Anda di halaman 1dari 18

PEREKONOMIAN INDONESIA

“ASPEK-ASPEK PEMBANGUNAN DAERAH”

Dosen :
Dr. Made Heny Urmila Dewi, SE., M.Si

Oleh :
Kelompok 10
I Putu Gede Krisna Pratama Putra (1707532013)
Ida Bagus Ghana Manuaba (1707532016)
Nyoman Diantha Anggriawan (1707532031)

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan petunjuk dan rahmat-Nya karena penulis dapat menyelesaikan Tugas Paper
yang berjudul “Aspek-Aspek Pembangunan Daerah” dengan tepat waktu.
Paper ini dibuat untuk memenuhi nilai pada mata kuliah Perekonomian Indonesia di
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Udayana. Dalam kesempatan ini, penulis ingin
berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran untuk melakukan dan
menyelesaikan tugas ini.
Dengan membaca Tugas Paper ini penulis berharap teman-teman mahasiswa serta
pembaca dari masyarakat umum dapat memahami materi perdagangan luar negeri dan neraca
pembayaran Indonesia. Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan Tugas Paper ini masih
terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, baik dari segi kata-kata, bahasa, atau dalam
pemaparan materi. Saran dan kritik penulis harapkan agar Tugas Paper ini dapat menjadi lebih
baik lagi.
Akhir kata semoga Tugas Paper ini dapat bermanfaat bagi teman-teman mahasiswa dan
masyarakat umum.

Om Santhi, Santhi, Santhi Om

Denpasar, 13 Nopember 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................................. 1

DAFTAR ISI ............................................................................................................ 2

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 3


1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 3
1.3 Tujuan ................................................................................................... 3

BAB. II PEMBAHASAN ......................................................................................... 4


2.1 Pembangunan Daerah, Otonomi ,Serta Hubungan
Keduanya....................................................................................................... 4
2.2 Perbedaan Ekonomi Pada Tingkat Provinsi Dan
Kabupaten…………………………………………….................................. 4
2.3 Prinsip-Prinsip Pembiayaan Daerah.........................................................7
2.4 Sumber-Sumber Potensial Pendapatan Suatu
Daerah……………….................................................................................... 9
2.5 Sumber Pendaptan Daerah Yang Berasal Dari
Pinjaman.…………………........................................................................... 11

BAB. III PENUTUP.................................................................................................. 16


Kesimpulan.................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 17

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan daerah merupakan suatu proses perubahan terencana yang melibatkan
seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang berperan di berbagai sektor yang bertujuan
untuk meratakan serta menyeimbangkan pembangunan daerah, meningkatkan kesejahteraan,
meningkatkan taraf hidup, dan meningkatkan kemakmuran masyarakat. Ketimpangan antar
daerah seringkali menjadi permasalahan yang serius. Beberapa daerah mencapai pertumbuhan
yang signifikan, sementara daerah lainnya mengalami pertumbuhan yang lambat. Sumber-
sumber yang terbatas akan menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan dalam
pembangunan daerah

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Pembangunan Daerah, Otonomi dan hubungan keduanya?

2. Bagaimana Perbedaan ekonomi pada Tingkat Provinsi dan Kabupaten?

3. Bagaimana Prinsip-prinsip Pembiayaan Daerah?

4. Bagaimana Sumber-Sumber Potensial Pendapatan Suatu Daerah?

5. Bagaimana Sumber Pendapatan Daerah Yang Berasal Dari Pinjaman?

1.3 Tujuan Masalah


Untuk memberi arah yang jelas tentang maksud dari paper ini dan berdasarkan pada
rumusan masalah yang diajukan, maka tujuan paper ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Untuk Mengetahui Pembangunan Daerah,Otonomi dan Hubungan Keduanya.


2. Untuk Mengetahui Perbedaan Ekonomi Pada Tingkat Provinsi dan Kabupaten.
3. Untuk Mengetahui Prinsip-Prinsip Pembiayaan Daerah.
4. Untuk Mengetahui Sumber-Sumber Potensial Pendapatan Suatu Daerah.
5. Untuk Mengetahui Sumber Pendapatan Daerah yang Berasal dari Pinjaman

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PEMBANGUNAN DAERAH, OTONOMI, SERTA HUBUNGAN KEDUANYA


a. Pembangunan daerah
Pembangunan Daerah merupakan suatu usaha yang sistematik dari berbagai pelaku,
baik umum, pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang
berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan aspek fisik, sosial ekonomi
dan aspek lingkungan lainnya sehingga peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat daerah dapat ditangkap secara berkelanjutan.
b. Otonomi Daerah
Otonomi daerah pada dasarnya merupakan upaya untuk mewujudkan tercapainya salah
asatu tujuan negara, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemerataan
pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya. Daerah memilki kewenangan membuat
kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan
pemberdayaan masyarakatyang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Tujuan
pemberian otonomi daerah yaitu untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan (Kuncoro, 2004).
c. Hubungan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Kebijakan mengenai otonomi daerah tentunya diiringi dengan adanya asas
desentralisasi. Desentralisasi merupakan pengotonomian, yakni proses memberikan otonomi
kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Kaitan desentralisasi dan otonomi daerah seperti
yang diungkapkan oleh Gerald S. Maryanow (2003) yaitu merupakan dua sisi dari satu mata
uang. Desentralisasi tersebut tentunya mencakup penyerahan wewenang dalam mengelola
keuangan daerahnya. Sehingga salah satu konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah yakni
adanya kebijakan desentralisasi fiskal.

2.2 PERBEDAAN EKONOMI PADA TINGKAT PROVINSI DAN KABUPATEN


Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat
mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara
pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan

4
merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut.
(Lincolin Arsyad, 1999).
Masalah pokok dalam pembangunan daerah berada pada penekanan terhadap kebijakan-
kebijakan pembangunan yang berdasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan
(endogenous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan,
dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Sehingga kita peru melakukan pengambilan
inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk
menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang kegiatan ekonomi.
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses, yaitu proses yang mencakup
pembentukan-pembentukan institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikam
kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik,
identifikasi pasar-pasar baru, dan pengembangan perusahaan-perusahan baru.
Ada beberapa indikator untuk menganalisis derajat kesenjangan dalam pembangunan
ekonomi antarprovinsi, yaitu produk domestik regional bruto (PDRB) per provinsi dalam
pembentukan PDB nasional, PDRB atau pengeluaran konsumsi rumah tangga rata-rata per
kapita, indeks pembangunan manusia (IPM), kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDRB,
dan tingkat kemiskinan.

1. Distribusi PDB Nasional Menurut Provinsi


Distribusi PDB Nasional menurut provinsi merupakan indikator utama di antara indikator
lain yang umum untuk mengukur derajat penyebaran dari hasil pembangunan ekonomi di suatu
negara. Jika PDRB relatif sama antar povinsi, maka PDB nasional relatif merata ntar provinsi,
sehingga ketimpangan pembangunan antar provinsi relatif kecil.
Salah satu fakta yang memprihatinkan adalah bahwa jika output agregat dihitung tanpa
minyak dan gas (migas), kontribusi PDB dari wilayah-wilayah yang kaya migas, seperti di
Aceh, Riau, Kalimantan Timur menjadi lebih kecil lagi.Aceh menyumbang 3% terhadap PDB
Indonesia; tanpa gas hanya menyumbang 50%. Hal ini berarti 50% dari perekonomian Aceh
tergantung pada perekonomian sektor gas.
Begitu pula dengan Riau dan Kalimantan Timur yang menyumbang 5% pada PDB
Indonesia, sedangkan tanpa minyak perannya hanya 2%. Namun, pada tahun 2000, kontirbusi
output regional yang dihasilkan oleh Aceh dan Kaltim dengan dukungan sektor migas menurun
menjadi 2,5% dan 1,6%, sedangkan Riau mengalami peningkatan menjadi 5,4%. Hal ini
memberikan kesan bahwa bukan suatu jaminan bagi kinerja ekonomi suatu daerah yang kaya
akan migas.

5
2. PDRB Rata-rata per Kapita antar Provinsi
Karena tujuan dari pembangunan ekonomi adalah miningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan ini umum diukur dengan pendapatan rata-rata per kapita, maka distribusi PDB Nasional
menurut provinsi menjadi indikator yang tidak berarti dalam mengukur ketimpangan
pembangunan ekonomi regional jika tidak dikombinasikan dengan tingkat PDRB rata-rata per
kapita.
Jika PDRB per kapita di atas 2 juta rupiah dianggap tinggi dan sebaliknya di bawah 2 juta
dianggap rendah, dan pertumbuhan PDB per kapita tinggi jika di atas 3%, dan rendah jika lebih
kecil dari 3%.
Hasil perhitungan Tadjoeddin dkk. (2001) menunjukkan bahwa PDRB dari 7 daerah pusat
migas di Indonesia, yakni Aceh Utara, kepulauan Riau dan Bengkalis, Kutai, Bulungan dan
Balikpapan, dan Fakfak (Papua) menguasai 72% dari PDB migas nasional. Hasil perhitungan
ini menunjukkan bahwa semua daerah ini dengan jumlah penduduk yang hanya 9% dari total
populasi Indonesia menyumbang 33% dari PDB Nasional.

3. Konsumsi rumah Tangga per Kapita antar Provinsi


Pengeluran Konsumsi C Rumah Tangga (RT) per kapita per provinsi merupakan salah satu
indikator alternatif yang dapat dijadikan ukuran untuk melihat perbedaan dalam tingkat
kesejahteraan penduduk atntar provinsi. Konsepnya adalah semakin tinggi pendapatan per
kapita suatu daerah, maka akan semakin tinggi juga pengeluaran konsumsi per kaita di daerah
tersebut. Dalam hal ini juga terdapat 2 asumsi, yaitu sifat menabung dari masyarakat tidak
berubah (S terhadap PDRB tidak berubah) dan pangsa kredit di dalam RT juga konstan. Tinggi
rendahnya pengeluara C RT tidak dapat selalu mencerminkan tinggi rendahnya pendapatan per
kapita di suatu daerah, tanpa kedua asumsi tersebut.
Dengan memakai data BPS mengenai pengeluaran riil C RT per kapita, ditemukan adanya
polarisasi dalam distribusi C RT per kapita antarprovinsi. Sebagian wilayah di Indonesia
memiliki tingkat C RT per kapita yang rendah, lewat hal ini dapat dikatakan menjadi refleksi
dari kenyataan bahwa sebagian daerah di Indonesia masih belum menikmati pembangunan
ekonomi.
Perbedaan dalam derajat pemerataan provinsi dapat diukur dengan distribusi pendapatan C
menurut kelompok populasi per provinsi. Tingkat ketimpangan dikatakan tinggi jika 40%
penduduk berpendapatan rendah (berpengeluaran rendah), hanya menikmati pendapatan
kurang dari 12% dai seluruh pendapatan. Jika 40% penduduk berpendapatan rendah dapat
menikmati kurang dari 12% sampai dengan 17% dari seluru pendapatan, maka hal ini berarti

6
telah terjadi ketimpangan sedang. Dan bila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati
lebuh dari 17% dari seluruh pendapatan penduduk, tingkat ketimpangan rendah.
Tampak juga bahwa daerah-daerah di pulau Jawa memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih
baik jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di luar pulau Jawa. Namun demikian, beberapa
provinsi di pulau Jawa juga memiliki pengeluaran C makanan yang relatif rendah dibandingkan
dengan provinsi lainnya, seperti Bali, Kalimantan Timur, sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,
Maluku dan Irian Jaya.
Pengeluaran konsumsi rumah tangga terdiri dari semua pengeluaran atas pembelian barang
dan jasa dikurangi dengan hasil penjualan neto dari barang bekas atau apkiran. Pengeluaran
konsumsi rumah tangga juga meliputi nilai barang dan jasa yang dihasilkan untuk konsumsi
sendiri, seperti hasil kebun, peternakan, kayu bakar dan biaya hidup lainnya serta barang-
barang dan jasa.
Di samping itu, pengeluaran untuk pemeliharaan kesehatan, pendidikan, rekreasi,
pengangkutan dan jasa-jasa lainnya termasuk dalam konsumsi rumah tangga. Pembelian rumah
tidak termasuk pengeluaran konsumsi, tetapi pengeluaran atas rumah yang ditempati seperti
sewa rumah, rekening air, listrik, telepon dan lain-lain merupakan konsumsi rumah tangga.

2.3 PRINSIP-PRINSIP PEMBIAYAAN DAERAH


1. Dana Cadangan
Dana Cadangan adalah dana yang dibentuk guna membiayai kebutuhan dana yang tidak
dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran. Dana Cadangan dibentuk untuk suatu tujuan
tertentu secara spesifik. Pembentukan Dana Cadangan menggunakan rekening terpisah dari
rekening kas daerah (Pembiayaan – Transfer ke Dana Cadangan).
Penggunaan Dana Cadangan harus sesuai tujuan yang telah ditetapan Pemerintah
daerah dapat membentuk dana cadangan guna mendanai kegiatan yang penyediaan dananya
tidak dapat sekaligus/sepenuhnya dibebankan dalam satu tahun anggaran. Pembentukan
dana cadangan ditetapkan dengan peraturan daerah. Peraturan daerah mencakup penetapan
tujuan pembentukan dana cadangan, program dan kegiatan yang akan dibiayai dari dana
cadangan, besaran dan rincian tahunan dana cadangan yang harus dianggarkan dan
ditransfer ke rekening dana cadangan, sumber dana cadangan dan tahun anggaran
pelaksanaan dana cadangan.

7
2. Sumber Pendanaan Dana Cadangan
Pembentukan Dana Cadangan Daerah bersumber dari kontribusi tahunan penerimaan
APBD, kecuali dari Dana Alokasi Khusus, Pinjaman Daerah dan Dana Darurat yang berasal
dari Pemerintah. Dengan demikian, pemenuhannya bersumber dari Penerimaan Pendapatan
Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak.
Sumber pendanaan ini sama dengan sumber pendanaan untuk belanja operasional
(recurrent expenditures) sehingga menimbulkan terjadinya persaingan yang lebih ketat
dalam mengalokasikan sumberdaya yang terbatas. Pemda belum diberikan kewenangan
untuk menggunakan “kebijakan fiskal” seperti kebijakan pajak dan retribusi untuk mendanai
program/kegiatan tertentu seperti halnya di negara2 maju. Secara faktual, kebijakan pajak
bumi dan bangunan (PBB) masih ditangani oleh Pusat, meskipun sesungguhnya sangat
potensial bagi pembangunan daerah.
Harus pula dipahami bahwa dana cadangan tidak boleh dibentuk dari pinjaman daerah.
Hal ini tersirat dari pengertian dan tujuan ditariknya pinjaman daerah, yakni untuk mendanai
program dan kegiatan berupa investasi yang menghasilkan aliran kas masuk (cash inflow)
dan digunakan nantinya untuk pelayanan publik. Aliran kas masuk ini nantinya digunakan
untuk mendanai pembayaran pokok pinjaman dan bunga dari pinjaman yang bersangkutan.

3. Pengelolaan Dana Cadangan


Dana cadangan haruslah dikelola dengan baik, sehingga selama masa “penumpukkan”
sampai saat dinilai cukup untuk digunakan dapat lebih produktif. Dalam hal ini, kebijakan
harus diarahkan pada upaya memberdayakan “idle money” dalam bentuk dana cadangan.
Batasan tegas untuk pengelolaan dana cadangan ini adalah bahwa dana tersebut tidak
boleh digunakan untuk tujuan selain yang telah ditetapkan dalam Perda tentang
Pembentukan Dana Cadangan. Pengertian dari kata “digunakan” adalah dijadikan sebagai
input (masukan) untuk aktifitas di SKPD/SKPKD Pemda.
Jika dana cadangan belum digunakan maka dapat “diberdayakan” untuk memperoleh
hasil (return) berupa bunga atau dividen. Misalnya, diinvestasikan dalam bentuk deposito,
SBI, atau SUN. Namun, hasil yang diperoleh haruslah dimasukkan ke dalam rekening dana
cadangan sebagai penambah dana cadangan tersebut.

8
Jenis Dan Jangka Waktu Pinjaman
1. Pinjaman Jangka Pendek
Merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun anggaran
dan Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Pendek yang meliputi pokok
pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lainnya seluruhnya harus dilunasi dalam tahun
anggaran yang berkenaan.
2. Pinjaman jangka Menengah
Merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan
kewajiban pembayaran kembali pinjaman (pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain) harus
dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan kepala daerah yang
bersangkutan.
3. Pinjaman Jangka Panjang
Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Panjang yang meliputi pokok
pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lain seluruhnya harus dilunasi pada tahun anggaran
berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan.

2.4 SUMBER-SUMBER POTENSIAL PENDAPATAN SUATU DAERAH


Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari
kegiatan ekonomi daerah itu sendiri. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu
pilar kemandirian suatu daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, sumber PAD terdiri dari pajak
daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan lain-lain pendapatan daerah
yang sah.
Pengembangan potensi akan menciptakan pendapatan asli daerah bagi yang berguna
untuk melaksanakan tujuan pembangunan. Pengelolaan pendapatan asli daerah yang efektif
dan efisien perlu dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi daerah maupun
perekonomian nasional. Kontribusi yang dicapai dari pendapatan asli daerah dapat terlihat
dari seberapa besar pendapatan tersebut disalurkan untuk membangun daerah agar lebih
berkembang dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah yang utama dan
sangat penting bagi pemerintah daerah. Pajak daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah terdiri dari Pajak Provinsi dan Pajak
Kabupaten/Kota. pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh

9
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Yani, pajak daerah merupakan iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang
seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan
daerah (2009).
Jadi, pemerintah daerah dalam hal meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
haruslah dapat dengan bijak menyaring apa saja yang dapat dimasukkan kedalam penerimaan
PAD, dan ditentukan dalam Peraturan Daerah dan dibutuhkan sosialisasi dari pemda untuk
memberikan informasi dan pemahaman yang seluas-luasnya mengenai PAD dan pentingnya
bagi pembangunan daerah dan kesejahteraan kepada masyarakat. Transparansi anggaran harus
dilaksanakan guna meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah yang
bersangkutan.

Jenis penerimaan 2016 2017 2018


A. PENDAPATAN 275.571.195.995 323.493.250.792 331.558.847.475
DAERAH
1. Pendapatan Asli Daerah 133.179.011.317 149.307.806.874 151.651.390.873
1.1. Pajak Daerah 112.689.762.824 125.806.425.501 128.475.985.357
1.2. Retribusi Daerah 1.875.861.563 1.730.752.091 1.905.875.563
1.3. Hasil Perusahaan Milik 3.158.771.341 3.460.154.777 4.010.505.396
Daerah dan Pengelola
Kekayaan Daerah yang
Dipisahkan
1.4. Lain-lain PAD yang sah 15.454.615.589 18.310.474.505 17.259.024.557

2. Dana Perimbangan 113.733.211.865 149.297.354.493 156.608.536.313


2.1. Bagi Hasil Pajak 22.178.206.076 26.118.682.296 29.610.679.537
2.2. Bagi Hasil Bukan 8.488.357.513 7.416.668.470 7.635.701.982
Pajak/Sumber Daya Alam
2.3. Dana Alokasi Umum 38.538.077.004 55.763.530.032 56.447.582.572
2.4. Dana Alokasi Khusus 44.528.571.272 59.998.473.695 62.914.572.222

10
3. Lain-lain Pendapatan 28.658.972.813 24.888.089.425 23.298.920.289
yang Sah

B. PEMBIAYAAN 22 279 863 464 26 118 294 258 26 621 586 834
DAERAH

TOTAL/JUMLAH 297 851 059 459 349 611 545 050 358 180 434 309

2.5 SUMBER PENDAPATAN DAERAH YANG BERASAL DARI PINJAMAN


1. Konsep Pinjaman Daerah
Konsep dasar pinjaman daerah dalam PP 54/2005 dan PP 30/2011 pada prinsipnya
diturunkan dari UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, untuk memberikan alternatif sumber pembiayaan bagi
pemerintah daerah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman. Namun
demikian, mengingat pinjaman memiliki berbagai risiko seperti risiko kesinambungan fiskal,
risiko tingkat bunga, risiko pembiayaan kembali, risiko kurs, dan risiko operasional, maka
Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal nasional menetapkan batas-batas dan rambu-rambu
pinjaman daerah.

2. Prinsip Dasar Pinjaman Daerah


Beberapa prinsip dasar dari pinjaman daerah di antaranya sebagai berikut:
1. Pemerintah Daerah dapat melakukan Pinjaman Daerah.
2. Pinjaman Daerah harus merupakan inisiatif Pemerintah Daerah dalam rangka
melaksanakan kewenangan Pemerintah Daerah.
3. Pinjaman daerah merupakan alternatif sumber pendanaan APBD yang digunakan
untuk menutup defisit APBD, pengeluaran pembiayaan, dan atau kekurangan kas.
4. Pemerintah Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar
negeri.
5. Pemerintah Daerah tidak dapat memberikan jaminan terhadap pinjaman pihak lain.

11
6. Pinjaman Daerah dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pemberi
pinjaman dan Pemerintah Daerah sebagai penerima pinjaman yang dituangkan
dalam perjanjian pinjaman.
7. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan
pinjaman daerah.
8. Proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik daerah yang
melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah.
9. Seluruh penerimaan dan pengeluaran dalam rangka Pinjaman Daerah dicantumkan
dalam APBD.

3. Sumber Pinjaman Daerah Pinjaman Daerah bersumber dari:


1) Pemerintah Daerah lain.
2) Lembaga Keuangan Bank, yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai
tempat kedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3) Lembaga Keuangan Bukan Bank,yaitu lembaga pembiayaan yang berbadan
hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
4) Masyarakat, berupa Obligasi Daerah yang diterbitkan melalui penawaran umum
kepada masyarakat di pasar modal dalam negeri.

4. Jenis Dan Jangka Waktu Pinjaman


1) Pinjaman Jangka Pendek
Merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun
anggaran dan Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Pendek yang meliputi
pokok pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lainnya seluruhnya harus dilunasi dalam
tahun anggaran yang berkenaan.

2) Pinjaman jangka Menengah


Merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran
dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman (pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain)
harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan kepala daerah
yang bersangkutan.

12
3) Pinjaman Jangka Panjang
Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Panjang yang meliputi pokok
pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lain seluruhnya harus dilunasi pada tahun
anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang
bersangkutan.

5. Penggunaan Pinjaman
Penggunaan Pinjaman Daerah telah diatur sebagaimana jenis pinjamannya, yaitu:
1) Pinjaman Jangka Pendek dipergunakan hanya untuk menutup kekurangan arus kas.
2) Pinjaman Jangka Menengah dipergunakan untuk membiayai pelayanan publik
yang tidak menghasilkan penerimaan.
3) Pinjaman Jangka Panjang digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana
dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang (i) menghasilkan
penerimaan langsung, (ii) menghasilkan penerimaan tidak langsung, (iii)
memberikan manfaat ekonomi dan sosial.
4) Khusus Pinjaman Jangka Panjang dalam bentuk Obligasi Daerah digunakan untuk
membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan
pelayanan publik yang menghasilkan penerimaan bagi APBD yang diperoleh dari
pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana tersebut.

6. Prosedur Pinjaman Daerah


1) Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya bersumber dari Pinjaman Luar
Negeri.
2) Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya bersumber dari Pusat Investasi
Pemerintah.
3) Pinjaman Daerah yang dananya bersumber dari Perbankan
4) Pinjaman Daerah yang dananya bersumber dari Masyarakat (Obligasi Daerah)

7. Larangan Penjaminan
1) Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain;
2) Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan;
3) Proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik daerah yang
melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah.

13
8. Pembayaran Kembali Pinjaman
1) Seluruh kewajiban pinjaman daerah yang jatuh tempo wajib dianggarkan dalam
APBD tahun anggaran yang bersangkutan;
2) Dalam hal daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjamannya kepada
Pemerintah, kewajiban membayar pinjaman tersebut diperhitungkan dengan DAU
dan/atau Dana Bagi Hasil yang menjadi hak daerah tersebut.

9. Pelaporan Pinjaman
1) Pemerintah daerah wajib melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban
pinjaman kepada Pemerintah setiap semester dalam tahun anggaran berjalan;
2) Dalam hal daerah tidak menyampaikan laporan, Pemerintah dapat menunda
penyaluran Dana Perimbangan.

Periode : September 2019

No Provinsi Pinjaman yang diberikan (juta) Kredit UMKM (juta)

1 Nanggroe Aceh Darussalam 43,731,859.43 12,100,738.79

2 Sumatera Utara 222,577,708.71 59,619,465.78

3 Sumatera Barat 58,318,413.01 19,558,264.26

4 Riau 104,327,662.12 27,699,838.08

5 Jambi 49,963,716.68 16,647,452.19

6 Sumatera Selatan 130,988,435.65 28,769,527.47

7 Bengkulu 26,928,414.02 8,696,231.50

8 Lampung 81,055,497.78 20,367,450.27

9 Bangka Belitung 26,660,473.28 5,799,549.60

10 Kepulauan Riau 58,553,775.95 9,675,860.49

11 DKI Jakarta 1,765,156,327.17 155,812,091.37

12 Jawa Barat 729,908,401.80 149,790,235.64

13 Jawa Tengah 370,952,062.98 124,138,556.80

14 DI Yogyakarta 61,189,638.47 16,090,718.81

15 Jawa Timur 584,361,823.88 157,093,936.15

16 Banten 336,736,810.75 47,512,544.20

17 Bali 111,712,661.52 38,954,486.06

18 Nusa Tenggara Barat 56,352,319.60 14,052,148.89


19 Nusa Tenggara Timur 33,414,904.99 11,619,915.44

20 Kalimantan Barat 78,826,263.98 21,499,161.12

21 Kalimantan Tengah 56,270,498.31 11,883,242.70

14
22 Kalimantan Selatan 66,414,905.96 14,746,202.67

23 Kalimantan Timur 116,813,054.51 24,307,806.78

24 Sulawesi Utara 45,589,057.85 11,569,464.30

25 Sulawesi Tengah 39,540,978.40 10,294,278.67

26 Sulawesi Selatan 135,225,660.77 39,957,196.42

27 Sulawesi Tenggara 30,415,012.40 8,491,189.86

28 Gorontalo 16,177,658.61 4,244,031.59

29 Sulawesi Barat 12,049,390.09 4,556,981.76

30 Maluku 16,061,993.51 4,011,621.27

31 Maluku Utara 15,544,651.32 2,501,627.81

32 Papua 31,889,906.32 10,768,316.70

33 Papua Barat 20,364,478.61 4,000,215.78

34 Kalimantan Utara 9,918,814.43 2,894,378.60

Total 5,543,993,232.84 1,099,724,727.82

15
BAB III PENUTUP

Kesimpulan
Pembangunan Daerah merupakan suatu usaha yang sistematik dari berbagai pelaku,
baik umum, pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan
yang berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan aspek fisik, sosial
ekonomi. Otonomi daerah pada dasarnya merupakan upaya untuk mewujudkan tercapainya
salah asatu tujuan negara, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemerataan
pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya. Kebijakan mengenai otonomi daerah
tentunya diiringi dengan adanya asas desentralisasi. Desentralisasi merupakan
pengotonomian, yakni proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah
tertentu.
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses, yaitu proses yang mencakup
pembentukan-pembentukan institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif,
perbaikam kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih
baik, identifikasi pasar-pasar baru, dan pengembangan perusahaan-perusahan baru. Ada
beberapa indikator untuk menganalisis derajat kesenjangan dalam pembangunan ekonomi
antarprovinsi, yaitu produk domestik regional bruto (PDRB) per provinsi dalam
pembentukan PDB nasional, PDRB atau pengeluaran konsumsi rumah tangga rata-rata per
kapita, indeks pembangunan manusia (IPM), kontribusi sektoral terhadap pembentukan
PDRB, dan tingkat kemiskinan.

Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari
kegiatan ekonomi daerah itu sendiri. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu
pilar kemandirian suatu daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, sumber PAD terdiri dari pajak
daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan lain-lain pendapatan
daerah yang sah.

16
DAFTAR PUSTAKA

Nehen, Ketut. 2012. Perekonomian Indonesia. Denpasar: Udayana University Press.


http://www.djpk.kemenkeu.go.id/?page_id=328 (diakses pada 13 november 2019 pukul
13:45)
https://www.bi.go.id/id/statistik/sekda/Default.aspx (diakses pada 13 november 2019 pukul
13:45)
https://www.bps.go.id/statictable/2009/02/24/1288/realisasi-penerimaan-pemerintah-
provinsi-seluruh-indonesia-menurut-jenis-penerimaan-2005-2018.html (diakses pada 13
november 2019 pukul 13:45)

17

Anda mungkin juga menyukai