Anda di halaman 1dari 68

EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL SELEDRI TERHADAP

PERTUMBUHAN TRICHOPHYTON RUBRUM SECARA IN


VITRO DENGAN METODE DIFUSI CAKRAM

SKRIPSI

NURI KHONSA AULIARTI


1510211079

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN
TAHUN 2019
PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber yang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Nuri Khonsa Auliarti
NRP : 1510211079
Tanggal : April 2019

Bilamana di kemudian hari ditemukan ketidaksesuaian dengan pernyataan saya


ini, maka saya bersedia dituntut dan diproses sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.

Jakarta, April 2019


Yang Menyatakan,

Nuri Khonsa Auliarti

ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta,


saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Nuri Khonsa Auliarti
NRP : 1510211079
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Sarjana Kedokteran

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta Hak Bebas Royalti Non
eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang
berjudul:
“EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL SELEDRI TERHADAP
PERTUMBUHAN TRICHOPHYTON RUBRUM SECARA IN VITRO
DENGAN METODE DIFUSI CAKRAM”. Beserta perangkat yang ada (jika
diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti ini Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jakarta berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan skripsi
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada Tanggal : April 2019
Yang menyatakan,

Nuri Khonsa Auliarti

iii
PENGESAHAN

Skripsi diajukan oleh:


Nama : Nuri Khonsa Auliarti
NRP : 1510211079
Program Studi : Sarjana Kedokteran
Judul Skripsi : Efektivitas Ekstrak Etanol Seledri Terhadap
Pertumbuhan Trichophyton rubrum Secara In Vitro
Dengan Metode Difusi Cakram

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada
Program Studi Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

dr. Yuni Setyaningsih, M.Biomed


Ketua Penguji

dr. Fajriati Zulfa, M.Biomed Dra. Arfiyanti, M. Kes


Pembimbing I Pembimbing II

Dr. dr. Prijo Sidipratomo, SpRad (K) dr. Niniek Hardini, Sp.PA
Dekan Fakultas Kedokteran Ketua Program Studi
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal Ujian : April 2019

iv
EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL SELEDRI TERHADAP
PERTUMBUHAN TRICHOPHYTON RUBRUM SECARA IN
VITRO DENGAN METODE DIFUSI CAKRAM

Nuri Khonsa Auliarti

Abstrak

Dermatofitosis adalah infeksi kulit superfisial yang disebabkan oleh dermatofita.


Etiologi dermatofitosis teersering disebabkan oleh jamur Trichophyton rubrum.
Tanaman seledri adalah salah satu tanaman yang mengandung senyawa antijamur
seperti flavonoid, saponin dan minyak atsiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui efektivitas senyawa antifungi ekstrak seledri yang mengandung
senyawa aktif flavonoid dan saponin yang dilarutkan dengan pelarut etanol
terhadap pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum secara in vitro. Jenis penelitian
ini adalah desain eksperimental dengan ekstrak seledri diperoleh melalui teknin
maserasi. Uji antifungi dilakukan dengan metode kertas cakram dan media yang
digunakan adalah Saboroud Dextrose Agar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ekstrak etanol seledri memiliki efektivitas dalam menghambat pertumbuhan
Trichophyton rubrum dengan konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%
dengan diameter zona hambat sebesar 5,5 mm. hasil uji statistic ANOVA One-
Way dan Bonferroni menunjukkan bahwa nilai p < 0,05. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah ekstrak etanol seledri yang mengandung senyawa aktif
flavonoid, saponin dan minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan jamur
Trichophyton rubrum secara in vitro.

Kata kunci : Dermatofitosis, Antifungi, Trichophyton rubrum, Ekstrak Seledri

vi
THE EFFECTIVENESS OF CELERY EXTRACT WITH
ETHANOL SOLUTION AGAINTS THE GROWTH OF
TRICHOPHYTON RUBRUM IN VITRO

Nuri Khonsa Auliarti

Abstract

Dermatophytosis is a cutaneous tissue infection and caused by Dermatophyte


fungi with Trichopyton rubrum as the most common ethiology. Celery plant can
be used as a herbal treatment, that contain antimicrobial agents such as flavonoid,
saponin and essensial oil. The purpose of this research was to know the antifungal
effectiveness of the celery extract that contains flavonoid and saponin with
ethanol solution against the growth of Trichophyton rubrum in vitro. The design
of this research was an experimental design with the celery extract was made by
maceration technique. Antifungal test was done by disk diffusion method with
Saboroud Dextrose Agar media. The result of this research showed that celery
extract could inhibit the growth of Trichopyton rubrum in the concentration of
20%, 40%, 60%, 80%, and 100% with the score of the inhibit zone was 5,5 mm.
The result of One-Way ANOVA test and Bonferroni test were both p <0,05 in
some concentrations. The Conclusion of this research was celery extract that
contains flavonoid and saponin could inhibit the growth of T.rubrum in vitro.

Keyword: Dermatophytosis, Antifungal, Trichophyton rubrum, Celery extract

vi
viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
Nya-lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efektivitas Ekstrak
Etanol Seledri Terhadap Pertumbuhan Trichophyton rubrum Secara In Vitro
Dengan Metode Difusi Cakram”. Penulis menyadari bahwa banyak pihak terkait
yang telah memberikan bantuan sejak dimulainya masa perkuliahan hingga saat
ini, akan sangat sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini, oleh karena itu
penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:Dr. dr. Prijo Sidipratomo, SpRad (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran
UPN “Veteran” Jakarta, dr. Niniek Hardini, Sp.PA selaku Kepala Program Studi
Sarjana Kedokteran, dan Tim Community Research Program yang telah
memberikan ilmu dan fasilitas untuk menunjang penelitan ini.
1. dr. Fajriati Zulfa, M.Biomed, selaku dosen pembimbing utama dan Ibu
Arfiyanti, M.Kes, selaku dosen pembimbing kedua yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing dan memberi
dukungan yang sangat besar pada peneliti selama proses penyusunan skripsi
ini dan dr. Yuni Setyaningsih, M.Biomed selaku penguji utama yang telah
memberikan umpan balik, saran dan motivasi yang sangat bermanfaat dalam
penyusunan skripsi ini.
2. Orang tua , Muhammad Arief Dimjati dan Nur Khabibah yang telah
melimpahkan kasih sayang, doa, semangat, dan dukungan dalam penulisan
penelitian ini
3. Pihak-pihak lain yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, untuk
kontribusi yang diberikan kepada peneliti demi kelancaran penulisan skripsi
serta kehidupan perkuliahan yang peneliti lalui di FK UPNVJ.
Peneliti berharap semoga Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

Penulis

Nuri Khonsa Auliarti


xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………… i


PERNYATAAN ORISINALITAS ………………………………………... i
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……………………......... ii
PENGESAHAN …………………………………………………………… iii
ABSTRAK ………………………………………………………………… iv
ABSTRACT ………………………………………………………………… v
KATA PENGANTAR …………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………................. viii
DAFTAR TABEL ……………………………………………..…………... xi
DAFTAR BAGAN ………………………………………........................... xii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… xii
DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………….. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………. xv

BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang ………………………………… ……………………... 1
I.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………... 3
I.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………………. 3
I.3.1 Tujuan Umum ………………………………………………………... 3
I.3.2 Tujuan Khusus ………………………………………………………. 4
I.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………………... 4
I.4.1 Manfaat Teoritis ……………………………………………………... 4
I.4.2 Manfaat Praktis ………………………………………………………. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


II. 1 Landasan Teori.......................................................................................4
II. 1.1 Trichophyton rubrum...........................................................................4
II. 1.2 Dermatofitosis......................................................................................8
II. 1.3 Seledri (Apium graviolens)..................................................................12
II. 1.4 Uji Aktivitas Antifungi........................................................................14
II. 2 Kerangka Teori.......................................................................................17
II. 3 Kerangka Konsep...................................................................................18
II.4 Hipotesis..................................................................................................18
II. 5 Penelitian Terkait....................................................................................19

BAB III METODE PENELITIAN.................................................................20


III.1 Desain Penelitian....................................................................................20
III.2 Lokasi dan Waktu Penelitian..................................................................20
III.3 Subyek Penelitian...................................................................................20
III.4 Bahan Uji Penelitian...............................................................................20
III.5 Jenis Data................................................................................................20
III.6 Besar sampel...........................................................................................21
III.7 Variabel Penelitian..................................................................................21
III.8 Definisi Operasional...............................................................................22
3

III.9 Instrumen Penelitian..............................................................................23


III.10 Prosedur Penelitian..............................................................................24
III.11 Teknik Analisa Data............................................................................27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


IV.1 Hasil Penelitian..………………..……………..…..……………..……
IV.2 Analisis Data…..…..………..…..………..…..………..…..…………..
IV.3 Pembahasan………………….…..…….……...……………………….

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


V.1 Kesimpulan …………………………………………………………… 56
V.2 Saran ………………………………………………………………….. 56

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 57


DAFTAR RIWAYAT HIDUP …………………………………………… 61
LAMPIRAN ………………………………………………………………. 63

xvi
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kelompok Alternatif Efektivitas Biaya ………………………….. 8


Tabel 1 Kriteria Kekuatan Daya Antifungi…………………………………18
Tabel 2 Penelitian Terkait……………………….…………………………..21
Tabel 3 Definisi Operasional……………………………….……………….25
Tabel 4 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Ekstrak Seledri….....…
Tabel 5 Uji Normalitas Shapiro-Wilk pada Zona Hambat Ekstrak Seledri….
Tabel 6 Uji Homogenitas pada Zona Hambat Ekstrak Seledri………..…..…
Tabel 7 Uji One-Way ANOVA Kelompok Perlakuan Ekstrak Seledri..…….

xii
DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Kerangka Teori ………………………………………………….. 31


Bagan 2. Kerangka Konsep ……………………………………………….. 32
Bagan 3. Alur Penelitian …………………………………………………... 39

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Trichophyton rubrum......................................................................4


Gambar 2 Tinea Korporis…............................................................................8
Gambar 3 Tinea Kruris....................................................................................8
Gambar 4 Tinea Pedis......................................................................................8
Gambar 5 Tinea Unguium................................................................................9
Gambar 6 Tinea Kapitis..................................................................................10
Gambar 7 Tinea Barbae..................................................................................10
Gambar 8 Tanaman Seledri............................................................................12
Gambar 9 Senyawa Aktif Seledri...................................................................13

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Persetujuan Proposal Penelitian ………………………


Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Penelitian dan Survei Data …………
Lampiran 3. Surat Izin Penelitian …………………………………………
Lampiran 4. Surat Persetujuan Etik ……………………………………….
Lampiran 5 Lembar Data Pasien ………………………………………….
Lampiran 6. Hasil Uji Statistik ……………………………………………

xvi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit yang disebabkan oleh jamur secara umum disebut mikosis.


Mikosis yang paling sering terjadi di Negara beriklim tropis adalah
dermatofitosis (Behzadi 2014, hlm. 50). Dermatofita termasuk kelas fungi
imperfecti yang terbagi dalam genus Microsporum, Trichophyton dan
Epidermophyton. Jenis jamur ini menyerang jaringan yang mengandung keratin
seperti kulit, rambut, dan kuku pada manusia (Singh 2017, hlm.48).
Infeksi jamur menyerang hampir setiap elemen masyarakat. Tinea kruris
dan tinea korporis merupakan dermatofitosis yang paling sering terjadi pada
orang dewasa di India (Shontalia 2014, hlm.171). Kasus tinea kapitis di Amerika
Serikat merupakan infeksi jamur dengan insidensi tertinggi pada anak (Spickler
2013, hlm.4).
Kasus dermatofitosis di Unit Rawat Jalan Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2011 sebesar 275 orang, tahun 2012 sebesar
183 orang dan tahun 2013 sebesar 166 orang dengan diagnosis terbanyak adalah
tinea korporis (51%) dan tinea kruris (41%) (Putri 2017, hlm.20). Penelitian yang
dilakukan Singh, 2017 pada 260 penderita infeksi jamur kulit di Muzaffarnagar
Medical College, Muzaffarnagar, Uttar Pradesh, India, ditemukan spesies
terbanyak yang berhasil dikultur adalah Trichophyton rubrum diikuti dengan T.
interdigitale, dan Epidermophyton floccosum (Singh 2017, hlm. 48). Dalam
beberapa dekade terakhir, kasus infeksi jamur meningkat sebanyak 20-25% dari
total populasi dunia (Sharma 2015, hlm.1287).
Pengobatan infeksi jamur saat ini dilakukan secara topikal dan sistemik
menggunakan obat-obatan antifungi yaitu ketokonazol, itrakonazol, dan
terbinafine (Sahoo 2016, hlm. 80). Penggunaan topikal dan sistemik azol efektif
dalam menyembuhkan infeksi jamur tetapi dapat menimbulkan efek samping
seperti iritasi kulit, interaksi dengan berbagai macam obat, meningkatkan
aktivitas enzim hati untuk sementara waktu dan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan kerusakan hati (Kelly, 2016).

60
3

Indonesia sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman hayati


memiliki berbagai macam tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat
tradisional. Obat tradisional yang banyak digunakan masyarakat berasal dari
tumbuhan yang mudah ditemukan di lingkungan sekitar tempat tinggal
(Novitasiah 2014, hlm.10). Salah satu obat tradisional yang sering digunakan
oleh masyarakat adalah tanaman seledri (Majidah 2014, hlm.2). Tanaman seledri
merupakan salah satu sayuran daun yang memiliki banyak manfaat, antara lain
dapat digunakan sebagai pelengkap masakan dan memiliki khasiat sebagai obat
(BPTP Jambi 2015, hlm.15).
Seledri memiliki senyawa aktif flavonoid apigenin, saponin, dan minyak
atsiri yang dinyatakan sebagai antibakteri dan antifungi (Rachmawati 2014,
hlm.12). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ilyas, 2015 ekstrak seledri
memiliki aktivitas antifungi terhadap pertumbuhan jamur Candida albicans (Ilyas
2015, hlm.20).
Dermatofitosis merupakan infeksi kulit dengan prevalensi cukup tinggi di
Negara beriklim tropis. Spesies Trichophyton rubrum diketahui sebagai penyebab
terbesar terjadinya infeksi jamur superfisial pada kulit (Awalia, 2018 hlm.5).
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian uji efektivitas
ekstrak seledri terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum secara in vitro
dengan metode difusi cakram. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas
ekstrak seledri dalam menghambat pertumbuhan Trichophyton rubrum.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah sebagai
berikut :
Apakah ekstrak seledri dapat menghambat pertumbuhan Trichophyton
rubrum?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Mengetahui efektivitas ekstrak seledri sebagai antifungi terhadap
pertumbuhan Trichophyton rubrum.

xvi
3

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Mengetahui efektivitas ekstrak seledri terhadap pertumbuhan
Trichophyton rubrum.

b. Mengetahui perbedaan efektivitas senyawa antifungi ekstrak


seledri pada konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% terhadap
pertumbuhan Trichophyton rubrum secara in vitro dengan metode
difusi.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara akademis penelitian ini bermanfaat sebagai bahan kajian dalam


menambah ilmu pengetahuan terutama efektivitas ekstrak seledri sebagai
antifungi. Dapat mengetahui efektivitas ekstrak seledri dalam menghambat
pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum.

1.4.2 Manfaat Praktis


a. Masyarakat Umum
Memberikan informasi mengenai pengobatan alternatif dengan bahan
alami yang efektif, aman, dan ekonomis untuk menghambat pertumbuhan
Trichophyton rubrum pada penderita dermatofitosis dengan menggunakan
tanaman seledri.
b. Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta
Menambah kepustakaan yang telah ada sebelumnya mengenai tanaman
obat di Indonesia khususnya tanaman seledri.
c. Peneliti
1) Menambah pengetahuan dalam bidang Mikologi mengenai
efektivitas ekstrak seledri sebagai antijamur terhadap
pertumbuhan Trichophyton rubrum secara in vitro dengan
metode difusi cakram.
2) Mengaplikasikan ilmu Mikologi yang telah didapat sebelumnya
dan menambah pengalaman melakukan penelitian secara
eksperimental mengenai efektivitas ekstrak seledri sebagai

xvi
3

antijamur terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum secara in


vitro dengan metode difusi cakram.
3) Memberikan bukti ilmiah tentang efektivitas ekstrak seledri
sebagai antijamur terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum
secara invitro dengan metode difusi cakram.

xvi
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Landasan Teori


II.1.1. Trichophyton rubrum
Trichophyton rubrum merupakan jamur yang paling umum menyebabkan
infeksi jamur kronis pada kulit dan kuku manusia. Pertumbuhan koloni T. rubrum
lambat dan memiliki tekstur seperti kapas (Jawetz 2013, hlm.679).

Gambar 1. Trichophyton rubrum


Sumber : Medical Mycology Library, 2003

II.1.1.1. Taksonomi
Adapun taksonomi dari jamur Trichophyton rubrum adalah (Awalia 2018,
hlm.25).
Divisio : Eumycophyta
Kelas : Deuteromycetes
Ordo : Melaneoniales
Familia : Moniliaceae
Genus : Trichophyton
Spesies : Trichophyton rubrum (T.rubrum)

II.1.1.2. Morfologi
Genus Trichophyton terdiri dari 24 spesies. Secara umum morfologi
koloninya berupa bubuk, berbulu, ataupun licin seperti wax (Ningrum 2018,
hlm.5). Tipe sporanya adalah mikrokonidia dengan makrokonidia yang tipis.
Makrokonidia T.rubrum berbentuk cigar-shaped atau seperti pensil berseptat

xvi
3

dengan ukuran 8-50 μm × 4-8 μm dan berdinding tipis namun sulit untuk
diidentifikasi karena jarang terlihat. Mikrokonidia T.rubrum berbentuk bulat (2.5
sampai 4 μm) dengan jumlah yang melimpah (Awalia 2018, hlm.15).
Pertumbuhan Trichophyton rubrum termasuk lambat dengan morfologi kultur
seperti kapas berwarna putih sampai kemerahan pada permukan agar PDA (Potato
Dextrose Agar). Trichophyton rubrum merupakan dermatofita yang sering
menimbulkan klinis infeksi jamur superfisialis (Sahoo 2016, hlm.80).

II.1.1.3. Struktur
Dermatofita merupakan organisme eukariota, yaitu organisme yang sudah
memiliki membran inti, mitokondria, dan sistem kompleks dalam membran
internal, termasuk retikulum endoplasma dan aparatus golgi (Jawetz 2013,
hlm.671). Lapisan kaku dinding sel jamur mengandung polisakarida kitin dan
glukan. Kitin berfungsi memberi kekuatan struktural untuk dinding sel jamur
(Bhosle 2011, hlm.916).

II.1.1.3.1. Membran Plasma


Membran plasma jamur terdiri dari fosfolipid, protein membran, dan
ergosterol, molekul steroid seperti kolesterol yang ditemukan dalam membran sel
hewan (Blackwell 2016, hlm.261). Membran plasma merupakan membran
semipermeabel tipis yang mengelilingi sitoplasma sel, berfungsi untuk melindungi
integritas bagian dalam sel dengan membiarkan zat tertentu masuk dan menjaga
zat lainnya di luar. Fosfolipid membentuk struktur dasar dari membran sel, yang
disebut lapisan ganda (bilayer) lipid. Protein membran penting untuk mengangkut
zat melintasi membran sel, juga sebagai enzim dan reseptor (Jawetz 2013, hlm.
13).
II.1.1.3.2. Hifa
Hifa merupakan struktur menyerupai benang yang terdiri atas satu atau
banyak sel yang dikelilingi dinding berbentuk pipa. Trichophyton rubrum
memiliki hifa yang bersifat halus, lurus, dan konidia seperti pohon pinus
(Blackwell 2016, hlm.285).

xvi
3

II.1.1.4. Biakan
Identifikasi dermatofita memerlukan biakan. Spesimen diinokulasi ke
bagian miring agar Saboroud yang mengandung kloramfenikol untuk menekan
pertumbuhan bakteri, diinkubasi 1-2 minggu pada suhu ruangan, kemudian
diperiksa dalam biakan kaca objek bila diperlukan. Spesies diidentifikasi
berdasarkan morfologi koloni (kecepatan pertumbuhan, tekstur permukaan dan
pigmentasi), morfologi mikroskopik (makrokonidia, mikrokonidia), dan pada
beberapa kasus, kebutuhan nutrisi (Jawetz 2013, hlm.676).

II.1.1.5. Patogenesis
Dermatofita ditularkan melalui kontak langsung dengan kulit dan kuku
manusia atau hewan yang terinfeksi melalui kontak kulit atau rambut dengan
benda yang dihinggapi seperti pakaian, sisir, seprai, selimut, handuk. Kerentanan
terkena infeksi terjadi apabila terdapat cedera pada kulit seperti luka gores, luka
bakar, dan kelembaban tinggi (Hussein 2014, hlm.200).

II.1.1.6 Antifungi
Aktivitas antifungi yang ideal memiliki sifat toksisitas selektif yang berarti
bahwa obat tersebut bahaya bagi mikroba namun tidak membahayakan inangnya.
Berdasarkan sifat toksisitasnya, antifungi dapat bersifat fungistatik (menghambat)
dan fungisid (membunuh) (Ely 2014, hlm.706).

II.1.1.6.1 Jenis Antifungi


a) Berdasarkan sifat (Ely 2014, hlm.706)
1) Fungistatik
Bahan antifungi yang memiliki kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan jamur sehingga secara perlahan jamur mati.
2) Fungisidal
Bahan antifungi yang memiliki kemampuan untuk membunuh jamur
secara langsung.
b) Berdasarkan cara penggunaan (Yossela 2015, hlm.106)
1) Antifungi Topikal

xvi
3

Antifungi topikal biasanya digunakan untuk pengobatan infeksi


jamur superfisial. Tersedia dalam berbagai bentuk seperti suspense,
krim, salep dan tablet vagina.
2) Antifungi Sistemik
Penggunaan antifungi secara oral atau intravena untuk mengobati
infeksi jamur sistemik. Namun infeksi superfisialis terkadang
memerlukan pengobatan antifungi secara oral.

III.1.1.6.2. Mekanisme Kerja Antifungi


Mekanisme penghambatan dan kerusakan mikroba oleh senyawa
antimikroba berbeda-beda. Penghambatan ini secara umum disebabkan oleh :
a. Gangguan pada komponen dinding sel
Dinding sel fungi mengandung zat seperti kitin, glukosa mannan
yang merupakan polimer komplek dari polisakarida dan polipeptida.
Struktur dinding sel dapat dirusak dengan cara menghambat
perkembangannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk (Prasad
2016, hlm.328).
b. Bereaksi dengan membran sel
Membran sel fungi mempunyai sterol yang dapat dirusak oleh zat
tertentu tanpa merusak sel inangnya. Senyawa ini berikatan kuat
membentuk kompleks dengan ergosterol yang dapat mengakibatkan
perubahan permeabilitas dan kehilangan komponen penyusun sel (Prasad
2016, hlm.328).
c. Penghambatan terhadap sintesa protein dan asam nukleat
Asam nukleat (DNA dan RNA) dan protein memegang peranan
penting dalam proses kehidupan normal sel. Jika terjadi penghambatan
pada zat-zat tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada sel (Prasad
2016, hlm.328).

xvi
3

II.1.2. Dermatofitosis
II.1.2.1. Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh kolonisasi
jamur dermatofit. Dermatofita bersifat keratolitik, yaitu menyerang dan
menginvasi jaringan keratin pada manusia serta memanfaatkan produk degradasi
untuk menjadi sumber nutrisi (Fitzpatrick 2013, hlm.2298).

II.1.2.2. Etiologi

Penyebab utama dermatofitosis adalah Trichopyhton rubrum (90%),


Trichophyton mentagrophytes (4%), dan Trichophyton tonsurans (6%) (Singh
2017, hlm.48). Untuk kepentingan klinis dan epidemiologis, dermatofita yang
menginfeksi manusia dibagi berdasarkan tempat hidupnya, yaitu geofilik untuk
jamur yang berasal dari tanah seperti Microsporum gypseum, golongan zoofilik
yang berasal dari hewan misalnya Microsporum canis, dan antropofilik yaitu
jamur yang bersumber dari manusia misalnya Trichophyton rubrum (Spickler
2013, hlm.13).
II.1.2.3. Klasifikasi
a. Tinea korporis (kurap, tinea glabrosa, tinea sirsinata).
Tinea korporis adalah infeksi dermatofita dangkal yang ditandai oleh tanda
radang maupun luka pada seluruh bagian tubuh, biasanya muncul pada lengan dan
tungkai (Behzadi 2014, hlm.52).

Gambar 2. Tinea Korporis


Sumber : Foto FKUI/RSUPN, 2013

b. Tinea kruris (eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin).


Tinea kruris adalah mikosis superfisial pada lipat paha, genitalia, daerah
perineum, dan sekitar anus (Hainer 2013, hlm.101). Kelainan ini dapat bersifat
akut atau menahun. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural atau

xvi
3

meluas ke daerah sekitar anus, gluteus dan perut bagian bawah (Shontalia 2017,
hlm.171).

Gambar 3. Tinea kruris


Sumber : Fitzpatrick 2013, hlm.705

c. Tinea pedis (Athlete’s foot, jungle rot, kutu air) dan Tinea manum
Tinea pedis et manum merupakan dermatomikosis pada kaki dan tangan.
Tinea pedis paling sering terjadi di sela-sela jari dan telapak kaki (Hainer 2013,
hlm.106). Gejala klinis tinea pedis adalah ruam bersisik yang menyebabkan gatal,
menyengat dan terbakar (Spickler 2013, hlm.4).

Gambar 4. Tinea pedis


Sumber : Ely, 2014 hlm.705

d. Tinea unguium
Tinea unguium atau dermatophytic onychomycosis merupakan infeksi
jamur pada kuku jari tangan dan kaki (Hainer 2013, hlm.107).

Gambar 5. Tinea Unguium


Sumber : Hainer 2013, hlm.107

xvi
3

e. Tinea Kapitis (ringworm of the scalp, tinea tonsurans)


Tinea kapitis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur
superfisial pada kulit kepala dan bulu mata dengan kecenderungan menyerang
tangkai dan folikel-folikel rambut (Ely 2014, hlm.703).

Gambar 6. Tinea kapitis


Sumber : Ely 2014, hlm.703

f. Tinea Barbae
Penderita tinea barbae biasanya mengeluhkan adanya rasa gatal di daerah
jenggot, jambang, dan kumis disertai dengan rambut-rambut di daerah tersebut
yang mudah putus (Spickler 2013, hlm.4).

Gambar 7. Tinea barbae


Sumber : Hainer 2013, hlm.105

II.1.2.4. Epidemiologi
Insidensi dermatofitosis meningkat di daerah dengan iklim hangat, dan
lembab (Hussein 2014, hlm.200). Umumnya terjadi pada orang yang berkeringat
banyak, memakai sepatu tertutup dan pakaian ketat. Tinea korporis terjadi pada
laki-laki dan perempuan dengan angka kejadian tertinggi pada remaja (Ely 2014,
hlm.703).

II.1.2.5. Faktor Resiko


Faktor penting yang berperan dalam penyebaran dermatofita ini adalah
kondisi kebersihan lingkungan yang buruk, daerah pedesaan yang padat, dan
kebiasaan menggunakan pakaian yang ketat atau lembab (Ely 2014, hlm.702).

xvi
3

Obesitas dan diabetes melitus juga merupakan faktor resiko tambahan karena
keadaan tersebut menurunkan imunitas untuk melawan infeksi (Spickler 2013,
hlm.3).

II.1.2.6. Patogenesis
Dermatofita menggunakan zat keratin sebagai sumber gizi. Dermatofita
menginvasi keratin pada stratum korneum kulit. Jaringan sekitarnya merupakan
hasil dari respon host alergi atau peradangan terhadap kehadiran jamur (Hainer
2013, hlm.101). Beberapa dari infeksi tersebut menyebabkan lesi melingkar yang
dihasilkan dari reaksi inflamasi. Jalur infeksi yang diduga sebagai tempat
dermatofita menginfeksi pejamu ialah melalui kulit yang terluka seperti luka gores
atau luka bakar (Gupta 2013, hlm.1050). Bagian dari dermatofit yang menginfeksi
ialah atrokonidia atau konidia. Kuman patogen menyerang stratum korneum,
memproduksi exo-enzym keratinase, dan menginduksi reaksi inflamasi pada lokasi
infeksi (Sahoo 2016, hlm.77).
Tanda-tanda inflamasi ialah kemerahan, pembengkakan, panas dan
alopesia pada daerah yang terinfeksi. Perpindahan patogen menyebabkan lesi
seperti cincin (Spickler 2013, hlm.4). Tinea kruris menular secara langsung
melalui kontak langsung dengan penderita atau secara tidak langsung melalui
barang atau benda yang telah terinfeksi (Shontalia 2017, hlm.171).

II.1.2.7. Diagnosis
Dermatofitosis mudah dikenal secara klinis morfologis, kecuali pada
beberapa kasus tertentu. Diagnosis tinea ditegakkan berdasarkan klinis dan
laboratorium (Ely 2014, hlm.703). Pemeriksaan laboratorium untuk dermatofitosis
yang dilakukan secara rutin adalah pemeriksaan mikroskopik langsung dengan
KOH 10-20%. Pemeriksaan mikroskopik langsung untuk mengidentifikasi
struktur jamur merupakan teknik yang cepat, sederhana, dan telah digunakan
secara luas sebagai teknik skrining awal. Teknik ini memiliki sensitivitas hingga
80% dan spesifisitas hingga 70% (Spickler 2013, hlm.5).

xvi
3

II.1.2.8. Pengobatan
Pada kebanyakan kasus, dermatofitosis dapat dikelola dengan
pengobatan topikal. Agen topikal memiliki efek menenangkan, yang akan
meringankan gejala lokal. Terapi topikal untuk pengobatan tinea korporis atau
tinea kruris termasuk: terbinafine, butenafine, miconazole, ketoconazole,
klotrimazole, ciclopirox (Gohary 2014, hlm.9). Formulasi topikal dapat
membasmi area yang lebih kecil dari infeksi, tetapi terapi oral diperlukan di mana
wilayah infeksi yang lebih luas yang terlibat atau di mana infeksi kronis atau
berulang (Hussein 2014, hlm.202).
Infeksi dermatofita dengan krim topikal antifungi hingga kulit bersih
biasanya membutuhkan 3 sampai 4 minggu pengobatan dengan azoles, 1 sampai 2
minggu dengan krim terbinafine, dan tambahan 1 minggu hingga secara klinis
kulit bersih (Gohary, 2014 hlm.7). Penatalaksanaan nonmedikamentosa dan
pencegahan kekambuhan penyakit sangat penting, seperti mengurangi faktor
predisposisi, seperti menggunakan pakaian yang menyerap keringat,
mengeringkan tubuh setelah mandi atau berkeringat, dan membersihkan pakaian
yang terkontaminasi (Spickler 2013, hlm.3).

II.1.2.9. Prognosis
Prognosisnya baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun dan
konsisten (Behzadi 2014, hlm.57).

II.1.3 Seledri
Seledri merupakan tanaman yang banyak dimanfaatkan untuk
memperkaya cita rasa sajian dan sebagai sayuran. Secara tradisional, seledri
banyak digunakan sebagai penurun panas tubuh, penurun tekanan darah, penyubur
rambut, mengatasi susah tidur, memperlancar pengeluaran air seni dan mengobati
keputihan. Buahnya merupakan salah satu obat keputihan yang digunakan secara
empiris oleh bangsa Indonesia (Shehata 2012, hlm.212).

xvi
3

Gambar 8 : Tanaman seledri


Sumber : Kooti, 2017. Hlm 1071
Seledri (Apium graviolens) termasuk dalam famili Umbelliferae. Tanaman
seledri merupakan komoditas sayuran yang banyak digunakan untuk penyedap
makanan dan penghias hidangan. Biji seledri juga digunakan sebagai bumbu dan
penyedap. Ekstrak minyak bijinya berkhasiat sebagai obat (Bhosle, 2011).

II.1.3.1. Taksonomi
Adapun taksonomi dari tanaman seledri adalah (Urgamal 2012, hlm.36).
Kingdom : Plantarum
Divisi : Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Umbelliferales
Famili : Umbelliferae
Genus : Apium
Species : Apium graveolens L.

II.1.3.2. Senyawa aktif


Seledri merupakan tanaman yang mengandung golongan senyawa kimia
flavonoid, apigenin, saponin dan minyak atsiri yang telah terbukti sebagai
senyawa yang efektif dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans.
Kandungan senyawa aktif apigenin dalam ekstrak seledri merupakan komponen
flavonoid utama yang termasuk dalam golongan flavon (Rachmawati 2014,
hlm.5).

xvi
3

Gambar 9. Senyawa aktif seledri


Sumber : Megahed 2017, hlm.171.

Flavonoid merupakan senyawa aktif dalam tumbuhan yang larut dalam air
(Galeotti 2008, hlm.44). Mekanisme antifungi flavonoid yaitu menyebabkan
perubahan integritas membran sel dan mempengaruhi aktivitas metabolik sel
sehingga jamur tidak dapat bertahan hidup (Putri 2017, hlm.11). Selain itu
terdapat mekanisme penghambatan aktivitas antifungi dengan cara merubah
konformasi bagian hipofilik membran sel. Membran sel kehilangan sifat
permeabilitasnya sehingga sistem transport membran tidak stabil. Akibatnya
terjadi kebocoran sel yang kemudian diikuti kematian jamur (Galeotti 2008,
hlm.44).
Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang menimbulkan busa jika
dikocok dalam air. Mula-mula disebut saponin karena sifatnya yang khas
menyerupai sabun. Saponin menghambat pertumbuhan jamur dengan cara
meningkatkan permeabilitas membran sel jamur, mengubah struktur dan fungsi
membran, denaturasi protein membran sehingga membran sel akan rusak dan lisis
(Putri 2017, hlm.11).
Minyak atsiri merupakan minyak dari tanaman yang komponennya secara
umum mudah menguap. Nama lain dari minyak atsiri adalah essensial oil, karena
bersifat khas sebagai pemberi aroma. Umumnya, minyak atsiri yang segar tidak
berwarna namun pada penyimpanan yang lama dapat berubah menjadi lebih
gelap. Minyak atsiri memiliki efek antifungi dengan menghambat pertumbuhan
Candida albicans (Suprobo 2015, hlm. 18). Mekanisme kerja antifungi minyak

xvi
3

atsiri yaitu gugus fenol dalam minyak atsiri membentuk kompleks dengan protein
dalam membran sel sehingga terjadi penggumpalan. Protein yang menggumpal
mengalami denaturasi sehingga menyebabkan permeabilitas membran sel
menurun, transport nutrisi dalam sel terganggu sehingga pertumbuhan jamur
terganggu (Jawetz 2013, hlm. 715).

II.1.4 Uji Aktivitas Antifungi


Aktivitas antifungi dari suatu bahan dapat diketahui dengan meletakkan
sampel bahan tersebut pada fungi dan menilai hambatan pertumbuhan fungi.
Metode uji antimikroba yang digunakan yaitu dengan metode difusi dan delusi.

II.1.4.1 Metode Difusi


Metode yang paling sering digunakan untuk menentukan aktivitas
antimikroba adalah metode difusi agar. Kerjanya dengan cara mengamati daerah
bening, yang mengindikasikan adanya hambatan pada permukaan media agar
(Niswah 2014, hlm.20). Macam-macam metode difusi :
1. Metode Difusi Cakram
Salah satu metode yang tepat untuk menguji aktivitas antifungi
yaitu dengan metode difusi cakram (Niswah 2014, hlm.20). Metode ini
dilakukan dengan cara meletakkan kertas cakram filter yang mengandung
bahan yang akan diuji dengan konsentrasi tertentu pada permukaan padat
yang telah diinokulasi dengan organisme uji pada permukaannya.
Kemudian media tersebut diinkubasi pada suhu 37°C selama 24-48 jam.
Selanjutnya diameter atau zona hambat inhibisi, yaitu daerah jernih di
sekeliling cakram yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba,
diamati dan diukur pada masa akhir inkubasi (Kusumawardhani 2014,
hlm.10).
2. Metode Lempeng Silinder (Pencadang)
Metode ini dilakukan dengan menginokulasikan mikroorganisme
uji yang sesuai dan peka kedalam lempeng agar pada cawan petri. Silinder
besi tahan karat diletakan diatas permukaan media lempeng agar. Larutan
antijamur dimasukkan ke dalam silinder besi tahan karat tersebut dan

xvi
3

diinkubasi. Larutan antifungi akan berdifusi kedalam media dan diinkubasi


selama 18-24 jam. Selanjutnya diamati adanya zona hambat dengan ciri
zona jernih disekitar silinder yang menunjukan pertumbuhan jamur
(Kusumawardhani 2014, hlm.10).
3. Metode Perforasi
Agar yang masih cair pada suhu 37°C dicampurkan dengan
suspense jamur pada cawan petri steril, dibiarkan memadat. Setelah agar
memadat dibuat lubang -lubang dengan perforator dan kedalaman tersebut
dimasukan zat yang akan diuji aktivitas antijamurnya kemudian diinkubasi
selama 18-24 jam pada suhu 37°C. Aktivitas antijamur dapat dilihat dari
daerah hambat yang terjadi disekelilingnya berupa daerah bening
(Kusumawardhani 2014, hlm.11).

II.1.4.2 Metode Dilusi


Metode dilusi dapat dilakukan pada media padat maupun cair (Prayoga
2013, hlm.9).
1. Metode Dilusi Cair
Metode dilusi cair dapat menentukan Kadar Hambat Minimal (KHM) dan
Kadar Bunuh Maksimal (KBM). Metode ini dilakukan dengan cara membuat satu
seri tabung pengenceran bahan uji kemudian dicampur dengan medium cair dan
ditambahkan dengan jamur uji. Larutan uji tersebut diinkibasi pada suhu 37°C
selama 24-48 jam. Selanjutnya dilihat kekeruhan pada tabung secara kasat mata.
Tabung larutan uji yang terlihat jernih dengan konsentrasi terendah menunjukan
tidak adanya pertumbuhan jamur uji, ditetapkan sebagai KHM. Selanjutnya semua
tabung yang terlihat jernih dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan
bahan maupun jamur uji dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24-48 jam. Media
cair yang tetap terlihat jernih ditetapkan sebagai KBM (Prayoga 2013, hlm.9).

2. Metode padat
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media
padat (Prayoga 2013, hlm.9).

xvi
3

II.1.5 Metode Pengukuran


Efektivitas antifungi ekstrak seledri dapat dilihat dengan adanya zona hambat
yang berupa zona bening di sekeliling kertas cakram yang menunjukkan hambatan
dan kemudian diukur menggunakan jangka sorong (Jawetz 2013, hlm 680).
Kriteria kekuatan daya antifungi diukur berdasarkan tabel berikut :

Tabel 1 Kriteria Kekuatan Daya Antifungi


No Diameter Zona Hambat Daya Antifungi
(mm)
1 <5 Lemah
2 5-10 Sedang
3 10-20 Kuat
4 >20 Sangat Kuat

Sumber : Davis and Stout 2009, hlm.667

xvi
3

II.2 Kerangka Teori

Ekstrak Seledri

Flavonoid (Apigenin) Minyak atsiri Saponin

Membentuk kompleks Disrupsi membran dan


dengan protein dinding sel jamur
membran sel

Denaturasi protein

Perubahan permeabilitas
membran sel

Rusaknya membran plasma


Pertukaran zat terganggu

Hilangnya kandungan isi sel Penurunan fungsi metabolisme

Hambat pertumbuhan Trichophyton rubrum

Bagan 1 Kerangka Teori


Sumber : Jawetz , 2013 hlm.679

xvi
3

II.3. Kerangka Konsep


II.3. Kerangka Konsep

Variable Independen Variabel Dependen

Pemberian larutan ekstrak Diameter daerah hambat


seledri dengan konsentrasi (DDH) pertumbuhan
20%, 40%, 60%, 80%, 100% Trichophyton rubrum di
sekeliling kertas cakram

1. Kepekaan jamur (0,5


McFarland)

2. Waktu pertumbuhan

Variabel Perancu

II.4 Hipotesis Penelitian


H0 : Tidak terdapat perbedaan rata-rata aktivitas antifungi antar konsentrasi
ekstrak seledri terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum secara in vitro dengan
metode difusi
H1 : Terdapat perbedaan rata-rata aktivitas antifungi antar konsentrasi ekstrak
seledri terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum secara in vitro dengan metode
difusi

xvi
3

II.5 Penelitian Terkait


Tabel 2 Penelitian Terkait

No Nama dan Judul Variabel, Persamaan, dan Hasil Penelitian


Tahun Perbedaan
Penelitian
1 Ilyas 2015 Uji Ekstrak - Variabel independen : Hasil penelitian
Seledri Dalam Ekstrak seledri didapatkan ekstrak
Menghambat - Variabel dependen : seledri 20 %
Pertumbuhan DDH pertumbuhan Candida mempunyai daya
Candida sp sp hambat minimal
- Persamaan : Penelitian ini terhadap pertumbuhan
menggunakan ekstrak Candida
seledri Albicans.
- Perbedaan : Penelitian ini
menggunakan Candida sp
sebagai jamur uji coba
2 Galuh td Efektivitas - Variabel independen : Hasil penelitian
2010 Ekstrak Seledri Ekstrak Seledri mengenai ekstrak
Terhadap - Variabel Dependen : etanol daun seledri 20
Pertumbuhan DDH pertumbuhan %, 40% dan 80%
Malassezia sp Malassezia sp mempunyai
- Persamaan : Penelitian ini daya antijamur yang
menggunakan ekstrak efektif terhadap
seledri Malassezia sp.
- Perbedaan : Penelitian ini
menggunakan Malassezia
sp sebagai jamur uji coba
3 Ardelia, Aktivitas - Variabel independen : Air perasan daun
2015 Antijamur Air Tanaman seledri seledri mempunyai
Perasan Daun - Variabel dependen : efek antijamur
Seledri DDH pertumbuhan Candida terhadap C. albicans

xvi
3

Terhadap sp secara in vitro dan


Candida sp - Persamaan : Penelitian ini konsentrasi
menggunakan ekstrak air perasan daun
seledri seledri 50%
- Perbedaan : Penelitian ini membentuk diameter
menggunakan Candida sp daerah hambat yang
sebagai jamur uji coba dan terbesar terhadap
menggunakan air perasan Candida sp.
seledri secara in vitro

xvi
3

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Desain Penelitian


Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian studi eksperimental
laboratoris dengan desain post test only control group. Dimana ada dua kelompok
yang dipilih secara random. Kelompok pertama diberi perlakuan oleh peneliti
kemudian dilakukan pengukuran sedangkan kelompok kedua digunakan sebagai
kelompok pengontrol yang tidak diberi perlakuan tetapi hanya dilakukan
pengukuran saja. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan perlakuan dengan
menguji aktivitas antifungi ekstrak seledri terhadap jamur Trichophyton rubrum
kepada satu atau lebih kelompok eksperimen, kemudian hasil dibandingkan
dengan kelompok kontrol pembanding.

III.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta pada bulan Maret 2019.

III.3 Subjek Penelitian


Biakan jamur Trichophyton rubrum pada media SDA (Sabouround
Dextrose Agar) yang tidak terkontaminasi oleh mikroorganisme lain.

III.4 Bahan Uji Penelitian


Ekstrak seledri yang didapatkan dari BALITTRO (Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat). Proses pembuatan menggunakan Teknik
maserasi dengan pelarut etanol 70%.

III.5 Jenis Data


Data primer  pertumbuhan Trichophyton rubrum.

xvi
3

III.6 Besar Sampel


Jumlah sampel pada penelitian dapat berdasarkan jumlah perlakuan
yang dilakukan. Setiap perlakukan menggunakan pengulangan dengan
rumus Federer.
Rumus Federer = (n-1) (t-1) ≥ 15
Keterangan:
n : Besar sampel
t : Jumlah kelompok
Pada penelitian ini kelompok perlakuan yang digunakan terdiri dari kelompok
kontrol negatif (etanol 70%), kelompok kontrol positif (ketokonazol), dan
kelompok yang diberikan ekstrak seledri dengan pelarut etanol (20%, 40%, 60%,
80%, 100%) sehingga didapatkan t = 7, maka didapatkan jumlah sampel yang
dibutuhkan :
(n-1) (7-1) ≥ 15
(n-1) 6 ≥ 15
6n - 6 ≥ 15
6n ≥9
n ≥ 3,5
Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus Federer, didapatkan jumlah sampel
yang digunakan untuk tiap kelompok adalah 4 sediaan SDA (Sabouroud Dextrose
Agar) yang berisi biakan jamur T. rubrum didiamkan dalam suhu kamar 1-3 hari.
Kemudian diukur zona hambatnya menggunakan jangka sorong.

III.7 Variabel Penelitian


1. Variabel bebas (independen)
Ekstrak seledri dengan konsentrasi (20%, 40%, 60%, 80%, 100%).
2. Variabel tergantung (dependen)
Diameter daerah hambat (DDH) pertumbuhan Trichophyton
rubrum yang terbentuk di sekeliling kertas cakram dalam
millimeter.
3. Variabel pengganggu

xvi
3

Suhu inkubasi 37oC, waktu inkubasi 48 jam, kepekatan jamur 0,5


Mc Farland, dan pH medium = 4,5 - 6,5.
III.8 Definisi Operasional
Adapun definisi operasional yang dijadikan didalam penelitian
tercantum pada tabel dibawah ini:
Tabel 3. Definisi operasional
No Variabel Definisi Alat Hasil ukur Skala
operasional ukur ukur
1 Daerah Daerah sekeliling Jangka Diameter daerah Rasio
hambat T. kertas cakram sorong hambat (DDH)
rubrum yang tidak pertumbuhan T.
ditemukan adanya rubrum dalam
pertumbuhan T. milimeter (mm)
rubrum
2 Konsentrasi Banyaknya Spuit Kelompok Rasio
ekstrak milimeter ekstrak konsentrasi ekstrak
seledri seledri yang seledri yang diuji,
(Apium terlarut dalam dikelompokkan
graviolens) etanol menjadi :
1 = 20%
2 = 40%
3 = 60%
4 = 80%
5 = 100%
3 Larutan Larutan kontrol Spuit Jumlah larutan Rasio
kontrol yang berisi sebanyak 10 ml
positif ketokonazol
4 Larutan Larutan kontrol Spuit Jumlah larutan Rasio
kontrol yang berisi etanol sebanyak 10 ml
negatif 70%

xvi
3

III.9 Instrumen Penelitian


III.9.1 Alat
1. Batang Pengaduk
2. Cawan Petri
3. Kertas cakram berukuran 5 mm 20 buah
4. Pinset
5. 4 buah Bekker glass 50 ml
6. Spuit 5 ml/10 ml
7. Autoclave
8. Handscoon
9. Lidi Kapas Steril
10. Bunsen burner
11. Tabung Tutup Ulir
12. Rak Tabung Reaksi
13. Alumunium foil
14. Jangka Sorong
III.9.2 Bahan
1. Ekstrak seledri (Apium graviolens) dengan pelarut etanol
2. Suspensi Trichophyton rubrum yang telah dibiakkan di media
SDA (Sabouround Dextrose Agar) selama 24 jam.
3. Media SDA (Sabouround Dextrose Agar) 100 ml yang
dimasukkan dalam 5 cawan petri
4. Aquabides steril 50 ml
5. NaCl steril 10 ml
6. BaCl2 1%
7. H2SO4 1%
8. Sorben Silica gel (SiO2)
9. Ketokonazol 2% 10 ml
10. Etanol 70% 10 ml

xvi
3

III.10 Prosedur Penelitian


1. Cara Pengekstraksian Seledri

Simplisia dijadikan serbuk

Serbuk simplisia + pelarut etanol

Diaduk dengan stirer  3 jam

Diamkan endapan selama 24 jam

1 Filtrat Ampas

Diamkan selama
24 jam

Ditambah pelarut

Aduk 1 jam

Saring dengan kertas


saring

2 Filtrat Ampas

Bagan 2. Ekstraksi Seledri

2. Sterilisasi Alat Uji Antifungi


Alat-alat yang akan digunakan disterilisasikan terlebih dahulu sebelum
penelitian menggunakan autoclave suhu 121oC dan tekanan 15 Psi selama

xvi
3

15-20 menit dan sebelum digunakan ditunggu dahulu sampai mencapai


suhu kamar dan kering.
3. Pembuatan Larutan Pereaksi Uji Antifungi
Suspensi standar 0,5 Mc. Farland
Sebanyak 0,05 ml BaCl2 1% dicampurkan dengan 9,95 ml H2SO4
1% didalam tabung reaksi setelah itu dihomogenkan dengan suspensi 0,5
Mc. Farland (standar kekeruhan jamur = 108 CFU/ml).
*CFU: Colony Forming Unit
Cara pembuatan:
Campurkan kedua bahan larutan tersebut kemudian dikocok
sampai homogen. Apabila kekeruhan jamur uji sama dengan suspensi
standar, menandakan konsentrasi suspensi jamur adalah 108 CFU/ml.
4. Penyediaan Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang diteliti adalah ekstrak seledri yang diperoleh dari
BALITTRO (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah).
5. Identifikasi dan Pembuatan Suspensi Jamur Trichophyton rubrum
Dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.
6. Pengenceran Jamur Trichophyton rubrum
Disediakan 10 ml NaCl 0,9% steril masing-masing dalam tabung reaksi.
Disuspensikan jamur T. rubrum dengan menggunakan jarum ose dari
biakan jamur pada media SDA (Sabouround Dextrose Agar) ke dalam
NaCl 0,9% steril sampai kekeruhannya sama dengan suspensi standar 0,5
Mc. Farland, menandakan konsentrasi jamur adalah 108 CFU/ml.
7. Pembuatan Variasi Konsentrasi Larutan Ekstrak Seledri dengan pelarut
Aquades Steril.
a. Ekstrak seledri dibagi dalam 5 tabung, masing-masing A= 2 ml, B= 4
ml, C= 6 ml, D= 8 ml, E= 10 ml. Ekstrak seledri diambil sebanyak 30
ml dari tabung.
b. Tambahkan aquades steril dalam tabung masing-masing A= 8 ml, B= 6
ml, C=4 ml, D= 2 ml kemudian larutan dihomogenkan dengan
menggunakan vortex selama  5 menit.

xvi
3

c. Didapatkan larutan ekstrak seledri dengan pelarut aquabides steril


sebagai berikut :
Tabung A  Larutan ekstrak seledri dengan aquabides steril
konsentrasi 20%
Tabung B  Larutan ekstrak seledri dengan aquabides steril
konsentrasi 40%
Tabung C  Larutan ekstrak seledri dengan aquabides steril
konsentrasi 60%
Tabung D  Larutan ekstrak seledri dengan aquabides steril
konsentrasi 80%
Tabung E  Larutan ekstrak seledri 100%
8. Penyiapan Larutan Ekstrak Seledri serta kontrol.
a. Disiapkan 7 buah tabung reaksi (A, B, C, D, E, kontrol negatif dan
kontrol positif )
b. Tabung A berisi larutan ekstrak seledri dengan pelarut aquabides steril
konsentrasi 20%.
c. Tabung B berisi larutan ekstrak seledri dengan pelarut aquabides steril
konsentrasi 40%.
d. Tabung C berisi larutan ekstrak seledri dengan pelarut aquabides steril
konsentrasi 60%.
e. Tabung D berisi larutan ekstrak seledri dengan pelarut aquabides steril
konsentrasi 80%.
f. Tabung E berisi larutan ekstrak seledri konsentrasi 100%.
g. Tabung kontrol negatif berisi etanol 70% 10 ml.
h. Tabung kontrol positif berisi ketokonazol 2% 10 ml.
9. Uji Aktivitas Antijamur Ekstrak Seledri Terhadap Trichophyton rubrum
Secara In Vitro dengan Metode Difusi Cakram
a. Persiapan alat yang telah disterilisasi, ekstrak seledri dengan berbagai
konsentrasi yang telah ditentukan, larutan kontrol positif dan kontrol
negatif, media SDA dan suspense T. rubrum.
b. Kertas cakram dengan diameter 5 mm yang telah disterilisasi
dimasukkan ke dalam seluruh beaker glass yang berisi larutan ekstrak

xvi
3

seledri, larutan kontrol positif dan larutan kontrol negatif dengan


menggunakan pinset steril. Rendam selama beberapa menit hingga
larutan tersebut terhisap sempurna oleh kertas cakram.
c. Ambil suspense jamur T. rubrum dalam NaCl steril 0,9% dengan
kepekatan sesuai standar Mc Farland yang telah dibuat sebelumnya,
dengan menggunakan cotton bud.
d. Sebarkan suspense T. rubrum di permukaan media SDA kemudian
diratakan.
e. Kertas cakram dalam larutan ekstrak seledri, larutan kontrol positif,
dan larutan kontrol negatif diambil dengan menggunakan pinset
kemudian disusun pada cawan petri yang berisi SDA yang sebelumnya
ditanami T. rubrum. Dalam satu cawan petri terdapat variasi
konsentrasi ekstrak seledri 20%, 40%, 60%, 80%, 100%.
f. Letakkan semua cawan petri dalam suhu ruang selama 48 jam.
g. 48 jam kemudian, lakukan pengamatan pada cawan petri, apakah
terbentuk daerah jernih di sekeliling kertas cakram yang merupakan
daerah hambat pertumbuhan T. rubrum.
h. Lakukan pengukuran DDH yang terbentuk di sekeliling kertas cakram
dengan menggunakan jangka sorong, daerah hambat diukur dari tepi
ke tepi melewati kertas cakram
i. Ulangi percobaan sebanyak tiga kali.

III.11 Teknik Analisa Data


Dari kelompok perlakuan akan didapatkan zona bening yang merupakan
daerah hambat ekstrak seledri terhadap jamur Trichophyton rubrum yang akan
dianalisis secara statistik dengan uji One Way ANOVA. Syarat uji ini adalah data
harus terdistribusi normal dan varians data homogen. Langkah pertama yang
dilakukan adalah melakukan uji normalitas dengan dengan menggunakan
Saphiro-Wilk karena sampel ≤50 dengan nilai signifikansi >0,05 untuk nilai data
terdistribusi normal. Jika nilai kemaknaan (p) <0,05 maka data tidak terdistribusi
normal dan harus dilakukan uji alternatif yaitu uji Kruskal-Wallis. Apabila data
sudah terdistribusi normal, lakukan uji varians. Apabila nilai p > 0,05 maka data

xvi
3

tersebut memiliki varians data yang homogen, sedangkan jika nilai p < 0,05 maka
varians data tidak homogen alternatifnya dipilih uji Kruskal-Wallis. Jika pada uji
Annova atau Kruskal-Wallis sudah didapatkan p < 0,05 maka dilakukan analisis
Post Hoc untuk mengetahui perbedaan setiap kelompok (Dahlan 2016, hlm 110).

Persiapan Alat

Sterilisasi Alat

Pembuatan larutan kontrol negatif, kontrol


positif dan larutan ekstrak seledri (20%, 40%,
60%, 80%, 100%)

Perendaman kertas cakram 5 mm


sebanyak 5 buah di masing-masing
larutan untuk 4 kali pengulangan

Pembuatan suspense standar 0,5 Mc.


farland

Sebarkan jamur secara merata di


permukaan cawan petri

Letakkan kertas cakram di atas permukaan


cawan petri yang telah diolesi jamur

Tutupi cawan petri dengan alumunium foil

Diamkan pada suhu kamar selama 48 jam

Periksa apakah ada zona bening

Ukur zona bening dengan jangka sorong

Bagan 3. Prosedur Penelitian

xvi
3

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. Hasil Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui uji efektivitas antifungi dengan
menggunakan ekstrak seledri terhadap Trichophyton rubrum yang dilakukan
secara in vitro dengan metode difusi cakram menggunakan media SDA (Saboroud
Dextrose Agar).Efektivitas antifungi terlihat dengan terbentuknya zona hambatan
berupa zona bening di daerah sekitar kertas cakram, zona hambatan kemudian
diukur dengan menggunakan jangka sorong.

IV.2. Efektivitas Antifungi Ekstrak Seledri terhadap Trichophyton rubrum


Tabel 2 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat yang Dihasilkan oleh
Ekstrak Seledri terhadap Trichophyton rubrum
Percobaan Kontrol Kontrol 20% 40% 60% 80% 100%
+ -
1 10,13 0 2,8 2,8 3,8 3,9 5,5
2 10,17 0 2,2 3,4 3,5 3,5 3,9
3 9,28 0 2,3 2,8 3,2 3,2 4,4
4 9,68 0 1,9 2,4 2,6 3,1 4,9
Mean 9,8 0 2.3 3,1 3,3 3,4 4,6

Zona hambat yang dihasilkan menunjukkan bahwa ekstrak seledri


memiliki efektivitas terhadap Trichophyton rubrum.Tabel 4.1 menunjukkan
bahwa kelompok kontrol negatif tidak memiliki zona hambat yang menunjukkan
bahwa kelompok kontrol tersebut tidak memberikan pengaruh dalam menghambat
pertumbuhan Trichophyton rubrum.Sementara kelompok ekstrak seledri dengan
konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, 100% menghasilkan zona hambat yang berarti
menunjukkan bahwa ekstrak seledri dengan konsentrasi tersebut memiliki
efektivitas untuk menghambat pertumbuhan Trichophyton rubrum.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa zona hambat sudah mulai terbentuk
pada ekstrak seledri dengan konsentrasi 20%. Zona tersebut merupakan daaerah

xvi
3

bening yang terbentuk disekitar kertas cakram yang merupakan hasil dari
metabolit jamur.
Berdasarkan pengujian efektivitas antifungi ekstrak seledri terhadap
Trichophyton rubrum diperoleh hasil sebagai berikut : kelompok konsentrasi 20%
memiliki rata-rata zona hambat sebesar 2,3 mm, dengan nilai minimum zona
hambat sebesar 1,9 mm yaitu pada kelompok uji 4 dan nilai maksimum zona
hambat sebesar 2,8 mm pada kelompok uji 3. Pada kelompok konsentrasi 40%
memiliki rata-rata zona hambat sebesar 3,1 mm, dengan nilai minimum zona
hambat sebesar 2,4 mm, yaitu pada kelompok uji 1 dan nilai maksimum zona
hambat sebesar 3,8 mm, yaitu pada kelompok uji 2.
Pada kelompok konsentrasi 60% memiliki rata-rata zona hambat sebesar
3,3mm, dengan nilai minimum zona hambat sebesar 2,6 mm, yaitu pada
kelompok uji 4 dan nilai maksimum zona hambat sebesar 3,4 mm pada kelompok
uji 2, sedangkan pada konsetrasi 80% memiliki rata-rata zona hambat sebesar 3,4
mm, dengan nilai minimum zona hambat sebesar 3,1 mm, yaitu pada kelompok
uji 3 dan nilai maksimum zona hambat sebesar 3,5 mm, yaitu pada kelompok uji
1. Pada konsentrasi 100% memiliki rata-rata zona hambat sebesar 4,6 mm,
dengan nilai minimum zona hambat sebesar 2,4 mm, yaitu pada kelompok uji 4
dan dinilai maksimum zona hambat sebesar 5,5 mm yaitu pada kelompok uji 1.
Pada ekstrak seledri dengan konsentrasi 100% memiliki daya hambat
terbesar dibandingkan dengan konsntrasi-konsentrasi yang lain. Sedangkan
ekstrak daya hambat terkecil adalah kelompok uji konsentrasi 20%. Pada
pengenceran ekstrak seledri dengan aquades dari konsentrasi 100%, 80%, 60%,
40%, dan 20% terjadi pengurangan zat aktif yang terlarut dalam masing-masing
konsentrasi tersebut, oleh karena itu efektivitas antifungi semakin rendah dengan
semakin kecilnya konsentrasi ekstrak yang diuji.

IV.2.1. Analisis Data


Setelah dilakukan penelitian dan diperoleh hasil dari data tersebut,
selanjutnya dilakukan uji statistik pada hasil data tersebut. Uji statistik dilakukan
dengan menggunakan Uji One-Way ANOVA dengan syarat data harus

xvi
3

berdistribusi normal dan memiliki varians data yang sama. Untuk itu terlebih
dahulu dilakukan Uji Normalitas dan Uji Varians pada hasil data tersebut.

IV.2.2. Analisis Data Ekstrak Seledri terhadap Trichophyton rubrum


Data hasil penelitian dilakukan uji normalitas sebagai syarat untuk
melakukan Uji One-Way ANOVA.Hipotesis dalam melakukan Uji Normalitas
adalah sebagai berikut
H0 : Data zona hambatan oleh ekstrak seledri berdistribusi normal
H1 : Data zona hambatan oleh ekstrak seledri tidak berdistribusi normal
Keputusan terhadap hipotesis tersebut adalah sebagai berikut :
Terima H0 jika hasil signifikansi lebih besar dari 0,05 ( >0,05), sehingga bila
signifikasi kurang dari 0,05 ( <0,05 ) maka tolak H0 dan terima H1.

Tabel 3 Uji Normalitas Shapiro-Wilk pada Zona Hambat Ekstrak Seledri


Konsentrasi Uji Shapiro-Wilk (Sig.)
Kontrol positif 0,409
20% 0,783
40% 0,728
60% 0,538
80% 0,528
100% 0,786

Dapat dilihat pada hasil Uji Normalitas pada tabel 4.2 bahwa pada statistik
Uji Normalitas Shapiro-Wilk didapatkan varians data pada setiap konsentrasi
memiliki signifikansi ( p > 0,05 ), hasil ini menunjukkan bahwa distribusi kelima
data tersebut adalah normal.
Sebagai syarat kedua untuk melakukan Uji One-Way ANOVA, maka
dilakukan Uji Varians untuk mengetahui varians data tersebut sama atau tidak.
Hipotesis dalam melakukan Uji Varians adalah sebagai berikut :
H0 : Data zona hambat oleh ekstrak seledri memiliki varians yang sama.
H1 : Data zona hambat oleh ekstrak seledri memiliki varians yang tidak sama.
Keputusan terhadap hipotesis tersebut adalah sebagai berikut :

xvi
3

Terima H0 jika hasil signifikansi lebih besar dari 0,05 ( >0,05 ), sehingga bila
signifikansi kurang dari 0,05 ( <0,05 ) maka tolak H0 dan terima H1.

Tabel 4 Uji Varians Zona Hambat Ekstrak Seledri


Uji Varians Ekstrak Seledri
Asymp. Sig. 0,70

Dari hasil Uji Varians Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa nilai signifikansi yang
diperoleh adalah 0,70, dimana nilai signifikansi tersebut lebih besar dari 0,05 (
>0,05 ) sehingga dari hasil Uji Varians ini disimpulkan terima H0 yang berarti
varians antara kelompok data yang dibandingkan adalah sama.
Data ekstrak seledri telah memenuhisyarat Uji One-Way ANOVA.Untuk
membandingkan kelompok perlakuan dengan kelompok lainnya, dilakukan Uji
One-Way ANOVAdan kemudian dianalisis dengan Post Hoc.
Hipotesis dalam melakukan Uji One-Way ANOVA adalah sebagai berikut :
H0 : Tidak terdapat perbedaan hasil perlakuan antara ekstrak seledri terhadap
Trichophyton rubrum pada kelompok konsentrasi.
H1 : Terdapat perbedaan hasil perlakuan antara ekstrak seledri terhadap
Trichophyton rubrum pada kelompok konsentrasi.
Keputusan terhadap hipotesis tersebut adalah sebagai berikut : Terima H0
jika hasil signifikasi lebih besar dari 0,05 ( >0,05 ), sehingga bila signifikansi
kurang dari 0,05 ( <0,05 ) maka tolak H0 dan terima H1.

Tabel 5 Uji One-Way ANOVA Kelompok Perlakuan Ekstrak Seledri


Uji One-Way Anova Ekstrak Seledri
Asymp. Sig. 0,000

Dari hasil Uji One-Way ANOVA pada tabel 4.4 dapat dilihat bahwa nilai
signifikansi yang diperoleh adalah 0,000, dimana nilai signifikansi tersebut lebih
kecil atau kurang dari 0,05 ( <0,05 ) sehingga hasil dari Uji Varians ini
disimpulkan tolak H0 dan terima H1 yang berarti terdapat perbedaan hasil

xvi
3

perlakuan antara ekstrak seledri terhadap Trichophyton rubrum pada kelompok


konsentrasi.
Untuk mengetahui kelompok perlakuan yang memiliki perbedaan
bermakna tersebut, maka dilakukan analisis Post Hoc.

Tabel 6 Uji Analisis Data Post Hoc Ekstrak Seledri terhadap Trichophyton
rubrum
Ekstrak seledri Ekstrak seledri Sig. Rata-rata beda
(a) (b) (a-b)
Kontrol negatif Kontrol positif 0,000 -9,83750
20% 0,000 -2,30000
40% 0,000 -3.00000
60% 0,000 -2,77500
80% 0,000 -3.05000
100% 0,000 -4,30000
Kontrol positif Kontrol negatif 0,000 9,83750
20% 0,000 7,53750
40% 0,000 6,83750
60% 0,000 7,06250
80% 0,000 6,78750
100% 0,000 5,53750
20% Kontrol negatif 0,000 2,30000
Kontrol positif 0,000 -7,53750
40% 1,000 -0,70000
60% 1,000 -0,47500
80% 0,889 -0,75000
100% 0,000 -2,00000
40% Kontrol negatif 0,000 3.00000
Kontrol positif 0,000 -6,83750
20% 1,000 0,70000
60% 1,000 0,22500
80% 1,000 -0,05000

xvi
3

100% 0,025 -1,30000


60% Kontrol negatif 0,000 2,77500
Kontrol positif 0,000 -7,06250
20% 1,000 0,47500
40% 1,000 -0,22500
80% 1,000 -0,27500
100% 0,035 1,52500
80% Kontrol negatif 0,000 3,05000
Kontrol positif 0,000 -6,78750
20% 0,889 0,75000
40% 1,000 0,05000
60% 1,000 0,27500
100% 0,035 -1,25000
100% Kontrol negatif 0,000 4,30000
Kontrol positif 0,000 -5,53750
20% 0,000 2,00000
40% 0,025 1,30000
60% 0,005 1,52500
80% 0,035 1,25000

Dari tabel 4.5 dapat dilihat bahwa hasil dari analisis Post Hoc menunjukkan
terdapat beberapa kelompok ekstrak dengan nilai p > 0,005, sehingga
menunjukkan tidak terdapat perbedaan hasil perlakuan antara ekstrak seledri
terhadap Trichophyton rubrum pada kelompok konsentrasi. Kelompok konsentrasi
tersebut yaitu :
Ekstrak seledri 20% dengan 40% didapatkan p = 1,000
Ekstrak seledri 40% dengan 60% didapatkan p = 1,000
Ekstrak seledri 60% dengan 80% didapatkan p = 1,000
Untuk kelompok ekstrak lainnya menghasilkan nilai p < 0,005, sehingga
menunjukkan terdapat perbedaan hasil perlakuan antara ekstrak seledri terhadap
Trichophyton rubrum pada kelompok konsentrasi. Kelompok konsentrasi tersebut
yaitu :

xvi
3

Ekstrak seledri kontrol ( - ) dengan 20% didapatkan p =0,000


Ekstrak seledri kontrol ( - ) dengan 40% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol ( - ) dengan 60% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol ( - ) dengan 80% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol ( - ) dengan 100% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol ( + ) dengan 20% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol (+ ) dengan 40% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol (+ ) dengan 60% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol (+ ) dengan 80% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol (+ ) dengan 100% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri 20% dengan 40% didapatkan p = 1,000
Ekstrak seledri 20% dengan 60% didapatkan p = 1,000
Ekstrak seledri 20% dengan 80% didapatkan p = 0,889
Ekstrak seledri 20% dengan 100% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri 40% dengan 80% didapatkan p = 1,000
Ekstrak seledri 40% dengan 100% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri 60% dengan 100% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri 80% dengan 100% didapatkan p = 0,035

IV.3. Pembahasan
Hasil penelitian yang dilakukan tentang efektivitas ekstrak seledri terhadap
pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum dengan konsentrasi 20%, 40%, 60%,
80% dan 100% yang dilakukan dengan pengulangan sebanyak empat kali terdapat
daya hambat pertumbuhan Trichophyton rubrum pada konsentrasi 20% yaitu 2,3
mm dengan kriteria kekuatan daya antifungi lemah, konsentrasi 20% daya hambat
3,1 mm dengan kriteria kekuatan daya antifungi lemah, konsentrasi 40% daya
hambat 3,5 mm dengan kriteria kekuatan daya antifungi lemah, dan konsentrasi
tertinggi 100% daya hambat 5,5 mm dengan kriteria kekuatan daya antifungi
sedang. Hasil tersebut menunjukkan bahwa angka daya hambat ekstrak seledri
terhadap jamur Trichophyton rubrum yang diberi konsentrasi ekstrak lebih
rendah, efeknya sama dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan ekstrak
50%, 60%, 70% dengan memperhatikan variabel perancu terkendali.

xvi
3

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rachmawati (2014) potensi ekstrak


seledri akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi. Semakin
tinggi konsentrasi ekstrak yang diuji, semakin banyak zat aktif yang terkandung
didalamnya sehingga efektivitas dalam menghambat pertumbuhan Trichophyton
rubrum akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah konsentrasi ekstrak
maka semakin sedikit kandungan zat aktifnya sehingga efektivitas antifungi akan
berkurang.
Konsentrasi yang efektif dapat diketahui pada tabel menunjukkan bahwa
konsentrasi terendah dari ekstrak seledri (Apium graviolens) memiliki daya
antifungi lemah (< 5 mm ) dan konsentrasi tertinggi 100% memiliki daya
antifungi sedang (5 - 10 mm) dalam waktu pengamatan 48 jam setelah paparan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang nyata antara konsentrasi
ekstrak seledri dengan probabilitas daya hambat pertumbuhan Trichophyton
rubrum. Adanya efektivitas daya hambat ekstrak seledri terhadap pertumbuhan
jamur didukung oleh penelitian Chandra (2015, hlm.20) menyatakan bahwa
ekstrak etanol seledri memiliki efek antifungi terhadap jamur Candida albicans
dengan daya hambat pada konsentrasi.
Daya hambat pertumbuhan Trichophyton rubrum dengan ketokonazole
memiliki kriteria antifungi kuat ( 10 – 20 mm ) dalam waktu 48 jam, sedangkan
dengan ekstrak seledri (Apium graviolens) konsentrasi 100% didapatkan kriteria
daya antifungi sedang ( 5 – 10 mm ). Dari hasil tersebut ekstrak seledri juga
efektif menghambat pertumbuhan Trichophyton rubrum walaupun konsentrasi
yang dibutuhkan lebih besar dan daya hambat yang dihasilkan lebih kecil dari
ketokonazole, namun ekstrak seledri (Apium graviolens) dapat dipertimbangkan
sebagai alternatif dari antifungi sintetis (ketokonazole) karena ekstrak tersebut
berbahan dasar tanaman yang ramah lingkungan. Hal tersebut dikarenakan ekstrak
seledri cara penggunaannya mudah serta mudah dilarutkan dengan pelarut, mudah
didapat, biaya yang dibutuhkan terjangkau, dan memiliki daya hambat jamur
sedang, dan relatif aman bagi tubuh.
Pada tabel dapat diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak
seledri (Apium graviolens) semakin jelas terlihat peningkatan daya hambat
pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum. Adanya peningkatan daya hambat

xvi
3

jamur setelah pemberian ekstrak seledri didukung oleh penelitian Sukandar (2016,
hlm 7) menyatakan bahwa terdapat peningkatan daya hambat jamur Pityrosporum
ovale setelah pemberian ekstrak etanol seledri.
Dari hasil di atas, dapat disimpulkan ekstrak seledri ini efektif, karena
dapat menghambat pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum sebesar 2,8 mm –
5,5 mm.
Berdasarkan hasil uji statistik One-Way ANOVA terdapat perbedaan
efektivitas ekstrak seledri terhadap pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum.
Untuk mengetahui kelompok konsentrasi yang memiliki perbedaan bermakna
maka dilakukan analisis Post Hoc dengan uji Bonferroni.
Berdasarkan hasil uji statistik Bonferroni didapatkan perbedaan bermakna
antara setiap konsentrasi dan setiap konsentrasi terhadap kontrol negatif dan
kontrol positif. Daya hambat pertumbuhan Trichophyton rubrum mulai terjadi
pada konsentrasi 20% dengan kriteria daya antifungi lemah, sementara daya
hambat tertinggi terdapat pada konsentrasi 100% dengan kriteria daya antifungi
sedang ( 5 – 10 mm ), maka dapat disimpulkan bahwa daya hambat pertumbuhan
jamur Trichophyton rubrum berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi.
Menurut Chandra (2015 hlm. 30) kenaikan suatu konsentrasi ekstrak juga diikuti
dengan besar daya hambat pertumbuhan jamur.
Penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian yang memiliki kesamaan
tujuan penelitian yaitu mengenai penghambatan pertumbuhan jamur dan
kesamaan penggunaan bahan penelitian yaitu seledri. Salah satunya penelitian Ika
Rachmawati (2014) mengenai efektivitas ekstrak seledri terhadap pertumbuhan
Candida albicans menunjukkan bahwa ekstrak seledri dimungkinkan
mengandung senyawa yang mempunyai aktivitas terhadap anti jamur. Dalam
penelitian tersebut konsentrasi yang diujikan yaitu konsentrasi 50%, 60%, 70%,
80% dan 100% dan didapatkan hasil bahwa tidak terdapat pertumbuhan Candida
albicans pada setiap konsentrasi.
Efek antifungi pada ekstrak seledri (Apium graviolens) disebabkan karena
adanya senyawa kimia dalam seledri. Adanya perbedaan dari konsentrasi ekstrak
seledri turut mempengaruhi dari senyawa-senyawa yang terkandung dalam

xvi
3

ekstrak. Senyawa kimia tersebut antara lain golongan senyawa flavonoid, saponin
dan minyak atsiri (Rachmawati, 2014).

IV.4. Keterbatasan Penelitian


Keterbatasan dalam penelitian ini adalah :
a. Pada penelitian ini hanya menggunakan metode difusi secara in vitro
sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai daya hambat
antijamur ekstrak seledri (Apium graviolens) dengan metode uji antijamur
yang berbeda.
b. Pada penelitian ini metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi
dengan menggunakan pelarut etanol 70%. Kelemahan penggunaan pelarut
etanol adalah etanol larut dalam air, dan juga melarutkan komponen lain
seperti karbohidrat dan resin. Larutnya komponen ini mengakibatkan
berkurangnya tingkat kemurnian zat aktif yang terkandung dalam seledri
(Apium graviolens).

xvi
3

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan terhadap hasil penelitian yang
diperoleh, dapat diambil keputusan sebagai berikut :
1. Esktrak seledri menunjukkan aktivitas antifungi terhadap pertumbuhan
Trichophyton rubrum secara in vitro dengan metode difusi.
2. Ekstrak seledri menunjukkan kadar hambat minimal (KHM) terhadap
jamur Trichophyton rubrum pada konsentrasi 20%.
3. Ekstrak seledri menunjukkan kadar hambat maksimal terhadap jamur
Trichophyton rubrum pada konsentrasi 100% dengan daya hambat
sebesar 5,5 mm.

V.2. Saran
Berdasarkan penelitian ini dapat disarankan bahwa :
1. Dapat dilakukan pengujian aktivitas antifungi ekstrak seledri terhadap
jenis jamur lain dengan metode yang lain.
2. Dapat dilakukan uji aktivitas antifungi ekstrak seledri terhadap
Trichophyton rubrum secara in vivo.
3. Penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk masyarakat pada umumnya
dan tenaga kesehatan pada khususnya.
4. Mahasiswa diharapkan dapat melakukan penelitian eksperimental
lainnya

xvi
3

DAFTAR PUSTAKA

Ardelia, Patra. 2010. Aktivitas Antijamur Air Perasan Daun Seledri (Apium
graveolens L.) Terhadap Candida albicans Secara In Vitro. Riau:
Universitas Riau, Fakultas Kedoteran, Program Studi Sarjana Kedokteran.

Awaliya, Habibatul. 2018. Pengaruh Ekstrak Umbi Bawang Batak (Allium


chinense G.Don) Terhadap Penghambatan Pertumbuhan Jamur
Trichophyton rubrum. Medan : Universitas Sumatera Utara, Fakultas
Kedokteran, Program Studi Sarjana Kedokteran.

Behzadi, Payam. 2014. Dermatophyte fungi: Infections, Diagnosis and Treatment.


Iran : Islamic Azad University, Shahr-e-Qods Branch, Faculty of Basic
Sciences, Microbiology department.

Bhosle, Shekhar. 2011. Ergosterol content of Several Wood Decaying Fungi


Using a Modified Method. India : Science and Technology Park, Pune,
India.

Chandra, Rudi. 2011. Aktivitas Antifungi Ektrak Herba Seledri (Apium


graviolens) In Vitro Terhadap Candida Albicans. Jakarta : Universitas
Kristen Maranatha, Fakultas Kedokteran, Program Studi Sarjana
Kedokteran.

Ely, John. 2014. Diagnosis and Management of Tinea Infections. Iowa :


University of Iowa Carver College of Medicine, Iowa City, Iowa.

Fitzpatrick, Wolf, Goldsmiths, Katz 2013. Dematology In General Medicine.


McGraw-Hill Education, USA.

Galeotti, Fransesco. 2008. Flavonoids from Carnation (Dianthus caryophyllus and


Their Antifungal Activity. Dipartimento di Valorizzazione e Protezione
delle Risorse Agroforestali, Università di Torino, Via L. Da Vinci 44, 10095
Grugliasco, Torino, Italy

Galuh, Yulieta. 2010. Efektivitas Ekstrak Seledri (Apium graviolens) 50%


Dibandingkan Ketokonazol 2% Terhadap Pertumbuhan Malassezia sp. Pada
Ketombe. Semarang : Universitas Diponegoro, Fakultas Kedokteran,
Program Studi Sarjana Kedokteran.

xvi
3

Gohary, El. 2014. Topical antifungal treatments for tinea cruris and tinea corporis.
Primary Care and Population Sciences, Faculty of Medicine, Aldermoor
Health Centre, University of Southampton, Southampton, UK.

Gupta, Aditya. 2016. Dermatophytes: Diagnosis and treatment. Canada :


Sunnybrook and Women’s College Health Sciences Center (Sunnybrook
site) and the University of Toronto, Department of Medicine, Division of
Dermatology.

Hainer, Barry. 2013. Dermatophyte Infections. South Carolina : Medical


University of South Carolina, Charleston, South Carolina.

Helaly, Al-Din. 2015. Phytochemical Analysis of Some Celery Accessions. Egypt


: Al-Azhar University, Faculty of Agriculture, Nasr City.

Hussein, Ali. 2014. Dermatophytosis: Causes, clinical features, signs and


treatment. Iraq : University of Karbala, Department of Clinical Laboratories,
College of Applied Medical Sciences.

Ilyas, Muhammad. 2015. Daya Hambat Minimal Ekstrak Seledri (Apium


graviolens) Terhadap Pertumbuhan Candida albicans. Makassar :
Universitas Hasanuddin, Fakultas Kedokteran Gigi, Program Studi Sarjana
Kedokteran Gigi.

Jawetz, Melnick, Adelberg 2013. Medical Microbiology Twenty Sixth Edition,


McGraw-Hill Education, USA.

Kelly, Brendan. 2016. Pediatrics in Review : Superficial Fungal InfectionsTufts


University School of Medicine, Bayside Children’s Hospital, Springfield,
Massachusetts.

Kusumawardhani, Ahmad. 2014. Perbandingan Aktivitas dan Mekanisme


Penghambatan Antibakteri Ekstrak Air dengan Ekstrak Etil Asetat Gambir
(Uncaria gambir) Terhadap Bakteri Staphylococcus epidermidis,
Streptococcus mutans, dan Streptococcus pyogenes. Jakarta : UIN Syarif
Hidayatullah, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Program Studi
Farmasi.

Majidah, Dewi. 2014. Daya Antibakteri Ekstrak Daun Seledri (Apium graveolens
L.) t-erhadap Pertumbuhan Streptococcus mutans sebagai Alternatif Obat
Kumur, Jember : Universitas Jember, Fakultas Kedokteran Gigi, Program
Studi Sarjana Kedokteran Gigi.

xvi
3

Megahed, Sobhi. 2017. Celery (Apium graveolens) Extract as Corrosion Inhibitor


for carbon steel in 1 M HCl. Egypt: Benha University, Faculty of Science,
Department of Chemistry.

Novitasiah, Rusdwi. 2014. Inventory of Invasive Plant Species along the corridor
of Kawah Ijen Nature Tourism Park, Banyuwangi, East Java. Malang :
University of Brawijaya, Faculty of Mathematic and Natural Sciences,
Magister Program in Biology, Malang, East Java, Indonesia.

Ningrum, Asmoro. 2008. Morfologi Trichophyton rubrum. Jakarta : UIN Syarif


Hidayatullah, Fakultas Kedokteran, Program Studi Sarjana Kedokteran.

Niswah, Lukluatun. 2014. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Buah Parijoto


Menggunakan Metode Difusi Cakram. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Program Studi Farmasi.

Prasad, 2016. Nilai Diagnostik Dermatophyte Strip Test pada Pasien Tinea
Ungium. Palembang : Universitas Sriwijaya, Fakultas Kedokteran, Program
Studi Sarjana Kedokteran.

Prayoga, Eko. 2013. Perbandingan Efek Ekstrak Daun Sirih Hijau (Pipier betle L)
Dengan Metode Difusi Disk dan Sumuran Terhadap Perumbuhan
Staphylococcus aureus. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, Fakultas
Kedokteran, Program Studi Sarjana Kedokteran

Puspitasari, Dwi. 2015. Uji Efektivitas Ekstrak Biji Avokad (Persea americana
Mill.) Terhadap Pertumbuhan Candida albicans Secara In Vitro Dengan
Metode Difusi Cakram. Jakarta: Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jakarta, Fakultas Kedokteran, Program Studi Sarjana Kedokteran.

Putri, Hutami. 2016. Efektivitas Ekstrak Nanas (Ananas comosus) sebagai


antibakteri terhadap bakteri Streptococcus pyogenes dan Haemophylus
influenza. Jakarta: Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta,
Fakultas Kedokteran, Program Studi Sarjana Kedokteran.

Rachmawati, Ika. 2014. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Etanol Daun Seledri


Terhadap Hambatan Pertumbuhan Candida albicans In Vitro. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Fakultas Kedokteran Gigi, Program
Studi Sarjana Kedokteran Gigi.

xvi
3

Sahoo, Kumar. 2016. Management of tinea corporis, tinea cruris, and tinea pedis:
A comprehensive review. India : Postgraduate Institute of Medical
Education and Research, Department of Dermatology and Venereology.

Sharma, Vishnu. 2015. Diagnosis of dermatophytosis and its treatment. India :


JECRC University, Department of Biotechnology.

Shehata, Sahar. 2012. The Effects of Purslane and Celery on


Hypercholesterolemic Mice. Department of Food Science, Faculty of
Agriculture, Zagazig University, Zagazig, Egypt.

Singh, Avneet. 2017. Tinea cruris and Tinea genitalis: Clinical manifestations and
diagnostic challenges, India : Muzaffarnagar Medical College.

Sonthalia, Sidharth. 2014. Tinea Cruris and Tinea Corporis Masquerading as


Tinea Indecisiva. India: The Skin Clinic & Research Centre, Gurgaon.

Spickler, Anna. 2013. Dermatophytosis. Iowa : Iowa State University, College of


Veterinary Medicine.

Suprobo, Diasti. 2015. Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Batang Sereh


(Cymbopogon citratus) Terhadap Propionibacterium acnes Secara In Vitro.
Jember : Universitas Jember, Fakultas Kedokteran, Program Studi Sarjana
Kedokteran.

Urgamal, Asif. 2012. Monograph of Apium graveolens Linn. College of


Conventional Medicine, Faculty of Pharmacy and Alternative Medicine,
The Islamia University of Bahawalpur, Pakistan.

Yossela, Tanti. 2015. Diagnosis and Treatment of Tinea Cruris. Lampung :


Universitas Negeri Lampung, Program Studi Sarjana Kedokteran.

Yuwita, Wulan. 2016. Karakteristik Tinea Kruris dan/atau Tinea Korporis di


RSUD Ciamis Jawa Barat. Bandung : Universitas Padjajaran, Fakultas
Kedokteran, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS. Dr. Hasan
Sadikin.

xvi
3

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI
Nama : Nuri Khonsa Auliarti
Tempat /Tanggal Lahir : Jakarta, 17 Mei 1997
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Nangka Nomor 42A RT 01 RW 13
Depok, Jawa Barat 16435
No.Telp : 085817549467
Email : khonsa.auliarti@gmail.com

DATA ORANG TUA


Ayah : Mochammad Arief Dimjati
Ibu : Nur Khabibah

PENDIDIKAN FORMAL
1. 2001 – 2003 : TK Al-Ma’shum Kota Depok
2. 2003 – 2009 : SD Islam Terpadu Al-Hamidiyah
3. 2009 – 2012 : SMP Negeri 2 Depok
4. 2012 – 2015 : SMA Negeri 1 Depok
5. 2015 – 2019 : Program Sarjana (S-1) Kedokteran Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta

PENGALAMAN ORGANISASI
 Wakil Ketua Sekbid OSIS SMP Negeri 2 Depok (2010-2011)
 Anggota Pramuka SMP Negeri 2 Depok (2009-2010)
 Anggota Syiar Asy Syifa FK UPN Veteran Jakarta (2017-2018)

xvi
62

Lampiran 1
Surat Persetujuan Proposal Penelitian
50

Lampiran 2
Surat Permohonan Izin Penelitian dan Survei Data

xvi
51

Lampiran 3
Surat Izin Penelitian

xvi
52

Lampiran 4
Surat Persetujuan Etik

xvi
53

Lampiran 6
Hasil Uji Statistik

Uji Normalitas Ekstrak Seledri (Apium graviolens) terhadap jamur


Trichophyton rubrum

Tests of Normalitya

Kolmogorov-Smirnovb Shapiro-Wilk

ektrak_seledri Statistic df Sig. Statistic df Sig.

diameter_daerah_hambat kontrol positif .270 4 . .896 4 .409

20% .250 4 . .961 4 .783

40% .227 4 . .952 4 .726

60% .218 4 . .920 4 .538

80% .293 4 . .918 4 .528

100% .206 4 . .963 4 .796

a. diameter_daerah_hambat is constant when ektrak_seledri = kontrol negatif. It has been omitted.


b. Lilliefors Significance Correction

Uji Varians Ekstrak Seledri (Apium graviolens) terhadap jamur Trichophyton


rubrum

Test of Homogeneity of Variances


diameter_daerah_hambat

Levene Statistic df1 df2 Sig.

2.326 6 21 .070

Uji Anova Ekstrak Seledri (Apium graviolens) terhadap jamur Trichophyton


rubrum

ANOVA
diameter_daerah_hambat

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 221.556 6 36.926 153.421 .000


Within Groups 5.054 21 .241
Total 226.610 27

xvi
54

Uji Post Hoc Ekstrak Seledri (Apium graviolens) terhadap jamur


Trichophyton rubrum

Multiple Comparisons
Dependent Variable: diameter_daerah_hambat

95% Confidence

(I) (J) Mean Interval

ektrak_seled ektrak_seledr Difference Std. Lower Upper


ri i (I-J) Error Sig. Bound Bound
*
Bonferroni kontrol kontrol positif -9.83750 .34690 .000 -11.0354 -8.6396
negatif 20% -2.30000* .34690 .000 -3.4979 -1.1021

40% -3.00000* .34690 .000 -4.1979 -1.8021

60% -2.77500* .34690 .000 -3.9729 -1.5771

80% -3.05000* .34690 .000 -4.2479 -1.8521

100% -4.30000* .34690 .000 -5.4979 -3.1021

kontrol positif kontrol


9.83750* .34690 .000 8.6396 11.0354
negatif

20% 7.53750* .34690 .000 6.3396 8.7354

40% 6.83750* .34690 .000 5.6396 8.0354

60% 7.06250* .34690 .000 5.8646 8.2604

80% 6.78750* .34690 .000 5.5896 7.9854

100% 5.53750* .34690 .000 4.3396 6.7354

20% kontrol
2.30000* .34690 .000 1.1021 3.4979
negatif

kontrol positif -7.53750* .34690 .000 -8.7354 -6.3396

40% -.70000 .34690 1.000 -1.8979 .4979

60% -.47500 .34690 1.000 -1.6729 .7229

80% -.75000 .34690 .889 -1.9479 .4479


100% -2.00000* .34690 .000 -3.1979 -.8021

40% kontrol
3.00000* .34690 .000 1.8021 4.1979
negatif

kontrol positif -6.83750* .34690 .000 -8.0354 -5.6396

20% .70000 .34690 1.000 -.4979 1.8979

60% .22500 .34690 1.000 -.9729 1.4229

80% -.05000 .34690 1.000 -1.2479 1.1479

100% -1.30000* .34690 .025 -2.4979 -.1021

xvi
55

60% kontrol
2.77500* .34690 .000 1.5771 3.9729
negatif

kontrol positif -7.06250* .34690 .000 -8.2604 -5.8646

20% .47500 .34690 1.000 -.7229 1.6729

40% -.22500 .34690 1.000 -1.4229 .9729

80% -.27500 .34690 1.000 -1.4729 .9229

100% -1.52500* .34690 .005 -2.7229 -.3271

80% kontrol
3.05000* .34690 .000 1.8521 4.2479
negatif

kontrol positif -6.78750* .34690 .000 -7.9854 -5.5896

20% .75000 .34690 .889 -.4479 1.9479

40% .05000 .34690 1.000 -1.1479 1.2479

60% .27500 .34690 1.000 -.9229 1.4729

100% -1.25000* .34690 .035 -2.4479 -.0521

100% kontrol
4.30000* .34690 .000 3.1021 5.4979
negatif

kontrol positif -5.53750* .34690 .000 -6.7354 -4.3396

20% 2.00000* .34690 .000 .8021 3.1979

40% 1.30000* .34690 .025 .1021 2.4979

60% 1.52500* .34690 .005 .3271 2.7229

80% 1.25000* .34690 .035 .0521 2.4479


Games- kontrol kontrol positif -9.83750* .21152 .000 -11.1056 -8.5694
Howell negatif 20% -2.30000* .18708 .007 -3.4216 -1.1784

40% -3.00000* .24833 .007 -4.4887 -1.5113

60% -2.77500* .15478 .002 -3.7029 -1.8471

80% -3.05000* .23274 .005 -4.4453 -1.6547

100% -4.30000* .44907 .013 -6.9922 -1.6078

kontrol positif kontrol


9.83750* .21152 .000 8.5694 11.1056
negatif

20% 7.53750* .28238 .000 6.3541 8.7209

40% 6.83750* .32620 .000 5.4655 8.2095

60% 7.06250* .26210 .000 5.9339 8.1911

80% 6.78750* .31449 .000 5.4723 8.1027

100% 5.53750* .49639 .002 3.1453 7.9297

20% kontrol
2.30000* .18708 .007 1.1784 3.4216
negatif

kontrol positif -7.53750* .28238 .000 -8.7209 -6.3541

xvi
56

40% -.70000 .31091 .393 -2.0315 .6315

60% -.47500 .24281 .516 -1.4998 .5498

80% -.75000 .29861 .300 -2.0153 .5153

100% -2.00000 .48648 .093 -4.4225 .4225

40% kontrol
3.00000* .24833 .007 1.5113 4.4887
negatif

kontrol positif -6.83750* .32620 .000 -8.2095 -5.4655

20% .70000 .31091 .393 -.6315 2.0315

60% .22500 .29262 .979 -1.0819 1.5319

80% -.05000 .34034 1.000 -1.4709 1.3709

100% -1.30000 .51316 .316 -3.6659 1.0659

60% kontrol
2.77500* .15478 .002 1.8471 3.7029
negatif

kontrol positif -7.06250* .26210 .000 -8.1911 -5.9339


20% .47500 .24281 .516 -.5498 1.4998

40% -.22500 .29262 .979 -1.5319 1.0819

80% -.27500 .27951 .939 -1.5037 .9537

100% -1.52500 .47500 .201 -4.0000 .9500

80% kontrol
3.05000* .23274 .005 1.6547 4.4453
negatif

kontrol positif -6.78750* .31449 .000 -8.1027 -5.4723

20% .75000 .29861 .300 -.5153 2.0153

40% .05000 .34034 1.000 -1.3709 1.4709

60% .27500 .27951 .939 -.9537 1.5037

100% -1.25000 .50580 .339 -3.6240 1.1240

100% kontrol
4.30000* .44907 .013 1.6078 6.9922
negatif

kontrol positif -5.53750* .49639 .002 -7.9297 -3.1453

20% 2.00000 .48648 .093 -.4225 4.4225

40% 1.30000 .51316 .316 -1.0659 3.6659

60% 1.52500 .47500 .201 -.9500 4.0000

80% 1.25000 .50580 .339 -1.1240 3.6240

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

xvi

Anda mungkin juga menyukai