Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar adalah kebutuhan setiap mahluk hidup, terlebih bagi manusia.
Belajar berlangsung sepanjang hayat. Sejak dari buaian bunda hingga berada
di liang lahat. Untuk mencapai suatu tujuan atau cita-citanya manusia harus
melalui proses belajar. Belajar, disamping penambah pengetahuan,
pengalaman dan keterampilan juga untuk mengembangkan sikap dan pola
hidup di tengah-tengah masyarakat. Dalam pandangan Islam belajar
merupakan kewajiban bagi setiap manusia baik dia laki-laki ataupun
perempuan. Hal ini sesuai perintah Rasulullah SAW. Belajar dimulai dengan
“membaca” apa yang tersirat ataupun yang tersurat dari segala ciptaan Allah.
Belajar dimulai dari apa yang belum kita ketahui sampai kepada mernadukan
dari pengetahuan dan pengalaman yang telah kita miliki (Al-Quran: AI-Alaq:
1-5).
“Long life education” belajar sepanjang hayat, sejak dari buaian sampai
ke liang lahat. Istilah tersebut adalah sang motivator bagi pembelajar untuk
memperbaiki kehidupan dan untuk mencapai derajat yang mulia. Namun
belajar yang baik harus mengikuti teori-teori belajar yang baik pula. Ada
beberapa aspek teori belajar menurut Islam yang layak untuk dijadikan
sebagai lentera bagi pembelajar dalam menekuni ilmu pengetahuan,
diantaranya adalah Taqlid (Imitasi/Peniruan), Tajribah wa Khatha’(Trial dan
Error), dan Tafakkur (Berpikir).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah peristiwa belajar di dalam Al Qur’an dan hadits ?
2. Metode belajar apa sajakah menurut perspektif Al Qur’an dan Hadist ?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui peristiwa belajar di dalam Al Qur’an dan Hadits
2. Untuk mengetahui metode apa sajakah yang terdapat di dalam Al Qur’an
dan hadits

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Peristiwa Belajar menurut Al Qur’an dan hadits


Pandangan al-Qur’an terhadap aktivitas pembelajaran, antara lain dapat
dilihat dalam kandungan ayat 31-33 al-Baqarah:
‫)قالوا‬31(‫وعلم ءادم األسماء كلها ثم عرضهم على المالئكة فقال أنبئوني بأسماء هؤالء إن كنتم صادقين‬
‫)قال ياآدم أنبئهم بأسمائهم فلما أنبأهم بأسمائهم قال‬32(‫سبحانك ال علم لنا إال ما علمتنا إنك أنت العليم الحكيم‬
‫)البقرة‬33(‫ألم أقل لكم إني أعلم غيب السموات واألرض وأعلم ما تبدون وما كنتم تكتمون‬
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:
“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang
yang benar!”
Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui
selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda
ini”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah
berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku
mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirPerkan
dan apa yang kamu sembunyikan?”
Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, ayat ini menginformasikan bahwa
manusia dianugrahi ALLAH potensi untuk mengetahui nama-nama atau fungsi
dan karakteristik benda-benda, misalnya fungsi api, angin dan sebagainya. Dan ia
juga dianugrahi untuk berbahasa. Itulah sebabnya maka pengajaran bagi anak-
anak bukanlah dimulai melalui pengajaran “kata kerja”, tetapi terlebih dahulu
mengenal nama-nama . Ini ayah, Ibu, anak, pena, buku danlain sebagainya.1
Senada dengan penjelasan di atas, Prof. H. Ramayulis, menyatakan
bahwa Allah telah mengajarkan berbagai konsep dan pengertian serta
memperkenalkan kepada nabi Adam AS sejumlah nama-nama benda alam

1Lihat Quraish Shihab, Prof, Dr, Tafsi al-Mishbah , Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur’an, (Pisangan Ciputat: Lentera Hati, 2010) Vol. I h, 176-177.

3
(termasuk lingkungan) sebagai salah satu sumber pengetahuan, yang dapat
diungkapkan melalui bahasa. Dengan demikian maka Nabi Adam berarti telah
diajarkan menangkap konsep dan memaparkannya kepada pihak lain. Dus, Nabi
Adam AS pada saat itu telah menguasai symbol sebagai saran berfikir (termasuk
menganalisis), dan dengan simbul itu ia bisda berkomunikasi menerina
tranformasi pengetahuan, ilmu, internalisasi nilai dan sekaligus melakukan telaah
ilmiah.2
Jadi proses pembelajaran Nabi Adam (manusia pada saat awal
kehadirannya) telah sampai pada tahap praekplorasi fenomena alam, dengan
pengetahuan mengenali sifat, karakteristik dan perilaku alam. Hal ini bisa kita
perhatikan pernyataan ayat 31 al-Maidah:
‫س ْو َءةَ أَ ِخي ِه قَا َل َيا َو ْيلَتَا أ َ َع َج ْزتُ أ َ ْن أ َ ُكونَ ِمثْ َل َهذَا‬ ِ ‫ث ِفي ْاأل َ ْر‬
َ ‫ض ِلي ُِر َيهُ َكي‬
َ ‫ْف ي َُو ِاري‬ ُ ‫غ َرابًا َي ْب َح‬
ُ ُ‫َّللا‬‫ث ه‬َ ‫فَ َب َع‬
‫)المائدة‬31( َ‫صبَ َح ِمنَ النهاد ِِمين‬ْ َ ‫س ْو َءةَ أ َ ِخي فَأ‬
َ ‫ي‬ َ ‫ب فَأ ُ َو ِار‬
ِ ‫ْالغُ َرا‬
Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk
memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan
mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak
mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat
saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang
menyesal.
Sebagian mufassir menjelaskan bahwa setelah “Qobil” mengamati apa
yang dilakukan oleh burung gagak dan mendapatkan pelajaran darinya, dia
berkata:” Aduhai celaka besar, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung
gagak itu, lalu menguburkan mayat saudaraku (untuk menutupi bau busuk yang
ditimbulkannya)?. Karena itu dia menjadi orang yang menyesal akibat
kebodohannya, kecuali sesudah belajar dari peristiwa gagak. Peristiwa ini menjadi
indikasi bahwa telah terjadi proses pembelajaran melalui fenomena alam, dengan
pengetahuan mengenali sifat, karakteristik dan perilaku alam
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar dan
pembelajaran merupakan aktivitas yang melekat secara inhern dalam diri manusia.
Sebagai hamba Allah yang ditugasi sebagai khalifah di bumi, manusi tidak bisa

2H. Ramayulis, Prof. Dr. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002) hal. 21.

4
tidak pasti terlibat secara alamiah dengan pembelajaran. Jadi ayat tersebut terkait
erat dengan ayat sebelumnya, yaitu bahwa Allah telah mengangkat manusia
sebagai khalifahNya di muka bumi. Atas alasan inilah maka manusia dianugrahi
potensi untuk belajar dan mengajar sebagai bagian tak terpisah dengan tugas yang
diembannya. Oleh karena itu Islam sebagai agama menegaskan bahwa belajar
merupakan kewajiban bagi setiap muslim, sebagaimana ditegaskan Rasulullah
saw.
ٍ‫يرينَ َع ْن أَن َِس ْب ِن َمالِك‬ ُ ِ‫سلَ ْي َمانَ َحدهثَنَا َكث‬
ٍ ‫ير ْبنُ ِش ْن ِظ‬
ِ ‫ير َع ْن ُم َح هم ِد ب ِْن ِس‬ ُ ‫ار َحدهثَنَا َح ْف‬
ُ ُ‫ص ْبن‬ ٍ ‫َحدهثَنَا ِهشَا ُم ْبنُ َع هم‬
‫اض ُع ْال ِع ْل ِم ِع ْندَ َغي ِْر أ َ ْه ِل ِه‬
ِ ‫ضةٌ َعلَى ُك ِل ُم ْس ِل ٍم َو َو‬
َ ‫طلَبُ ْال ِع ْل ِم فَ ِري‬
َ « -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬ ‫سو ُل ه‬ ُ ‫قَا َل قَا َل َر‬
َ ‫ير ْال َج ْوه ََر َواللُّؤْ لُ َؤ َوالذهه‬
‫ابن ماجه‬.» ‫َب‬ ِ ‫َك ُمقَ ِل ِد ْال َخن‬
ِ ‫َاز‬
Berangkat dari penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa manusia
yang tidak terdorong untuk belajar(mendapatkan kebnaran), pada dasarnya adalah
mengingkari watak alamiyahnya, karena belajar itu hakikatnya merupakan
kebutuhan asasi manusia. Dorongan ini ada dalam diri manusia untuk menemukan
berbagai hakikat sebagaimana adanya. Artinya manusia ingin mendapatkan
pengetahuan tentang alam dan wujud benda-benda dalam kaadaan sesungguhnya.
Teori ini diperkuat dengan salah satu do’a Nabi saw.,“Ya Allah perlihatkan
kepadaku segala sesuatu sebagaimana yang sesungguhnya ada”.
Kecenderungan manusia terhadap filsafat adalah bagian dari
kecenderungan mengetahui berbagai hakikat. Oleh sebab itu dorongan mencari
kebenaran ini sering pula disebut sebagai kesadaran filosofis. Dorongan ini
muncul karena dalam diri manusia terdapat fitrah, dan karena itu pula manusia
dapat menerima rangkaian pengetahuan dari luar. Dalam bahasa Arab menalar
disebut dengan al-idrak . Artinya adalah naik tangga dan sampai.. Berdasar
pengertian ini para failosof menyebut orang yang mencari sesuatu dan
menemukannya dengan istilah Innahu qad adrakahu. Orang ahli psikologi
menyebut dorongan ini dengan istilah “dorongan ingin tahu”.3
Pendapat para ahli, menyatakan bahwa dorongan ingin tahu mulai muncul
pada diri anak sejak mereka berumur antara dua tahun setengah, atau tiga tahun.
Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh sang

3Murtadla Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta (terj.) , ( Jakarta : Lentera, 2002 ),
hal. 47, 51

5
anak. Jika orang tua tidak pandai menyikapi, maka perkembangan kemampuan ini
bisa terhambat, dan akan merusak pertumbuhan kecerdasan anak bersangkutan.4
Oleh karena itu supaya dapat mengembangkan diri secara optimal maka
secara berkelanjutan manusia senantiasa belajar untuk mendapatkan kebenaran
demi kebahagiaan dan cita-citanya. Inilah salah satu alasannya mengapa Allah
menyatakan bahwa antara orang yang berilmu dengan yang tak berilmu tidak
boleh disamakan. sebab hanya orang yang berilmulah yang dapat mengambil
pelajaran, sehingga ia dapat mengambil manfaat dari proses kehidupan ini.

B. Metode Belajar dalam Perspektif Al Qur’an dan Hadits


Metode beajar telah dijelaskan di dalam surah An Nahl ayat 125 :

َ ‫سنُ ا َ هن َربهكَ ُه َو ا َ ْعلَ ُم بِ َم ْن‬


‫ض هل‬ َ ‫سنَ ِة َو َجاد ِْل ُه ْم بِالهتِى ه‬
َ ْ‫ِي اَح‬ َ ‫ظ ِة ا ْل َح‬
َ ‫سبِ ْي ِل َربِكَ بِ ْل ِح ْك َم ْه َو ْال َم ْو ِع‬ ُ ْ‫اُد‬
َ ‫ع اِلَى‬
»۱۲۵ : ‫سبِ ْي ِل ِه َوه َُواَ ْعلَ ُم بِ ْل ُمهت َ ِديْنَ «النحل‬ َ ‫َع ْن‬
“(Wahai Nabi Muhmmad SAW) Serulah (semua manusia) kepada jalan (yang
ditunjukkan) Tuhan Pemelihara kamu dengan hikmah (dengan kata-kata bijak
sesuai dengan tingkat kepandaian mereka) dan pengajaran yang baik dan bantalah
mereka dengan (cara) yang terbaik. Sesungguhnya Tuhan pemelihara kamu,
Dialah yang lebih mengetahui (tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk).”.

1. Teori Imitation (Taqlid/Peniruan)


Pada tahap tertentu seseorang melakukan peniruan kepada orang yang ada
di sekelilingnya pada aspek-aspek tertentu. Proses belajar dapat juga melalui
melalui imitasi/peniruan kepada orang lain. Teori ini terealisasi ketika seseorang
meniru orang lain dalam mengerjakan sesuatu maupun melafalkan suatu kata.
Karena menurut Ibnu Sina terdapat Pengaruh tabi’iyah anak yang cenderung
mengikuti dan meniru segala yang dilihat, dirasakan dan didengarnya. 5
Al-Qur’an telah menyebutkan contoh-contoh yang menjelaskan bahwa
manusia cenderung belajar dengan meniru apa yang dilihatnya. Di antaranya

4 Ibid, hal. 53.


5 M Utsman Najati, Psikologi dalam Tinjauan hadits(jakarta: Terj. Wawan Djunaedi
2003), Hal. 207-216.

6
adalah ketika Qabil membunuh saudaranya Habil, dan ia tidak mengetahui
bagaimana ia harus memperlakukan mayat saudaranya yang telah dibunuhnya.
Maka Allah mengajarkan kepada Qabil dengan mengutus seekor burung Gagak
yang menggali tanah untuk menguburkan bangkai burung Gagak lainnya yang
telah mati. Dari sini Qabil belajar bagaimana mengubur mayat (QS. Al-
Maidah:31).
Begitu juga dalam al-Sunah, para sahabat belajar mengerjakan berbagai
ibadah dan manasik dari Rasulullah dengan cara meniru apa yang dilakukan oleh
Rasulullah. Seperti mengajarkan tata cara sholat. Rasululah mendemonstrasikan
cara sholat di hadapan para sahabatnya, dengan tujuan agar mereka menirunya.
Beliau adalah figur ideal sebagai manusia sempurna yang dapat dilihat dari
berbagai aspek kehidupannya. Karena dalam segala segi kehidupannya, dapat
dipastikan Rasulullah mengedepankan keteladanan sebelum beliau sendiri
menerjemahkannya dalam ungkapan verbal (kata-kata). Sehingga para sahabat
meneladani beliau dalam setiap perilaku dan perkataannya. Bahkan Allah sendiri
telah memerintahkan kepada kita untuk mengikuti perilaku Rasulullah (QS. Al-
Ahzab: 21).6
Menurut al-Attas, Taqlid di sini tidak hanya sebatas proses peniruan buta
yang memandulkan kemampuan rasional dan intelektual seseorang. Sebaliknya,
mempraktikkan taqlid atau menyerahkan pada otoritas tertentu, membutuhkan
pengetahuan murni atas suatu masalah dalam rangka membedakan antara berbagai
pandangan ahli mengenai hal itu. Jadi, menurut al-Attas, taqlid tidaklah
berseberangan dengan belajar, tetapi merupakan suatu sifat alami dan positif pada
tahap awal perkembangan pelajar atau seseorang yang tidak berkesempatan
mengecam pendidikan dan latihan yang cukup untuk memahami alasan dan bukti-
bukti secara detail.

Imitasi(Taqlid) merupakan kecenderungan yang dilakukan oleh


kebanyakan manusia dalam berperilaku. Sehingga taqlid bisa dikatakan sebagai
proses belajar yang paling sederhana, karena mudah untuk melakukannya. Belajar

6 Slamet Untung, Muhammad Sang Pendidik, (Semarang: Pustaka Rizki Putra), Hal.
166.

7
dengan cara taqlid ini tidak berarti memandulkan “istilah al-Attas” kemampuan
rasional seseorang, melainkan langkah awal bagi mereka yang belum pernah
mendapatkan pendidikan secara formal.

2. Teori Pengalaman Praktis/Trial and Eror dan Metode Berpikir


Seseorang yang hidup tidak akan luput dari sesuatu yang bernama
problem, bahkan manusia juga dapat belajar dari problem tersebut, sehingga
memiliki pengalaman praktis dari permasalahannya. Situasi-situasi baru yang
belum diketahuinya mengajak manusia berfikir bagaimana menghadapi dan
bagaimana harus bertindak. Dalam situasi demikian, manusia memberikan
respons yang beraneka ragam. Kadang mereka keliru dalam menghadapinya,
tetapi kadang juga tepat.
Dengan demikian manusia belajar lewat “Trial and Error”, (belajar dari
mencoba dan membuat salah) memberikan respons terhadap situasi-situasi baru
dan mencari jalan keluar dari problem yang dihadapinya.
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya memberikan dorongan kepada manusia
untuk mengadakan pengamatan dan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah di
alam semesta. Dalam Q.S. al-Ankabut : 20 Allah berfirman:
ُ ‫ْف بَدَأ َ ْالخ َْلقَ ث ُ هم هللاُ يُ ْن ِش‬
َ َ‫ئ النه ْشأة َ ْاْلَ ِخ َرة َ ِإ هن هللا‬
‫علَى ُك ِل‬ ِ ‫قَل ِسي ُْروا فِى ْاأل َ ْر‬
َ ‫ض فَ ْنض ُُروا َكي‬
‫ش ْيءٍ َق ِدي ٌْر‬
َ
Katakanlah: “Berjalanlah di (muka) bumi. Maka perhatikanlah bagaimana
Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya. Kemudian Allah menjadikannya
sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Perhatian al-Qur’an dalam menyeru manusia untuk mengamati dan
memikirkan alam semesta dan makhluk-makhluk yang ada di dalamnya,
mengisyaratkan dengan jelas perhatian al-Qur’an dalam menyeru manusia untuk
belajar, baik melalui pengamatan terhadap berbagai hal, pengalaman praktis dalm
kehidupan sehari-hari, ataupun lewat interaksi dengan alam semesta, berbagai
makhluk dan peristiwa yang terjadi di dalamnya. ini bisa dilakukan dengan
metode pengalaman praktis, “trial and error” atau pun dengan metode berfikir.

8
Nabi SAW sendiri telah mengemukakan tentang pentingnya belajar dari
pengalaman praktis dalam kehidupan yang dinyatakan dalam hadis yang di tahrij
oleh Imam Muslim berikut:
‫ام ٍر قَا َل أَب ُْو بَ ْك ٍر َحدهثَنَا‬
ِ ‫ش ْيبَةَ َو َع ْم ٌرو النهاقِد ُ ِكالَ ُه َما َع ِن اْألَس َْو ِد ب ِْن َع‬َ ‫َحدهثَنَا أَب ُْو بَ ْك ِر ْبنُ أَبِي‬
‫ت َع ْن‬ ٍ ‫ع ْن ثَا ِب‬ َ َ ‫شة‬ َ ِ‫سلَ َمةَ َع ْن ِهش َِام ب ِْن ع ُْر َوة َ َع ْن أ َ ِب ْي ِه َع ْن َعائ‬ ِ ‫أَس َْود ُ ْبنُ َع‬
َ ُ‫ام ٍر َحدهثَنَا َح هماد ُ ْبن‬
َ َ‫س هل َم َم هر ِبقَ ْو ٍم يُلَ ِق ُح ْونَ فَقَا َل َل ْو لَ ْم تَ ْف َعلُ ْوا ل‬
‫صلُ َح َقا َل فَخ ََر َج‬ َ ‫ص هلى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ ‫ أ َ هن النه ِب ه‬:‫أَن ٍَس‬
‫صا فَ َم هر بِ ِه ْم فَقَا َل َما ِلن َْخ ِل ُك ْم قَالُ ْوا قُ ْلتَ َكذَا َو َكذَا قَا َل أَ ْنت ُ ْم أَ ْعلَ ُم بِأ َ ْم ِر د ُ ْنيَا ُك ْم‬
ً ‫ِش ْي‬
Abu Bakar bin Abi Saybah dan Amr al-Naqidh bercerita kepadaku. Keduanya
dari al-Aswad bin Amir. Abu Bakr berkata, Aswad bin Amir bercerita kepadaku,
Hammad bin Salmah bercerita kepadaku, dari Hisham bin Urwah dari ayahnya
dari Aisyah dan dari Tsabit dari Anas Radhiyallahu’anhu: Bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon
kurma lalu beliau bersabda: Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu
akan (tetap) baik. Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan
rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati mereka lagi
dan melihat hal itu beliau bertanya: ‘Adaapa dengan pohon kurma kalian? Mereka
menjawab; Bukankah anda telah mengatakan hal ini dan hal itu? Beliau lalu
bersabda: ‘Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.
Hadis di atas mengisyaratkan tentang belajarnya manusia membuat
respon-respon baru lewat pengalaman praktis dari berbagai situasi baru yang
dihadapinya, dan berbagai jalan pemecahan dari problem-problem yang
dihadapinya.
Mengenai jenis belajar lewat pengalaman praktis atau “trial and
error” ini, al-Qur’an mengisyaratkan dalam ayat berikut:
َ‫ظاه ًِرا ِمنَا ْل َحيَاةِ الدُّ ْنيَا َو ُه ْم َعنِا ْْلَ ِخ َرةِ ُه ْم غَا فِلُ ْون‬
َ َ‫يَ ْعلَ ُم ْو ن‬
Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang
mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.
Al-Qurtubi, dalam menafsirkan ayat ini, “Mereka hanya mengetahui yang
lahir saja dari kehidupan dunia”, berkata: Yakni masalah penghidupan dan
duniawi mereka. Kapan mereka harus menanam dan menuai dan bagaimana harus
menanam dan membangun rumah.

9
Hal ini mengisyaratkan bahwa pentingnya melakukan usaha coba-coba,
jika menggunakan cara ini salah, maka ganti kepada cara lain yang lebih baik
hasilnya. Teori ini hanya berlaku bagi hal-hal yang bersifat praktis yang tidak
membutuhkan pemikiran panjang dan lebih bersifat senso-motorik. Hal ini
berguna bagi peserta didik yang belajar untuk menemukan jawaban-jawaban baru
bagi situasi yang baru dan juga sebagai solusi problem yang dihadapinya dalam
kehidupan praktis.
Jadi, teori belajar melalui tajribah dan khatha’ merupakan usaha yang
dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan urusan dunia atau
kehidupan aplikatif yang tidak membutuhkan pemikiran yang panjang dan bersifat
praktis.

3. Teori Berpikir (Thinking/Tafakkur)


Bertafakur adalah pangkal dari segala kebaikan. Bertafakur merupakan
pekerjaan hati yang utama dan paling bermanfaat.7 Pikiran dan niat dalam hati
yang terlintas dalam hati akandiikuti oleh perbuatan dan perkataan. Mereka juga
menegaskan bahwa seseorang dapatdengan mudah mengubah pikiran dan angan-
angan yang negatif sebelum menjadi syahwat. Mengubah niat buruk lebih mudah
daripada mencegah yang sudah menjadi perilaku dan perbuatan dalam hidup
bahkan menjadi kebiasaan. Jika sudah terlanjur menjadi kebiasaan, maka untuk
menghilangkan kebiasaan ini adalah dengan cara membiasakan perbuatan yang
berlawanan dengan kebiasaan tersebut. Pembahasan ini telah dikemukakan oleh
Ibnu Qayyim al-Jauziah, yaitu:
Dorongan niat akan menjadi pikiran, jika belum Anda turuti; dorongan
pikiran akan menjadi syahwat jika belum juga Anda lakukan. Karena itu,
perangilah hal tersebut. Jika hal itu belum juga Anda lakukan, akan menjadi
azimah (kemauan keras); jika tidak Anda tolak, akan menjadi perbuatan; dan jika
tidak Anda ikuti dengan yang bertolak belakang dengannya, akan menjadi
kebiasaan yang sulit dihilangkan.

7Malik badri, Fiqih Tafakkur;dari perenungan Menuju Kesadaran, Sebuah Pendekatan


psikologi Islami, (Solo: era Intermedia), Hal. 19.

10
Tafakur merupakan ibadah yang bebas, artinya terlepas dari segala ikatan
kecuali satu ikatan saja, yaitu tafakur tentang Zat Allah. Seorang mukmin bebas
dan merdeka untuk melihat dan berimajinasi. Tafakur merupakan pengembaraan
pikiran menerobos dinding tanda tanda kekuasaan Allah di alam raya ini menuju
Sang Maha Pencipta dan Maha Pemelihara. Oleh karena itu, al-Qur’an sangat
menganjurkan agar manusia memfungsikan akalnya secara optimal untuk mencari
kebenaran dengan melakukan percobaan (experiment).
Hal ini sebagaimana dijumpai dialog Nabi Ibrahim dalam al-Qur’an: ”Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim berkata: Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku
bagaimana Engkau menghidupkan orang mati. Allah befirman: ’Belum yakinkah
kamu?’ Ibrahim menjawab: Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap
mantap.... ”
Dari hal-hal tersebut, jelaslah bahwa tafakur dan segala sesuatu yang
berkaitan dengannya, seperti zikir, merupakan tiang penting untuk mengubah
pandangan seorang muslim terhadap dirinya dan kesiapannya untuk mengubah
perilaku dan kebiasaannya. Tanpa proses perubahan itu, ia tidak mungkin dapat
meluruskan tingkah laku dan kebiasaannya. Tentang berpikir ini, Syekh al-Zarnuji
selalu mengikutsertakan aktifitas ta’ammul (merenungkan). Karena dua aktifitas
tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Beliau
mengingatkan, ”Dan seyogyanya bagi orang yang mencari ilmu, hendaknya
seluruh waktunya dapat digunakan untuk merenung dan memikirkan kehalusan
ilmu. Karena untuk mendapatkan hasil ilmu yang lembut itu, harus dengan jalan
berpikir dan merenung secara sungguh-sungguh. Karena itu dikatakan:
berpikirlah, tentu kamu akan menemukannya. Demikian juga hendaknya selalu
menggunakan ta’amul (perenungan) Dalam ilmu ushul fikih dikatakan bahwa
merenung adalah menjadi dasar pokok yang penting”.
Tafakur merupakan kunci segala kebaikan karena akan membentuk segala
kegiatan kognitif seorang mukmin dengan zikir kepada Allah, bertafakur
memahami hikmah-hikmah yang terkandung dalam keajaiban segala ciptaan-Nya
dari segala sisi-sisinya. Tafakur merupakan faktor pemantapan keimanan dan
pembeda keimanan para muttaqin. Dalam proses tafakur ini selalu diikuti dengan

11
perenungan-perenungan yang mengantarkan peserta didik menemukan
jawabannya.

C. Analisis Video
Dalam video ini terlihat jelas adanya proses teori imitation. Dikarenakan pada
saat Qabil membunuh Habil dan Qabil kebingunan mau diapakan jasad
saudaranya tersebut, lalu Allah memberi petunjuk kepada Qabil dengan
melihatkan seekor burung gagak yang menguburkan buruk gagak lainnya dengan
cara menggali tanah menggunakan cakar, lalu dimasukkannya burung gagak yang
mati tersebut kedalam lubang yang sudah digali dan ditutupnya lubang tersebut,
setelah melihat burung gagak tersebut, maka Qabil segera menggali lubang
dengan kedua tangannya dan dia memasukkan mayat Habil kedalam lubang yang
sudah dia gali dan menutupnya kembali seperti yang dilakukan burung gagak tadi.
Maka dari itu dapat dianalisis bahwa yang terjadi dari video tersebut adalah proses
teori imitation, dapat dilihat pada saat burung gagak menguburkan burung gagak
yang lain dan pada saat Qabil menguburkan Habil, disitu terjadi imitation yang
dilakukan Qabil.

12
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Metode merupakan hal yang sangat penting dalam proses belajar mengajar.
Apabila dalam proses pendidikan tidak menggunakan metode yang tepat maka
harapan tercapainya tujuan pendidikan akan sulit untuk diraih. Dalam al-Qur’an
dan beberapa hadist juga menganjurkan untuk menggunakan metode dalam proses
pembelajaran. Metode pembelajaran yang termuat dalam al-Quran pun memiliki
banyak macam diantaranya:

B. Saran
Demikian yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan.
Penulis berharap kepada pembaca dapat memberikan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

Malik, Badri, 2001. Fiqih Tafakkur; dari Perenungan Menuju Kesadaran,


Muthahhari, Murtadla. 2002, Manusia dan Alam Semesta (terj.), Jakarta: Lentera.
Najati, M. Utsman. 2003, Psikologi dalam Tinjauan Hadits, terj. Wawan Djunaedi
Soffandi. Jakarta: Mustaqiim Sebuah Pendekatan Psilikologi Islami, Solo:
Era Intermedia.
Ramayulis. 2002, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Slamet, Untung. 2005, Muhammad Sang Pendidik, Semarang: Pustaka Rizki.

14

Anda mungkin juga menyukai