Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Anal atresia adalah salah satu anomali kongenital yang sering sering ditemui
di bidang bedah pediatrik. Anal atresia didefinisikan sebagai salah satu jenis cacat
bawaan yang terjadi saat usia kehamilan mencapai 5-7 minggu, di mana
perkembangan bentuk rektum (bagian akhir usus besar) sampai lubang anus tidak
sempurna. Tatalaksana pada keadaan ini dipengaruhi oleh beberapa jenis, yaitu
jenis kelamin, dengan atau tanpa fistula, dan lokasi fistula.

Anal atresia dilaporkan mempunyai insiden 1 per 4000-5000 kelahiran


hidup secara global. Yang menjadi penyebab keadaan ini adalah adanya kegagalan
dalam penurunan septum urorektal dan membran kloaka selama perkembangan
embrio dari tail end embrio selama minggu keenam kehamilan. Tidak ada faktor
genetik atau lingkungan yang ditemukan untuk dikaitkan dengan anomali ini.

Tatalaksana pada kasus ini sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Kasus anal
atresia dikelola dengan pembedahan berupa rekonstruksi lubang anal baru di dalam
sfingter eksternal dengan beberapa teknik yang telah dilakukan. Pada tahun 1982,
tatalaksana sagital posterior diperkenalkan dan sejak itu menjadi tatalaksana utama
yang diterima secara luas sebagai standar pendekatan untuk semua jenis anal
atresia.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Digestivus

Gambar 2.1: Anatomi Sistem Pencernaan (Pearson, 2009)

Susunan saluran pencernaan terdiri dari :

1. Mulut

Mulut atau oris adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri atas 2
bagian:

a. Bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang di antara gusi, gigi, bibir
dan pipi.

b. Bagian rongga mulut bagian dalam, yaitu rongga mulut yang di batasi
sisinya oleh tulang maksilaris, palatum mandibularis, di sebelah belakang
bersambung dengan faring.

2
Palatum, terdiri atas 2 bagian yaitu :

a. Palatum durum (palatum keras) yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum dan
sebelah depan tulang maksilaris dan lebih ke belakang terdiri dari 2 tulang
palatum.

b. Palatum yang dapat bergerak, terdiri mole (palatum lunak) terletak di


belakang yang merupakan lipatan menggantung atas jaringan fibrosa dan
selaput lendir.

Gerakannya dikendalikan oleh ototnya sendiri, di sebelah kanan dan kiri dari
tiang fauses terdapat saluran lendir menembus ke tonsil.

2. Lidah

Lidah terdiri dari otot serat lintang dan dilapisi oleh selaput lendir, kerja otot
lidah ini dapat digerakkan ke seluruh arah. Lidah dibagi atas tiga bagian,
radiks lingua (pangkal lidah), dorsum lingua (punggung lidah), dan apeks
lingua (ujung lidah). Pada pangkal lidah yang belakang terdapat epiglotis
yang berfungsi untuk menutup jalan nafas pada waktu kita menelan makanan,
supaya makanan jangan masuk ke jalan nafas. Punggung lidah (dorsum
lingua) terdapat puting-puting pengecap atau ujung saraf pengecap. Frenulum
lingua merupakan selaput lendir yang terdapat pada bagian bawah kira-kira
di tengah, jika lidah digerakkan ke atas nampak selaput lendir. Flika
sublingua terdapat di sebelah kiri dan kanan frenulum lingua, di sini terdapat
pula lipatan selaput lendir. Pada pertengahan flika sublingua ini terdapat
saluran dari grandula parotis, submaksilaris, dan glandula sublingualis.

Fungsi lidah yaitu mengaduk makanan, membentuk suara, sebagai alat


pengecap dan menelan, serta merasakan makanan.

3. Faring

Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan


kerongkongan (esofagus). Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel)
yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit merupakan
pertahanan terhadap infeksi. Di sini terletak bersimpangan antara jalan nafas

3
dan jalan makanan, letaknya di belakang rongga mulut dan rongga hidung, di
depan ruas tulang belakang, ke atas bagian depan berhubungan dengan
rongga hidung, dengan perantara lubang bernama koana.

Keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan


lubang yang disebut ismus fausium. Tekak terdiri dari bagian superior disebut
nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan tekak
dengan ruang gendang telinga. Bagian media disebut orofaring, bagian ini
berbatas ke depan sampai di akar lidah, sedangkan bagian inferior disebut
laringofaring yang menghubungkan orofaring dengan laring. Menelan
(deglutisio), jalan udara dan jalan makanan pada faring terjadi penyilangan.
Jalan udara masuk ke bagian depan terus ke leher bagian depan sedangkan
jalan makanan masuk ke belakang dari jalan napas dan di depan dari ruas
tulang belakang.

Makanan melewati epiglotis lateral melaui ressus piriformis masuk ke


esophagus tanpa membahayakan jalan udara. Gerakan menelan mencegah
masuknya makanan masuk ke jalan udara, pada waktu yang sama jalan udara
ditutup sementara.

4. Esofagus

Esophagus merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan lambung,


panjangnya ± 25 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak di bawah
lambung. Lapisan dinding dari dalam keluar, lapisan selaput lendir (mukosa),
lapisan submukosa, lapisan otot melingkar sirkuler, dan lapisan otot
memanjang longitudinal. Esophagus terletak di belakang trakea dan di depan
tulang punggung. Setelah melalui thorak menembus diafragma masuk ke
dalam abdomen menyambung dengan lambung.

5. Hati

Hati atau hepar adalah organ yang paling besar di dalam tubuh kita, warnanya
coklat dan beratnya kira-kira 1 ½ kg. Letaknya di bagian atas dalam rongga
abdomen di sebelah kanan bawah diafragma. Hati terdiri atas 2 lapisan utama

4
: permukaan atas berbentuk cembung, terletak di bawah diafragma, dan
permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan fisura transverses.

Hati mempunyai 2 jenis peredaran darah yaitu arteri hepatika dan vena
porta. Arteri hepatika, keluar dari aorta dan member 1/5 darah pada hati,
masuk ke hati akan membeku jaringan kapiler setelah bertemu dengan kapiler
vena, akhirnya keluar sebagai vena hepatika. Vena porta yang terbentuk dari
lienalis dan vena mesentrika superior menghantarkan 4/5 darahnya ke hati.

Fungsi hati :

a. Mengubah zat makanan yang di absorpsi dari usus dan yang disimpan di
suatu tempat dalam tubuh.

b. Mengubah zat buangan dan penawar racun untuk disekresi dalam empedu
dan urine.

c. Menghasilkan enzim glikogenik glukosa menjadi glikogen.

d. Sekresi empedu, garam empedu dibuat di hati, dibentuk dalam sistem


retikuloendotelium.

e. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat.

6. Lambung

Lambung atau gaster merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang
paling banyak terutama di daerah epigaster. Lambung terdiri dari bagian atas
fundus uteri berhubungan dengan esophagus melalui orifisium pilorik,
terletak di bawah diafragma di depan pankreas dan limpa, menempel di
sebelah kiri fundus uteri. Sekresi getah lambung mulai terjadi pada awal
orang makan. Bila melihat makanan dan mencium bau makanan maka sekresi
lambung akan terangsang. Rasa makanan merangsang sekresi lambung
karena kerja saraf menimbulkan rangsang kimiawi yang menyebabkan
dinding lambung melepaskan hormon yang disebut sekresi getah lambung.
Getah lambung di halangi oleh sistem saraf simpatis yang dapat terjadi pada
waktu gangguan emosi seperti marah dan rasa takut.

5
Fungsi lambung :

1. Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh


peristaltik lambung dan getah lambung.

2. Getah cerna lambung yang dihasilkan : a. Pepsin, fungsinya memecah putih


telur menjadi asam amino (albumin dan pepton). b. Asam garam (HCL),
fungsinya mengasamkan makanan, sebagai antiseptic dan desinfektan, dan
membuat suasana asam pada pepsinogen sehingga menjaddi pepsin. c. Renin,
fungsinya sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk kasein dari
kasinogen (kasinogen dan protein susu). d. Lapisan lambung jumlahnya
sedikit memecah lemak menjadi asam lemak yang merangsang sekresi getah
lambung.

7. Pankreas

Panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari deudenum sampai ke


limpa. Bagian dari pankreas : kaput pankreas, terletak di sebelah kanan
rongga abdomen dan di dalam lekukan deudenum yang melingkarinya.
Korpus pankreas, merupakan bagian utama dari organ ini, letaknya
dibelakang lambung dan di depan vertebra umbalis pertama. Ekor pankreas,
bagian runcing di sebelah kiri menyentuh limpa.

8. Usus halus

Usus halus atau intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan
makanan yang berpangkal pada pylorus dan berakhir pada sekum panjangnya
± 6 m, merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan
absorpsi hasil pencernaan yang terdiri dari lapisan usus halus (lapisan mukosa
(sebelah di dalam), lapisan otot melingkar (M.sirkuler), lapisan otot
memanjang (M. longitudinal), dan lapisan serosa (sebelah luar)).

Absorpsi makanan yang sudah dicerna seluruhnya berlangsung di dalam


usus halus melalui 2 saluran yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan seluruh
limfe di sebelah dalam permukaan vili usus. Sebuah vilus berisi lakteal,
pembuluh darah epitelium dan jaringan otot yang diikat bersama oleh jaringan
limfoid seluruhnya diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epitelium.

6
Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan makanan cair
dan lemak yang diabsorpsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui
pembuluh limfe masuk ke dalam pembuluh kapiler darah di vili dan oleh vena
porta dibawa ke hati untuk mengalami beberapa perubahan.

Fungsi usus halus :

a. Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui


kapiler-kapiler darah dan saluran-saluran limfe.

b. Menyerap protein dalam bentuk asam amino.

c. Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida.

9. Duodenum

Duodenum disebut juga usus 12 jari, panjangnya ± 25 cm, berbentuk sepatu


kuda melengkung ke kiri, pada lengkungan ini terdapat pankreas. Pada bagian
kanan duodenum ini terdapat selaput lendir, yang membukit disebut papilla
vateri. Pada papilla vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledokus)
dan saluran pankreas (duktus pankreatikus).

Empedu dibuat di hati untuk dikeluarkan ke duodenum melalui duktus


koledokus yang fungsinya mengemulsikan lemak, dengan bantuan lipase.
Pankreas juga menghasilkan amilase yang berfungsi mencerna hidrat arang
menjadi disakarida, dan tripsin yang berfungsi mencerna protein menjadi
asam amino atau albumin dan polipeptida. Dinding duodenum mempunyai
lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar, kelenjar ini disebut
kelenjar-kelenjar Brunner, berfungsi untuk memproduksi getah intestinum.

10. Jejunum dan ileum

Jejunum dan ileum mempunyai panjang sekitar 6 m. Dua perlima bagian atas
adalah jejunum dengan panjang ± 23 m, dan ileum dengan panjang 4-5 m.
Lekukan jejunum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan
perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas dikenal sebagai
mesenterium. Sambungan antara jejunum dan ileum tidak mempunyai batas
yang tegas. Ujung bawah ileum berhubungan dengan sekum dengan

7
perantaraan lubang yang bernama orifisium ileosekalis. Orifisium ini
diperkuat oleh sfingter ileosekalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula
sekalis valvula baukhini yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam kolon
asenden tidak masuk kembali ke ileum.

11. Usus besar

Usus besar atau intestinum mayor panjangnya ± 1 ½ m, lebarnya 5- 6 cm.


Lapisan-lapisan usus besar dari dalam keluar : selaput lendir, lapisan otot
melingkar, lapisan otot memanjang, jaringan ikat. Fungsi usus besar adalah
menyerap air dari makanan, tempat tinggal bakteri.

12. Sekum

Dibawah sekum terdapat apendiks vermiformis yang berbentuk seperti cacing


sehingga disebut juga umbai cacing, panjangnya 6 cm. Seluruhnya ditutupi
oleh peritoneum mudah bergerak walaupun tidak mempunyai mesenterium dan
dapat diraba melalui dinding abdomen pada orang yang masih hidup.

13. Kolon asendens

Panjangnya 13 cm, terletak dibawah abdomen sebelah kanan, membujur ke


atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah hati melengkung ke kiri, lengkungan
ini disebut fleksura hepatika, dilanjutkan sebagai kolon transversum.

14. Apendiks (usus buntu)

Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari ujung sekum,
mempunyai pintu keluar yang sempit tetapi masih memungkinkan dapat
dilewati oleh beberapa isi usus. Apendiks tergantung menyilang pada linea
terminalis masuk ke dalam rongga pelvis minor, terletak horizontal dibelakang
sekum. Sebagai suatu organ pertahanan terhadap infeksi kadang apendiks
bereaksi secara hebat dan hiperaktif yang bisa menimbulkan perforasi
dindingnya ke dalam rongga abdomen.

15. Kolon transversum

8
Panjangnya ± 38 cm, membujur dari kolon desenden, berada dibawah
abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatika dan sebelah kiri terdapat
fleksura lienalis.

16. Kolon desendens

Panjangnya ± 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri membujur dari


atas ke bawah dan fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri, bersambung
dengan kolon sigmoid.

17. Kolon sigmoid

Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens, terletak miring


dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai huruf S, ujung
bawahnya berhubungan dengan rektum.

18. Rektum

Rektum terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum


mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sacrum dan os
koksigis. Organ ini berfungsi untuk tempat penyimpanan feses sementara.

19. Anus

Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rektum


dengan dunia luar (udara luar). Terletak didasar pelvis, dindingnya diperkuat
oleh sfingter:

a. Sfingter ani interus (sebelah atas), bekerja tidak menurut kehendak.

b. Sfingter levator ani, bekerja juga tidak menurut kehendak.

c. Sfingter ani eksternus (sebelah bawah), bekerja menurut kehendak. Defekasi


(buang air besar) didahului oleh transport. Feses ke dalam rektum yang
mengakibatkan ketegangan dinding rektum mengakibatkan rangsangan untuk
reflex defekasi sedangkan otot usus lainnya berkontraksi. M. Levator ani
relaksasi secara volunter dan tekanan ditimbulkan oleh otot-otot abdomen.

9
2.2 Embriologi

Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan


hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah,
esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas.
Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon
asendens sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut
hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan
ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat
disebut sebagai primitif gut.

Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis


menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali
letak rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan proktoderm
dan lipatan genital.

Gambar 2.2: Embriologi hindgut (Alamo, 2015)

Pada awal kehidupan embrionik, bagian terminal dari hindgut —


kloaka— terbagi menjadi bagian dorsal dan bagian ventral dipisahkan oleh
jaringan mesenkim — septum urorektal. Pada banyak kasus Malformasi
Anorektal (MAR) paling sering disebabkan oleh perkembangan abnormal dari
septum urorektal.

Pada usia kehamilan 4-6 bulan, yolk sac atau hindgut dan allantois atau
sinus urogenital primitif masuk kedalam kloaka. Septum urorektal membentuk
suatu lipatan (Tourneux dan Rathke folds) pada dinding kloaka bagian lateral;

10
pada saat yang sama, embrio mulai melengkung oleh karena penyesuaian
pertumbuhan longitudinal dari neural tube yang mengalami perkembangan dan
kompartemen mesoderm. Karena adanya perubahan morfologi ini, jarak antara
membran kloaka dan ujung distal septum urorektal berkurang secara perlahan.

Pada akhir minggu ke 7, septum urorektal dan membran kloaka terletak


pada level yang sama. Lalu kloaka akan terbagi menjadi bagian ventral (sinus
urogenital) dan bagian dorsal (rektum dan bagian proksimal anus).
Diantaranya, ujungdistal septum urorektal akan menjadi area perineum. Pada
saat yang sama, membran kloaka mengalami apoptosis, sehingga terbentuk dua
orifisium pada perineum: bagian ventral atau urogenital dan bagian dorsal atau
anal.

Pada kehamilan minggu ke 7, oklusi sekunder anorectal kanal terjadi oleh


karena adanya adhesi dinding dan pembentukan “epithelial plug” pada level
anus. Orifisium anus sekunder ini akan ruptur dan mengalami apoptosis pada
akhir minggu ke 8.

Dapat disimpulkan, MAR dapat dibagi menjadi dua kelompok


berdasarkan kelainannya: pada keadaan terbentuknya orifisium anal ektopik
dan fistula, penyebabnya adalah perkembangan abnormal dini pada bagian
dorsal kloaka dan membran kloaka, sedangkan pada keadaan anus abnormal
pada posisi normal adalah dikarenakan tidak sempurnanya rekanalisasi
orifisium anal sekunder (pada minggu ke 7 dan 8).

2.3 Definisi Atresia Ani

Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus


imperforata meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya. Atresia ani
merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran
anus. Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal
anus atau tertutupnya anus secara abnormal.

Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran
yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus

11
yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau
kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum

2.4 Etiologi Atresia Ani

Yang menjadi penyebab keadaan ini adalah adanya kegagalan dalam


penurunan septum urorektal dan membran kloaka selama perkembangan
embrio dari tail end embrio selama minggu keenam kehamilan. Tidak ada
faktor genetik atau lingkungan yang ditemukan untuk dikaitkan dengan
anomali ini.

Etiologi MAR sampai saat ini belum diketahui, dan dicurigai bersifat
multifaktorial. Dalam beberapa tahun terakhir, dilakukan penelitian mengenai
faktor resiko non-genetik terjadinya malformasi anorektal. Di antaranya faktor
gaya hidup (tembakau, alkohol, kafein, obat-obatan), bahaya pekerjaan,
penyakit kronis, demam dan cedera. Kelebihan berat badan ibu, obesitas dan
diabetes, dipercaya terkait dengan peningkatan risiko MAR.

Salah satu faktor resiko yang menyebabkan terjadinya atresia ani pada salah
satu jurnal systematic review and meta-analysis memaparkan bahwa terdapat
hubungan antara konsumsi obat-obatan tertentu dengan kejadian malformasi
anorektal pada bayi baru lahir. Konsumsi asam folat, vitamin, obat-obatan
antidepresan, asma dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
organ anorektal.

2.5 Klasifikasi Anal Atresia

Anal atresia sebelumnya diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yakni: kelainan


letak rendah, intermediate dan letak tinggi, tergantung dari lokasi letak ujung
atresia terhadap otot dasar panggul. Pada kelainan rendah, rektum menembus
otot levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm.
Kelainan intermedia merupakan kelainan menengah, ujung rektum mencapai
tingkat otot levator ani tetapi tidak menembusnya, sedangkan kelainan
supralevator yang disebut juga kelainan tinggi (atau proksimal) tidak mencapai
tingkat otot levator ani, dengan jarak antara ujung buntu rektum sampai kulit
perineum lebih dari 1 cm.

12
Klasifikasi yang didasarkan pada letak ujung atresia terhadap otot dasar
panggul tidak berpengaruh signifikan terhadap prognosis maupun penentuan
tatalaksananya, sehingga saat ini klasifikasi atresia ani didasarkan pada jenis
kelamin dan ada tidaknya fistula pada atresia ani.

Adanya klasifikasi pada anal atresia dilakukan untuk memutuskan


manajemen dan memprediksi hasil akhir. Klasifikasi MAR paling awal
didasarkan pada posisi terminal usus sehubungan dengan levator ani atau dasar
panggul. Klasifikasi Wingspread ditetapkan menurut tingkat kegagalan
penurunan pada rektum dan organ urogenital pasien. Klasifikasi ini diterima
secara luas dan telah digunakan selama bertahun-tahun. Setelah munculnya
pendekatan sagital posterior oleh Peña et al., disimpulkan bahwa lokasi fistula
memiliki makna yang penting pada hasil jangka panjang dari pasien.

Peña mengusulkan klasifikasi pada tahun 1995 berdasarkan keberadaan dan


posisi fistula sebagai hasil pengalamannya dalam menggunakan teknik
anorektoplasti sagital posterior (PSARP). Posisi fistula digunakan untuk
menentukan manajemen operasi. Meskipun PSARP menjadi salah satu pilihan
operasi, hasil penelitian yang membandingkan hasil jangka panjang antara
PSARP dan teknik operasi lainnya sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan
banyaknya variasi dalam kriteria tindak lanjut yang digunakan dalam banyak
studi. Untuk menyamakan metodologi untuk evaluasi hasil akhir pasien dengan
MAR, Krickenbeck membuat klasifikasi terbaru. Sistem klasifikasi
Krickenbeck menggabungkan kriteria dan klasifikasi Wingspread dan Peña.
Klasifikasi Krickenberg terdiri dari tiga elemen berbeda: kategori diagnosis,
kategori prosedur oprasi, kategori hasil pos operasi.

13
Tabel 2.1: Klasifikasi Wingspread (Gangopadhyay, 2016)

Tabel 2.2: Klasifikasi Pena (Gangopadhyay, 2016)

14
Tabel 2.3: Klasifikasi Krickenberg (Gangopadhyay, 2016)

15
Gambar 2.3: Lokasi fistula pada bayi laki-laki dengan MAR (Alamo, 2015)

Gambar 2.4: Lokasi fistula pada bayi perempuan dengan MAR (Alamo,
2015)

2.6 Diagnosis Klinis Anal Atresia

Pada persalinan, pemeriksaan fisik pada neonatus dilakukan termasuk pada


bagian perineum. Ketiadaan anus ataupun lokasi abnormal dari anus
merupakan tanda malformasi anorektal. Pada bayi laki-laki, selain ketiadaan
anus, bagian lain yang perlu dievaluasi adalah lubang anus. Fistula mungkin
tidak terlihat, maka dari itu, pemeriksaan yang dilakukan memerlukan waktu
yang panjang (24 jam) sampai benar-benar terlihat. Hal ini dikarenakan gas
membutuhkan waktu untuk turun melalui sistem GIT (Gastro Intestinal Tract)

16
sampai bagian akhir rektum. Pada bayi perempuan, diagnosis tergantung ada
tidaknya perineum. Pada keadaan normal, terlihat tiga lubang yang terbentuk,
yang paling depan adalah uretra, dibawahnya vagina, keduanya berada dalam
vestibulum. Bagian belakang peruneum terdapat anus. Adanya ketiga lubang,
dengan lokasi anus yang abnormal adalah suatu keadaan fistula perianal.
Apabila terdapat lubang ketiga pada bagian vestibulum, maka disebut fistula
vestibular. Apabila hanya terdapat satu lubang, maka keadaan ini disebut
persistent cloaca.

Pemeriksaan rutin dilakukan untuk mencari kelainan lain. Lebih dari 50%
penderita mempunyai kelainan kongenital lain. Kelainan yang sering
ditemukan adalah kelainan saluran genito-urinal (40-50%), paling sering
ditemukan kelainan kardiovaskular (30-35%), kelainan saluran cerna (5-10%)
dan VACTERL (vertebral defects, anal atresia, cardiac defects, tracheo-
esophageal fistula, renal anomalies, and limb abnormalities). Semakin tinggi
rectal pouch, semakin tinggi kemungkinan terjadinya anomali yang lainnya.

2.7 Pemeriksaan Penunjang Anal Atresia

Invertogram

Wangensteen dan Rice pertama kali mendeskripsikan penggunaan


radiografi inversi pada tahun 1930 untuk mengevaluasi jarak antara gas dalam
kolon terminal dan kulit perineum. Pengukuran langsung antara akhir kolon
dan kulit anus dilakukan dengan cara menempatkan marker radioopaq pada
kulit. Setelah itu, P-C line dan I line ditentukan oleh invertografi. Apabila akhir
rektum berakhir pada line P-C tetapi tidak dibawah I line, maka keadaan ini
diklasifikasikan sebagai “intermediate”. Apabila akhir rektum dibagah I line,
maka diklasifikasikan sebagai “low”, dan apabila akhir rektum berada diatas
line P-C keadaan ini disebut “high type”.

17
Gambar 2.5: Invertogram: jarak rectal shadow dan kulit (>1 cm) (Agrawal,
2018)

Prone cross-table lateral view

Bayi diletakkan dengan posisi genupektoral selama 3 menit dengan cara


bagian muka diletakkan pada dasar dan panggul difleksikan. Prone cross-
lateral view mempunyai beberapa keuntungan, yakni bayi merasa nyaman,
dimana pada invertogram membutuhkan alat-alat yang membuat bayi merasa
tidak nyaman.

Gambar 2.6: Posisi bayi Prone Cross-table Lateral View (Bhatnagar, 2015)

18
Gambar 2.7: Radiografi Prone Cross-table Lateral View (Bischoff, 2018)

Ultrasonic examination

Cara pemeriksaannya dapat dilakukan secara transperineal atau


infracoccygeal. Secara infracoccygeal dapat secara langsung memperlihatkan
puborectalis dengan gambaran hypoeschoic U-shaped. Keuntungan dengan
cara ini dapat dilakukan secara non invasif dan tidak menimbulkan radiasi,
sedangkan kekurangannya adalah hasil pemeriksaan sangat bergantung oleh
pemeriksa.

High-pressure distal colostogram

High-pressure distal colostogram adalah pemeriksaan penunjang yang


paling akurat dalam menentukan anatomi distal rektum dan fistula pada bayi.
Proses ini tanpa kolostogram meningkatkan risiko terjadinya kerusakan pada
vesika seminalis, prostat, uretra dan inervasi kandung kemih. Pemeriksaan
idealnya dilakukan pada bayi berumur 2-3 bulan yang sebelumnya telah
dilakukan diversion colostomy.

19
Gambar 2.8: Anovestibular fistula Gambar 2.9: Rectoprostatic
(Hosokawa, 2016) urethral fistula (Hosokawa, 2016)

Gambar 2.10: Fistula Rectobulbar Gambar 2.11: Rectovesical fistula


urethral (Hosokawa, 2016) (Hosokawa, 2016)

Gambar 2.12: Rectovaginal fistula


(Hosokawa, 2016)

20
2.8 Tatalaksana Anal Atresia

Evaluasi Dini dan Penentuan Tatalaksana

Evaluasi dini pada bayi baru lahir dengan anomali anorektal sangat penting.
Pada negara berkembang, penanganan sering terlambat dilakukan karena gejala
pada bayi dengan MAR tidak khas pada waktu awal kelahiran. Gejala-gejala MAR
pada bayi antera lain distensi abdomen, dehidrasi, dan sepsis. Resusitasi dini
dengan cairan IV dan antibiotik broadspectrum memegang kunci penting hasil
akhir dari MAR. Setelah dilakukan penilaian pada anomali-anomali lain yang
sekiranya berhubungan dengan MAR, pada bayi dilakukan kolostomi, yang
nantinya dilakukan tatalaksana yang lebih definitif. Tatalaksana pada bayi laki -
laki dan perempuan berbeda.

 Bayi Laki-laki

Bayi laki-laki dengan fistula rectoperineal tidak memerlukan tindakan


kolostomi. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah posterior sagittal
anoplasty atau limited PSARP. Pada bayi laki-laki dengan adanya hubungan
antara traktus urinarius degan rektum harus dilakukan kolostomi untuk
evakuasi tinja. Pada bayi laki-laki dengan fistula rektobulbar, rektoprostat bisa
dilakukan PSARP primer. Pendekatan secara abdominal perlu diperlukan
untuk mendapatkan akses fistula pada kasus-kasus recto-bladder neck fistula.
Sebelum dilakukan operasi definitif, perlu dilakukan kolonogram distal dan
voiding cystourethrogram untuk menentukan lokasi fistula rektouretra.

 Bayi Perempuan

Kondisi umum, mulai munculnya gejala dan jumlah lubang pada vestibulum
menentukan treatment yang akan dilakukan. Distensi abdomen, sepsis, dan
adanya kloaka persisten (satu lubang) memerlukan tindakan kolostomi.
Anomali yang paling sering terjadi pada bayi perempuan adalah
rectovestibular dan memperlihatkan uretra dan vagina yang normal, dan

21
lubang yang lain yaitu fistula rektal pada vestibulum. Kasus-kasus seperti ini
dapat ditatalaksana dengan tindakan kolostomi dan operasi definitif PSARP.

Pada kasus-kasus tertentu dapat juga dilakukan PSARP primer.


Tatalaksana secara definitif kloaka persisten adalah dengan PSARP. Pada
kasus-kasus dengan jarak kolon distal dan kulit lebih dari 3 cm, tidak mudah
memobilisasi vagian dengan PSARP, sehingga pendekatan abdomino-
perineal perlu dilakukan. Pada kasus-kasus MAR dengan jarak distal kolon
dan kulit <3 cm, mobilisasi urogenital secara total dapat dilakukan.

22
Gambar 2.13: MAR pada Bayi Laki-laki (Westgarth-Taylor, 2016)

PSARP, posterior sagittal anorectoplasty; US, ultrasound scan; EUA, examination


under anaesthetic; NG, nasogastric; RV, rectovaginal; CC, common channel

23
Gambar 2.14: MAR pada Bayi Perempuan (Westgarth-Taylor, 2016)

PSARP, posterior sagittal anorectoplasty; US, ultrasound scan; EUA, examination


under anaesthetic; NG, nasogastric; RV, rectovaginal; CC, common channel; TUM,
total urogenital mobilisation; VF, vestibular fistula

24
BAB III

KESIMPULAN

Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai lubang
keluar. Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun patofisiologi yang
terjadi pada bayi dengan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan
pertumbuhan dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada persalinan,
pemeriksaan fisik pada neonatus dilakukan termasuk pada bagian perineum. Ketiadaan
anus ataupun lokasi abnormal dari anus merupakan tanda malformasi anorektal.

Pemeriksaan rutin dilakukan untuk mencari kelainan lain. Lebih dari 50%
penderita mempunyai kelainan kongenital lain. Untuk memperkuat diagnosis,
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan Sinar X
terhadap abdomen, Ultrasound terhadap abdomen, kolostogram, CT Scan dan lain-
lain. Penatalaksanaan medis yang sering dilakukan pada bayi dengan atresia ani yaitu
pada Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang disebut PSARP
(Posterosuperior Anorectoplasty) dan Colostomi sementara yaitu pembuatan lubang
pada abdomen yang berfungsi sebagai pengganti anus .

25
DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, T., Rimal HS., et al. 2018. Case Report: Newborn With Anorectal
Malformation. Birat Journal of Health Sciences Vol. 3No.2 Issue 6 . pp. 500-
503

Ahmad, H., et al. 2019. Imperforate Anus and Rectourethral Fistula in a Female.
European Journal of Pediatric Surgery Reports Vol. 7 No. 1. pp. e36-e38

Alamo, et al. 2015. Anorectal Malformations: Finding the Pathway out of the
Labyrinth. Departments of Diagnostic and Interventional Radiology Centre
Hospitalier Universitaire Vaudois, Lausanne, Switzerland. Vol. 33 No. 2 pp.
499-512

Bhatnagar, S. 2015. Anorectal Malformations (Part 2). Jurnal of Neonatal Surgery Vol.
4 No. 2 pp. 25

Bischoff, A., et al. 2017. Controversies in Anorectal Malformations. International


Center for Colorectal and Urogenital Care, Department of Pediatric Surgery,
Children’s Hospital Colorado, USA. Vol. 17 pp. 1-8

Gangopadhyay, A., Pandey, V., 2016. Anorectal malformations. Journal ofIndian


Association of Pediatric Surgeons. Vol. 20. Issue 1. pp. 10-15

Gao, XY., et al. 2016. Risk Factors for Congenital Anal Atresia. Chinese Journal of
Contemporary Pediatrics. Vol. 18 no. 6. pp. 541-544

Hosokawa, T., et al. 2017. Sonography for an Imperforate Anus Approach, Timing of
the Examination, and Evaluation of the Type of Imperforate Anus and
Associated Anomalies. J Ultrasound Med 2017. Vol. 36. pp. 1747–1758

Kamal, J., Rayes, O. 2018. A Collective Review of Cases with Imperforate Anus
Managed in a Teaching Hospital. Department of Surgery, Division of
Pediatric Surgery, King Abdul Aziz University Hospital. Vol 1, Issue 3, pp.
122-125

26
Qazi, S, Faruque, A. 2016. Functional Outcome of Anorectal Malformations and
Associated Anomalies in Era of Krickenberg Classification. Journal of the
College of Physicians and Surgeons Pakistan 2016. Vol. 26 (3), pp. 204-207

Westgarth-Taylor, C., et al. 2016. Imaging in anorectal malformations: What does the
surgeon need to know?. S Afr J Rad. Vol. 19 No. 2. pp. 1-10

Zwink1, N, Jenetzky, E. 2018. Maternal drug use and the risk of anorectal
malformations: systematic review and meta-analysis. Zwink and Jenetzky
Orphanet Journal of Rare Diseases Vol. 13 no. 75. Pp 1-23

27

Anda mungkin juga menyukai