Instrumen Pembelajaran PKN 4
Instrumen Pembelajaran PKN 4
I. Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran yang digunakan adalah student centered learning (SCL)
dengan pendekatan problem based learning, contextual based learning dan web based
learning. Metode ini dimulai dengan membagi mahasiswa dalam kelompok kecil (small
group) oleh dosen. Selanjutnya, mahasiswa dari tiap kelompok secara partisipatif
berdiskusi untuk mempresentasikan, bertanya dan berdebat mengenai substansi
permasalahan yang tertuang dalam notulensi diskusi (hasil diskusi). Kemudian, diakhir
diskusi, dosen akan mengulas hasil diskusi tersebut secara keseluruhan.
V. Kaidah Penulisan
1. Paragraf harus berfungsi sebagai alat menelusuri, memahami dan mengembangkan
jalan pikiran secara sistematis.
2. Paragraf harus menggunakan kata depan yang mengawali suatu kalimat yaitu kata
pada, untuk, tentang, bagi, dengan, dari, berikut ini, daripada.
3. Paragraf harus menggunakan kata penghubung yang berfungsi menghubungkan
bagian-bagian kalimat atau menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang
lain (antar kalimat) yaitu kata dan, atau, tetapi, ketika, jika, asalkan, agar, jadi,
supaya, meskipun, sebagai, sebab, karena, bahwa, (oleh) karena itu, namun,
kemudian, setelah itu, bahkan, selain itu, disamping itu, selanjutnya, sementara itu,
walaupun demikian, sehubungan dengan itu, dengan demikian.
4. Paragraf harus memenuhi krieria kesatuan (kohesi) yaitu keeratan hubungan makna
antar gagasan dalam sebuah paragraf. Sebagai satu kesatuan gagasan, sebuah
paragraf hendaknya hanya mengandung satu gagasan utama diikuti oleh beberapa
gagasan pengembang atau penjelas.
5. Paragraf harus memenuhi kepaduan atau koherensi yaitu kepaduan hubungan
antarkalimat yang terjalin didalam paragraf. Kepaduan paragraf tersebut dapat
diketahui dari susunan kalimat yang sistematis, logis, dan mudah dipahami.
6. Paragraf harus memenuhi kriteria kekompakan yaitu pengaturan hubungan
antarkalimat yang diwujudkan oleh adanya bentuk-bentuk kalimat atau bagian
kalimat yang cocok dalam paragraf. Kekompakan paragraf dapat dilihat dari srtruktur
kalimat yang serasi (struktural) dan ditandai oleh kata-kata dalam paragraf untuk
menandai hubungan antar kalimat atau bagian paragraf (leksikal).
7. Paragraf harus memenuhi kriteria keefektifan kalimat yaitu keseimbangan
(keseimbangan antara pikiran/gagasan dan struktur bahasa), kesejajaran (bentuk
atau konstruksi bahasa yang sama), kecermatan (kalimat tidak menimbulkan tafsiran
ganda, tepat dalam memilih kata), kehematan (hemat menggunakan kata, frasa atau
4
bentuk lain yang tidak perlu), kevariasian (jenis, bentuk, pola kata dan kalimat yang
bervariasi) dan kelogisan (ide kalimat diterima logika, penulisan sesuai EYD).
8. Pengembangan paragraf harus menggunakan kalimat topik dan kalimat penjelas.
Kalimat topik adalah kalimat yang berisi ide pokok paragraf sedangkan kalimat
penjelas adalah kalimat yang berfungsi menjelaskan ide pokok paragraf.
Ciri-ciri kalimat topik:
1) Merupakan kalimat lengkap yang dapat berdiri sendiri;
2) Mengandung permasalahan yang potensial untuk dirinci dan diuraikan lebih
lanjut;
3) Mempunyai arti yang cukup jelas tanpa harus dihubungkan dengan kalimat
lain;
4) Dapat dibentuk tanpa bantuan kata sambung dan frasa transisi.
Ciri-ciri kalimat penjelas:
1) Sering merupakan kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri (dari segi arti);
2) Arti kalimat ini kadang-kadang baru jelas setelah dihubungkan dengan kalimat
lain dalam satu alinea;
3) Pembentukannya sering memerlukan bantuan kata sambung dan frasa transisi;
4) Isinya berupa rincian, keterangan, contoh, dan data/informasi tambahan lain
yang bersifat mendukung kalimat topik.
9. Struktur Pengembangan Paragraf :
1) 1 Transisi (berupa kalimat), 2 kalimat topik, 3 kalimat penjelas, dan 4 kalimat
penegas.
Contoh :
1 Konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu kinerja
pegawai (perindividu) dan kinerja organisasi. 2 Baik kinerja pegawai maupun
kinerja organisasi memiliki maknanya masing-masing. 3 Kinerja pegawai adalah
hasil kerja perseorangan dalam suatu organisasi. 3 Sedangkan kinerja
organisasi adalah totalitas hasil kinerja yang dicapai suatu organisasi. 4 Oleh
karena itu, kinerja pegawai dan kinerja organisasi memiliki keterkaitan yang
sangat erat.
2) 1 Transisi (berupa kata), 2 kalimat topik, 3 kalimat penjelas, dan 4 kalimat
penegas.
Contoh :
1 Dalam pemilihan umum, 2 sosialisasi bertujuan meningkatkan kualitas
pemilih. 3 Pembentukan sikap tidaklah bersifat begitu saja terjadi, melainkan
proses sosialisasi yang berkembang menjadi ikatan psikologis yang kuat antara
seseorang dengan partai politik atau kandidat tertentu. 3 Makin dekat
seseorang dengan partai atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan
seseorang terlibat dalam pemilihan. 4 Kedekatan inilah yang menentukan
seseorang ikut memilih atau tidak.
5
5) Paragraf Sebab-Akibat
Paragraf sebab-akibat adalah paragraf yang kalimat topiknya dikembangkan
oleh kalimat sebab-akibat atau akibat-sebab (kausalitas). Paragraf ini yang
bertujuan untuk menerangkan suatu kejadian, baik dari segi penyebab maupun
dari segi akibat. Dalam menyusun paragraf ini harus memerhatikan sebabnya
terlebih dahulu baru kemudian akan mengetahui akibatnya atau sebaliknya.
Ungkapan yang digunakan yaitu padahal, akibatnya, oleh karena itu, karena.
Contoh :
Akar konflik yang menindas etnis Rohingya begitu rumit dan kompleks.
Pemerintah Myanmar mengklaim bahwa etnis Rohingya merupakan imigran
yang berasal dari Bangladesh, saat Myanmar dan Bangladesh berada di bawah
kolonialisasi Inggris. Pascaperang Inggris-Burma berakhir pada 1826, Inggris
menjalankan kebijakan imigrasi yang sangat terbuka di wilayah yang sekarang
dikenal dengan Rakhine itu. Etnis Rohingya merupakan orang-orang Muslim
Arakan yang menempati wilayah Rohang, yang sekarang dikenal dengan
Rakhine. Wilayah Rohang sebelumnya merupakan wilayah kerajaan Arakan,
sebelum ditaklukan oleh kerajaan Burma. Artinya, orang-orang Rohingya
merupakan etnis asli wilayah Rohang atau yang saat ini dikenal dengan
Rakhine. Namun Hukum Kependudukan Burma 1982, menyatakan bahwa
orang-orang Rohingya bukanlah suku-bangsa asli Myanmar dan secara tegas
menyatakan bahwa Rohingya bukan bagian dari warga negara Myanmar. Oleh
karena itu, hal ini merupakan salah satu pemicu penindasan terhadap etnis
Rohingya oleh orang-orang Burma karena mereka menganggap bahwa
Rohingya tidak memiliki hak untuk menempati tanah Burma atau Myanmar.
6) Paragraf Klasifikasi
Paragraf klasifikasi adalah paragraf yang mengelompokkan suatu masalah yang
sedang dibahas. Ungkapan yang digunaka yaitu dikelompokan, dibagi,
diklasifikasi, dsb.
Contoh :
Bentuk partisipasi politik warga negara dapat dikelompokan berdasarkan
intensitasnya. Intensitas terendah adalah sebagai pengamat, intesitas
menengah yaitu sebagai partisipan, dan intensitas partisipasi tertinggi sebagai
aktivis. Bila dijenjangkan, intensitas kegiatan politik warga negara tersebut
membentuk segitiga serupa dengan warga Negara. Karena seperti piramida,
bagian mayoritas partisipasi politik warga negara terletak di bawah. Ini berarti
intensitas partisipasi politik warga negara kebanyakan berada pada jenjang
pengamat. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini biasanya melakukan
kegiatan politik seperti: menghadiri rapat umum, menjadi anggota
partai/kelompok kepentingan, membicarakan masalah politik mengikuti
perkembangan politik melalui media massa, danmemberikan suara dalam
9
pemilu. Setingkat lebih maju dari kelompok pengamat yang terletak ditengah-
tengah piramida partisipasi politik ialah kelompok partisipan. Pada jenjang
partisipasi ini aktivitas partisipasi poltik yang sering dilakukan adalah menjadi
petugas kampanye, menjadi anggota aktif dari partai/kelompok kepentingan,
dan aktif dalam proyek-proyek sosial.
Kelompok terakhir yang terletak di bagian paling atas dari piramida
partisipasi politik adalah kelompok aktivis. Warga yang termasuk dalam
kategori aktivis sedikit jumlahnya. Kegiatan politik pada jenjang aktivis ini
adalah seperti,menjadi pejabat partasi sepenuh waktu, pemimpin
partai/kelompok kepentingan. Di samping itu, ada juga warga yang tidak
termasuk kedalam piramida ini, mereka adalah kelompok warga yang sama
sekali tidak terlibat dan tidak melakukan kegiatan politik.
7) Paragraf Proses
Paragraf proses adalah paragraf yang menjelaskan urutan atau tahapan dari
suatu masalah, perisitiwa, kegiatan, aktivitas dll.
Contoh :
Kegiatan pilkada langsung dilaksanakan dalam dua tahap, yakni masa
persiapan dan tahap pelaksanaan. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam
masa persiapan, yakni:
a. Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai
berakhirnya masa jabatan;
b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa
jabatan kepala daerah;
c. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan
jadwal tabapan pelaksanaan pemilihan kepala deerah;
d. Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS;
e. Pembentukan dan pendaftaran pemantau.
Sementara itu, tahap pelaksanaan terdiri dari enam kegiatan, yang masing-
masing merupakan rangkaian yang saling terkait meliputi:
a. Penetapan daftar pemilih;
b. Pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala
daerah;
c. Kampanye;
d. Pemungutan suara
e. Penghitunga suara; dan
f. Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah
terpilih, pengesahan, dan pelantikan.
10
1) ……... apakah anda merasa bosan ketika berada dalam kelompok diskusi?
2) ……… apakah anda sering membaca artikel opini dimedia massa?
3) ….…. apakah anda sering berada diluar kelas pada saat teman dan dosen
berada didalam kelas?
4) ….…. apakah sering merasa kantuk pada saat diskusi berlangsung?
5) ……… apakah anda sering memberikan saran dalam diskusi?
6) ……… apakah anda memahami cara mensintesis teori dalam penyusunan
notulensi diskusi?
7) apakah anda memahami cara mensintesis sudut pandang individu atau
lembaga dalam penyusunan notulensi diskusi?
8) ……… apakah anda memahami cara mensintesis data hasil penelitian
(artikel, paper/makalah, skripsi, prosiding, tesis dll) dalam penyusunan
notulensi diskusi?
11
9) ……... apakah kelompok anda menjunjung etika dan nilai demokrasi dalam
berdiskusi?
10) ……… apakah kelompok anda dapat mengklarifikasi sanggahan terhadap
jawaban atas pertanyaan yang diajukan kelompok lain?
11) …….. apakah anda tertarik dalam menganalisis masalah-masalah
kontekstual?
12) …….. apakah anda memahami kaidah penulisan dalam penyusunan
notulensi diskusi?
13) ……… apakah anda tertarik dalam membaca/menyimak berita di media
masa cetak, elektronik online?
14) ……… apakah anda memiliki minat untuk memberikan pertanyaan?
15) ……… apakah anda diberi tugas oleh rekan kelompok anda untuk menulis
notulensi diskusi?
16) ……… apakah anda merasa cakap berdebat dalam diskusi?
17) ……… apakah pertanyaan yang anda ajukan kepada kelompok lain adalah
pertanyaan yang berkualitas?
18) ……. menurut anda, apakah dengan mengikuti model pembelajaran ini
anda telah memperoleh sebagian kecil dari nilai-nilai sikap yang jujur,
kritis, adil, peduli, percaya diri, mandiri, demokratis, dan berintegritas.
VIII. Artikel
Demokrasi di Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah, salah satunya adalah
permasalahan klientelisme politik. Klientelisme politik adalah persoalan yang tidak kalah
penting namun jarang mendapat perhatian publik. Fenomena klientelisme politik ini cukup
populer dimasyarakat serta telah banyak diamati dan dibicarakan dalam kehidupan sehari-
hari. Salah satu fenomena lazim akan hal tersebut adalah ketika ada oknum politisi secara
cermat telah memetakan masyarakat serta daerah-daerah mana yang jadi basis pemilih
atau pendukungnya menjelang berlangsungnya kompetisi elektoral. Jika dalam kompetisi
elektoral mereka terpilih dan menempati posisi strategis di bandan legislatif atau
eksekutif, masyarakat maupun daerah tersebut akan mendapatkan prioritas bantuan dari
program atau kebijakan pembangunan.
Pada saat bersamaan, ada sejumlah oknum pebisnis menyiapkan tawaran bantuan
modal kampanye kepada sejumlah oknum politisi. Mereka berharap mendapatkan proyek
setelah kandidat yang mereka dukung menang. Praktik-praktik ini adalah bagian dari
klientelisme politik, yang secara sederhana bisa didefinisikan sebagai fenomena dimana
modal ataupun dukungan suara diberikan pada politisi sebagai bentuk pertukaran
keuntungan. Persoalan klientelisme politik (money politic, vote buying) di Indonesia bukan
cuma gosip warung kopi. Seperti misalnya, beberapa waktu lalu, menjelang pemilu
serentak lalu, ada beberapa nama yang tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT)
KPK karena diduga melakukan praktik tersebut dengan nilai total transaksi mencapai lebih
dari 8 miliar rupiah.
Persoalannya, bahkan dengan OTT tersebut, kasus yang terungkap masih jauh dari
gambaran utuh praktik klientelisme politik di Indonesia. Burhanuddin Muhtadi dalam
disertasinya Buying Votes in Indonesia: Partisans, Personal Networks, and Winning
Margins (2018) menyebutkan ada sekitar 47 sampai dengan 62 juta pemilih di Indonesia
yang mendapatkan tawaran untuk menjual suaranya pada pemilihan legislatif lalu pada
tahun 2014. Angka tersebut menempatkan Indonesia di peringkat tiga negara-negara yang
mempraktikkan jual beli suara setelah Uganda dan Benin.
Penyebab Klientelisme
Ada banyak alasan untuk menjelaskan kuatnya fenomena klientelisme politik di
Indonesia. Dalam studi yang sama diatas, Muhtadi menjelaskan penyebab klientelisme
politik adalah politik massa mengambang (floating mass) di era Orde Baru yang
berdampak parpol-parpol terlepas dari ikatannya dengan pemilih diakar rumput.
Akibatnya, parpol sulit mempertahankan corak politik yang bersifat ideologis sehingga
13
harus mengandalkan figur untuk mendulang suara pemilih. Pilihan ini jadi pisau bermata
ganda. Sebab, meskipun dengan memprioritaskan figur tertentu bisa menjamin parpol
dalam memenangkan suara pemilih, namun model ini malah menjauhkan para pemilih
untuk terhubung dengan parpol.
Studi Muhtadi tersebut juga menunjukkan kelanjutannya pada kasus pemilu 1999 s/d
2014 dimana keterikatan para pemilih turun dari 86% jadi 15%. Seiring terjadinya
penguatan figur dalam partai politik diwaktu itu, corak antar parpol juga semakin sulit
untuk dibedakan dalam hal ideologi, platform, kaderisasi dan lain sebagainya. Sebagian
besar parpol memiliki persoalan yang sama, mereka hanya dapat dibedakan dari figur-
figur pemimpinnya.
Pola tersebut telah menjadi cara yang diterima oleh semua pihak yang terlibat dalam
aktivitas politik. Partai-partai amat mengandalkan figur untuk memperoleh suara pemilih.
Para kandidat legislatif maupun eksekutif juga merasa lebih mudah mengedepankan figur
alih-alih mendorong program pembangunan yang konkret. Para pemilih pun merasa lebih
mudah mengambil manfaat langsung berupa uang atau hadiah dari kandidat daripada
berharap pada kebijakan.
Selain itu, maraknya praktik politik uang juga secara tidak langsung disebabkan oleh
‘electoral competitiveness’ yang sangat tinggi dalam desain pemilu kita. Hal ini disebabkan
oleh sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif yang memungkinkan pemilih
mencoblos langsung nama figur calon legislatif dari masing-masing partai yang berlaga.
Walhasil, para caleg berkompetisi bukan hanya dengan caleg dari partai yang berbeda,
namun juga dengan sesama caleg dari partai yang sama. Menurut Muhtadi, dalam konteks
ini politik uang menjadi amat krusial karena dapat menjadi faktor penentu dalam ketatnya
persaingan untuk memenangkan pemilu.
Klientelisme dalam bentuk politik uang kemudian menjadi lingkaran setan yang sulit
diputus. Meskipun demikian, jalan bagi perbaikan demokrasi bukannya nihil sama sekali.
Kemungkinan perubahan dapat terlihat jika praktik klientelisme di Indonesia tidak dilihat
secara monolitik. Kajian Ward Berenshot dan Edward Aspinall dalam Democracy for Sale:
Pemilihan, Klientelisme dan Negara di Indonesia (2019) menunjukkan kenyataan penting
bahwa bobot klientelisme politik berbeda di tiap daerah di Indonesia.
Pada praktiknya, tidak ada daerah yang betul-betul bebas dari klientelisme politik
seperti juga tidak ada daerah yang sepenuhnya didominasi praktik tersebut. Kota
Surabaya, misalnya, memiki skor yang terendah dengan angka 3,97 sementara Kota
Kupang dengan angka 7,95 menempati skor tertinggi di antara kabupaten/kota yang
menjadi fokus kajian. Pada lingkup yang lebih besar, Berenschot dan Aspinall juga
menemukan bahwa praktik-praktik klientelisme lebih banyak terjadi di luar Jawa,
khususnya Kalimantan dan wilayah Indonesia Timur.
Apa yang menjelaskan ketimpangan yang terjadi di wilayah dengan skor rendah dan
wilayah lain yang skornya tinggi? Kedua peneliti berargumen bahwa jawabannya terletak
pada sumber daya ekonomi di satu daerah. Pada wilayah yang sumber daya ekonominya
berasal dari sedikit sektor yang dikuasai pemerintah, besar kemungkinan praktik
klientelismenya tinggi. Sebaliknya, praktik klientelisme cenderung rendah di daerah yang
punya lebih banyak ragam sektor ekonomi.
Pada tipe wilayah yang pertama, warga negara sangat tergantung pada sektor
pemerintahan sebagai sumber pendapatan. Oleh karena itu, mereka cenderung
mengambil posisi agar penghidupan mereka aman dengan mendukung pemerintahan
yang berkuasa. Keadaan serupa juga dialami oleh lembaga yang seharusnya berperan
menjaga akuntabilitas legislatif maupun eksekutif seperti pers dan organisasi non-
pemerintah. Mereka juga amat bergantung dari sumber daya pemerintah dalam menjaga
keberlangsungan organisasi mereka, sehingga kedua lembaga tersebut juga jarang
mengambil risiko mengkritik pemerintah. Kritik terhadap politisi petahana baru mungkin
terjadi jika para pemilih mendukung kandidat penantang yang juga menjanjikan relasi
klientelistik serupa ketika mereka berkuasa.
Kondisi berbeda terjadi pada wilayah dengan beragam sektor ekonomi seperti
Surabaya. Kelompok masyarakat sipil, pers, dan juga warga negara punya banyak alternatif
mata pencaharian di luar sumber daya yang dikelola oleh negara. Situasi tersebut
membuat mereka bisa lebih independen dalam memberikan dukungan pada kandidat
legislatif ataupun eksekutif. Daerah-daerah seperti ini, dalam argumen Ward dan Aspinall,
juga jadi lebih memiliki peluang untuk menghadirkan figur-figur alternatif yang relatif
bersih dari praktik klientelisme politik seperti dalam kasus kemunculan Risma, Jokowi,
ataupun Ridwan Kamil.
Hari/Tanggal
Nama kelompok
Topik yang dibahas
Hasil diskusi 1. Identifikasi dan Penetapan Masalah.
Identifikasi dan penetapan masalah adalah upaya menemukan
dan menguraikan masalah yang terdapat dalam artikel agar
dapat diketahui dengan jelas. Ada pun yang dimaksud dengan
masalah adalah kelemahan, pertentangan, kebingungan serta
kesenjangan antara keadaan yang diharapkan (das sollen)
15
2. Pembahasan Masalah.
Pembahasan masalah adalah uraian penjelasan pokok-pokok
masalah. Uraian dan faktor tersebut merupakan upaya
penjabaran secara terperinci, analitis, logis dan sistematis
mengenai pokok-pokok masalah yang ada dalam identifikasi
dan penetapan masalah. Penjabaran tersebut dapat dilakukan
dengan cara mensintesis atau menggabungkan atau
memadukan pokok-pokok masalah yang sama, yang bersumber
dari media massa online internet dan sumber lain. Pokok-
pokok masalah yang bersumber dari internet ini meliputi
hubungan antara pokok-pokok masalah dengan sudut pandang
individu/organisasi, norma dasar (norma moral, agama, adat,
dll) serta norma hukum (kebijakan, program, peraturan
perundang-undangan (Pancasila, UUD 1945, peraturan
pemerintah, kepres, perpres, kepmen, peraturan menteri,
peraturan daerah, keputusan kepala daerah dll). Disamping itu,
cara mensistesis juga bisa melalui teori atau hasil penelitian
yang bersumber dari buku, jurnal, makalah, prosiding, skripsi,
tesis, disertasi serta referensi lainnya.
3. Kesimpulan
Kesimpulan merupakan bagian terakhir yang diperoleh dari
pembahasan masalah yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Kesimpulan ditulis secara tegas dan lugas.
Tetapkanlah kesimpulan..