Anda di halaman 1dari 11

KONSEP KESELAMATAN PASIEN

(PATIENT SAFETY)

DISUSUN OLEH KOLOMPOK I :

DESI SETYA DWI PERTIWI (C2118030)


I GEDE AGUS ARTANA (C2118031)
LUH PUTU NOVI ARTATI (C2118032)
NI KETUT YUDIASIH (C2118033)
LUH GEDE AYUNDA SARI (C2118034)
MARIA NATALIA DEWAYANTI (C2118035)
CHRISTINA EVI DWI RAHAYU (C2118036)
ANISA ANGGUN KINANTHI (C2118037)
NI LUH GEDE EKA S (C2118038)
NI NYOMAN ARI SANCITADEWI (C2118039)
KOMANG DENI SEPTIARI (C2118040)
NI PUTU WINDA LIDIAYANI (C2118041)
NI NYOMAN SUARMISI (C2118042)
NI NYOMAN SOMA SUDIARTI (C2118043)
NI KADEK LINDA SUSTARINI (C2118044)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA USADA BALI
2019

KONSEP KESELAMATAN PASIEN

1. Analisa Kasus
Pasien seorang wanita 64 tahun di rawat karena demam, diduga menderita
Phneumonia dengan riwayat pengobatan antibiotik Penisilin sebelumnya. Namun
setelah perawatan hari ke 2, muncul ruam pada kulit pasien yang kemungkinan
disebabkan oleh Mycoplasma Phneumonia (salah satu jenis Phneumonia) dengan
tanda gejala munculnya ruam pada kulit. Phneumonia jenis ini tampaknya tidak cocok
dengan pemberian antibiotik Penisilin, namun dalam kasus ini, pemberian antibiotik
Penisilin masih diteruskan. Pada hari ke 4 perawatan, pasien mengalami kebingungan
atau delirium. Kondisi ini sangat sering terjadi pada pasien Phneumonia, dimana
suplai oksigen dan asupan nutrisi lain ke otak berkurang. Kondisi ini semakin di
perparah dengan layanan yang sangat sibuk, sehingga keselamatan pasien menjadi
terabaikan, dibuktikan dengan kondisi lantai kamar pasien yang basah sehingga
menyebabkan pasien terjatuh dan mengalami patah tulang pinggul. Dan pada hari ke 7
perawatan, pasien dinyatakan meninggal.
Analisis masalah :
a. Meskipun kondisi layanan sangat sibuk, seharusnya dalam setiap unit department
dapat tetap bertanggung jawab penuh terhadap kondisi pasien dan tidak
mengabaikan keselamatan pasien.
b. Perawat kurang memperhatikan perubahan kondisi pasien, seperti munculnya
ruam pada kulit pasien. Dalam kasus belum dijelaskan apakah sebelum pemberian
antibiotik telah dilakukan test alergi antibiotik. Ruam bisa terjadi akibat alergi
terhadap antibiotik atau memang antibiotik yang diberikan tidak cocok dengan
kondisi pasien. Seharusnya, jika ada perubahan kondisi sekecil apapun pada
pasien, perawat harus segera menghubungi DPJP dan menginfokan kondisi terkini
pasien, sehingga DPJP dapat menambah, mengganti ataupun memodifikasi terapi
pasien sebelumnya.
c. Perawat harus berkoordinasi dan bekerja sama dengan dokter jaga ruangan
mengenai kondisi pasien. Sehingga antara perawat dan dokter jaga ruangan dapat
aware terhadap perubahan kondisi pasien sekecil apapun.
d. Pada saat pasien baru masuk, seharusnya perawat harus concern dengan
pengkajian risiko jatuh pasien. Apalagi dengan pasien Phneumonia seperti ini
sangat rentan mengalami delirium.
e. Pengkajian risiko jatuh harus dilakukan secara terus-menerus dan
berkesinambungan, tidak hanya saat penerimaan pasien baru, melainkan saat tiap
pergantian shift, perpindahan antar ruang, pos operasi hingga saat terjadi
perubahan kondisi pasien.
f. Tidak dijelaskan apakah perawat sudah melakukan intervensi pencegahan risiko
jatuh atau belum, seperti memasang bedrail tempat tidur pasien, mengunci bed,
mendekatkan bel pasien, memasang pin risiko jatuh, serta dalam kasus ini,
perawat juga harus berkoordinasi pada keluarga pasien dan memberikan KIE pada
keluarga untuk melarang pasien melakukan aktivitasnya sendirian.
g. Dalam kasus ini juga tidak dijelaskan apakah DPJP sudah melakukan pemeriksaan
pada pasien secara langsung atau belum. Jika DPJP tidak pernah memeriksa
pasien secara langsung, sebagai perawat harus mengingatkan DPJP untuk visite
pasien minimal 1 kali dalam sehari sehingga DPJP dapat mengetahui secara
langsung perkembangan kondisi pasien.
h. Layanan yang sibuk dapat disebabkan oleh berbagai hal. Salah satunya
kemungkinan disebabkan oleh tidak seimbangnya antara total perawat yang
bertugas dan jumlah pasien dengan tingkat ketergantungannya masing-masing.
Maka dari itu, sangat penting dilakukan penghitungan tenaga terlebih dahulu
sebelum mulai aktivitas pelayanan asuhan keperawatan setiap harinya, sehingga
risiko terjadinya insiden keselamatan pasien seperti dalam kasus ini kejadian
sentinel tidak lagi terjadi.

2. Pasien Safety
Patient Safety atau keselamatan pasien adalah suatu sistem yang membuat
asuhan pasien di rumah sakit menjadi lebih aman. Sistem ini mencegah terjadinya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

Sasaran Pasien Safety


a. Mengidentifikasi Pasien dengan Benar
Kesalahan identifikasi pasien dapat terjadi di semua aspek diagnosis dan
tindakan. Keadaan yang dapat membuat identifikasi tidak benar adalah jika pasien
dalam keadaan terbius, mengalami disorientasi, tidak sepenuhnya sadar, dalam
keadaan koma, saat pasien berpindah tempat tidur, berpindah kamar tidur,
berpindah lokasi di dalam lingkungan rumah sakit, terjadi disfungsi sensoris, lupa
identitas diri, atau mengalami situasi lainnya.
Ada 2 (dua) maksud dan tujuan standar ini: pertama, memastikan ketepatan
pasien yang akan menerima layanan atau tindakan dan kedua, untuk menyelaraskan
layanan atau tindakan yang dibutuhkan oleh pasien.

b. Meningkatkan Komunikasi Efektif


Komunikasi dianggap efektif bila tepat waktu, akurat, lengkap, tidak mendua
(ambiguous), dan diterima oleh penerima informasi yang bertujuan mengurangi
kesalahan-kesalahan dan meningkatkan keselamatan pasien. Komunikasi dapat
berbentuk verbal, elektronik, atau tertulis. Komunikasi yang jelek dapat
membahayakan pasien. Komunikasi yang rentan terjadi kesalahan adalah saat
perintah lisan atau perintah melalui telepon, komunikasi verbal, saat
menyampaikan hasil pemeriksaan kritis yang harus disampaikan lewat telpon. Hal
ini dapat disebabkan oleh perbedaan aksen dan dialek. Pengucapan juga dapat
menyulitkan penerima perintah untuk memahami perintah yang diberikan.
Misalnya, nama-nama obat yang rupa dan ucapannya mirip (look alike, sound
alike), seperti phenobarbital dan phentobarbital, serta lainnya.

c. Meningkatkan Keamanan Obat-obat Yang Harus Diwaspadai (High Alert


Medication)
Setiap obat jika salah penggunaannya dapat membahayakan pasien, bahkan
bahayanya dapat menyebabkan kematian atau kecacatan pasien, terutama obat-obat
yang perlu diwaspadai. Obat yang perlu diwaspadai adalah obat yang mengandung
risiko yang meningkat bila kita salah menggunakan dan dapat menimbulkan
kerugian besar pada pasien.

Obat yang perlu diwaspadai terdiri atas


1) Obat risiko tinggi, yaitu obat yang bila terjadi kesalahan (error) dapat
menimbulkan kematian atau kecacatan seperti, insulin, heparin, atau
kemoterapeutik;
2) Obat yang nama, kemasan, label, penggunaan klinik tampak/kelihatan sama
(look alike), bunyi ucapan sama (sound alike), seperti Xanax dan Zantac atau
hydralazine dan hydroxyzine atau disebut juga nama obat rupa ucapan mirip
(NORUM);
3) Elektrolit konsentrat seperti potasium klorida dengan konsentrasi sama atau
lebih dari 2 mEq/ml, potasium fosfat dengan konsentrasi sama atau lebih besar
dari 3 mmol/ml, natrium klorida dengan konsentrasi lebih dari 0,9% dan
magnesium sulfat dengan konsentrasi 20%, 40%, atau lebih.

d. Memastikan Lokasi Pembedahan Yang Benar Prosedur yang Benar Pembedahan


Pada Pasien Yang Benar
Salah-lokasi, salah-prosedur, dan salah-pasien yang menjalani tindakan serta
prosedur merupakan kejadian sangat mengkhawatirkan dan dapat terjadi.
Kesalahan ini terjadi antara lain akibat
1) Komunikasi yang tidak efektif dan tidak adekuat antaranggota tim;
2) Tidak ada keterlibatan pasien untuk memastikan ketepatan lokasi operasi dan
tidak ada prosedur untuk verifikasi;
3) Asesmen pasien tidak lengkap;
4) Catatan rekam medik tidak lengkap;
5) Budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antaranggota tim;
6) Masalah yang terkait dengan tulisan yang tidak terbaca, tidak jelas, dan tidak
lengkap;
7) Penggunaan singkatan yang tidak terstandardisasi dan dilarang.

Tindakan bedah dan prosedur invasif memuat semua prosedur investigasi dan
atau memeriksa penyakit serta kelainan dari tubuh manusia melalui mengiris,
mengangkat, memindahkan, mengubah atau memasukkan alat laparaskopi/
endoskopi ke dalam tubuh untuk keperluan diagnostik dan terapeutik.

Rumah sakit harus menentukan area-area di dalam rumah sakit yang


melakukan tindakan bedah dan prosedur invasif. Sebagai contoh, kateterisasi
jantung, radiologi intervensi, laparaskopi, endoskopi, pemeriksaan laboratorium,
dan lainnya. Ketentuan rumah sakit tentang Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, dan
Tepat-Pasien berlaku di semua area rumah sakit di lokasi tindakan bedah dan
invasif dilakukan.
Rumah sakit diminta untuk menetapkan prosedur yang seragam sebagai
berikut:

1) Beri tanda di tempat operasi;


2) Dilakukan verifikasi praoperasi;
3) Melakukan Time Out sebelum insisi kulit dimulai.

Pemberian tanda di empat dilakukan operasi atau prosedur invasif melibatkan


pasien dan dilakukan dengan tanda yang tepat serta dapat dikenali. Tanda yang
dipakai harus konsisten digunakan di semua tempat di rumah sakit, harus dilakukan
oleh individu yang melakukan prosedur operasi, saat melakukan pasien sadar dan
terjaga jika mungkin, serta harus masih terlihat jelas setelah pasien sadar. Pada
semua kasus, lokasi tempat operasi harus diberi tanda, termasuk pada sisi lateral
(laterality), daerah struktur multipel (multiple structure), jari tangan, jari kaki, lesi,
atau tulang belakang.
Tujuan proses verifikasi praoperasi adalah
1) Memastikan ketepatan tempat, prosedur, dan pasien;
2) Memastikan bahwa semua dokumen yang terkait, foto (imajing), dan hasil
pemeriksaan yang relevan diberi label dengan benar dan tersaji;
3) Memastikan tersedia peralatan medik khusus dan atau implan yang
dibutuhkan.
Beberapa elemen proses verifikasi praoperasi dapat dilakukan sebelum
pasien tiba di tempat praoperasi, seperti memastikan dokumen, imajing, hasil
pemeriksaaan, dokumen lain diberi label yang benar, dan memberi tanda di tempat
(lokasi) operasi. Time-Out yang dilakukan sebelum dimulainya insisi kulit dengan
semua anggota tim hadir dan memberi kesempatan untuk menyelesaikan
pertanyaan yang belum terjawab atau ada hal yang meragukan yang perlu
diselesaikan. Time-Out dilakukan di lokasi tempat dilakukan operasi sesaat
sebelum prosedur dimulai dan melibatkan semua anggota tim bedah. Rumah sakit
harus menetapkan prosedur bagaimana proses Time-Out berlangsung.
Salah-lokasi, salah-prosedur, dan salah-pasien operasi adalah kejadian yang
mengkhawatirkan dan dapat terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat
komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/
tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada
prosedur untuk memverifikasi lokasi operasi. Di samping itu, juga asesmen pasien
yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang
tidak mendukung komunikasi terbuka antaranggota tim bedah, permasalahan yang
berhubungan dengan resep yang tidak terbaca (illegible handwriting), dan
pemakaian singkatan adalah merupakan faktor-faktor kontribusi yang sering
terjadi.
Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan
dan/atau prosedur yang efektif di dalam meminimalkan risiko ini. Kebijakan
termasuk definisi operasi yang memasukkan sekurang-kurangnya prosedur yang
menginvestigasi dan atau mengobati penyakit serta kelainan/disorder pada tubuh
manusia. Kebijakan berlaku atas setiap lokasi di rumah sakit bila prosedur ini
dijalankan.

e. Mengurangi Resiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan


Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan sebuah tantangan di
lingkungan fasilitas kesehatan. Kenaikan angka infeksi terkait pelayanan kesehatan
menjadi keprihatinan bagi pasien dan petugas kesehatan. Secara umum, infeksi
terkait pelayanan kesehatan terjadi di semua unit layanan kesehatan, termasuk
infeksi saluran kencing disebabkan oleh kateter, infeksi pembuluh/aliran darah
terkait pemasangan infus baik perifer maupun sentral, dan infeksi paru-paru terkait
penggunaan ventilator.
Upaya terpenting menghilangkan masalah infeksi ini dan infeksi lainnya
adalah dengan menjaga kebersihan tangan melalui cuci tangan. Pedoman
kebersihan tangan (hand hygiene) tersedia dari World Health Organization (WHO).
Rumah sakit mengadopsi pedoman kebersihan tangan (hand hygiene) dari WHO
ini untuk dipublikasikan di seluruh rumah sakit. Staf diberi pelatihan bagaimana
melakukan cuci tangan dengan benar dan prosedur menggunakan sabun,
disinfektan, serta handuk sekali pakai (towel), tersedia di lokasi sesuai dengan
pedoman.

f. Mengurangi Resiko Cedera Pasien Akibat Terjatuh


Banyak cedera yang terjadi di unit rawat inap dan rawat jalan akibat pasien
jatuh. Berbagai faktor yang meningkatkan riisiko pasien jatuh antara lain:
1) Kondisi pasien;
2) Gangguan fungsional pasien (contoh gangguan keseimbangan,
gangguan penglihatan, atau perubahan status kognitif);
3) Lokasi atau situasi lingkungan rumah sakit;
4) Riwayat jatuh pasien;
5) Konsumsi obat tertentu;
6) Konsumsi alkohol.

Pasien yang pada asesmen awal dinyatakan berisiko rendah untuk jatuh dapat
mendadak berubah menjadi berisiko tinggi. Hal iIni disebabkan oleh operasi
dan/atau anestesi, perubahan mendadak kondisi pasien, serta penyesuaian
pengobatan. Banyak pasien memerlukan asesmen selama dirawat inap di rumah
sakit. Rumah sakit harus menetapkan kriteria untuk identifikasi pasien yang
dianggap berisiko tinggi jatuh.

3. Beban Perawatan Yang Tidak Aman di Negara Berkembang


Keselamatan Pasien (Patient Safety) merupakan sesuatu yang jauh lebih
penting dari pada sekedar efisiensi pelayanan. Perilaku perawat dengan kemampuan
perawat sangat berperan penting dalam pelaksanaan keselamatan pasien. Perilaku
yang tidak aman, lupa, kurangnya perhatian/motivasi, kecerobohan, tidak teliti dan
kemampuan yang tidak memperdulikan dan menjaga keselamatan pasien berisiko
untuk terjadinya kesalahan dan akan mengakibatkan cedera pada pasien, hari rawat
pasien yang panjang, pembiayaan yang membengkak. Perawat harus melibatkan
kognitif, afektif dan tindakan yang mengutamakan keselamatan pasien. World Health
Organization (WHO), 2014 Keselamatan pasien merupakan masalah kesehatan
masyarakat global yang serius. Di Eropa mengalami pasien dengan resiko infeksi
83,5% dan bukti kesalahan medis menunjukkan 50-72,3%. Di kumpulkan angka-
angka penelitian rumah sakit di berbagai Negara, ditemukan KTD dengan rentang 3,2
– 16,6 %.
Data Patient Safety tentang Kejadian Nyaris Cedera (KNC) dan Kejadian Tak
Diharapkan (KTD) di Indonesia masih jarang, namun dipihak lain terjadi peningkatan
tuduhan “mal praktek” yang belum tentu sesuai dengan pembuktian akhir. Insiden
pelanggaran patient safety 28,3% dilakukan oleh perawat. Bawelle, 2013 secara
keseluruhan program patient safety sudah diterapkan, namun masalah dilapangan
merujuk pada konsep patient safety, karena walaupun sudah pernah mengikuti
sosialisasi, tetapi masih ada pasien cedera, resiko jatuh, resiko salah pengobatan,
pendelegasian yang tidak akurat saat operan pasien yang mengakibatkan keselamatan
pasien menjadi kurang maksimal.

4. Faktor Manusia dalam Keselamatan Pasien


Menurut kelompok faktor manusia sangat berpengaruh besar terhadap
keselamatan pasien. Faktor manusia menghasilkan faktor langsung berupa tindakan
atau kelalaian yang mempengaruhi asuhan pasien, sehingga berpotensi untuk
memperbaiki hal-hal yang memperburuk sistem dan budaya melelui intervensi
perbaikan sistem dan budaya serta mengidentifikasi dimana potensi kesalahan yang
mungkin timbul. Pemberi pelayanan keperawatan khususnya perawat
berkontribusi terhadap terjadinya kesalahan yang mengancam keselamatan
pasien. Perawat merupakan tenaga kesehatan dengan jumlah terbanyak dirumah
sakit, pelayanan terlama (24 jam) secara terus menerus dan tersering berinteraksi
pada pasien dengan berbagai prosedur dan berbagai tindakan perawat. Satu
perawat mungkin harus bertanggung jawab terhadap enam atau lebih pasien
(Cahyono, 2012). Setiap kesalahan dalam prosedur yang dijalani beresiko terjadinya
kejadian yang tidak diharapkan. Kesalahan faktor manusia dapat terjadi karena
masalah komunikasi, tekanan pekerjaan, kesibukan dan kelelahan (Cahyono, 2012)
5. Pentingnya Standart Keselamatan Pasien
Standar keselamatan pasien di RS sangatlah penting, karena segala jenis obat-
obatan, jenis pemeriksaan, prosedur tindakan, jumlah pasien dan jumlah staf RS yang
cukup besar, merupakan hal yang potensial bagi terjadinya medication error yang
dapat mengancam keselamatan pasien.
Peran pemerintah dalam menciptakan budaya safety : Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang keselamatan pasien
rumah sakit. Insiden keselamatan pasien adalah setiap kejadian yang tidak disengaja
dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi yang mengakibatkan cedera yang
dapat dicegah pada pasien terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaris
Cedera, Kejadian Tidak cedera dan Kejadian Potensial Cedera. Menteri membentuk
Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit untuk meningkatkan keselamatan
pasien dan mutu pelayanan rumash sakit. setiap RS wajib membentuk Tim
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) yang ditetapkan oleh kepala RSsebagai
pelaksana kegiatan keselamatan pasien. Standar keselamatan pasien meliputi :
a. Hak pasien
b. Mendidik pasien dan keluarga
c. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan
d. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien
e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien

Sasaran keselamatan pasien yang ditetepakan berdasarka International


Patient Safety Goal (IPSG) oleh Join Commision International (JCI) :
a. Ketepatan identifikasi pasien
b. Peningkatan komunikasi efektif
c. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai
d. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi
e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
f. Pengurangan risiko pasien jatuh

6. Contoh Kejadian Pasient Safety


Pasien laki-laki usia 77 tahun dengan Diagnosa Medis Batu Ureter Dextra,
Post Ureterorenoscopy. Dijemput dari ruang operasi pukul 19.30 WITA. Kesadaran
Composmentis, GCS E4M6V5, terpasang IVFD RL 500 ml / 8 jam cabang drip
Fentanyl 250 mcg dalam NS 0.9% 100 ml / 24 jam dan terpasang foley cateter.
Bedrail tempat tidur terpasang, mendekatkan bel pasien, bed sudah terkunci dan
dalam posisi rendah. Perawat telah memberikan KIE pada pasien dan keluarga tentang
pasien yang masih terpasang kateter urin dan menganjurkan pasien dan keluarga
untuk memanggil perawat jika butuh bantuan. Kemudian pada pukul 20.30 WITA,
perawat mendapat laporan dari keluarga pasien bahwa pasien sempat jatuh sekitar 10
menit yang lalu saat pasien memaksa keluarga untuk mencoba berdiri dan ingin
berjalan menuju kamar mandi untuk BAK. Setelah dilakukan pemeriksaan pasien,
didapatkan kesadaran pasien Composmentis, Vital Sign dalam batas normal, GCS
E4M6V5 dan terdapat sedikit luka lecet di kaki kiri pasien sebesar 2 cm. Perawat
kemudian melapor ke dokter jaga ruangan dan juga DPJP mengenai insiden yang baru
saja terjadi pada pasien. Luka lecet kemudian dilakukan perawatan luka.
Analisis yang menjadi penyebab :
a. Perawat belum menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang efek obat
Fentanyl (opioid kuat) yang dapat menimbulkan rasa pusing atau
ketidakeimbangan koordinasi.
b. Perawat belum menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kemungkinan
sisa-sisa efek anastesi pos operasi mengingat pasien baru saja selesai dijemput
dari ruang operasi.
c. Usia pasien yang sudah tua (77 tahun) dapat menimbulkan kesalahpahaman
persepsi pasien dalam menangkap informasi yang diberikan perawat.

Yang bertanggung jawab : Semua pemberi asuhan

Kebijakan penting pihak RS :

a. Menilai kondisi pasien secara langsung sesaat setelah kejadian dan melakukan
vital sign lengkap, lapor ke DPJP dan semua dokter spesialis lain yang juga
sedang merawat pasien.
b. Melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh pada pasien. Jika terdapat luka,
segera lakukan perawatan luka sesuai dengan SOP. Jika pasien dicurigai
mengalami patah tulang, segera lakukan prosedur diagnostik foto xray, dsb.
c. Staf yang menemukan insiden langsung membuat laporan insiden medis.
d. Penyelidikan segera dalam waktu 24 jam oleh komite keselamatan RS mengenai
insiden yang telah terjadi.
e. Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit menganalisis akar masalah terjadinya
insiden tersebut (Root Cause Analysis).
f. Pengumpulan data, penyajian data dan identifikasi masalah dengan cara
brainstorming / focused group discussion yang dilakukan oleh Tim Komite
Keselamatan RS.
g. Analisis informasi dengan menggunakan 5 why atau fishbone diagram, untuk
mengetahui akar masalah timbulnya insiden tsb.
h. Susun rekomendasi, misalnya perlu adanya pelatihan rutin dan supervisi tentang
pencegahan risiko jatuh kepada staf RS.
i. Segala macam insiden wajib dilaporkan agar dapat dianalisis oleh Tim
Keselamatan Pasien Rumah Sakit, supaya jika ada hal-hal yang tidak diinginkan,
(mis. tuntutan hukum), sudah dapat diantisipasi oleh pihak RS.

Anda mungkin juga menyukai