Anda di halaman 1dari 16

BUDAYA KESELAMATAN PASIEN

Disusun guna untuk memenuhi tugas Manajemen Pasien Safety

Dosen Mata Kuliah : Desak Nyoman Sithi,Skp, MARS

Disusun Oleh Kelompok 5 :

 Rizky Arjuna 16107110


 Adelia Putri Fitriansyah 1610711098
 Trisna Irawati Sianturi 1610711106
 Susilawati 1610711108
 Dini Aulia R 1610711109

S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih
atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
materi maupun pikirannya. Khususnya kepada dosen kami ibu Desak Nyoman Sithi,Skp,
MARS

Dan harapan kami semoga makalah “Budaya Keselamatan Pasien ” dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 26 September 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................1

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. .. 2

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG..................................................................................... 3

B. TUJUAN PENULISAN ............................................................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. BUDAYA KERJA .................................................................................................... .. 5

B. BUDAYA KESELAMATAN DALAM ORGANISASI ............................................. 6

C. BUDAYA PATIENT SAFETY .................................................................................... 7

D. MENGUKUR MATURASI BUDAYA PATIENT SAFETY ...................................... 9

E. MENILAi BUDAYA PATIENT SAFETY ................................................................ 10

F. PENGEMBANGAN BUDAYA PATIEN SAFETY ................................................. 11

G. CREW RESOURCE MANAGEMENT ( CRM ) ...................................................... 12

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN .................................................................................................... 13

B. SARAN .............................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Budaya Keselamatan pasien merupakan hal yang mendasar di dalam
pelaksanaan keselamatan di rumah sakit. Rumah sakit harus menjamin penerapan
keselamatan pasien pada pelayanan kesehatan yang diberikannya kepada pasien (Fleming
& Wentzel, 2008). Upaya dalam pelaksanaan keselamatan pasien diawali dengan
penerapan budaya keselamatan pasien (KKPRS, 2008). Hal tersebut dikarenakan
berfokus pada budaya keselamatan akan menghasilkan penerapan keselamatan
pasien yang lebih baik dibandingkan hanya berfokus pada program keselamatan
pasien saja (El- Jardali, Dimassi, Jamal, Jaafar, & Hemadeh, 2011). Budaya
keselamatan pasien merupakan pondasi dalam usaha penerapan keselamatan pasien
yang merupakan prioritas utama dalam pemberian layanan kesehatan (Disch, Dreher,
Davidson, Sinioris, & Wainio, 2011; NPSA, 2009). Pondasi keselamatan pasien
yang baik akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya asuhan
keperawatan.Penerapan budaya keselamatan pasien yang adekuat akan menghasilkan
pelayanan keperawatan yang bermutu. Pelayanan kesehatan yang bermutu tidak
cukup dinilai dari kelengkapan teknologi, sarana prasarana yang canggih dan petugas
kesehatan yang profesional, namun juga ditinjau dari proses dan hasil pelayanan
yang diberikan (Ilyas, 2004). Rumah sakit harus bisa memastikan penerima
pelayanan kesehatan terbebas dari resiko pada proses pemberian layanan kesehatan
(Cahyono, 2008; Fleming & Wentzel, 2008). Penerapan keselamatan pasien di rumah
sakit dapat mendeteksi resiko yang akan di mIchigan didapatkan data bahwa dimensi
dominan adalah dimensi kerja sama tim di dalam unit sebanyak 59,9% (McGuire et
al.,2013). Penelitian pada rumah sakit di Swedia didapatkan bahwa dimensi yang
tertinggi adalah komunikasi terbuka yaitu 67,8% (Goras, Wallentin, Nilsson, & Ehrenberg,
2013).Budaya keselamatan pasien yang baik dapat memperkecil insiden yang
berhubungan dengan keselamatan pasien. Penelitian Harvard School of Public Health
(HSPH) (2011) menyebutkan bahwa dari seluruh dunia 43 juta orang dirugikan
setiap tahun akibat perawatan yang tidak aman. Sekitar 70% dari pasien yang
mengalami kesalahan medis menderita cacat ringan atau sementara, 7% pasien cacat
permanen dan 13,6% kasus berakibat fatal(Collinson, Throne, Dee, MacIntyre, &
Pidgeon, 2013). Data dari National Patient Safety Agency, menyebutkan dari kurun
waktu April-September 2012 di London Inggris pada pelayanan kesehatan akut
spesialis terjadi insiden yang tidak diinginkan sebanyak 56.1%. Persentase insiden
tersebut menimbulkan kerugian ringan sebanyak 34.3 %, kerugian sedang sebanyak
21.1%, kerugian berat sebanyak 0.5% dan sebanyak 0.2% berkibat fatal.

3
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Menganalisis penerapan patient safety
2. Tujuan Khusus
a. Mencari faktor yang dapat mempengaruhi penerapan patient safety
c. Menganalisis pelaksanaan patient safety
d. Membuat rencana perbaikan pelaksanaan patient safetty

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. BUDAYA KERJA
Schein (1992) mendefinisikan budaya kerja sebagai kebiasaan orang bekerja
dalam suatu kelompok, nilai, filosofi dan aturan-aturan dalam kelompok yang
membuat mereka bisa bekerjasama. Karakteristiknya antara lain: budaya kerja sebagai
suatu pola yang dibentuk berdasarkan asumsi-asumsi dasar; dibentuk oleh kelompok
sebagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam lingkungan
kerja dan untuk beradaptasi dengan lingkungan eksternal; mencerminkan tradisi yang
dianggap berjalan dengan baik, diajarkan kepada anggota-anggota baru dalam
organisasi, dianggap sebagai cara terbaik untuk berfikir, berperilaku dan berfikir.[2]
Secara singkat budaya kerja adalah bagaimana kita menyelesaikan pekerjaan ditempat
kerja. Budaya kerja berperan penting dalam keberhasilan atau kegagalan suatu
organisasi pelayanan kesehatan dan juga dalam konteks patient safety.

Tabel 1. Fungsi dan efek dari budaya kerja


Fungsi: Efek:
- Menetapkan batas-batas - menurunkan kecemasan yang
- Membentuk identitas muncul akibat ketidakmampuan
- Membentuk komitment untuk untuk mengerti, memprediksi dan
mencapai tujuan organisasi yang mengontrol kejadian.
lebih tinggi - Memiliki potensi untuk
- Mengembangkan stabilitas meningkatkan performa,
sistem sosial kepuasan, ekspektasi, sikap dan
- Sebagai mekanisme regulasi perilaku dalam organisasi
terhadap perilaku dan sikap - Mempengaruhi kesehatan (well-
beings) pekerja
- Jika tidak disesuaikan dengan
perubahan harapan
stakeholders internal dan

5
eksternal, efektifitasnya bisa
menurun.

Budaya kerja ini berada dalam tiga level, level inti, strategis, dan manifestasi. Di
tingkat inti, budaya kerja ini dipegang kuat dan seringkali berupa ideologi, nilai, dan
asumsi yang tidak tertulis. Di tingkat strategis, nilai-nilai dan pemahaman yang ada
dalam organisasi diekspresik
an untuk mencerminkan budaya yang diharapkan organisasi itu. Di tingkat
manifestasi, budaya organisasi ditunjukkan dalam perilaku dan kondisi organisasi
sehari-haro yang seringkali merupakan kompromi antara budaya organisasi ditingkat
inti dan strategis, dan mencerminkan situasi terkini.
Berdasarkan tipenya, budaya kerja dibedakan menjadi 3, yaitu budaya yang
konstruktif, pasif-defensif, dan agresif-defensif. Budaya yang konstruktif
mengutamakan interaksi antar individu dalam organisasi, saling membantu, memiliki
norma afiliasi, bisa mencapai tujuannya atau memenuhi kebutuhan organisasi, bisa
mengaktualisasi diri, humanistik, dan saling mendorong untuk menjadi lebih baik.
Individu dalam lingkungan organisasi yang berbudaya pasif- defensif akan saling
berinteraksi dengan cara yang tidak mengancam dirinya sendiri. Umumnya
konvensional, menghindari masalah, dan cenderung mudah menyetujui keputusan
pihak lain. Sebaliknya, individu dengan budaya kerja yang agresif-defensif akan
memaksakan kehendaknya untuk melindungi statusnya, bersikap oposisi,
mengutamakan kekuasaan, sangat kompetitif dan perfeksionis.

B. BUDAYA KESELAMATAN DALAM ORGANISASI


Berbagai penelitian pada berbagai industri yang membutuhkan ketepatan tinggi
(high reliability organization), seperti industri pesawat terbang, atau instalasi
pembangkit tenaga nuklir menunjukkan bahwa safety culture merupakan prioritas
pertama dalam industri tersebut. Industri-industri semacam ini mempunyai beberapa
karakteristik[3]:

- Mempunyai otonomi yang tinggi, tetapi tetap ada saling ketergantungan.


Setiap individu dalam organisasi mempunyai otonomi sebagai pekerja yang
independen, tetapi tetap membutuhkan pekerja yang lain untuk menyelesaikan
pekerjaannya.
- Mempunyai beberapa tim dengan budaya kerja yang berbeda-beda yang
juga saling membutuhkan. Misalnya seorang dokter merupakan bagian dari
tim dokter dan seorang perawat merupakan bagian dari tim perawat. Tetapi
dokter membutuhkan perawat dalam prakteknya dan demikian pula
sebaliknya.
- Selalu waspada terhadap semua resiko yang mengancam keselamatan
(safety). Untuk menciptakan budaya ini biasanya organisasi sudah mempunyai
aturan-aturan dan prosedur formal, tetapi yang lebih penting adalah adanya
perhatian khusus terhadap situasi-situasi yang beresiko tinggi dan tidak hanya
sekedar mematuhi aturan dan prosedur secara rutin. Untuk itu, biasanya ada
satu petugas yang secara rutin mensupervisi dan memonitor respon terhadap
situasi yang beresiko.

6
- Training mendapatkan prioritas yang tinggi. Kompetensi staf secara rutin
dievaluasi , seringkali dengan melakukan simulasi-simulasi.
- Untuk situasi beresiko tinggi digunakan pendekatan kolaborasi. Pada
situasi yang beresiko tinggi, garis hirarki formal ditinggalkan dahulu, semua
anggota tim meningkatkan kewaspadaan, dan masing-masing anggota tim ikut
memonitor perkembangan situasi dan aktifitas anggota tim yang lain. Umpan
balik terhadap performa setiap anggota tim diberikan secara langsung dan
bebas. Tujuan utamanya adalah keselamatan.

C. BUDAYA PATIENT SAFETY


Pentingnya mengembangkan budaya patient safety juga ditekankan dalam salah
satu laporan Institute of Medicine “To Err Is Human” yang menyebutkan bahwa
organisasi pelayanan kesehatan harus mengembangkan budaya keselamatan
sedemikian sehingga organisasi tersebut berfokus pada peningkatan reliabilitas dan
keselamatan pelayanan pasien”.[4] Hal ini ditekankan lagi oleh Nieva dan Sorra
dalam penelitiannya yang menyebutkan bahwa budaya keselamatan yang buruk
merupakan faktor resiko penting yang bisa mengancam keselamatan pasien.[5]
Vincent (2005) dalam bukunya bahkan menyebutkan bahwa ancaman terhadap
keselamatan pasien tersebut tidak dapat diubah, jika budaya patient safety dalam
organisasi tidak diubah.[6]
Budaya patient safety adalah produk dari nilai, sikap, kompetensi, dan pola perilaku
individu dan kelompok yang menentukan komitmen, style dan kemampuan suatu
organisasi pelayanan kesehatan terhadap program patient safety. Jika suatu organisasi
pelayanan kesehatan tidak mempunyai budaya patient safety maka kecelakaan bisa
terjadi akibat dari kesalahan laten, gangguan psikologis dan physiologis pada staf,
penurunan produktifitas, berkurangnya kepuasan pasien, dan bisa menimbulkan
konflik interpersonal.

Tabel 2. Karakteristik dari positive safety culture[1]

- Komunikasi dibentuk dari keterbukaan dan saling percaya


- Alur informasi dan prosesing yang baik
- Persepsi yang sama terhadap pentingnya keselamatan
- Disadari bahwa kesalahan tidak bisa sepenuhnya dihindari
- Identifikasi ancaman laten terhadap keselamatan secara proaktif
- Pembelajaran organisasi
- Memiliki pemimpin yang komit dan eksekutif yang bertanggung
jawab.
- Pendekatan untuk tidak menyalahkan dan tidak memberikan
hukuman pada insiden yang dilaporkan.

7
Tabel 3. Pergeseran paradigma dalam patient safety

8
Paradigma lama Paradigma baru
Siapa yang melakukannya? Mengapa bisa terjadi?
Berfokus pada bad events Berfokus pada near miss
Top down Bottom up
Yang salah dihukum Memperbaiki sistem supaya tidak
terulang

Tiga strategi penerapan budaya patient safety:


1. Strategy 1
a. Lakukan safe practices
b. Rancang sistem pekerjaan yang memudahkan orang lain untuk
melakukan tindakan medik secara benar
c. Mengurangi ketergantungan pada ingatan
d. Membuat protokol dan checklist
e. Menyederhanakan tahapan-tahapan

2. Edukasi
a. Kenali dampak akibat kelelahan dan kinerja
b. Pendidikan dan pelatihan patient safety
c. Melatih kerjasama antar tim
d. Meminimalkan variasi sumber pedoman klinis yang mungkin
membingungkan

3. Akuntabilitas
a. Melaporkan kejadian error
b. Meminta maaf
c. Melakukan remedial care
d. Melakukan root cause analysis
e. Memperbaiki sistem atau mengatasi masalahnya.

D. MENGUKUR MATURITAS BUDAYA PATIENT SAFETY


Maturitas budaya patient safety dalam organisasi diklasifikasikan oleh Ashcroft
et.al. (2005) menjadi lima tingkat maturitas: patologis, reaktif, kalkulatif, proaktif dan
generatif. Di tingkat patologis, organisasi melihat keselamatan pasien sebagai
masalah, akibatnya informasi-iinformasi terkait patient safety akan ditekan dan lebih
berfokus pada menyalahkan individu demi menunjukkan kekuasaan pihak tertentu. Di
tingkat reaktif, organisasi sudah menyadari bahwa keselamatan pasien adalah hal
penting, tetapi hanya berespon ketika terjadi insiden yang signifikan. Di tingkat
kalkulatif, organisasi cenderung berpaku pada aturah-aturan dan jabatan dan
kewenangan dalam organisasi. Setelah insiden terjadi, informasi tidak diteruskan atau
bahkan diabaikan, kesalahan segera dibenarkan atau dijelaskan penyebabnya, tanpa
analisis yang lebih mendalam lagi. Organisasi ya ngproaktif berfokus pada upaya-
upaya untuk mengantisipasi masalah-masalah patient safety dengan melibatkan
banyak stakeholders terkait patient safety. Sementara organisasi yang generatif secara
aktif mencari informasi untuk mengetahui apakah tindakan-tindakan yang dilakukan
dalam organisasi ini sudah aman atan belum.

9
Table 4. Level kematangan budaya patient safety
Patologis Tidak ada sistem untuk pengembangan budaya patient
Safety
Reaktif Sistemnya masih terpecah-pecah, dikembangkan
sebagai bagian dari regulasi atau permintaan akreditasi atau
untuk merespon insiden yang terjadi.
Kalkulatif Terdapat pendekatan sistematis terhadap patient safety,
tetapi implementasinya masih terkotak-kotak, dan analisis
terhadap insiden masih terbatas pada situasi ketika insiden
terjadi.
Proaktif Terdapat pendekatan komprehensif terhadap budaya
patient safety, intervensi yang evidence-based sudah
diimplementasikan.
Generative Pembentukan dan maintenance budaya patient safety
adalah bagian sentral dari misi organisasi, efektifitas
intervensi selalu dievaluasi, selalu belajar dari pengalaman
yang salah maupun yang berhasil, dan mengambil tindakan-
tindakan yang berarti untuk memperbaiki situasi.

E. MENILAI BUDAYA PATIENT SAFETY


Saat ini, budaya patient safety biasanya dinilai dengan self-completion
questionnaires. Biasanya dilakukan dengan cara mengirimkan kuesioner kepada
semua staff, untuk kemudian dihitung nilai rata-rata respon terhadap masing- masing
item atau faktor.
Langkah pertama dalam proses pengembangan budaya patient safety adalah dengan
menilai budaya yang ada. Tidak banyak alat yang tersedia untuk menilai budaya
patient safety, salah satunya adalah ‘Manchester Patient Safety Framework’ .
Biasanya ada jenis pernyataan yang digunakan untuk menilai dimensi budaya patient
safety, pertama adalah pernyataan-pernyataan untuk mengukur nilai, pemahaman dan
sikap dan kedua adalah pernyataan-pernyataan untuk mengukur aktifitas atau perilaku
yang bertujuan untuk pengembangan budaya patient safety, seperti kepemimpinan,
kebijakan dan prosedur. Beberapa contoh pernyataan tersebut disajikan dalam tabel 2.

Tabel 5. Pertanyaan kunci untuk penilaian budaya patient safety[1]

- Apakah patient safety menjadi prioritas utama dari organisasi


pelayanan kesehatan, termasuk pemimpinnya?
- Apakah patient safety dipandang sebagai sesuatu yang positive dan
mendapatkan fokus perhatian pada semua aktivitas?
- Apakah ada sistem „blame free‟ untuk mengidentifikasi ancaman-
ancaman pada patient safety, berbagi informasi dan belajar dari
pengalaman?
- Apakah ada penilaian resiko pada semua aktivitas yang terjadi di
dalam organisasi pelayanan kesehatan?
- Apakah ada lingkungan kerjasama yang baik sehingga semua
anggota
10
tim bisa berbagi informasi mengenai patient safety?
- Apakah pasien dan keluarga pasien terlibat dalam proses
pengembangan patient safety?

F. PENGEMBANGAN BUDAYA PASIEN SAFETY


Salah satu tantangan dalam pengembangan patient safety adalah bagaimana
mengubah budaya yang ada menuju budaya patient safety. Langkah penting pertama
adalah dengan menempatkan patient safety sebagai salah satu prioritas utama dalam
organisasi pelayanan kesehatan, yang didukung oleh eksekutif, tim klinik, dan staf di
semua level organisasi dengan pertanggungjawaban yang jelas. Beberapa contoh
langkah-langkah lainnya disajikan dalam tabel 3.
Perubahan budaya sangat terkait dengan pendapat dan perasaan individu- individu
dalam organisasi. Kesempatan untuk mengutarakan opini secara terbuka, dan
keterbukaan ini harus diakomodasi oleh sistem sehingga memungkinkan semua
individu untuk melaporkan dan mendiskusikan terjadinya adverse events. Budaya
tidak saling menyalahkan memungkin individu untuk melaporkan dan mendiskusikan
adverse events tanpa khawatir akan dihukum. Aspek lain yang penting adalah
memastikan bahwa masing-masing individu bertanggung jawab secara personal dan
kolektif terhadap patient safety dan bahwa keselamatan adalah kepentingan semua
pihak.

Tabel 6. Pengembangan safety culture[8]

- Mendeklarasikan patient safety sebagai salah satu prioritas


- Menetapkan tanggung jawab eksekutif dalam program patient safety
- Memperbaharui ilmu dan keahlian medis
- Membudayakan sistem pelaporan tanpa menyalahkan pihak-pihak
terkait
- Membangun akuntabilitas
- Reformasi pendidikan dan membangun organisasi pembelajar
- Mempercepat perubahan untuk perbaikan

11
G. Crew Resource Management (CRM)
Investigasi terhadap beberapa kecelakaan pesawat terbang menunjukkan bahwa
cockpit-error masih tetap terjadi meskipun berbagai macam prosedur keselamatan
telah diterapkan, seperti penggunaan checklist. Faktor utama yang berhubungan
dengan cockpit-error ini adalah tidak adekuatnya komunikasi antara anggota crew,
khususnya perhatian atau pemahaman terhadap situasi.
Crew resource management (CRM) adalah salah satu teknik pelatihan komunikasi
yang tidak berfokus pada keahlian teknik, melainkan pada keahlian kognitif dan
interpersonal yang dibutuhkan untuk tindakan yang aman.
Aspek utama dari CRM adalah:
Perhatian terhadap situasi. Ini membutuhkan perhatian yang konstan terhadap
berbagai macam faktor, antara lain faktor operasional, teknikal dan manusia, yang
mempengaruhi safe-operation. Setiap individu harus meningkatkan perhatiannya, bahwa
pada kondisi-kondisi tertentu, error lebih mudah terjadi, seperti bekerja di lingkungan
kerja yang berbeda, ketika beban kerja meningkat, dll.
- Perencanaan dan pengambilan keputusan. Dalam aspek ini, peran dan
tanggung jawab masing-masing anggota tim didefinisikan secara jelas,
termasuk potensi situasi beresiko tinggi yang mungkin dihadapi.
- Komunikasi. Komunikasi antara anggota tim yang efektif sangat esensial.
Tidak hanya bertujuan untuk melatih individu menyampaikan pesan dengan
jelas dan tidak ambigu, melainkan juga memahami bahwa cara menerima dan
menyampaikan pesan tersebut tergantung pada kemauan untuk melakukan
tindakan.

Tabel 7. Bagaimana mengetahui bahwa budaya safety didalam organisasi atau


didalam tim telah berubah?[8]

- Orang akan melihat bahwa manajemen/tim leadership mempunyai


komitmen terhadap safety, dengan cara mencegah terjadi error dan
bukan dengan menghukum pelakunya.
- Staf yang sehat dan bahagia menjadi bagian esensial didalam
pelayanan kesehatan yang aman
- Staf memperhatikan kesehatan dan keselamatan pribadi dan anggota
tim lainnya secara serius dan bisa menyadari ketika ada yang salah.
- Masalah dan kesalahan diantisipasi oleh sistem secara proaktif.
- Setiap staf secara konsisten akan menegur staf lain jika melakukan
tindakan yang tidak aman, dan mengutamakan keamanan daripada
efisiensi.
- Staff dan manajemen secara konsisten mengimplementasikan remedial
actions.
- Keselamatan pasien dipandang sebagai sesuatu hal yang esensial dan
menarik.

12
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Keselamatan pasien merupakan upaya untuk melindungi hak setiap orang terutama dalam
pelayanan kesehatan agar memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu dan aman.
2. Indonesia salah satu negara yang menerapkan keselamatan pasien sejak tahun 2005
dengan didirikannya Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh Persatuan
Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Dalam perkembangannya Komite Akreditasi
Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan menyusun Standar Keselamatan Pasien
Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit.
3. Peraturan perundang-undangan memberikan jaminan kepastian perlindungan hukum
terhadap semua komponen yang terlibat dalam keselamatan pasien, yaitu pasien itu
sendiri, sumber daya manusia di rumah sakit, dan masyarakat. Ketentuan mengenai
keselamatan pasien dalam peraturan perundang-undangan memberikan kejelasan atas
tanggung jawab hukum bagi semua komponen tersebut.

B. Saran
1. Agar pemerintah lebih memperhatikan dan meningkatkan upaya keselamatan pasien
dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan agar lebih bermutu dan aman dengan
mengeluarkan dan memperbaiki aturan mengenai keselamatan pasien yang mengacu pada
perkembangan keselamatan pasien (patient safety) internasional yang disesuaikan dengan
kondisi yang ada di Indonesia.
2. Agar setiap rumah sakit menerapkan sistem keselamatan pasien dalam rangka
meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan aman serta menjalankan peraturan
perundang-undangan yang mewajibkan untuk itu.
3. Agar seluruh komponen sarana pelayanan kesehatan bekerja sama dalam upaya
mewujudkan patient safety karena upaya keselamatan pasien hanya bisa bisa dicapai
dengan baik dengan kerjasama semua pihak.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. After Kirk, S., et al., Evaluating safety cultures, in Patient safety - Research
into practice, B. WK, Editor. 2006, Open University Press: Maidenhead.
2. Schein, E.H., Organizational culture and leadership. 2nd ed. ed. 1992, San
Fransisco: Jossey-Bass.
3. Sandars, J. and G. Cook, ABC of patient safety. 2007, Massachusets:
Blackwell Publishing.
4. Institute of Medicine, To Err Is Human: Building a Safer Health System.
2000, Institute of Medicine: Washington DC.
5. Nieva, V. and J. Sorra, Safety Culture Assessment: A Tool for Improving
Patient Safety in Healthcare Organizations. Quality and Safety in Health
Care, 2003. 12: p. 7-23.
6. Vincent, C., Patient Safety. 2005, Edinburgh: Churchill Livingsto

14

Anda mungkin juga menyukai