Anal Atresia Referat
Anal Atresia Referat
PENDAHULUAN
Anal atresia adalah salah satu anomali kongenital yang sering sering ditemui
di bidang bedah pediatrik. Anal atresia didefinisikan sebagai salah satu jenis cacat
bawaan yang terjadi saat usia kehamilan mencapai 5-7 minggu, di mana
perkembangan bentuk rektum (bagian akhir usus besar) sampai lubang anus tidak
sempurna. Tatalaksana pada keadaan ini dipengaruhi oleh beberapa jenis, yaitu
jenis kelamin, dengan atau tanpa fistula, dan lokasi fistula.
Tatalaksana pada kasus ini sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Kasus anal
atresia dikelola dengan pembedahan berupa rekonstruksi lubang anal baru di dalam
sfingter eksternal dengan beberapa teknik yang telah dilakukan. Pada tahun 1982,
tatalaksana sagital posterior diperkenalkan dan sejak itu menjadi tatalaksana utama
yang diterima secara luas sebagai standar pendekatan untuk semua jenis anal
atresia.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Mulut
Mulut atau oris adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri atas 2
bagian:
a. Bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang di antara gusi, gigi, bibir
dan pipi.
b. Bagian rongga mulut bagian dalam, yaitu rongga mulut yang di batasi
sisinya oleh tulang maksilaris, palatum mandibularis, di sebelah belakang
bersambung dengan faring.
2
Palatum, terdiri atas 2 bagian yaitu :
a. Palatum durum (palatum keras) yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum dan
sebelah depan tulang maksilaris dan lebih ke belakang terdiri dari 2 tulang
palatum.
Gerakannya dikendalikan oleh ototnya sendiri, di sebelah kanan dan kiri dari
tiang fauses terdapat saluran lendir menembus ke tonsil.
2. Lidah
Lidah terdiri dari otot serat lintang dan dilapisi oleh selaput lendir, kerja otot
lidah ini dapat digerakkan ke seluruh arah. Lidah dibagi atas tiga bagian,
radiks lingua (pangkal lidah), dorsum lingua (punggung lidah), dan apeks
lingua (ujung lidah). Pada pangkal lidah yang belakang terdapat epiglotis
yang berfungsi untuk menutup jalan nafas pada waktu kita menelan makanan,
supaya makanan jangan masuk ke jalan nafas. Punggung lidah (dorsum
lingua) terdapat puting-puting pengecap atau ujung saraf pengecap. Frenulum
lingua merupakan selaput lendir yang terdapat pada bagian bawah kira-kira
di tengah, jika lidah digerakkan ke atas nampak selaput lendir. Flika
sublingua terdapat di sebelah kiri dan kanan frenulum lingua, di sini terdapat
pula lipatan selaput lendir. Pada pertengahan flika sublingua ini terdapat
saluran dari grandula parotis, submaksilaris, dan glandula sublingualis.
3. Faring
3
dan jalan makanan, letaknya di belakang rongga mulut dan rongga hidung, di
depan ruas tulang belakang, ke atas bagian depan berhubungan dengan
rongga hidung, dengan perantara lubang bernama koana.
4. Esofagus
5. Hati
Hati atau hepar adalah organ yang paling besar di dalam tubuh kita, warnanya
coklat dan beratnya kira-kira 1 ½ kg. Letaknya di bagian atas dalam rongga
abdomen di sebelah kanan bawah diafragma. Hati terdiri atas 2 lapisan utama
4
: permukaan atas berbentuk cembung, terletak di bawah diafragma, dan
permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan fisura transverses.
Hati mempunyai 2 jenis peredaran darah yaitu arteri hepatika dan vena
porta. Arteri hepatika, keluar dari aorta dan member 1/5 darah pada hati,
masuk ke hati akan membeku jaringan kapiler setelah bertemu dengan kapiler
vena, akhirnya keluar sebagai vena hepatika. Vena porta yang terbentuk dari
lienalis dan vena mesentrika superior menghantarkan 4/5 darahnya ke hati.
Fungsi hati :
a. Mengubah zat makanan yang di absorpsi dari usus dan yang disimpan di
suatu tempat dalam tubuh.
b. Mengubah zat buangan dan penawar racun untuk disekresi dalam empedu
dan urine.
6. Lambung
Lambung atau gaster merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang
paling banyak terutama di daerah epigaster. Lambung terdiri dari bagian atas
fundus uteri berhubungan dengan esophagus melalui orifisium pilorik,
terletak di bawah diafragma di depan pankreas dan limpa, menempel di
sebelah kiri fundus uteri. Sekresi getah lambung mulai terjadi pada awal
orang makan. Bila melihat makanan dan mencium bau makanan maka sekresi
lambung akan terangsang. Rasa makanan merangsang sekresi lambung
karena kerja saraf menimbulkan rangsang kimiawi yang menyebabkan
dinding lambung melepaskan hormon yang disebut sekresi getah lambung.
Getah lambung di halangi oleh sistem saraf simpatis yang dapat terjadi pada
waktu gangguan emosi seperti marah dan rasa takut.
5
Fungsi lambung :
7. Pankreas
8. Usus halus
Usus halus atau intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan
makanan yang berpangkal pada pylorus dan berakhir pada sekum panjangnya
± 6 m, merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan
absorpsi hasil pencernaan yang terdiri dari lapisan usus halus (lapisan mukosa
(sebelah di dalam), lapisan otot melingkar (M.sirkuler), lapisan otot
memanjang (M. longitudinal), dan lapisan serosa (sebelah luar)).
6
Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan makanan cair
dan lemak yang diabsorpsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui
pembuluh limfe masuk ke dalam pembuluh kapiler darah di vili dan oleh vena
porta dibawa ke hati untuk mengalami beberapa perubahan.
9. Duodenum
Jejunum dan ileum mempunyai panjang sekitar 6 m. Dua perlima bagian atas
adalah jejunum dengan panjang ± 23 m, dan ileum dengan panjang 4-5 m.
Lekukan jejunum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan
perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas dikenal sebagai
mesenterium. Sambungan antara jejunum dan ileum tidak mempunyai batas
yang tegas. Ujung bawah ileum berhubungan dengan sekum dengan
7
perantaraan lubang yang bernama orifisium ileosekalis. Orifisium ini
diperkuat oleh sfingter ileosekalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula
sekalis valvula baukhini yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam kolon
asenden tidak masuk kembali ke ileum.
12. Sekum
Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari ujung sekum,
mempunyai pintu keluar yang sempit tetapi masih memungkinkan dapat
dilewati oleh beberapa isi usus. Apendiks tergantung menyilang pada linea
terminalis masuk ke dalam rongga pelvis minor, terletak horizontal dibelakang
sekum. Sebagai suatu organ pertahanan terhadap infeksi kadang apendiks
bereaksi secara hebat dan hiperaktif yang bisa menimbulkan perforasi
dindingnya ke dalam rongga abdomen.
8
Panjangnya ± 38 cm, membujur dari kolon desenden, berada dibawah
abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatika dan sebelah kiri terdapat
fleksura lienalis.
18. Rektum
19. Anus
9
2.2 Embriologi
Pada usia kehamilan 4-6 bulan, yolk sac atau hindgut dan allantois atau
sinus urogenital primitif masuk kedalam kloaka. Septum urorektal membentuk
suatu lipatan (Tourneux dan Rathke folds) pada dinding kloaka bagian lateral;
10
pada saat yang sama, embrio mulai melengkung oleh karena penyesuaian
pertumbuhan longitudinal dari neural tube yang mengalami perkembangan dan
kompartemen mesoderm. Karena adanya perubahan morfologi ini, jarak antara
membran kloaka dan ujung distal septum urorektal berkurang secara perlahan.
Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran
yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus
11
yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau
kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum
Etiologi MAR sampai saat ini belum diketahui, dan dicurigai bersifat
multifaktorial. Dalam beberapa tahun terakhir, dilakukan penelitian mengenai
faktor resiko non-genetik terjadinya malformasi anorektal. Di antaranya faktor
gaya hidup (tembakau, alkohol, kafein, obat-obatan), bahaya pekerjaan,
penyakit kronis, demam dan cedera. Kelebihan berat badan ibu, obesitas dan
diabetes, dipercaya terkait dengan peningkatan risiko MAR.
Salah satu faktor resiko yang menyebabkan terjadinya atresia ani pada salah
satu jurnal systematic review and meta-analysis memaparkan bahwa terdapat
hubungan antara konsumsi obat-obatan tertentu dengan kejadian malformasi
anorektal pada bayi baru lahir. Konsumsi asam folat, vitamin, obat-obatan
antidepresan, asma dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
organ anorektal.
12
Klasifikasi yang didasarkan pada letak ujung atresia terhadap otot dasar
panggul tidak berpengaruh signifikan terhadap prognosis maupun penentuan
tatalaksananya, sehingga saat ini klasifikasi atresia ani didasarkan pada jenis
kelamin dan ada tidaknya fistula pada atresia ani.
13
Tabel 2.1: Klasifikasi Wingspread (Gangopadhyay, 2016)
14
Tabel 2.3: Klasifikasi Krickenberg (Gangopadhyay, 2016)
15
Gambar 2.3: Lokasi fistula pada bayi laki-laki dengan MAR (Alamo, 2015)
Gambar 2.4: Lokasi fistula pada bayi perempuan dengan MAR (Alamo,
2015)
16
sampai bagian akhir rektum. Pada bayi perempuan, diagnosis tergantung ada
tidaknya perineum. Pada keadaan normal, terlihat tiga lubang yang terbentuk,
yang paling depan adalah uretra, dibawahnya vagina, keduanya berada dalam
vestibulum. Bagian belakang peruneum terdapat anus. Adanya ketiga lubang,
dengan lokasi anus yang abnormal adalah suatu keadaan fistula perianal.
Apabila terdapat lubang ketiga pada bagian vestibulum, maka disebut fistula
vestibular. Apabila hanya terdapat satu lubang, maka keadaan ini disebut
persistent cloaca.
Pemeriksaan rutin dilakukan untuk mencari kelainan lain. Lebih dari 50%
penderita mempunyai kelainan kongenital lain. Kelainan yang sering
ditemukan adalah kelainan saluran genito-urinal (40-50%), paling sering
ditemukan kelainan kardiovaskular (30-35%), kelainan saluran cerna (5-10%)
dan VACTERL (vertebral defects, anal atresia, cardiac defects, tracheo-
esophageal fistula, renal anomalies, and limb abnormalities). Semakin tinggi
rectal pouch, semakin tinggi kemungkinan terjadinya anomali yang lainnya.
Invertogram
17
Gambar 2.5: Invertogram: jarak rectal shadow dan kulit (>1 cm) (Agrawal,
2018)
Gambar 2.6: Posisi bayi Prone Cross-table Lateral View (Bhatnagar, 2015)
18
Gambar 2.7: Radiografi Prone Cross-table Lateral View (Bischoff, 2018)
Ultrasonic examination
19
Gambar 2.8: Anovestibular fistula Gambar 2.9: Rectoprostatic
(Hosokawa, 2016) urethral fistula (Hosokawa, 2016)
20
2.8 Tatalaksana Anal Atresia
Evaluasi dini pada bayi baru lahir dengan anomali anorektal sangat penting.
Pada negara berkembang, penanganan sering terlambat dilakukan karena gejala
pada bayi dengan MAR tidak khas pada waktu awal kelahiran. Gejala-gejala MAR
pada bayi antera lain distensi abdomen, dehidrasi, dan sepsis. Resusitasi dini
dengan cairan IV dan antibiotik broadspectrum memegang kunci penting hasil
akhir dari MAR. Setelah dilakukan penilaian pada anomali-anomali lain yang
sekiranya berhubungan dengan MAR, pada bayi dilakukan kolostomi, yang
nantinya dilakukan tatalaksana yang lebih definitif. Tatalaksana pada bayi laki -
laki dan perempuan berbeda.
Bayi Laki-laki
Bayi Perempuan
Kondisi umum, mulai munculnya gejala dan jumlah lubang pada vestibulum
menentukan treatment yang akan dilakukan. Distensi abdomen, sepsis, dan
adanya kloaka persisten (satu lubang) memerlukan tindakan kolostomi.
Anomali yang paling sering terjadi pada bayi perempuan adalah
rectovestibular dan memperlihatkan uretra dan vagina yang normal, dan
21
lubang yang lain yaitu fistula rektal pada vestibulum. Kasus-kasus seperti ini
dapat ditatalaksana dengan tindakan kolostomi dan operasi definitif PSARP.
22
Gambar 2.13: MAR pada Bayi Laki-laki (Westgarth-Taylor, 2016)
23
Gambar 2.14: MAR pada Bayi Perempuan (Westgarth-Taylor, 2016)
24
BAB III
KESIMPULAN
Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai lubang
keluar. Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun patofisiologi yang
terjadi pada bayi dengan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan
pertumbuhan dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada persalinan,
pemeriksaan fisik pada neonatus dilakukan termasuk pada bagian perineum. Ketiadaan
anus ataupun lokasi abnormal dari anus merupakan tanda malformasi anorektal.
Pemeriksaan rutin dilakukan untuk mencari kelainan lain. Lebih dari 50%
penderita mempunyai kelainan kongenital lain. Untuk memperkuat diagnosis,
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan Sinar X
terhadap abdomen, Ultrasound terhadap abdomen, kolostogram, CT Scan dan lain-
lain. Penatalaksanaan medis yang sering dilakukan pada bayi dengan atresia ani yaitu
pada Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang disebut PSARP
(Posterosuperior Anorectoplasty) dan Colostomi sementara yaitu pembuatan lubang
pada abdomen yang berfungsi sebagai pengganti anus .
25
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, T., Rimal HS., et al. 2018. Case Report: Newborn With Anorectal
Malformation. Birat Journal of Health Sciences Vol. 3No.2 Issue 6 . pp. 500-
503
Ahmad, H., et al. 2019. Imperforate Anus and Rectourethral Fistula in a Female.
European Journal of Pediatric Surgery Reports Vol. 7 No. 1. pp. e36-e38
Alamo, et al. 2015. Anorectal Malformations: Finding the Pathway out of the
Labyrinth. Departments of Diagnostic and Interventional Radiology Centre
Hospitalier Universitaire Vaudois, Lausanne, Switzerland. Vol. 33 No. 2 pp.
499-512
Bhatnagar, S. 2015. Anorectal Malformations (Part 2). Jurnal of Neonatal Surgery Vol.
4 No. 2 pp. 25
Gao, XY., et al. 2016. Risk Factors for Congenital Anal Atresia. Chinese Journal of
Contemporary Pediatrics. Vol. 18 no. 6. pp. 541-544
Hosokawa, T., et al. 2017. Sonography for an Imperforate Anus Approach, Timing of
the Examination, and Evaluation of the Type of Imperforate Anus and
Associated Anomalies. J Ultrasound Med 2017. Vol. 36. pp. 1747–1758
Kamal, J., Rayes, O. 2018. A Collective Review of Cases with Imperforate Anus
Managed in a Teaching Hospital. Department of Surgery, Division of
Pediatric Surgery, King Abdul Aziz University Hospital. Vol 1, Issue 3, pp.
122-125
26
Qazi, S, Faruque, A. 2016. Functional Outcome of Anorectal Malformations and
Associated Anomalies in Era of Krickenberg Classification. Journal of the
College of Physicians and Surgeons Pakistan 2016. Vol. 26 (3), pp. 204-207
Westgarth-Taylor, C., et al. 2016. Imaging in anorectal malformations: What does the
surgeon need to know?. S Afr J Rad. Vol. 19 No. 2. pp. 1-10
Zwink1, N, Jenetzky, E. 2018. Maternal drug use and the risk of anorectal
malformations: systematic review and meta-analysis. Zwink and Jenetzky
Orphanet Journal of Rare Diseases Vol. 13 no. 75. Pp 1-23
27