Anda di halaman 1dari 10

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas


perkebunan nasional yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia,
terutama dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan petani, dan devisa
negara. Tahun 2002, perkebunan kakao membantu menyediakan lapangan kerja
dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani, serta
memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga dari sektor perkebunan setelah
karet dan kelapa sawit sebesar US$ 701 juta (Goenadi, 2005).
Kakao berfungsi sebagai sumber gizi, karena kakao banyak mengandung
protein dan sumber lemak nabati. Protein dan lemak yang terdapat pada kakao
dapat di konsumsi dalam bentuk produk olahan biji, berupa cokelat. Cokelat
banyak dimanfaatkan sebagai bahan pembuat kue, pengoles roti, dan sebagai
bahan baku pembuat minuman. Peranan dari kakao ini sangat banyak, sehingga
produksi kakao di Indonesia perlu ditingkatkan karena Indonesia merupakan
negara potensial penghasil kakao (Lukito, 2010).
Irian Jaya, Kalimantan Timur, Sulawesi Tangah Maluku dan Sulawesi
Tenggara memiliki lahan potensial yang cukup besar untuk pengembangan kakao
sebagai salah satu tanaman perkebunan dan merupakan komoditas ekspor penting
di Indonesia yang berpotensi menjadikan Indonesia sebagai produsen utama
kakao dunia. Pengembangan kakao secara luas selalu menghadapi hambatan
antara lain oleh adanya serangan hama dan penyakit (Matitaputty, 2014).
Produktivitas rata-rata kakao di Indonesia baru mencapai 650 kg biji
kering/ha/tahun, dari potensi produksi 2.000 kg. Salah satu yang menyebakan
rendahnya produksi kakao di Indonesia adalah penyakit antraknosa yang
disebabkan oleh patogen C. gloeosporioides yang merupakan salah satu patogen
laten yang dapat menginfeksi tanaman kakao dan juga menginfeksi buah-buahan
(Tasiwal, 2008).
Colletotrichum gloeosporioides menyebabkan penyakit umumnya dikenal
sebagai antraknosa pada berbagai spesies tanaman di tropis, subtropis, dan daerah

1
beriklim. Patogen antraknosa agak unik karena jamur ini dapat menginfeksi
hampir semua bagian tanaman. Penyebaran penyakit antraknosa umumnya pada
tanaman buah yang penting termasuk kakao, mangga, pepaya, dan pisang (Sarkar,
2016).
C. gloesporioides biasanya memiliki miselium septa, tidak berwarna, gelap
ketika tua. Miselium membentuk massa sel berdinding tebal dengan bentuk
seperti badan buah, yang disebut acervuli. Biasanya acervuli ini berada dalam
jaringan inang tepat di bawah sel epidermis, jamur ini juga mempunyai konidia
yang berbentuk pendek lonjong dan berwarna sedangkan konidiofor pendek dan
di antara keduanya dihasilkan seta mirip rambut berwarna hitam (Lucas, 1985).

B. Tujuan

1. Mengetahui penyakit antraknosa.


2. Mengetahui sejarah penyakit antraknosa.
3. Mengetahui morfologi penyakit antraknosa pada tanaman kakao.
4. Mengetahui fisiologi penyakit antraknosa pada tanaman kakao.

2
II. SEJARAH

Colletotrichum gloeosporioides adalah patogen yang tersebar di manapun.


Termasuk dalam urutan melanconiales. Jamur ini menginfeksi tumbuhan
monokotil (rumput-rumput) ke yang lebih tinggi tumbuhan dikotil (pohon mete).
C. gloeosporioides didistribusikan secara luas dan patogen tanaman umum di
dunia (Cannon, 2000).
Jamur lebih banyak di daerah tropis dan subtropis. Patogen ini menginfeksi
sekitar 470 inang yang berbeda. Patogen juga menyebabkan masalah pasca panen
dan juga bertindak sebagai strain endofit yang diisolasi dari bagian tanaman tanpa
gejala. C. gloeosporioides diusulkan untuk pertama kalinya sebagai Vermicularia
gloeosporioides oleh Penzig pada tahun 1882 di Deodoro, Brasil. Pada tahun 1937
di S. humilis dan di India, pertama kali dilaporkan oleh Butler 1918 pada kopi.
Glomerella cingulata adalah tahap seksual (teleomorf) sedangkan tahap aseksual
(anamorf) disebut C. gloeosporioides. Ada berbagai spesies datang di bawah
genus Colletotrichum tetapi hanya C. graminicola dan C. higginsianum genom
yang benar-benar diurutkan. Genom C. gloeosporioides berada di bawah studi
namun berbagai gen telah diidentifikasi yang terlibat dalam patogenesis dan tuan
rumah mekanisme pertahanan (Prusky, 1992).
Mikologi Belanda F. A. pergi mengunjungi Suriname dan melakukan
penelitian yang lebih berkelanjutan selama beberapa tahun. Hasil observasi di
lapangan menunjukkan bahwa antraknosa secara konsisten dikaitkan dengan
jaringan yang sakit, terutama polong. Spesies baru Colletotrichum luxificum
digambarkan dan diusulkan sebagai agen penyebab, meskipun fakta bahwa
postulat Koch tidak pernah terbukti. Miselium dari Colletotrichum luxificum
ditemukan dengan mudah di mikroskopis pemeriksaan (Lu, 2004).

3
III. MORFOLOGI PENYAKIT

Antraknosa memiliki gejala yaitu matinya daun muda. Daun muda yang
sakit dicirikan bintik-bintik kecil berwarna coklat dan biasanya mudah gugur.
Sedangkan pada daun dewasa, penyakit ini dapat menyebabkan terjadinya bercak-
bercak nekrosis (jaringan mati) yang berbatas tidak teratur. Bercak-bercak ini
akan menjadi lubang. Ranting yang daun-daunnya terserang dan gugur dapat
mengalami mati pucuk (die back). Penyakit ini disebabkan oleh jamur
Colletotrichum gloeosporoides. Tingkat serangan mencapai 20 % dari populasi
tanaman. Pengendalian dengan fungisida Dithane M-45 sebanyak 2 cc/L
dilakukan tiga kali penyemprotan dengan interval tujuh hari sekali (Erwiyono,
1990).
Gejala yang paling terlihat pada daun dan buah-buahan matang. Pada
awalnya, antraknosa muncul di meninggalkan bintik-bintik kuning atau coklat
atau hitam kecil dan tidak teratur. Bintik-bintik kemudian memperluas dan
menggabungkan untuk menutupi area yang terinfeksi seluruh. Intensitas warna
dari bagian yang terinfeksi meningkat dengan usia tanaman inang. Penyakit juga
dapat menghasilkan cankers pada petioles dan batang yang menyebabkan
defoliasi parah dan membusuk buah dan akar. buah yang terinfeksi memiliki, air
direndam, cekung, bintik-bintik kecil melingkar yang dapat meningkatkan dalam
ukuran sampai dengan 1,2 cm di diameter. Bintik-bintik ini sering membesar, dan
menyebabkan layu, layu dan mati dari jaringan tanaman yang terinfeksi. Seperti
usia, pusat tempat yang lebih tua menjadi kehitaman dan memancarkan agar-agar
spora massa merah muda. patogen biasanya membutuhkan hangat dan kondisi
lembab untuk menginfeksi tanaman inang. diferensiasi antara spesies

4
Colletotrichum berdasarkan kisaran inang atau host asal mungkin tidak dapat
diandalkan, karena menginfeksi berbagai tanaman inang. Sebagai inokulum
primer disebarluaskan oleh angin atau hujan, yang patogen adalah kosmopolitan
dalam distribusi (Sarkar, 2016).
Bercak antraknosa pada buah umumnya berwarna hitam dengan marjin
pucat. Daerah yang terkena akan melebar dan menjadi cekung dan bergabung
membentuk bercak yang besar. Pada proses pematangan buah, gejala ini
membentuk bercak kecil yang banyak dan berwarna gelap dan akan membentuk
lingkaran yang membesar, menyatu dan menjadi cekung. Meskipun penyakit ini
biasanya muncul pada proses pematangan buah, kadang-kadang akan terkena
infeksi pada buah yang masih muda (Harahap, 2013).
Pada daun muda penyakit dapat menyebabkan matinya daun atau sebagian
dari helaian daun. Gejala ini yang sering disebut sebagai hawar daun (leaf blight).
Pada daun dewasa penyakit dapat menyebabkan terjadinya bercak-bercak nekrosis
(jaringan mati) yang terbatas tidak teratur. Bercak-bercak ini kelak dapat menjadi
lubang. Daun-daun yang terserang berat akan mudah gugur, sehingga ranting-
ranting tanaman menjadi gundul (Sunanto, 2002).
Ranting yang daun-daunnya terserang dan gugur dapat mengalami mati
pucuk. Jika mempunyai banyak ranting, tanaman akan tampak seperti sapu dan
sering berlanjut dengan matinya ranting. Penyakit ini juga dapat timbul pada
buah, terutama buah yang masih pentil atau buah muda. Buah muda (pentil) yang
terserang menjadi keriput kering atau menyebabkan gejala busuk kering. Busuk
kering karena serangan penyakit ini ditandai dengan terjadinya lingkaran
berwarna kuning pada batas jaringan yang busuk dan jaringan yang sehat
(Semangun, 2000).
Ciri penting gejala serangan Colletotrichum pada tanaman kakao adalah
terbentuknya lingkaran berwarna kuning (halo) di sekeliling jaringan yang sakit,
dan terjadinya jaringan mati yang melekuk (antraknosa). Halo dan antraknosa
dapat terjadi pada daun maupun pada buah. Tanaman yang terserang berat oleh
patogen ini berbuah sedikit sehingga daya hasilnya sangat menurun (Semangun,
2000).

5
IV. FISIOLOGI PENYAKIT

Pada keadaan yang cukup lembab, daun atau buah yang terinfeksi banyak
menghasilkan konidia. Bercak-bercak pada daun menghasilkan kumpulan konidia
yang berwarna putih dan tidak berlendir. Kemudian konidia dapat tersebar akibat
dibawa oleh air hujan, angin, dan serangga. Konidia tersebut dapat tersebar ke
daun dan buah dalam pohon yang sama atau pohon lain di sekitarnya. Konidia
dibentuk pada permukaan atas atau pada permukaan bawah daun (Prawoto, 2009).
Pada buah, konidia dibentuk dalam aservulus yang timbul dari bercak-
bercak yang telah tua. Kumpulan konidia berwarna merah muda dan berlendir
dengan penyebaran oleh air hujan dan serangga. Konidia yang jatuh pada
permukaan daun atau buah akan segera berkecambah dan mengadakan penetrasi
dari buluh kecambah dibentuk apresoria untuk melekat pada inangnya.
Selanjutnya untuk penetrasi dibentuk kapak infeksi. Penetrasi terjadi dengan cara
langsung menembus kutikula dan tidak melalui stoma. Konidia di dalam air sudah
berkecambah dalam waktu 3 jam sehingga hujan kecilpun dapat mendukung
terjadinya infeksi. Oleh karena itu, perkembangan penyakit berkaitan erat dengan
jumlah hari hujan daripada jumlah curah hujan. Selain itu, perkembangan
penyakit juga dipengaruhi oleh suhu. Suhu optimum perkecambahan, infeksi, dan
sporulasi adalah 29,50C (Prawoto, 2009).
Penyakit dapat bertahan seara laten pada kakao sepanjang tahun pada daun
sakit yang tidak gugur atau pada ranting sakit yang masih hidup. Hujan yang turun
setelah periode kering dapat merangsang tanaman kakao untuk membentuk daun-
daun baru. Kondisi demikian juga cocok untuk merangsang sporulasi jamur yang

6
dalam keadaan laten. Tersedianya inang dan inokulum pada saat yang bersamaan
maka sangat memungkinkan terjadinya epidemi (Prawoto, 2009).
Patogen C. gloeosporioides membutuhkan air bebas atau kelembaban relatif
di atas 95% untuk perkecambahan konidia dan pembentukan appressorium.
Namun, konidia dapat bertahan selama 1-2 minggu pada kelembaban terendah
62% dan kemudian berkecambah jika kelembaban 100%. Secara umum, infeksi
terjadi pada suhu antara 20-300C. Diantara 20-300C ada rentang diantara suhu
tersebut sehingga variasi dalam suhu optimal untuk persyaratan perkecambahan
dan pembentukan appressorium antara isolat C. gloeosporioides dari lokasi yang
berbeda (Arauz, 2000).
Antraknosa mengacu pada sekelompok penyakit jamur ditandai dengan
perkembangan gelap, bintik-bintik cekung atau lesi, sering dengan pelek
mengangkat, pada dedaunan yang terkena dampak, batang dan buah. Bagian
bawah hangat, kondisi lembab, permukaan lesi ditutupi oleh massa spora
berwarna merah muda lengket (konidia) yang diproduksi dalam tubuh buah jamur
disebut sebuah acervulus (Sarkar, 2016).
Colletotrichum mempunyai miselium yang jumlahnya agak banyak, hifa
bersepta tipis, mula-mula terang kemudian gelap. Konidiofor pendek, tidak
bercabang, tidak bersepta, dengan ukuran 7-8 x 3-4 μm. Pada daun muda yang
agak dewasa menghasilkan konidium jamur yang berwarna merah jambu. Massa
konidia yang berwarna merah jambu ini akhirnya menjadi coklat (Suryanto,
2014).
Colletotrichum umumnya mempunyai konidium hialin, bersel satu,
berukuran 9-24 x 3-6 μm tidak bersekat, jorong memanjang, terbentuk pada ujung
konidiofor yang sederhana. Pada saat berkecambah konidium yang bersel satu tadi
membentuk sekat. Pembuluh kecambah membentuk apresorium sebelum
mengadakan infeksi, diantara konidiofor biasanya terdapat rambut-rambut (seta)
yang kaku dan berwarna coklat tua. Spora Colletotrichum tumbuh baik pada suhu
25-28°C, sedang suhu di bawah 5°C dan diatas 40°C tidak dapat berkecambah.
Pada kondisi yang lembab, bercak-bercak pada daun akan menghasilkan
kumpulan konidia yang berwarna putih (Semangun, 2000).

7
V. KESIMPULAN

Berdasarkan makalah yang telah dibuat, maka dapat disimpulkan bahwa :


1. Penyakit Antraknosa disebabkan oleh jamur Colletotrichum sp. Penyakit ini
menyerang tanaman buah-buahan penting. Patogen antraknosa agak unik
karena jamur ini dapat menginfeksi hampir semua bagian tanaman terutama
daun, ranting dan buah.
2. C. gloeosporioides diusulkan untuk pertama kalinya sebagai Vermicularia
gloeosporioides oleh Penzig pada tahun 1882 di Deodoro, Brasil. Pada tahun
1937 di S. humilis dan di India, pertama kali dilaporkan oleh Butler 1918
pada kopi.
3. Morfologi atau gejala penyakit Antraknosa pada tanaman kakao adalah Ciri
penting gejala serangan Colletotrichum pada tanaman kakao adalah
terbentuknya lingkaran berwarna kuning (halo) di sekeliling jaringan yang
sakit, dan terjadinya jaringan mati yang melekuk (antraknosa). Halo dan
antraknosa dapat terjadi pada daun maupun pada buah. Tanaman yang
terserang berat oleh patogen ini berbuah sedikit sehingga daya hasilnya
sangat menurun.
4. Fisiologi atau infeksi patogen penyakit Antraknosa pada tanaman kakao
adalah pada keadaan yang cukup lembab, daun atau buah yang terinfeksi
banyak menghasilkan konidia. Bercak-bercak pada daun menghasilkan
kumpulan konidia yang berwarna putih, tidak berlendir, dan tersebar akibat
air hujan, angin, dan serangga. Konidia dibentuk pada permukaan atas atau
bawah daun. Pada buah, konidia dibentuk dalam aservulus yang timbul dari
bercak-bercak yang telah tua. Kumpulan konidia berwarna merah muda dan
berlendir. Konidia yang jatuh pada permukaan daun atau buah akan segera
berkecambah dan mengadakan penetrasi dari buluh kecambah dibentuk
apresoria untuk melekat pada inangnya untuk selanjutnya dibentuk kapak
infeksi. Penetrasi terjadi dengan cara langsung menembus kutikula dan tidak
melalui stoma. Konidia di dalam air sudah berkecambah dalam waktu 3 jam
sehingga hujan kecilpun dapat mendukung terjadinya infeksi.

8
DAFTAR PUSTAKA

Arauz, L.F. 2000. Mango Anthracnose, Economic Impact and Current Options for
Integrated Management. J. Plant Disease. Vol. 84(6): 600-611.
Cannon, P.F. 2002. Diversity and Host Preference of Leaf Endophytic Fungi in
The Iwokrama Forest Reserve, Guyana. J. Mycologia. Vol. 94(2): 210-220.
Erwiyono. 1990. Pengaruh Penambahan Pasir pada Tanah Ultisol terhadap Sifat
Fisik Media Tanaman dan Pertumbuhan Bibit Kakao. J. Menara
Perkebunan. Vol. 58(3): 74-77.
Goenadi, D.H., J.B. Baon, Herman dan A. Purwoto. 2005. Prospek dan Arah
Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Harahap, T.F.H. 2013. Efek Temperatur Terhadap Virulensi Jamur
Colletotrichum Gloeosporioides Penz. Sacc. Penyebab Penyakit Antraknosa
Pada Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.). J. Agroekoteknologi. Vol.
2(1): 411-420.
Lu, G.Z. 2004. Diversity and Molecular Relationships of Endophytic
Colletotrichum Isolates From The Iwokrama Forest Reserve, Guyana. J.
Mycological Research. Vol. 108(1): 53-63.
Lucas, G.B. 1985. Introduction to Plant Disease Identification and Management.
Van Nostrand Reinhold, New York.
Lukito. 2010. Buku Pintar Budidaya Kakao. AgroMedia Pustaka, Jakarta.
Matitaputty, A. 2014. Kerusakan Tanaman Kakao (Theobroma Cacao L.) Akibat
Penyakit Penting di Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat. J.
Budidaya Pertanian. Vol. 10(1): 6-9.
Prawoto, A.A. 2009. Panduan Lengkap Kakao. Penebar Swadaya, Jakarta.
Prusky, D. 1989. The Role of Epicuticular Wax of Avocado Fruit in Appressoria
Formation of Colletotrichum Gloeosporioides. J. Phytoparasitica. Vol. 17:
140-147.
Sarkar, A.K. 2016. Anthracnose Diseases of Some Common Medicinally
Important Fruit Plants. J. of Medicinal Plants Studies. Vol. 4(3): 233-236.

9
Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. UGM
Press, Yogyakarta.
Sunanto, H. 2002. Cokelat. Budidaya, Pengolahan Hasil, dan Aspek Ekonominya.
Kanisius, Yogyakarta.
Suryanto, D. 2014. Utilization of Chitinolytic Bacterial Isolates to Control
Anthracnose of Cocoa Leaf Caused by Colletotrichum gloeosporioides.
African Journal of Biotechnology. Vol. 13(15): 1631-1637. DOI:
10.5897/AJB11.3687.
Tasiwal, V. 2008. Studies on Anthracnose a Postharvest Disease of Papaya.
Dharwad University of Agricultural Sciences, Dharwad.

10

Anda mungkin juga menyukai