Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian

diseluruh dunia. Pada tahun 2015, sebanyak 10,4 juta orang jatuh sakit

disebabkan tuberkulosis. Lebih dari 95% kematian akibat tuberkulosis terjadi

pada penduduk negara yang berpenghasilan rendah dan menengah. Enam

negara menyumbang 60% dari kasus tuberkulosis yaitu negara India

Indonesia, Cina, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan (WHO, 2015).

Tuberkulosis terjadi di setiap bagian dunia. Pada tahun 2015, jumlah

terbesar kasus Tuberkulosis baru terjadi di Asia, dengan 61% dari kasus baru,

diikuti oleh Afrika, dengan 26% dari kasus baru. Pada 2015, 87% dari kasus

TB baru terjadi di 30 negara beban Tuberkulosis yang tinggi (WHO, 2015).

Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun

2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru

TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada

perempuan. Bahkan berdasarkan survei prevalensi tuberculosis, prevalensi

pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga

yang terjadi di negara-negara lain (Kemenkes, 2017).

Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada faktor

risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat.

Survei ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok

sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok

(Kemenkes, 2017).

1
2

Tuberkulosis paru (TB) disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

(M.tuberculosis) yang dikenal sebagai tubercle bacilli atau basil tahan asam

(BTA) dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi baik di paru atau ekstra paru

(Salwani,2018).

Negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar

penderita yang sembuh setelah pengobatan TB, namun pada sebagian

penderita, secara klinik timbul gejala sesak terutama pada aktivitas, radiologi

menunjukkan gambaran bekas tuberkulosis paru (fibrotik, kalsifikasi) yang

minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang

tidak reversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori

penyakit sindrom obstruksi pasca tuberkulosis (SOPT) dengan gejala dan tanda

mirip dengan PPOK (Irawati, 2013).

SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca tuberkulosis) adalah penyakit obstruksi

saluran napas yang ditemukan pada penderita pasca tuberkulosis dengan lesi

paru yang minimal yang masih sering ditemukan pada pasien pasca

Tuberkulosis dalam praktik klinik (Irawati, 2013).

Patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada penelitian

terdahulu bahwa kemungkinan penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang

dipengaruhi oleh reaksi imun seseorang yang menurun sehingga terjadi

mekanisme makrofag aktif yang menimbulkan peradangan nonspesifik yang

luas. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan gangguan faal paru

yaitu sesak napas, batuk berdahak dan batuk darah. Penelitian lainnya

menunjukkan bahwa puncak terjadinya gangguan faal paru pada pasien pasca

TB terjadi dalam waktu 6 bulan setelah diagnosis (Irawati, 2013).


3

Penyebaran dan penyembuhan TB masih belum tuntas walaupun obat dan

cara pengobatannya telah diketahui. SOPT dapat mengganggu kualitas hidup

pasien, serta berperan sebagai penyebab kematian sebesar 15% setelah durasi

10 tahun. Deteksi dini SOPT dengan uji faal paru pada pasien pasca TB

berperan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien (Irawati, 2013).

Berdasarkan penjelasan di atas, pasien dengan kasus Sindrom Obstruksi

Pasca Tuberkulosis (SOPT) menimbulkan berbagai tingkat gangguan yaitu

berupa adanya sputum, terjadinya perubahan pola pernapasan, rileksasi

menurun, perubahan postur tubuh, berat badan menurun dan gerak lapang paru

menjadi tidak maksimal bila tidak segera dilakukan penanganan atau tindakan

fisioterapi. Dari permasalahan tersebut, modalitas fisioterapi yang bisa

digunakan adalah IR yang berfungsi untuk melancarkan sirkulasi darah dan

rileksasi otot-otot pernapasan, breathing exercise dan coughing exercise yang

akan mengurangi sputum atau membersihkan jalan napas, mengontrol pola

pernapasan, membuat rasa nyaman dan melegakan saluran pernapasan, serta

yang terakhir adalah mobilisasi lingkar toraks yang berfungsi untuk membantu

meningkatkan mobilitas trunk dan shoulder yang mempengaruhi respirasi serta

memperkuat kedalaman inspirasi dan ekspirasi yang pada akhirnya akan

memperbaiki fungsi pernapasan, meningkatkan ketahanan dan kekuatan otot-

otot pernapasan (Subroto, 2010). Oleh karena itu, kami mahasiswa Profesi

Fisioterapi Universitas Hasanuddin mengangkat tema “Manajemen Fisioterapi

Gangguan Fungsional Paru-Paru Berupa Sesak Napas E.C Sindrom Obstruksi

Pasca Tuberkulosis (SOPT) Sejak 2 Tahun Yang Lalu”


4

1.2 Anatomi dan Fisiologi

1.2.1 Anatomi Alat-Alat Pernafasan pada Manusia

a. Rongga Hidung (Cavum Nasalis)

Hidung tersusun atas tulang dan tulang rawan hialin, kecuali naris

anterior yang dindingnya tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan tulang

rawan. Permukaan luarnya dilapisi kulit dengan kelenjar sebasea besar

dan rambut. Terdapat epitel respirasi: epitel berlapis silindris bersilia

bersel goblet dan mengandung sel basal. Didalamnya ada konka

nasalis superior, medius dan inferior. Lamina propria pada mukosa

hidung umumnya mengandung banyak pleksus pembuluh darah

(Patwa, 2015).

Alat penghidu mengandung epitel olfaktoria: bertingkat silindris

tanpa sel goblet, dengan lamina basal yang tidak jelas. Epitelnya

disusun atas 3 jenis sel: sel penyokong, sel basal dan sel olfaktoris

(Srinivas, 2012).

Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis).

Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar

minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera).

Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat

saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal

yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama

udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah

yang berfungsi menghangatkan udara yang masuk. Di sebelah

belakang rongga hidung terhubung dengan nasofaring melalui dua


5

lubang yang disebut choanae (Patwa,2015). Pada permukaan rongga

hidung terdapat rambut-rambut halus dan selaput lendir yang

berfungsi untuk menyaring udara yang masuk ke dalam rongga

hidung.

Gambar 1.1 Alat-Alat pernapasan


Sumber : Majumder, 2015

b. Faring (Tenggorokan)

Faring merupakan lanjutan posterior dari rongga mulut. Saluran

napas dan makanan menyatu dan menyilang. Pada saat makan

makanan dihantarkan ke oesophagus. Pada saat bernapas udara

dihantarkan ke laring. Ada 3 rongga : nasofaring, orofaring, dan

laringofaring. Mukosa pada nasofaring sama dengan organ respirasi,

sedangkan orofaring dan laringofaring sama dengan saluran cerna.

Mukosa faring tidak memilki muskularis mukosa. Lamina propria

tebal, mengandung serat elastin. Lapisan fibroelastis menyatu dengan

jaringan ikat interstisiel. Orofaring dan laringofaring dilapisi epitel

berlapis gepeng, mengandung kelenjar mukosa murni (Srinivanas,

2012)
6

Masuknya udara melalui faring akan menyebabkan pita suara

bergetar dan terdengar sebagai suara. Makan sambil berbicara dapat

mengakibatkan makanan masuk ke saluran pernapasan karena saluran

pernapasan pada saat tersebut sedang terbuka. Walaupun demikian,

saraf kitaakan mengatur agar peristiwa menelan, bernapas, dan

berbicara tidak terjadi bersamaan sehingga mengakibatkan gangguan

kesehatan. Fungsi utama faring adalah menyediakan saluran bagi

udara yang keluar masuk dan juga sebagi jalan makanan dan minuman

yang ditelan, faring juga menyediakan ruang dengung(resonansi)

untuk suara percakapan (Majunder, 2015)

c. Laring

Laring merupakan organ berongga dengan panjang 42 mm dan

diameter 40 mm. Terletak antara faring dan trakea. Dinding dibentuk

oleh tulang rawan tiroid dan krikoid. Muskulus ekstrinsik mengikat

laring pada tulang hyoid. Muskulus intrinsik mengikat laring pada

tulang tiroid dan krikoid berhubungan dengan fonasi. Lapisan laring

merupakan epitel bertingkat silia.

Epiglotis memiliki epitel selapis gepeng, tidak ada kelenjar.

Fungsi laring untuk membentuk suara, dan menutup trakea pada saat

menelan (epiglotis). Ada 2 lipatan mukosa yaitu pita suara palsu (lipat

vestibular) dan pita suara (lipat suara). Celah diantara pita suara

disebut rima glotis.


7

Pita suara palsu terdapat mukosa dan laminapropria. Pita suara

terdapat jaringan elastis padat, otot suara (otot rangka). Vaskularisasi:

A.V Laringeal media dan Inferior. Inervasi: N Laringealis superior

(Knenddedy, 2012).

d. Batang tenggorokan (Trakea)

Trakea tersusun atas 16-20 cincin tulang rawan. Celah

diantaranya dilapisi oleh jaringan ikat fibro elastik. Struktur trakea

terdiri dari: tulang rawan, mukosa, epitel bersilia, jaringan limfoid dan

kelenjar (Kennedy, 2012).

Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya ± 10 cm, terletak

sebagian di leher dan sebagian di rongga dada (torak). Dinding

tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin tulang rawan, dan

pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi menyaring

benda-benda asing yang masuk ke saluran pernapasan. Batang

tenggorok (trakea) terletak di sebelah depan kerongkongan. Di dalam

rongga dada, batang tenggorok bercabang menjadi dua cabang

tenggorok (bronkus). Di dalam paru-paru, cabang tenggorok

bercabang-cabang lagi menjadi saluran yang sangat kecil disebut

bronkiolus. Ujung bronkiolus berupa gelembung kecil yang disebut

gelembung paru-paru (alveolus) (Patwa, 2015).

e. Cabang batang tenggookan (bronkus)

Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua bagian, yaitu

bronkus kanan dan bronkus kiri. Struktur lapisan mukosa bronkus

sama dengan trakea, hanya tulang rawan bronkus bentuknya tidak


8

teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar cincin tulang

rawannya melingkari lumen dengan sempurna. Bronkus bercabang-

cabang lagi menjadi bronkiolus. Batang tenggorokan bercabang

menjadi dua bronkus, yaitu bronkus sebelah kiri dan sebelah kanan.

Kedua bronkus menuju paru-paru, bronkus bercabang lagi menjadi

bronkiolus.

Bronkus sebelah kanan (bronkus primer) bercabang menjadi tiga

bronkus lobaris (bronkus sekunder), sedangkan bronkus sebelah kiri

bercabang menjadi dua bronkiolus. Cabang-cabang yang paling kecil

masuk ke dalam gelembung paru-paru atau alveolus. Dinding alveolus

mengandung kapiler darah, melalui kapiler-kapiler darah dalam

alveolus inilah oksigen dan udara berdifusi ke dalam darah. Fungsi

utama bronkus adalah menyediakan jalan bagi udara yang masuk dan

keluar paru-paru (Kelly, 2014).

f. Bronchiolus

Bronkiolus merupakan cabang ke 12-15 bronkus. Tidak

mengandung lempeng tulang rawan, tidak mengandung kelenjar

submukosa. Otot polos bercampur dengan jaringan ikat longgar.

Epitel kuboid bersilia dan sel bronkiolar tanpa silia (sel Clara).

Lamina propria tidak mengandung sel goblet (Kennedy, 2012).


9

g. Alveolus

Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis.

Tempat terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida antara

darah dan udara yang dihirup. Jumlahnya 200 - 500 juta. Bentuknya

bulat poligonal, septa antar alveoli disokong oleh serat kolagen, dan

elastis halus (Majunder, 2015)

Sel epitel terdiri sel alveolar gepeng ( sel alveolar tipe I ), sel

alveolar besar ( sel alveolar tipe II). Sel alveolar gepeng ( tipe I)

jumlahnya hanya 10% , menempati 95 % alveolar paru. Sel alveolar

besar (tipe II) jumlahnya 12 %, menempati 5 % alveolar. Sel alveolar

gepeng terletak di dekat septa alveolar, bentuknya lebih tebal, apikal

bulat, ditutupi mikrovili pendek, permukaan licin, memilki badan

berlamel.

Sel alveolar besar menghasilkan surfaktan pulmonar. Surfaktan

ini fungsinya untuk mengurangi kolaps alveoli pada akhir ekspirasi.

Jaringan diantara 2 lapis epitel disebut interstisial. Mengandung serat,

sel septa (fibroblas), sel mast, sedikit limfosit. Septa tipis diantara

alveoli disebut pori Kohn. Sel fagosit utama dari alveolar disebut

makrofag alveolar. Pada perokok sitoplasma sel ini terisi badan besar

bermembran. Jumlah sel makrofag melebihi jumlah sel lainnya

(Kenndy, 2012).
10

h. Paru-paru

Gambar 1.2. Anatomi Paru-Paru


Sumber : White, 2016

Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian

samping dibatasi oleh otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi

oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua bagian yaitu

paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-

paru kiri (pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru

dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian

dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam

(pleura visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang

bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura

parietalis). Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan

elastik, dan pembuluh darah. Bronkiolus tidak mempunyai tulang

rawan,tetapi ronga bronkus masih bersilia dan dibagian ujungnya

mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Setiap bronkiolus

terminalis bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus respirasi,

kemudian menjadi duktus alveolaris. Pada dinding duktus alveolaris

mangandung gelembung-gelembung yang disebut alveolus. (White,

2016).
11

i. Pleura

Membran serosa pembungkus paru. Jaringan tipis ini

mengandung serat elastin, fibroblas, kolagen. Yang melekat pada paru

disebut pleura viseral, yang melekat pada dinding toraks disebut

pleura parietal. Ciri khas mengandung banyak kapiler dan pembuluh

limfe. Saraf adalah cabang n. frenikus dan n. intercostal (Patwa,

2015).

Menurut Juarfianti (2015) sistem pernafasan manusia dapat dibagi

ke dalam sistem pernafasan bagian atas dan pernafasan bagian bawah.

a. Pernafasan bagian atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus

paranasal, dan faring.

b. Pernafasan bagian bawah meliputi laring, trakea, bronkus, bronkiolus

dan alveolus paru.

Sistem pernapasan terbagi menjadi dari dua proses, yaitu inspirasi

dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari atmosfer ke dalam paru,

sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari dalam paru ke atmosfer.

Agar proses ventilasi dapat berjalan lancar dibutuhkan fungsi yang baik

pada otot pernafasan dan elastisitas jaringan paru. Otot-otot pernafasan

dibagi menjadi dua yaitu:

a. Otot inspirasi yang terdiri atas otot interkostalis eksterna,

sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma,

b. Otot-otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan interkostalis internus.


12

1.2.2 Fisiologi Sistem Pernapasan

a. Fisiologi Ventilasi Paru

Masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli paru.

Pergerakan udara ke dalam dan keluar paru disebabkan oleh:

1) Tekanan pleura, yaitu tekanan cairan dalam ruang sempit antara

pleura paru dan pleura dinding dada. Tekanan pleura normal sekitar

-5 cm H2O, yang merupakan nilai isap yang dibutuhkan untuk

mempertahankan paru agar tetap terbuka sampai nilai istirahatnya.

Kemudian selama inspirasi normal, pengembangan rangka dada

akan menarik paru ke arah luar dengan kekuatan yang lebih besar

dan menyebabkan tekanan menjadi lebih negatif (sekitar -7,5 cm

H2O).

2) Tekanan alveolus, yaitu tekanan udara di bagian dalam alveoli

paru. Ketika glotis terbuka dan tidak ada udara yang mengalir ke

dalam atau keluar paru, maka tekanan pada semua jalan nafas

sampai alveoli, semuanya sama dengan tekanan atmosfer (tekanan

acuan 0 dalam jalan nafas) yaitu tekanan 0 cm H2O. Agar udara

masuk, tekanan alveoli harus sedikit di bawah tekanan atmosfer.

Tekanan sedikit ini (-1 cm H2O) dapat menarik sekitar 0,5 liter

udara ke dalam paru selama 2 detik. Selama ekspirasi, terjadi

tekanan yang berlawanan.


13

3) Tekanan transpulmonal, yaitu perbedaan antara tekanan alveoli dan

tekanan pada permukaan luar paru, dan ini adalah nilai daya elastis

dalam paru yang cenderung mengempiskan paru pada setiap

pernafasan, yang disebut tekanan daya lenting paru (Majunder,

2015).

b. Fisiologi Kendali Persarafan pada Pernafasan

Terdapat dua mekanisme neural terpisah bagi pengaturan

pernafasan.

1) Mekanisme yang berperan pada kendali pernafasan volunter. Pusat

volunter terletak di cortex cerebri dan impuls dikirimkan ke neuron

motorik otot pernafasan melalui jaras kortikospinal.

2) Mekanisme yang mengendalikan pernafasan otomatis. Pusat

pernafasan otomati terletak di pons dan medulla oblongata, dan

keluaran eferen dari sistem ini terletak di rami alba medulla spinalis

di antara bagian lateral dan ventral jaras kortikospinal.

Serat saraf yang meneruskan impuls inspirasi, berkumpul pada

neuron motoric N.Phrenicus pada kornu ventral C3-C5 serta neuron

motorik intercostales externa pada kornu ventral sepanjang segmen

toracal medulla. Serat saraf yang membawa impuls ekspirasi, bersatu

terutama pada neuron motorik intercostales interna sepanjang segmen

toracal medulla (Fikriyah, 2012).

Neuron motorik untuk otot ekspirasi akan dihambat apabila

neuron motorik untuk otot inspirasi diaktifkan, dan sebaliknya.

Meskipun refleks spinal ikut berperan pada persarafan timbal-balik


14

(reciprocal innervation), aktivitas pada jaras descendens-lah yang

berperan utama. Impuls melalui jaras descendens akan merangsang

otot agonis dan menghambat yang antagonis. Satu pengecualian kecil

pada inhibisi timbal balik ini adalah terdapatnya sejumlah kecil

aktifitas pada akson N.Phrenicus untuk jangka waktu singkat, setelah

proses inspirasi. Fungsi keluaran pasca inspirasi ini nampaknya adalah

untuk meredam daya rekoil elastik jaringan paru dan menghasilkan

pernafasan yang halus (smooth) (Fikriyah, 2012).

c. Pengaturan Aktivitas Pernafasan

Baik peningkatan PCO2 atau konsentrasi H+ darah arteri

maupun penurunan PO2 akan memperbesar derajat aktivitas neuron

pernafasan di medulla oblongata, sedangkan perubahan ke arah yang

berlawanan mengakibatkan efek inhibisi ringan. Pengaruh

perubahan kimia darah terhadap pernafasan berlangsung melalui

kemoreseptor pernafasan di glomus karotikum dan aortikum serta

sekumpulan sel di medulla oblongata maupun di lokasi lain yang

peka terhadap perubahan kimiawi dalam darah. Reseptor tersebut

membangkitkan impuls yang merangsang pusat pernafasan.

Bersamaan dengan dasar pengendalian pernafasan kimiawi,

berbagai aferen lain menimbulkan pengaturan non-kimiawi yang

memengaruhi pernafasan pada keadaan tertentu. Untuk berbagai

rangsang yang memengaruhi pusat pernafasan dapat dilihat pada

tabel dibawah ini: (Patwa, 2015)


15

Gambar 1.3. Rangsangan yang Mempengaruhi Pusat Pernapasan


Sumber: Patwa, 2015

d. Pengendalian Kimiawi Pernafasan

Mekanisme pengaturan kimiawi akan menyesuaikan ventilasi

sedemikian rupa sehingga PCO2 alveoli pada keadaan normal

dipertahankan tetap. Dampak kelebihan H+ di dalam darah akan

dilawan, dan PO2 akan ditingkatkan apabila terjadi penurunan

mencapai tingkat yang membayakan. Volume pernafasan semenit

berbanding lurus dengan laju metabolisme, tetapi penghubung antara

metabolisme dan ventilasi adalah CO2, bukan O2.

Reseptor di glomus karotikum dan aortikum terangsang oleh

peningkatan PCO2 ataupun konsentrasi H+ darah arteri atau oleh

penurunan PO2. Setelah denervasi kemoreseptor karotikum, respons

terhadap penurunan PO2 akan hilang, efek utama hipoksia setelah

denervasi glomus karotikum adalah penekanan langsung pada pusat

pernafasan. Respon terhadap perubahan konsentrasi H+ darah arteri

pada pH 7,3-7,5 juga dihilangkan, meskipun perubahan yang lebih


16

besar masih dapat menimbulkan efek. Sebaliknya, respons terhadap

perubahan PCO2 darah arteri hanya sedikit dipengaruhi,; dengan

penurunan tidak lebih dari 30-35% (Majunder, 2015).

1) Kemoreseptor dalam batang otak

Kemoreseptor yang menjadi perantara terjadinya

hiperventilasi pada peningkatan PCO2 darah arteri setelah

glomus karotikum dan aortikum didenervasi terletak di medulla

oblongata dan disebut kemoreseptor medulla oblongata.

Reseptor ini terpisah dari neuron respirasi baik dorsal maupun

ventral, dan terletak pada permukaan ventral medulla oblongata.

Reseptor kimia tersebut memantau konsentrasi H+ dalam

LCS, dan juga cairan interstisiel otak. CO2 dengan mudah dapat

menembus membran, termasuk sawar darah otak, sedangkan H+

dan HCO3- lebih lambat menembusnya. CO2 yang memasuki

otak dan LCS segera dihidrasi. H2CO3 berdisosiasi, sehingga

konsentrasi H+ lokal meningkat. Konsentrasi H+ pada cairan

interstitiel otak setara dengan PCO2 darah arteri (White, 2016).

2) Respons pernafasan terhadap kekurangan oksigen

Penurunan kandungan O2 udara inspirasi akan

meningkatkan volume pernafasan semenit. Selama PO2 masih

diatas 60 mmHg, perangsangan pada pernafasan hanya ringan

saja,dan perangsangan ventilasi yang kuat hanya terjadi bila

PO2 turun lebih rendah. Nsmun setiap penurunan PO2 arteri

dibawah 100 mmHg menghasilkan peningkatan lepas muatan


17

dari kemoreseptor karotikum dan aortikum. Pada individu

normal, peningkatan pelepasan impuls tersebut tidak

menimbulkan kenaikan ventilasi sebelum PO2 turun lebih

rendah dari 60 mmHg karena Hb adalah asam yang lebih lemah

bila dibandingkan dengan HbO2, sehingga PO2 darah arteri

berkurang dan hemoglobin kurang tersaturasi dengan O2, terjadi

sedikit penurunan konsentrasi H+ dalam darah arteri. Penurunan

konsentrasi H+ cenderung menghambat pernafasan. Di samping

itu, setiap peningkatan ventilasi yang terjadi, akan menurunkan

PCO2 alveoli, dan hal inipun cenderung menghambat

pernafasan. Dengan demikian, manifestasi efek perangsangan

hipoksia pada pernafasan tidaklah nyata sebelum rangsang

hipoksia cukup kuat untuk melawan efek inhibisi yang

disebabkan penurunan konsentrasi H+ dan PCO2 darah arteri

(Kelly, 2014).

3) Pengaruh H+ pada respons CO2

Pengaruh perangsangan H+ dan CO2 pada pernafasan

tampaknya bersifat aditif dan saling berkaitan dengan kompleks,

serta berceda halnya dari CO2 dan O2. Sekitar 40% respons

ventilasi terhadap CO2 dihilangkan apabila peningkatan H+

darah arteri yang dihasilkan oleh CO2 dicegah. 60% sisa

respons kemungkinan terjadi oleh pengaruh CO2 pada

konsentrasi H+ cairan spinal atau cairan interstitial otak

(Kennedy, 2012).
18

e. Pengangkutan Oksigen ke Jaringan

Sistem pengangkut oksigen di dalam tubuh terdiri atas paru

dan sistem kardiovaskuler. Pengangkutan oksigen menuju jaringan

tertentu bergantung pada: jumlah oksigen yang masuk ke dalam

paru, adanya pertukaran gas dalam paru yang adekuat, aliran darah

menuju jaringan dan kapasitas darah untuk mengangkut oksigen.

Aliran darah bergantung pada derajat konstriksi jalinan vaskular di

dalam jaringan serta curah jantung. Jumlah oksigen di dalam darah

ditentukan oleh jumlah oksigen yang larut, jumlah hemoglobin

dalam darah dan afinitas hemoglobin terhadap oksigen (Fikriyah,

2012).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru-paru manusia,

antara lain:

a. Usia

Kekuatan otot maksimal paru-paru pada usia 20-40 tahun dan

dapat berkurang sebanyak 20% setelah usia 40 tahun. Selama proses

penuan terjadi penurunan elastisitas alveoli, penebalan kelenjar

bronkial, penurunan kapasitas paru.

b. Jenis Kelamin

Fungsi ventilasi pada laki-laki lebih tinggi sebesar 20-25% dari

pada funsgi ventilasi wanita, karena ukuran anatomi paru pada laki-

laki lebih besar dibandingkan wanita. Selain itu, aktivitas laki-laki

lebih tinggi sehingga recoil dan compliance paru sudah terlatih.


19

c. Tinggi Badan

Seorang yang memiliki tubuh tinggi memiliki fungsi ventilasi

lebih tinggi daripada orang yang bertubuh kecil pendek (Juarfianti,

2015).

Pada kapasitas paru-paru seseorang, udara yang keluar masuk paru-

paru pada waktu melakukan pernapasan biasa disebut udara pernapasan

(udara tidal). Volume udara pernapasan pada orang dewasa lebih kurang

500 ml. Volume udara tidal orang dewasa pada pernapasan biasa kira-

kira 500 ml. ketika menarik napas dalam-dalam maka volume udara yang

dapat kita tarik mencapai 1500 ml. Udara ini dinamakan udara

komplementer. Ketika kita menarik napas sekuat-kuatnya, volume udara

yang dapat diembuskan juga sekitar 1500 ml. Udara ini dinamakan udara

suplementer. Meskipun telah mengeluarkan napas sekuat-kuatnya, tetapi

masih ada sisa udara dalam paru-paru yang volumenya kira-kira 1500

mL. Udara sisa ini dinamakan udara residu. Jadi, Kapasitas paru-paru

total = kapasitas vital + volume residu =4500 ml/wanita dan 5500 ml/pria

(Srinivas, 2012).
BAB II

ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS

2.1 Kerangka / Mind Mapping Teori

Pengobatan 6
Infeksi TB Sembuh dari TB
bulan Reaksi Imunologis

BTA+ BTA - Peningkatan


kerja makrofag

Peradangan non-
spesifik pada
lapangan paru

 Peningkatan
produksi sputum SOPT
 Pola pernapasan
menurun
 Berat badan
menurun
 Perubahan postur
tubuh
 Penurunan Menurunnya kemampuan aktivitas fisik individu
mobilitas thoraks

Gambar 2.1. Kerangka/Mind Mapping Teori

2.2 Definisi

Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) adalah penyakit

obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita pasca tuberkulosis

dengan lesi paru yang minimal yang masih sering ditemukan pada pasien pasca

tuberkulosis dalam praktik klinik (Irawati, 2015). Kerusakan paru yang terjadi

pada penyakit saluran pernapasan obstruktif adalah komplikasi yang terjadi

pada sebagian besar penderita tuberkulosis pasca pengobatan. Gejala sisa yang

20
21

paling sering ditemukan yaitu gangguan faal paru dengan kelainan obstruktif

yang memiliki gambaran klinis mirip penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

(Shetty, 2010). Hilangnya fungsi paru paling tinggi terjadi pada 6 bulan saat

diagnosis tuberkulosis dan 12 bulan setelah dinyatakan sembuh dari

tuberkulosis (Sailaja, 2015).

2.3 Etiologi

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh

bakteri mycobacterium tuberculosis. Spesies lain yang dapat menyebabkan

tuberkulosis adalah Mycobacterium kansasii, mycobacterium bovis, dan

mycobacterium intracellulare, bakteri ini berbentuk batang lurus atau bengkok,

dengan panjang 1-4 mikron dengan lebar 0,2-0,8 mikron. mycobacterium

tuberculosis merupakan aerob obligat yang dapat tumbuh dengan baik dalam

jaringan yang memiliki kadar oksigen yang tinggi seperti paru-paru. Pertumbuhan

mycobacterium tuberculosis berlangsung cukup lambat dengan waktu generasi 12-

18 jam (Maksum, 2014).

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil

mikrobakterium tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang yang

berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm.

Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang

membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut

Bakteri Tahan Asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia

dan fisis (Amin dan Bahar, 2014).

Kuman dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dingin (dapat

tahan bertaun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman bersifat

dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit lagi dan menjadikan
22

tuberkulosis menjadi aktif lagi. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini

menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi

oksigennya. Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari

pada bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi

penyakit tuberkulosis. (Amin dan Bahar, 2014).

Mycobacterium tuberculosis mengandung banyak zat imunoreaktif.

Lipid permukaan pada mikrobakterium dan komponen peptidoglikan dinding

sel yang larut air merupakan tambahan yang penting yang dapat menimbulkan

efek melalui kerja primernya pada makrofag penjamu. Mikobakterium

mengandung suatu kesatuan antigen polisakarida dan protein, sebagian

mungkin spesifik spesies tetapi yang lainnya secara nyata memiliki epitop yang

luas di seluruh genus. Hipersensitivitas yang diperantarai sel khas untuk

tuberculosis dan merupakan determinan yang penting pada patogenesis

penyakit (Isselbacher, 2013).

SOPT disebabkan oleh bekas dari luka akibat infeksi TB paru. Jadi,

semakin luas jaringan paru yang rusak akibat infeksi kuman TB, semakin luas

bekas luka yang ditimbulkan. Gampangnya, jika pasien datang dengan TB paru

yang parah (destroyed lung) maka kemungkinan setelah sembuh akan

meninggalkan bekas yang luas sehingga keluhan yang dirasakan juga semakin

berat (Isselbacher, 2013).

2.4 Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah

menetapkan TB sebagai Global Emergency. Terjadi peningkatan dalam


23

penemuan kasus TB khususnya pada tahun 1990-2000 dalam kurun waktu

tersebut tercatat 10,2 juta jiwa terinfeksi TB. Secara global pada tahun 2016

terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI 8,8 juta – 12, juta) yang setara dengan

120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan insiden kasus tertinggi

yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. Sebagian besar estimasi

insiden TBC pada tahun 2016 terjadi di Kawasan Asia Tenggara (45%)—

dimana Indonesia merupakan salah satu di dalamnya—dan 25% nya terjadi di

kawasan Afrika. Badan kesehatan dunia mendefinisikan negara dengan beban

tinggi/high burden countries (HBC) untuk TBC berdasarkan 3 indikator yaitu

TBC, TBC/HIV, dan MDR-TBC. Terdapat 48 negara yang masuk dalam daftar

tersebut (Kemenkes, 2017).

Satu negara dapat masuk dalam salah satu daftar tersebut, atau keduanya,

bahkan bisa masuk dalam ketiganya. Indonesia bersama 13 negara lain, masuk

dalam daftar HBC untuk ke 3 indikator tersebut. Artinya Indonesia memiliki

permasalahan besar dalam menghadapi penyakit TBC. Jumlah kasus baru TB

di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018).

Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki

1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan survei

prevalensi tuberculosis, prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi

dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain

(Kemenkes, 2017).
24

Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada faktor

risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat.

Survei ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok

sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok

(Kemenkes, 2017).

2.5 Patomekanisme

Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada TB paru yang mengarah

ke timbulnya desktruksi jaringan paru oleh proses tuberculosis. Kemungkinan

lain adalah infeksi tuberculosis, dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan

sehingga menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena

tertariknya neutrofil kedalam parenkim paru, lalu makrofag aktif. Peradangan

yang berlangsung lama ini menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi

sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi

cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan mengakibatkan gangguan faal

paru yang dapat dideteksi secara spirometry (Aida, 2006). Mekanisme

makrofag aktif yang menimbulkan peradangan nonspesifik yang luas.

Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan gangguan faal paru

berupa adanya sputum, terjadinya perubahan pola pernapasan, relaksasi

menurun, perubahan postur tubuh, berat badan menurun, dan gerak lapang paru

menjadi tidak maksimal (Irawati, 2015).

Apabila tubuh terinfeksi mycobacterium tuberculosis maka sistem imun

host akan bekerja melawan infeksi tersebut. Akibatnya m.tuberculosis akan

melepasan komponen toksik ke dalam jaringan yang akan menginduksi hiper-


25

sensitivitas seluler sehingga akan meningkatkan respons terhadap antigen

bakteri yang menimbulkan kerusakan jaringan, nekrosis, dan penyebaran

bakteri lebih lanjut (Sailaja, 2015).

Perjalanan dan interaksi imunologi dimulai ketika makrofag bertemu

dengan mycobacterium tuberculosis. Dalam keadaan normal, infeksi TB

merangsang limfosit T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih

efektif membunuh bakteri. Makrofag aktif melepaskan IL-1 yang merangsang

limfosit T. Limfosit T melepaskan IL-2 yang selanjutnya merangsang limfosit

T lain untuk bereplikasi, matang, dan memberi respons lebih baik terhadap

antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur keseimbangan imunitas melalui

peranan yang kompleks dan sirkuit imunologik. Bila TS berlebihan seperti

pada TB progresif, maka keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul

anergi dan prognosis jelek. Pada makrofag aktif, metabolisme oksidatif

meningkat dan melepaskan zat bakterisidal seperti anion superoksida, hidrogen

peroksida, dan radikal hidroksil yang menimbulkan kerusakan pada membran

sel dan dinding sel myobacterium tuberculosis. Beberapa hasil infeksi

myobacterium tuberculosis dapat bertahan dan tetap mengaktifkan makrofag

sehingga tetap terjadi proses infeksi yang dapat mendestruksi matriks alveoli.

Diduga proses proteolisis dan oksidasi sebagai penyebab destruksi matriks di

mana proteolisis mendestruksi protein yang membentuk matriks dinding

alveoli oleh protease, sedangkan oksidasi berarti pelepasan elektron dari suatu

molekul. Kehilangan elektron pada suatu struktur mengakibatkan fungsi

molekul akan berubah (Aida, 2016).


26

Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel endotel, dan

anti protease. Sel neutrofil melepas beberapa protease, yaitu: 1) Elastase, yang

paling kuat memecah elastin dan protein jaringan ikat lain sehingga sanggup

menghancurkan dinding alveoli; 2) Catepsin G, menyerupai elastase, tetapi

potensinya lebih rendah dan dilepas bersama elastase; 3) Kolagenase, cukup

kuat tetapi hanya bisa memecah kolagen tipe I, bila sendiri tidak dapat

menimbulkan emfisema; 4) Plasminogen aktivator, urokinase dan tissue

plasmin activator yang merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin selain

merusak fibrin juga mengaktifkan proenzim elastase dan bekerja sama dengan

elastase (Aida, 2016).

Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara langsung, seperti

peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi dengan merusak sel

terutama pneumosit I, modifikasi jaringan ikat sehingga lebih peka terhadap

proteolisis, berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga daya antiproteasenya

menurun (Aida, 2016).

Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga sistem imun

diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya beban proteolisis dan beban oksidasi

sangat meningkat untuk waktu lama sehingga destruksi matriks alveoli cukup

luas menuju kerusakan paru menahun (kronik) dan gangguan faal paru yang

akhirnya dapat dideteksi dengan spirometri (Isselbacher,2013).


27

2.6 Manifestasi Klinis

Adapun gejala utama pada penderita SOPT berupa: 1) batuk berdahak 2)

sesak napas, 3) penurunan ekspansi lingkar toraks. Gejala lainnya adalah

demam tidak tinggi atau meriang, dan penurunan berat badan (Widoyono,

2018).

a. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-

kadang panas badan dapat mencapai 40-410 Celsius. Serangan demam

pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali.

Begitulah seterusnya hilang timbul demam influenza ini ,sehingga pasien

merasa tidak pernah terbeba dari serangan demam influenza. Keadaan ini

sangat terpengaruh oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi

kuman tuberkolosis masuk.

b. Batuk/batuk berdarah

Gejala ini bayak ditemukan.batuk terjadi karena adanya iritasi pada

bronkus. batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang

keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin

saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni

setelah minggu-mimggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. sifat batuk

dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradagan

menjadi produktif (menghasilkal sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa

batuk darah karena terdapat pembuuh darah yang pecah.kebanyakan batuk

darah pada tuberkulusis terjadi pada kavitas,tetapi dapat juga terjadi pada

ulkus dinding bronkus.


28

c. Sesak bernafas

Pada penyakit ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. sesak

nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya

sudah meliputi setengah bagian paru-paru dan takipneu.

d. Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan nyeri dada timbul bila infiltrasinya

radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. terjadi

gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.

e. Malaise dan kelelahan

Penyakit tuberculosis bersifat radang menahun, gejala malaise sering

ditemukan berupa anaoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus

(berat badan turun), sakit kepala, keringat malam, dll. Selain itu juga terjadi

kesulitan tidur pada malam hari. Gejala malaise ini makin lama makin berat

dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

2.7 Pemeriksaan dan Penegakan Diagnosis

Diagnosis tuberculosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisis, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinik tuberkulosis dapat

dibagi menjadi dua yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik.

a. Gejala respiratorik meliputi batuk yang sudah lebih 2-3 minggu. Batuk dapat

berupa batuk kering, batuk dengan sputum, hingga batuk darah. Selain itu,

gejala respiratorik yang lainnya seperti sesak napas dan nyeri dada.
29

b. Gejala sistemik meliputi demam yang biasanya menyerupai demam

influenza, tapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-410C. Gejala

sistemik yang lain berupa malaise, keringat malam, anorexia, dan berat

badan yang menurun (PDPI, 2016).

Pemeriksaan fisis tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung

luas kelainan struktur paru. Pada permulaan perkembangan penyakit umumnya

tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya

terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior,

serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan

antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,

tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum (PDPI, 2016).

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memastikan kelainan yang

ditemukan berupa pemeriksaan radiologi dan laboratorium. Pemeriksaan foto

toraks merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberculosis,

walaupun dengan harga yang lebih mahal karena beberapa keuntungan yang

dimilikinya. Disamping itu, pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan

adalah darah rutin. Pemeriksaan darah mempunyai hasil yang tidak sensitif dan

spesifik. Selain itu, dapat dilakukan tes tuberculin. Pemeriksaan ini masih

banyak digunakan untuk mendiagnosis tuberculosis terutama pada anak-anak

atau balita. Pemeriksaan penunjang yang menjadi gold standart adalah

pemeriksaan sputum BTA. Pemeriksaan ini mampu mendiagnosis dan

mengevaluasi pengobatan yang telah diberikan. Kriteria sputum BTA positif


30

apabila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA dalam satu

sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam satu sputum (Amin

& Bahar, 2014).

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda (PDPI, 2009) :

1) Tanda-tanda infiltrat (redup, bronkial, ronki basah, dan lain-lain),

2) Tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum,

3) Sekret di saluran nafas dan ronki, dan

4) Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung

dengan bronkus.

b. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis)

c. Pemeriksaan sputum BTA

Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa ditegakkan dengan

ditemukannya kuman tuberkulosis. Semua suspek tuberkulosis diperiksa 3

spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).

1) S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang

berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah

pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

2) P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera

setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada

petugas di Fasilitas pelayanan kesehatan .

3) S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi (Depkes RI, 2011).


31

d. Pemeriksaan BACTEC merupakan dasar teknik pemeriksaan biakan

dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. Sistem ini dapat menjadi

salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu

menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan. Bentuk lain teknik ini

adalah dengan menggunakan Mycobacteria Growth Indicator

Tube (MGIT) (PDPI, 2016).

e. Uji Peroksidase Anti Peroksidase (PAP) merupakan salah satu jenis uji yang

mendeteksi reaksi serologi yang terjadi. Dalam menginterpretasi hasil

pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena

banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi (PDPI,

2016).

f. Uji Immunochromatographic Tuberculosis (ICT) merupakan uji serologi

untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Apabila serum

mengandung antibodi IgG terhadap m.tuberculosis, maka antibodi akan

berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji

dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal

satu dari empat garis antigen pada membran (PDPI, 2016).

g. Tes Mantoux/Tuberkulin dimana bila uji tuberkulin positif, menunjukkan

adanya infeksi TB dan kemungkinan ada TB aktif pada anak. Namun, uji

tuberculin dapat negatif pada anak TB berat dengan alergi (malnutrisi,

penyakit sangat berat, dll). Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan uji

silang.
32

h. Teknik Polymerase Chain Reaction. Deteksi DNA kuman secara spesifik

melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi

meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam spesimen. Juga dapat

mendeteksi adanya resistensi (PDPI, 2016).

i. Foto toraks PA dan lateral.

Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis tuberkulosis, yaitu :

1) Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus

bawah,

2) Bayangan berawan (patchy) atau bercak (nodular),

3) Adanya kavitas, tunggal atau ganda,

4) Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru,

5) Adanya kalsifikasi,

6) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian, dan

7) Bayangan milier.

Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan

gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas

penyakit.
33

Gambar 2.2 Gambaran Foto Rontgen Dada pada Pasien Tuberkulosis


Sumber: PDPI, 2016

Pada sebagian besar tuberkulosis paru, diagnosis terutama ditegakkan

dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto

toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu

dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:

1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus

ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung

diagnosis tuberkulosis paru BTA positif (PDPI, 2016).

2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak

SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (lihat bagan alur)

(PDPI, 2016).

3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang

memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis

eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang

mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau

aspergiloma) (Depkes RI, 2016).


34

j. Enzyme Linked Immunosorbent Assay deteksi respons humoral, berupa

proses antigen-antibodi yang terjadi. Pelaksanaannya rumit dan antibodi

dapat menetap dalam waktu lama sehingga menimbulkan masalah

2.8 Diagnosis Banding

Pada kondisi SOPT memiliki diagnosis banding dengan kasus lain, yang

mempunyai karakteristik yang hampir sama, tetapi memiliki perbedaan baik

dari tanda dan gejala berbagai kasus.

a. Asma

Asma adalah suatu kelainan barupa inflamasi (peradangan) kronik

saluran napas yang menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai

ransangan yang ditandai dengan gejala episodic berulang berupa, mengi,

batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini

hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengibatan

(GOLD, 2016)

b. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Penyakit pernapasan kronis ditandai dengan penurunan fungsi paru

yang progresif dengan gejala pernapasan terutama sesak napas, batuk dan

produksi sputum, berhubungan dengan beban ekonomi yang signifikan,

termasuk rawat inap, tidak adanya pekerjaan, dan disabilitas (GOLD, 2016).

c. Bronkiektasis

Bronkiektasis merupakan pelebaran abnormal bronchus yang

berhubungan dengan infeksi kronik atau infeksi berulang. Gejala

menyerupai PPOK, namun disertai dengan sesak semakin berat dengan

produksi sputum yang mukopurulen (GOLD, 2016).


35

d. Pneumonia Aspirasi

Pneumonia aspirasi merupakan kerusakan paru yang disebabkan oleh

masuknya cairan, partikel eksogen, atau sekresi endogen ke dalam saluran

napas bawah. Secara konvensional aspirasi pneumonia didefinisikan

sebagai infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang kuran virulen, terutama

bakteri anaerob, yang biasanya merupakan flora normal pada inang yang

rentan mengalami aspirasi (Irawati, 2015).

Tabel 2.1 Diagnosis banding


No. Tanda dan gejala Asma PPOK SOPT
1. Timbul pada usia muda + - +
2. Sakit mendadak + - -
3. Riwayat Merokok +/- + -
4. Riwayat Atopi ++ + -
5. Sesak dan Mengi berulang + + +
6. Bartuk Kronik berdahak + + +
7. Hipereaktivitas bronkus + + +/-
8. Reversibility obstruktif + - -
9. Variabiliti Harian + + -
10. Eosinofil sputum + - ?
11. Neutrofil sputum - + ?
12. Makrofag sputum + - ?
Sumber: Bartlett, 2016

2.9 Penatalaksanaan Fisioterapi

Adapun teknologi fisioterapi yang digunakan penulis pada kondisi

Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) diantaranya:

a. Micro Wave Diathermy (MWD)

Micro Wave Diathermy (MWD) adalah salah satu terapi heating yang

menggunakan stressor fisis berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan

oleh arus bolak balik frekuensi 2450 MHz dengan panjang gelombang

12,25cm. Pengurangan rasa nyeri dapat diperoleh melalui efek stressor yang
36

menghasilkan panas. Juga melalui mekanisme nociceptor. Pada cedera

jaringan dihasilkan produk-produk yang merangsang nociceptor seperti

prostaglandin dan histamine.

Apabila produk-produk tersebut dihilangkan, maka rangsangan

terhadap nociceptor akan hilang atau berkurang. Hal ini dapat diperoleh

dengan meningkatkan peredaran darah menyebabkan perubahan pada

serabut collagen dan menurunkan jarak antara serabut-serabut collagen.

Sehingga akan membentuk jaringan fibrosus yang tidak beraturan dan

jaringan granulasi sehingga menciptakan terjadinya abnormal crosslink

yang akan menyebabkan perlengketan pada jaringan (Periatna, 2006).

b. Nebulizer

Pada serangan asma bronchiale terapi yang paling tepat menggunakan

terapi nebulizer merupakan pilihan terbaik pada kasus-kasus yang

berhubungan dengan inflamasi terutama pada penderita asma bronchiale.

Nebulizer yaitu alat yang digunakan untuk mengubah obat-obat

bronkodilator dari bentuk cair ke bentuk partikel aerosol atau partikel yang

sangat halus, dimana aerosol sangat bermanfaat apabila dihirup atau

dikumpulkan dalam organ paru (Ustadzi, 2015).

Efek dari terapi nebulizer ini untuk mengembalikan kondisi spasme

bronchus. Pada kondisi ini obat yang digunakan pasien adalah

menggunakan pulmicort dan combivent. Pulmicort merupakan kombinasi

anti radang dengan obat yang dapat melonggarkan saluran pernapasan.

Pulmicort berbahan aktif budesonide yang dalam rekomendasi dosis

berfungsi sebagai anti-inflamasi di bronchi, mengurangi keparahan gejala


37

dan frekuensi eksaserbasi dengan efek samping yang lebih sedikit daripada

dengan menggunakan sistemik kortikosteroid. Sedangkan combivent

merupakan obat berisi albuterol (salbutamol) dan ipratropium bromide.

Combivent bekerja dengan cara melebarkan saluran napas bawah (bronkus).

Efek dari pengobatan ini adalah terjadi pelebaran dari pada saluran

napas yang menyempit, sehingga dapat mengurangi sesak nafas,

mengencerkan dahak, relaksasi dari spasme bronchiale, melancarkan jalan

nafas, dan melembabkan saluran pernafasan (Setyaningtyas, 2016).

c. Terapi Oksigen (O2)

Terapi oksigen (O2) merupakan suatu intervensi medis berupa

upaya pengobatan dengan pemberian oksigen (O2) untuk mencegah atau

memperbaiki hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan

agar tetap adekuat dengan cara meningkatkan masukan oksigen (O2) ke

dalam sistem respirasi. Tujuan pemberian terapi oksigen, yaitu

meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke jaringan

untuk memfasilitasi metabolisme aerob, dan mempertahankan PaO2 > 60

mmHg atau SaO2 > 90% untuk mencegah dan mengatasi hipoksemia /

hipoksia serta mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat.

Menurunkan kerja napas dan miokard, serta menilai fungsi pertukaran gas.

d. Breathing Exercise

Breathing exercise merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk

membersihkan jalan nafas, merangsang terbukanya system collateral,

meningkatkan distribusi ventilasi, dan meningkatkan volume paru.


38

Teknik yang digunakan meliputi : Diaphragmatic Breathing Exercise,

Pursed Lip Breathing, dan Segmental Costal Breathing Exercise (Aida,

2016).

Pursed lip breathing merupakan salah satu latihan pernapasan guna

mengurangi sesak napas dan mengurangi kerja dari suatu pernapasan, yang

dibarengi dengan pernapasan diafragma dan latihan ini dapat dilakukan

dengan meniup lilin, meniup bola pingpong, dan membuat gelembung di

dalam air minum dengan menggunakan pipa hisap. Latihan ini berfokus

pada pengontrolan inspirasi dan ekspirasi juga dengan pola ekspirasi yang

panjang dengan cara bibir mencucu (Aida, 2016).

Breathing control merupakan latihan pernapasan yang dapat

meningkatkan volume paru, mempertahankan alveolus agar tetap

mengembang, meningkatkan oksigenasi, membantu membersihkan sekresi

mukosa, mobilitas sangkar toraks dan meningkatkan kekuatan, daya tahan

dan koordinasi otot-otot respirasi, meningkatkan efektifitas mekanisme

batuk, mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal

spine, koreksi pola-pola napas yang abnormal, dan meningkatkan relaksasi

(Aida, 2016).

e. Mobilisasi lingkar toraks

Mobilisasi lingkar toraks adalah suatu bentuk latihan aktive movement

pada trunk dan extremitas yang dilakukan dengan deep breathing yang

bertujuan untuk meningkatkan mobilitas trunk dan shoulder yang

mempengaruhi respirasi serta memperkuat kedalaman inspirasi dan

ekspirasi (Amin & Bahar, 2014).


39

Mobiliasi lingkar toraks dapat dilakukan dengan bantuan pergerakan

dari bahu dan tulang belakang. Mobilisasi lingkar toraks melibatkan gerakan

kompleks dari anggota gerak atas selain itu antara sternum, torakal vertebra,

serta otot-otot pernapasan. Mekanisme mobilisasi lingkar toraks adalah

meningkatkan panjang otot interkostalis dengan melakukan kontraksi yang

efektif dari anggota gerak atas (Amin & Bahar, 2014).

f. Coughing exercise

Coughing exercise atau batuk efektif merupakan suatu metode batuk

dengan benar, dimana pasien dapat menghemat energi sehingga tidak

mudah lelah dan dapat mengeluarkan dahak secara maksimal dari jalan

napas dan area paru. Selain itu coughing exercise menekankan inspirasi

maksimal yang dimulai dari ekspirasi. Adapun tujuan dilakukannya

tindakan coughing exercise adalah merangsang terbukanya sistem kolateral,

meningkatkan distribusi ventilasi, dan meningkatkan volume paru serta

memfasilitasi pembersihan saluran napas yang memungkinkan pasien untuk

mengeluarkan sekresi mukus dari jalan napas (Pratama, 2012).

g. Postural Drainage

Postural drainage merupakan pemberian posisi terapeutik pada pasien

untuk memungkinkan sekresi paru-paru mengalir berdasarkan gravitasi

kedalam bronkus mayor dan trachea. Sesak napas selain karena adanya

penumpukan sputum pada lobus paru juga mengakibatkan tidak efektifnya

pernapasan. Sputum yang sulit dikeluarkan dapat dikurangi dengan

diberikan postural drainage yang disertai dengan tapotement dimana

tujuannya adalah mengoptimalkan pernapasan penderita karena dapat


40

memobilisasi sputum atau melepaskan perlengketan sputum pada bronkus

sehingga pernapasan lebih efektif kinerja kardiorespirasi meningkat

(Purnomo, et al., 2018).


41

2.10 Kerangka/ Mind Mapping Teknologi Fisioterapi

Gejala Klinis :

 Sesak Nafas Pemeriksaan Fisik :


 Nyeri dada
 Batuk disertai  VAS
lendir  Auskultasi Tanda Klinis :
 Perkusi
 Spirometry Test  TD (Normal), DN
 Pump Hundle Movement Test
(Normal), Pernapasan
 Bucket Hundle Movement
(Takipnea)
Test
 Lingkar Thoraks  Adanya nyeri tekan dan
Modalitas Fisioterapi :  Tes Panjang Otot nyeri gerak
 METs Test  Bunyi wheezing
 Komunikasi
 Six Minute Walking Test  Bunyi dullness
Terapeutik
 Borg Scale  FVC/FEV1 : 111,76%
 Micro Wave
 HRS-A  Lobus dekstra dan
Diathermy (MWD)
 Hasil Pemeriksaan Radiologi sinistramengembang
 Transcutaneous
Electrical Nerve asimetris
Stimulator (TENS)  Spasme m. Pectoralis
 Diaphragmatic Problem Fisioterapi :
major dan minor, m.
Breathing Exercise upper trapezius
 Nyeri dada
 Friction and  Atrofi m.
 Batuk
Stretching Exercise
 Sesak napas strenocleidomastoideus
 Coughing and
 Kecemasan dan m. scaleni
Huffing Exercise
 Penurunan mobilitas lingkar  Kecemasan ringan
 Postural Drainage
thoraks  Mampu berjalan > 3
 Bugnet Exercise
 Spasme otot Spasme m.
 Six Minute Walking menit
Pectoralis major dan minor,
Test  Radiologi TB paru
m. upper trapezius
duplex aktif
 Atrofi m.
strenocleidomastoideus dan  Ketergantungan ringan
m. scaleni
 Gangguan postur tubuh
 Gangguan ADL ; berjalan
lama dan aktivitas berat
syndrome obstructive
post tuberculosis
(SOPT)
Meningkatkan kemampuan
aktivitas fisik individu

Gambar 2.3. Kerangka/ Mind MappingTeknologi Fisioterapi


BAB III

MANAJEMEN FISIOTERAPI

3.1 Data Umum Pasien

Nama : Tn. Dg.R

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 71 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jln. Bontorita Kabupaten Takalar

No RM : 047173

Agama : Islam

Hobby :-

Tanggal Pemeriksaan : 3 Oktober 2019

Vital Sign

Tekanan Darah : 130/80 mmHg

Denyut Nadi : 90 kali per menit

Pernapasan : 28 kali per menit

Suhu : 36˚C

Saturasi Oksigen : 98 %

Berat Badan : 41 Kg

Tinggi Badan : 153 Cm

3.2 Pemeriksaan Fisioterapi Model CHARTS

1. Chief of complaint

Sesak nafas dan batuk saat beraktivitas.

42
43

2. History taking

Sesak dan batuk dirasakan sejak 3 tahun yang lalu. Pernah dirawat

di BBKPM sejak dua tahun sembilan bulan, sekitar tanggal 29 Januari 2018

baru di fisioterapi, lalu, dengan keluhan nyeri dada, sesak napas, batuk

disertai lendir yang berwarna putih. Sebelumnya sudah di opname

sebanyak tiga kali. Pasien berobat lagi dengan keluhan masih mengalami

sesak masalah yang sama terutama batuk dan lendir. Lendir sulit

dikeluarkan. Pasien merupakan perokok aktif dulunya dan sekarang telah

berhenti merokok sekitar bertahun-tahun yang lalu. Pasien telah melakukan

dua kali pengobatan enam bulan Tidak ada riwayat penyakit jantung,

Namun pasien mengeluhkan nyeri dada sebelah kanan Pasien merasakan

sesak setelah bekerja, saat jalan, naik turun tangga. Pasien sudah

melakukan pemeriksaan radiologi. Sekarang Pasien tidak merasa nyeri

dada, tidak ada riwayat penyakit lain seperti asam urat, kolesterol, diabetes,

hipertensi.

3. Assymetry

a. Inspeksi Statis :

1) Tampak Anterior

a) Raut wajah pasien terlihat cemas

b) warna bibir tampak kehitaman

c) tidak tampak sianosis pada ujung jari tangan

d) Tampak shoulder asimetris

e) Bentuk thorax Barral Chest

f) SIAS (Spina Illiaca Anterior Superior) dan Knee asimetris


44

2) Tampak lateral

a) forward head posture

3) Tampak Posterior

a) Tampak Scapula dan Shoulder asimetris

b) SIPS (Spina Illiaca posterior Superior) dan fossa poplitea

asimetris.

b. Inspeksi Dinamis : Pola gait analysis saat berjalan normal.

c. Palpasi:

Tabel 3.1. Pemeriksaan Palpasi


Karakteristik Dextra Sinistra
Suhu Normal Normal
Oedem (-) (-)
Kontur kulit Kering dan kasar Kering dan kasar
Tenderness m. pectoralis major dan m. pectoralis major dan
minor, m. upper minor, m. upper
trapezius trapezius
Sumber: Data primer, 2019

d. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar (PFGD)

Tabel 3.2. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar

Aktif Pasif TIMT


Regio Gerakan
Dextra Sinistra Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Fleksi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
Soft Soft
endfeel. endfeel.
Ekstensi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
hard hard
endfeel. endfeel.
Cervical

Lateral DBN DBN DBN DBN DBN DBN


Soft Soft
Fleksi
endfeel. endfeel.
Dextra
Lateral DBN DBN DBN DBN DBN DBN
Soft Soft
Fleksi
endfeel. endfeel.
Sinistra
45

Rotasi DBN DBN DBN DBN DBN DBN


elastic elastic
Dextra
endfeel. endfeel.
Rotasi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
elastic elastic
Sinistra
endfeel. endfeel.
Fleksi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
elastic elastic
endfeel. endfeel.
Ekstensi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
hard hard
endfeel. endfeel.
Abduksi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
Elastic Elastic
endfeel. endfeel.
Adduksi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
Soft Soft
endfeel. endfeel.
Eksorotasi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
elastic elastic
Shoulder

endfeel. endfeel.
Endorotasi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
elastic elastic
endfeel. endfeel.
Protraksi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
elastic elastic
endfeel. endfeel.
Retraksi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
elastic elastic
endfeel. endfeel.
Depresi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
elastic elastic
endfeel. endfeel.
Elevasi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
elastic elastic
endfeel. endfeel.
Sumber: Data Primer, 2019

e. Tes Orientasi

Pasien mampu meniup kertas

4. Restrictive

a. Limitasi ROM : Tidak ada limitasi ROM

b. Limitasi ADL : Terganggu ada sesak (walking, stairs)

c. Limitasi Pekerjaan : Terganggu

d. Limitasi Rekreasi : (-)


46

5. Tissue Impairment and psychogenic prediction

a. Musculotendinogen : Suspec muscle spasme M.pectoralis major

dan minor M. upper trapezius, atrofi m.Sternocleido mastoideus, dan

mm scaleni

b. Osteoarthrogen : (-)

c. Neurogen : (-)

d. Psikogen : Cemas

6. Specific Test

a. Visual Analog Scale (VAS)

Tabel 3.3. Hasil Pemeriksaan Intensitas Nyeri


Karakteristik Hasil Interpretasi
Nyeri Diam 0 Tidak Sakit (None)
Nyeri Tekan 4 Agak mengganggu (Moderate)
Nyeri Gerak 0 Tidak Sakit (None)
Sumber: Data Primer, 2019

b. Auskultasi

Hasil : terdapat bunyi wheezing pada segmen anterior, apikal dextra

IP : terdapat indikasi konsolidasi cairan / sputum.

c. Perkusi

Hasil : terdapat bunyi dullness (datar) pada upper, middle and apical

lobe anterior dextra

IP : ada indikasi konsolidasi sputum

d. Spirometri test

Hasil : FVC : 60,64 %

: FEV1: 63,00 %

: Fvc/FEV1:111,76 %
47

IP : Tidak ada obstruksi pada jalan nafas

e. Pump Hundle Movement Test

Hasil : Lobus dextra dan sinistra mengembang asimetris

IP : terdapat masalah pengembangan thorax terutama anterior

dextra.

f. Bucket Hundle Movement Test

Hasil : Lobus dextra dan sinistra mengembang asimetris

IP : terdapat masalah pengembangan thorax dan diafragma

ke superolateral

g. Lingkar Thorax
Tabel 3.4. Lingkar Thorax

Inspirasi Awal Ekspirasi Selisih (cm)


Pengukuran Interpretasi
(cm) (cm) (cm) Inspirasi Ekspirasi
Upper lobe 79 78 77 1 1 Terjadi
penurunan
Middle mobilitas
80 78 77,6 2 0.4
lobe toraks pada
Lower lobe 74 73 71 1 2 lower chest.
Sumber : Data Primer, 2019

h. Tes Panjang Otot (muscle length test)

m. Sternocleidomastoideus & m. Scaleni : tightness d/s

m. Pectoralis mayor sedikit tightness d

m. Upper trapezius tighness d/s

i. METs Test

Hasil :7

IP : Mampu naik turun tangga

j. Six-minute walking test

Hasil : 3 menit, 39 detik 8 putaran dan DN 90x/menit dan SaO2

98%
48

IP : Pasien hanya mampu berjalan selama 3 menit 39 detik dengan

hasil 2,8 track.

k. Borg Scale
Hasil : 0 (tidak ada sesak)

IP : Mampu berjalan > 3 menit (ringan)

l. HRS-A

Hasil : 16

IP : Kecemasan ringan

m. Hasil pemeriksaan radiologi (20 januari 2016)

Hasil : Cor, Diafragma dan sinus baik

IP : TB paru Duplex Aktif

n. Barthel’s Index

Hasil : 95

IP : Ketergantungan ringan

3.3 Diagnosis Fisioterapi

Adapun diagnosis fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil proses

pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu: “Gangguan Fungsional Paru-Paru

berupa Sesak Napas dan Batuk e.c Syndrom Obstructive Post Tuberculosis

(SOPT) Sejak 3 Bulan yang Lalu”.

3.4 Problem Fisioterapi

a. Problem Primer : Sesak nafas, batuk, dan penumpukan sputum

b. Problem Sekunder : Kecemasan, penurunan mobilitas lingkar toraks,

penurunan kadar saturasi oksigen, spasme m.sternocleidomastoideus, m.

upper trapezius, m. pectoralis minor, dan gangguan postur tubuh.

c. Problem Kompleks : Gangguan ADL berjalan lama dan aktivitas berat.


49

3.5 Planning Fisioterapi

a. Tujuan jangka panjang: Mengoptimalkan kemampuan ADL

b. Tujuan jangka pendek:

1) Mengurangi kecemasan

2) Mengurangi sesak napas

3) Membantu mengeluarkan sputum

4) Mengatasi batuk

5) Meningkatkan kadar saturasi oksigen

6) Meningkatkan ekspansi toraks

7) Mengurangi spasme m.sternocleidomastoideus, m. upper trapezius, dan

m. pectoralis minor

8) Mengkoreksi Postur Tubuh

3.6 Program Fisioterapi

Tabel 3.5. Program Intervensi Fisioterapi


No. Problem Fisioterapi Modalitas Fisioterapi Dosis
1. Kecemasan Komunikasi Terapeutik F : 1x/hari
I : Pasien fokus
T : intrapersonal approach
T : Selama terapi
2. Penurunan Kadar Saturasi Oxygen Therapy F : 1x sehari
Oksigen I : 5L/menit
T : Nasal kanul
T : 10 menit
3. Metabolic Stress Reaction Electrotherapy F : 1x/hari
(MWD) I : 30 cm di atas kulit
T : local (toraks bagian anterior)
T : 10 menit
4. Sesak napas dan ekspansi Exercise Therapy F:1x sehari
toraks I: 8 hitungan, 3x repetisi
T: Pursed Lip Breathing exc
T: 2 menit
F:1x sehari
I: 8 hitungan, 3x repetisi
T: Diaphragmatic Breathing exc
T: 2 menit
50

6. Batuk dan penumpukan Inhale Therapy F : 1x/hari


sputum I : --
T : Nebulizer dengan obat
meptin dan pulmicort
T : Sampai obatnya habis
Exercise Therapy F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
T : coughing and huffing
exercise
T : 3 menit
F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
T : postural drainage (vibration,
tapotement, positioning)
T : 5 menit
7. Spasme Exercise Therapy F : 1x/hari
m.sternocleidomastoideus, I : 15 hitungan, 3x repetisi
m. upper trapezius, m. T : Stretcing exc
pectoralis minor T : 3 menit
8. Penurunan mobilitas toraks Exercise Therapy F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
T : Pump dan Bucket Hundle
Movement
T : 3 menit
9. Gangguan Postur Exercise Therapy F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
T : Bugnet Exercise
T : 3 menit
10. Gangguan ADL Exercise Therapy F:1x sehari
I: Low impact, toleransi pasien
T: 6 minutes walking exercise
T: Toleransi pasien
Sumber: Data Primer, 2019

3.7 Evaluasi dan Modifikasi Fisioterapi

Adapun hasil evaluasi dan modifikasi terhadap program fisioterapi yang

telah diberikan pada klien tersebut, adalah sebagai berikut:

Tabel 3.6. Evaluasi Fisioterapi


Hasil
No Problem FT Parameter Sebelum Setelah Interpretasi
intervensi intervensi
24 (Kecemasan 18 (Kecemasan Kecemasan
1 Kecemasan HRS-A
Sedang) Ringan) Menurun
2 (Sesak napas Derajat sesak
2 Sesak Napas Skala Borg 3 (Sedang)
Ringan) menurun
UL: 2 3
Ekspansi Selisih inspirasi Ada Peningkatan
3 ML: 3 4
Thoraks dan ekspirasi Ekspansi Thoraks
LL: 2 3
Sumber: Data Primer, 2019
51

Tabel 3.7. Modifikasi Fisioterapi


No Problem Fisioterapi Modalitas FT Dosis
F:1x sehari
I: 10 hitungan, 5x repetisi
1 Sesak Napas Breathing Exercise
T: Diaphragmatic Breathing exc
T: 7 menit
F:1x sehari
I: 10 hitungan, 5x repetisi
2 Gangguan Postur Tubuh Exercise Threapy
T: Bugnet exc
T: 5 menit
F : 1x/hari
I : 10 hit 3 rep
3 Ekspansi Thoraks Exercise Threapy T : Respiratory Muscle Strech
Gymnastic
T : 5 menit
Sumber: Data Primer, 2019

3.8 Home Program

Pasien diberikan edukasi berupa latihan pernapasan, dan latihan berjalan

untuk meningkatkan kebugaran pasien dengan dosis sebagai berikut:

1. Latihan pernapasan

F:1x sehari

I: 8 hitungan, 3x repetisi, 2 set

T: Bernapas melalui hidung sambil mengangkat tangan ke atas lalu

membuang napas melalui mulut sambil menurunkan tangan dengan

menggunakan pernapasan perut

T: 3 menit

2. Latihan bejalan

F : 2x/hari

I : toleransi pasien

T : Pasien berjalan selama 6 menit jika merasa sesak dan lelah maka

latihan berjalan dihentikan

T : toleransi pasien
52

3.9 Kemitraan

Melakukan kolaborasi atau kemitraan dalam rangka memberikan layanan

prima kepada pasien, di antaranya dengan

a. Dokter Spesialis Paru

Kolaborasi dan kemitraan dengan dokter spesialis paru sangat penting

dalam hal mengenali kondisi umum, tanda dan gealah, patofisiologi pasien,

serta dalam peresepan obat.

b. Dokter radiologi

Hasil radiologi memegang peran yang penting, terutama dalam kasus

yang berhubungan dengan organ dalam, seperti paru. Hasil radiologi dapat

menyaikan gambaran paru pasien yang dapat menunjang dalam penetapan

diagnosis pasien. Pada kasus ini pasien belum memiliki hasil radiologi.

c. Ilmu gizi

Seorang ahli gizi sangat dibutuhkan dalam mengontrol status gizi

seorang pasien dan menyarankan pola makan dan jenis-jenis makanan

dengan kandungan yang sesuai guna meningkatkan gizi pasien.

d. Apoteker

Kolaborasi dengan apoteker sangat penting terkait pemberian,

peracikan dan penetapan dosis obat kepada pasien.

e. Psikologi

Kehadiran psikolog sangat penting dalam memberikan motivasi dan

dorongan batin kepada pasien, guna menurunkan tingkat kecemasan pasien

dan membentuk semangat pasien untuk sembuh.


DAFTAR PUSTAKA

Aida,N. 2016. Patogenesis Sindrom Ostruksi Pasca Tuberkulosis. Bagian Ilmu


Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru
Rumah Sakit Persahabatan Jakarta.
Amin Z, Bahar A, 2014. Tuberculosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
I. 6st edition, Jakarta: Interna Publishing. Hal 865-970.
Pratama, H. 2012. Fisioterapi Dada. Jakarta.
Depkes RI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), 2016, Global
Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary

Irawati, Anastasia. 2013. Kejadian Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis di RSU


Dr. Soedarso Pontianak. Naskah Publikasi. Pontianak: Fakultas kedokteran
Universitas Tanjungpura

Isselbacher dkk, 2013. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Alih bahasa
Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC. Hal 799-800.

Juarfianti, Engka, J. N., & Supit, S. 2015. Kapasitas Vital Paru pada Penduduk
Dataran Tinggi Desa Rurukan Tomohon. Jurnal E-Biomedik (Ebm), 3(1):
430-434.

Kelly, F. (2014). Influence of Air Pollution on Respiratory Disease. European


Medical Journal, 2, pp.96-103

Kementerian Kesehatan. 2017. Analisis TB di Indonesia. Jakarta : Pusat Data dan


Informasi Kemenkes.

Kennedy, J. (2012). Clinical Anatomy Series‐ Lower Respiratory Tract Anatomy.


Scottish Universities Medical Journal., 1(2), pp.174‐179.

Majumder, N. (2015). Physiology of Respiration. IOSR Journal of Sports and


Physical Education, 2(3), pp.16-17.
Maksum, Radji. 2011. Buku Ajar Mikrobiologi. Jakarta: Buku Kedokteran.

Patwa, A. and Shah, A. (2015). Anatomy and physiology of respiratory system


relevant to anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia, 59(9), p.533.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2016. PPOK. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafika.

53
54

Purnomo, Didik., Akhmad Alfajri Amin dan Suci Amanati. 2018. Pengaruh Infra
Red dan Terapi Latihan Terhadap Penderita Asma Bronchiale. Fisioterapi
Widya Husada Semarang.

Sailaja HK dan Rao N. 2015 . Study of Pulmonary Function Impairment by


Spirometry in Post Pulmonary Tuberculosis. Journal of Evolution of Medical
and Dental Sciences. Volume 4. Nomor 42.

Setyaningtyas, Laila. 2016. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Penderita Asma


Bronkiale Di Rumah Sakit Khusus Paru Respira Yogyakarta. Program Studi
DIII Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiya
Surakarta

Shetty AJ dan Tyagi A. 2010. Development Of Post Tubercular Bronchial Astma


A Pilot Study.Journal of Clinical and Diagnostic Research. Nomor 4.

Srinivas, P. (2012). Steady State and Stability Analysis of Respiratory Control


System using Labview. International Journal of Control Theory and
Computer Modeling, 2(6), pp.13-23.

Ustadzi, Imam. 2015. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Asma Bronchial


Di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Yogyakarta. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Widoyono.2018.Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan


Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga.

White, S., Danowitz, M. and Solounias, N. (2016). Embryology and evolutionary


history of the respiratory tract. Edorium Journal of Anatomy and Embryology,
3, pp.54-62.

Anda mungkin juga menyukai