Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH ETIKA BISNIS BAB 1

Disusun oleh :

Achmad Aldair F0216001


Nafisya Rizky F0218077
Pradanita Rahma J F0218086

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
HAKIKAT ETIKA BISNIS

Pengertian etika, berasal dari bahasa Yunani adalah “ethos” yang berarti watak

kesusilaan atau adat kebiasaaan (custom), adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etika

adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral.

Makna lain dari etika adalah “kajian moralitas”, meskipun etika berkaitan dengan moralitas,

namun tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah semacam penelaahan—baik aktivitas

penelaahan maupun hasil-hasil penelaahan itu sendiri—sedangkan moralitas merupakan subjek.

 Moralitas

Moralitas dapat didefinisikan sebagai pedoman yang dimiliki individu atau kelompok

mengenai apa itu benar dan salah, atau baik dan jahat. Pedoman moral mencakup norma-norma

yang kita miliki mengenai jenis-jenis tindakan yang kita yakini benar atau salah secara moral dan

nilai-nilai yang kita terapkan pada objek-objek yang kita yakini secara moral baik atau secara

moral buruk. Norma-norma moral biasanya dinyatakan sebagai aturan atau pernyataan umum

semacam “Selalu katakanlah kebenaran,” “kejujuran itu baik,” dan membunuh orang tak berdosa

itu salah.”

Dari manakah pedoman atau standar itu berasal? Biasanya standar moral pertama kali

terserap ketika kanak-kanak dari keluarga, teman, dan beragam pengaruh kemasyarakatan seperti

lembaga keagamaan, sekolah, televisi, majalah, musik, dan perkumpulan-perkumpulan.

Kemudian ketika dewasa, pengalaman, pembelajaran, perkembangan intelektual, akan

mengarahkan orang dewasa untuk meninjau ulang standar-standar tersebut. Sebagian dibuang,

dan yang baru diadopsi untuk menggantikannya.


Apakah ciri-ciri yang membedakan standar yang moral dan yang bukan moral? Para ahli

etika mengajukan lima ciri yang berguna untuk menentukan hakikat standar moral:

1. standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan secara serius

atau benar-benar menguntungkan manusia;

2. standar moral ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu. Standar

moral, dengan demikian, tidak dibuat oleh kekuasaan, demikian pula validitasnya tidak

terletak pada prosedur pengambilan suara. Namun, validitas standar moral terletak pada

kecukupan nalar yang digunakan untuk mendukung dan membenarkannya; jadi, sejauh

nalarnya mencukupi, maka standarnya tetap sah;

3. standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk (khususnya?)

kepentingan diri;

4. standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak. Para filsuf

menyatakan hal ini dengan mengatakan bahwa standar moral didasarkan pada “sudut

pandang moral”—yaitu, sudut pandang yang tidak mengevaluasi standar menurut apakah

mereka membela kepentingan individu atau kelompok tertentu, namun sudut pandang

yang melampaui kepentingan personal menuju pijakan universal di mana kepentingan

setiap orang dilihat sejajar.

5. standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu. Misalnya jika

saya bertindak bertentangan dengan standar moral, normalnya saya akan merasa bersalah,

malu, menyesal; saya akan menyebut tingkah laku saya “immoral” atau “salah” dan saya

akan merasakan diri saya amat buruk dan mengalami hilangnya rasa percaya diri.
 Etika, dan Etika Bisnis

Etika dalam definisi yang lain adalah ilmu yang mendalami standar moral perorangan

dan standar moral masyarakat. Ia mempertanyakan bagaimana standar-standar diaplikasikan

dalam kehidupan kita dan apakah standar ini masuk akal atau tidak masuk akal—standar yaitu,

apakah didukung dengan penalaran yang bagus atau yang jelek.

Etika merupakan penelaahan standar moral—proses pemeriksaan standar moral orang

atau masyarakat untuk menentukan apakah standar tersebut masuk akal atau tidak untuk

diterapkan dalam situasi dan permasalahan konkret. Tujuan akhir standar moral adalah

mengembangkan bangunan standar moral yang kita rasa masuk akal untuk dianut, dengan

demikian etika mencoba mencapai kesimpulan tentang moral yang benar dan salah dan moral

yang baik dan jahat.

Adapun etika bisnis, studi tentang etika bisnis berkonsentrasi pada standar moral

sebagaimana ditetapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Perusahaan bisnis saat ini

merupakan institusi ekonomi yang paling berpengaruh di dalam masyarakat sekarang ini,

institusi ini didesain untuk mencapai dua tujuan:

a. Produksi barang dan jasa yang diinginkan dan dibutuhkan masyarakat;

b. Distribusi barang dan jasa ke beragam anggota masyarakat.

Perusahaan adalah struktur fundamental yang didalamnya anggota masyarakat mengombinasikan

sumber daya yang langka menjadi barang yang berguna dan perusahaan juga menyediakan

saluran-saluran untuk mendistribusikan barang-barang dalam produk konsumer, gaji karyawan,

pengembalian investor dan pajak pemerintah.


Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke

dalam sistem dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan

mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam

organisasi. Mengingat masalah-masalh etika bisnis mencakup beragam topik yang luas, cukup

membantu jika kita membedakan tiga jenis masalah yang dipelajari etika bisnis: sistemik,

korporasi dan individu. Untuk menganalisis permasalahan moral, pertama-tama lihatlah

termasuk dalam kategori manakah permasalahan itu: sistemik, korporatif, atau individual. Acap

kali dunia memberikan kepada kita keputusan-keputusan mengenai persoalan yang melibatkan

permasalahan sangat rumit yang menyebabkan kebingungan, kecuali beragam permasalahan itu

dipilah dan dibedakan satu dengan uang lainnnya.

PERKEMBANGAN MORAL DAN PENALARAN MORAL

 Perkembangan Moral

Psikolog Lawrence Kohlberg, yang mempelopori riset dalam bidang perkembangan

moral menyimpulkan—berdasarkan riset selama lebih dari 20 tahun—bahwa ada enam tingkatan

yang teridentifikasi dalam perkembangan kemampuan moral seseorang untuk berhadapan

dengan isu-isu moral sebagai berikut:

Level Satu: Tahap Prakonvensional

Tahap Satu: Orientasi Hukuman dan Ketaatan. Pada tahap ini, konsekuensi fisik sebuah tindakan

sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan atau keburukan tindakan itu. Alasan anak untuk

melakukan hal yang baik adalah untuk menghindari hukuman atau menghormati

kekuatan otoritas fisik yang lebih besar.


Tahap Dua: Orientasi Instrumen dan Relativitas. Pada tahap ini, tindakan yang benar adalah yang

dapat berfungsi sebagai instrumen untuk memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau

kebutuhan mereke yang dipedulikan anak itu.

Level Dua: Tahap Konvensional

Tahap Tiga: Orientasi Kesesuaian Interpersonal. Perilaku yang baik pada tahap konvensional

awal ini memenuhi ekspektasi mereka dari dari mana dia merasakan loyalitas, afeksi,

dan kepercayaan seperti keluarga dan teman.

Tahap Empat: Orientasi Hukum dan Keteraturan. Benar dan salah pada tahap konvensional yang

lebih dewasa kini ditentukan oleh loyalitas terhadap negara atau masyarakat sekitarnya

yang lebih besar.

Level Tiga: Tahap Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip

Tahap Lima: Orientasi Kontrak Sosial. Pada tahap postkonvensional ini, seseorang menjadi sadar

bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat personal yang bertentangan dan

menekankan cara yang adil untuk mencapai konsensus dengan kesepahaman, kontrak

dan proses yang matang.

Tahap Enam: Orientasi Prinsip Etis Universal. Pada tahap terakhir ini, tindakan yang benar

didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang dipilih karena komprehensivitas,

universalitas dan konsistensinya.

Prinsip-prinsip moral yang dihasilkan oleh analisis dan refleksi yang menandai tahap-

tahap akhir perkembangan moral “lebih baik” namun bukan sekedar karena prinsip-prinsip

tersebut muncul pada tahap akhir. Seperangkat prinsip moral adalah “lebih baik” daripada yang
lain hanya ketika secara hati-hati telah diuji dan didukung oleh alasan yang lebih baik dan lebih

kuat—sebuah proses diperkuat melalui diskusi dan perdebatan dengan orang lain.

 Penalaran Moral

Penalaran moral mengacu pada proses penalaran di mana perilaku, institusi, atau

kebijakan dinilai sesuai atau melanggar standar moral. Penalaran moral selalu meliatkan dua

komponen mendasar:

a. Pemahaman tentang yang dituntut dilarang, dinilai atau disalahkan oleh standar moral

yang masuk akal; dan

b. Bukti atau informasi yang menunjukkan bahwa orang, kebijakan, institusi, atau perilaku

tertentu mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut, melarang, menilai, atau

menyalahkan.

Ada beragam kriteria yang digunakan para ahli etika untuk mengevaluasi kelayakan

penalaran moral:

1. penalaran moral harus logis;

2. bukti faktual yang dikutip untuk mendukung penilaian harus akurat, relevan, dan

lengkap;

3. standar moral yang melibatkan penalaran moral seseorang harus konsisten.


PRO KONTRA ETIKA BISNIS

 Tiga Keberatan atas Penerapan Etika ke dalam Bisnis

Pertama, di pasar bebas kompetitif yang sempurna, pencarian keuntungan dengan

sendirinya menekankan bahwa anggota masyarakat berfungsi dengan cara-cara yang paling

menguntungkan secara sosial.

Kedua, argumen diajukan untuk menunjukkan bahwa manajer bisnis hendaknya

berfokus mengejar keuntungan perusahaan mereka dan mengabaikan petimbangan etis yang oleh

Alex C. Michales disebut “argumen dari agen yang loyal.”

Ketiga, ada keberatan bahwa untuk menjadi etis cukuplah bagi orang-orang bisnis

sekedar menaati hukum.

 Argumen Etika ke dalam Bisnis

Pertama, etika mengatur semua aktivitas manusia yang disengaja, dan karena bisnis

merupakan aktivitas manusia yang disengaja, etika hendaknya juga berperan dalam bisnis.

Kedua, aktivitas bisnis, seperti aktivitas manusia lainnya, tidak dapat eksis kecuali

orang yang terlibat dalam bisnis dan komunitas sekitarnya taat terhadap standar minimal etika.

Ketiga, pertimbangan etika konsisten dengan tujuan bisnis, khususnya dengan pencarian

keuntungan. Semua studi menunjukkan bahwa secara keseluruhan etika tidak memperkecil

keuntungan, dan tampaknya justru berkontribusi pada keuntungan.

TANGGUNG JAWAB DAN KESALAHAN MORAL

Penilaian tentang tanggung jawab moral seseorang atau kerugian yang ditimbulkan

merupakan penilaian tentang sejauhmana seseorang pantas disalahkan atau dihukum, atau harus
membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Kapankah seseorang secara moral

bertanggung jawan—atau disalahkan—karena melakukan sesuatu?

Seseorang secara moral bertanggung jawab atas tindakannya dan efek-efek merugikan

yang telah diketahui:

a. Dilakukan atau dilaksanakan seseorang dengan sengaja dan secara bebas; atau

b. Gagal dilakukan atau dicegah dan yang secara moral keliru karena orang itu dengan

sengaja atau secara bebas gagal melaksanakan atau emncegahnya.

Seseorang juga dinilai bertanggung jawab karena gagal bertindak atau agagl mencegah

bahaya jika kelalaian seorang disengaja dan jika seseorang dapat dan seharusnya bertindak, atau

dapat dan seharusnya mencegah bahaya.

Ada kesepakatan umum bahwa ada dua kondisi yang sepenuhnya menghilangkan

tanggung jawab moral seseorang karena menyebabkan kerugian:

1. Ketidaktahuan; dan

2. Ketidakmampuan.

Sebagai tambahan atas dua kondisi yang memaklumkan itu, ada juga beberapa faktor yang

meringankan tanggung jawab moral seseorang yang tergantung pada kejelasan kesalahan. Faktor

yang memperingan mencakup:

a. Lingkungan yang mengakibatkan orang tidak pasti, namun juga tidak ayakin tentang apa

yang sedang ia lakukan (hal tersebut mempengaruhi pengetahuan seseorang);

b. Lingkungan yang menyulitkan, namun bukan tidak mungkin untuk menghindari

melakukannya (hal ini memengaruhi kebebasan seseorang);


c. Lingkungan yang mengurangi namun tidak sepenuhnya menghilangkan keterlibatan

seseorang dalam sebuah tindakan (hal ini mempengaruhi tingkatan sampai di mana

seseorang benar-benar menyebabkan kerugian);

d. Keseriusan kesalahan. Cakupan sejauh mana ketiga lingkungan yang meringankan di atas

dapat memperkecil tanggung jawab seseorang tergantung pada tingkat keseriusan

kesalahan, semakin besar keseriusannya, semakin kecil ketiga faktor pertama tadi dapat

memperingan.

 Tanggung Jawab Korporasi dan Bawahan

Tindakan korporasi biasanya terdiri atas tindakan atau kelalaian orang-orang berbeda

yang bekerja sama sehingga tindakan atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan

tindakan korporasi, meskipun kita kadang membebankan tindakan kelompok korporasi, fakta

legal dan linguistik tersebut tidak mengubah realitas moral di balik semua tindakan itu, yaitu:

Individu harus melaksanakan tindakan tertentu yang menghasilkan tindakan korporasi. Karena

individu secara moral bertanggung jawab atas konsekuensi tindakan bebas mereka yang telah

diketahui dan sengaja, individu mana pun yang bergabung secara suka rela dan bebas dalam

tindakan bersama dengan rang lain, yang bermaksud menghasilkan tindakan korporasi, secara

moral akan bertanggung jawab atas tindakan itu. Semakin serius kesalahan tindakan korporasi,

semakin sedikit tangggung jawab karyawan diringankan oleh ketidakpastian, tekanan, dan

keterlibatan minimal.

Anda mungkin juga menyukai