Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

PENGANTAR PENDIDIKAN
PENCAPAIAN DAN PERSOALAN-PERSOALAN
PENDIDIKAN NASIONAL KONTEMPORER

DISUSUN OLEH:

ELIGA KHOIRIYAH

(06121181924007)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK MESIN

FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik allah swt.sholawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah swt.berkat limpahan dan rahmat-nya,penyusun mampu
menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah pengantar
pendidikan.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini,tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi.namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi
ini tidak lain berkat bantuan,dorongan,dan bimbingan orang tua,sehingga
kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang ‘KONSEP
PENCAPAIAN PENDIDIKAN NASIONAL KONTEMPORER’yang kami
sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi,referensi,dan
berita.makalah ini disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan.baik itu
yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar.namun dengan
penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari allah akhirnya makalah ini
terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa universitas
sriwijaya.saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna.untuk itu,kepada dosen pembimbing saya meminta masukannya demi
perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Indralaya,8 November 2019

Eliga Khoiriyah
DAFTAR ISI

Halaman judul .................................................................................................

Kata pengantar ................................................................................................

Daftar isi ..........................................................................................................

Bab 1 pendahuluan

1.1 Latar belakang ...........................................................................................


1.2 Rumusan masalah .....................................................................................
1.3 Tujuan masalah .........................................................................................

Bab 2 pembahasan

2.1 Konsep pencapaian pendidikan nasional kontemporer

A.pencapaian dan persoalan tata kelola pendidikan nasional ........................

B.pencapaian dan persoalan kurikulum pendidkan nasional .........................

C.pencapaian dan persoalan pendidik atau tenaga kependidikan ..................

D.pencapaian dan persoalan sistem evaluasi pendidikan nasional ...............

E.pencapaian dan persoalan pendidikan anak usia dini .................................

F.Pencapaian dan persoalan pendidikan dasar...............................................

G.Pencapaian dan persoalan pendidikan menengah ......................................

H.Pencapaian dan persoalan pendidikan tinggi .... .........................................

I.Pencapaian dan persoalan pendidikan nonformal .......................................

Bab 3 penutup

3.1 kesimpulan...................................................................................................
Bab 1
Pendahuluan

1.1 LATAR BELAKANG


Pendidikan merupakan human investment yang sangat strategis untuk mencetak
generasi di masa mendatang. Format pendidikan yang lebih baik sudah barang tentu
menjadi keharusan seperti saat ini. Masyarakat dengan berpengetahuan tinggi
sudah menjadi sebuah keniscayaan, tidak terkecuali pada masyarakat Islam. Dalam
catatatan sejarah, peradaban Islam sebenarnya telah menunjukkan betapa
pentingnya pendidikan yang komprehensif dan kondusif dalam rangka memajukan
dan meninggikan martabat manusia. Namun selama beberapa abad terakhir,
peradaban Islam seakan mengalami kemerosotan bahkan kemunduran akibat
kurangnya pendidikan yang mencerdaskan. Pendidikan dalam Islam merupakan
sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik
secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang
diemban-sebagai seorang hamba (abd) dihadapan Khaliq-nya dan sebagai
“pemelihara” (khalifah) pada semesta1[1]. Pendidikan Islam bukan sekedar proses
penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari akses negative globalisasi atau
modernisme. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai moral yang telah
ditanamkan pendidikan Islam mampu berperan sebagai pembebas dari himpitan
kebodohan dan keterbelakangan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1.Rendahnya sarana fisik.
2.Rendahnya kualitas guru,
3.Rendahnya kesejahteraan guru.
4.Rendahnya prestasi siswa.
5.Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan.
6.Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan.
7.Mahalnya biaya pendidikan.

1.2 TUJUAN
Yang menjadi tujuan pembuatan makalah ini yaitu:
1.untuk menambah wawasan bagi pembaca tentang sistem pendidikan.
2.untuk membimbing manusia dalam mengembangkan sistem kebudayaan
islam.
3.Dan sebagai pelengkap tugas mata kuliah pengantar pendidikan.

BAB 2

Pembahasan

2.1 konsep pencapaian pendidikan nasional kontemporer

A.pencapaian dan persoalan tata kelola pendidikan nasional

Sejak Panel Tingkat Tinggi PBB mengumumkan visinya untuk agenda


pembangunan pasca-2015 pada bulan Mei, banyak perdebatan berpusat pada
tidak adanya tujuan terkait ketidaksetaraan diantara 15 tujuan yang
diusulkan dalam daftar panel. Presiden Indonesia Susilo Bambang
Yudhoyono mengomentari tentang tujuan ini di Jakarta bulan Juni yang lalu,
menekankan bahwa prinsip “tanpa meninggalkan siapa pun” adalah inti dari
visi Panel, dan masing-masing tujuan PBB berfokus untuk mengatasi
ketidaksetaraan. Pada kenyataannya, tujuan pendidikan yang diusulkan
termasuk komitmen ‘memastikan setiap anak, dalam kondisi apapun,
menyelesaikan pendidikan dasar sehingga dapat membaca, menulis, dan
berhitung dengan cukup baik untuk memenuhi standar pembelajaran
minimal’.

Upaya-upaya untuk mempersempit ketidaksetaraan pendidikan sangat


penting dan dapat menjadi dasar bagi pembangunan yang lebih inklusif.
Perbedaan kualitas pendidikan dan durasi bersekolah yang diterima seorang
anak akan mempengaruhi kehidupan di masa mendatang. Anak-anak yang
gagal menguasai keterampilan dasar lebih cenderung mempunyai pekerjaan
tidak tetap dan bergaji rendah, dibandingkan dengan anak-anak yang
meninggalkan sekolah dibekali dengan keahlian-keahlian yang diperlukan di
pasar tenaga kerja saat ini.

Namun di beberapa negara, kesenjangan yang besar dalam pencapaian


pendidikan adalah hal yang biasa. Demikian pula di Indonesia. Seorang
anak miskin yang lahir di Papua meninggalkan bangku sekolah setelah
mengenyam pendidikan selama kurang lebih 6 tahun, dibandingkan dengan
seorang anak di Jakarta yang diharapkan akan menyelesaikan sekolah
selama 11 tahun pendidikan. Perbedaan dalam pencapaian belajar bisa
sangat tajam; siswa sekolah menengah pertama di Bali mencapai rata-rata
80% dalam ujian nasional, dibandingkan dengan siswa di beberapa wilayah
di Kalimantan yang hanya mencapai nilai kurang dari 60%.

Sebagian besar wacana global menyoroti kurangnya sumber daya dan


distribusi yang tidak merata sebagai penyebab ketidaksetaraan pendidikan.
Tapi ini sebagian cerita di Indonesia. Dalam satu dekade terakhir, investasi
pemerintah dalam bidang pendidikan melonjak tiga kali lipat secara nyata –
suatu tingkat kenaikan yang tidak terjadi di banyak negara lain. Beberapa
daerah termiskin mengeluarkan biaya besar dalam pendidikan untuk setiap
usia anak sekolah. Sebagai contoh, beberapa pemerintah daerah di Papua,
salah satu propinsi termiskin di Indonesia, membelanjakan hampir sebanyak
negara-negara di Eropa Timur yang peringkatnya jauh lebih tinggi pada
penilaian internasional pencapaian belajar.

Lalu apa yang dapat dilakukan oleh sebuah negara berpendapatan menengah
seperti Indonesia untuk mengatasi ketidaksetaraan pendidikan? Kantor Bank
Dunia Jakarta baru saja merilis sebuah survei kualitas tata kelola pendidikan
pada 50 pemerintah daerah di Indonesia, yang berpendapat bahwa segala
upaya untuk mempersempit ketidaksetaraan harus berpusat pada penguatann
kapasitas pemerintah daerah dalam menyelenggarakan layanan pendidikan
berkualitas bagi seluruh anak-anak.

Sejak reformasi desentralisasi yang diperkenalkan pada tahun 1999,


pemerintah daerah telah mengambil alih tanggung jawab penyelengaran dan
sebagian besar pembiayaan pendidikan dasar. Laporan menunjukkan bahwa
prioritas yang diberikan untuk pendidikan, kualitas masukan yang tersedia,
dan distribusinya cenderung lebih baik pada pemerintah daerah dengan
kualitas tata kelola yang lebih baik. Selain itu, pemerintah daerah yang
memungkinan partisipasi lokal dalam proses perencanaan menghasilkan
sistem manajemen yang lebih transparan dan akuntabel; meningkatkan
insentif bagi tenaga pendidikan cenderung membuat hasil yang lebih baik;
dan memastikan para guru dibekali dengan lebih baik untuk menyediakan
pendidikan yang berkualitas bagi semua.
Kenaikan mutu tata kelola pendidikan akan menghasilkan kinerja
pendidikan yang lebih baik.

Namun, laporan ini juga menemukan bahwa tata kelola pendidikan daerah
hanya meningkat sedikit dalam tiga tahun terakhir. Dalam beberapa area,
tata kelola mengalami kemunduran. Sebagai contoh, jumlah pemerintah
daerah yang secara sistematis mendokumentasikan dan menyebarluaskan
contoh-contoh praktik yang baik menurun drastis. Pada praktik perencanaan
juga muncul untuk menghindari upaya meningkatkan partisipasi
masyarakat. Sebagai contoh, tahun 2012, hanya 12 persen pemerintah
daerah melakukan konsolidasi atas rencana pembangunan sekolah untuk
digunakan dalam proses perencanaan pendidikan di daerahnya.

Pemerintah daerah yang turut serta dalam kajian ini juga menjadi bagian
dari sebuah program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang
dirancang untuk peningkatan kapasitas. Sementara kajian ini menyoroti
beberapa keuntungan pada tingkat sekolah, peningkatan pada level
manajemen pemerintah daerah lebih sederhana. Dua pelajaran penting yang
muncul dari pengalaman dalam melaksanakan program peningkatan
kapasitas seperti ini:

Pertama, dibutuhkan sebuah pendekatan multi-sektor bagi pengembangan


kapasitas. Pejabat Kantor Dinas Pendidikan menyadari bahwa banyak
tantangan utama terkait dengan sistem pada level pemerintah daerah
(contoh, sistem perencanaan dan penganggaran) daripada khusus pada
sistem pendidikan. Namun, kantor dinas pendidikan sering kali tidak
berdaya dalam mengatasi kendala yang lebih luas ini.

Kedua, upaya pengembangan kapasitas perlu disesuaikan dengan situasi


lokal.
Penguatan tata kelola lebih mudah di beberapa pemerintah daerah
dibandignkan dengan daerah lainnya. Sebagai contoh, mempublikasikan
informasi anggaran pendidikan lebih mudah dilakukan di daerah yang
terkoneksi dengan baik dengan lokal media yang hidup daripada di wilayah
terpencil dengan infrastruktur terbatas. Agar dapat berhasil, program-
program pengembangan kapasitas yang akan datang harus
memperhitungkan rintangan-rintangan khusus yang dihadapi oleh suatu
daerah.

Pesan besarnya adalah penguatan tata kelola dan manajemen dari sistem
pendidikan daerah dapat membantu mempersempit ketidaksetaraan
pendidikan. Hal ini juga dapat membantu Indonesia meletakkan dasar untuk
memastikan bahwa tidak satu pun anak tertinggal pada saat agenda
pembangunan sedang berlangsung.

B.Pencapaian dan persoalan kurikulum pendidikan nasional

Dalam banyak literature, kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau


rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh
peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung
arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen
atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan
mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti
kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung
makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil
belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan
yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus
dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi
fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia
menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan yang
digunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu
pengalaman.

Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi
kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan
dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas
pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan
menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik
sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu
Oliva (1997:12) mengatakan “Curriculum itself is a construct or concept, a
verbalization of an extremely complex idea or set of ideas”.
Selain kurikulum diartikan sebagai dokumen, para akhli kurikulum
mengemukakan berbagai definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai
dengan konstruk kurikulum yang ada pada dirinya. Perbedaan pendapat para
ahli didasarkan pada isu berikut ini:

 filosofi kurikulum
 ruang lingkup komponen kurikulum
 polarisasi kurikulum – kegiatan belajar
 posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum

Pengaruh pandangan filosofi terhadap pengertian kurikulum ditandai oleh


pengertian kurikulum yang dinyatakan sebagai “subject matter”, “content”
atau bahkan “transfer of culture”. Khusus yang mengatakan bahwa
kurikulum sebagai “transfer of culture” adalah dalam pengertian kelompok
ahli yang memiliki pandangan filosofi yang dinamakan perennialism
(Tanner dan Tanner, 1980:104). Filsafat ini memang memiliki tujuan yang
sama dengan essentialism dalam hal intelektualitas. Seperti dikemukakan
oleh Tanner dan Tanner (1980:104-113) keduanya pandangan filosofi itu
berpendapat bahwa adalah tugas kurikulum untuk mengembangkan
intelektualitas. Dalam istilah yang digunakan Tanner dan Tanner (1980:104)
perennialism mengembangkan kurikulum yang merupakan proses bagi
“cultivation of the rational powers: academic excellence” sedangkan
essentialism memandang kurikulum sebagai rencana untuk mengembangkan
“academic excellence dan cultivation of intellect”. Perbedaan antara
keduanya adalah menurut pandangan perenialism “the cultivation of the
intellectual virtues is accomplish only through permanent studies that
constitute our intellectual inheritance”. Permanent studies adalah konten
kurikulum yang berdasarkan tradisi Barat terdiri atas Great Books, reading,
rhetoric, and logic, mathematics. Sedangkan bagi essentialism beranggapan
bahwa kurikulum haruslah mengembangkan “modern needs through the
fundamental academic disciplines of English, mathematics, science, history,
and modern languages” (Tanner dan Tanner, 1980:109).

Perbedaan ruang lingkup kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan


dalam definisi. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum adalah “statement
of objectives” (McDonald; Popham), ada yang mengatakan bahwa
kurikulum adalah rencana bagi guru untuk mengembangkan proses
pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan Lewis, 1981) Ada
yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang berisikan
berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan
kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti
yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang
menyatakan bahwa kurikulum adalah “seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untukmencapai tujuan
pendidikan tertentu” (pasal 1 ayat 19).

Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang


membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang
sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang
banyak akhli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula
yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok
yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah
rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan
apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi
yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau
bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan
ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok akhli
kurikulum dengan akhli teaching (pangajaran). Baik akhli kurikulum mau
pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar
belakang teoritik dan tujuan.

C.Pencapaian dan persoalan pendidik atau tenaga kependidikan

1. Kesejahteraan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.


Kebijakan “upah minimum” boleh jadi telah menyebabkan pegawai
bermental kuli, bukan pegawai yang mengejar prestasi. Rendahnya dan
bahkan tidak ada lagi insentif dari pemerintah daerah terutama yang tinggal
di desa terpencil. Bahkan untuk tenaga kependidikan belum ada
“pengakuan” dan penghargaan atas kinerjanya seperti sertifikasi. Hal ini
akan menimbulkan kesenjangan yang mengakibatkan peningkatan mutu
pendidikan terhambat.
2. Penilaian dan pengawasan kinerja
Kinerja kompetensi guru masih jauh dibawah standar isi dan proses.
3. Penempatan dan distribusi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.
Terjadi penumpukan tenaga pendidik di kota, tetapi di pedesaan dan
terpencil sangat kekurangan. Hal ini disebabkan banyaknya mutasi tenaga
pendidik karena masalah jauh dari keluarga, medan yang sulit, tidak betah
tinggal dipedesaan dan terpencil. Begitu juga dengan tenaga kependidikan,
bahkan di pedesaan dan terpencil tidak ada tenaga kependidikan.
4. Promosi kepangkatan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
Pengurusan promosi jabatan.pangkat bagi tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan terutama di daerah terpencil sangat sulit. Karena medan yang
sulit dan birokrasi yang berbelit.
5. Mutasi fungsional dan struktural
Banyaknya tenaga pendidik yang potensial direkrut dalam jabatan struktural
seperti camat, anggota dewan.

D.Pencapaian dan persoalan sistem evaluasi pendidikan nasional


Charles Dickens, seorang sastrawan terkemuka Inggris abad 19, dikenal
pula sebagai kritikus sosial sangat galak. Hampir tidak ada lembaga sosial
yang tidak dia kritik. Anehnya, Dickens (artinya setan atau sompret) ini
diakui bisa mengkritik setiap orang tanpa meresahkan seorang pun
(attacking everybody, agonizing nobody). Karuan saja, orang jadi
penasaran, mengapa demikian?

Belakangan, setelah ditelaah lebih mendalam, diketahui bahwa genre kritik


yang dibawakan oleh Dickens bisa dikategorikan sebagai kritik moralis, dan
bukan kritik revolusioner. Seperti seorang teknisi komputer, Dickens
memeriksa seluruh komponen yang rusak, mengajukan saran pembenahan,
dan bahkan ikut melakukan pembenahan justru agar komputer itu dapat
bekerja secara gegas.

Sajian ini, bisa dikategorikan sebagai kritik moralis pula, karena diajukan
bukan untuk mengganti sistem, melainkan justru agar sistem tersebut
bekerja sebagaimana diharapkan. Bahkan terhadap pro-kontra ujian nasional
pun, sajian ini mengambil sikap tegas menyetujui, walaupun dengan
sejumlah catatan di sana sini.

Pengendalian mutu pendidikan mendapatkan tempat tersendiri dalam


Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Masing-masing adalah evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.
Ketiganya, ternyata, telah mendapatkan reaksi yang beraneka-ragam.

Secara khusus, sajian pendek ini bermaksud mencermati evaluasi, yang


salah satunya dilakukan melalui ujian nasional untuk jenjang sekolah
menengah. Sebagai titik-tolak, berikut adalah petikan beberapa pasal yang
menyangkut evaluasi.

(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan


secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

(2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program


pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan,
dan jenis pendidikan.

(1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk
memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik
secara berkesinambungan.

(2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan


dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan,
dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap


pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

(2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga


yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58.

(3) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Diletakkan dalam konteks fungsi negara, pengendalian mutu pendidikan
nasional merupakan bagian tak terpisahkan dari fungsi melindungi segenap
warga negara dan tumpah darah. Negara, berdasarkan amanat undang-
undang dasar tidak hanya berkewajiban mencerdaskan bangsa melalui
pendidikan, tetapi juga berkewajiban untuk melindungi warga negara dari
layanan pendidikan yang tidak memenuhi baku mutu nasional pendidikan.
Pengendalian mutu demikian --- dalam bentuk evaluasi, akreditasi, dan
sertifikasi --- tidak hanya diberlakukan terhadap lembaga pendidikan
swasta, seperti jaman negaraisme tempo dulu, tetapi juga terhadap lembaga
pendidikan negeri.

Dalam perspektif pendidikan sebagai upaya sadar dan terencana, sudah


barang tentu pengendalian mutu juga sangat diperlukan. Ini diperlukan agar
di masa depan usaha yang dilakukan lebih terarah, efisien, efektif dan
relevan dengan perkembangan jaman dan masyarakat. Berdasarkan hasil
evaluasi nasional, bisa dirancang kebijakan yang diperlukan untuk
mengoreksi kesalahan dan kekurangan yang ada.

Dalam perspektif ekonomi politik, layanan pendidikan harus dipandang


sebagai jasa publik yang diselenggarakan oleh lembaga publik (public
service served by public institutions). Lembaga pendidikan, baik negeri
maupun swasta, sama-sama merupakan lembaga publik, karena
mengerahkan dan menggunakan sumberdaya publik. Karena itu, agar tidak
terjadi pengkhianatan terhadap amanat publik, maka harus ada mekanisme
untuk menjamin akuntabilitas publiknya. Evaluasi nasional merupakan
bentuk pertanggung-gugatan publik.

Dalam perspektif teori sistem, maka sistem pendidikan merupakan


komponen supra-sistem pembangunan nasional. Berdampingan dan
bersinergi dengan sistem ekonomi, politik, transportasi, dan lain-lain,
diharapkan pendidikan memberikan partisipasi dan kontribusinya bagi
pencapaian tujuan nasional. Karena itu, tolak-ukur paling sahih dari
kemanfaatan pendidikan tidak bisa tidak harus ditakar berdasarkan
kontribusinya bagi supra sistem pembangunan nasional. Lebih jauh, tolak
ukur kegunaan pendidikan tidak sekadar didasarkan pada hasil dan keluaran
(product and output), tetapi manfaat (outcome) baik di tingkat individu
maupun sosial. Implikasinya, sebagai komponen supra-sistem, lembaga
pendidikan harus ikhlas untuk menerima evaluasi eksternal (external
evaluation), seperti lembaga kursus mengemudi yang harus bersedia apabila
peserta didiknya dievaluasi oleh kepolisian agar bisa mendapatkan surat ijin
mengemudi.

Dalam perspektif sosiologi, pendidikan memiliki fungsi seleksi dan


rekrutmen berdasarkan prinsip meritokrasi dan masyarakat berorientasi
prestasi. Artinya, memang mereka yang benar-benar lulus berdasarkan
prestasi dengan baku mutu yang sama yang memang diberi kesempatan
untuk menaiki tangga sosial. Harus dihindari model pengijazahan PGPS
(Pintar Goblok Penghargaan Sama), karena situasi demikian justru akan
mengakibatkan berkembangnya rasa tak berdaya (powerless). Rasa tidak
berdaya akan tampak pada keyakinan bahwa usaha dan prestasi seseorang
ternyata tidak berhubungan secara langsung dengan perolehannya.

Walhasil, ada himbauan sangat kentara dari uraian berdasarkan sejumlah


perspektif tersebut. Sudah waktunya kalangan pendidikan untuk “legowo”
terhadap penilaian eksternal, sebab kalau tidak, bukan tidak mungkin
kalangan pendidikan terjebak dalam semangat menipu diri atau malah
berpuas-puas diri. Menipu diri karena telah begitu jumawa menyatakan
bahwa kinerja layanannya sudah baik. Berpuas-puas diri karena telah
merencanakan sendiri, melaksanakan sendiri, mengevaluasi sendiri, dan
menyatakan keberhasilan pendidikan sendiri. Bila kecenderungan ini
diteruskan, maka justru semuanya menjadi korban, karena akan
menyuburkan mentalitas “gila pujian, takut ujian”.

Karena itu, alih-alih menolak segala bentuk evaluasi eksternal, akan lebih
bermanfaat apabila segala usaha diarahkan untuk membantu peserta didik
agar senantiasa siap untuk menghadapi segala macam bentuk ujian, baik
dari dalam maupun dari luar. Ini berarti bahwa selain tetap dituntut agar
para pendidik menyelenggarakan evaluasi formatif untuk perbaikan proses
pembelajaran, juga melakukan dan atau menerima evaluasi sumatif untuk
penentuan keberhasilan. Bukankah ada ungkapan bahwa “the function of
evaluation is not only to prove any effort, but also to improve it”.
Bagaimana mempersiapkan para siswa menghadapi evaluasi, baik internal
maupun eksternal?

Pertama, para guru harus meluangkan waktu untuk mengajarkan strategi


mengerjakan ujian. Melalui langkah ini, para siswa dibantu menggunakan
waktu secara efisien, memahami petunjuk dengan seksama, mengenali
informasi penting dalam pertanyaan ujian, memahami perintah dari bentuk
ujian yang berbeda, serta mengetahui bagaimana pembijian (scoring) akan
dilakukan. Contoh nyata kegiatan ini adalah memberikan latihan ujian
dengan beragam format dan situasi ujian. Temuan penelitian menunjukkan,
pengajaran strategi menghadapi ujian secara signifikan meningkatkan hasil
ujian, dan sangat bermanfaat bagi siswa belia, berkemampuan rendah, serta
kelompok minoritas (Taylor, 1997).

Langkah kedua, para guru harus mengupayakan pengurangan kecemasan


menghadapi ujian. Tak dipungkiri, banyak di antara kita mengalami
pengaruh negatif berupa kecemasan dalam menghadapi ujian. Memang bagi
kebanyakan orang pengaruhnya hanya sedikit, tetapi ada sekitar 10% siswa
yang benar-benar terpengaruh dan mengalaminya sebagai masalah
(Williams, 1992).

Penelitan menunjukkan bahwa kecemasan terhadap ujian terdiri dari dua


komponen, yaitu afektif dan kognitif (Pintrich & Schunk, 2002). Komponen
afektif atau emosi termasuk gejala psikologis, seperti meningkatnya denyut
nadi, mulut kering, dan sakit kepala juga merasa haus dan putus asa serta
kadang ”pucat”. Komponen kognitif atau kekhawatiran termasuk pikiran,
seperti takut gagal (e.g.,orang tua jadi sedih, harus mengulang) dan malu
karena nilai yang rendah. Selama ujian, siswa yang cemas akan ujian
cenderung memikirkan kesulitan ujian dan sering tidak terfokus. Kecemasan
akan lebih meningkat bila dipicu oleh ujian yang: (a) melibatkan tekanan
untuk berhasil, (b) dipersepsi sulit, (c) terdapat batasan waktu, dan (d)
bentuk ujian yang tidak dikenal (Zohar, 1998). Ujian yang tidak
diberitahukan sebelumnya juga dapat memicu kecemasan yang merugikan.

Guru dapat melakukan beberapa usaha untuk menekan kecemasan (Everson,


Tobias, Hartman, and Gourgey, 1991). Pada intinya usaha ini ditujukan pada
penghilangan kekhawatiran. Untuk itu disarankan sebagai berikut: (1)
gunakan ukuran berdasarkan kriteria untuk meminimalkan aspek kompetitif
ujian, (2) hindari perbandingan sosial, seperti menampilkan hasil dan
peringkat ujian secara umum, (3) perbanyak frekuensi ujian dan kuis, (4)
diskusikan isi ujian dan prosedur sebelum ujian, (5) berikan petunjuk yang
jelas, dan pastikan bahwa siswa memahami bentuk permintaan ujian, (6)
ajarkan siswa kemampuan mengerjakan ujian, (7) gunakan beragam ukuran,
termasuk penilaian altenatif, untuk mengukur kisaran pemahaman dan
kemampuan siswa, (8) berikan waktu yang cukup untuk siswa mengerjakan
ujian

Langkah ketiga, setelah para guru sendiri memahami bentuk dan muatan
ujian eksternal, guru bisa membantu siswanya: (1) mengetahui dengan jelas
apa yang akan diberikan pada ujian, (2) memberi kesempatan siswa untuk
mengerjakan soal yang hampir sama dengan kondisi seperti ujian, dan (3)
memberikan harapan positif pada siswanya dan mendorong mereka
menghubungkan sukses dan usaha

Menjelaskan bentuk dan isi ujian akan membantu siswa mengembangkan


struktur kognitif bagi siswa sehingga bisa mengurangi kecemasan ujian.
Mengetahui apa yang akan ada dalam ujian dan bagaimana soal-soal
dibentuk akan menyebabkan semua siswa memperoleh hasil yang lebih
tinggi, terutama mereka yang memiliki kemampuan rendah.

Akhirnya, harus disarankan pula kepada lembaga yang berkewenangan


untuk menyelenggarakan ujian nasional, agar setia terhadap fungsi ujian
nasional. Bila diamanati agar ujian nasional berfungsi tidak hanya untuk
membuktikan (to prove), tetapi juga memperbaiki (to improve), maka harus
ada implikasi kebijakan berupa pemberdayaan (empowering) bagi siswa,
sekolah, dan daerah yang masih tertinggal.

Kaidah dasar yang dipakai dalam mengalokasikan sumberdaya publik ---


khususnya yang bersumber dari anggaran negara --- adalah memberdayakan
yang paling lemah (empowering the most powerless). Meminjam ungkapan
Chambers (1992), tempatkan yang paling terbelakang menjadi yang pertama
(putting the last first) untuk mendapatkan bantuan.
Bila tidak? Pendidikan justru akan memperparah situasi kaum tak beruntung
dalam jebakan penjarahan (keterasingan, ketidak-berdayaan, kerawanan,
kemiskinan, dan kelemahan fisik). Semoga direnungkan, dipahami, dan
ditangani sebaik mungkin.

E.Pencapaian dan persoalan pendidikan anak usia dini


Pertama dari sisi Tenaga Pengajar
Tenaga pengajar (Guru) merupakan komponen kunci keberhasilan
pendidikan, karena tenaga pengajarlah yang langsung berhadapan dengan
peserta didik, sehingga diperlukan tenaga pendidikan yang profesional yang
benar-benar memahami bagaimana cara mengajar anak usia dini, bukan
hanya sebagai ajang coba-coba dalam menangani anak usia dini.

Pada umunya permasalahan tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu:

 Sebagian besar Guru PAUD belum memenuhi kualifikasi S1 PG-


PAUD
 Minimnya gaji Guru PAUD sehingga mereka tidak mampu
melanjutkan studinya di PG-PAUD
 Tingkat ekonomi Guru PAUD rata-rata masih rendah
 Menjadi Guru PAUD merupakan alternatif pekerjaan terakhir
setelah pekerjaan lainnya tidak didapatkan
 Sebagian besar Guru PAUD adalah perempuan yang mempunyai
kewajiban di rumah tangganya sebagai Ibu dari anak-anaknya dan
Istri dari suaminya, sehingga pekerjaan sebagai Guru PAUD tidak
maksimal.

Kebijakan pemerintah dalam peningkatan kualitas guru sudah banyak


dilakukan, diantaranya dengan pelatihan dan workshop baik yang
diselenggarakan ditingkat regional maupun nasional yang diselenggarakan
oleh Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama serta perguruan tinggi yang
mempunyai program studi Pendidikan Guru PAUD. Walaupun masih dirasa
kurang memadai dibandung dengan jumlah Guru PAUD yang ada.

Kedua dari sisi Lembaga PAUD


Kesadaran masyarakat akan pentingnya PAUD semakin meningkat, hal ini
dapat dilihat dengan semakin banyaknya berdiri LPAUD baik di pedesaan
maupun di perkotaan. Peningkatan jumlah LPAUD tidak diimbangi dengan
Ketersediaan fasilitas dan jumlah lulusan S1 PG-PAUD sehingga LPAUD
menggunakan fasilitas dan tenaga pengajar seadanya untuk
menyelenggarakan PAUD.

Beberapa Permasalahan LPAUD yang timbul adalah :

 Menggunakan tenaga pengajar seadanya. Guru PAUD diambilkan


dari lulusan SMA, atau S1 yang tidak sesuai dengan bidangnya.
 Fasilitas, sarana dan prasarana yang minim. Di beberapa tempat,
LPAUD menggunakan rumah, kedai, bahkan bekas kandang dalam
penyelenggaraan proses pembelajaran. Inisiatif yang dilakukan
oleh perseorangan masyarakat dalam mendirikan LPAUD
hendaknya didukung warga masyarakat agar dapat berkembang
lebih maksimal demi peningkatan kualitas pendidikan anak usia
dini.
 Ketersediaan bantuan pemerintah yang belum memadai untuk
semua LPAUD yang ada. Bantuan yang diberikan pemerintah tidak
sebanding dengan jumlah LPAUD. Hal ini diperparah dengan
maraknya praktik pungutan liar dan lembaga fiktif yang
mendapatkan bantuan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
 Buruknya manajemen pada sebagian besar LPAUD. Masih
ditemukan Guru PAUD merangkap kepala sekolah, kepala seolah
merangkap ketua yayasan dan belum ada Standar yang jelas dalam
pengelolaan PAUD.

Penyelenggaraan PAUD di negara lain semata-mata hanya menstimulasi


kecerdasan anak secara komprehensif dan pengasuhan terhadap anak, karena
aspek kecerdasan yang dikembangkan hanya meliputi kecerdasan
intelektual, emosional, estetika, dan sosial serta pengasuhan. Sedang di
Indonesia potensi kecerdasan tersebut diberikan juga pendidikan untuk
mengembangkan potensi kecerdasan spiritual yang dilaksanakan melalui
pendekatan olah pikir, olah rasa, dan olah raga. Di samping itu, juga
diberikan pengetahuan dan pembinaan terhadap kondisi kesehatan dan gizi
peserta didik. Oleh karena itu, penyelenggaraan PAUD di Indonesia disebut
penyelenggaraan PAUD secara "Holistik dan Integratif"

Ketiga dari sisi kesadaran masyarakat


Kesadaran masyarakat akan pentingnya PAUD secara umum sudah mulai
meningkat, namun masih didapati di beberapa tempat utamanya di daerah,
kesadaran masyarakat masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak
usia dini yang masuk ke LPAUD, tidak semua anak usia dini masuk ke
LPAUD.

Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kesadaran masyarakat adalah

 Tingkat ekonomi masyarakat utamanya di pedesaan yang masih


rendah sehingga mempunyai anggapan biaya PAUD mahal
 Pemahaman masyarakat mengenai definisi dan metode belajar yang
benar pada PAUD yang masih rendah sehingga mereka
menganggap tidak ada manfaatnya anak di sekolahkan di PAUD,
kalau hanya nyanyi-nyanyi, tepuk-tepuk, rekreasi dan lain-lain.
 Bagi masyarakat petani umunya mengajak anaknya ke kebun atau
ke sawah, berangkat pagi pulang sore, sehingga tidak ada
kesempatan untuk mengantar dan menjemput anaknya.

Demikian ulasan mengenai Problematika PAUD di Indonesia, tulisan ini


hanya berdasarkan temuan dan analisa penulis, jika ada yang tidak
sependapat silahkan berikan komentar untuk bisa didiskusikan.

F.Pencapaian dan persoalan pendidikan dasar

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan


menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami
“sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang
seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya
seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia.
Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia,
menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan
yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang.
Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar
yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur
integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal
belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang
yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti
mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya.
Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai
sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang
sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan
manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga
yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan
teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam
hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung
industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga
produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang
dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh
banyak lembaga pendidikan.

Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah)
atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari
Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat
tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-
manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada
murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang
diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid
dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer
kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut
tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.

Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model
pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire
mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan
sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya
berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan
apa-apa.

Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang
dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan
bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang
adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak
belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-
akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama
melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang
berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur
dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai
salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial,
budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini
penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk
melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita.
Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi
kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan
serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan
menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal
ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan
untuk direnungkan.

G.Pencapaian dan persoalan pendidikan menengah

Dasar Hukum Kebijakan Pendidikan Menegah

1. UUD 1945 Pasal 31 UUD 1945 berbunyi :

1). Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.

3). Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan


nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta aklak mulia dalam
rangtka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
2. UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 18 ayat 1- 4

(1) Pendidikan menegah merupakan lanjutan pendidikan dasar.

(2) Pendidikan menegah terdiri atas pendidikan menegah umum dan


pendidikan menegah kejuruan.

(3) Pendidikan menegah berbentuk Sekolah menegah Atas (SMA), Madrasah


Aliyah (MA), Sekolah menegah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

3. UU No. 20 Tahun 2003 Bab IV Pasal 5 ayat 1

Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu.

Sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh dan


terpadu : semesta dalam arti terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh
wilayah Negara; menyeluruh dalam arti kata mencakup semua jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan dan terpadu dalam arti adanya saling terkait antara
pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional. pendidikan
nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata social
yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara
Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan
proaktif menjawab tentang zaman yang berubah.

Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai


berikut :

1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh


pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara


utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat
belajar
3. Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk
mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral.

4. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai


pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan
nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan

5. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan


berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional


berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan Menengah dalam Sistem Pendidian Nasional

1. Posisi Pendidikan Agama dalam UU Sisdiknas 2003

a. Pasal 1 ayat (1), pendidikan adalah:

Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.

b. Pasal 1 ayat (2), pendidikan nasional adalah:

Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Dalam hal ini agama sebagai tujuan pendidikan (agar peserta didik memiliki
kekuatan spiritual keagamaan) dan sumber nilai dalam proses pendidikan
nasional.

Pasal 4 ayat (1)

Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak


diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukkan bangsa.

Pasal 30 tentang pendidikan keagamaan

(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau


kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi


anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.

(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,


nonformal, dan informal.

walaupun secara tegas dinyatakan bahwa Indonesia bukan Negara agama dan
bukan pula Negara sekuler, tetapi Negara Pancasila.Dengan status Negara yang
demikian, maka wajar kalau kemudian Pemerintah Indonesia tetap memandang
bahwa agama menduduki posisi penting di negeri ini sebagai sumber nilai yang
berlaku.

Hal ini dapat kita lihat bagaimana posisi agama (pendidikan agama) dalam UU
Sisdiknas 2003. dari berbagai Pasal di atas menerangkan bahwa pendidikan
agama sebagai sumber nilai dan bagian dari pendidikan nasional. Pendidikan
agama mempunyai peran penting dalam mengembangkan potensi peserta didik
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia dan kepribadian
muslim (khusus agama Islam).

Pendidikan menengah diselenggarakan sebagai kelanjutan dari pendidikan


dasar, yang berfungsi untuk menyiapkan peserta didik agar dapat menjadi
anggota masyarakat yang memiliki kemampuan berinteraksi secara produktif
dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar dan atau melanjutkan ke
jenjang yang lebih tinggi. pendidikan menengah terdiri atas sekolah menengah
tingkat pertama dan sekolah menengah tingkat atas. Sekolah menengah tingkat
atas terdiri atas sekolah menengah umum dan sekolah kejuruan.
Penyelenggaraan pendidikan terbuka dan jarak jauh pada tingkat pendidikan
menengah selain harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik
memasuki masa remaja, juga perlu diorientasikan pada pendidikan untuk
melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan memasuki dunia kerja.
Karakteristik proses pembelajaran mandiri pada tingkat pendidikan menengah
sekaligus harus merupakan suatu proses pendewasaan baik dalam aspek
akademik maupun kesiapan menguasai ketrampilan hidup yang dituntut oleh
dunia kerja.

2. Pendidikan Menengah Keagamaan

Pendidikan menengah keagamaan adalah Pendidikan yang diselenggarakan bagi


lulusan Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Lanjutan Pertama yang
mengutamakan perluasan pengetahuan khusus tentang ajaran agama Islam yang
diajarkan untuk melanjutkan Pendidikan pada jenjang Pendidikan tinggi dan
untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memasuki masyarakat kerja.

Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) adalah jenis Pendidikan menengah


keagamaan yang mengutamakan penyiapan siswa dalam penguasaan
pengetahuan khusus tentang ajaran agama Islam dan khasanah, Pemikiran
Islam. Madrasah aliyah keagamaan merupakan bentuk satuan dari salah satu
jenis pendidikan menengah yang berlangsung selama tiga tahun dan
diselenggarakan dalam sistem Pondok Pesantren/berasrama (boarding school).

Dari konsep tersebut di atas, sistem Pendidikan boarding school seolah


menemukan pasarnya. Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi
anak didik dari lingkungan sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di
lingkungan sekolah dan asrama dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang
relatif homogen yakni teman sebaya dan para guru pembimbing. Homogen
dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai sarana mengejar cita-cita.

3. Kurikulum Pendidikan Menengah


Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara
kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan;

a. Peningkatan iman dan takwa;

b. Peningkatan akhlak mulia;

c. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;

d. Keragaman potensi daerah dan lingkungan;

e. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;

f. Tuntutan dunia kerja;

g. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

h. Agama;

i. Dinamika perkembangan global; dan

j. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (UU Sisdiknas Pasal 36).

Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat :

a. pendidikan Agama;

b. pendidikan Kewarganegaraan;

c. Bahasa;

d. Matematika;

e. Ilmu Pengetahuan Alam;

f. Ilmu Pengetahuan Sosial;

g. Seni dan Budaya;

h. pendidikan Jasmani dan Olahraga;

i. Keterampilan/kejuruan; dan

j. Muatan Lokal. (Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional No. 20 Tahun


2003, Pasal 37).
Dalam kurikulum yang berorientasi pada pencapaian kompetensi, tujuan yang
harus dicapai oleh siswa dirumuskan dalam bentuk kompetensi. Dalam konteks
pengembangan kurikulum, kompetensi adalah perpaduan dari pengetahuan,
keterampilan, nila, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan
bertindak. Seseorang yang telah memiliki kompetensi dalam bidang tertentu
bukan hanya mengetahui, tetapi juga dapat memahami dan menghayati bidang
tersebut yang tercermin dalam pola perilaku sehari-hari.

Komptensi Standar, yaitu kemampuan minimal yang harus dicapai setelah anak
didik menyelesaikan suatu mata pelajaran tertentu pada setiap jenjang
pendidikan yang diikutinya.

Dalam peraturan Menteri pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006


dijelaskan bahwa Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SKKMP)
terdiri atas kelompok-kelompok mata pelajaran :

a) Agama dan Akhlak Mulia;

b) Kewarganegaraan dan Kepribadian;

c) Ilmu pengetahuan dan tehnologi

d) estetika

e) jasmani, olah raga dan kesehatan.

Problem Pendidikan Menengah di Indonesia

Berbicara tentang permasalahan pendidikan di Indonesia sungguh komplek


sekali, tidak ubahnya seperti menyelesaikan benang kusut, harus hati-hati dan
juga dipertanyakan dari mana dimulai. Ada beberapa permasalahan pendidikan
yang muncul secara nyata dalam keseharian kita antara lain :.

Pemerataan pendidikan

Kalau kita tinjau kembali mengenai undang-undang dasar 1945 disebutkan


salah satu tujuan negara Republic Indonesia adalah “mencerdaskan kehidupan
bangsa”. Dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 31 ayat (1) : “Tiap-tiap warga
Negara berhak mendapatkan pengajaran”. Dan juga dalam Undang-undang No
20 tahun 2003 Bab IV Pasal 5 ayat (1) menjelaskan “setiap warga Negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.

Beberapa diktum undang-undang diatas perlu dikutif dan dimaklumi betapa


semangat perundang-undangan kita untuk untuk menaggapi pemerataan
pendidikan, akan tetapi pernyataan itu belum bisa diwujutkan. Mengingat masih
banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak mampu mengenyam pendidikan
sampai pendidikan menengah.

Hal tersebut disebabkan karena masih banyaknya masyarakat Indonesia yang


berada dibawah garis kemiskinan, sehingga pendidikan menjadi “barang mahal”
bagi mereka. Ketidak mampuan mereka menyekolahkan anaknya sehingga
membuat anak tidak bersekolah atau dropt out. Selain dari itu dampak dari
factor ekonomi ini juga pada saat sekarang diberbagai kota telah muncul
sekolah-sekolah unggulan yang hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang
mempunyai kekuatan keuangan.

Kurikulum yang mengambang

Beracuan pada undang-undang No 20 tahun 2003 dalam hal kurikulum yaitu


bab X pasal 37. pendidikan kita belum sepenuhnya mampu menerapkan sesuai
kurikulum dalam undang-undang tersebut. dari sini masih kita temui urgensi
dari sebuah sekolah masih dipertanyakan, mengapa sekolah sekolah itu tidak
dapat menciptakan insan-insan yang peka atau tanggap dengan persoalan
realitas? Kita rasa pendidikan yang ada disekolah tidak mampu menjadikan
manusia secara utuh. Tidak mampu mengerjakan secara keahlian untuk bidang-
bidang tertentu. Sehingga hasil dari pendidikan tersebut menjadikan manusia
setengah-setengah. artinya tak sartu pun kemampuan untuk bidang-bidang
tertentu secara mendalam.

Selama ini apa saja yang diajarkan pada sekolah-sekolah hanya gagasan-
gagasan idealitas tanpa mau tanpa mau menyentuh persoalan realitas. Orang
kemudian lebih hafal dengan rumus-rumus kimia, fisika matematika atau teori-
teori lain yang secara langsung tidak bisa menjawab persoalan realitas yang
dihadapi peserta didik.
Pada umumnya ada beberapa hal yang menjadi masalah diseputar kurikulum :

Terlalu sentralistik, kurang menunjukan ciri dan spesifik kedaerahan, baik


dalam bentuk geografis maupun sosial budaya.

Kurikulum terlalu saraf dan padat.

Relevansi kurikulum dengan pasaran kerja, setiap tahun terjadi penumpukan


pengangguran dari out put lembaga pendidikan, hal ini disebabkan out put lebih
besar dari pada kebutuhan.

Rendahnya Mutu lulusan

Banyak masalah mutu yang dihadapi dalam dunia pendidikan kita, seperti Mutu
lulusan, mutu pengajaran, bimbinga dan latihan dari guru, serta mutu
profesionalisme dan kinerja guru. Mutu-mutu tersebut terkait dengan mutu
menejerial para pemimpin pendidikan. Keterbatasan dana, sarana dan prasarana,
fasilitas pendidikan, sumber belajar, alat dan bahan latihan, iklim sekolah dan
lingkungan pendidikan serta dukungan dari pihak-pihak yang terkait dengan
pendidikan. Semua kelemahan mutu dari komponen-komponen pendidikan
tersebut berujung pada rendahnya mutu lulusan.

Dalam hal tersebut berarti belum sesuai dengan yang diamanahkan dalam PP
No. 19 tahun 2005 bab VII pasal 42 ayat 1 dan 2 yaitu “(1). Setiap satuan
pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi prabot, peralatan pendidikan,
dan media media pendidikan, buku dan sumber belajar lainya, bahan habis
pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukanuntuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. (2). Setiap satuan pendidikan
wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan
satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang
laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi
daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat
berkreasi, dan ruang lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan”.

Mutu lulusan yang rendah dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti lulusan
tidak dapat melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi, tidak diterima dalam
dunia kerja, tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat dan tidak
produktif. Orang yang tidak produktif memungkinkan dia akan tersisih dari
masyarakat.

Solusi dari Problem Pendidikan di Indonesia.

Dengan munculnya problemalika yang komplek atau menyeluruh dalam dunia


pendidikan kita, tentunya sangat membutuhkan pemikiran dan perdiskusian
panjang agar problem tersebut secara bertahap dapat terselesaikan. Agar
pendidikan tersebut bisa berjalan secara ideal maka pendidikan harus diterapkan
sebagai mana yang telah diatur dalam undang undang pendidikan nasional. Ada
beberapa tawaran solusi dari problem yang dihadapi dalam pendidikan nasional
kita antaara lain.

H.Pencapaian dan persoalan pendidikan tinggi

Perkembangan pendidikan tinggi dewasa ini telah menimbulkan keprihatinan


meluas di tengah masyarakat. Terlebih dihadapkan pada krisis multidimensional
yang berkepanjangan. Masyarakat pun mengharapkan kepastian bagaimana
bangsa ini akan menghadapi kompetisi global. Demikian berbagai indikator
sosial dan ekonomi juga telah menunjukkan bahwa posisi bangsa ini makin
tertinggal dari bangsa-bangsa lain dalam kompetisi global.

BAGAIMANA pendidikan tinggi mencari jalan keluar dan bersama-sama


masyarakat menggalang upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini?
Bagaimana pula perguruan tinggi meningkatkan mutu akademiknya di tengah
keterbatasan sumber daya dan kurangnya perhatian dan dukungan lingkungan?

Kesemuanya ini menjadi latar belakang perlunya transformasi perguruan tinggi


pada era kompetisi global sekarang ini. Pemikiran bagaimana menempatkan
pendidikan tinggi sebagai ujung tombak perubahan bangsa sebenarnya sudah
berlangsung sejak lama. Berulang kali para pembuat kebijakan pendidikan
tinggi dihadapkan pada pilihan-pilihan antara pemerataan pendidikan atau
pengembangan pusat keunggulan (centers of excellence). Memasuki milenium
ketiga, tampaknya, pilihan telah ditentukan. Kita tidak dapat mewujudkan
keunggulan di segala bidang, di semua tempat, dan pada waktu yang bersamaan.
Karena itu, strategi pengembangan pendidikan tinggi diarahkan pada pemberian
peluang kepada perguruan tinggi yang mempunyai potensi dan kapasitas untuk
mengembangkan dirinya meraih keunggulan kompetitif. Yakni keunggulan
akademik atau yang sering kita sebut sebagai academic excellence.
Peranan perguruan tinggi dalam mempersiapkan daya saing bangsa mengarungi
era persaingan global sudah sangat urgency. Pada umumnya pendidikan tinggi
di negara ini telah tertinggal, bahkan terasing dari kebutuhan dan realitas sosial,
ekonomi, serta budaya masyarakatnya. Perguruan tinggi memerlukan otonomi
dan independensi untuk dapat memulihkan perannya itu keluar dari menara
gading dan terlibat secara langsung sebagai agent of change dalam perubahan
masyarakat.

Memosisikan sebuah perguruan tinggi pada barisan perguruan tinggi-perguruan


tinggi terbaik memerlukan perubahan yang fundamental sehingga mampu
bersaing (better competitive situation). Sebuah perguruan tinggi harus memiliki
strategic intent. Untuk mewujudkannya perlu dilakukan transformasi
kelembagaan yang lebih kompleks dari sekadar pengembangan organisasi
(organization development). Perguruan tinggi merupakan lembaga, dibangun
komunitas akademik yang bersifat kolegial, dan menjunjung tinggi academic
value untuk mencerdaskan bangsa. Ini yang membedakannya dengan organisasi
lain.

Melakukan perubahan fundamental untuk dapat menghasilkan nilai-nilai


akademik, sosial, dan ekonomi merupakan kata kunci dalam transformasi
sebuah perguruan tinggi. Transformasi kelembagaan ini mencakup penyelarasan
atau perancangan ulang dari strategi, struktur, sistem, stakeholders relation,
staff, skills (competence), style of leadership, dan shared value. Upaya
transformasi kelembagaan ini diharapkan dapat merevitalisasi peran perguruan
tinggi agar mampu berperan secara optimal dalam mewujudkan academic
excellence for education, for industrial relevance, for contribution for new
knowledge, dan for empowerment.

Keberhasilan transformasi pendidikan tinggi adalah faktor kunci agar perguruan


tinggi dapat berkiprah dalam kompetisi global. Restrukturisasi, rekonstruksi,
reposisi, dan revitalisasi berbagai fungsi serta komponen organisasi diperlukan
dalam proses transformasi ini. Secara garis besar, ada tiga prasyarat
keberhasilan transformasi perguruan tinggi.

Pertama, penyelarasan secara bertahap struktur kelembagaan (program dan


sumber daya) dengan perilaku civitas akademikanya untuk mencapai kinerja
yang ditargetkan (performance). Setiap anggota civitas akademika harus
mempunyai komitmen terhadap target mutu, ketepatan waktu, dan efektivitas
program. Kedua, orientasi proses akademik pada pelayanan dan kepuasan
stakeholders. Ketiga, kemampuan untuk menerapkan management best practice
dalam pengelolaan dan pengembangan perguruan tinggi.

Munculnya kesadaran (awareness) bahwa bangsa ini memerlukan perguruan


tinggi yang dapat diandalkan dalam kompetisi global merupakan faktor penting
dalam memulai suatu perubahan. UU Sistem Pendidikan Nasional yang
mengamanatkan pendidikan memperoleh 20% dari APBN merupakan peluang
untuk melakukan transformasi pendidikan tinggi di negara ini. Namun,
diperlukan keberanian untuk melakukan perubahan, do the right thing right at
the first time merupakan semboyan yang harus didengungkan. Perguruan tinggi
harus mengembangkan dirinya dan menyerap keterampilan management best
practice sehingga dapat menjalankan good university governance.

Dalam menjawab pertanyaan mengapa perguruan tinggi di negara ini belum


dapat menghasilkan lulusan yang mampu berkompetisi di pasar tenaga kerja
global dan bagaimana pengalamannya, maka dapatlah dikatakan bahwa secara
umum persoalan ini berkaitan dengan kompetensi lulusan. Proses belajar yang
berlangsung di kampus seharusnya memberikan jaminan mutu pada ketiga
faktor kompetensi knowledge, skill, dan attitude. Ketidakmampuan bersaing ini
disebabkan adanya kesenjangan antara kualifikasi yang diperlukan dengan
kompetensi lulusan. Perguruan tinggi harus menyiapkan lingkungan belajar
yang kondusif untuk terbentuknya kompetensi tersebut, perguruan tinggi
memerlukan exposure international, jaringan kerja sama dengan universitas di
luar negeri, pertukaran mahasiswa, dan lain-lain.

Selain itu, perguruan tinggi perlu mengupayakan peningkatan kemampuan


pendanaan dengan bijaksana dan kreatif. Perguruan tinggi harus menghindari
opini komersialisasi yang berlebihan, khususnya dalam penerimaan mahasiswa
baru. Sedapat mungkin diupayakan, dirancang sistem penerimaan mahasiswa
yang memenuhi prinsip keadilan, menjamin akses, dan ketepatan metode
(appropriateness).

Model penerimaan mahasiswa diusahakan terus diperbaiki dari segi alat


ukurnya dan kemungkinan peran serta orang tua mahasiswa yang mampu dalam
turut memikul biaya pendidikan. Singkatnya, setiap implikasi dari kebijakan
penerimaan mahasiswa perlu dikaji dan dicarikan jalan keluarnya (subsidi
silang, sponsorship, bekerja paro waktu di perguruan tinggi, dll.).

Sebagai sebuah lembaga akademik, peran perguruan tinggi sebagai penggerak


utama, prime mover, bagi perubahan sosial jelaslah terkait erat dengan
pencapaian academic excellence. Ini juga berarti bahwa academic excellence
yang dicapai harus selaras dengan arah perubahan sosial yang dikehendaki
bersama oleh segenap masyarakat.

Pencapaian academic excellence dalam artian di atas mejadi panduan dalam


pengembangan manajemen mutu dan upaya peningkatan mutu menjadi
tanggung jawab dari setiap anggota civitas akademika. Untuk mewujudkan
kebijakan mutu ini perlu dikembangkan sistem manajemen mutu yang bertujuan
memastikan konsistensi mutu dalam layanan jasa pendidikan serta
mengevaluasi dan meningkatkan pencapaian sasaran mutu. Langkah konkret
dalam membuat proses pencapaian mutu, misalnya, menetapkan indikator-
indikator seperti minimum 50% lulusannya mencapai indeks prestasi (IP)
sekurang-kurangnya 3.0; minimum 50% lulusan menyelesaikan studinya tepat
waktu; dan minimum 60% dosen mencapai indeks kinerja lebih dari 3.0. Selain
itu, bentuk peningkatan mutu yang dapat dilakukan pada area layanan akademik
seperti penyediaan sarana dan prasarana pendidikan seperti perpustakaan, ruang
kuliah, ruang studio/seminar, infrastruktur internet, serta pembuatan perangkat
lunak administrasi akademik.

Kampus sebagai Laboratorium Kehidupan

Idealnya sebuah lembaga pendidikan memang bisa berperan sebagai


’’laboratorium kehidupan dan alam semesta” yang berskala mini. Meskipun
mewujudkan lembaga yang ideal tidak mudah dan membutuhkan biaya yang
sangat tinggi, langkah-langkah yang realistis ke arah itu dapat ditempuh.
Pertama, menjadikan kampus sebagai ’’indigo society”, di mana proses belajar
mengajar dan bermain menjadi satu. Seperti dalam kehidupan sosial anak-anak,
mereka belajar melalui bermain dan bermain lewat belajar. Dalam bermain ini,
mereka melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal dan berbagi pengalaman
dengan teman-temannya.

Di dalam kampus, indigo society dapat terwujud melalui keterlibatan


mahasiswa dalam berbagai kegiatan di unit-unit penelitian, unit-unit usaha, unit-
unit kegiatan mahasiswa, dan unit-unit pemberdayaan masyarakat. Ini
memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk banyak berlatih, bereksplorasi,
dan berinteraksi lebih dekat dengan para dosen.
Yang kedua, berpegang pada prinsip relevance bahwa apa-apa yang menjadi
pokok bahasan di dalam kampus juga –kurang lebih– merupakan apa-apa yang
dibahas dalam konteks sosial yang lebih luas, meskipun dengan kedalaman dan
kekompleksan yang berbeda.

Yang ketiga adalah menjadi ’’gaul”. Kemampuan bergaul adalah sejenis


kemampuan/keterampilan untuk menjalin hubungan antarpersonal. Ini
mencakup kemampuan untuk mendengarkan dan memahami orang lain dan
kemampuan untuk membuat diri sendiri bisa dimengerti oleh orang lain. Sarana
utama dalam bergaul adalah komunikasi dan ’’kunci” bagi komunikasi adalah to
listen. Di dalam kampus ’’gaul” dapat ditingkatkan dengan cara memperbanyak
dan memperkaya bentuk forum-forum interaksi antarmahasiswa, antara
mahasiswa dengan dosen, antara siswa, serta karyawan dengan dosen. Interaksi-
interaksi ini diupayakan untuk bisa berlangsung dalam suasana yang rileks tapi
tanpa mengurangi keseriusan, terbuka, dan akrab. Dalam situasi demikian,
seseorang tidak akan mengalami hambatan psikologis untuk berusaha lebih
mengenal orang lain ataupun untuk memperkenalkan diri.

Dalam konteks ini, institusional pendidikan perlu mampu mencapai academic


excellence yang terus-menerus memotivasi, baik para mahasiswa, para dosen,
maupun segenap tenaga pendukung pendidikan. Untuk mencapai tersebut perlu
dikembangkan sistem manajemen mutu, menghidupkan suasana ’’indigo
society”, mempromosikan relevance, dan ’’gaul”.

Dengan langkah-langkah demikian, diharapkan kampus dapat berperan bukan


saja sebagai ’’laboratorium kehidupan” mini, melainkan juga sebagai salah satu
learning center bagi masyarakat luas untuk bisa mewujudkan dunia pendidikan
yang semakin cerah dan mencerahkan.

I.Pencapaian dan persoalan pendidikan nonformal

Kesulitan Dan tantangan dalam kehidupan manusia baik yang diakibatkan oleh
lingkungan maupun alam yang kurang bersahabat, sering memaksa manusia
untuk mencari cara yang memungkinkan mereka untuk keluar dari kesulitan
yang dialaminya. Masih banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan
ke taraf yang memungkinkan mereka menggeluti profesi tertentu, menuntut
upaya-upaya untuk membantu mereka dalam mewujudkan potensi yang
dimilikinya agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa.
Sejauh ini, anggran yang berkaitan dengan pendidikan mereka masih terbatas,
sehingga berbagai upaya untuk dapat terus mendorong keterlibatan masyarakat
dalam membangun pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini
dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan dan
mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya.

Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi, pendidikan luar sekolah


berusaha mencari jawaban dengan menelusuri pola-pola pendidikan yang ada,
seperti pesantren, dan pendidikan keagamaan lainnya yang keberadaannya
sudah jauh sebelum Indonesia merdeka, bertahan hidup sampai sekarang dan
dicintai, dihargai dan diminati serta berakar dalam masyarakat. Kelanggengan
lembaga-lembaga tersebut karena tumbuh dan berkembang, dibiayai dan
dikelola oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat
merasakan adanya kebermaknaan dari program-program belajar yang disajikan
bagi kehidupannya, karena pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat.

Dalam hubungan ini pendidikan termasuk pendidikan nonformal yang berbasis


kepentingan masyarakat lainnya, perlu mencermati hal tersebut, agar
keberadaannya dapat diterima dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan
masyarakat berkaitan dengan kepentingan hidup mereka dalam mengisi upaya
pembangunan di masyarakatnya. Ini berarti bahwa pendidikan nonformal perlu
menjadikan masyarakat sebagai sumber atau rujukan dalam penyelenggaaraan
program pendidikannya.

Hasil kajian Tim reformasi pendidikan dalam konteks Otonomi daerah (Fasli
Jalal, Dedi Supriadi. 2001) dapat disimpulkan bahwa apabila pendidikan luar
sekolah (pendidikan nonformal) ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat,
maka mereka harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di
masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan
masyarakatnya. Strategi itulah yang perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan
oleh pendidikan luar sekolah dalam membantu menyediakan pendidikan bagi
masyarakat yang karena berbagai hal tidak terlayani oleh jalur formal/sekolah.

Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah
bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka
tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong
untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat,
yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat

B. PENDIDIKAN NONFORMAL BERBASIS MASYARAKAT

Pendidikan berbasis masyarakat (communihy-based education) merupakan


mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya
ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup.
Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar
modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi
kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan
harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya
bagi partisipasi masyarakat.~

Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan


partisipasi masyarakat di dalamnva. Partisipasi pada konteks ini berupa kerja
sama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan,
menjaga dan mengembangkan aktivitas pendidikaan. Sebagai sebuah kerja
sama, maka masvarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi
dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan.

1. Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat

Pendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi


pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan
masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan
penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi
tantangan kehidupan yang berubah-ubah.

Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model


penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh
masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya
pendidik memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh
masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan,
bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan
partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian
pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua
program yang dirancang untuk menjawab kebutullan mereka. Secara singkat
dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi Peluang dan kebebasan untuk
merddesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa
yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.

Di dalam Undang-undang no 20/2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan


berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan
agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan
pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa
pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu pendidikan
yang memberikan kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk
menentukan bidang pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu
sendiri.

Sementara itu dilingkungan akademik para akhli juga memberikan batasan


pendidikan berbasis masyarakat. Menurut Michael W. Galbraith, community-
based education could be defined as an educational process by which
individuals (in this case adults) become more corrtpetent in their skills,
attitudes, and concepts in an effort to live in and gain more control over local
aspects of their communities through democratic participation. Artinya,
pendidikan berbasis masvarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan di
mana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam
ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan
mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui partisipasi
demokratis
BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan

Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa pada intinya pendidikan


kontemporer harus menyesuaikan perkembangan zaman dan perkembangan
teknologi. Untuk itu yang perlu dilakukan adalah mengembangkan sistem
pendidikan yang berwawasan global agar menghasilkan out put (lulusan) dari
lembaga pendidikan yang lebih bermutu, supaya mereka percaya diri dalam
menghadapi persaingan global, dan mengedepankan metode interdisipliner,
interkonektifitas. Paradigma baru yang menyatukan, bukan sekedar
menggabungkan wahyu tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu holistik
integralistik)[18]. Atau dengan kata lain pendidikan yang menjadikan satu
antara fisi, konsep dan tujuan.

Struktur keilmuan tersebut adalah mempertemukan kembali antara ilmu-ilmu


Agama (religius sciences) dengan ilmu-ilmu umum (modern sciences)[19].
Saling terkait (interconnected entities)[20]. yang akan mengsinerjikan disiplin
ilmu tersebut agar mampu berjalan bersama, supaya mampu diterapkan sesuai
konsep pendidikan ideal yang akan menghasilkan progres dalam dunia
pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai