Anda di halaman 1dari 12

Melacak “Akar” Ideologi Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia

Abstract
Student movement is a part of history in Indonesia that always active to take a part of every
change period. They called as an agent of change. However, there is not enough data, principally
ideology, to explain the attribute. This article tries to investigate ideology of student movement,
especially Islamic student movement in Indonesia. Among them are: Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Dipo, HMI MPO, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) and Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). The article also
explored their political expression
Keywords: ideologi, teologi, politik, gerakan, mahasiswa Islam

Pendahuluan
Keberadaan gerakan mahasiswa dalam konstelasi sosial politik di negeri ini tak bisa
dipandang sebelah mata. Diakui atau tidak, keberadaan mereka menjadi salah satu kekuatan yang
selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama pengambil
kebijakan, yakni negara. Diantara elemen-elemen gerakan mahasiswa yang memiliki pengaruh
signifikan adalah gerakan mahasiswa Islam. Mereka adalah organisasi massa (ormas) mahasiswa
yang memiliki basis konstituen yang jelas dan massa pendukung yang besar seperti Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Dipo, HMI MPO, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI).

Pada sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa mengalami polarisasi dalam
entitas dan kelompok-kelompok tertentu yang berbeda, bahkan acapkali bertentangan satu sama
lain. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang melingkupinya, seperti perbedaan ideologi,
strategi dan lainnya.
Dalam konteks ini, upaya memahami ideologi gerakan mahasiswa merupakan hal yang
sangat penting. Apabila ditelisik, persoalan ideologi merupakan pusat kajian ilmu sosial. [i][1]
Namun hingga kini, kajian tentang ideologi khususnya dalam ranah ilmu-ilmu sosial sangat
minim. Apalagi ideologi dalam konsteks gerakan mahasiswa. Maka, permasalahan yang akan
dikaji selanjutnya adalah apa dan bagaimanakah ideologi gerakan mahasiswa Islam di Indonesia?

Ideologi Dalam Keterbatasan Akar Konseptual


Menurut Frans Magnis Suseno,[2] ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir,
nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi
dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial,
sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan
kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan
menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan
sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan
dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Dalam konteks inilah kajian ideologi
menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan.
Istilah ideologi adalah istilah yang seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu
sosial, akan tetapi juga istilah yang sangat tidak jelas. Banyak para ahli yang melihat
ketidakjelasan ini berawal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri. Ideologi dalam pengertian
yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide,
moralitas, interpretasi dunia dan lainnya.
Menurut Antonio Gramsci,[3] ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci,
ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi „mengatur‟
manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan
posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.
Secara sederhana, Franz Magnis Suseno [[4] mengemukakan tiga kategorisasi ideologi.
Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh
berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika.
Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma
politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata. Ideologi dalam arti penuh
melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi,
bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan
pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak
boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini
Franz Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.
Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka
orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan
dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi dalam praktek
kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara
demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama. Dengan demikian ideologi terbuka bersifat inklusif,
tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.
Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam
keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia
harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak
diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis, karena mendukung
tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan
suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.
Dari beberapa fungsi tersebut, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap perilaku
kehidupan sosial berkaitan erat. Memahami format sosial politik suatu masyarakat akan sulit
dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam masyarakat tersebut. Dari
sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar dan merupakan salah satu unsur
yang akan mewarnai aktivitas sosial dan politik.
Sepintas Gerakan Mahasiswa Islam di Indonesia
Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan
salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966,
Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru
tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu pula
mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi
“perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan.
Menurut Arbi Sanit, [5] ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan
permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan.
Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa
mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua,
sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah
mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan
kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara
mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan
kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan
kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat
dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan
mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.

Disamping itu ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi
pendorong gerakan mereka. Pertama, ialah Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui
mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian. Kedua, sikap idealisme
yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa [6]. Kedua potensi sumber daya tersebut „digodok‟ tidak
hanya melalui kegiatan akademis didalam kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra
universitas yang banyak terdapat di hampir semua perguruan tinggi.
Di Indonesia terdapat lima organisasi mahasiswa ekstra universitas atau sering dinamakan
ormas mahasiswa, yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII
(Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), HMI MPO
(Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) dan KAMMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia). Kesemuanya menarik untuk dikaji karena sama-sama membawa
label Islam sebagai identitas organisasinya, namun memiliki corak wacana dan strategi perjuangan
yang khas. Berikut sekilas perjalanan dari ormas mahasiswa Islam tersebut:

1. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo


HMI lahir ditengah-tengah suasana revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan, yaitu
pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan kawan-kawan merasa prihatin dengan
kondisi umat Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik
serta jurang kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis
untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudian didirikanlah wadah
perkumpulan mahasiswa Islam yang memiliki potensi besar bagi terbinanya insan akademik,
pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat
adil makmur yang diridhoi Allah.
Dalam perjalanannya, HMI telah banyak melahirkan kader-kader pemimpin bangsa.
Hampir di sepanjang pemerintahan Orde Baru selalu ada mantan kader HMI yang duduk di
kabinet. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran signifikan HMI dalam keikutsertannya
menumbangkan Orde Lama serta menegakkan Orde Baru. Selain itu, sebagai ormas mahasiswa
Islam yang independen dan bergerak dijalur intelektual, tidak jarang HMI melahirkan gerakan
pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Beberapa kader HMI bahkan sering
melontarkan wacana pemikiran Islam yang mengundang kontroversi. Misalnya saja wacana
sekulerisasi agama yang diungkapkan Nurcholish Madjid melalui slogannya yang terkenal “Islam
Yes, Partai Islam No!.”

2. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)


Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia pada tanggal 17 April
1960 di Surabaya mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah pergerakan angkatan mudanya
dari kalangan mahasiswa yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada
perkembangannya di awal tahun 1970-an PMII secara struktural menyatakan diri sebagai
organisasi independen, terlepas dari ormas apa pun, termasuk dari sang induknya, NU. [vii][7]
Pada masa pergerakan mahasiswa 1998, menjelang peristiwa jatuhnya Soeharto, PMII bersama
kaum muda NU lainnya telah bergabung dengan elemen gerakan mahasiswa untuk mendukung
digelarnya people‟s power dalam menumbangkan rezim Soeharto. Sikap ini telah jauh
mendahului sikap resmi kiai senior NU yang lebih konservatif yakni senantiasa menjaga
kedekatan dengan pusat kekuasaan untuk membela kepentingan pesantren. Di jalur intelektual
PMII banyak mengembangkan dan mengapresiasikan gagasan-gagasan baru, misalnya mengenai
hak asasi manusia, gender, demokrasi dan lingkungan hidup.

3. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)


Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang penuh gejolak politik di tahun
1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan yang terkotak-kotak dalam bingkai politik
dengan meninggalkan arah pembinaan intelektual, beberapa tokoh angkatan muda
Muhammadiyah seperti Muhammad Djasman Alkirdi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-
kawan memelopori berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada
tanggal 14 Maret 1964.
Sebagai organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah sifat dan gerakan IMM sama dengan
Muhammadiyah yakni sebagai gerakan dakwah Islam amar ma‟ruf nahi mungkar. Ide dasar
gerakan IMM adalah; Pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana
pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment
(pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan IMM ialah melalui pemaksimalan
potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.
Kedua, Value, ialah usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai
moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari
Al Qur‟an. Ketiga, Courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya
dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan ikatan dalam
pemberdayaan umat [8].
4. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO)
Kebijakan pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya dasar
ormas mendapat tantangan yang cukup beragam dari kalangan umat Islam. Himpunan
Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) sebagai organisasi pecahan/faksi
dari HMI yang disebutkan sebelumnya, terlahir akibat konflik berkepanjangan dalam menyikapi
penerimaan asas tunggal tersebut. PB (Pengurus Besar) HMI melalui jumpa pers pada 10 April
1985 di Yogyakarta mengumumkan tentang penerimaan asas Pancasila oleh HMI. Sikap ini
dinilai sebagian cabang seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Ujungpandang, Purwokerto sebagai
kesalahan besar PB HMI karena tidak melalui forum kongres. Konflik tersebut berujung pada
munculnya perlawanan dari cabang-cabang yang kemudian melahirkan HMI MPO pada 15 Maret
1986 di Jakarta, sebagaimana tercantum dalam buku Berkas Putih yang terbit 10 Agustus 1986 [9].
Setelah beberapa tahun HMI MPO lebih banyak melakukan aktifitas gerakannya secara
sembunyi-sembunyi, pada tahun 1990-an ketika pemerintah mulai menjalin hubungan baik
dengan Islam, HMI MPO mulai nampak kembali kepermukaan. Di beberapa daerah yang
merupakan basis HMI MPO seperti Yogyakarta, Bandung, Ujungpandang dan Purwokerto
kader-kader mereka cenderung radikal dan lebih militan. Pada kenyataannya represi negara
justeru membuat HMI MPO menjadi lebih matang dan kuat.
HMI MPO sendiri sedikit mengalami pergeseran, jika pada awalnya gerakan mereka
cenderung fundamentalis dan eksklusif. Pada akhirnya mereka mulai terbuka dengan
memperluas cakrawala pengetahuan sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan.
Tidak heran jika banyak yang menilai HMI MPO sebagai organisasi Islam yang lebih modernis
saat ini.

5. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)


KAMMI terbentuk dalam rangkaian acara FS LDK (Forum Sillaturahmi Lembaga
Da‟wah Kampus) Nasional X di Universitas Muhammadiyah Malang tanggal 25-29 Maret 1998.
Setidaknya ada dua alasan terbentuknya KAMMI, pertama, sebagai ekspresi keprihatian
mendalam dan tanggung jawab moral atas krisis dan penderitaan rakyat yang melanda Indonesia
serta itikad baik untuk berperan aktif dalam proses perubahan. Kedua, untuk membangun
kekuatan yang dapat berfungsi sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral kepada
pemerintah.[10]
Selanjutnya bersama elemen gerakan mahasiswa lainnya, KAMMI melakukan tekanan
terhadap pemerintahan Orde Baru melalui gerakan massa. Dalam pandangan KAMMI, krisis
yang terjadi saat itu adalah menjadi tanggung jawab pemimpin dan pemerintah Indonesia sebagai
pengemban amanah rakyat. Karena itu untuk memulai proses perubahan tersebut mesti diawali
dengan adanya pergantian kekuasaan. Rezim Orde Baru dengan segala macam kebobrokannya,
harus diganti dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Setelah tidak kuat menahan desakan rakyat, akhirnya Soeharto dengan terpaksa meletakkan
jabatannya. Namun bagi KAMMI, proses reformasi di Indonesia belumlah selesai, masih
membutuhkan proses yang panjang. Lewat Muktamar Nasional KAMMI yang pertama, 1-4
Oktober 1998, KAMMI memutuskan diri berubah dari organ gerakan menjadi ormas mahasiswa
Islam. Peran utamanya adalah untuk menjadi pelopor, pemercepat dan perekat gerakan pro-
reformasi.
Mahasiswa Islam dalam Pergulatan Teologis
Sejak awal berdirinya, sebagian ormas mahasiswa Islam ada yang terlahir dari kelompok
sosial keagamaan dengan identitas yang jelas. Misalnya saja IMM yang terang-terangan
mengusung nama Muhammadiyah, dan PMII meski secara struktural independen, namun masih
memiliki ikatan kultural yang erat dengan NU. Sedangkan ormas mahasiswa Islam yang lain,
HMI Dipo, HMI MPO dan KAMMI, tidak secara jelas membawa identitas kelompok keagamaan
tertentu, malah mereka cenderung menjadi kelompok keagamaan tersendiri. Dari sini kemudian
berkembanglah corak wacana dan strategi perjuangan yang berbeda-beda. Perbedaan ini muncul
akibat beragamnya metode pendekatan teologis, sebagai basis ideologi yang mereka bangun.
Kebebasan berpikir yang telah menjadi kultur sehari-hari di dunia akademis, telah
mengundang sebagian besar mahasiswa Islam untuk merumuskan kembali paradigma teologi
yang telah ada. Hampir semua sepakat bahwa paradigma teologi umat Islam saat ini merupakan
hasil formulasi ulama klasik. Meski mengalami pembaharuan beberapa kali, tapi tidak banyak
perubahan mendasar dalam paradigma teologi itu. Terlebih lagi tuntutan perubahan
mengharuskan umat Islam menyusun kembali paradigma yang baru.
Pemikiran teologi dalam masyarakat Islam bersumber dari ajaran aqidah yang dijelaskan
dalam Al Qur‟an dengan inti kepercayaan pengesaan Tuhan (tauhid) dan pengakuan atas ke-
Rasulan Muhammmad (Muhammad Rasulullah). Pemikiran teologi tentang Allah merupakan
sebuah keyakinan terhadap adanya realitas transedental yang tunggal dan menuntut adanya
aplikasi ketaatan pada tataran aksi. Oleh karenanya wujud nyata dari perilaku dan kepribadian
umat Islam merupakan cerminan yang tidak dapat dipisahkan dari landasan teologisnya.
Dalam melakukan telaah keagamaan, mahasiswa Islam mengadopsi beberapa pemikir-
pemikir Islam kontemporer, baik tokoh pemikiran Islam di Indonesia seperti Abdurrahman
Wahid, Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat dan lainnya, sampai tokoh dunia
Islam yang cukup berpengaruh saat ini, diantaranya Hassan Hanafi, Mohammad Arkoun, Yusuf
Qardlawi, M. Abed Aljabiri, Fazlur Rahman dan masih banyak lagi. Ketajaman analisis dan
disiplin dalam mempergunakan metode, membuat para tokoh tersebut dikagumi banyak kalangan
mahasiswa Islam. Sampai kemudian pemikiran mereka menjadi referensi utama bagi gerakan
mahasiswa Islam, bahkan tidak jarang dikritisi dan dianalisis secara mendalam.
Di Indonesia sendiri, Fachry Ali dan Bahtiar Effendy[11] menyatakan tentang tipologi
gerakan intelektualisme Islam neo-modernisme. Gerakan pemikiran neo-modernisme
merupakan gerakan pemikiran Islam yang muncul di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan
ini lahir dari tradisi modernisme Islam yang terdahulu dan telah cukup mapan di Indonesia.
Akan tetapi ia memakai pendekatan yang lebih khas dari sisi konsepsi maupun aplikasi ide-ide.
Nurcholish Madjid merupakan tokoh gerakan intelektual ini. Dengan cerdas ia
memadukan cita-cita liberal dan progresif dengan keimanan yang saleh. Melalui konsep
rasionalitas, Cak Nur, sapaan akrabnya, menyatakan arti pentingnya untuk menelusuri dan
memahami pengetahuan manusia yang relatif dan terbatas. Hal ini menyangkut persoalan
hubungan kedudukan antara agama dan akal yang telah lama menjadi bahan perdebatan para
teolog sejak dulu. Karena pengetahuan manusia yang terbatas itulah maka kebenaran yang
bersifat mutlak tidak dapat dicapai oleh manusia.
Selanjutnya Cak Nur menawarkan satu bentuk teologi inklusif, dimana inti ketajaman
teologi ini adalah kesadaran teologis yang mensyaratkan adanya ruang kebebasan berpikir sebagai
wujud komitmen ketauhidan seseorang. Ruang kebebasan inilah yang menjadi substansi bagi
pembaharuan dan kemajuan dalam Islam. Sikap keterbukaan untuk mau menerima kebenaran
dan perbedaan dari orang lain.
HMI Dipo telah menjadikan pemikiran neo-modernisme ini sebagai referensi utama bagi
pemahaman teologinya. Lewat pemikiran-pemikiran Cak Nur yang juga mantan ketua PB HMI
inilah konsep Islam Keindonesiaan ditawarkan oleh kader-kader HMI.
Lain halnya dengan PMII, ormas mahasiswa Islam ini lebih mengembangkan teologi yang
lebih radikal bila dipandang oleh sebagian besar umat Islam pada umumnya. Pada mulanya PMII
memakai doktrin teologi Aswaja (ahlussunnah wal jama‟ah) sebagi doktrin resmi yang dipakai
NU dan masyarakat Islam Indonesia pada umumnya. Doktrin teologi Aswaja lebih banyak
berbicara mengenai takdir manusia yang telah ditentukan Allah, dan kedudukan manusia sebagai
makhluk. Namun akhir-akhir ini tradisi kritik yang berkembang di PMII tidak hanya menggugat
kemapanan (status quo) struktur sosial, ekonomi dan politik yang ada, tapi termasuk doktrin
teologi Aswaja. PMII dengan berani menggulirkan perlunya pembacaan kembali konsep Aswaja
tersebut[12].
Dewasa ini terdapat loncatan perubahan yang cukup menyolok dikalangan kader-kader
PMII. Sebagai angkatan muda NU, mereka sebagian besar berasal dari kalangan tradisional,
kelompok masyarakat yang sering diidentikkan dengan konservatifisme sosial lewat apresiasi yang
rendah terhadap hal-hal baru. Mereka juga dikenal dengan keterbelakangan kultural karena
orientasi hidup mereka dipercayai hanya sebatas penerapan dan pemeliharaan nilai-nilai lama
yang teguh dipegangi dan diyakini. Pandangan ini mulai bergeser ketika PMII kini memiliki
pandangan intelektual yang lebih terbuka, peka dan peduli terhadap masalah keagamaan dan
kehidupan sosial. Konsekuensi dari keterbukaan ini bagi PMII adalah sikap menerima
perbedaan, akomodatif, dan toleran[13].
Tradisi berpikir kritis terhadap segala macam bentuk kemapanan yang ada, telah
membawa PMII untuk melakukan kajian terhadap kondisi kehidupan sosial, termasuk kebekuan-
kebekuan yang dialami agama. Doktrin-doktrin ajaran agama saat ini, menurut PMII, sudah tidak
relevan lagi dengan perubahan jaman. Karena ajaran agama yang ada telah tercerabut dari
keaslian akar tradisi masyarakat. Ajaran agama tidak tertanam dalam kesadaran masyarakat.
Untuk itu perlu dilakukan tafsir ulang terhadap doktrin-doktrin ajaran agama, bahkan sampai
keakar-akarnya yaitu dimensi teologis.
Pada tataran teologis PMII lebih memandang bahwa semua agama akan bermuara pada
satu titik yang sama yakni Tuhan. Terdapatnya agama-agama yang berbeda merupakan suatu
bentuk keanekaragaman jalan atau cara yang mengandung makna kebenarannya sendiri-sendiri,
dan keanekaragaman ini merupakan fitrah yang dikehendaki Tuhan. Yang terpenting bagi agama
saat ini adalah harus membawa kemanfaatan nyata bagi kesejahteraan manusia.
Ahmad Baso, salah seorang senior di PB PMII mengungkapkan suatu gagasan mengenai
kritik wacana agama. Kritik agama Baso adalah Islam sebagai sistem kultur dan ideologi. Titik
perhatiannya diarahkan pada kritik nalar atau cara-cara berpikir yang secara sistemik membentuk
pola pikir penganutnya secara sadar maupun tidak sadar. Lebih lanjut Baso mencontohkan
kebekuan tradisi pembaharuan dalam pemikiran tokoh-tokohnya, baik itu pada diri Nurcholish
Madjid, Dawam Rahardjo, maupun dalam pemikiran Abdurrahman Wahid. Makna “Islam
Liberal” dalam pemikiran Nurcholish Madjid, hanya berhenti pada tingkat wacana. Gagasan
tersebut tidak bisa diterjemahkan secara praksis dalam kehidupan umat di lapisan bawah.
Berbeda lagi dengan IMM, ormas mahasiswa Islam yang satu ini tidak bisa lepas begitu
saja dari pengaruh kultur yang ada di Muhammadiyah. Muhammadiyah sebagai gerakan sosial
keagamaan, tentu saja tidak bisa lepas dari agama sebagai landasan teologis dalam berpikir,
bertindak dan berinovasi. Aspek teologis ini penting karena dari sinilah Muhammadiyah
melancarkan purifikasi agama atau pemurnian tauhid dari segala bentuk praktek keagamaan yang
berbau takhayyul, bid‟ah dan khurafat. Dengan langkah ini sebenarnya Muhammadiyah ingin
melangkah ke arah praksis, yaitu memperbaharui pola pikir umat yang lebih “membumi”, tidak
mistis dan metafisis semata [14].
Pada konteks historis, dulu pemahaman teologis semacam ini sangat hidup dan dinamis
di Muhammadiyah, sehingga seringkali “gebrakan kultural” yang dilakukan Muhammadiyah
cukup mengesankan. Namun saat ini, citra Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dan
Islam modernis telah memberikan “kepuasan” tersendiri yang secara tidak disadari telah
“memanjakan” Muhammadiyah dalam kemapanan wacana keagamaannya. Azyumardi Azra [15]
mengkritik pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang monolistik (salafiyah). Padahal
kecenderungan keagamaan masyarakat semakin pluralistik. Menurut Azra, selama ini Ulama
Muhammadiyah hanya dialokasikan di tempat periferal dan marginal, yaitu di Majelis Tarjih,
yang hanya menekuni dan menjawab persoalan-persoalan teknis hukum Islam (fiqhiyyah) untuk
merespons perkembangan modern. Kalaupun ada di kalangan Muhammadiyah yang kritis
terhadap pemerintah, itu biasanya muncul dari kalangan santri intelektual. Jarang sekali yang
dikenal sebagai Ulama melakukan fungsi kontrol.
Dengan demikian, Muhammadiyah telah mengalami kebekuan dalam mengkontruksi
wacana teologinya. Muhammadiyyah terlalu disibukkan dengan aktivitas amal usahanya yang
secara tidak langsung mendorong formalisasi agama.
Kondisi semacam ini berimbas pada IMM secara langsung. Krisis wacana yang dialami
kader-kader IMM kemudian berakibat pada semakin banyaknya mereka yang menyibukkan diri di
amal usaha Muhammadiyah. Meski begitu, tetap saja ada kelompok minoritas kreatif yang tekun
melakukan rekontruksi wacana teologi serta relevansinya dengan tantangan umat Islam dan
Bangsa Indonesia saat ini. Salah satunya adalah Fajar Riza Ul Haq kader muda Ketua Pimpinan
Cabang IMM Sukoharjo. Fajar dengan fasih berbicara tentang kelemahan teologi inklusifnya
Nurcholish Madjid yang berhenti pada tataran wacana tidak membumi dalam bentuk praksis
pembebasan. Mengutip Farid Esack, tokoh Islam Afrika Selatan, Fajar [16] menyatakan perlunya
menggeser teologi inklusif kearah teologi pluralis yang liberatif terhadap kaum tertindas.
Bangunan epistimologi teologi pluralis adalah meyakini setiap agama mempunyai jalan
keselamatan sendiri-sendiri, jadi menghargai pluralitas teologi agama-agama. Sayangnya wacana
ini belum berkembang di sebagian besar pemikir-pemikir Muhammadiyah.
Sedangkan di HMI MPO, sebagaimana telah sedikit disinggung di awal, ormas mahasiswa
Islam ini mengalami pergeseran cukup drastis. Semula gerakan HMI MPO bersifat eksklusif,
konsisten dengan keislamannya, maka semua aktivitasnya harus diukur dengan parameter Islam.
Namun akhir-akhir ini HMI MPO cenderung terbuka dan menyerahkan pemahaman teologis
terhadap pluralitas anggotanya.
Dari penjelasan tersebut, terlihat tidak adanya keseragaman pemahanan teologis di HMI
MPO. Tidak aneh jika ekspresi keagamaan dari masing-masing kader nampak berbeda. Ada
kader yang sangat kental dengan nuansa religiusnya, tidak sedikit pula kader yang tampil lebih
moderat, bahkan cenderung „liar‟ dan semaunya sendiri. Pemandangan semacam ini mudah
dijumpai pada kader-kader HMI MPO.
KAMMI yang dilahirkan oleh para aktivis Lembaga Dakwah Kampus memiliki corak
pergerakan yang khas. Jaringan mereka sangat luas dan telah ada hampir diseluruh Perguruan
Tinggi di Indonesia. Tidak mengherankan jika pada usia yang masih muda KAMMI di puji
banyak kalangan sebagai ormas mahasiswa Islam tersolid saat ini. Kehadiran massa dalam
jumlah besar di setiap aksinya, memperkuat daya tekan KAMMI dalam mendukung gerakan
reformasi.
Pada tataran teologis KAMMI memiliki doktrin pemahaman yang cukup kuat bahwa
Islam sebagai suatu sistem yang total (kaffah) merupakan solusi terbaik dalam menjawab
tantangan kemanusian. Bagi KAMMI, Islam tidak hanya berbicara mengenai pribadi individu,
tapi Islam juga mengatur juga tentang hubungan sosial. Karena itu kemenangan Islam dalam
keyakinan KAMMI adalah suatu keniscayaan. [17]
Tradisi pendekatan wacana yang berkembang di KAMMI adalah upaya pencarian
keabsahannya gerakannya melalui teks-teks suci. Hampir di setiap kali muncul wacana pemikiran
KAMMI akan selalu diikuti sumber pembenarannya dari teks Al Qur‟an dan Hadits. Pembacaan
terhadap teks-teks suci tersebut telah memberikan semangat juang (ghiroh) tersendiri bagi
KAMMI. Pada akhirnya, kontekstualisasi teks dengan realitas sosial sekarang mendorong
KAMMI berkiprah lebih banyak di bidang pelayanan sosial, pendidikan politik, dan advokasi
umat.

Ekspresi Politik Gerakan Mahasiswa Islam


Untuk mengetahui ekspresi atau sikap gerakan mahasiswa Islam terhadap kondisi sosial
politik yang berlangsung, tidak bisa dilepaskan dari tesis Clifford Geertz tentang politik aliran.
Aliran menurut Clifford Geertz [18] ditandai oleh beberapa ciri. Pertama, aliran adalah suatu
gerakan sosial yang kemudian mengalami kristalisasi menjadi pengelompokan politik. Kedua,
walaupun suatu aliran didefinisikan secara ideologis, namun biasanya ia dijiwai oleh cita-cita
moral yang lebih luas. Ketiga, walaupun mengalami kristalisasi menjadi suatu pengelompokan
politik, sebuah aliran biasanya dikelilingi oleh sebuah organisasi sukarela yang terikat secara
resmi maupun tidak resmi dengan pengelompokan politik yang menjadi pusatnya.
Tipologi Geertz ini kemudian dikembangkan oleh Herbeth Feith dan Lance Castle [19]
yang membagi pemikiran politik Indonesia waktu itu ke dalam lima golongan: marxisme,
Sosialisme Demokrat, Nasionalisme Radikal, Islam (terdiri dari modernisme Islam dan
tradisionalisme Islam) dan tradisionalisme Jawa. Tipologi ini kemudian berkembang tidak hanya
pada wilayah kultural tetapi juga wilayah politik yaitu mempengaruhi afiliasi pemilih waktu itu.
Menurut Geertz, afiliasi pemilih juga berdasarkan pada pengelompokan budaya ini.
Kelompok santri kebanyakan berafiliasi ke NU dan Masyumi, abangan sebagian ke PKI, priyayi
lebih banyak berafiliasi ke PNI. Basis aliran ini kemudian berkembang menjadi ideologi politik
aliran yaitu Islam, nasionalis, komunis dan sosialis meskipun kelompok terakhir jumlahnya sangat
kecil. Pemilu pertama tahun 1955 membuktikan dari sekian banyak partai yang muncul, empat
partai besar sebagai pemenang dan semuanya mengambl tipologi Geertz sebagai basis ideologi
mereka yaitu nasionalis diwakili PNI, Islam dengan Masyumi dan NU, Komunis dengan PKI dan
Sosialis dengan PSI
Perkembangan pemilu 1999 menunjukkan gejala yang hampir sama meskipun tidak
seratus persen. Bahkan ada kecenderungan pada sebagian partai untuk menghidupkan fenomena
politik tahun 1955. Ada sisi menarik dari dalam hal afiliasi politik yang sifatnya cenderung
ideologis. Suara NU dan PNI tidak mungkin beralih ke partai- partai yang identik dengan
Masyumi (PBB, PK atau PAN) sementara suara Masyumi juga tidak beralih ke partai-partai yang
identik dengan NU, PNI atau PKI (PDI P, PKB dan PRD). Kecenderungan ideologis ini tidak
lepas dari tubuh Islam yang terbagi dalam dua kutub: modernis dan tradisionalis. NU mewakili
tradisionalis dan Masyumi mewakili kutub modernis.
Dua bentuk pemikiran ini selalu berbenturan dalam hampir semua hal termasuk dalam
bidang syariah. Kutub tradisionalis mengental dalam organisasi Nahdlotul Ulama, sementara
Kutub modernis diwakili organisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri merupakan
organisasi reformis yang kehadirannya dimaksudkan untuk menjernihkan keyakinan umat Islam
dari berbagai bentuk takhyul, bid‟ah dan khufarat. Bagi Muhammadiyah, keyakinan umat telah
banyak terkontaminasi dngan masuknya praktik peribadatan yang berbau Hindhu-Budha-Jawa.
Sementara kelahiran NU salah satu latar belakangnya adalah untuk menyelamatkan tradisi.
Dalam hal ini, NU merasa keyakinannya dalam menjalankan ibadah terusik dengan hadirnya
Muhammadiyah. Dari sinilah muncul berbagai ketegangan dan bahkan konflik yang sampai
sekarang ada.
Kondisi gerakan mahasiswa Islam saat ini juga terjebak dalam polarisasi dan fragmentasi
yang tidak jauh berbeda dengan politik aliran Geertz, meski dalam beberapa hal mengalami
beberapa metamorfose. Organisasi massa mahasiswa Islam lahir dengan dipayungi kelompok
politik yang dominan waktu itu, atau sebagai underbow partai. PMII (Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia) lahir dari generasi muda NU (Nahdlatul Ulama), HMI (Himpunan Mahasiswa
Islam) lahir dibidani kelompok Islam modernis Masyumi. Selanjutnya, IMM (Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah) yang jelas berasal dari Muhammadiyah. Sementara, keberadaan KAMMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) pada praktik politik selanjutnya juga tidak bisa
dilepaskan dari PK (Partai Keadilan).
Pada tahap selanjutnya, polarisasi lebih tajam terlihat pada kalangan Islam modernis yang
diwakili HMI Dipo, HMI MPO, IMM dan KAMMI dengan kalangan Islam tradisionalis yang
diwakili PMII. Hal ini dapat dicermati lebih rinci terutama pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid. Beberapa waktu menjelang lengsernya Gus Dur dan pada awal-awal
pemerintahan Megawati, terdapat friksi antar ormas Islam yang lebih disebabkan karena alasan
ideologis. Memang berkembang berbagai rumor di seputar pro dan kontra turunnya Gus Dur,
seperti permasalahan kesehatan Gus Dur, kapabilitas managerial ataupun konstitusi. Namun
apabila ditelisik mendalam, turunnya Gus Dur semata terjadi karena konflik ideologis yang sekian
lama terpendam.
Meskipun naiknya Gus Dur dengan bantuan poros tengah yang terdiri dari PPP, PAN,
PBB, PK, namun aspirasi dan kepentingan kelompok poros tengah relatif diabaikan. Apabila
ditelurusi, tentu saja hal ini bukan hal yang baru. NU atau dalam hal ini PKB jelas tidak mungkin
berafiliasi dengan kelompok modernis terutama poros tengah. NU lebih mudah bergandengan
tangan dengan kalangan abangan seperti dengan PDI P.
Fenomena yang sama juga terjadi pada ormas mahasiswa Islam. PMII lebih mudah
bekerja sama dengan kelompok kiri dibandingkan dengan ormas Islam lainnya. Hal seperti ini
sering terjadi seperti pada waktu pro kontra penurunan Gus Dur. PMII bekerja sama dengan
ormas kiri seperti PRD, PMKRI untuk mendukung atau pro Gus Dur tetap menjadi presiden.
Sementara, kelompok yang kontra Gus Dur seperti HMI Dipo, HMI MPO, IMM, dan KAMMI
secara serentak, bersama menuntut Gus Dur mundur. Hal senada juga diungkapkan oleh
kelompok modernis yang lain seperti HMI Dipo, HMI MPO, dan IMM.
Pada dasarnya mereka sama-sama memiliki keyakinan bahwa kapasitas dan kapabilitas
Megawati diragukan. Sedangkan alasan lainnya adalah asumsi yang selama ini terbukti bahwa
kekuasaan itu cenderung korup, sebagaimana adagium Lord Acton. Sebagai organisasi yang
independen, ormas Islam modernis lebih menitikberatkan perjuangannya pada kepentingan
rakyat karena selama ini rakyat selalu berada dalam posisi yang tertindas padahal dalam konteks
demokrasi, mereka adalah pemegang kekuasaan tertinggi.

Kesimpulan
Pemahaman terhadap teologi sebagai landasan filosofis berpengaruh pada tindakan
politik sebagaimana tesis sosiologi pengetahuan, bahwa ada kaitan antara fikiran dan tindakan.
Selanjutnya, ideologi yang dianut oleh gerakan mahasiswa Islam ini terungkap dan diwujudkan
lebih jelas pada ekspresi politik.
Gerakan mahasiswa Islam sebagai realitas sosial merupakan replika atau miniatur dari
kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya. Polarisasi dan friksi yang terjadi pada ormas Islam
ternyata memiliki akar kesejarahan yang cukup panjang. Sampai saat ini, tipologi Clifford Geertz
tentang santri, priyayi dan abangan masih kental pada masyarakat sekarang.
Ideologi gerakan mahasiswa Islam pada dasarnya adalah Islam. Namun dalam
perkembangan selanjutnya mengalami metamorfose seiring dengan perkembangan jaman.
Dengan memahami ideologi mereka, kita dapat membaca atau menganalisa akan ke mana mereka
selanjutnya.
Perbedaan merupakan sunatullah. Perbedaan yang tercermin pada ekspresi politik aliran
tidak perlu di permasalahkan dan menjadi sumber konflik. Yang lebih penting adalah bagaimana
seluruh umat menyadari dan memahami kenyataan bahwa perbedaan juga memperkaya sekaligus
rahmat yang harus dijaga. Dengan perbedaanlah akan tumbuh otensitas keimanan dalam hidup
bermasyarakat karena benturan-benturan atau konflik yang terjadi dan upaya menyelesaikannya
akan mendewasakan sekaligus menjadi pengalaman yang berharga. Wallahu a’lam.
Oleh : Imam Cahyono
Lahir di Pati, 17 Januari 1979, tercatat sebagai mahasiswa sosiologi semester akhir FISIP
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Saat ini masih aktif sebagai editor Jurnal Interaksi
Sosiologi Fisip Unsoed, beberapa forum diskusi dan majlis taklim. Pengalaman organisasi yang
pernah digeluti antara lain sebagai Ketua Bidang Hikmah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM), Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sketsa Universitas Jenderal
Soedirman, dan koordinator Forum Kajian Islam Strategis, Purwokerto. Sekarang bekerja
sebagai koresponden dan penulis lepas di beberapa media massa. Tinggal di Jl Baturaden Gg G
Muria no 30 RT 01/3 Pabuwaran, Purwokerto 53124. HP: 0815 500 7410.
Email: cahyo_fajar@yahoo.com

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1999. Agenda Ikatan, DPD IMM Jawa Tengah.


Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, 1986. Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan Pemikiran Islam Masa
Orde Baru. Bandung: Mizan.
Azra, Azyumardi, 2000. Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan.
Berger, Peter L & Hansfried Kellner, 1985. Sosiologi ditafsirkan Kembali, Essay tentang Metode dan Bidang
Kerja. Jakarta: LP3ES.
-------------- & Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi
Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Feith, Herbert & Lance Castle, 1996. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.
Huda, Nurul, PMII Kader Minoritas Progresif. Suara Merdeka, 31/06/2001

Kleden, Ignas, 1988. Rencana Monografi: Paham Kebudayaan Clifford Geertz. Jakarta: LP3ES.
Karim, M Rusli, 1997, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Bandung: Mizan.
-------------, 1999. Negara dan Peminggiran Islam Politik: Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijaksanaan
Pembangunan Bagi Keberadaan Islam Politik di Indonesia era 1970-an dan 1980-an. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Larrain, Jorge, 1996. Konsep Ideologi. Yogyakarta: LKPSM.
Latif, Yudi, 1999. Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan. Bandung: Mizan.
Mannheim, Karl, 1993. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Yogyakarta: Kanisius.
Nuswantoro, 2001. Daniel Bell, Matinya Ideologi. Magelang: Indonesia Tera.
Rahmat, Andi dan Muhammad Najib, 2001. Perlawanan dari Masjid Kampus. Surakarta: Purimedia.
Salim HS, Hairus, dan Muhammad Ridwan, 1999. Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural.
Yogyakarta: LKiS.
Sanit. Arbi, 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Simon, Roger, 1999, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suseno, Franz Magnis, 1992, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius.
Surur, Bahrus, 2001, Teologi Amal Saleh: Membongkar Logika Sosial Pada Nalar Kalam
Muhammadiyah, Jurnal INOVASI, No. 3 Th. X/2001.
Ul Haq, Fajar Riza, 2001, Neo Modernisme Islam Berwawasan Praksis Liberatif (Dari Teologi Inklusif
Menuju Teologi Pluralis), Jurnal Shabran, edisi 2 Vol. XV, 2001

Anda mungkin juga menyukai