Anda di halaman 1dari 24

Liberalisasi Pemikiran Islam dan Dampaknya

Terhadap Kehidupan Sosial


Oleh : Mujahid Imaduddin, S.H.I*

Abstrak
Makalah ini mengkaji makna dari liberalisasi pemikiran keagamaan yang tak bisa
dilepaskan dari sejarah peradaban barat modern dan postmodern. Trend liberalisme bermula dari
upaya pembebasan individu di bidang ekonomi dan politik, yang kemudian meluas kepada
pembebasan individu dalam bidang intelektual, keagamaan, supernatural, dan bahkan Tuhan.
Liberalisasi pemikiran tersebut masuk ke dalam pemikiran agama Islam melalui beberapa
metode dan pendekatan. Diantaranya yaitu pluralisme agama, relativisme kebenaran, kritik
terhadap otentisitas Al-Qur'an, dan dekonstruksi syari'ah. Program liberalisasi pemikiran
tersebut, akhirnya merancukan pemahaman umat Islam terhadap Agama Islam itu sendiri, dan
berdampak kepada kehidupan sosial masyarakat, baik dalam bidang syari'ah berupa relativitas
nilai yang absolut, dalam bidang aqidah barupa kepercayaan kepada kebenaran agama lain, dan
dalam bidang akhlak berupa penyerahan ukuran baik dan buruk kepada manusia dan bukan atas
aturan agama. Untuk itu, kajian ini akan menitik beratkan pada pembahasan program-program
liberalisasi pemikiran keagamaan, yang kemudian berdampak kepada kehidupan sosial
masyarakat. Harapan penulis selanjutnya dengan tulisan ini, memberikan pencerahan dan
pemahaman kepada pembaca, sehingga dapat lebih selektif lagi dalam menerima konsep-
konsep, ide-ide, ajaran-ajaran yang berasal dari Barat, khususnya yang bertentangan dengan
konsep-konsep, dan ajaran-ajaran Islam yang telah qot'i dan tsawabit sejak dilahirkan, hingga
akhir zaman. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran yang berasal dari Barat tersebut, sangat
tidak relevan untuk diterapkan di dalam agama Islam.
Kata Kunci: Liberalisasi pemikiran Islam, modern dan postmodern, pluralisme agama,
relativisme kebenaran, reinterpretasi al-Qur'an, dekonstruksi syari'ah, dampak sosial, syari'ah,
aqidah, akhlak.

Pendahuluan
Tantangan terberat yang dihadapi umat saat ini bukanlah tantangan ekonomi dan
politik, akan tetapi tantangan pemikiran keagamaan. Karena sejatinya, krisis politik dan
ekonomi yang dilanda umat berembrio dari pemikiran dan worldview yang
problematik.1 Tantangan-tantangan internal tercermin dalam kemapanan tradisi yang
ada serta khurofat dan fanatisme sempit yang diwarisi secara turun temurun dari nenek
moyang. Sedangkan tantangan ekternal yang sedang kita hadapi sekarang ini adalah
masuknya beragam arus dari luar yang datang dari lingkungan peradaban yang
melingkupi mereka dalam berbagai aspeknya, seperti paham liberalisme, sekularisme,
pluralisme agama, relativisme dan lain sebagainya kedalam wacana pemikiran
keagamaan.2

* Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) ISID Gontor angkatan VI.


1
Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Gerakan barsama Missionaris,
Orientalis dan Kolonialis, (Gontor: CIOS-ISID, 2008), p. 1.
2
Muhammad Sa'id Ramadan Al-Buti, dan Tayyib Tizini, Finding Islam; Dialog Tradisionalisme,
Liberalisme Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1998), p. 12.
1
Makalah ini membahas tantangan eksternal dengan memfokuskan pada makna
liberalisasi pemikiran Islam dalam konteks liberalisasi yang memberikan dampak
terhadap kehidupan sosial masyarakat. Kini tantangan ini sangat gencar disebarkan
melalui berbagai media komunikasi dan pendidikan.3 jika diadopsi dalam Islam maka
akan memberikan keraguan terhadap kebenaran yang absolut. Semua yang pasti
menjadi relatif. Agama harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai modern, bukan
sebaliknya pandangan, nilai-nilai modern yang harus menyesuaikan dengan agama.
Seperti dalam syari'at penggunaan jilbab, oleh sebagian orang dianggap tidak relevan
lagi untuk diterapkan. Baik dan buruk ditentukan oleh kesepakatan manusia.
Implikasinya adalah menjauhkan manusia dari agama dan merosotnya akhlak mulia.

Makna Liberalisme Agama


Sebelum mengetahui esensi yang sesungguhnya dari liberalisme agama, perlu
bagi kita untuk mengetahui arti kata atau makna yang terkandung dalam kalimat
liberalisme agama. Istilah ’liberalisme’ berasal dari bahasa latin, terbentuk dari asal kata
'liber', yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’ atau keadaan dimana seseorang itu bebas
dari kepemilikan orang lain.4 Hingga penghujung abad ke-18 Masehi, istilah ini terkait
erat dengan konsep manusia merdeka, bisa merdeka semenjak lahir ataupun merdeka
setelah dibebaskan, yakni mantan budak (freedman).5 Makna bebas kemudian menjadi
sebuah sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang membuka pintu kebebasan
dalam berpikir. Dari makna kebebasan berpikir inilah kata liberal berkembang sehingga
mempunyai berbagai makna.
Liberalisme memang tak lepas dari peradaban Barat.6 Periode peradaban Barat
yang dianggap sangat penting dalam menimbulkan pemikiran liberalisme adalah
periode modern dan postmodern. Barat modern (1300-1900) adalah periode sejarah
peradaban Barat setelah kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan (500-1300).
Pada periode modern, sains berkembang begitu pesat. Bahkan modernitas telah
memandang sains sebagai sesuatu yang sentral dalam masyarakat dan akhirnya
mengesampingkan kepercayaan agama.7 Dari periode modern ini menimbulkan istilah

3
Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, (ISTAC, 1993), p. 130.
4
J. A. Simpson and E. S. C. Weiner (eds.), The Oxford English Dictionary, 2nd
ed., Vol. 8, (Oxford: Oxford University Press, 1989), p. 881.
5
Dari sinilah muncul istilah’Liberal arts’ yang berarti ilmu yang berguna bagi dan sepatutnya
dimiliki oleh setiap manusia merdeka, yaitu aritmatika, geometri, astronomi dan music (quadrivium) serta
gramatika, logika dan retorika (trivium). Syamsudin Arif, Orientalalis dan Diabolisme Pemikiran
(Jakarta: Gema Insani, 2008), p. 76.
6
Istilah ‘Barat’ disini menunjukkan bangsa-bangsa Eropa (Nordik, Celtik, Frank, Slavik,
Jermanik dan lainnya), yang telah menganut agama Kristen dan nilai-nilai budaya Yunani dan Romawi
dalam kehidupannya. Dari Yunani kuno diserap unsur-unsur filosofis, epistimologis, dasar-dasar
pendidikan, dan etika, serta estetika; dari Romawi unsur-unsur hukum dan ketatanegaraan serta
pemerintahan; dari ajaran Yahudi dan Kristen unsur-unsur keyakinan beragama; dan dari orang-orang
Latin, Germanik, Celtik dan Nordik kemerdekaan, semangat kebangsaan dan nilai-nilai tradisi mereka,
serta pengembangan ilmu sains tabii, fisika dan teknologi. Dengan kekuatan ini, bersama bangsa Slavia,
mereka telah mendorong peradaban ini ke puncak kekuasaan. Syed Muhammad Naquib, Islam and
Secularism, (ISTAC, 1993), p. 134.
7
Ciri-ciri zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh
paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara befikir dichotomis, desakralisasi, pragmatisme dan
penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam,…, p.
5
2
modernisme. Modernisme dapat diartikan sebagai gerakan yang berusaha
mendundukkan prinsip-prinsip agama di bawah nilai-nilai dan konsep peradaban Barat
dan pola berpikirnya dalam segala kehidupan.8 Jadi jelas pada periode modern akar
liberalisme sudah tumbuh dan bahkan menjadi suatu ideologi tersendiri dari kehidupan
masyarakat Barat.
Postmodern (1900-now) gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap
modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Sebab postmodernisme sedikit banyak
masih berpijak pada modernisme, yang didominasi oleh paham atau pemikiran
liberalisme, pluralisme, nihilisme, relativisme, persamaan (equality), dan umumnya
anti-worldview. John Lock, salah seorang filosof Barat modern menegaskan bahwa
liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan persamaan (pluralisme) adalah inti
modernisme. Yang menjadi corak sistem postmodernisme ini adalah menghilangkan
pemikiran tentang metafisika atau bisa disebut sistem yang tanpa pemikiran metafisis.9
Sejalan dengan perkembangan sains dan pemikiran, pada kedua periode itu
lahirlah ideologi liberalisme. Trend liberalisme bermula dari upaya pembebasan
individu di bidang ekonomi dan politik. Adapun maksud pembebasan adalah
mengurangi atau menghilangkan campur tangan penguasa (pemerintah) dalam
mempengaruhi hak ekonomi dan politik rakyat (masyarakat).10 Selain kedua trend
liberalisme di atas, masyarakat Barat terobsesi juga untuk membebaskan diri mereka
dalam bidang yang lebih luas, yaitu bidang intelektual, keagamaan, supernatural dan
bahkan Tuhan.11
Pada bidang keagamaan, upaya pembebasan diri dari agama dan doktrin-
doktrinnya melalui liberalisasi pemikiran sangat mengancam agama-agama di dunia.
Kemunculan kaum liberal di Barat sebenarnya tidak lepas dari problematika Kristen
yang menjadi agama terbesar di Barat. Problematika Kristen yang menjadi sebab
munculnya liberalisasi pemikiran keagamaan adalah: (1) problema sejarah Kristen yang
penuh dengan konflik, (2) problema teks Bibel yang penuh dengan kontradiktif dan (3)
problema teologi Kristen yang tidak jelas dan tidak rasional.12
Lahirnya liberalisme pemikiran keagamaan (Theological Liberalism) berawal
dari munculnya liberalisme intelektual yang mencoba untuk bebas dari agama dan dari
Tuhan. Perkembangan liberalisme pemikiran keagamaan ini dapat diklasifikasikan
menjadi tiga fase perkembangan: Fase pertama dari abad ke 17 yang dimotori oleh
filosof Perancis Rene Descartes yang mempromosikan doktrin rasionalisme atau
Enlightenment yang berakhir pada pertengahan abad ke 18. Doktrin utamanya adalah 1)
percaya pada akal manusia 2) keutamaan individu 3) imanensi Tuhan dan 4) meliorisme
(percaya bahwa manusia itu berkembang dan dapat dikembangkan). Fase kedua
bermula pada akhir abad ke 18 dengan doktrin Romanticisme yang menekankan pada
individualisme, artinya individu dapat menjadi sumber nilai. Kesadaran-diri (self-
consciousness) itu dalam pengertian religious dapat menjadi Kesadaran-Tuhan (god-

8
Busthomi Muhammad Said, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam, (Ponorogo: PSIA,
1992), hal. 94.
9
Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam,…, p. 12.
10
Ibid., p. 27-31.
11
Ibid., p. 31-39.
12
Untuk lebih jelasnya tentang problema sejarah Kristen, problema teks Bible dan problema
teologis Kristen, lihat: Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat,…, p. 30.
3
consciousness). Tokohnya adalah Jean-Jacques, Immanuel Kant, dan Friedrich
Schleiermacher dsb.
Fase terakhir bermula pada pertengahan abad ke 19 hingga abad ke 20 ditandai
dengan semangat modernisme dan postmodernisme yang menekankan pada ide tentang
perkembangan (notion of progress). Agama kemudian diletakkan sebagai sesuatu yang
berkembang progressif dan disesuaikan dengan ilmu pengetahuan modern serta di
harapkan dapat merespon isu-isu yang diangkat oleh kultur modern. Itulah sebabnya
maka kajian mengenai doktrin-doktrin Kristen kemudian berubah bentuk menjadi
kajian psikologis pengalaman keagamaan (psychological study of religious experience),
kajian sosiologis lembaga-lembaga dan tradisi keagamaan (sociological study of
religious institution), kajian filosofis tentang pengetahuan dan nilai-nilai keagamaan
(philosophical inquiry into religious knowledge and values).13

Islam dan Tantangan Liberalisme


Karena liberalisme merupakan sistem, pandangan hidup atau ideologi Barat
maka Islam bagi Barat merupakan tantangan bagi liberalisme. Francis Fukuyama dalam
bukunya The End of History, and the Last Man jelas-jelas mensejajarkan Islam dengan
ideologi Liberalisme dan Komunisme, tapi Islam menurutnya memiliki nilai moralitas
dan doktrin-doktrin politik dan keadilan sosialnya sendiri. Menurutnya karena ajaran
Islam bersifat universal, maka ia pernah menjadi tantangan bagi demokrasi liberal dan
praktek-praktek liberal. Tapi kini kekuatan Islam di luar negara Islam tidak demikian,
bahkan kondisi Islam kini semakin lemah. Dalam hal ini Fukuyama menegaskan:

"Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nampak lebih lemah
menghadapai ide-ide liberal ketimbang sebaliknya, sebab selama seabad setengah yang lalu
liberalisme telah memukau banyak pengikut Islam yang kuat. Salah satu sebab munculnya
fundamentalisme adalah kuatnya ancaman nilai-nilai liberal dan Barat terhadap masyarakat
Islam tradisional." 14

Fukuyama jelas-jelas meletakkan Islam, Liberalisme dan Komunisme sebagai


ideologi-ideologi atau pemikiran yang mempunyai doktrin masing-masing dan saling
bertentangan satu sama yang lain. Sejatinya spektrum perbedaan antara liberalisme dan
Islam sangat luas. Perbedaan itu lebih berupa perbedaan cara memandang kehidupan
atau perbedaan pandangan hidup (worldview). Perbedaan pandangan hidup antara satu
bangsa dengan bangsa yang lain adalah sesuatu yang alami, sebab masing-masing
memiliki karakteristik yang dipengaruhi oleh kultur, bahasa, agama, kepercayaan, ras
dan lain-lain.15
Jika perbedaan cara berfikir dan memandang sesuatu antara satu peradaban
(worldview) dengan yang lain tidak dapat “dipertemukan” maka konflik peradaban atau

13
The New Encyclopedia of Britanica, University of Chocago, 1991, vol. 11, hal. 693
14
Aslinya:”Indeed, the Islamic world would seem more vulnerable to liberal ideas in the long
run than the reverse, since such liberalism has attracted numerous and powerful Muslim adherent over
the past century and a half. Part of the the reason for current, fundamentalist revival is the stregth of the
perceived threat from liberal, Western values to traditional Islamic societies. Lihat: Francis Fukuyama,
The End of History and The Last Man, Avon Book, New York, 1992, hal 45-46. Sebagaimana yang
dikutib oleh Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam,…, p. 40.
15
Samuel p. Huntington, The Clash of Civilizations?, Foreign Affairs, volume 72 no.3, Summer
1993, p. 25
4
perang pemikiran tidak dapat dielakkan. Inilah yang disebut dengan Ghazwul fikri yang
oleh Huntington disebut “clash of civilization” (benturan peradaban). Benturan ini
menurutnya akan mengakibatkan ketegangan, benturan, konflik ataupun peperangan di
masa depan.16 Perbedaan ini pada tingkat kehidupan sosial menyebabkan konflik, clash
atau dalam bahasa Peter L Berger disebut collision of consciousness (tabrakan persepsi).
Pada tingkat individu, mengakibatkan terjadinya pergolakan pemikiran dalam diri
seseorang dan pada dataran konsep, mengakibatkan tumpang tindih dan kebingungan
konseptual (conceptual confusion).17
Jika Barat mengklaim cara pandang mereka itu "universal" dan dapat dianut oleh
seluruh umat manusia, mereka berusaha meluaskan pengaruhnya dengan program
westernisasi18 dan globalisasi. Program itu tidak lain merupakan pemaksaan
penggunaan konsep-konsep, dan paham-paham yang terdapat dalam peradaban Barat ke
dunia Islam atau “dunia ketiga” lainnya. Penggunaan istilah "Islam fundamentalis",
"Islam Liberal", "Islam Tradisional", "Islam modern" dan sebagainya merupakan sedikit
contoh bagaimana terminologi dan konsep-konsep Barat dipaksakan kepada umat Islam.
Menurut Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, dalam penyebaran konsep-konsep, nilai,
kultur dan sistem, Barat menggunakan berbagai kendaraan. Westernisasi dan
Globalisasi digunakan sebagai kendaraan untuk menyebarkan budaya, paham-paham
dan idoelogi Barat, orientalisme dimanfaatkan untuk membaca pemikiran Islam dari
kaca mata Barat sehingga melahirkan makna Islam yang berbeda dari pemahaman umat
Islam sendiri. Missionarisme dipakai untuk memperluas penerimaan kultur dan
kepercayaan Barat, dan terakhir kolonialisme yang merupakan kekuatan strategis untuk
penaklukan dunia Islam yang memanfaatkan orientalisme dan missionarisme untuk
tujuan-tujuan politik dan ekonomi.19
Kebudayaan dan peradaban Barat, yang meliputi Kristen sebagai bagian yang
tak terpisahkan darinya, tidak diragukan lagi telah mengambil sikap konfrontasi
terhadap Islam.20 Meskipun Barat telah menjadi sekuler-liberal, namun sentimen-
sentimen keagamaan Kristen terus mewarnai kehidupan mereka, unsur-unsur Barat
sekuler-liberal tersebut kadang bisa bertemu dengan kepentingan "misi Kristen", atau
"sentimen Kristen." Bagi para misionaris Kristen, mengkristenkan kaum Muslim adalah
suatu keharusan. Jika tidak, maka dunia pun akan diIslamkan. Seorang misionaris
legendaris Henry Martyn (1781–1812), menyatakan, "Saya datang menemui umat
Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan pasukan tapi dengan

16
Samuel P. Huntington, If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to His
Critics, http://www.foreignaffairs.com/articles/49414/samuel-p-huntington/if-not-civilizations-what-
samuel-huntington-responds-to-his-crit.
17
Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam,…, p. 43.
18
Westernisasi adalah suatu proses dimana masyarakat datang di bawah atau mengadopsi
budaya Barat dalam hal seperti industri, teknologi , hukum, politik, ekonomi, gaya hidup, pola makan,
bahasa, aksara, agama, filsafat, dan nilai-nilai. Westernisasi telah menjadi pengaruh meresap dan
mempercepat seluruh dunia dalam beberapa abad terakhir.. Ini biasanya merupakan proses dua sisi, di
mana pengaruh Barat dan kepentingan sendiri bergabung dengan keinginan setidaknya bagian dari
masyarakat yang terkena dampak untuk mengubah arah masyarakat yang lebih kebarat-baratan, dengan
harapan untuk mencapai kehidupan Barat atau beberapa aspek dari itu. Thong, Tezenlo. "‘To Raise the
Savage to a Higher Level:’ The Westernization of Nagas and Their Culture," Modern Asian Studies 46,
no. 4 (July 2012): 893-918. http://en.wikipedia.org/wiki/Westernisation.
19
Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam,…, p. 44.
20
Syed Muhammad Naquib, Islam and Sekularisme, (ISTAC, 2010), p. 121.
5
akal sehat, tidak dengan kebencian tapi dengan cinta." Ia berpendapat, bahwa Perang
Salib telah gagal. Karena itu, untuk "menaklukkan" dunia Islam, dia mengajukan resep:
gunakan "kata, logika, dan cinta".21
Samuel M Zwemer seorang orientalis Yahudi yang menjabat direktur organisasi
misionaris dan juga pendiri Jurnal the Muslim World. Pada tahun 1935 pada Konferensi
Misionaris di Kota Yerussalem Zwemmer mengatakan bahwa:

"Misi utama kita sebagai orang Kristen bukan menghancurkan kaum Muslimin, namun
mengeluarkan seorang Muslim dari Islam, agar jadi orang Muslim yang tidak berakhlak.
Dengan begitu akan membuka pintu bagi kemenangan imperialis di negeri-negeri Islam. Tujuan
kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam. Generasi Muslim yang sesuai
dengan kehendak kaum penjajah, generasi yang malas, dan hanya mengejar kepuasan hawa
nafsunya.
Di dalam mata rantai kebudayaan Barat, gerakan misi punya dua tugas: menghancurkan
peradaban lawan (baca: peradaban Islam) dan membina kembali dalam bentuk peradaban
Barat. Ini perlu dilakukan agar Muslim dapat berdiri pada barisan budaya Barat akhirnya
muncul generasi Muslim yang memusuhi agamanya sendiri." 22

Dr. Cragg, seorang misionaris terkenal asal Inggris, menyatakan: "Tidak perlu
diragukan lagi bahwa harapan terakhir misi Kristen hanyalah melakukan perubahan
sikap umat Muslim, sedemikian rupa sehingga mereka mau bertoleransi."23
Kekuatan "kata" dan "kasih" terbukti ampuh dalam sejarah dalam menggulung
kekuatan-kekuatan Islam yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan-ungkapan tidak
simpatik, seperti "ortodoks", "beku", "berorientasi masa lalu", dan "emosional". Sejarah
menunjukkan, kolaborasi cendikiawan Turki, Kristen Eropa, dan Zionis Yahudi berhasil
menggulung Turki Utsmani.24 Dan kini di dunia Islam khususnya di Indonesia, kita
membaca berbagai pernyataan cendikiawan Muslim yang persis seperti yang
ditargetkan oleh Samuel M Zwemer. Kita juga melihat dewasa ini, banyak dari umat
Muslim yang telah terBaratkan pemikirannya sehingga mengadopsi segala hal yang
berasal dari Barat tanpa memahami implikasi dan menguji keabsahan nilai pada hal
tersebut.
Islam liberal merupakan bagian dari gelombang besar liberalisasi agama yg
melanda seluruh agama yang ada. Liberalisasi agama merupakan suatu proses
menempatkan suatu agama dalam proses dinamika sejarah, dimana kebenaran dan
realitas tidak di atas pengetahuan dan lemah kepercayaan terhadap agama dan wahyu. 25
Tidak ada agama yang selamat dari perubahan sejarah, semua agama harus tunduk pada
perubahan sejarah dan pada dinamika sejarah. Kebenaran mendasar dari agama
dipandang hanya sebagai teori-teori, atau dibuangnya sebagai ilusi yang sia-sia. Nilai
absolute ditolak dan nilai relatif diafirmasi; tidak ada yang pasti, kecuali kepastian
bahwa tidak ada yang pasti. 26

21
Lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat,…, p. xxvii.
22
Lihat Ali Gharisah, Wajah Dunia Islam Kontemporer,( Pustaka Al Kautsar, 1989), p. 41,
dikutip dari Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam,…, p. 48.
23
Ibid., p. 49
24
Abdul Hamid dan yaya, Pemikiran Modern Dalaqm Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), p.
275
25
Syed Muhammad Naquib, Islam and Sekularisme,..., p. 171.
26
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena,…, p. 26.
6
Menurut Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, sebagai agama dengan pemeluk terbesar di
dunia, Islam juga tidak lepas dari proses liberalisasi yang tidak lain adalah bagian dari
westernisasi atau pembaratan Islam.27 Dengan diterapkannya Liberalisasi Islam, Islam
ditempatkan dalam konteks perubahan sejarah dan Islam dipaksa harus mengikuti
perubahan sejarah tersebut.28 Agama disesuaikan dengan ilmu pengetahuan dan kultur
manusia modern. Agama berubah menjadi pengalaman keagamaan.29 Jika demikian
halnya, maka tidak ada hal-hal yang dianggap tetap lagi dalam Islam, semua harus
berubah, mengikuti perubahan nilai dan perubahan zaman.
Tidak menutup kenyataan bahwa sebagian Muslim telah terbaratkan
pemikirannya yang anti nilai-nilai keagamaan. Tidak sedikit para pengikut agama Islam
yang semakin liberal dan sekuler, bahkan juga di khawatirkan akan semakin menjadi
sekuler, ketika menghadapi era globalisasi.30 Kini yang mengatakan semua agama sama,
al-Qur'an bukan wahyu Allah, Ajaran Islam itu menindas kaum wanita, dan sebagainya
bukan lagi orientalis, tapi para cendikiawan Muslim sendiri. Hal ini sejalan dengan apa
yang disampaikan Dr. Greg Barton dalam disertasinya di Monash University, Australia.
Dia memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya
kontekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c)
Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan
agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian Negara.31
Dari disertasi Barton tersebut dapat diketahui, bahwa memang ada strategi dan
program yang sistematis dan metodologis dalam liberalisasi Islam di Indonesia.
Penyebaran paham Pluralisme Agama yang merupakan paham syirik modern dilakukan
dengan cara massif, melalui berbagai saluran, dan dukungan dana yang luar biasa.32
Dari program tersebut terdapat beberapa program yang sedang gencar-gencarnya
dilakukan di Indonesia.

Program Liberalisasi Islam


Mencermati berbagai perkembangan paham liberal di kalangan umat Islam,
setidaknya, ada beberapa metode dan pendekatan yang digunakan dalam penyebaran
ide-ide dan pemikiran-pemikiran tersebut. Diantara ide-ide dan pemikiran tersebut
adalah liberalisme, pluralisme agama, kawin beda agama, relativisme, persamaan,
feminisme (kesetaraan gender), individualisme, humanisme, demokrasi dan lain-lain.
Untuk mengetahuai ide-ide tersebut akan dijelaskan beberapa yang penting sbb:

27
Werternisasi, sekularisasi dan liberalisasi bukan sekedar isu atau program Barat di bidang
politik, ekonomi dan kebudayaan. Akan tetapi juga menawarkan konsep dalam bentuk wacana yang hidup
yang mendominasi kalangan terpelajar di dunia Islam saat ini. Cendikiawan Muslim seperti berbondong-
bondong merespon isu kebebasan, persamaan, hak asasi, demokratisasi segala bidang dengan dalil-dalil
Qur’an dan hadist. Meskipun mereka menggunakan ayat-ayat al-Qur'an dan hadist, mereka mereka
berfikir dengan pendekatan humanis, liberalis, dekonstruksionis dan bahkan relativistis. Lihat: Hamid
Fahmi Zarkasyi, Misykat,…, p. xiv.
28
Lihat: Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat,…, p. 6.
29
Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam,…, p. 33.
30
Qodri Azizy, Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam,…,p . 17.
31
Tahun 1999, disertasi Greg Barton diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit
Paramadina, dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (1999: xxi), Adian Husaini, Liberalisasi
Islam di Indonesia; fakta dan data, (Dewan Da'wah Islamiah Indonesia, 2006), p. 12.
32
Ibid., p. 12.
7
1. Liberalisasi aqidah Islam.
Liberalisasi aqidah Islam dilakukan dengan penyebaran paham Pluralisme
Agama. Makna pluralisme agama paska fatwa MUI banyak diperdebatkan orang.
Namun perlu diketahui bahwa menurut definisi resmi mereka pluralisme adalah teori
yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth). Ia
terkadang juga dipahami sebagai doktrin yang berpandangan bahwa disana tidak ada
pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya. (no view is true, or
that all view are equally true).33
Paham ini, pada dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang
sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua
agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau mereka
menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak,
sehingga-karena kerelativannya-maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim
atau meyakini, bahwa agamanya sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama
lain, atau mengklaim agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball,
salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak
(absolute truth claim) atas agamanya sendiri.34
Penyebaran paham pluralisme agama di tengah masyarakat Muslim dapat dilihat
sebagai bagian dari upaya Barat mengglobalkan nilai-nilainya, dan meneguhkan
hegemoninya, atau upaya kalangan misionaris Kristen untuk melemahkan kayakinan
kaum Muslim. Pluralisme, sebagaimana sekularisme adalah sejenis “senjata pemusnah
masal” terhadap keyakinan fundamental agama-agama.35 Kristen sudah mengalami hal
itu sehingga ia lumpuh. Karena itu, meskipun pada Kongres Misionaris Internasional di
Jerussalem, 1928, menetapkan bahwa sekularisme “dipandang sebagai musuh besar
Gereja dan pesan-pesannya”36 tetapi pada dekade-dekade berikutnya ada banyak
kalangan Kristen yang mempromosikan “sekularisme” dalam menjalankan misinya
kepada Muslim.
Inti doktrinnya adalah untuk menghilangkan sifat ekslusif ummat beragama,
khususnya Islam. Artinya dengan paham ini ummat Islam diharapkan tidak lagi bersikap
fanatik, merasa benar sendiri dan menganggap agama lain salah. Menurut John Hick,
tokoh pluralisme agama, diantara prinsip pluralisme agama menyatakan bahwa agama
lain adalah sama-sama jalan yang benar menuju kebenaran yang sama (Other religions
are equally valid ways to the same truth).37
Prof. Dr. Abdur Munir Mulkan, dosen UIN Yogyakarta, menulis:

"Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu
sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki

33
Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, Oxford University Press, Oxford, lihat
“Pluralism”.
34
Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (New Tork: HarperSanFrancisco, 2002).
35
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat,…, p. 346.
36
Tomas Shivute, The Theology of Mission and Evangelism, (Helsinki: The Finnish Society for
Missiology and Ecumenics, 1980), P. 47.
37
Untuk lebih jelas tentang kerancuan paham pluralisme agama ini baca majalah ISLAMIA,
edisi 3, September-November, 2004.
8
kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan,
penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Dari sini kerjasama dan dialog
pemeluk berbeda agama jadi mungkin."38

Di Indonesia, pluralisme kerap dipadankan dengan inklusivisme. Oleh para


pengusungnya, gagasan ini diartikan sebagai paham keagamaan yang mengakui dan
menerima kebenaran agama lain. Sekilas memang tampak tak bermasalah. Apalagi jika
tujuannya dikatakan untuk menemukan common platform demi terwujutnya
kebersamaan dan kerukunan antar umat beragama. Namun pada hakikatnya,
inklusivisme cukup berbahaya. Ia mengajarkan bahwa agama bukanlah satu-satunya
jalan keselamatan. Tidak boleh menganggap penganut agama lain tidak benar dan akan
masuk neraka. Asal mereka beriman dan berbuat baik, apa pun agamanya akan selamat.
Bagi pluralis, Islam berarti penyerahan diri pada Tuhan, tidak lebih dari itu. Maka siapa
pun yang menyerahkan diri kepada Tuhan, meskipun secara formal ia berada di luar
agama Islam, boleh disebut Muslim.39
Sebagai contoh, kelompok liberal Islam sering mengatakan, bahwa Islam
bukanlah satu-satunya agama yang benar. Semua agama adalah sama. Semuanya boleh
masuk surga Allah SWT. Mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal Ulil Abshar
Abdalla mengatakan:"Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi,
Islam bukan yang paling benar."40 Ia juga menulis: "Dengan tanpa rasa sungkan dan
kikuk saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan
panjang menuju Yang Maha benar. Semua agama dengan demikian adalah benar,
dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati
jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu
keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya."41
Prof. Dawam Raharjo, seorang tokoh Muhammadiyah Indonesia, membela
keberadaan paham kelompok Ahmadiyah di Indonesia. Dia mengatakan:

"Ahmadiyah sama dengan kita…Jadi kita tidak bisa menyalahkan atau membantah aqidah
mereka, apapun aqidah mereka itu. Kita menyangka aqidah mereka menyimpang. Misalnya,
mereka percaya kalau Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi. Tapi kalau sudah menjadi
kepercayaan mereka, mau apa? Itu 'kan soal kepercayaan. Itu 'kan sama saja dengan kita
percaya pada Nabi Muhammad Saw."42

Konsep teologi Inklusif atau Pluralis yang mengakui kebenaran semua agama,
seperti yang disampaikan para tokoh Islam di Indonesia itu jelas-jelas bercanggah
dengan konsepsi Tauhid Islam, yang secara tegas disebutkan dalam Al-Qur'an"
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam"43 dan " Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu)
darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.44

38
Abdul Munir Mulkhan, ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2002), hal. 44.
39
Lihat, misalnya, Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama,
(Bandung: Mizan Pustaka, 1997; Sukidi, Teologi Inklusiif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001), dan
Nurcholis Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2005).
40
Majalah GATRA, edisi 21 Desember 2002.
41
Harian Kompas edisi 18 November 2002.
42
http://islamlib.com
43
Qs. Ali imron:19
44
Qs. Ali imron: 85
9
Pada tahun 1981, diterbitkan sebuah buku berjudul Pergolakan Pemikiran
Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Di antara isinya ada kata-kata Ahmad Wahib:

"Wah, andaikata hanya tangan kiri Muhammad yang memegang kitab, yaitu al-Hadist, sedang
dalam tangan kanannya tidak ada Wahyu Allah (Al-Qur'an), maka dengan tegas aku katakan
bahwa Karl Marx dan Frederich Engels lebih hebat dari utusan Tuhan itu. Otak kedua orang itu
yang luar biasa dan pengabdiannya yang luar biasa pula, akan meyakinkan setiap orang bahwa
kedua orang besar itu adalah penghuni surga tingkat pertama, berkumpul dengan para nabi dan
syuhada.”45

Semua paham tersebut di atas sesungguhnya lebih merupakan pendangkalan


daripada pendalaman, pengaburan daripada pencerahan. Di Indonesia faham ini disebar
luaskan pertama-tama oleh Sekolah Tinggi Teologi Kristen, dan diikuti oleh para
cendekiawan Muslim. Jadi, pengembangan Teologi Pluralis itu sendiri sebenarnya
merupakan pelaksanaan dari teori Samuel Zwemmer untuk melemahkan umat Islam.
Dengan teologi semacam itu, umat Islam sudah terjebak untuk tidak meyakini
kebenaran agamanya.
2. Relativisme Kebenaran
Paham Pluralisme Agama berakar pada paham relativisme akal dan relativisme
46
iman. Banyak cendikiawan yang sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan menjadi
agen penyebaran paham relativisme ini, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi
Islam. Sebagai contoh, Prof. Dr. Azyumardi Azra, mantan rektor UIN Jakarta menulis
dalam sebuah buku terbitan Fatayah NU dan Ford Poundation:
"Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara
teks, Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu,
belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu
kenyataan dan tidak bisa dielakkan."47

Liberalisme yang timbul dan berkembang di dunia Barat mengusung paham-


paham lain seperti paham relativisme. Paham relativisme merupakan paham yang
menganggap kebenaran itu relatif. Jadi tidak ada kebenaran absolut. Dari paham
relativisme ini lahirlah paham pluralisme agama. Paham ini menganggap bahwa semua
agama adalah benar dan tidak ada agama yang paling benar.
Doktrin relativisme ini mengajarkan bahwa disana tidak ada lagi nilai yang
memiliki kelebihan dari nilai-nilai lain. Agama tidak lagi berhak mengklaim
mempunyai kebenaran absolute, ia hanya difahami sama dengan persepsi manusia
sendiri yang relatif itu. Dari doktrin ini akhirnya kini berkembang pemikiran yang
membedakan agama dan pemikiran keagamaan, “agama itu mutlak sedangkan
pemikiran keagamaan itu relatif”.48 Pernyataan orang yang terjerat oleh logika
relativisme dapat disimak dibawah ini:

45
Lihat buku, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, LP3ES, 2003
(cetakan keenam), p. 98.
46
Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia; fakta dan data, (Dewan Da'wah Islamiyah
Indonesia, 2006), p. 22.
47
Surudin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Jakarta: Fatayat NU dan Ford Foundation,
2005), p. 150.
48
Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam,...,p. 93.
10
“Penafsiran atas sebuah agama (baca:Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan upaya
mempersamakan dan mempersatukan dibawah payung (satu tafsir) agama menjadi
kontraproduktif. Dan kemudian pada gilirannya agama kemudian menjadi sangat relatif ketika
dijelmakan dalam praktik kehidupan sosial sehari-hari.
Pada wilayah ini yang selayaknya menjadi pegangan adalah bahwa kita tidak dapat mengetahui
kebenaran absolut. Kita dapat mengetahui kebenaran hanya sejauh itu absah bagi kita. Artinya
kebenaran yang selama ini kita pahami tak lain adalah kebenaran sepihak." 49

Pernyataan diatas adalah sweeping statement atau generalisasi buta atau mirip
angan-angan. Ketika segala sesuatu dalam agama dinyatakan sebagai suatu yang relatif,
itu berarti tidak ada yang bisa menjadi pegangan dalam agama. Baik buruk akhirnya
tidak ditentukan oleh tuntunan agama melainkan manusia itu sendiri. Manusia adalah
ukuran segalanya. Nilai yang mutlak ditolak , sedangkan nilai yang relatif dipegang
teguh. Tidak ada yang pasti, kecuali kepastian bahwa tidak ada yang pasti. 50 Jika doktrin
ini diterima oleh seorang Muslim maka struktrur ilmu pengetahuan dalam Islam dan
bahkan agama Islam itu sendiri sudah tidak ada artinya apa-apa lagi, karena semua
relatif. Beragama menjadi sia-sia belaka, karena tidak ada kebenaran yang pasti yang
bisa dipegang. Dengan berpegang pada doktrin ini maka ummat Islam tidak lagi
masalah apakah mengikuti cara berfikir Islam atau Barat yang sekuler dan liberal.
3. Liberalisasi Al-Qur'an.
Akhir-akhir ini kerap terdengar seruan perlunya penafsiran ulang alias
reinterpretasi Al-Quran dan ajaran Islam. Alasan yang sering dikemukakan antara lain
karena kitab suci ini dikatakan merupakan refleksi dari reaksi terhadap kondisi sosial,
budaya, ekonomi, dan politik masyarakat Arab Jahiliah abad ke-7 Masehi yang primitif
dan patriarkis. Karena itu, ayat-ayat Al-Quran yang terkesan tidak manusiawi
(barbaric), seperti ayat-ayat jihad/ qital dan hukum pidana (hudud), seperti soal potong
tangan, qishash dan rajam, semua ini perlu ditinjau dan ditafsirkan kembali agar sesuai
dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan nilai-nilai demokrasi, perlu
diinterpretasikan agar sesuai dengan denyut nadi peradaban manusia modern yang
sedang dan terus bertambah.51
Melakukan kritik terhadap al-Qur'an, yang merupakan sumber kekuatan Islam,
merupakan skenario liberal yang berdasarkan pada pengalaman Barat Kristen. Artinya
pengalaman missionaris dalam mengkaji dan mengkritik Bibel itu digunakan untuk
mengkaji dan mengkritik al-Qur'an. Perintisnya yang mulai menerapkan metodelogi
Bibel secara sistematis ke dalam studi al-Qur’an adalah Theodore Noldeke, dengan
karyanya Sejarah al-Qur'an.52Kaitan antara kritik terhadap al-Qur'an dengan
pengalaman mereka terhadap Bibel dapat dicermati dari pernyataan Pendeta Alphonse
mingana (m. 1937) sbb:

49
Khairul Muqtafa, Dalam Sururan (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Jakarta Fatayat NU
dan Ford Foundation, 2005), p. 58.
50
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme,…, p. 173
51
Abdullahi Ahmad An-Na'im, Dekonstruksi Syari'ah,..., p. 166-224.
52
Lihat Adnin Armas, Metodelogi Bibel dalam Studi al-Qur'an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2005), p. 49-50; 54-57.
11
“Sudah tiba masanya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur'an sebagaimana telah kita
lakukan terhadap Bibel Yahudi yang berbahasa Ibrani-Aramaik dan kitab suci Kristen yang
berbahasa Yunani.”53

Salah seorang orientalis yang terkemuka yang menerapkan metode kritis-historis


untuk mengkaji al-Qur'an adalah Arthur Jeffery (m.1959). Ia menyatakan bahwa sudah
seharusnya sarjana Muslim melakukan kritik teks kepada al-Qur'an, sebagaimana yang
telah dilakukan kepada Bibel. Hal ini tampak menurut Jeffery, karena belum ada
satupun dari para mufassir Muslim yang menafsirkan al-Qur'an secara kritis. Ia
mengharapkan agar tafsir kritis terhadap teks al-Qur'an bisa diwujudkan. Caranya
dengan mengaplikasikan metode kritis ilmiah (biblical criticism). Ia dengan terus terang
menyatakan:

“Apa yang kita butuhkan, bagaimanapun, adalah tafsir kritis yang mencontohi karya yang telah
dilakukan oleh orientalis modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis
modern untuk tafsir al-Qur'an.”54

Akibat penerapan biblical criticism dalam studi al-Qur'an, para orientalis


melontarkan berbagai pendapat yang controversial mengenai al-Qur'an seperti: al-
Qur'an telah mengalami berbagai penyimpangan; standartisasi al-Qur'an desebabkan
rekayasa politik dan manipulasi kekuasaan; Ustman ibn Affan salah karena telah
mengkodifikasi al-Qur'an; al-Qur'an ditulis bukan dengan bahasa Arab tetapi bahasa
Aramaik; al-Qur'an adalah karangan Muhammad; terdapat sejumlah kesalahan dalam
penulisan al-Qur'an; tidak ada di dalam al-Qur'an yang orisinal dan berasal dari langit
karena wujudnya pengaruh Yahudi-Kristen yang sangat dominan dalam al-Qur'an,
menyamaratakan qira’ah mutawatirah dengan qira’ah ahadhah, merubah kata dan
kalimat dalam al-Qur'an dan lain sebagainya. Dari hasil kajian kritis tersebut
kesimpulannya adalah perlunya diwujudkan al-Qur'an edisi kritis.55
Upaya ini kemudian di adopsi oleh seorang dosen Ulumul Qur'an UIN Makasar
yang menulis sebuah makalah berjudul Edisi Kritis al-Qur'an, yang didalamnya
menyatakan bahwa al-Qur'an Mushaf Usmani meninggalkan sejumlah masalah tulisan
dan bacaan yang mendasar. Selain itu dia juga menulis buku berjudul Rekonstruksi
sejarah al-Qur'an yang didalamnya ia meragukan kesempurnaan Mushaf Usmani dan
menurutnya tidak layak disucikan.56
Dari kesimpulan bahwa al-Qur'an adalah hasil dari rekayasa politik dan
manipulasi kekuasaan Usman Ibn Affan, pendukung liberal meniru dengan menyatakan;

53
Mingana menyatakan: “The time has surely come to subject the text of thr Kur’an to the same
criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the
Christian Scriptures.”Lihat Alphonse Mingana, “Syiriac Influence on the Style of the Kur’an,” Bulletin
of the John Rylands Library 11: 1927. Dikutip dari, Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran
Islam,…, p. 99.
54
Arthur Jeffery menulis: “What we needed, however, was a critical commentary which should
embody the work done by modern Orientalists as well as apply the methods of modern critical research to
the elucidation of the Koran”. Lihat Arthur Jeffery, Progress in the Study of the Qur’an Text, (The
Maslem World 25, 1935), p. 4.
55
Untuk lebih jelasnya baca: Adnin Armas, Metodelogi Bibel dalam Studi al-Qur'an: Kajian
Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005).
56
Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur'an, (Yogyakarta: FKBA, 2001).
12
“….teks-teks Islam klasik merupakan “perangkap bangsa Arab”, dan al-Qur'an sendiri dalam
beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi “perangkap” bangsa Quraisy sebagai suku
mayoritas. Artinya, bangunan keislaman sebetulnya tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan
Quraisy yang dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab
lain.”57

Aktivis Islam Liberal, Dr. Luthfi Assyaukanie juga berusaha membongkar


konsep dasar Islam tentang al-Qur'an:

"Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa al-Qur'an dari halaman pertama hingga
terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim,
baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma'nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa
al-Qur'an yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa
Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih
merupakan formulasi dan angan-angan teologis yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian
dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan al-Qur'an sendiri
sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari
perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa." 58

Kritik terhadap al-Qur'an ini juga berkaitan dengan proses penerapan metode
hermeneutika dalam memahami al-Qur'an. Sebab yang pertama-tama harus dilakukan
dalam penggunaan hermeneutika ini adalah perubahan status teks al-Qur'an dari teks
ilahi menjadi teks basyari (manusia). Jika status teks sudah diturunkan menjadi bersifat
manusiawi yang meruang dan mewaktu maka dengan hermeneutika seseorang dapat
melakukan perubahan teks(nash) dan juga perubahan makna-makna aslinya untuk dapat
didekonstruksi sesuai dengan konteks sosial yang tidak lain adalah humanisme.59
Sumanto pun secara terang-terangan menyatakan, bahwa al-Qur'an adalah
karangan Muhammad:

"Dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua: "wahyu verbal" ("wahyu eksplisit" dalam bentuk
redaksional bikinan Muhammad) dan "wahyu non verbal" ("wahyu implisit" berupa konteks
sosial waktu itu)."60

Jadi, di berbagai penerbitan mereka, kalangan liberal dan sejenisnya memang


sangat aktif dalam menyerang al-Qur'an, secara terang-terangan. Mereka tidak sekedar
berwacana, tetapi aktif menyebarkan pemikiran yang destruktif terhadap al-Qur'an. Itu
bisa dilihat dalam buku-buku, artikel, dan jurnal yang mereka terbitkan.
3. Liberalisasi Syariat Islam
Salah satu cara agar Islam dapat difahami sesuai dengan pemikiran Barat,
khususnya doktrin humanisme adalah dengan mendekonstruksi syari'ah. Dan ini
dilakukan dengan merubah cara menafsirkan teks keagamaan. Berbagai hukum-hukum
yang tetap (qath'iy) dibongkar dan diubah untuk disesuaikan dengan zaman. Seperti
disebutkan oleh Dr. Greg Barton, salah satu program liberalisasi Islam di Indonesia

57
Sumanto al-Qurtubi, Membongkar Teks Ambigu, http://islamlib.com/id/artikel/membongkar-
teks-ambigu.
58
Luthfi Assyaukanie, "Merenungkan Sejarah Alquran", dalam Abd. Muqsith Ghazali (ed),
Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), p. 1.
59
Hamid Fahmi Zarkasyi, Mengidentifikasi Teori Liberalisme, Jurnal Pemikiran dan Peradaban
Islam ISLAMIA, (Jakarta Barat: Khairul Bayaan Press, 2012), Volume VI No. 1, p. 7.
60
Jurnal Justisia Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang, edisi 27/ 2005.
13
adalah "kontekstualisasi ijtihad". Para tokoh liberal biasanya memang menggunakan
metode 'kontekstualisasi' sebagai salah satu mekanisme dalam merombak hukum Islam.
Sebagai contoh, salah satu hukum Islam yang banyak dijadikan objek liberalisasi adalah
hukum dalam bidang keluarga. Misalnya, dalam masalah perkawinan antar-agama,
khususnya antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim.61Akhirnya bagi kaum liberal,
tidak ada lagi yang tetap dalam agama, sebab mereka memandang agama adalah bagian
dari proses dinamika sejarah, sebagaimana kaum Yahudi dan Kristen liberal dalam
memandang agama mereka.62
Dalam sebuah tulisannya, Azyumardi Azra menjelaskan metode kontekstualisasi
yang dilakukan oleh gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yang dipelopori Nurcholish
Madjid:

"Bila didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang terjadi sejak
tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan 'tradisi' (turats)
dalam satu bingkai analisis yang kritis dan sistematis…Pemikiran para tokohnya didasari
kepedulian yang sangat kuat untuk melakukan formulasi metodelogi yang konsisten dan
universal terhadap penafsiran al-Qur'an; suatu penafsiran yang rasional yang peka terhadap
konteks kultural dan historis dari teks Kitab Suci dan konteks masyarakat modern yang
memerlukan bimbingannya."63

Prof. Dr. Musdah Mulia, tokoh feminis, dalam buku berjudul Muslimah
Reformis, juga melakukan perombakan terhadap hukum perkawinan dengan alasan
kontekstualisasi. Musdah melihat konteks"peperangan" sebagai hal yang harus
dijadikan dasar penetapan hukum. Ia menulis:

”Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu,64 larangan ini sangat wajar mengingat
kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah
peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan
dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu,
ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka
larangan dimaksud tercabut dengan dengan sendirinya." 65

Zainul Kamal, dalam bukunya fiqh lintas agama menegaskan tentang historisasi
pernikahan beda agama. Dia mengatakan:

“Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan
terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana
jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu
yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat
dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-
laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun
agama dan aliran kepercayaannya.”66

61
Lebih Jelasnya baca: Abdullah Ahmad An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, (Yogyakarta: LKiS,
2011).
62
Lebih ditail lagi tentang wacana dekonstruksi syari'ah kaum liberal, baca: Abdullahi Ahmad
An-Na'im, Dekonstruksi Syari'ah, (Yogyakarta: LKiS, 2011).
63
Lihat, Pengantar Azyumardi Azra untuk buku Dr. Abd A'la, Dari Neomodernisme ke Islam
Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2003), p. xi.
64
(Qs. al-Mumtahinah:10).
65
Musdah Mulia, Muslimah Reformis,( Bandung: Mizan, 2005), p. 63.
66
Zainul Kamal, Fiqh Lintas Agama, (Paramadina: 2004), p. 164.
14
Dan masih terdapat banyak lagi pernyataan-pernyataan tokoh liberal, yang
menyatakan sikapnya terhadap perlunya mendekonstruksi syari’ah sehingga sesuai
dengan zaman. Padahal, Islam adalah agama yang sudah sempurna sejak awalnya.67
Sejak lahirnya, Islam sudah dewasa, bukan lahir bayi, lalu berkembang menjadi dewasa,
sebagaimana agama-agama sejarah dan budaya, seperti Yahudi dan Kristen, dan
sebagainya. Karena itu, konsep dasar aqidah dan ritual (ibadah) dalam Islam bersifat
final, dan tidak berkembang mengikuti proses dinamika sejarah, sebab Islam bukan
agama sejarah.
Selain itu dekonstruksi syari'ah dilakukan dengan mempersoalkan maslahah.
Argumentasinya yaitu, karena tujuan ditetapkannya hukum Islam adalah untuk
menciptakan maslahah kepada ummat manusia maka maqasid syari'ah itu lebih utama
daripada Syari'ah. Padahal yang benar adalah bahwa setiap hukum syari'ah itu
mengandung maslahah. Disini yang dibidik kaum liberal adalah makna maslahah,
sebab ia dapat dibawa kepada konteks sosial budaya dan akhirnya dibawa kepada
doktrin humanisme. Targetnya adalah membawa hukum Islam agar sejalan dengan
doktrin-doktrin kebudayaan Barat yang berdasarkan prinsip humanisme.68
Dari Fakultas Syari'ah IAIN Semarang, bahkan muncul gerakan legalisasi
perkawinan homoseksual. Mereka menerbitkan buku berjudul: Idahnya Kawin Sesama
Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual. Buku ini adalah
kumpulan artikel di justisia Fakultas Syari'ah IAIN Semarang edisi 25, Th XI, 2004.
Dalam buku ini ditulis strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan
perkawinan homoseksual di Indonesia, yaitu: (1) mengorganisir kaum homoseksual
untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas Negara, (2)
memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum
homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fitrah, sehingga masyarakat tidak
mengucilkan bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan
kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan kritik dan reaktualisasi
keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum
homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU perkawinan harus antara laki-laki dan
wanita."69
Pada bagian penutup buku tersebut, anak-anak fakultas Syari'ah IAIN Semarang
tersebut menulis kata-kata yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh seorang
Muslim pun, yaitu "Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai
sesuatu yang abnormal dan bahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun
dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah
meklum, bahwa proyeknya mencipptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan."

Dampak Liberalisasi Pemikiran Islam Terhadap Kehidupan Sosial


Liberalisasi pemikiran Islam melalui program westernisasi dan globalisasi dalam
beberapa program diatas, memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan
sosial ummat Islam. Dalam bukunya Islam versus the West, Maryam Jameela, seorang

67
(Qs. al-Maeda: 3).
68
Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam,...,p. 110.
69
Lihat buku Indahnya Kawin Sesama Jenis: Domokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum
Homoseksua, (Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama/ eLSA, 2005), p. 15.
15
keturunan Yahudi Amerika yang sebelum memeluk Islam bernama Margareth Marcus,
memaparkan bahwa antara Islam dan Barat terdapat perbedaan yang fundamental.
Sehingga, menurutnya, tindakan imitatif atau penjiplakan terhadap pandangan hidup
Barat yang berbasiskan materialisme, pragmatisme, dan filsafat sekuler, akan berujung
pada pemusnahan Islam.70
Dengan prinsip menjunjung tinggi kebebasan individual, liberalisme
memperbolehkan setiap orang melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya.
Manusia tidak lagi harus memegang kuat aturan-aturan agama. Bahkan, kalau memang
aturan agama yang ada tidak sesuai dengan kehendak manusia, maka yang dilakukan
kemudian adalah menafsir ulang ayat-ayat Tuhan agar tidak bertabrakan dengan prinsip-
prinsip dasar liberalisme. Wajar jika kemudian, berbagai tindakan amoral pun,
sebagaimana yang terjadi pada kasus-kasus homoseksual, seks bebas, dan aborsi, bisa
dianggap legal karena telah mendapatkan justifikasi ayat-ayat Tuhan yang telah ditafsir
ulang itu. Berikut dampak-dampak liberalisasi pemikiran dalam konteks sosial yang
diklasifikasikan dalam bidang syari'ah, aqidah, dan akhlak:

1. Dampak sosial dalam bidang syari'ah


Dalam bidang syari'ah, liberalisasi Islam akan berdampak pada relativitas
hukum-hukum syari'at yang telah pasti dan absolute. Bagi mereka hukum-hukum Islam
tersebut perlu untuk ditinjau kembali dan disesuaikan dengan konteks perkembangan
zaman. Karena zaman sekarang dunia dikuasai oleh pradaban Barat yang berpahamkan
paham-paham sekuler dan liberal, maka secara otomatis Islam harus mengikuti nilai-
nilai liberal tersebut, meskipun nilai-nilai tersebut tidak sesuai dengan pandangan
agama. Akhirnya kebenaran mendasar dari agama dipandang hanya sebagai teori-teori,
atau dibuangnya sebagai ilusi yang sia-sia. Nilai absolut ditolak dan nilai relatif
diafirmasi; tidak ada yang pasti, kecuali kepastian bahwa tidak ada yang pasti. 71
Relativitas nilai inilah yang kemudian banyak memberikan dampak negatif bagi
kehidupan sosial masyarakat. Baik bagi seluruh masyarakat dunia umumnya, maupun
umat Islam secara khusus. Agama Kristen dan yahudi yang berada di Barat secara
otomatis telah lebih dahulu diliberalkan, sehingga mengakibatkan pemisahan agama
dari publik, dan tambah menjauhkan penganutnya dari agama. Agama akhirnya
dimarginalkan dan menjadi masalah privat. Kini wacana liberalisasi pemikiran tersebut
ingin digulingkan kepada agama Islam. 72

70
Maryam Jameela, Islam versus The West, (Saudi Arabia: Abul Qasim Publishing House,
1994), p. 57.
71
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena,…, p. 26.
72
Hampir tidak ada manusia yang saat ini bebas dari pengaruh hegemoni barat, agama yahudi
dan agama kristenpun tak luput dari pembaratan. Liberalisasi telah melanda kedua agama ini sejak
beratus-ratus tahun yang lalu. Pada abad ke-19 di jerman muncul gerakan yahudi liberal, antara lain
dipelopori oleh Abraham Geiger, kini yahudi liberal sudah berkembang menjadi satu sekte sendiri dalam
agama yahudi. Mereka mempunyai sinagog sendiri, rabi(pendeta) yahudi sendiri, cara ibadah sendiri, dsb.
Tahun 2005 secara resmi yahudi liberal menyelenggarakan perkawinan homo seksual dan lesbian di
sinagog mereka. Dikalangan Kristen, gerakan keristen liberal juga sudah meraja lela. Kasus perkawinan
homo seksual dikalangan pemuka agama kristenpun sudah terjadi dimana-mana, misalnya Gene Robinson
seorang pastur homo seksual di New Hampshire amerika serikat, selama 14 tahun menikah dengan Mark
Andrew. Anehnya dalam foting pemilihan uskup tahun 2003 mayoritas pastur greja anglikan justru
memilih Gene Robinson. Terpilihnya Gene robinson sebagai tokoh penting dalam Gereja bisa dikatakan
16
Selain melatakkan ayat-ayat secara kontekstual dan menekankan maslahah
daripada syari'ah, kaum liberal mengkaitkan ijtihad para ulama dalam bidang hukum
dengan kondisi sosial budaya ketika ijtihad itu dihasilkan. Oleh sebab itu pemikiran
ulama itu relatif karena terikat oleh ruang dan waktu. Dengan cara berfikir setelah ini
hasil pemikiran ulama dimasa lalu yang sangat berharga itu dianggap tidak relevan lagi
zaman sekarang. Sehingga ijtihad para ulama yang telah menentukan mana ayat
muhkamat dan mana yang mutasyabihat juga ikut dinafikan. Makna yang sudah pasti
dalam al-Qur'an itu dicari konteksnya akhirnya menjadi ambigu, sedangkan ayat-ayat
yang ambigu yang sejalan dengan paham liberal dijadikan muhkamat.73
Bagi Muhammad Shahrur, dekonstruksi sumber hukum kemudian berakhir pada
teori batas (nazhariyyah al-hudud). Dari teori hudud ini banyak yang menjadi boleh.
Sebagaimana contoh jika antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan
mendekati zina tetapi belum berzina, maka keduanya belum terjatuh pada batas-batas
hudud Allah. Kemudian aurat bagi Shahrur, bukan bagian dari syari'ah karena tidak ada
batasan di dalam kitab Allah (al-Qur'an). Aurat adalah ketidaksukaan sesuatu ketika
terlihatnya sesuatu, baik dari tubuhnya ataupun perilakunya dan tidak ada hubungannya
dengan halal dan haram. Sedangkan malu itu menurutnya adalah relatif, berubah-
berubah sesuai dengan adat istiadat, zaman, dan tempat.74
Sebagai contoh, fenomena sosial yang muncul akibat relativisme kebenaran dan
dekonstruksi syari'ah adalah sebagai berikut:
a) Freesex, Kebebasan melakukan hubungan seks dengan lawan jenis tanpa
ikatan pernikahan (freeseks) saat ini menjadi tren baru pergaulan remaja dan pria-wanita
dewasa. Hubungan seks yang dianggap sebagai privasi individu tidak boleh dicampuri
oleh aturan agama atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Selama individu tersebut
senang, sukarela, dan suka sama suka, maka masyarakat dan agama tidak patut
menghukumi mereka. Dampak terkejam dari perilaku seks bebas adalah kecenderungan
manusia untuk lari dari tanggung jawab. Pelaku seks bebas pada umumnya tidak
menginginkan dari hubungan yang mereka lakukan lahir seorang anak. Mereka
melakukannya dengan tujuan untuk memuaskan kebutuhan nafsu seksualnya saja.
Karena itu, kejahatan yang mereka lakukan, jika kemudian terjadi kehamilan, adalah
aborsi. Esensi perbuatan tersebut adalah membunuh manusia, calon generasi penerus
manusia.
Sangatlah tepat ketika agama mensyari'atkan pernikahan dengan maksud untuk
menjaga kelestarian manusia yang mengemban kekhalifahan di muka bumi. Hanya dari
sebuah pernikahan akan lahir sebuah keluarga yang normal, yang siap mengasuh dan
mencetak anak-anak sebagai penerus generasi umat manusia. Memang, bisa saja dari
hubungan seks tanpa ikatan pernikahan akan lahir anak-anak, tetapi memiliki dampak
pada proses tumbuh-kembang mereka secara psikologis. Anak-anak yang tidak tumbuh
dalam sebuah keluarga normal tentu akan mengalami guncangan psikologis yang sangat
dahsyat.

sebagai satu puncak kesuksesan gerakan liberalisasi di dunia Kristen. Mereka berhasil
menjungkirbalikkan suatu ketentuan yang sangat tegas di dalam Bible, yang mengutuk perbuatan
homoseksual. (Lihat: Kitab Imamat 20:13) Inilah liberalisasi dalam yahudi dan Kristen yang sekarang
digulingkan kedalam agama Islam. Lihat: Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat,…, p. 6.
73
Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam,...,p. 110.
74
Untuk lebih jelasnya lihat, Daden Robi Rohman, Telaah Kritis "Pembaharuan" Tafsir Ayat-
ayat Hukum M Shahrur, Jurnal Pemikiran Dan Peradaban Islam ISLAMIA, vol. VI No.1 2012, p. 32.
17
b) Homoseksual, Logika kebebasan individu asal tidak merugikan orang lain
ini, telah menjebak masyarakat Barat dan masyarakat secular lainnya untuk menerapkan
hukum yang berdasarkan pada 'hak individu', seperti dalam kasus zina. Jika zina
dihalalkan oleh masyarakat dan Negara, lalu apa logikanya Negara mau mengharamkan
homoseksual. Semua ajaran yang dibawa para nabi kepada umat manusia melarang
secara tegas perbuatan homoseksual. Homoseksual adalah perbuatan yang kejam dan
termasuk dosa besar. Kaum Nabi Luth as. dihukum dengan hujan batu oleh Allah
karena suka melakukan tindakan homoseksual.75Demikian pula dalam Bible kitab
Imamat 20:13 disebutkan: "Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang
bersetubuh dengan perempuan, jadi mereka melakukan suatu kekejian, pastilah mereka
dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri."76
c) Single Parent, Pada tataran keluarga, jargon kebebasan (liberty) dan
persamaan (egality) yang didengungkan kaum feminis secara ekstrem telah
memunculkan semangat melawan dominasi laki-laki sebagai pemimpin keluarga.
Padahal, dalam Islam secara lugas telah ditetapkan bahwa laki-laki (suami) adalah
pemimpin atas wanita (istri)77 Akibatnya, timbul konflik apakah wanita atau laki-laki
yang lebih tepat mengemudikan sebuah keluarga di tengah banyaknya wanita saat ini
yang memiliki kemampuan finansial maupun manajerial. Konflik-konflik tersebut
antara lain kemudian berujung pada single parent, freeseks, aborsi, atau adopsi. Banyak
wanita/pria lebih memilih hidup sendiri.
Kebutuhan akan anak mereka penuhi dengan adopsi. Kebutuhan seksual mereka
penuhi dengan melakukan hubungan bebas. Kalau tidak mau direpotkan dengan anak,
mereka tinggal mencari dokter atau tenaga medis lain untuk melakukan aborsi.
Sungguh, ini merupakan kenyataan keji yang terjadi di tengah umat manusia saat ini,
yang katanya punya akal dan mengaku bertuhan (religius). Padahal faktanya, kelakuan
mereka lebih rendah daripada binatang dan banyak bertentangan dengan norma-norma
yang ditetapkan Allah dalam agama.
Negara-negara Barat tentu tidak merasa perlu menyeru masyarakat Muslim
untuk murtad dari Islam, karena ini pasti akan ditentang habis-habisan oleh umat Islam.
Cukuplah mereka mengajak kaum Muslim untuk mengikuti budaya yang mereka
produksi, semisal kebebasan berekspresi, hak asasi manusia, pergaulan bebas,
eksploitasi tubuh wanita, aborsi, single parent, homoseksual, dan lain-lainnya. Lalu
sejengkal demi sejengkal umat Muslim meninggalkan aturan agamanya dengan suka
rela. Hal ini sesuai dengan apa yang ditargetkan oleh Samuel M Zwemer.
Ini adalah bahaya yang harus segera disadari dan dilawan oleh seluruh umat
Islam. Sebab, kerusakan liberalisme telah demikian nyata sehingga tidak boleh diberi
tempat sedikitpun dalam tubuh umat Islam. Justru yang harus terus digencarkan adalah
memulihkan kesadaran kaum Muslim untuk senantiasa terikat dengan syariat Islam.
Hanya syariat Islamlah yang berlandaskan pada petunjuk Allah yang akan mampu
mengembalikan umat manusia ke derajat kemuliaannya. Sebab syari'ah adalah sumber
segala perlakuan terhadap manusia. Dalam syari'ah terdapat maslahat yang telah
didesain oleh Allah melalui wahyu. Tapi tidak semua yang dianggap maslahat manusia

75
Qs. al-A’raf : 80-84.
76
Bible kitab Imamat 20:13
77
Qs. an-Nisa’: 34.
18
dapat dibenarkan syari'at. Pelacuran, homoseksual, lesbianisme, nikah bebas agama bagi
yang anti agama adalah maslahat, tapi tidak dibenarkan syari'at.

2. Dampak sosial dalam bidang aqidah


Liberalisasi pemikiran Islam dengan doktrin pluralisme agamanya memberikan
dampak yang besar terhadap aqidah seseorang. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya diatas, bahwa doktrin pluralisme agama menyatakan bahwa tidak ada
kebenaran yang tunggal. Artinya semua benar, dan tidak boleh memiliki keyakinan
bahwa agama dan kepercayaan mereka itu benar dan paling benar. Dengan demikian,
hal ini juga berarti bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.
Dalam pandangan Islam, paham Pluralisme Agama jelas-jelas merupakan paham
syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Padahal, Allah SWT
telah menegaskan, bahwa hanya Islam agama yang benar dan diterima disisi Allah
SWT;78 dan barang siapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima oleh
Allah dan di Hari Akhir nanti termasuk orang-orang yang merugi.79
Sebagai contoh, fenomena sosial yang muncul akibat liberalisme pemikiran
dalam bidang aqidah adalah sebagai berikut:
a) Kawin antar agama
Dampak yang lebih kongkrit dan berbahaya dari paham pluralisme adalah
dilegalkannya praktek kawin beda agama. Untuk itu para cendekiawan Muslim Liberal
mencoba merubah konsep ahlul kitab dalam al-Qur'an dan Hadith, dengan memasukkan
semua agama sebagai ahlul kitab. Ini dimaksudkan untuk suatu kesimpulan bahwa
semua agama adalah sama benarnya. Karena semua agama sama, maka muncullah
hukum baru yang membolehkan wanita Muslim kawin dengan laki-laki Kristen.
Jika dilacak lebih jauh maka penerimaan paham pluralisme agama berarti
penerimaan agama lain sebagai sama benarnya dengan Islam. Malangnya, gagasan ini
mendapat sambutan yang positif dari sekolompok cendekiawan Muslim yang didukung
oleh universtias Paramadina. Buku yang berjudul Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan
oleh Yayasan Paramadina adalah hasil dari pemikiran pluralisme agama yang
disebarkan Barat.80 Islam mengakui adanya pluralitas agama (keberagaman agama) tapi
menolak ide pluralisme agama (kesatuan agama-agama).81
Kita perlu benar-benar memperhatikan pemikiran dan perilaku para penganjur
perkawinan antar-agama dari kalangan cendikiawan Muslim dan aktivis liberal ini.
Sebab, sadar atau tidak, melalui pemikiran dan tindakan tersebut, mereka sebenarnya
sudah melakukan sebuah tindakan yang merobohkan bangunan masyarakat Islam dari
dasarnya, yaitu merusak institusi keluarga Muslim. Padahal, dari keluarga inilah
diharapkan akan lahir generasi masa depan yang tangguh, yang tentu saja harus didasari

78
Qs. Ali imron:19.
79
Qs. Ali imron:85.
80
Mun'im. A Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,
(Jakarta: Paramadina-The Asia Foundation, 2003), Tim penilis buku ini adalah Nurcholish Madjid,
Kautsar Azahari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F, Mas'udi, Zainun Kamal, Budhi Munawar
Rachman, Zuhairi Misrawi, Ahmad Gaus AF, dan Mun'im. A Sirry.
81
Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Refleksi Tentang Islam,.., p. 182.
19
dengan keimanan yang kokoh. Jika di tengah keluarga ini kedua orang tuanya berbeda
keimanan, bagaimana mungkin akan terbangun generasi anak yang shalih menurut
Islam?

3. Dampak sosial dalam bidang akhlak


Setelah hukum-hukum syari'at ditinjau kembali, yang berimplikasi pada
melemahnya aqidah, dampak liberalisasi kemudian masuk kedalam ranah akhlak. Baik
dan buruk tidak lagi ditentukan oleh syari'at agama, melainkan kepada kesepakatan
manusia. Semua yang pasti akhirnya berubah menjadi relatif. Tidak ada lagi yang bisa
jadi pegangan. Quran dan hadis tianggap tidak sesuai dengan zaman, sehingga
memerlukan interpretasi ulang mengikuti perkembangan zaman. Ulama pun tidak lagi
dihiraukan, karena dianggap terlalu otoriter membatasi kebebasan berekspresi. Jika ini
yang terjadi pada umat Islam. Maka tidak ada yang tersisa dalam Islam. Dampaknya
adalah pengrusakan akhlak pada generasi-generasi Islam.
Sebagai contoh, fenomena sosial yang muncul akibat liberalisme pemimiran
dalam bidang akhlak adalah sebagai berikut:
a) Kebebasan Berekspresi
Barat sangat percaya diri, bahwa cara pandang dan pola hidup mereka adalah
yang terbaik dan universal yang bisa diterapkan untuk seluruh dunia, Bahkan makanan
Barat pun dianggap baik dan enak dimakan oleh non-Barat. Barat juga melihat dirinya
sebagai peradaban yang maju dan yang lain mundur.82 sehingga mereka juga berusaha
memaksakannya untuk seluruh umat manusia, dengan berbagai cara. Kaum sekular-
liberal dengan mudahnya berfikir, bahwa “kebebasan berekspresi” adalah “standar
moral yang mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat”.83 Sekularisasi dan liberalisasi
seolah-olah menjadi keharusan bagi umat manusia. Manusia tidak diberikan kesempatan
untuk membangun dan mengembangkan peradabannya sendiri. Sebab, hal itu akan
menjadi tantangan bagi hegemoni peradaban Barat sebagai kekuatan hegemonik, yang
tidak mau disaingi dan ingin menjadi kekuatan tunggal.
Logika kaum liberal ini berasal dari prinsip “humanisme sekular” yang
menempatkan manusia sebagai Tuhan dan Tuhan dipermanusiakan. Tuhan bukan lagi
pusat dan ukuran segala sesuatu. Manusialah yang menentukan segala hal, dengan
kebebasan individunya asal tidak merugikan orang lain. Nilai yang mutlak ditolak ,
sedangkan nilai yang relative dipegang teguh. Tidak ada yang pasti, kecuali kepastian
bahwa tidak ada yang pasti.84 Mereka tidak mau ada campur tangan agama dalam
masalah moral. Mereka ingin mengatur diri mereka sendiri. Menurut mereka, Tuhan
tidak berhak campur tangan dalam masalah kehidupan, karena manusia lebih hebat dari
Tuhan. Meskipun agama jelas-jelas melarang, Negara, ulama, atau yang lainnya tidak
akan dihiraukan.
Luthfi Assyaukanie, dalam artikelnya berjudul Empat Agenda Islam yang
Membebaskan menegaskan tentang kebebasan berekspresi. Dia mengatakan:

82
A. Qodri azizy, melawan globalisasi reinterpretasi ajaran Islam,…,p. 116
83
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat,…, p. 24
84
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme,…, p. 173
20
"Islam dengan wajahnya yang keras, penuh pemaksaan, dan intoleransi tampaknya tak lagi bisa
dipertahankan bagi kehidupan kita sekarang ini yang semakin menuntut keterbukaan, toleransi,
dan persamaan hak. Begitu juga, wajah Islam yang lusuh, terbelakang, dan ahistoris sudah tak
lagi memiliki tempat dalam kehidupan modern yang semakin menuntut adanya rasionalisasi dan
pragmatisme dalam setiap bidang kehidupan…. Atas dasar itu, Islam menghargai pendapat atau
karya seseorang. Tak ada hak bagi siapapun untuk melarang seseorang memiliki kebebasan
berpendapatnya. Namun demikian, Islam mengakui adanya batasan-batasan dalam berekspresi.
…Dengan demikian, kasus-kasus kebebasan berekspresi yang selama ini menimpa kaum muslim,
menjadi wewenang negara untuk menyelesaikannya, dan bukan wewenang para ulama atau
tokoh agama apapun. Para ulama tidak memiliki hak untuk menilai dan apalagi menghukum
seseorang berkaitan dengan kebebasan berpendapatnya." 85

Ketika batasan moral diserahkan kepada akal dan kesepakatan manusia semata,
maka akan terjadi penghancuran batas atas moral yang pasti. Karena itu, Islam tidak
mengenal proses “evolusi nilai” secara mutlak. Zina, homoseksual, perjudian sejak dulu
hingga akhir zaman, tetap haram hukumnya. Promosi nilai-nilai moralitas sekuler-Barat
yang terlepas dari agama, menjadikan batas-batas nilai menjadi kabur. Maka ditengah
masyarakat bisa menjadi persepsi yang timpang. Perzinaan dianggap hal biasa,
sedangkan korupsi dianggap sebagai kejahatan yang serius dimana dalam hal ini telah
membudaya di Indonesia khususnya. Homoseksual dan pelacuran dipandang bukan
dosa, sedangkan poligami dipandang sebagai kejahatan. Jika pandangan itu telah
muncul, maka nilai moral agama akan hancur dan memasuki lingkaran setan
kebingungan yang tiada ujung.

Kesimpulan
Jadi liberalisme pemikiran Islam yang diklaim oleh sebagian orang sebagai
pembaharuan pemikiran Islam ternyata merupakan hasil adopsi atau duplikasi dari ide-
ide dan konsep-konsep yang terdapat dalam tradisi keagamaan dan peradaban Barat.
Liberalisme yang bermula dari bidang sosial dan politik dalam peradaban Barat, telah
memarjilnalkan agama atau memisahkan agama dari urusan sosial dan politik secara
perlahan-lahan. Kemudian agama dibawa tunduk di bawah kepentingan politik dan
humanisme. Ketika pandangan Barat ini gencar diekspor ke negara-negara Islam, tak
sedikit cendikiawan Muslim yang mengimpor pemikiran Barat ini. Bahkan mereka
dengan membabi buta menawarkan konsep ke semua elemen masyarakat. Akhirnya
banyak dari mereka yang berfikir “agar maju, umat Islam harus meniru Barat”. Di
Indonesia sendiri banyak dari kalangan cendikiawan Muslim baik yang berstatus
mahasiswa, dosen atau aktifis yang telah tersusupi paham liberalisme. Tantangan
pemikiran akhirnya bukan lagi berasal dari luar, melainkan berasal dari tubuh Islam
sendiri.
Jika liberalisme tersebut diadopsi kedalam pemikiran Islam, yang berimplikasi
pada relativitas kebenaran, maka kebenaran mendasar dari agama dipandang hanya
sebagai teori-teori, atau dibuangnya sebagai ilusi yang sia-sia. Nilai absolut ditolak dan
nilai relatif diafirmasi; tidak ada yang pasti, kecuali kepastian bahwa tidak ada yang
pasti. Akhirnya kerusakan akhlak dan aqidah pun tidak bisa dihindarkan sehingga
kehidupan sosial masyarakat menjadi korban. Maka dari itu liberalisasi yang dipicu oleh
globalisasi dan westernisasi, lebih merupakan perang pemikiran, perang konsep, dan

85
Luthfi Assyaukanie, Empat Agenda Islam yang Membebaskan,http://islamlib.com/id/artikel/
21
perang ide. Namun menghadapi ini semua bukanlah melalui perang fisik, atau perang
sistem dan tatanan hukum Islam. Melainkan melalui aqidah, pendidikan, akhlak, ibadah
Islam serta ketundukan terhadap kekuasaan Allah. Jadi, kuncinya adalah kembali
kepada Islam sebagai agama yang dianut secara taat dan suka rela karena sadar akan
rububiyyah (ketuhanan) Allah SWT.
Akhirul Kalam, Hal ini bisa terjadi setelah Islam betul-betul tertanam dalam
kesadaran pikiran dan kemudian terpatri dalam hati sanubari. Karena itulah, keyakinan
rasio yang ditopang oleh rasa cinta, sikap takzim, dan keteguhan hati adalah yang akan
mampu mengalahkan semua tantangan, baik internal seperti berbagai tradisi dan
fanatisme, ataupun eksternal seperti arus peradaban asing yang masuk ke dalam
pemikiran Islam. Penanaman kesadaran tersebut tentunya melalui peningkatan
pengetahuan Muslim dalam berbagai bidang ilmu agama. Tradisi keilmuan yang
dikembangkan dari pandangan hidup Islam yang bersumber dari al-Qur'an, Sunnah, dan
warisan tradisi intelektual Islam perlu terus dipertahankan dan dikembangkan. Wallahul
musta'an.

Daftar Pustaka
Al-Qur'an al-karim
Abdul Hamid, dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2010).
Abd A'la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2003).
Abd. Muqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal,
2005).
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan
Pustaka, 1997
Ansary, Abdou Filali, Pembaruan Islam, Dari Mana dan Hendak ke Mana?, (Jakarta:
Mizan, 2009).
Azizy, A. Qodri, Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM
dan Terciptanya Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Ariel Heryanto, (ed), Budaya Populer Di Indonesia; Mencairnya Identitas Pasca-Orde
Baru, (Yogyakarta: Jalasutra, 2012).
Al-Ghazali, Muhammad, Al-Ghazali Menjawab 100 Soal KeIslaman, (Jakarta: Lentera
Hati, 2011).
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Bairut, Lebanon: Daar al-Qolam).
Al-Faruqi, Isma'il Raji, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988).
Abdul Hamid, dkk, Pemikiran Modern Dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia,2010).
Al-Buti, Muhammad Sa'id Ramadan, dan Tayyib Tizini, Finding Islam; Dialog
Tradisionalisme, Liberalisme Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1998).
Arfan Muammar, Majukah Islam dengan menjadi sekuler, (Gontor: CIOS, 2007).
Abdullah, Abdurrahman Saleh, Teori-teori Pendidikan berdasarkan Al-Qur'an,
(Jakarta, Rineka Cipta, 1990).
22
Adnin Armas, Pengaruh Kristen Orientalis Terhadap Islam Liberal; Dialog Interaktif
dengan Aktivis Jaringan Islam Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2003).
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, (Jakarta: Gema Insani, 2005).
___________, Penyesatan Opini, (Jakarta: Gema Insani, 2002).
___________, Liberalisasi Islam di Indonesia; fakta dan data, (Dewan Da'wah Islamiah
Indonesia, 2006), p. 12.
Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia; Pengusung Ide Sekularisme,
Pluralisme, dan Liberalisme Agama, (Jakarta Timur: Hujjah Press, 2007).
Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (New Tork: HarperSanFrancisco, 2002).
Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal, (Depok: Perspektif,
2010).
Fuad, Ahmad Nur, dkk, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam, (Malang:
LPSHAM Muhammadiyah Jatim MADANI, 2010).
Habanakah, Abdul Rahman H, Metode Merusak Akhlak Dari Barat, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1995).
Hossein Askari, dkk, Globalization and Islamic Finance; Convergence, Prospects, and
Chalenges, (singapure, Wiley Finance, 2010).
J. A. Simpson, and E. S. C. Weiner (eds.), The Oxford English Dictionary, 2nd
ed., Vol. 8, (Oxford: Oxford University Press, 1989), p. 881.
Johan Meuleman, Islam in the era of Globalization; Muslim attitudes towards
modernity and identity/ edited by Johan Meuleman, (Jakarta: INIS, 2001).
Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam; Analisis Pemikiran Prof. Syed
Muhammad Al-Naquib al-Attas,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2009).
Khadhar, Lathifah Ibrohim, Ketika Barat Memfitnah Islam, (Jakarta: Gema Insani,
2005).
Khairul Muqtafa, Dalam Sururan (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Jakarta
Fatayat NU dan Ford Foundation, 2005).
Machan, Tibor R, Kebebasan Dan Kebudayaan: Gagasan tentang Masyarakat bebas,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006).
Maryam Jameela, Islam versus The West, (Saudi Arabia: Abul Qasim Publishing
House, 1994).
Mulkhan, Abdul Munir, ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2002).
Mahmud, Ali Abdul Halim, Karakteristik Umat Terbaik; Telaah Manhaj, Akidah dan
Harakah, (Jakarta: Gema Insani, 1996).
Muhammad Quthub, Islam Agama Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
Nurcholis Madjid, dkk, Fiqh Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2005).

23
Pamungkas, M. Imam, Akhlak Muslim Modern; Membangun Karakter Generasi Muda,
(Bandung: MARJA, 2012).
Samuel p. Huntington, The Clash of Civilizations?, Foreign Affairs, volume 72 no.3,
Summer 1993
Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, Oxford University Press, Oxford.
Sukidi, Teologi Inklusiif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001).
Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008).
Tomas Shivute, The Theology of Mission and Evangelism, (Helsinki: The Finnish
Society for Missiology and Ecumenics, 1980)
Zarkasyi, Hamid Fahmi, Misykat; Refleksi Tentang Islam, Westernisasi dan
Liberalisasi, (Jakarta: INSIST. 2012).
_____________________, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama
Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Gontor: CIOS, 2008).
_____________________, dkk, Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi di Dunia
Islam, (Jakarta Selatan: Khairul Bayan, 2004).
Zuly Qodir, Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009).
Jurnal Pemikiran Dan Peradaban Islam ISLAMIA, vol. VI No.1 2012.
Jurnal Justisia Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang, edisi 27/ 2005.
Majalah GATRA, edisi 21 Desember 2002.
The New Encyclopedia of Britanica, University of Chocago, 1991, vol. 11.
http://www.foreignaffairs.com
http://islamlib.com
http://en.wikipedia.org

24

Anda mungkin juga menyukai