pedoman operasional pelayanan bimbingan pada proyek-proyek perintis
sekolah pembangunan.

Secara formal bimbingan dan konseling diprogramkan disekolah sejak


berlakunya kurikulum 1975, yang menyatakan bahwa bimbingan dan penyuluhan
merupakan bagian integral dalam pendidikan disekolah.Pada tahun 1975 berdiri
Ikatan Petugas Bmbingan Indonesia (IPBI) Malang.

Setelah melalui penataan, maka dalam decade 80-an bimbingan diupayakan


agar lebih mantap. Pemantapan terutama diusahakan untuk mewujudkan layanan
bimbingan yang professional.Beberapa upaya dalam pendidikan yang dilakukan
dalam dekade ini adalah penyempurnaan kurikulum, dari kurikulum 1975 ke
kurikulum 1984 (Telah dimasukkan bimbingan karir).

Usaha memantapkan bimbingan terus dilanjutkan dengan diberlakukannya UU


No. 2/1989 tentang sistem pendidikan Nasional. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan
bahwa : “pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang
akan datang”.

10
Posisi bimbingan yang termaktub dalam undang-undang No.1 diatas diperkuat
dengan peraturan pemerintan (PP) No.28 Bab X Pasal 25/1990 dan PP No.29 Bab
X Pasal 27/1990 yang menyatakan bawa “Bimbingan merupakan bantuan yang
diberikan kepada siswa dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan,
dan merencanakan masa depan”.

Penataan bimbingan terus dilanjutkan dengan dikeluarkannya SK Menpan No.


84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.Dalam pasal 3
disebutkan tugas pokok guru adalah menyusun program bimbingan,
melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analis hasil
pelaksanaan bimbingan, dan tindak lanjut dlam program bimbingan terhadap
peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya.

Perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia menjadi semakin


mantap dengan terjadinya perubahan nama organisasi Ikatan Petugas Bimbingan
Indonesia (IPBI) menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)
pada tahun 2001. Pemunculan nama ini dilandasi terutama oleh pemikiran bahwa
bimbingan dan konseling harus tampil sebagai profesi yang mendapat pengakuan
dan kepercayaan public.

Berdasarkan penelaahan yang cukup kritis terhadap perjalanan historis


gerakan bimbingan dan konseling di insonesia, Prayitno (2003) mengemukakan
bahwa periodesasiperkembangan gerakan bimbingan dan penyuluhan di Indonesia
melalui lima periode, yaitu : Prawacana, pengenalan, pemasyarakatan,
konsolidasi, dan tinggal landas. [³]

TABEL 1

Periodesasi Pergerakan Bimbingan dan Konseling Indonesia [⁴]

PERIODESASI PERISTIWA
Periode I dan II : Periode ini berpuncak dengan dibukanya Jurusan
Prawacana dan Bimbingan dan Penyuluhan pada tahun 1963 di IKIP
pengenalan (Sebelum Bandung. Pembukaan jurusan ini menandai dimulainya

11
1960 sampai 1970- period eke II yang secara tidak langsung memperkenalkan
an) pelayanan BP kepada masyarakat akademmik dan
pendidik. Periode ke II ini ditandai dengan dua
keberhasilan, yaitu diluluskannya sejumlah sarjana BP,
dan semakin dipahami dan dirasakan kebutuhan akan
pelayanan tersebut.
Periode III : Pada periode ini diberlakukannya kurikulum 1975 untuk
Pemasyarakatan Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Tingkat Atas.
(1970 sampai 1990- Pada periode ke III ini ditandai juga dengan pemberakuan
an) kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984 ini, pelayanan
BP difokuskan pada bidang bimbingan karir. Pada periode
ini muncul beberapa permasalahan, seperti (1)
berkembangnya pemahaman yang keliru, yaitu
mengidentifikasikan Bimbingan karir (BK) dengan
Bimbingan penyuluhan (BP), sehingga mincil istilah
BK/BP. (2) kerancuan dalam mengimplementasikan SK
Menpan No. 26/Menpan/1989 terhadap penyelenggarahan
layanan bimbingan di sekolah. Dalam SK tersebut
terimplikasi bahwa semua guru dapat diserahi tugas
melaksanakan pelayanan BP. Akibatnya pelayanan BP
menjadi kabur, baik pemahaman maupun
implementasinya.
Periode IV : Pada periode ini IPBI berusaha keras mengubah kebijakan
Konsolidasi (1990- bahwa pelayanan BP itu dapat dilaksanakan oleh semua
2000) guru. Pada periode ini ditandai oleh (1) diubahnya secara
resmi kata penyuluhan menjadi konseling; istilah yang
dipakai sekarang adalah bimbingan dan konseling,
disingkat BK; (2) pelayanan BK di sekolah hanya
dilaksanakan oleh guru pembimbing yang secara khusus
ditugasi untuk itu; (3) mulai diselengarakan penataran

12
untuk guru-guru pembimbing (4) mulai adanya formasi
untuk pengangkatan menjadi guru pembimbing. (5) pola
pelayanan BK di sekolah “dikemas” dalam BK pola 17
dan (6) dalam bidang kepengawasan sekolah dibentuk
kepengawasan bidan BK dan (7) dikembangkannya
sejumlah panduan pelayanan BK di sekolah yang lebih
operasional oleh IPBI.
Periode V : Semula diharapkan periode konsolidasi akan dapat
Lepas Landas mencapi hasil-hasil yang memadai, sehingga mulai tahun
2001 profesi BK di Indonesia sudah dapat tinggal landas.
Namun kenyataannya menunjukkan bahwa masih ada
permasalahan yang belum terkonsolidasi, yang berkenaan
dengan Sumber Daya Manusia (SDM). Kelemahan nya
berakar dari kondisi untralned, undertrained, dan
uncommitted para pelaksana layanan. Walaupun begitu
pada tahun-tahun setelah masa konsolidasi terdapat
beberapa peristiwa yang dapat dijadikan tonggak bagi
pengembangan profesi konseling menuju era lepas landas,
yaitu ; (1) penggantuan nama organisasi profesi dari IPBI
menjadi ABKIN (Aosiasi Bimbingan dan Komseling
Indonesia) (2) lahirnya undang-undang No. 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional, yang didalamnya
termuat ketentuan bahwa konselor termasuk salah satu
jenis tenaga pendidik (Bab I Pasal 1 ayat 4); (3) kerjasama
pengurusan besar ABKIN dengan Dikti Depdiknas
tentang standaritasasi profesi konseling dan (4) kerjasama
ABKIN dengan Direktorat PLP dalam merumuskan
kompetensi guru pembimbing (Konselor) SMP dan
sekaligus memberikan pelatihan kepada mereka.

13
Untuk lebih memantapkan bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi
dewasa ini telah banyak kegiatan yang dilakukan, baik yang berupa seminar,
lokakarya, maupun penerbitan buku dan jurnal.Pada ulan Desember 2003 ABKIN
telah menyelenggarakan Konvensi Nasional XIII yang diisi dengan kegiatan
seminar dan lokakarya (Semiloka) yang bertemakan “Profesi Bimbingan dan
Konseling Indonesia Menuju kea rah Standar Internasional”.Para pembicara pada
seminar itu disamping berasal dari para pengurus ABKIN dan para pakar
Bimbingan dari dalam negeri juga dari luar negeri, yaitu dari Jepang (Prof.
Toshinori Ishikuma) dan Malaysia (Prof. Dr. Wan Kadew Wan Ahmad). Di
samping itu, disetiap kota atau kabupaten yang ada guru pembimbingnya telah
dibentuk organisasi mgbk, yaitu Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling,
baik di tingkat SLTP maupun SLTA.

Yang masih menjadi permasalahan dalam penyelenggaraan program bimbigan


dan konseling sampai saat ini diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Masih terdapat kesenjangan rasio konselor (guru pembimbing) dengan


jumlah sekolah dan jumlah peserta didik di setiap jenjang pendidikan,
bahkan di Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) belum ada
pengangkatan khusus seorang konselor.
b. Dampak dari kesemjangan antara jumlah konselor dengan jumlah sekolah
atau jumlah peserta didik adalah (1) di sekolah-sekolah tertentu tidak ada
guru pembimbing, (2) di sekolah tertentu ada guru pembimbing meskipun
tidak seimbang dangan banyaknya siswa, dan (3) untuk menutupi
kekurangan guru pembimbing, tidak jarang kepala sekolah mengangkat
guru-guru mata pelajaran menjadi guru pembimbing.
c. Pengangkatan guru mata pelajaran menjadi guru pembimbing, disatu sisi
memberikan impresi positif bagi penyelenggaraan program BK di sekolah,
karena ada kepedulian kepada kepala sekolah terhadap program BK.
Namun di sisi lain kebijakan tersebut memberikan dampak yang kurang
baik bagi profesi bimbingan, yang melahirkan citra buruk bagi profesi
bimbingan dan Konseling itu sendiri, karena dilakukan oleh orang-orang

14
yang tidak memiliki keahlian tentang BK. Program BK dianggap sebagai
kegiatan pelengkap di sekolah yang tidak perlu dilakukan secara
professional, karena siapapun bisa melaksanakannya.
d. Meskipun bimbingan dan konseling dipandang sebagai kegiatan
professional, namun secara hokum belum terproteksi oleh standar kode
etik yang kokoh yang memberikan jaminan bahwa hanya lulusan
pendidikan konselor lah yang bisa mengemban tugas atau memberikan
layanan bimbingan dan konseling.
e. Bimbingan dan Konseling masih belum familier di kalangan masyarakat.
Popularitasnya masih terbatas dalam komunitas tertentu, dan di
lingkungan (yaitu sekolah) yang seyogianya sudah akrab dan apresiatif
terhadap BK, masih ada yang belum memahaminya secara tepat dan
bahkan menaruh citra negative terhadap BK.
f. Masih ada kepala sekolah yang belum memahami secara tepat program
bimbingan dan konseling di sekolah, sehingga akhirnya mereka suka
memberikan tugas kepada guru pembimbing (konselor) yang mismatch,
tidak proporsional, tidak sesuai dengan peran yang sebenarnya. Sering
guru pembimbing diberi tugas dengan kegiatan-kegiatan yang
bersebrangan secara diametral dengan tugas yang sebenarnya, seperti
ditugaskan untuk menghukum para siswa yang sering kesiangan atau
membolos, atau menangani para siswa yang melanggar tata tertib sekolah.
Kondisi ini sangat tidak kondusif bagi profesi konselor, karena dapat
meruntuhkan citra atau martabat konselor dikalanagan para siswa. Yang
seharusnya konselormenjadi manusia panutan yang disenangi, dipercaya,
dan disegani oleh para siswa, malah sebaliknya siswa menjadi takut, dan
merasa tidak senang kepada konselor. Akhirya program bimbingan dan
konseling disekolah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
g. Citra bimbingan dan konseling semakin semakin diperburuk dengan masih
adanya guru pembimbing yang kinerjanya tidak professional. Mereka
masih lemah dalam (1) memahami konsep-konsep bimbingan secara
komprehensif (2) menyusum program bimbingan dan konseling (3)

15
mengimplementasikan teknik-teknik bimbingan dan konseling (4)
kemampuan berkolaborasi dengan pimpinan sekolah atau guru mata
pelajaran (5) mengelola bimbingan dan konseling (6) mengevaluasi
program bimbingan dan konseling, dan melakukan tindak lanjut (follow
up) hasil evaluasi untuk perbaikan atau pengembangan program, dan (7)
penampilan kualitas pribadinya, yaitu mereka dinilai masih kurang percaya
diri, kurang ramah, kurang kreatif, kurang kooperatif dan kolaboratif.
h. LPTK yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon guru pembimbing
(konselor) masih belum memiliki kurikulum yang mantap untuk
melahirkan konselor-konselor yang professional.

16
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1. Bimbingan dan konseling sangatlah dibutuhkan dalam masyarakat. Utamanya
bagi mereka yang mempunyai masalah tetapi tidak dapat menyelesaikan
masalahnya sendiri, melainkan masih butuh bantuan orang lain.
2. Proses lahir BK di Barat bermula dari pendidikan. Selanjutnya BK berkembang
cukup pesat dan diterima oleh sebagian besar lapisan masyarakat.
3. Di Indonesia BK sudah dikenal sejak penjajahan dan berkembang dari pendidikan
juga. Setelah mendapat legitimasi melalui undang-undang dari pemerintah,
kemudian BK secara resmi dilaksanakan di sekolah-sekolah dan instansi yang
melayani BK.

17
DAFTAR PUSTAKA

Yusuf Syamsu dan Nurihsan A. Juntika. (2008). Landasan Bimbingan


dan Konseling. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya; halaman 85-101

[¹] Yusuf Syamsu dan Nurihsan A. Juntika. (2008). Landasan Bimbingan dan
Konseling. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya; hal. 85-87

[²] Yusuf Syamsu dan Nurihsan A. Juntika. (2008). Landasan Bimbingan dan
Konseling. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya; hal. 87-91

[³] Yusuf Syamsu dan Nurihsan A. Juntika. (2008). Landasan Bimbingan dan
Konseling. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya; hal. 94-97

[⁴]Yusuf Syamsu dan Nurihsan A. Juntika. (2008). Landasan Bimbingan dan


Konseling. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya; hal. 98-99

18

Anda mungkin juga menyukai