PENGANTAR PENDIDIKAN
PENCAPAIAN DAN PERSOALAN-PERSOALAN
PENDIDIKAN NASIONAL KONTEMPORER
DISUSUN OLEH:
ELIGA KHOIRIYAH
(06121181924007)
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik allah swt.sholawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah swt.berkat limpahan dan rahmat-nya,penyusun mampu
menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah pengantar
pendidikan.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini,tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi.namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi
ini tidak lain berkat bantuan,dorongan,dan bimbingan orang tua,sehingga
kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang ‘KONSEP
PENCAPAIAN PENDIDIKAN NASIONAL KONTEMPORER’yang kami
sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi,referensi,dan
berita.makalah ini disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan.baik itu
yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar.namun dengan
penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari allah akhirnya makalah ini
terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa universitas
sriwijaya.saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna.untuk itu,kepada dosen pembimbing saya meminta masukannya demi
perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Eliga Khoiriyah
DAFTAR ISI
Bab 1 pendahuluan
Bab 2 pembahasan
Bab 3 penutup
3.1 kesimpulan...................................................................................................
Bab 1
Pendahuluan
1.2 TUJUAN
Yang menjadi tujuan pembuatan makalah ini yaitu:
1.untuk menambah wawasan bagi pembaca tentang sistem pendidikan.
2.untuk membimbing manusia dalam mengembangkan sistem kebudayaan
islam.
3.Dan sebagai pelengkap tugas mata kuliah pengantar pendidikan.
BAB 2
Pembahasan
Lalu apa yang dapat dilakukan oleh sebuah negara berpendapatan menengah
seperti Indonesia untuk mengatasi ketidaksetaraan pendidikan? Kantor Bank
Dunia Jakarta baru saja merilis sebuah survei kualitas tata kelola pendidikan
pada 50 pemerintah daerah di Indonesia, yang berpendapat bahwa segala
upaya untuk mempersempit ketidaksetaraan harus berpusat pada penguatann
kapasitas pemerintah daerah dalam menyelenggarakan layanan pendidikan
berkualitas bagi seluruh anak-anak.
Namun, laporan ini juga menemukan bahwa tata kelola pendidikan daerah
hanya meningkat sedikit dalam tiga tahun terakhir. Dalam beberapa area,
tata kelola mengalami kemunduran. Sebagai contoh, jumlah pemerintah
daerah yang secara sistematis mendokumentasikan dan menyebarluaskan
contoh-contoh praktik yang baik menurun drastis. Pada praktik perencanaan
juga muncul untuk menghindari upaya meningkatkan partisipasi
masyarakat. Sebagai contoh, tahun 2012, hanya 12 persen pemerintah
daerah melakukan konsolidasi atas rencana pembangunan sekolah untuk
digunakan dalam proses perencanaan pendidikan di daerahnya.
Pemerintah daerah yang turut serta dalam kajian ini juga menjadi bagian
dari sebuah program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang
dirancang untuk peningkatan kapasitas. Sementara kajian ini menyoroti
beberapa keuntungan pada tingkat sekolah, peningkatan pada level
manajemen pemerintah daerah lebih sederhana. Dua pelajaran penting yang
muncul dari pengalaman dalam melaksanakan program peningkatan
kapasitas seperti ini:
Pesan besarnya adalah penguatan tata kelola dan manajemen dari sistem
pendidikan daerah dapat membantu mempersempit ketidaksetaraan
pendidikan. Hal ini juga dapat membantu Indonesia meletakkan dasar untuk
memastikan bahwa tidak satu pun anak tertinggal pada saat agenda
pembangunan sedang berlangsung.
Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi
kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan
dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas
pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan
menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik
sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu
Oliva (1997:12) mengatakan “Curriculum itself is a construct or concept, a
verbalization of an extremely complex idea or set of ideas”.
Selain kurikulum diartikan sebagai dokumen, para akhli kurikulum
mengemukakan berbagai definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai
dengan konstruk kurikulum yang ada pada dirinya. Perbedaan pendapat para
ahli didasarkan pada isu berikut ini:
filosofi kurikulum
ruang lingkup komponen kurikulum
polarisasi kurikulum – kegiatan belajar
posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum
Sajian ini, bisa dikategorikan sebagai kritik moralis pula, karena diajukan
bukan untuk mengganti sistem, melainkan justru agar sistem tersebut
bekerja sebagaimana diharapkan. Bahkan terhadap pro-kontra ujian nasional
pun, sajian ini mengambil sikap tegas menyetujui, walaupun dengan
sejumlah catatan di sana sini.
(1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk
memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik
secara berkesinambungan.
Karena itu, alih-alih menolak segala bentuk evaluasi eksternal, akan lebih
bermanfaat apabila segala usaha diarahkan untuk membantu peserta didik
agar senantiasa siap untuk menghadapi segala macam bentuk ujian, baik
dari dalam maupun dari luar. Ini berarti bahwa selain tetap dituntut agar
para pendidik menyelenggarakan evaluasi formatif untuk perbaikan proses
pembelajaran, juga melakukan dan atau menerima evaluasi sumatif untuk
penentuan keberhasilan. Bukankah ada ungkapan bahwa “the function of
evaluation is not only to prove any effort, but also to improve it”.
Bagaimana mempersiapkan para siswa menghadapi evaluasi, baik internal
maupun eksternal?
Langkah ketiga, setelah para guru sendiri memahami bentuk dan muatan
ujian eksternal, guru bisa membantu siswanya: (1) mengetahui dengan jelas
apa yang akan diberikan pada ujian, (2) memberi kesempatan siswa untuk
mengerjakan soal yang hampir sama dengan kondisi seperti ujian, dan (3)
memberikan harapan positif pada siswanya dan mendorong mereka
menghubungkan sukses dan usaha
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah)
atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari
Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat
tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-
manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada
murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang
diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid
dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer
kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut
tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model
pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire
mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan
sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya
berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan
apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang
dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan
bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang
adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak
belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-
akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama
melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang
berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur
dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai
salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial,
budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini
penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk
melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita.
Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi
kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan
serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan
menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal
ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan
untuk direnungkan.
Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu.
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.
walaupun secara tegas dinyatakan bahwa Indonesia bukan Negara agama dan
bukan pula Negara sekuler, tetapi Negara Pancasila.Dengan status Negara yang
demikian, maka wajar kalau kemudian Pemerintah Indonesia tetap memandang
bahwa agama menduduki posisi penting di negeri ini sebagai sumber nilai yang
berlaku.
Hal ini dapat kita lihat bagaimana posisi agama (pendidikan agama) dalam UU
Sisdiknas 2003. dari berbagai Pasal di atas menerangkan bahwa pendidikan
agama sebagai sumber nilai dan bagian dari pendidikan nasional. Pendidikan
agama mempunyai peran penting dalam mengembangkan potensi peserta didik
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia dan kepribadian
muslim (khusus agama Islam).
h. Agama;
a. pendidikan Agama;
b. pendidikan Kewarganegaraan;
c. Bahasa;
d. Matematika;
i. Keterampilan/kejuruan; dan
Komptensi Standar, yaitu kemampuan minimal yang harus dicapai setelah anak
didik menyelesaikan suatu mata pelajaran tertentu pada setiap jenjang
pendidikan yang diikutinya.
d) estetika
Pemerataan pendidikan
Selama ini apa saja yang diajarkan pada sekolah-sekolah hanya gagasan-
gagasan idealitas tanpa mau tanpa mau menyentuh persoalan realitas. Orang
kemudian lebih hafal dengan rumus-rumus kimia, fisika matematika atau teori-
teori lain yang secara langsung tidak bisa menjawab persoalan realitas yang
dihadapi peserta didik.
Pada umumnya ada beberapa hal yang menjadi masalah diseputar kurikulum :
Banyak masalah mutu yang dihadapi dalam dunia pendidikan kita, seperti Mutu
lulusan, mutu pengajaran, bimbinga dan latihan dari guru, serta mutu
profesionalisme dan kinerja guru. Mutu-mutu tersebut terkait dengan mutu
menejerial para pemimpin pendidikan. Keterbatasan dana, sarana dan prasarana,
fasilitas pendidikan, sumber belajar, alat dan bahan latihan, iklim sekolah dan
lingkungan pendidikan serta dukungan dari pihak-pihak yang terkait dengan
pendidikan. Semua kelemahan mutu dari komponen-komponen pendidikan
tersebut berujung pada rendahnya mutu lulusan.
Dalam hal tersebut berarti belum sesuai dengan yang diamanahkan dalam PP
No. 19 tahun 2005 bab VII pasal 42 ayat 1 dan 2 yaitu “(1). Setiap satuan
pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi prabot, peralatan pendidikan,
dan media media pendidikan, buku dan sumber belajar lainya, bahan habis
pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukanuntuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. (2). Setiap satuan pendidikan
wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan
satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang
laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi
daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat
berkreasi, dan ruang lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan”.
Mutu lulusan yang rendah dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti lulusan
tidak dapat melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi, tidak diterima dalam
dunia kerja, tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat dan tidak
produktif. Orang yang tidak produktif memungkinkan dia akan tersisih dari
masyarakat.
Kesulitan Dan tantangan dalam kehidupan manusia baik yang diakibatkan oleh
lingkungan maupun alam yang kurang bersahabat, sering memaksa manusia
untuk mencari cara yang memungkinkan mereka untuk keluar dari kesulitan
yang dialaminya. Masih banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan
ke taraf yang memungkinkan mereka menggeluti profesi tertentu, menuntut
upaya-upaya untuk membantu mereka dalam mewujudkan potensi yang
dimilikinya agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa.
Sejauh ini, anggran yang berkaitan dengan pendidikan mereka masih terbatas,
sehingga berbagai upaya untuk dapat terus mendorong keterlibatan masyarakat
dalam membangun pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini
dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan dan
mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya.
Hasil kajian Tim reformasi pendidikan dalam konteks Otonomi daerah (Fasli
Jalal, Dedi Supriadi. 2001) dapat disimpulkan bahwa apabila pendidikan luar
sekolah (pendidikan nonformal) ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat,
maka mereka harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di
masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan
masyarakatnya. Strategi itulah yang perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan
oleh pendidikan luar sekolah dalam membantu menyediakan pendidikan bagi
masyarakat yang karena berbagai hal tidak terlayani oleh jalur formal/sekolah.
Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah
bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka
tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong
untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat,
yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat
Penutup
3.1 Kesimpulan