E. SKALA PENGUKURAN
Skala pengukuran dapat dibedakan menjadi empat, yaitu:
1. Skala Nominal
Skala nominal merupakan skala pengukuran yang paling rendah tingkatannya karena
denga skala ini obyek pengukuran hanya dapat dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri yang
sama, yang berbeda dengan kelompok lain. Kelompok-kelompok atau golongan tidak
dibedakan berdasarkan tingkatan, karena kelompok yang satu tidak dapat dikatakan lebih
rendah atau lebih tinggi tingkatannya dari pada kelompok yang lain, tetapi hanya sekedar
berbeda.
2. Skala Ordinal
Skala ini lebih tinggi tingkatannya atau lebih baik dari pada skala nominal karena selain
memiliki ciri-ciri yang sama dengan skala nominal, yaitu dapat mengolongkan obyek
dalam golongan yang berbeda, skala ordinal juga mempunyai kelebihan dari skala
nominal, yaitu bahwa golongan-golongan atau klasifikasi dalam skala ordinal ini dapat
dibedakan tingkatannya. Ini berarti bahwa suatu golongan dapat dikatakan lebih tinggi
atau lebih rendah dari pada golongan yang lain.
3. Skala Interval
Skala interval memiliki kelebihan yaitu mempunyai unit pengukuran yang sama,
sehingga jarak antara satu titik dengan titik yang lain, atau antara satu golongan dengan
golongan yang lain dapat diketahui.
4. Skala rasio
Skala rasio merupakan skala yang paling tinggi tingkatannya karena skala ini mempunyai
ciri-ciri yang dimiliki oleh semua skala di bawahnya. Skala rasio memiliki titik nol yang
sebenarnya yang berarti bahwa apabila suatu obyek diukur dengan skala rasio dan berada
pada titik nol, maka gejala atau sifat yang diukur benar-benar tidak ada.
Agar pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan baik, berikut ini merupakan hal-hal
yang perlu diperhatikan:
1) Membuat suatu komitmen untuk mengukur kinerja dan memulainya dengan
segera. Hal yang perlu dilakukan oleh instansi adalah sesegera mungkin memulai
upaya pengukuran kinerja dan tidak perlu mengharap pngukuran kinerja akan
langsung sempurna. Nantinya, perbaikan atas pengukuran kinerja akan
dilakukan.
2) Perlakuan pengukuran kinerja sebagai suatu proses yang berkelanjutan (on-
going process)
3) Pengukuran kinerja merupakan suatu proses yang bersifat interaktif. Proses ini
merupakan suatu cerminan dari upaya organisasi untuk selalu berupaya
memperbaiki kinerja.
4) Sesuaikan proses pengukuran kinerja dengan organisasi. Organisai harus
menetapkan ukuran kinerja yang sesuai dengan besranya organisasi, budaya,
visi, tujuan, dan struktur organisasi.
2. Penggunaan (utilization)
Indikator ini membandingkan antara jumlah pelayanan yang ditawarkan (supply of
service) dengan permintaan publik (public demand). Indikator ini harus
mempertimbangkan preferensi publik sedangkan pengukurannya berupa volume
absolut atau presentase tertentu, misalnya presentase penggunaan kapasitas. Contoh
lain yaitu rata-rata jumlah penumpang per bus yang dioperasikan. Indikator kinerja
ini digunakan untuk mengetahui frekuensi operasi atau kapasitas kendaraan yang
digunakan pada tiap-tiap jalur.
3. Kualitas dan standar pelayanan (quality and standards)
Indikator ini merupakan indikator yang paling sulit diukur karena menyangkut
pertimbangan yang sifatnya subyektif. Contohnya yaitu perubahan jumlah komplain
masyarakat atas pelayanan tertentu.
4. Cakupan pelayanan (coverage)
Indikator ini perlu dipertimbangkan jika terdapat kebijakan atau peraturan
perundangan yang mensyaratkan untuk memberikan pelayanan dengan tingkat
pelayanan minimal yang telah ditetapkan.
5. Kepuasan (satisfaction)
Indikator kepuasan diukur melalui metode jajak pendapat secara langsung. Bagi
pemerintah daerah, metode penjaringan aspirasi masyarakat (need assessment) dapat
juga digunakan untuk menetapkan indikator kepuasan. Namun, dapat juga digunakan
indikator proksi misalnya jumlah komplain. Pembuatan indikator kinerja tersebut
memerlukan kerjasama antar unit kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Bastian, Indra. 2006. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.
Mardiasmo. 2009. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Penerbit Andi.