Disusun Oleh:
Kelompok II - Peminatan Keperawatan Medikal-Bedah
Andi Sutandi 220120180020
Alvian P. Windiramadhan 220120180017
Dedi Kurnia 220120180018
Heri Budiawan 220120180054
Ana Ikhsan H 220120180005
Asha Grace S 220120180040
Ria Inriyana 220120180024
Ade Iwan M. 220120180009
Early O. Limbong 220120180042
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan kajian lapangan dan
literatur pada matakuliah tata kelola klinis dengan judul Konsep, Issues dan Solusi
“Managemen Resiko & Keselamatan Pasien”.
Makalah ini tidak lepas dari peran serta dosen mata ajar dan bantuan dari
berbagai pihak, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam
pembuatan makalah ini. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini dapat
memberi manfaat walau sekecil apapun untuk semua pihak.
Tim Penulis
2i
DAFTAR ISI
1ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit (Undang-Undang tentang Kesehatan
dan Rumah Sakit Pasal 29b UU No.44/2009). Pasien sebagai pengguna pelayanan
kesehatan berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di rumah sakit (Undang-Undang tentang Kesehatan dan Rumah Sakit
Pasal 32 UU No.44/2009).
Keselamatan menjadi isu global dan terangkum dalam isu penting yang
terkait di rumah sakit yaitu keselamatan pasien (patient safety). Aspek keselamatan
tersebut penting untuk dilaksanakan, namun harus diakui kegiatan institusi rumah
sakit dapat berjalan apabila ada pasien. Keselamatan pasien merupakan prioritas
utama untuk dilaksanakan terkait dengan isu mutu dan citra perumahsakitan
(Depkes, 2006). WHO (World Health Organitation) tahun 2004 mengumpulkan
angka-angka penelitian rumah sakit di berbagai Negara yaitu Amerika, Inggris,
Denmark dan Australia dan ditemukan KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) dengan
rentang 3.2%- 16.6%. Data tersebut menjadi pemicu diberbagai negara untuk
melakukan penelitian dan pengembangan sistem keselamatan pasien (Depkes,
2006).
Keselamatan pasien merupakan langkah kritis pertama untuk memperbaiki
kualitas pelayanan. Tercermin dari laporan Institute of Medicine (IOM) tahun 2000
tentang KTD (adverse event) di rumah sakit kota Utah dan Colorado sebesar 2,9%
dan 6, 6% KTD berupa meninggal dunia. Di kota New York KTD (adverse event)
sebesar 3,7% dan 13,6% KTD berupa meninggal dunia. Angka kematian akibat
KTD pada pasien rawat inap di Amerika adalah 33, 6 juta di tahun 1997, di kota
Utah dan Colorado berkisar 44.000, sementara di New York 98.000 per tahun
(IOM, 2000). Laporan tersebut mencerminkan bahwa keselamatan pasien kurang
diterapkan, sehingga banyak KTD yang akhirnya menciptakan pelayanan kesehatan
yang kurang bermutu. Menanggapi hal ini Indonesia telah mendirikan KKP-RS
(Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit) oleh PERSI (Perhimpunan Rumah
Sakit Indonesia) (Depkes, 2008). Negara Indonesia dalam rentang waktu 2006 –
2011 KPPRS melaporkan terdapat 877 kejadian keselamatan pasien. Faktor
rendahnya pelaporan insiden keselamatan pasien menurut hasil penelitan Iskandar
et al 2014, Ada beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya pelaporan insiden
2
keselamatan pasien yaitu : (1) takut disalahkan, (2) komitmen kurang dari
manajemen dan unit terkait, (3) tidak ada reward dari rumah sakit jika melaporkan,
(4) tidak tahu batasan mana atau apa yang harus dilaporkan, (5) sosialisasi insiden
keselamatan pasien belum menyeluruh ke semua staf, (6) belum ikut pelatihan
tentang keselamatan pasien untuk semua staf RS. Keselamatan pasien merupakan
sistem yang difokuskan untuk meningkatkan mutu dan citra rumah sakit. Fokus
keselamatan pasien tersebut didorong akibat masih tingginya angka insiden
keselamatan pasien di rumah sakit secara nasional maupun internasional.
1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis konsep, Issue, dan Solusi Manajemen Resiko & Keselamatan
Pasien pada tatanan pelayanan kesehatan dan keperawatan.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah:
a. Menjelaskan konsep Manajemen Resiko & Patient Safety
b. Menjelaskan Issues Manajemen Resiko & Patient Safety
c. Menganalisis Solusi Manajemen Resiko & Patient Safety
3
BAB II
KONSEP &TEORI
Pada bab ini akan dibahas konsep dan teori terkait dengan manajemen resiko
& patient safety pada tata kelola klinis.
4
6. Meningkatkan tersedianya informasi yang akurat untuk pengambilan
keputusan
7. Memperbaiki citra
8. Proteksi terhadap tuntutan
9. Akuntabilitas, jaminan, dan governance
10. Meningkatkan personal health and well-being
Terdapat empat prasyarat utama manajemen resiko, yaitu:
1. Kebijakan Manajemen Risiko
Eksekutif organisasi harus dapat mendefinisikan dan membuktikan
kebenaran dari kebijakan manajemen risikonya, termasuk tujuannya untuk apa,
dan komitmennya. Kebijakan manajemen risiko harus relevan dengan
konteks strategi dan tujuan organisasi, objektif dan sesuai dengan sifat dasar
bisnis (organisasi) tersebut. Manajemen akan memastikan bahwa kebijakan
tersebut dapat dimengerti, dapat diimplementasikan di setiap tingkatan
organisasi.
2. Perencanaan dan Pengelolaan Hasil
a. Komitmen Manajemen; Organisasi harus dapat memastikan bahwa:
1) Sistem manajemen risiko telah dapat dilaksanakan, dan telah sesuai
dengan standar.
2) Hasil/performa dari sistem manajemen risiko dilaporkan ke manajemen
organisasi, agar dapat digunakan dalam meninjau (review) dan sebagai
dasar (acuan) dalam pengambilan keputusan.
b. Tanggung jawab dan kewenangan; Tanggung jawab, kekuasaan dan
hubungan antar anggota yang dapat menunjukkan dan membedakan fungsi
kerja didalam manajemen risiko harus terdokumentasikan khususnya untuk
hal-hal sebagai berikut:
1) Tindakan pencegahan atau pengurangan efek dari risiko.
2) Pengendalian yang akan dilakukan agar faktor risiko tetap pada batas yang
masih dapat diterima.
3) Pencatatan faktor-faktor yang berhubungan dengan kegiatan manajemen
risiko.
5
4) Rekomendasi solusi sesuai cara yang telah ditentukan.
5) Memeriksa validitas implementasi solusi yang ada.
6) Komunikasi dan konsultasi secara internal dan eksternal.
c. Sumber Daya Manusia; Organisasi harus dapat mengidentifikasikan
persyaratan kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang diperlukan. Oleh
karena itu untuk meningkatkan kualifikasi SDM perlu untuk mengikuti
pelatihan-pelatihan yang relevan dengan pekerjaannya seperti pelatihan
manajerial, dan lain sebagainya.
3. Implementasi Program
Sejumlah langkah perlu dilakukan agar implementasi sistem manajemen
risiko dapat berjalan secara efektif pada sebuah organisasi. Langkah-langkah yang
akan dilakukan tergantung pada filosofi, budaya dan struktur dari organisasi
tersebut.
4. Tinjauan Manajemen
Tinjauan sistem manajemen risiko pada tahap yang spesifik, harus dapat
memastikan kesesuaian kegiatan manajemen risiko yang sedang dilakukan
dengan standar yang digunakan dan dengan tahap-tahap berikutnya.
Manajemen risiko adalah bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen proses.
Manajemen risiko adalah bagian dari proses kegiatan didalam organisasi dan
pelaksananya terdiri dari mutlidisiplin keilmuan dan latar belakang, manajemen risiko
adalah proses yang berjalan terus menerus. Elemen utama dari proses manajemen
risiko, meliputi:
Penetapan tujuan; Menetapkan strategi, kebijakan organisasi dan ruang lingkup
manajemen risiko yang akan dilakukan.
Identifkasi risiko; Mengidentifikasi apa,mengapa dan bagaimana faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya risiko untuk analisis lebih lanjut.
Analisis risiko; Dilakukan dengan menentukan tingkatan probabilitas dan
konsekuensi yang akan terjadi. Kemudian ditentukan tingkatan risiko yang ada
dengan mengalikan kedua variabel tersebut (probabilitas X konsekuensi).
6
Evaluasi risiko; Membandingkan tingkat risiko yang ada dengan kriteria
standar. Setelah itu tingkatan risiko yang ada untuk beberapa hazards dibuat
tingkatan prioritas manajemennya. Jika tingkat risiko ditetapkan
rendah,maka risiko tersebut masuk ke dalam kategori yang dapat diterima
dan mungkin hanya memerlukan pemantauan saja tanpa harus melakukan
pengendalian.
Pengendalian risiko; Melakukan penurunan derajat probabilitas dan konsekuensi
yang ada dengan menggunakan berbagai alternatif metode, bisa dengan transfer
risiko,dan lain-lain.
Monitor dan Review; Monitor dan review terhadap hasil sistem manajemen risiko
yang dilakukan serta mengidentifikasi perubahan-perubahan yang perlu
dilakukan.
7
Manajemen harus menetapkan objectives (tujuan-tujuan) dari organisasi
agar dapat mengidentifikasi, mengakses, dan mengelola risiko. Objective
dapat diklasifikasikan menjadi strategic objective dan activity objective.
Strategic objective di instansi Pemerintah berhubungan dengan
pencapaian dan peningkatan kinerja instansi dalam jangka menengah dan
panjang, dan merupakan implementasi dari visi dan misi instansi tersebut.
Sementara itu, activity objective dapat dipilah menjadi 3 kategori, yaitu
(1) operations objectives; (2) reporting objectives; dan (3) compliance
objectives. Risk tolerance dapat diartikan sebagai variation dalam
pencapaian objective yang dapat diterima oleh manajemen. Dalam
penerapan pelayanan pajak modern seperti pengiriman SPT WP secara
elektronik, diperkirakan 80% Wajib Pajak (WP) Besar akan
mengimplementasikannya. Bila ditentukan risk tolerance sebesar 10%,
dalam hal 72% WP Besar telah melaksanakannya, berarti tujuan penyediaan
fasilitas tersebut telah terpenuhi. Disamping itu, terdapat pula aktivitas
suatu organisasi seperti peluncuran roket berawak dengan risk tolerance
adalah 0%.
(3) Event identification (Identifikasi risiko)
Komponen ini mengidentifikasi kejadian-kejadian potensial baik yang
terjadi di lingkungan internal maupun eksternal organisasi yang
mempengaruhi strategi atau pencapaian tujuan dari organisasi. Kejadian
tersebut bisa berdampak positif (opportunities), namun dapat pula
sebaliknya atau negative (risks).
Terdapat 4 model dalam identifikasi risiko, yaitu (1) Exposure analysis;
(2) Environmental analysis; (3) Threat scenario; (4) Brainstorming questions.
Salah satu model, yaitu exposure analysis, mencoba mengidentifikasi
risiko dari sumber daya organisasi yang meliputi financial assets physical
assets seperti tanah dan bangunan, human assets yang mencakup pengetahuan
dan keahlian, dan intangible assets seperti reputasi dan penguasaan informasi.
8
Atas setiap sumber daya yang dimiliki organisasi dilakukan penilaian risiko
kehilangan dan risiko penurunan. seperti kas dan simpanan di bank,
(4) Risk assessment (Penilaian risiko)
Komponen ini menilai sejauh mana dampak dari events (kejadian atau
keadaan) dapat mengganggu pencapaian dari objectives. Besarnya
dampak dapat diketahui dari inherent dan residual risk, dan dapat
dianalisis dalam dua perspektif, yaitu: likelihood (kecenderungan atau
peluang) dan impact/consequence (besaran dari terealisirnya risiko).
Dengan demikian, besarnya risiko atas setiap kegiatan organisasi
merupakan perkalian antara likelihood dan consequence.
Penilaian risiko dapat menggunakan dua teknik, yaitu: (1) qualitative
techniques; dan (2) quantitative techniques. Qualitative techniques
menggunakan beberapa tools seperti self-assessment (low, medium, high),
questionnaires, dan internal audit reviews. Sementara itu, quantitative
techniques data berbentuk angka yang diperoleh dari tools seperti
probability based, non-probabilistic models (optimalkan hanya asumsi
consequence), dan benchmarking.
Yang perlu dicermati adalah events relationships atau hubungan antar
kejadian/keadaan. Events yang terpisah mungkin memiliki risiko kecil.
Namun, bila digabungkan bisa menjadi signifikan. Demikian pula, risiko
yang mempengaruhi banyak business units perlu dikelompokkan dalam
common event categories, dan dinilai secara aggregate.
(5) Risk response (Sikap atas risiko)
Organisasi harus menentukan sikap atas hasil penilaian risiko. Risk
response dari organisasi dapat berupa: (1) avoidance, yaitu dihentikannya
aktivitas atau pelayanan yang menyebabkan risiko; (2) reduction, yaitu
mengambil langkah- langkah mengurangi likelihood atau impact dari
risiko; (3) sharing, yaitu mengalihkan atau menanggung bersama risiko atau
sebagian dari risiko dengan pihak lain; (4) acceptance, yaitu menerima risiko
yang terjadi (biasanya risiko yang kecil), dan tidak ada upaya khusus yang
9
dilakukan.
Dalam memilih sikap (response), perlu dipertimbangkan faktor-faktor
seperti pengaruh tiap response terhadap risk likelihood dan impact,
response yang optimal sehingga bersinergi dengan pemenuhan risk appetite
and tolerances, analis cost versus benefits, dan kemungkinan peluang
(opportunities) yang dapat timbul dari setiap risk response.
(6) Control activities (Aktifitas-aktifitas pengendalian)
Komponen ini berperanan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan
(policies) dan prosedur-prosedur untuk menjamin risk response terlaksana
dengan efektif. Aktifitas pengendalian memerlukan lingkungan pengendalian
yang meliputi: (1) integritas dan nilai etika; (2) kompetensi; (3) kebijakan dan
praktik-praktik SDM; (4) budaya organisasi; (5) filosofi dan gaya
kepemimpinan manajemen; (6) struktur organisasi; dan (7) wewenang dan
tanggung jawab.
Dari pemahaman atas lingkungan pengendalian, dapat ditentukan jenis dan
aktifitas pengendalian. Terdapat beberapa jenis pengendalian, diantaranya
adalah preventive, detective, corrective, dan directive. Sementara
aktifitas pengendalian berupa: (1) pembuatan kebijakan dan prosedur; (2)
pengamanan kekayaan organisasi; (3) delegasi wewenang dan pemisahan
fungsi; dan (4) supervisi atasan. Aktifitas pengendalian hendaknya
terintegrasi dengan manajemen risiko sehingga pengalokasian sumber
daya yang dimiliki organisasi dapat menjadi optimal.
(7) Information and communication (Informasi dan komunikasi)
Fokus dari komponen ini adalah menyampaikan informasi yang
relevan kepada pihak terkait melalui media komunikasi yang sesuai. Faktor-
faktor yang perlu diperhatikan dalam penyampaiaan informasi dan
komunikasi adalah kualitas informasi, arah komunikasi, dan alat
komunikasi.
Informasi yang disajikan tergantung dari kualitas informasi yang
10
ingin disampaikan, dan kualitas informasi dapat dipilah menjadi: (1)
appropriate; (2) timely; (3) current; (4) accurate; dan (5) accessible. Arah
komunikasi dapat bersifat internal dan eksternal. Sedangkan alat komunikasi
berupa diantaranya manual, memo, buletin, dan pesan-pesan melalui media
elektronis.
(8) Monitoring
Monitoring dapat dilaksanakan baik secara terus menerus (ongoing)
maupun terpisah (separate evaluation). Aktifitas monitoring ongoing
tercermin pada aktivitas supervisi, rekonsiliasi, dan aktivitas rutin lainnya.
Monitoring terpisah biasanya dilakukan untuk penugasan tertentu
(kasuistis). Pada monitoring ini ditentukan scope tugas, frekuensi, proses
evaluasi metodologi, dokumentasi, dan action plan.
Pada proses monitoring, perlu dicermati adanya kendala seperti
reporting deficiencies, yaitu pelaporan yang tidak lengkap atau bahkan
berlebihan (tidak relevan). Kendala ini timbul dari berbagai faktor seperti
sumber informasi, materi pelaporan, pihak yang disampaikan laporan, dan
arahan bagi pelaporan.
11
Contoh: dengan membuat peta 10 besar penyakit yang sering dirawat
di area keperawatan KMB.
3. Adanya peta risiko korporat di area KMB (gunakan pendekatan
masukan, proses, keluaran).
Contoh: ada laporan tentang kondisi pasien mulai dari masuk
ruangan, proses perawatan, sampai akhir proses perawatan dan
pasien meninggalkan ruangan tersebut.
b. Langkah 2: Identifikasi bahaya
Dalam hal ini, risiko dapat dibedakan menjadi risiko potensial
(dengan pendekatan pro-aktif) dan insiden yang sudah terjadi (dengan
pendekatan reaktif / responsif). Risiko potensial dapat diidentifikasi dari
berbagai macam sumber, misalnya:
a. Informasi internal (rapat bagian / koordinasi, audit, incident report,
klaim, komplain)
b. Informasi eksternal (pedoman dari pemerintah, organisasi profesi,
lembaga penelitian)
c. Pemeriksaan atau audit eksternal
12
4 Masalah administrasi keuangan pasien
1. Kesalahan estimasi biaya
2. Pengenaan tagihan yang sama 2 x
3. Kesalahan input data tagihan
4. Perbedaan tarif dan tagihan
5. Transaksi tidak terinput
5 Kejadian Infeksi
1. Kegagalan / kontaminasi alat medis
2. Infeksi luka operasi
3. Needlestick injury
4. Kesalahan pembuangan limbah medis
5. Infeksi nosokomial
6 Rekam medik
1. Kegagalan memperoleh informed consent
2. Kesalahan pelabelan rekam medik
3. Kebocoran informasi rekam medik
4. Ketidaklengkapan catatan dalam rekam medik
5. Kehilangan / kesalahan penyimpanan rekam medik
7 Obat
1. Penulisan resep yang tidak baik
2. Riwayat alergi obat tidak teridentifikasi
3. Kesalahan dosis obat
4. Obat rusak / expired
5. Kesalahan identifikasi pasien dalam pemberian obat
6. Kegagalan memonitor efek samping obat
8 Keamanan
1. Pencurian
2. Pasien hilang
3. Lingkungan yang tidak aman
13
c. Langkah 3: Penilaian risiko
Penilaian risiko merupakan proses menganalisa tingkat resiko,
pertimbangan tingkat bahaya, dan mengevaluasi apakah sumber bahaya
dapat dikendalikan atau tidak, dengan memperhitungkan segala
kemungkinan yang terjadi. Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian
di area KMB antara lain:
1. Adanya penilaian risiko untuk setiap bahaya yang ada.
2. Terdapat risk matrix.
14
b. Probabilitas / Frekuensi /Likelihood
Penilaian tingkat probabilitas / frekuensi risiko adalah seberapa
seringnya insiden tersebut terjadi.
15
a. Skor Risiko
b. Bands Risiko
Bands risiko adalah derajat risiko yang digambarkan dalam empat
warna yaitu: Biru, Hijau, Kuning dan Merah. Warna “bands” akan
menentukan Investigasi yang akan dilakukan: Bands BIRU dan
HIJAU: Investigasi sederhana Bands KUNING dan MERAH: Investigasi
Komprehensif / RCA
Contoh: Pasien jatuh dari tempat tidur dan meninggal, kejadian seperti ini di
RS X terjadi pada 2 tahun yang lalu
Nilai dampak : 5 (katastropik) karena pasien meninggal
Nilai probabilitas : 3 (mungkin terjadi) karena pernah terjadi 2 thn lalu
Skoring risiko : 5 x 3 = 15
Warna Bands : Merah (ekstrim)
16
Tabel 4 : Tindakan sesuai Tingkat dan risiko
17
desain dan metode penilaian resiko yang sesuai. Semua resiko harus
dikurangi ke arah tingkat As Low As Reasonable Practical (ALARP).
Langkah pengendalian risiko yang bisa diterapkan dalam area keperawatan
kritis diantaranya:
1. Pencegahan pada sumbernya
Misalnya: pada kasus Plebitis, angka kejadian Plebitis bisa ditekan
dengan melakukan tindakan pencegahan terhadap semua faktor risiko
yang bisa menyebabkan Plebitis, diantaranya: membuat protab cuci
tangan yang benar, teknik bundle care yang tepat, dll.
2. Proteksi akibat dari bahaya
3. Tanggap darurat
4. Belajar dari kasus sebelumnya
f. Langkah 6: Komunikasi risiko
Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian di area KMB antara lain:
1. Adanya pola komunikasi semua risiko kepada pihak terkait.
2. Adanya media untuk menyebarkan hasil ke seluruh pihak terkait dengan
kegiatan
18
19
20
21
22
2.2 Konsep Patient Safety
Sejak adanya laporan “iom” tentang adverse event: “to err is human, building
a safer health system” (2000) patient safety menjadi isu terkini, global, penting (high
profile) dalam pelayanan Rumah Sakit. WHO memulai program patient safety tahun
2004 “safety is a fundamental principle of patient care and a critical component of
quality management” (world alliance for patient safety, forward programme WHO,
2004), dan komite keselamatan pasien rumah sakit (KKP-RS) dibentuk PERSI pada
tanggal 1 juni 2005. Menteri kesehatan bersama PERSI & KKP-RS telah
mencanangkan gerakan moral keselamatan pasien Rumah Sakit pada seminar
nasional persi tanggal 21 agustus 2005 di JCC.
23
kegiatan keselamatan pasien kepada komite yang membidangi keselamatan pasien
yang ditetapkan oleh menteri. Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat secara
anonim dan ditujukan untuk mengkoreksi sistem dalam rangka meningkatkan
keselamatan pasien.
Keselamatan pasien merupakan suatu sistem yang sangat dibutuhkan oleh
rumah sakit dimana dengan adanya sistem ini diharapkan dapat meminimalisir
kesalahan dalam penanganan pasien baik pada pasien UGD, rawat inap maupun
pasien poliklinik (PERSI, 2008).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
keselamatan pasien di rumah sakit (KPRS) merupakan sistem pelayanan dalam suatu
rumah sakit yang memberikan asuhan pasien menjadi lebih aman, pencegahan dan
perbaikan kejadian yang tidak diharapkan, mengukur resiko yang mungkin terjadi,
identifikasi dan pengelolahan resiko terhadap pasien, analisa insiden,
menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi resiko sehingga
asuhan yang diberikan kepada pasien berada dalam kondisi bebas dari bahaya yang
terjadi baik tidak sengaja maupun dapat dicegah.
1. Istilah-Istilah dalam Patient Safety
Setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan
atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien
disebut dengan insiden. Insiden terdiri dari kejadian tidak diharapkan (KTD),
kejadian nyaris cedera (KNC), kejadian tidak cedera (KTC), kejadian
potensial cedera (KPC), dan kejadian Sentinel.
a. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
Adverse Event atau Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan
suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada
pasien karena suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil (omission), dan bukan karena
“underlying disease” atau kondisi pasien. KTD dapat berupa cedera baru
bahkan dapat menyebabkan kematian. Cedera yang dialami pasien dalam
hal ini disebabkan oleh manajemen asuhan medis, bukan kondisi yang
dialami oleh pasien. Manajemen asuhan medis terdiri atas semua aspek
24
pelayanan, termasuk diagnosis dan penanganan, kegagalan diagnosis atau
penanganan, tidak menerapkan pemeriksaan yang sesuai, menggunakan
cara pemeriksaan yang sudah tidak dipakai atau tidak bertindak atas hasil
pemeriksaan atau observasi; tahap pengobatan seperti kesalahan pada
prosedur pengobatan, pelaksanaan terapi, metode penggunaan obat, dan
keterlambatan merespon hasil pemeriksaan asuhan yang tidak layak;
tahap preventif seperti tidak memberikan terapi provilaktik serta monitor
dan follow up yang tidak adekuat; atau pada hal teknis yang lain seperti
kegagalan berkomunikasi, kegagalan alat atau sistem yang lain. Dalam
kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan kesehatan
mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi umumnya
adalah adverse event yang ditemukan secara kebetulan saja. Sebagian
besar yang lain cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau justru luput
dari perhatian kita semua.
b. Kejadian Nyaris Cedera (KNC)
Kejadian Nyaris Cedera/ Near Miss (KNC) merupakan suatu
kejadian yang berhubungan dengan keamanan pasien yang berpotensi
atau mengakibatkan efek di akhir pelayanan tetapi dapat dicegah sebelum
konsekuensi aktual terjadi atau berkembang (Van der Schaaf, 1992 dalam
Aspden, 2004). Near miss dapat dikatakan juga segabai kejadian yang
berpotensi menimbulkan cedera atau kesalahan yang dapat dicegah
karena segera atau kebetulan dimana hasil akhir pasien tidak cedera
(Medical Human Resources, 2008). Menurut KKP-RS (2008)
mengatakan KNC merupakan kejadian akibat melaksanakan suatu
tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
diambil (omission) yang dapat mencederai pasien tetapi cedera serius
tidak terjadi karena keberuntungan (missal : pasien menerima suatu obat
yang merupakan kontra indikasi tetapi tidak menimbulkan reaksi obat),
pencegahan (suatu obat dengan lethal akan diberikan, tetapi staf lain
mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan), atau
25
peringanan (suatu obat dengan over dosis lethal diberikan, diketahui
secara dini lalu diberikan antidotumnya).
e. Kejadian Sentinel
Kejadian Sentinel merupakan insiden yang terkait dengan
keseriusan cedera yang terjadi (misalnya melakukan amputasi pada kaki
yang salah, melakukan pembedahan pada area mata yang salah, dan
sebagainya) sehingga pecarian data terhadap kejadian ini
mengungkapkan adanya masalah yang serius pada kebijakan & prosedur
yang berlaku. Rumah sakit menetapkan definisi operasional dari kejadian
sentinel yang meliputi : a) Kematian yang tidak diduga dan tidak terkait
dengan perjalanan penyakit pasien atau kondisi yang mendasari
penyakitnya (missal pasien post seksio sesarea meninggal tanpa indikasi,
pasien melakukan bunuh diri, dsb); b) Kehilangan fungsi yang tidak
terkait dengan perjalanan penyakit pasien atau kondisi yang mendasari
penyakitnya; c) Terjadi kesalahan tempat, salah prosedur, salah pasien
yang akan dilakukan pembedahan; dan d) Bayi yang diculik atau bayi
yang diserahkan kepada orang yang bukan orang tuanya.
26
3) Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit.
4) Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan kejadian tidak diharapkan.
Sedangkan tujuan keselamatan pasien secara internasional diantaranya
adalah:
1) Identify patients correctly (mengidentifikasi pasien secara benar)
2) Improve effective communication (meningkatkan komunikasi yang
efektif)
3) Improve the safety of high-alert medications (meningkatkan keamanan
dari pengobatan resiko tinggi)
4) Eliminate wrong-site, wrong-patient, wrong procedure surgery
(mengeliminasi kesalahan penempatan, kesalahan pengenalan pasien,
kesalahan prosedur operasi)
5) Reduce the risk of health care-associated infections (mengurangi risiko
infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan)
6) Reduce the risk of patient harm from falls (mengurangi risiko pasien
terluka karena jatuh)
27
c. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan yang
jelas dan benar kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil
pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk
kemungkinan terjadinya kejadian tidak diinginkan (KTD).
28
pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan
baik dan lancar.
c. Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi
untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan,
pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan
tindak lanjut lainnya.
d. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan
efektif.
29
5) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien. Standarnya
adalah:
a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan
pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh
Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi
risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi
insiden.
c. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi
antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang
keselamatan pasien.
d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur,
mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan
keselamatan pasien.
e. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam
meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien.
Kriterianya adalah:
(1) Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan
pasien.
(2) Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan
program meminimalkan insiden.
(3) Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen
dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi
(4) Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan
kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang
lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan
analisis.
(5) Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan
dengan insiden.
(6) Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden
30
(7) Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar
unit dan antar pengelola pelayanan
(8) Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan
(9) Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan
kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja
rumah sakit dan keselamatan pasien.
31
b. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat, dengan
kriteria sebagai berikut:
(1) Disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses
manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal
terkait dengan keselamatan pasien.
(2) Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi
untuk merevisi manajemen informasi yang ada.
32
menerima pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk kesesuaian
pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut. Cara melakukan
identifikasi pasien menggunakan dua identitas pasien tetapi tidak boleh
menggunakan kamar pasien dan lokasi. Contohnya kita menggunakan nama
pasien dan tanggal lahir serta tahun lahir gelang identitas pasien dengan bar-
code, dan lain-lain. Kemudian pasien diidentifikasi sebelum pengobatan dan
prosedur. Identifikasi dilakukan pada empat kondisi yaitu saat akan
melakukan tindakan pengobatan, saat akan dilakukan pemeriksaan
diagnostik, sebelum pengambilan specimen, dan sebelum pemberian darah
atau produk darah.
Arti warna gelang identitas pasien sebagai berikut : gelang berwarna
pink untuk pasien wanita, gelang berwarna biru untuk pasien laki-laki,
gelang kuning menunjukkan resiko jatuh, gelang merah untuk menunjukkan
adanya riwayat alergi, gelang hijau untuk alergi lateks, gelang ungu untuk
pasien yang tidak boleh dilakukan resusitasi (DNR), dan gelang putih untuk
menunjukkan ekstremitas terbatas (Restricted Extremities).
33
diberikan secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi lain yang mudah
terjadi kesalahan yang adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis,
seperti seperti laboratorium klinis menelpon unit pelayanan pasien untuk
melaporkan hasil pemeriksaan yang bersifat segera/ cyto.
Untuk meningkatkan komunikasi yang efektif dilakukan dengan dua
cara yaitu teknik SBAR dan Read back/ TBAK/ Lacabak. Komunikasi
Situation Background Asessment Recommendation (SBAR) awalnya
dikembangkan oleh Navy US sebagai tehnik komunikasi yang digunakan
pada kapal selam nuklir. Situation Background Asessment Recommendation
(SBAR) untuk kesehatan yang aman diperkenalkan oleh pengaturan kesehatan
diakhir 1990 an sebagai bagian dari manajemen sumber daya kurikulum
pelatihan staf. Berdasarkan hasil rapat Komisi Gabungan Akreditasi Rumah
Sakit seluruh Indonesia tahun 2001 bahwa komunikasi tehnik Situation
Background Asessment Recommendation (SBAR) telah diadopsi oleh rumah
sakit dan fasilitas perawatan diseluruh dunia sebagai cara sederhana yang
efektif untuk standarisasi komunikasi antar staf dalam melakukan handover
keperawatan (Hidayat, 2012).
Komunikasi SBAR dilakukan pada saat timbang terima (handover),
pindah ruang rawat maupun melaporkan kondisi pasien ke dokter atau tim
kesehatan lain seperti tim gizi, radiologi, laboratorium dan lain sebagainya
(Tim KP-RS RSUP Sanglah, 2011). Situation Background Asessment
Recommendation (SBAR) adalah sebuah mekanisme mengingat yang mudah
jika kita menggunakan dalam bingkai percakapan, terutama yang kritis yang
membutuhkan perhatian dan tindakan segera dari dokter dan hal ini
memungkinkan kita untuk menjelaskan informasi apa yang harus
dikomunikasikan antara anggota tim (Hidayat, 2012). SBAR merupakan
kerangka acuan dalam pelaporan kondisi pasien yang memerlukan perhatian
atau tindakan segera (Nursalam, 2014). SBAR menyediakan metoda
komunikasi yang jelas mengenai informasi yang berkaitan tentang kondisi
pasien antara tenaga medis (klinis), mengajak semua anggota tim pelayanan
kesehatan untukmemberikan masukan pada situasi/kondisi pasien termasuk
34
rekomendasi. Fase pemeriksaan dan rekomendasi memberikan kesempatan
untuk diskusi diantara tim pelayanan kesehatan. Metoda ini mungkin agak
sulit pada awalnya bagi pemberi dan penerima informasi. Teknik komunikasi
SBAR sebagai berikut :
- Situation : What’s going on
Situasi yang menggambarkan kondisi pasien sehingga perlu dilaporkan.
Jelaskan diagnosis, rencana perawatan, keinginan dan kebutuhan pasien;
- Background : Brief pertinent history, relevant context
Gambaran riwayat/ hal yang berhubungan dengan kondisi atau masalah
pasien saat ini, misalnya jelaskan tentang tanda-tanda vital terakhir,
status mental, daftar obat-obatan dan hasil laboratorium sebelumnya,
riwayat penyakit/ kondisi sebelumnya, riwayat tindakan medis/
keperawatan yang sudah dilakukan, dan riwayat alergi.
- Assessment : What I think, conclusion
Kesimpulan dari analisa terhadap gambaran situasi atau penilaian situasi saat
ini oleh provider
- Recommendation : What I need and in what time frame
Usulan tentang alternatif tindakan yang akan dilakukan untuk mengatasi
masalah yang terjadi, kapan dan dimana dilakukan. Misalnya
mengidentifikasi hasil laboratorium yang tertunda dan apa yang perlu
dilakukan selama beberapa jam berikutnya dan rekomendasi lain untuk
perawatan, solusi dan tindakan apa yang dapat direkomendasikan.
35
menjelaskan informasi apa yang harus dikomunikasikan antara anggota tim
keperawatan dan dapat membantu perawat untuk mengembangkan kerjasama
serta meningkatkan upaya keselamatan pasien. Informasi yang diberikan harus
ringkas dan terfokus pada kebutuhan pasien sehingga komunikasi akan
berjalan efektif dan berguna.
Selain teknik SBAR, komunikasi efektif dapat dilakukan dengan teknik
Read Back/ TBAK/ LACABAK. Prosedur Read Back dilakukan ketika
menerima instruksi secara lisan dan atau melalui telepon selanjutnya instruksi
yang tertulis dibaca kembali oleh penerima. teknik melakukan Read Back:
(1) Pesan lisan yang diterima harus ditulis oleh penerima pesan.
(2) Pesan dibacakan kembali kepada pemberi pesan.
(3) Pesan dikonfirmasi oleh pemberi instruksi dengan mengatakan BENAR.
(4) Penerima instruksi memberikan tanda √ pada akhir catatan, memberi
stempel ‘READ BACK’, dan menempelkan stiker ‘SIGN HERE’ pada
lokasi pencatatan instruksi, kemudian menandatanganinya.
(5) Dalam waktu 24 jam, pemberi instruksi harus menandatangani catatan
tersebut.
36
terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara
yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut
adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu
diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan
pasien ke farmasi. Ada 3 (tiga) kategori obat – obat high alert diantaranya :
- Obat high konsentrat, misalnya KCL 2 meq/l, MgSo4 49% atau lebih
pekat, NaCl yang lebih pekat dari 0.9%, Ca Gluconas, adrenalin,
dopamine, dubutamin, dll
- Obat-obat LASA/ NORUM misalnya aminophillin dengan dopamine.
- Obat-obat sitotoksik misalnya obat-obatan kemotherapy.
Langkah-langkah untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap obat-
obatan high alert diantaranya adalah : rumah sakit membuat daftar untuk
obat-obat high alert termasuk LASA/ NORUM, penyimpanan obat dengan
kategori high alert, pembuatan resep, persiapan obat dan proses
monitoringnya, serta labeling obat-obat dengan kategori high alert.
Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika
dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian
yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.
37
tulisan tangan yang tidak terbaca (illegible handwritting) dan pemakaian
singkatan adalah faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi. Proses standar
yang harus dilakukan adalah penandaan lokasi operasi (site marking), proses
verifikasi saat perioperatif, dan time out.
Site Marking dilakukan sebelum pembedahan atau prosedur invasif
pada organ yang lebih dari satu, terdapat pada dua sisi, organ yang
bertingkat-tingkat (tulang belakang), organ yang beruas-ruas (jari). Time
Out diilakukan tepat sebelum operasi/ prosedur invasif dimulai yang diikuti
seluruh anggota tim operasi, dilakukan dengan menyebutkan nama lengkap
pasien, nama dan lokasi operasi. Data yang disebutkan dibandingkan dengan
gelang identitas pasien dan form informed consent kemudian dilakukan
verifikasi dengan mengisi check list time out.
38
(1) Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene
terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (Pedoman
menurut WHO).
(2) Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif
(3) Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan
pengurangan secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait
pelayanan kesehatan.
39
Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah
sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik
bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai
dengan “Tujuh Langkah Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
Tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit merupakan panduan yang
komprehensif untuk menuju keselamatan pasien, sehingga tujuh langkah tersebut
secara menyeluruh harus dilaksanakan oleh setiap rumah sakit. Dalam pelaksanaan,
tujuh langkah tersebut tidak harus berurutan dan tidak harus serentak. Pilih langkah-
langkah yang paling strategis dan paling mudah dilaksanakan di rumah sakit. Bila
langkah-langkah ini berhasil maka kembangkan langkah-langkah yang belum
dilaksanakan. Bila tujuh langkah ini telah dilaksanakan dengan baik rumah sakit
dapat menambah penggunaan metoda-metoda lainnya. Uraian Tujuh Langkah
Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah sebagai berikut:
1) Membangun Kesadaran Akan Nilai Keselamatan Pasien
Menciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil. Langkah
penerapannya adalah :
a. Bagi Rumah Sakit:
(1) Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang menjabarkan apa yang
harus dilakukan staf segera setelah terjadi insiden, bagaimana langkah-
langkah pengumpulan fakta harus dilakukan dan dukungan apa yang
harus diberikan kepada staf, pasien dan keluarga.
(2) Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang menjabarkan peran dan
akuntabilitas individual bilamana ada insiden.
(3) Tumbuhkan budaya pelaporan dan belajar dari insiden yang terjadi di
rumah sakit.
(4) Lakukan asesmen dengan menggunakan survei penilaian keselamatan
pasien.
b. Bagi Unit/ Tim:
(1) Pastikan rekan sekerja anda merasa mampu untuk berbicara
mengenai kepedulian mereka dan berani melaporkan bilamana ada insiden.
40
(2) Demonstrasikan kepada tim anda ukuran-ukuran yang dipakai di rumah
sakit anda untuk memastikan semua laporan dibuat secara terbuka dan
terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan tindakan/solusi yang tepat.
41
(1) Nominasikan “penggerak” dalam tim anda sendiri untuk memimpin
Gerakan Keselamatan Pasien
(2) Jelaskan kepada tim anda relevansi dan pentingnya serta manfaat bagi
mereka dengan menjalankan gerakan Keselamatan Pasien
(3) Tumbuhkan sikap ksatria yang menghargai pelaporan insiden.
42
4) Mengembangkan Sistem Pelaporan
Memastikan staf dapat melaporkan kejadian/ insiden, serta rumah sakit
mengatur pelaporan kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit.
a. Untuk Rumah Sakit:
Lengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden kedalam maupun
keluar, yang harus dilaporkan ke Komite Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit.
b. Untuk Unit/Tim:
Berikan semangat kepada rekan sekerja anda untuk secara aktif melaporkan
setiap insiden yang terjadi dan insiden yang telah dicegah tetapi tetap terjadi
juga, karena mengandung bahan pelajaran yang penting.
43
6) Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
Mendorong staf untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar
bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul.
a. Untuk Rumah Sakit:
(1) Pastikan staf yang terkait telah terlatih untuk melakukan kajian insiden
secara tepat, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab.
(2) Kembangkan kebijakan yang menjabarkan dengan jelas kriteria
pelaksanaan Analisis Akar Masalah (root cause analysis/ RCA) yang
mencakup insiden yang terjadi dan minimum satu kali per tahun
melakukan Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) untuk proses
risiko tinggi.
b. Untuk Unit/Tim:
(1) Diskusikan dalam tim anda pengalaman dari hasil analisis insiden.
(2) Identifikasi unit/ bagian lain yang mungkin terkena dampak masa depan
dan berbagi pengalaman secara lebih luas.
44
b. Untuk Unit/ Tim:
(1) Libatkan tim anda dalam mengembangkan berbagai cara untuk membuat
asuhan pasien menjadi lebih baik dan lebih aman.
(2) Telaah kembali perubahan-perubahan yang dibuat tim anda dan pastikan
pelaksanaannya.
(3) Pastikan tim anda menerima umpan balik atas setiap tindak lanjut
tentang insiden yang dilaporkan.
45
Sakit belum terbentuk”
Laporan Insiden keselamatan pasien internal adalah pelaporan secara tertulis
setiap kondisi potensial cedera dan insiden yang menimpa pasien, keluarga
pengunjung, maupun karyawan yang terjadi di rumah sakit. Laporan insiden
keselamatan pasien eksternal KKP-RS (Komite Keselamatan Pasien Rumah
Sakit). Pelaporan secara anonim dan tertulis ke KKP-RS setiap Kondisi Potensial
cedera dan Insiden Keselamatan Pasien yang terjadi pada pasien, dan telah
dilakukan analisa penyebab, rekomendasi dan solusinya.
Pelaporan insiden bertujuan untuk menurunkan insiden dan mengoreksi
sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien dan tidak untuk
menyalahkan orang (non blaming). Setiap insiden harus dilaporkan secara
internal kepada TKPRS dalam waktu paling lambat 2×24 jam sesuai format
laporan.
TKPRS melakukan analisis dan memberikan rekomendasi serta solusi atas
insiden yang dilaporkan dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kepala rumah
sakit. Rumah sakit harus melaporkan insiden, analisis, rekomendasi dan solusi
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) secara tertulis kepada Komite Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Sistem pelaporan insiden kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit harus dijamin keamanannya, bersifat rahasia, anonym (tanpa
identitas), tidak mudah diakses oleh yang tidak berhak. Pelaporan insiden kepada
Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit mencakup KTD, KNC, dan
KTC, dilakukan setelah analisis dan mendapatkan rekomendasi dan solusi dari
TKPRS. Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan
pengkajian dan memberikan umpan balik (feedback) dan solusi atas laporan yang
sampaikan oleh rumah sakit. Empat prinsip penting pelaporan insiden:
a. Fungsi utama pelaporan Insiden adalah untuk meningkatkan Keselamatan
Pasien melalui pembelajaran dari kegagalan/ kesalahan.
b. Pelaporan Insiden harus aman. Staf tidak boleh dihukum karena melapor
c. Pelaporan Insiden hanya akan bermanfaat kalau menghasilkan respon yang
konstruktif. Minimal memberi umpan balik tentang data KTD dan
46
analisisnya. Idealnya menghasilkan rekomendasi untuk perubahan proses/
SOP dan sistem.
Analisis yang baik dan proses pembelajaran yang berharga memerlukan
keahlian/ keterampilan. Tim KPRS perlu menyebarkan informasi, rekomendasi
perubahan, dan pengembangan solusi. Karakteristik laporan:
a. Bersifat tidak menghukum: pelapor bebas dari rasa takut dan pembalasan
dendam atau hukuman sebagai akibat laporannya
b. Rahasia: identitas pasien, pelapor dan institusi disembunyikan
c. Independen: sistem pelaporan yang independen bagi pelapor dan organisasi
dari hukuman.
d. Expert analysis: laporan dievaluasi oleh ahli yang menguasai masalah klinis
dan telah terlatih untuk mengenal penyebab sistem yang utama.
e. Tepat waktu: laporan dianalisa segera dan rekomendasinya didesiminasikan
secepatnya, khususnya bila terjadi bahaya serius.
f. Orientasi sistem: rekomendasi lebih berfokus kepada perbaikan dalam sistem,
proses, atau produk daripada terhadap individu
g. Responsif: lembaga yang menerima laporan merupakan lembaga yang
mempunyai kapasitas memberikan rekomendasi.
47
BAB III
ISSUES & SOLUSI
48
3. Akuntabilitas (penunjukkan penanggung jawab)
Pelaksanaan dan pengelolaan manejemen resiko dilakukan oleh
tim KMKP melaksanakan pemantauan manajemen risiko di tiap unit
4. Penyusunan metode
Proses manajemen risiko proaktif di Rsud 45 Kuningan
menggunakan tools yang disebut Failure Mode and Effect Analysis
(FMEA) dan tools Hospital Vulnereability Assesment (HVA). FMEA
dan HVA adalah alat curah pendapat kelompok yang mengidentifikasi
dan memprioritaskan potensi risiko dalam suatu proses. FMEA
menghasilkan suatu daftar prioritas risiko yang membantu memfokuskan
perbaikan pada masalah yang paling mendesak. Sejauh ini, SOP
mengenai manajemen risiko di rsud 45 kuningan sudah cukup baik dan
mudah untuk dipahami.
5. Pengajuan anggaran dana dan sarana prasarana
Kegiatan penganggaran dana dan sarana prasarana bagi Komite
Mutu dialokasikan untuk operasional manajemen risiko, sedangkan pada
unit kerja dialokasikan untuk keperluan redesign sistem untuk perlakuan
risiko. Pengajuan anggaran dana dan sarana prasarana dapat dilakukan
melalui 2 cara, yaitu menggunakan RKA (Rencana Kerja Tahunan) yang
dibuat 1 tahun sekali atau menggunakan TOR/proposal yang dibuat
untuk permohonan pengajuan yang insidental sesuai kebutuhan.
49
diketahui mampu memberikan jawaban yang tepat. Hal ini menunjukkan
bahwa sosialisasi yang dilakukan sudah efektif karena pengetahuan staff
mengenai manajemen risiko baik.
2. Distribusi SOP
Panduan sudah disebarkan kepada semua unit kerja, menurut Komite
panduan yang diberikan ke unit-unit sudah disimpan atau diletakan pda
tempat yang mudah diakses oleh para saff ruangan.
3. Realisasi dana dan sarana prasarana
Berdasarkan hasil wawancara, dana yang turun tidak berupa nominal,
namun langsung berupa sarana prasarana yang dibutuhkan. Jika pengajuan
berupa fisik gedung atau alat, disposisi membutuhkan waktu yang cukup
lama.
4. Pelaksanaan proses
Saat ini, pelaksanaan manajemen risiko sudah cukup terintegrasi di semua
proses organisasi. Tim PMKP benar-benar gencar mendorong
pelaksanaannya untuk kepantingan akreditasi. Namun masih adanya
stigma budaya blamming sehingga ada ketakutan dari staff untuk terbuka
dalam menyampaikan informasi terkait insiden dan risiko. Dari segi
proses, FMEA dan HVA yang memiliki proses yang panjang, dan berulang
memberikan kesulitan dari segi waktu dan dana karena tentunya
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dari segi SDM, ada ketergantungan
unit kepada PMKP.
d. Analisis Monitoring dan Review
Berdasarkan hasil wawancara mendalam, monitoring dilakukan melalui
kegiatan pelaporan. Namun menurut Wakil Ketua Komite Mutu, monitoring
risiko-risiko seharusnya dilakukan oleh unit masing-masing, PMKP hanya
memfasilitasi. Rsud 45 Kuningan sudah bisa sampai pada tahap itu. Proses
pelaporan tiap unit ruangan sejauh ini sudah baik.
50
3.2. Analisa Data 6 Sasaran Keselamatan Pasien Di RSUD 45 Kuningan
3.2.1 Ketepatan identifikasi pasien
51
yang harus dicapai adalah 100%. Readback yang didapatkan pada semester ini sangat
buruk dikarenakan jauh dari 100% standar yang harus dicapai. Readback sangat
harus di perbaiki agar supaya informasi yang disamapaikan tepat untuk menghindari
kesalahan dalam menginformasikan hasil atau pun laporan yang harus disampaikan
antar tenaga kesehatan sehingga keselamatan pasien tetap terjaga dengan baik.
40
20
0
Jan Feb Mar April Mei Juni
RSUD '45 100 100 100 100 100 100
RS Waled 100 100 100
Standar (100%) 100 100 100 100 100 100
Persentasi yang dicapai pada kepatuhan pemberian label obat High Alert oleh
farmasi rawat inap mendapatkan hasil sebesar 100%, sehingga standar yang harus
dicapai yaitu 100% sdh tercapai. Kepatuhan ini harus selalu dipertahankan agar
supaya tidak adanya kesalah pemberian obat.
3.2.4 Kepastian tepat lokasi (sisi), tepat prosedur dan tepat pasien operasi
52
Kelengkapan pengisian format check list
keselamatan pasien operasi.
100.0
90.0
80.0
70.0
60.0
% 50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
Jan Feb Mar April Mei Juni
Pencapaian 79.8 74 78.13 76.34 86.46 85.42
Standar 100 100 100 100 100 100
40
20
0
Jan Feb Mar April Mei Juni
RSUD 45 93.76 95.03 95.14 96.1 96.45 96.67
RS Waled 80 78
Standar 86 86 86 86 86 86
53
96,52% dari standar yang harus dicapai 86%. Kepatuhan cuci tangan sudah tercapai
sehingga harus ditingkatkan sampai 100% dan mempertahankan hasil yang sudah
dicapai untuk menghindari nasokomial.
0.04
0.03
0.02
0.01
0
Jan Feb Mar April Mei Juni
RSUD 45 0 0 0 0 0.062 0.058
RS Waled 0 0 0
Standar 0 0 0 0 0 0
Persentasi pencapaian insiden pasien jatuh di rawat inap sebesar 0,02% dari
standar 0%. Insiden pasien jatuh harus dihindari untuk meningkatkan standar
keselamatan pasien dirawat inap, sehingga harus diperbaiki karena masih adanya
pasien yang jatuh dirawat inap.
3.2.7 Pembahasan
Hasil observari yang dilakukan, Mutu keselamatan pasien didapatkan ada 4 sasaran
keselamatan pasien yang harus dilakukan perbaikan yaitu:
1. Ketepatan identifikasi pasien: Persentasi yang dicapai 95,65% dari
standar yang harus dicipai yaitu 100%.
2. Komunikasi efektif: Persentasi yang dicapai 87,40% dari standar yang
harus dicapai adalah 100%.
3. Peningkatan keamnan obat yang perlu diwaspadai (high alert):
Persentasi yang dicapai 100% dari standar yang harus dicapai yaitu 100%
4. Kepastian tepat lokasi (sisi), tepat prosedur dan tepat pasien
operasi: Persentasi yang dicapai 80,03% dari standar 100%
54
5. Pengurangan risiko infeksi melalui 6 langkah cuci tangan: Persentasi
yang dicapai 96,52% dari standar yang harus dicapai 86%.
6. Pengurangan risiko pasien jatuh: Persentasi pencapaian insiden
pasien jatuh di rawat inap sebesar 0,02% dari standar 0%.
55
Salah satu hal yang menyebabkan banyak orang berselisih paham adalah
karena kurangnya komunikasi. Komunikasi terkadang menjadi hal yang disepelekan,
padahal kesalahan dalam komunikasi dapat menimbulkan sebuah permasalahan.
Pengertian konsep komunikasi yang paling sederhana adalah proses penyampaian
pesan dari komunikator kepada komunikan. Proses ini dapat menghasilkan feedback
dari komunikan sehingga komunikasi dapat berlangsung secara dua arah antara
komunikator dan komunikan.
Kasus yang pernah dialami oleh RSUD 45 Kuningan terkait intruksi via
telephone untuk pemberian obat yang rupa dan ucapannya mirip seperti
phenobarbital dan phentobarbital, losex dan Lasix, juga prednisone dan prednisolone,
kerap menjadi suatu masalah karena tidak adanya konfirmasi ulang. Selain itu
perawat dalam membuat pelaporan berupa intruksi yang diberikan via telephone
yang tidak bisa menjadi insiden miskomunikasi atau kesalahan instruksi, sehingga
pasien mendapat terapi yang tidak seharusnya diberikan. Pada kenyataannya,
komunikasi merupakan proses yang sangat kompleks. Hal ini terjadi karena
komunikasi tidak melibatkan satu individu, namun juga melibatkan individu-
individu lain dengan sifat dan latar belakang yang berbeda.
Komunikasi yang efektif biasanya memiliki tujuan untuk memudahkan orang
lain dalam memahami pesan yang disampaikan oleh seorang pemberi pesan
(komunikator). Selain itu, komunikasi yang efektif juga bertujuan supaya informasi
yang disampaikan dapat menimbulkan feedback dari si penerima pesan (komunikan).
Karena alasan-alasan tersebut, maka proses komunikasi yang efektif haruslah
dilakukan dengan menggunakan bahasa yang jelas dan dapat dipahami oleh orang
lain.
56
Hasil survey Komite PMKP, pelaksanaan readback TULBAKON (Tulis Baca
Konfirmasi) masih di bawah standar (100%) dengan nilai rata-rata 87.34 %
pada bulan Januari-Juni 2019.
Situasi yang memperburuk:
Tidak lengkapnya pencatatan laporan kejadian insiden miskomunikasi atau
kesalahan intruksi yang menyebabkan kesalahan pemberian obat ataupun
terapi antara perawat dan profesi lain
Aksi yang mungkin dapat merubah situasi ini:
- Evaluasi hambatan dalam pelaksanaan SOP
- Sosialisasi kembali SOP (Multidisiplin)
- Monitoring secara berkala oleh kepala ruangan
3.4.2 STEP 2: DEVELOP A DATA GATHERING PLAN
(Rencana Pengumpulan Data pada Sasaran Keselamatan Pasien 2)
Data Risk Register Complete Pelaksanaan readback TULBAKON (RSUD 45
Kuningan)
Observasi (Pak Andi)
Wawancara (Pak Andi): “…tidak lengkapnya pencatatan laporan kejadian
insiden miskomunikasi atau kesalahan intruksi…”
3.4.3 STEP 3: GATHER THE DATA
(Kumpulkan data pada Sasaran Keselamatan Pasien 2)
Data Pelaksanaan readback TULBAKON (RSUD 45 Kuningan)
Jml total konsul via Jml readback yg Pencapaian Standar (%)
telp dlm 1 bln (D) ditandatangani oleh (%)
DPJP <24 jam (N)
Jan 149 125 83,89 100
Feb 155 130 83,87 100
Mar 212 145 68,4 100
April 87 83 95,40 100
Mei 99 95 95,96 100
Juni 96 93 96,88 100
57
Persentase pelaksanaan readback
(TULBAKON) ditandatangani oleh
pemberi instruksi dalam waktu
1 x 24 jam
100.00
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
%
Jan F… M… A… M… J…
Pencapaian 83.89 83.87 68.4 95.40 95.96 96.88
Standar 100 100 100 100 100 100
58
SWOT-UP ANALYSIS (PROGRAM TULBAKON)
STRENGHTS WEAKNESS OPPORTUNITY THREATS
1. RSUD 45 Sudah 1. Kurangnya 1. SDM yang cukup 1. Banyak RS
lulus Standar kesadaran (dokter spesialis, Swasta (8) di
Akreditasi KARS perawat dalam perawat) daerah
versi 2012 pelaporan insiden 2. SOP mudah setempat,
2. RS Tipe B miskomunikasi dilaksanakan sebahagian
3. Visi & Misi: atau kesalahan 3. Perawat tahu tentang sudah
4. Sudah ada SOP instruksi. komunikasi efektif terakreditasi
Pelaksanaan 2. SOP disimpan di (SBAR) SNARS
readback tempat yang sulit 4. Perawat saling 2. Meningkatnya
“TULBAKON” di akses mengingatkan kesadaran
5. Sarana pengingat 3. Beban kerja melalui “chat group” pasien terkait
“Sign Here” sudah perawat yang untuk mengingatkan kebutuhan
tersedia tinggi DPJP informasi
6. Pelaksanaan SOP 4. Perawat lupa 5. Perawat melakukan (lebih kritis)
sudah di evalusi mengingatkan “ronde” keperawatan 3. Situasi kerja
setiap 6 bulan DPJP di setiap shift atau
sekali 5. DPJP tidak visit lingkungan
keesokan harinya kerja yang
(sibuk) kurang
6. DPJP sering kondusif
menunda 4. Adanya
pekerjaan (ttd konflik
>24 jam) interdisiplin
7. Rekruitment 5. Perawat tidak
perawat baru terlindungi
yang belum aspek legal
terpapar SOP hukum terkait
readback tindakan
TULBAKON delegasi
59
Tentukan Skor: Nyatakanlah besarnya bobot masing-masing item SWOT yang
dimiliki dengan menggunakan skala 1 (sangat kecil), 2(kecil), 3(cukup), 4 (besar),
5(sangat besar).
60
No ANCAMAN (THREATH) BOBOT
1 Banyak RS Swasta (8) di daerah setempat, sebahagian 4
sudah terakreditasi SNARS
2 Meningkatnya kesadaran pasien terkait kebutuhan 3
informasi (lebih kritis)
3 Situasi kerja atau lingkungan kerja yang kurang 3
kondusif
4 Adanya konflik interdisiplin 3
5 Perawat tidak terlindungi aspek legal hukum terkait 4
tindakan delegasi
Jumlah 17
Rata-rata 3,4
Kwadran SWOT
O
3,6
3,42 3,5
W S S
3,4
Kesimpulan:
Berdasarkan kajian analisis SWOT (Program TULBAKON), penyebaran aspek riil
yg digunakan lebih condong mengarah pada peluang dan kekuatan, sehingga bentuk
strategi yg digunakan adalah stragegi progresif.
61
mengkomunikasikan temuan kajian situasi terhadap pemangku kepentingan
diantaranya :
1. Identifikasi pemangku kepentingan
Disini kita akan mengidentifikasi siapa saja yang akan berpengaruh dalam
kajian situasi ini, dalam hal kajin ini maka yang paling berpengaruh adalah
Direktur, wakil direktur, Kabid keperawatan, Kabid Medis, Komite PMKP,
Kabag SDM.
2. Prioritaskan Pemangku Kepentingan
kita komunikasikan terlebih dahulu dengan pemegang program yaitu Komite
PMKP dan selanjutnya baru kita komunikasikan temuan kita kepada direktur
bersama dengan pemegang program baru kita akan komunikasikan dengan
pemangku kepentingan lainya. Disini kita akan petakan temuan kita.
3. Memahami pemangku kepentingan
Dalam memahami pemangku kepentingan kita akan dalami mana yang lebih
akan terlibat dalam menyelasaikan masalah dalam hasil kajian ini.Disini kita
akan menilai sejauh mana respon mereka terhadap temuan kajian ini.
Memahami pemangku kepentingan sebagai salah satu pekerjaan penting yang
anda lakukan dalam organisasi atau bisnis akan membangun dukungan
terhadap rencana dan tujuan yang telah ditetapkan. Anda akan mempengaruhi
banyak orang atau pemangku kepentingan yang memiliki kekuatan dan
pengaruh yang tinggi. Beberapa orang memiliki kekuatan untuk tidak
mendukung dan lain mungkin menjadi pendukung kuat. Oleh karena itu
kemampuan berkomunikasi dan menjalin hubungan personal menjadi penting
untuk kuasai.
62
3.4.6 STEP 6: CONSIDER HOW TO PROCEED WITH PLANNING
Time Table Komunikasi Efektif TULBAKON
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agus Sep Okt Nov Des
Evaluasi SOP
Tulbakon
Inservice Education:
Komunikasi Efektif
SOP Tulbakon
Finansial:
Pelatihan Seminar 1 hari
500 orang x Rp. 50,000 = Rp. 25,000,000,-
Keperluan lain-lain (Fotokopi SOP, ATK,…) = Rp. 5,000,000.-
63
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
64
4.2. Saran
Setelah melakukan pembelajaran dengan materi manajemen resiko dan pasien
safety diharapkan mahasiswa dapat memahami penerapan kajian situasi untuk
memberikan solusi dalam pengembangan manajemen resiko dan keselamatan pasien.
Pada akhirnya, dapat diterapkan dalam tatanan kelola klinis pada area keperawatan
untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien.
65
DAFTAR PUSTAKA
66
Permenkes. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2017 Tentang Keselamatan Pasien pasal 43 UU 44 tahun 2009
Susanti, E., & Nur'aini, I. N. D. A. H. (2019). Development Of Sbar Communication
Among Nurses In Applying Nursing Documentation To Improve Patient
Satisfaction At H. Sahudin Kutacane General Hospital. Jurnal Ilmiah
Kohesi, 3(2), 6-10.
Suryadi (2015). Panduan Manajemen resiko Rumah Sakit Gading Pluit. Di unduh
pada tanggal 15 September 2019
67