Anda di halaman 1dari 71

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

BPH (Benigna Prostat Hipertropi) adalah pembesaran atau hypertropi


prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung
kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan
hydroureter. Istilah Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena
kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar
periuretra lah yang mengalami hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak).
Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul
surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau
adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.

Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar


prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat
meliputi jaringan kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars prostatika (Lab/UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo,
1994 : 193).

Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang


kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai
bedah. (Jong, Wim de, 1998).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada
pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).

Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar


prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat
obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Morehouse &
Geissler, 2000, hal 671).

1
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra
Pars Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli
(Poernomo, 2000, hal 74).

Hiperplasia prostat jinak juga dikenal sebagai Benign Prostatic


Hypertrophy (BPH) adalah diagnosis histologis yang ditandai oleh proliferasi dari
elemen seluler prostat. Akumulasi seluler dan pembesaran kelenjar timbul dari
proliferasi epitel dan stroma, gangguan diprogram kematian sel (apoptosis), atau
keduanya. (Detters, 2011).

BPH melibatkan unsur-unsur stroma dan epitel prostat yang timbul di zona
periuretra dan transisi dari kelenjar. Hiperplasia menyebabkan pembesaran prostat
yang dapat menyumbat aliran urin dari kandung kemih. BPH dianggap sebagai
bagian normal dari proses penuaan pada pria yang tergantung pada hormon
testosteron dan dihidrotestosteron (DHT). Diperkirakan 50% pria menunjukkan
histopatologis BPH pada usia 60 tahun. Jumlah ini meningkat menjadi 90% pada
usia 85 tahun. (Detters, 2011).

Disfungsi berkemih yang dihasilkan dari pembesaran kelenjar prostat dan


Bladder Outlet Obstruction (BOO) disebut Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS). Ini juga sering disebut sebagai prostatism, meskipun istilah ini jarang
digunakan. Pernyataan ini tumpang tindih, tidak semua laki-laki dengan BPH
memiliki LUT dan tidak semua pria dengan LUT mengalami BPH. Sekitar
setengah dari pria yang didiagnosis dengan BPH histopatologi menunjukkan LUT
berat. (Detters, 2011).

Manifestasi klinis dari LUT meliputi frekuensi kencing, urgency (buang


air kecil yang tidak dapat ditahan), nocturia (bangun di malam hari untuk buang
air kecil), atau polakisuria (sensasi buang air kecil yang tidak puas). Komplikasi
terjadi kurang umum tetapi mungkin dapat terjadi acute urine retention (AUR),
pengosongan kandung kemih terganggu, kebutuhan untuk operasi korektif, gagal
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, batu kandung kemih, atau gross hematuria.
(Detters, 2011).

2
Volume prostat dapat meningkat dari waktu ke waktu pada pria dengan
BPH. Selain itu gejala dapat memburuk dari waktu ke waktu pada pria dengan
BPH yang tidak diobati dan risiko AUR sehingga kebutuhan untuk operasi
korektif meningkat. (Detters, 2011).

Pasien yang tidak mengalami gejala tersebut harus mengalami


kewaspadaan pada komplikasi BPH. Pasien dengan LUT ringan dapat diobati
dengan terapi medis pada awalnya. Transurethral resection of the prostate (TURP)
dianggap standar kriteria untuk menghilangkan BOO yang disebabkan BPH.
Namun, ada minat yang cukup besar dalam pengembangan terapi minimal invasif
untuk mencapai tujuan TURP sambil menghindari efek samping. (Detters, 2011)

B. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan umum

Mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan pada Tn. M dengan Benigna


Prostat Hiperplasia di Ruang Bedah Campuran RSUP Fatmawati.

2. Tujuan khusus

a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada Tn. M dengan Benigna


Prostat Hiperplasia.
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. M dengan Benigna
Prostat Hiperplasia.
c. Mampu membuat perencanaan keperawatan pada Tn. M dengan Benigna
Prostat Hiperplasia.
d. Mampu melakukan pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. M dengan
Benigna Prostat Hiperplasia.
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada Tn. M dengan Benigna
Prostat Hiperplasia.

3
C. MANFAAT PENULISAN

Adapun manfaat dari penulisan Laporan Kasus Lengkap ini adalah :

1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa mengenai


penanganan keperawatan pada pasien dengan Benigna Prostat
Hiperplasia.
2. Memberikan motivasi bagi semua perawat untuk melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia.

D. METODE PENULISAN

Dalam penulisan laporan ini ditempuh dengan metode-metode tertentu


untuk mengumpulkan data dan mengolah data tersebut. Untuk pengumpulan data
dilakukan dengan metode dokumentasi yaitu mengumpulkan berbagai sumber
yang memuat materi yang terkait dengan Benigna Prostat Hiperplasia. Sumber
tersebut diperoleh melalui beberapa buku keperawatan, internet, pasien serta
keluarga pasien. Data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan metode
kualitatif dengan jalan menyusun data-data atau fakta yang ada dan telah
diperoleh secara sistematis serta menuangkannya dalam suatu Laporan Kasus
Lengkap.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada
pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).

Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran atau hypertropi prostat.


Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih
dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan
hydroureter (Dafid Arifiyanto, 2008).

Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar


prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat
obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Morehouse &
Geissler, 2000, hal 671).

Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra


Pars Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli
(Poernomo, 2000, hal 74).

5
B. ANATOMI FISIOLOGI

1. Uretra

Uretra merupakan tabung yg menyalurkan urine keluar dari buli-buli


melalui proses miksi.

Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra
diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-
buli dan uretra, dan sfingter uretra skterna yang terletak pada perbatasan uretra
anterior dan posterior. Pada saat buli-buli penuh sfingter uretra interna akan
terbuka dengan sendirinya karena dindingnya terdiri atas otot polos yang
disarafi oleh sistem otonomik. Sfingter uretra ekterna terdiri atas otot bergaris
yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing
sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan kencing.

Secara anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior
dan uretra anterior. Kedua uretra ini dipisahkan oleh sfingter uretra eksterna.
Panjang uretra wanita ± 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa ± 23-25 cm.
Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran
urine lebih sering terjadi pada pria. Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra
pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan
uretra pars membranasea.

Dibagian posterior lumen uretra prostatika terdapat suatu benjolan


verumontanum, dan disebelah kranial dan kaudal dari veromontanum ini
terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari pars deferens yaitu kedua duktus
ejakulatorius terdapat dipinggir kiri dan kanan verumontanum, sedangkan
sekresi kelenjar prostat bermuara di dalam duktus prostatikus yang tersebar di
uretra prostatika.

Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus


spongiosum penis. Uretra anterior terdiri atas pars bulbosa, pars pendularis,
fossa navikulare dan meatus uretra eksterna.

6
Di dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang
berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada di dalam
diafragma urogenitalis bermuara di uretra pars bulbosa, serta kelenjar littre
yaitu kelenjar parauretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.

2. Kelenjar prostat

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak tepat dibawah leher
kandung kemih, di belakang simfisis pubis dan di depan rektum ( Gibson,
2002, hal. 335 ). Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm
dan beratnya + 20 gr, kelenjar ini mengelilingi uretra dan dipotong melintang
oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari vas deferen.

Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan gladular yang terbagi
dalam beberapa daerah arau zona, yaitu perifer, sentral, transisional,
preprostatik sfingter dan anterior. ( Purnomo, 2000, hal.7, dikutip dari Mc
Neal, 1970)

Asinus setiap kelenjar mempunyai struktur yang rumit, epitel berbentuk


kuboid sampai sel kolumner semu berlapis tergantung pad atingkat aktivitas
prostat dan rangsangan androgenik. Sel epitel memproduksi asam fostat dan
sekresi prostat yang membentuk bagian besar dari cairan semen untuk tranpor
spermatozoa. Asinus kelenjar normal sering mengandung hasil sekresi yang
terkumpul berbentuk bulat yang disebut korpora amilasea. Asinus dikelilingi
oleh stroma jaringan fibrosa dan otot polos. Pasokan darah ke kelenjar prostat
berasal dari arteri iliaka interna cabang vesika inferior dan rectum tengah. Vena
prostat mengalirkan ke pleksus prostatika sekeliling kelenjar dan kemudian ke
vena iliaka interna.

Prostat berfungsi menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu


komponen dari cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus
sekretoriusmuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama
cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Cairan ini merupakan + 25 % dari
volume ejakulat.

7
Jika kelenjar ini mengalami hiperplasi jinak atau berubah menjadi kanker
ganas dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi
saluran kemih. Kelenjar prostat dapat terasa sebagai objek yang keras dan licin
melalui pemeriksaan rektal. Kelenjar prostat membesar saat remaja dan
mencapai ukuran optimal pada laki-laki yang berusia 20-an. Pada banyak laki-
laki, ukurannya terus bertambah seiring pertambahan usia. Saat berusia 70
tahun, dua pertiga dari semua laki-laki mengalami pembesaran prostat yang
dapat menyebabkan obstruksi pada mikturisi dengan menjepit uretra sehingga
mengganggu perkemihan.

C. ETIOLOGI

Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa


pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari
androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan
bantuan enzim 5α-reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan
prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron
(DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT
yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-
Reseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk
menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan
bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan
estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen
berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif. Diketahui estrogen
mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis dan lobus

8
medius) hingga pada hiperestrinisme, bagian inilah yang mengalami hiperplasia.
(Hardjowidjoto,2000).

Menurut Basuki (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti


penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnyahiperplasi prostat adalah :

1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan


estrogen pada usia lanjut.
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu
pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang
mati.
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel
stem sehingga menyebabkan produksi selstroma dan sel epitel kelenjar
prostat menjadi berlebihan

Pada umumnya dikemukakan beberapa teori, yaitu:

Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena suatu
sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus
lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengancepat, sehingga terjadi hiperplasi
kelenjar periuretral.

Teori kedua adalah teori Reawekering menyebutkan bahwa jaringan


kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan
periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.

Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa


dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan
terjadinya konversi testoteron menjadi estrogen. (Sjamsuhidayat, 2005).

9
D. PATOFISIOLOGI

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar
buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20gram. Menurut Mc Neal
(1976) yang dikutip dan bukunya Basuki (2000), membagi kelenjar prostat dalam
beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
fibromuskuler anterior dan periuretra (Basuki, 2000). Sjamsuhidajat (2005),
menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan
testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Basuki (2000)
menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubahmenjadi
dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel
kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar
prostat.

Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya


perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnyadisebabkan oleh
kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan
kekuatankontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem
parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada
tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadiresistensi yang
bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan
mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor
menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor kedalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok).
Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang
kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan
detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila
keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami

10
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin. Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi),
miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas
setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksiwalaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot
detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency,
disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin,sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow
incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi.
ureter danginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan
traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita
harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi
dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinariamenjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi
refluksmenyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

11
E. TANDA DAN GEJALA

Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala


yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran
miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu
lama (hesitancy), harus mengejan (straining), kencing terputus-putus
(intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin
dan inkontinen karena overflow.

Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau


pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitasotot
detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun
untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak
(urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer,2000)

Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4


stadium :

1. Stadium I

Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine


sampai habis.

2. Stadium II

Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine


walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.

3. Stadium III

Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.

12
4. Stadium IV

Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine


menetes secara periodik (over flowin kontinen).

Menurut Smeltzer (2002) menyebutkan bahwa :

Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia,


dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine
yangturun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing
(urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut. Adapun pemeriksaan
kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :

1. Rectal Gradding

Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :

a. Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.


b. Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
c. Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
d. Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
e. Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.

2. Clinical Gradding

Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.

a. Normal : Tidak ada sisa


b. Grade I : sisa 0-50 cc
c. Grade II : sisa 50-150 cc
d. Grade III : sisa > 150 cc
e. Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing

13
F. KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan
semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak
mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan
apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000).

Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik


mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid.
Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah
keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan
sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Soeparman (2000), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan


pada pasien dengan BPH adalah:

a. Laboratorium

1. Sedimen Urin

Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi


saluran kemih.

2. Kultur Urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus


menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan. Foto polos abdomen, mencari kemungkinan adanya batu saluran
kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buli-buli
yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.

14
3. IVP ( Intra Vena Pielografi)

Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa


hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat,
penyakit pada buli-buli.

4. Ultrasonografi ( trans abdominal dan trans rektal )

Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau


mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.

5. Systocopy

Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra


parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada


pasien dengan BPH adalah :

1. Labolatorium

a. Sedimen Urin

Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran


kemih.

b. Kultur Urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus


menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.

2. Pencitraan

a. Foto polos abdomen

Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa


prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin
yang merupakan tanda dari retensi urin.

15
b. IVP (Intra Vena Pielografi)

Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa


hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat,
penyakit pada buli-buli.

c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)

Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau


mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.

d. Systocopy

Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra


parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Watchfull Waiting

Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS yang
diukur dengan sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan (IPSS ≤ 7
atau Madsen Iversen ≤ 9), dilakukan watchful waiting atau observasi yang
mencakup edukasi, reasuransi, kontrol periodik, dan pengaturan gaya hidup.
Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang tidak terlalu terganggu
dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat memulai terapi dengan
malakukan watchful waiting. Saran yang diberikan antara lain :

a. Mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia).


b. Menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik).
c. Mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi
frekuensi miksi).
d. Setiap 3 bulan mengontrol keluhan.

16
2. Tatalaksanan invasif

Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan adenoma.


Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana invasif :

a. Sisa kencing yang banyak

b. Infeksi saluran kemih berulang

c. Batu vesika

d. Hematuria makroskopil

e. Retensi urin berulang

f. Penurunan fungsi ginjal

Standar emas untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral


Resection of the Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai
berat, volume prostat kurang dari 90 gram, dan kondisi pasien memenuhi
toleransi operasi. Komplikasi jangka pendek pada TURP antara lain
perdarahan, infeksi, hiponatremi, retensi karena bekuan darah. Komplikasi
jangka panjang TURP adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd, dan
impotensi.

Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan apabila


volume prostat tidak begitu besar/ada kontraktur leher vesik / prostat fibrotik.
Indikasi TUIP yaitu keluhan sedang atau berat dan volume prostat tidak
begitu besar.

Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan operasi
terbuka dengan teknik transvesikal atau retropubik. Karena morbiditas dan
mortalitas yang tinggi yang ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya
dilakukan apabila ditemukan pula batu vesika yang tidak bisa dipecah dengan
litotriptor / divertikel yang besar (sekaligus diverkulektomi) / volume prostat
lebih dari 100cc. (Sjamsuhidajat, 2004)

17
I. TERAPI OBAT DAN IMPLIKASI KEPERAWATAN

1. Medical Treatment

Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu :

a. Penghambat adrenergik alfa

Obat ini menghambat reseptor alfa pada otot polos di trigonum,


leher vesika, prostat, dan kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi,
penurunan tekanan di uretra pars prostatika, sehingga meringankan
obstruksi. Perbaikan gejala timbul dengan cepat, contohnya Prazosin,
Doxazosin, Terazosin, Afluzosin, atau Tamsulosin. Efek samping yang
dapat timbul adalah karena penurunan tekanan darah sehingga pasien
bisa mengeluh pusing, capek, hidung tersumbat, dan lemah.

b. Penghambat enzim 5 α reduktase

Obat ini menghambat kerja enzim 5 α reduktase sehingga


testosteron tidak diubah menjadi DHT, konsentrasi DHT dalam prostat
menurun, sehingga sintesis protein terhambat. Perbaikan gejala baru
muncul setelah 6 bulan, dan efek sampingnya antara lain melemahkan
libido, dan menurunkan nilai PSA.

c. Phytoterapi

Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis Rooperis,


Pygeum Africanum, Urtica Sp, Sabal Serulla, Curcubita pepo, populus
temula, Echinacea pupurea, dan Secale cereale. Banyak mekanisme kerja
yang belum jelas diketahui, namun PPygeum Africanum diduga
mempengaruhi kerja Growth Factor terutama b-FGF dan EGF. Efek dari
obat lain yaitu anti-estrogen, anti-androgen, menurunkan sex binding
hormon globulin, hambat proliferasi sel prostat, pengaruhi metabolisme
prostaglandin, anti-inflamasi, dan menurunkan tonus leher vesika.
(Sjamsuhidajat, 2004).

18
BAB III

TINJAUAN TEORITIS

A. PENGKAJIAN

Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang


bertujuan untuk mengumpulan informasi/data tentang klien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien
baik fisik, mental, sosial dan lingkungan (Nasrul, E,1995 : 18).

a. Pengumpulan data

Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :

a. Identitas klien

Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis


kelamin, agama, suku bangsa/ras, pendidikan, bahasa yang dipakai,
pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien
adalah laki–laki berusia lebih dari 50 tahun dan biasanya banyak
dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I, 1991 : 1743).

b. Keluhan utama

Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP
adalah nyeri yang berhubungan dengan spasme buli–buli. Pada saat
mengkaji keluhan utama perlu diperhatikan faktor yang mempergawat
atau meringankan nyeri (provokative/paliative), rasa nyeri yang
dirasakan (quality), keganasan/ intensitas (saverity) dan waktu serangan,
lama, kekerapan (time).

c. Riwayat penyakit sekarang

Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan


Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS) antara lain : hesitansi, pancar
urin lemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah selesai
miksi, urgensi, frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).

19
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal
yang dapat menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya
gejala untuk pertama kali atau berulang.

d. Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan


keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan. Diabetes Mellitus,
Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis dan
gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit pasca
bedah (Sunaryo, H, 1999 : 11, 12, 29). Ketahui pula adanya riwayat
penyakit saluran kencing dan pembedahan terdahulu.

e. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun


seperti : Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali .

f. Riwayat psikososial

Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya


serta hubungan interaksi pasca tindakan TURP.

g. Pola – pola fungsi kesehatan

1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.

Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring


selama 24 jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme
buli – buli memerlukan penggunaan anti spasmodik sesuai terapi
dokter. (Marilynn. E.D, 2000 : 683).

2) Pola nutrisi dan metabolisme

Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum
sebelum flatus.

20
3) Pola eliminasi

Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi


urin dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan
inkontinensia dapat terjadi setelah kateter di lepas (Sunaryo, H,
1999: 35)

4) Pola aktivitas dan latihan

Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan


terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang
dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih
diperlukan.

5) Pola tidur dan istirahat

Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat


mempengaruhi pola tidur dan istirahat.

6) Pola kognitif perseptual

Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu


tidak mengalami gangguan pasca TURP.

7) Pola persepsi dan konsep diri

Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang


perawatan dan komplikasi pasca TURP.

8) Pola hubungan dan peran

Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat


mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga
tempat kerja dan masyarakat.

9) Pola reproduksi seksual

Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi


retrograd ( Sunaryo, H, 1999: 36 j ).

21
10) Pola penanggulangan stress

Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang


perawatan dan komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres pada klien
dan mekanisme koping klien terhadap stres tersebut.

11) Pola tata nilai dan kepercayaan

Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan


ibadahnya .

h. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan didasarkan pada sistem – sistem tubuh antara lain :

1) Keadaan umum

Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik,


kecuali bila terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal (
6 jam ) pasca operasi harus diminitor tiap jam dan dicatat. Bila
keadaan tetap stabil interval monitoring dapat diperpanjang misalnya
3 jam sekali (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 20 ).

2) Sistem pernafasan

Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami


kelumpuhan pernapasan kecuali bila dengan konsentrasi tinggi
mencapai daerah thorakal atau servikal (Oswari, 1989 : 40).

3) Sistem sirkulasi

Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP.


Lakukan cek Hb untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan
observasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk mengetahui masukan
dan haluaran.

22
4) Sistem neurologi

Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan


mati rasa karena pengaruh anasthesi SAB (Oswari , 1989 : 40).

5) Sistem gastrointestinal

Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah


(Oswari, 1989 : 40) . Kaji bising usus dan adanya massa pada
abdomen .

6) Sistem urogenital

Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri .


Retensi dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah. Jika terjadi
retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ada
ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing (Sunaryo, H,
1999 : 16). Residual urin dapat diperkirakan dengan cara perkusi.
Traksi kateter dilonggarkan selama 6 – 24 jam (Doddy, 2001 : 6).

7) Sistem muskuloskaletal

Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang


direkatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
(Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21).

i. Pemeriksaan penunjang

1) Laboratorium

Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar hemoglobinnya dan


perlu diulang secara berkala bila urin tetap merah dan perlu di
periksa ulang bila terjadi penurunan tekanan darah dan peningkatan
nadi. Kadar serum kreatinin juga perlu diulang secara berkala
terlebih lagi bila sebelum operasi kadar kreatininnya meningkat.
Kadar natrium serum harus segera diperiksa bila terjadi sindroma

23
TURP. Bila terdapat tanda septisemia harus diperiksa kultur urin dan
kultur darah (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21).

2) Uroflowmetri

Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan setelah


kateter dilepas ( Lab / UPF Ilmu bedah RSUD dr. Soetomo, 1994 :
114).

3) Analisa dan sintesa data

Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian


data tersebut dirumuskan ke dalam masalah keperawatan . Adapun
masalah yang mungkin terjadi pada klien BPH pasca TURP antara
lain : nyeri, retensi urin, resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan
cairan, resiko tinggi ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi
kekurangan cairan, kurang pengetahuan, inkontinensia dan resiko
tinggi disfungsi seksual .

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli : agent injuri
fisik (spasme kandung kemih)
2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan sumbatan saluran
pengeluaran pada kandung kemih: Benigna Prostatatic Hyperplasia
3. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan darah
berlebihan .
4. Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan
irigasi (TURP).
5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli – buli.
6. Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas yang berhubungan
anastesi.( Marilynn, E.D, 2000 : 683 )
7. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut terhadap tindakan
pembedahan

24
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI (NIC)


(NOC)
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan - Mampu mengontrol nyeri O : - Observasi reaksi nonverbal dari
iritasi mukosa buli – buli : agent (tahu penyebab nyeri, ketidaknyamanan
injuri fisik (spasme kandung mencari bantuan) - Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
kemih) - Mampu mengenali nyeri - Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
- Menyatakan rasa nyaman intervensi
setelah nyeri berkurang - Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
M : - Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif
E : - Ajarkan tentang teknik non farmakologi
C : - Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak berhasil
2. Gangguan eliminasi urin - Kandung kemih kosong O : - Monitor efek dari obat-obatan yang
berhubungan dengan sumbatan secara penuh diresepkan
saluran pengeluaran pada kandung - Tidak ada residu urine - Monitor asupan dan keluaran

25
kemih: Benigna Prostatatic - Intake cairan dalam - Monitor tingkat distensi kandung kemih
Hyperplasia rentang normal dengan palpasi dan perkusi
- Bebas dari ISK M : - Lakukan penilaian kemih yang komprehensif
- Balance cairan seimbang berfokus pada inkontinensia
E : - Instruksikan cara-cara untuk menghindari
konstipasi dan impaksi tinja
3. Resiko tinggi kekurangan cairan - Mempertahankan urine O : - Monitor status hidrasi (kelembaban membran
berhubungan dengan kehilangan output sesuai dengan usia mukosa, nadi adekuat, tekanan darah
darah berlebihan . dan BB, urine normal, HT ortostatik)
normal - Monitor vital sign
- Tekanan darah, nadi suhu - Monitor masukan makanan/cairan dan hitung
tubuh dalam batas normal intake kalori harian
- Tidak ada tanda-tanda - Monitor status nutrisi
dehidrasi, elastisitas - Monitor status cairan termasuk intake dan
turgor kulit baik, output cairan
membran mukosa - Monitor tingkat HB dan HT
lembab, tidak ada rasa - Monitor respon pasien terhadap penambahan
haus yang berlebihan cairan
- Monitor berat badan

26
M : - Pertahankan catatan intake dan output yang
akurat
- Dorong masukan oral
- Dorong pasien untuk menambah intake oral
E : - Dorong keluarga untuk membantu pasien
makan
C : - Kolaborasi pemberian cairan IV
4. Resiko tinggi kelebihan cairan - Terbebas dari edema, O : - Monitor hasil HB yang sesuai dengan retensi
yang berhubungan dengan efusi, anaskara cairan
absorbsi cairan irigasi (TURP). - Terbebas dari distensi - Monitor vital sign
vena jugularis - Monitor indikasi retensi/ kelebihan cairan
- Terbebas dari kelelahan, - Monitor masukan makanan/cairan dan hitung
kecemasan, atau intake kalori
kebingungan - Monitor status nutrisi
- Monitor berat badan
M : - Pertahankan catatan intake dan output yang
akurat
- Pasang urin kateter jika diperlukan
C : - Kolaborasi pemberian diuretik sesuai interuksi

27
- Kolaborasi dengan dokter jika tanda cairan
berlebih muncul memburuk
5. Resiko tinggi terhadap infeksi - Klien bebas dari tanda O : - Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
berhubungan dengan kateter di dan gejala infeksi lokal
buli – buli. - Menunjukkan - Monitor hitung granulosit, WBC
kemampuan untuk - Monitor kerentanan terhadap infeksi
mencegah timbulnya M : - Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
infeksi tindakan keperawatan
- Jumlah leukosit dalam - Tingkatkan intake nutrisi
batas normal - Dorong masukkan nutrisi yang cukup
- Menunjukkan perilaku - Dorong masukkan cairan
hidup sehat - Dorong istirahat
- Instruksikan pasien untuk minum antibiotik
yang cukup
E : - Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi
- Ajarkan cara menghindari infeksi
C : - Kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik
yang cukup

28
6. Resiko tinggi terhadap - Menunjukkan jalan nafas O : - Monitor respirasi dan status oksigen
ketidakefektifan pola napas yang yang paten - Monitor tekanan darah, nadi, suhu, RR
berhubungan anastesi. - Tanda-tanda vital dalam - Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan RR
rentang normal (tekanan sebelum, selama dan setelah beraktivitas
darah, nadi, pernafasan) - Monitor kualitas dari nadi
- Monitor frekuensi dan irama pernapasan
- Monitor suara paru
- Monitor pola pernapasan abnormal
- Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
- Monitor sianosis perifer
M : - Posisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi
- Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
tambahan
- Catat adanya fluktuasi tekanan darah
- Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
7. Ansietas berhubungan dengan - Klien mampu O : - Monitor tingkat kecemasan pasien
perasaan takut terhadap tindakan mengidentifikasi dan M : - Gunakan pendekatan yang menenangkan
pembedahan mengungkapkan gejala - Bantu pasien mengenal situasi yang

29
cemas menimbulkan kecemasan
- Mengidentifikasi, - Dengarkan dengan penuh perhatian
mengungkapkan, dan - Dorong pasien untuk mengungkapkan
menunjukkan teknik perasaan, ketakutan, dan persepsi
untuk mengontrol cemas E : - Jelaskan semua prosedur dan apa yang
- Vital sign dalam batas dirasakan selama prosedur
normal - Instruksikan pasien menggunakan teknik
- Postur tubuh, ekspresi relaksasi
wajah, bahasa tubuh dan C : - Kolaborasi pemberian obat untuk mengurangi
tingkat aktivitas kecemasan
menunjukkan
berkurangnya kecemasan

30
D. IMPLEMENTASI

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN IMPLEMENTASI


1. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa buli - Mengobservasi reaksi nonverbal dari
– buli : agent injuri fisik (spasme kandung kemih) ketidaknyamanan
- Mengkaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
- Mengkaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
intervensi
- Memonitor penerimaan pasien tentang manajemen
nyeri
- Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
- Mengajarkan tentang teknik non farmakologi
- Mengkolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri tidak berhasil
2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan - Memonitor efek dari obat-obatan yang diresepkan
sumbatan saluran pengeluaran pada kandung kemih: - Memonitor asupan dan keluaran
Benigna Prostatatic Hyperplasia - Memonitor tingkat distensi kandung kemih dengan
palpasi dan perkusi
- Melakukan penilaian kemih yang komprehensif

31
berfokus pada inkontinensia
- Menginstruksikan cara-cara untuk menghindari
konstipasi dan impaksi tinja
3. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan - Memonitor status hidrasi (kelembaban membran
dengan kehilangan darah berlebihan mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik)
- Memonitor vital sign
- Memonitor masukan makanan/cairan dan hitung
intake kalori harian
- Memonitor status nutrisi
- Memonitor status cairan termasuk intake dan output
cairan
- Memonitor tingkat HB dan HT
- Memonitor respon pasien terhadap penambahan cairan
- Memonitor berat badan
- Mempertahankan catatan intake dan output yang
akurat
- Mendorong masukan oral
- Mendorong pasien untuk menambah intake oral
- Mendorong keluarga untuk membantu pasien makan

32
- Mengkolaborasikan pemberian cairan IV
4. Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan - Memonitor hasil HB yang sesuai dengan retensi cairan
dengan absorbsi cairan irigasi (TURP) - Memonitor vital sign
- Memonitor indikasi retensi/ kelebihan cairan
- Memonitor masukan makanan/cairan dan hitung
intake kalori
- Memonitor status nutrisi
- Memonitor berat badan
- Mempertahankan catatan intake dan output yang
akurat
- Memasang urin kateter jika diperlukan
- Mengkolaborasikan pemberian diuretik sesuai
interuksi
- Mengkolaborasikan dengan dokter jika tanda cairan
berlebih muncul memburuk
5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan - Memonitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
kateter di buli – buli - Memonitor hitung granulosit, WBC
- Memonitor kerentanan terhadap infeksi
- Mencuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan

33
keperawatan
- Meningkatkan intake nutrisi
- Mendorong masukkan nutrisi yang cukup
- Mendorong masukkan cairan
- Mendorong istirahat
- Menginstruksikan pasien untuk minum antibiotik
yang cukup
- Mengajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi
- Mengajarkan cara menghindari infeksi
- Mengkolaborasikan dengan dokter pemberian
antibiotik yang cukup
6. Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas - Monitor respirasi dan status oksigen
yang berhubungan anastesi - Monitor tekanan darah, nadi, suhu, RR
- Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan RR sebelum,
selama dan setelah beraktivitas
- Monitor kualitas dari nadi
- Monitor frekuensi dan irama pernapasan
- Monitor suara paru

34
- Monitor pola pernapasan abnormal
- Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
- Monitor sianosis perifer
- Memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
- Melakukan auskultasi suara nafas, catat adanya suara
tambahan
- Mencatat adanya fluktuasi tekanan darah
- Mengidentifikasi penyebab dari perubahan vital sign
7. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut - Memonitor tingkat kecemasan pasien
terhadap tindakan pembedahan - Mengunakan pendekatan yang menenangkan
- Membantu pasien mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan
- Mendengarkan dengan penuh perhatian
- Menjelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan
selama prosedur
- Menginstruksikan pasien menggunakan teknik
relaksasi
- Mengkolaborasikan pemberian obat untuk
mengurangi kecemasan

35
E. EVALUASI

Hasil dari evaluasi dari yang diharapkan dalam pemberian tindakan


keperawatan melalui proses keperawtan pada klien dengan Benigna Prostatic
Hypertrophy berdasarkan tujuan pemulangan adalah :

1. Nyeri/ ketidaknyamanan hilang


2. Tidak terjadi gangguan eliminasi urin
3. Cairan terpenuhi secara adekuat
4. Cairan tubuh tidak berlebihan
5. Tidak terjadi retensi urine
6. Risiko infeksi dihindari
7. Ansietas hilang

36
BAB IV

TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN

1. Identitas

a. Klien

Inisial Klien : Tn. M

Umur : 58 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Suku/Bangsa : Sumatera/Indonesia

Agama : Islam

Pekerjaan : Swasta

Pendidikan : SD

Alamat : Jl. KP. Duku/Keb. Lama

Tanggal Masuk RS : 02 September 2013

Diagnosa Medis : Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH )

No. MR : 01175903

b. Penanggung jawab

Nama : Nurmi

Umur : 58 Tahun

Pekerjaan : IRT

Pendidikan : SD

Alamat : Jl. KP.Duku/Keb.Lama

37
Pekerjaan : Swasta

Hubungan keluarga : Istri

2. Riwayat perawatan

a. Keluhan utama :

Tidak mampu BAK sejak 6 bulan sebelum masuk Rumah Sakit

b. Riwayat penyakit

1) Riwayat penyakit sebelumnya (upaya yang dilakukan dan terapi) :

Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes melitus dan hipertensi sejak 6


tahun yang lalu. Pasien pernah berobat ke Puskesmas Kebayoran Lama
dan diberikan kaptopril.

2) Riwayat penyakit sekarang (PQRST, upaya yang dilakukan dan terapi) :

Pasien datang dengan keluhan tidak mampu BAK sejak 6 bulan sebelum
masuk Rumah Sakit. Pada awalnya pasien mengeluh susah BAK, disertai
nyeri pada perut dan tidak mampu duduk. Pasien juga terkadang demam.
Pasien dibawa ke Rumah Sakit dan dipasang selang kateter agar BAK
lancar.

3) Riwayat kesehatan keluarga

Pasien menyatakan tidak ada keluarga yang memilki penyakit sama


seperti yang dialami pasien.

3. Observasi pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum

Pasien tampak lemah. Nyeri sedang (skala 5 dari 1 – 10), komunikasi baik,
terpasang infus di lengan kanan. Terpasang selang kateter.

b. Tanda-tanda vital

TD : 160/80 mmHg

38
N : 88x/menit

SB : 36,8°C

RR : 22x/menit

c. Body system

1) Pernapasan

a) Hidung : nampak bersih

b) Trakhea : Tidak ditemukan masalah pada trakea

c) Dada : bentuk dada normal

d) Tipe pernapasan : normal

e) Bunyi napas : normal, tidak terdapat bunyi napas tambahan

2) Pengindraan

a) Mata

- Penglihatan : normal

- Gerakan bola mata : mata kanan dan kiri mampu bergerak normal

- Sklera : normal

- Konjungtiva : merah muda

b) Nyeri

- Pendengaran : normal

- Keseimbangan : normal

- Membran timpani : terdapat 2 buah lubang kecil

c) Penghidu

- Bentuk : simetris

39
- Obstruksi : tidak ada

- Lesi : tidak ada

- Nyeri tekan : tidak ada

3) Kardiovaskuler (B2: Bleeding)

- Nyeri dada : tidak ada

- Suara jantung : normal

4) Persyarafan

a) Tingkat kesadaran : Composmentis

b) GCS :

E :6

V :5

M :4

Total nilai : 15

c) Penilaian fungsi syaraf cranial

- Syaraf cranial I : Olfaktorius. Pasien mampu membedakan


bau-bauan dengan tepat dan benar.
- Syaraf cranial II : Optikus. Penglihatan pasien berkurang,
kabur. Skleras buram.
- Syaraf cranial III : Okulomotoris. Pergerakkan bola mata
kanan dan kiri pasien normal.
- Syaraf cranial IV : Trokhlearis. Refleks menggerakkan mata
kebawah dan keatas baik.
- Syaraf cranial V : Trigeminus. Refleks kornea berkurang.
- Syaraf cranial VI : Abdusen. Refleks pergerakkan mata baik.
- Syaraf cranial VII : Fasialis. Pasien mampu membuka dan
menutup mata dan kelopak mata.

40
- Syaraf cranial VIII : Vestibulochoclearis. Pasien tidak mampu
mendengar dengan baik/pendengaran berkurang.
- Syaraf cranial IX : Glosofaringeus. Refleks pasien dalam
membedakan rasa baik.
- Syaraf cranial X : Vagus. Refleks menelan pasien normal.
- Syaraf cranial XI : Asesoris. Refleks bahu pasien terhadap
tahanan normal.
- Syaraf cranial XII : Hipoglosus. Refleks gerakkan lidah baik.

d) Pemeriksaan sensorik dan motorik

Fungsi sensorik : fungsi sensorik pasien menurun

Fungsi motorik : skala : - Ekstremitas atas kanan dan kiri 5

- Ekstremitas bawah kanan dan kiri 4

e) Status refleks

Refleks tendon bagian dalam : respon otot normal

Refleks patologis : normal

5) Perkemihan

a) Produksi urine : 700 CC (tampungan kateter)

b) Warna : kuning tua

c) Bau : amoniak

d) Pembedahan : Post operasi prostat, terpasang kateter

6) Pencernaan

a) Mulut dan gigi : Mukosa mulut lembab, bibir kering, gigi tidak
lengkap. Kebersihan kurang

b) Tenggorokkan : Tidak ada perbesaran kelenjar tiroid dan paratiroid.


Tidak ada penumpukkan sekret.

41
c) Abdomen : Abdomen simetris, nyeri seperti ditusuk dan panas saat
hendak dan sedang BAK.

d) Rectum anus : normal

e) BAB : 1x/hari

Konsistensi : Lunak, warna kuning

7) Tulang-otot, kulit (Muskuloskeletal-integumen)

a) Kekuatan : Kekuatan otot baik, tidak ada tahanan saat pemeriksaan.

b) Pergerakkan : Pergerakkan baik.

c) Bentuk tulang : Bentuk tulang normal

8) Reproduksi

a) Laki-laki

Penis : Terpasang kateter, bersih

Scrotum : Bersih, tidak ditemukan masalah

Testis : tidak ditemukan masalah

4. Pola fungsi kesehatan

a. Persepsi terhadap kesehatan dan penyakit :

Pasien menyatakan menerima penyakitnya dan menjalani dengan ikhlas.


Pasien yakin akan sembuh.

b. Fungsi kesehatan

NO POLA FUNGSI SEBELUM SAKIT KETIKA SAKIT


KESEHATAN
1. Nutrisi –Metabolisme
- Frekuensi 3 kali/hari 3 kali/hari
- Nafsu makan Kuat Kuat

42
- Jenis makanan Makanan berlemak Diit bubur
- Jenis minuman Kopi, air putih Air putih, teh
- Jumlah 1-2 porsi/makanan 1 porsi/makanan
makanan
- Jumlah 1,5 liter/hari <1 liter/hari
minuman
- Kebiasaan Harus ada kopi -
minum
- Kebiasaan Makanan berlemak -
makan
- Berat badan 70 kg 68 kg
- Tinggi badan 168 cm 168 cm
- Diit khusus - -
2. Pola Tidur – Istirahat
- Malam 8-9 jam 8-9 jam
- Siang 3 jam 3 jam
- Kebiasaan - -
sebelum tidur
Masalah/ keluhan : Saat sakit pasien menyatakan tidak ada masalah dengan
pola asupan kebutuhan nutrisi. Pasien tidak menyukai makanan yang
disediakan RS.

c. Kognitif

Pasien mengetahui penyakitnya saat sudah dirawat di RS. Pasien cemas


dengan penyakitnya

d. Persepsi diri/ konsep diri

Pasien ingin sembuh dari penyakit yang dideritanya

e. Peran/ hubungan

Pasien merupakan seorang ayah dan kepala keluarga. Pasien memiliki


hubungan yang baik terhadap keluarga dan orang sekitarnya.

43
f. Koping – toleransi stress

Pasien ramah dan mudah diajak bicara. Pasien banyak tidur dalam
keseharian.

g. Nilai – pola keyakinan

Pasien memiliki kepercayaan dan yakin akan kesembuhannya.

5. Psikososial – spiritual

Berkomunikasi

- Bahasa sehari-hari : Betawi, Bahasa Indonesia

- Berbicara : Normal

- Hubungan dengan keluarga : Pasien memiliki hubungan yang baik terhadap


keluarganya. Keluarga pasien juga sangat mendukung proses keperawatan
yang diterima pasien.

- Hubungan dengan teman/ petugas kesehatan : Baik, pasien berinteraksi secara


baik dan ramah.

- Ekspresi dan afek emosi : cemas

6. Data penunjang

a) Pemeriksaan Laboratorium

Hematologi

- Hb : 10,0 g/dL
- Hematokrit : 32,9 %
- Leukosit : 10.000 sel/mm3
- Trombosit : 206.000 sel/mm3
- Eritrosit : 3,5 juta/mm3

Urinalisa

- Bau : Khas

44
- Warna : Kuning
- Kekeruhan : Keruh
- Ph : 7,0
- Protein :+
- Reduksi :-
- Keton :-
- Bilirubin :-
- Urobilin :-
- Nitrit :-
- BJ urin : 1,010

Sedimen

- Eritrosit : 6-8
- Lekosit : 25-30 (ada yang bergelombang)
- Bakteri : positif
- Benang mucus : +
- Kristal : AMORS/+

b) USG

Hipertrofi Prostat ( volume +/- 37 CC )

Kista Ginjal Kiri

Buli = sam. Neurosen bladder

c) Pemeriksaan Radiologi

X Foto BNO - IVP :

UTI dikedua ginjal

Cystitis

Pembesaran kelenjar prostat

45
7. Terapi dan implikasi keperawatan

- Ranitidin 2 x 1 amp
- Ceftriaxon 1 x 2 gr
- Ketorolac 1 x 1 amp
- Infus NaCl : RL 30 tpm
- Parasetamol 500 mg 1 x1

8. Analisa data

NO DATA ETIOLOGI PROBLEM


1. DS : Iritasi mukosa buli – Nyeri
Klien mengatakan nyeri saat buli : agent injuri
akan dan hendak BAK pada fisik
bagian abdomen.
DO :
- Klien tampak lemah
- Klien tampak meringis
- TTV
TD : 160/100 mmHg
N : 88x/ menit
SB : 36,8°C
RR : 22x/menit
P : Nyeri saat akan dan
hendak BAK
Q : Nyeri seperti ditusuk-
tusuk
R : Pada bagian abdomen
S : Skala nyeri 7 (1-10)
T : Saat akan dan hendak
BAK
2. DS : Pemakaian kateter Resiko tinggi
Klien mengatakan sudah secara berkelanjutan, infeksi

46
menggunakan kateter untuk pajanan tindakan
BAK selama 6 bulan medis.
DO :
- Terpasang selang kateter.
- Urine tampung 150 CC
- Tampak kemerahan pada
glan penis.
3. DS : Cemas terhadap Ansietas
Klien mengatakan cemas penyakitnya
tentang penyakit yang
dideritanya
DO :
Klien tampak cemas dan
gelisah

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri berhubungan dengan Iritasi mukosa buli – buli : agent injuri fisik
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan Pemakaian kateter secara
berkelanjutan, pajanan tindakan medis.
3. Ansietas berhubungan dengan cemas terhadap penyakitnya

47
C. NURSING CARE PLANNING (NCP)

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI (NIC)


(NOC)
1. Nyeri berhubungan dengan Iritasi - Mampu mengontrol nyeri Management nyeri
mukosa buli – buli : agent injuri - Mampu mengenali nyeri Observasi :
fisik - Menyatakan rasa nyaman 1. Observasi TTV
DS : setelah nyeri berkurang Mandiri :
Klien mengatakan nyeri saat akan - Nyeri hilang/ berkurang 2. Kaji skala nyeri (PQRST)
dan hendak BAK pada bagian Edukasi :
abdomen. 3. Ajarkan teknik non farmakologi untuk
DO : mengurangi rasa nyeri
- Klien tampak lemah Kolaborasi :
- Klien tampak meringis 4. Kolaborasi dengan dokter dan tim medis
- TTV lainnya dalam pemberian obat analgetik
TD : 160/100 mmHg 5. Kolaborasi dengan dokter jika ada
N : 88x/ menit keluhan dan tindakan nyeri yang tidak
SB : 36,8°C berhasil
RR : 22x/menit

48
P : Nyeri saat akan dan hendak BAK
Q : Nyeri seperti ditusuk-tusuk
R : Pada bagian abdomen
S : Skala nyeri 7 (1-10)
T : Saat akan dan hendak BAK
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan - Klien bebas dari tanda Observasi
dengan Pemakaian kateter secara dan gejala infeksi 1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
berkelanjutan, pajanan tindakan - Menunjukkan dan lokal
medis. kemampuan untuk 2. Monitor hitung granulosit, WBC
DS : mencegah timbulnya 3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
Klien mengatakan sudah infeksi Mandiri
menggunakan kateter untuk BAK - Jumlah leukosit dalam 4. Tingkatkan intake nutrisi
selama 6 bulan batas normal 5. Dorong masukkan nutrisi yang cukup
DO : - Menunjukkan perilaku 6. Dorong masukkan cairan
- Terpasang selang kateter. hidup sehat 7. Dorong istirahat
- Urine tampung 150 CC Edukasi
- Tampak kemerahan pada glan 8. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan
penis. gejala infeksi
9. Ajarkan cara menghindari infeksi

49
Kolaborasi
10. Kolaborasi dengan dokter pemberian
antibiotik yang cukup
3. Ansietas berhubungan dengan - Klien mampu Observasi
cemas terhadap penyakitnya mengidentifikasi dan 1. Monitor tingkat kecemasan pasien
DS : mengungkapkan gejala Mandiri
Klien mengatakan cemas tentang cemas 2. Gunakan pendekatan yang menenangkan
penyakit yang dideritanya - Mengidentifikasi, 3. Dorong pasien untuk mengungkapkan
DO : mengungkapkan, dan perasaan, ketakutan, dan persepsi
Klien tampak cemas dan gelisah menunjukkan teknik Edukasi
untuk mengontrol cemas 4. Instruksikan pasien menggunakan teknik
- Vital sign dalam batas relaksasi
normal Kolaborasi
- Postur tubuh, ekspresi 5. Kolaborasi pemberian obat untuk
wajah, bahasa tubuh dan mengurangi kecemasan (jika perlu)
tingkat aktivitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan

50
D. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

HARI PERTAMA

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TANGGAL IMPLEMENTASI EVALUASI


1. Nyeri berhubungan dengan 3-9-2013 1. Mengobservasi TTV S:
Iritasi mukosa buli – buli : agent 2. Mengkaji skala nyeri - Klien mengatakan
injuri fisik (PQRST) masih nyeri saat akan
DS : 3. Mengajarkan teknik non dan hendak BAK pada
Klien mengatakan nyeri saat akan farmakologi untuk bagian abdomen
dan hendak BAK pada bagian mengurangi rasa nyeri O:
abdomen. 4. Mengkolaborasi dengan - Kliem tampak lemah
DO : dokter dan tim medis lainnya - Klien tampak meringis
- Klien tampak lemah dalam pemberian obat - TTV
- Klien tampak meringis analgetik TD : 160/100 mmHg
- TTV 5. Mengkolaborasi dengan N : 88x/ menit
TD : 160/100 mmHg dokter jika ada keluhan dan SB : 36,8°C
N : 88x/ menit tindakan nyeri yang tidak RR : 22x/menit
SB : 36,8°C berhasil P : Nyeri saat akan dan
RR : 22x/menit hendak BAK

51
P : Nyeri saat akan dan hendak Q : Nyeri seperti ditusuk-
BAK tusuk
Q : Nyeri seperti ditusuk-tusuk R : Pada bagian abdomen
R : Pada bagian abdomen S : Skala nyeri 7 (1-10)
S : Skala nyeri 7 (1-10) T : Saat akan dan hendak
T : Saat akan dan hendak BAK BAK
A:
- Masalah belum teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan
6. Mengobservasi TTV
7. Mengkaji skala nyeri
(PQRST)
8. Mengajarkan teknik
non farmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri
9. Mengkolaborasi
dengan dokter dan tim
medis lainnya dalam

52
pemberian obat
analgetik
10. Mengkolaborasi
dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan
nyeri yang tidak
berhasil
2. Resiko tinggi infeksi 3-9-2013 1. Memonitor tanda dan gejala S:
berhubungan dengan Pemakaian infeksi sistemik dan lokal - Klien mengatakan
kateter secara berkelanjutan, 2. Memonitor hitung sudah menggunakan
pajanan tindakan medis. granulosit, WBC kateter untuk BAK
DS : 3. Memonitor kerentanan selama 6 bulan
Klien mengatakan sudah terhadap infeksi O:
menggunakan kateter untuk BAK 4. Meningkatkan intake nutrisi - Klien masih
selama 6 bulan 5. Mendorong masukkan terpasang kateter
DO : nutrisi yang cukup A:
- Terpasang selang kateter. 6. Mendorong masukkan - Masalah belum
- Urine tampung 150 CC cairan teratasi
- Tampak kemerahan pada glan 7. Mendorong istirahat P:

53
penis. 8. Mengjarkan pasien dan Intervensi dilanjutkan
keluarga tanda dan gejala 11. Memonitor tanda dan
infeksi gejala infeksi sistemik
9. Mengajarkan cara dan lokal
menghindari infeksi 12. Memonitor hitung
10. Mengkolaborasi dengan granulosit, WBC
dokter pemberian antibiotik 13. Memonitor kerentanan
yang cukup terhadap infeksi
14. Meningkatkan intake
nutrisi
15. Mendorong masukkan
nutrisi yang cukup
16. Mendorong masukkan
cairan
17. Mendorong istirahat
18. Mengjarkan pasien dan
keluarga tanda dan gejala
infeksi
19. Mengajarkan cara

54
menghindari infeksi
Mengkolaborasi dengan
dokter pemberian
antibiotik yang cukup
3. Ansietas berhubungan dengan 3-9-2013 1. Memonitor tingkat S:
cemas terhadap penyakitnya kecemasan pasien - Klien mengatakan
DS : 2. Mengunakan pendekatan masih cemas sedikit
Klien mengatakan cemas tentang yang menenangkan tentang penyakitnya
penyakit yang dideritanya 3. Mendorong pasien untuk O:
DO : mengungkapkan perasaan, - Klien tampak cemas
Klien tampak cemas dan gelisah ketakutan, dan persepsi dan gelisah
4. Menginstruksikan pasien A:
menggunakan teknik - Masalah belum
relaksasi teratasi
5. Mengkolaborasi pemberian P:
obat untuk mengurangi Intervensi dilanjutkan
kecemasan (jika perlu) 6. Memonitor tingkat
kecemasan pasien
7. Mengunakan pendekatan

55
yang menenangkan
8. Mendorong pasien untuk
mengungkapkan
perasaan, ketakutan, dan
persepsi
9. Menginstruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi
Mengkolaborasi
pemberian obat untuk
mengurangi kecemasan
(jika perlu)

56
HARI KEDUA

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TANGGAL IMPLEMENTASI EVALUASI


1. Nyeri berhubungan dengan 4-9-2013 11. Mengobservasi TTV S:
Iritasi mukosa buli – buli : agent 12. Mengkaji skala nyeri - Klien mengatakan
injuri fisik (PQRST) masih nyeri saat akan
DS : 13. Mengajarkan teknik non dan hendak BAK pada
Klien mengatakan nyeri saat akan farmakologi untuk bagian abdomen
dan hendak BAK pada bagian mengurangi rasa nyeri O:
abdomen. 14. Mengkolaborasi dengan - Kliem tampak lemah
DO : dokter dan tim medis lainnya - Klien tampak meringis
- Klien tampak lemah dalam pemberian obat - TTV
- Klien tampak meringis analgetik TD : 160/100 mmHg
- TTV 15. Mengkolaborasi dengan N : 88x/ menit
TD : 160/100 mmHg dokter jika ada keluhan dan SB : 36,8°C
N : 88x/ menit tindakan nyeri yang tidak RR : 22x/menit
SB : 36,8°C berhasil P : Nyeri saat akan dan
RR : 22x/menit hendak BAK
P : Nyeri saat akan dan hendak Q : Nyeri seperti ditusuk-

57
BAK tusuk
Q : Nyeri seperti ditusuk-tusuk R : Pada bagian abdomen
R : Pada bagian abdomen S : Skala nyeri 7 (1-10)
S : Skala nyeri 7 (1-10) T : Saat akan dan hendak
T : Saat akan dan hendak BAK BAK
A:
- Masalah belum teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan
16. Mengobservasi TTV
17. Mengkaji skala nyeri
(PQRST)
18. Mengajarkan teknik
non farmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri
19. Mengkolaborasi
dengan dokter dan tim
medis lainnya dalam
pemberian obat

58
analgetik
20. Mengkolaborasi
dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan
nyeri yang tidak
berhasil
2. Resiko tinggi infeksi 4-9-2013 20. Memonitor tanda dan gejala S:
berhubungan dengan Pemakaian infeksi sistemik dan lokal - Klien mengatakan
kateter secara berkelanjutan, 21. Memonitor hitung sudah menggunakan
pajanan tindakan medis. granulosit, WBC kateter untuk BAK
DS : 22. Memonitor kerentanan selama 6 bulan
Klien mengatakan sudah terhadap infeksi O:
menggunakan kateter untuk BAK 23. Meningkatkan intake nutrisi - Klien masih
selama 6 bulan 24. Mendorong masukkan terpasang kateter
DO : nutrisi yang cukup A:
- Terpasang selang kateter. 25. Mendorong masukkan - Masalah belum
- Urine tampung 150 CC cairan teratasi
- Tampak kemerahan pada glan 26. Mendorong istirahat P:
penis. 27. Mengjarkan pasien dan Intervensi dilanjutkan

59
keluarga tanda dan gejala 30. Memonitor tanda dan
infeksi gejala infeksi sistemik
28. Mengajarkan cara dan lokal
menghindari infeksi 31. Memonitor hitung
29. Mengkolaborasi dengan granulosit, WBC
dokter pemberian antibiotik 32. Memonitor kerentanan
yang cukup terhadap infeksi
33. Meningkatkan intake
nutrisi
34. Mendorong masukkan
nutrisi yang cukup
35. Mendorong masukkan
cairan
36. Mendorong istirahat
37. Mengjarkan pasien dan
keluarga tanda dan gejala
infeksi
38. Mengajarkan cara
menghindari infeksi

60
Mengkolaborasi dengan
dokter pemberian
antibiotik yang cukup
3. Ansietas berhubungan dengan 4-9-2013 10. Memonitor tingkat S:
cemas terhadap penyakitnya kecemasan pasien - Klien mengatakan
DS : 11. Mengunakan pendekatan sudah tidak cemas
Klien mengatakan cemas tentang yang menenangkan terhadap penyakitnya
penyakit yang dideritanya 12. Mendorong pasien untuk O:
DO : mengungkapkan perasaan, - Klien sudah terlihat
Klien tampak cemas dan gelisah ketakutan, dan persepsi biasa-biasa saja
13. Menginstruksikan pasien A:
menggunakan teknik - Masalah teratasi
relaksasi P:
14. Mengkolaborasi pemberian Intervensi dihentikan
obat untuk mengurangi
kecemasan (jika perlu)

61
HARI KETIGA

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN TANGGAL IMPLEMENTASI EVALUASI


1. Nyeri berhubungan dengan 5-9-2013 21. Mengobservasi TTV S:
Iritasi mukosa buli – buli : agent 22. Mengkaji skala nyeri - Klien mengatakan
injuri fisik (PQRST) masih nyeri saat akan
DS : 23. Mengajarkan teknik non dan hendak BAK pada
Klien mengatakan nyeri saat akan farmakologi untuk bagian abdomen
dan hendak BAK pada bagian mengurangi rasa nyeri O:
abdomen. 24. Mengkolaborasi dengan - Kliem tampak lemah
DO : dokter dan tim medis lainnya - Klien tampak meringis
- Klien tampak lemah dalam pemberian obat - TTV
- Klien tampak meringis analgetik TD : 160/100 mmHg
- TTV 25. Mengkolaborasi dengan N : 88x/ menit
TD : 160/100 mmHg dokter jika ada keluhan dan SB : 36,8°C
N : 88x/ menit tindakan nyeri yang tidak RR : 22x/menit
SB : 36,8°C berhasil P : Nyeri saat akan dan
RR : 22x/menit hendak BAK
P : Nyeri saat akan dan hendak Q : Nyeri seperti ditusuk-

62
BAK tusuk
Q : Nyeri seperti ditusuk-tusuk R : Pada bagian abdomen
R : Pada bagian abdomen S : Skala nyeri 7 (1-10)
S : Skala nyeri 7 (1-10) T : Saat akan dan hendak
T : Saat akan dan hendak BAK BAK
A:
- Masalah belum teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan
26. Mengobservasi TTV
27. Mengkaji skala nyeri
(PQRST)
28. Mengajarkan teknik
non farmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri
29. Mengkolaborasi
dengan dokter dan tim
medis lainnya dalam
pemberian obat

63
analgetik
30. Mengkolaborasi
dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan
nyeri yang tidak
berhasil
2. Resiko tinggi infeksi 5-9-2013 39. Memonitor tanda dan gejala S:
berhubungan dengan Pemakaian infeksi sistemik dan lokal - Klien mengatakan
kateter secara berkelanjutan, 40. Memonitor hitung sudah menggunakan
pajanan tindakan medis. granulosit, WBC kateter untuk BAK
DS : 41. Memonitor kerentanan selama 6 bulan
Klien mengatakan sudah terhadap infeksi O:
menggunakan kateter untuk BAK 42. Meningkatkan intake nutrisi - Klien masih
selama 6 bulan 43. Mendorong masukkan terpasang kateter
DO : nutrisi yang cukup A:
- Terpasang selang kateter. 44. Mendorong masukkan - Masalah belum
- Urine tampung 150 CC cairan teratasi
- Tampak kemerahan pada glan 45. Mendorong istirahat P:
penis. 46. Mengjarkan pasien dan Intervensi dilanjutkan

64
keluarga tanda dan gejala 49. Memonitor tanda dan
infeksi gejala infeksi sistemik
47. Mengajarkan cara dan lokal
menghindari infeksi 50. Memonitor hitung
48. Mengkolaborasi dengan granulosit, WBC
dokter pemberian antibiotik 51. Memonitor kerentanan
yang cukup terhadap infeksi
52. Meningkatkan intake
nutrisi
53. Mendorong masukkan
nutrisi yang cukup
54. Mendorong masukkan
cairan
55. Mendorong istirahat
56. Mengjarkan pasien dan
keluarga tanda dan gejala
infeksi
57. Mengajarkan cara
menghindari infeksi

65
Mengkolaborasi dengan
dokter pemberian
antibiotik yang cukup

66
PEMBAHASAN

1. PENGKAJIAN

Pengkajian adalah proses mengobservasi dan mengkaji data-data yang


aktual terhadap pasien. Pengkajian keperawatan pada seluruh tingkat analisis
(individu, keluarga, dan komunitas), terdiri dari data subjektif dari seseorang
atau kelompok dan data objektif yang diperoleh dari hasil tes diagnostik dan
sumber-sumber lain. Pengkajian individu terdiri dari riwayat kesehatan (data
subjektif) dan pengkajian fisik (data objektif) (Webber dan Kelly, 2007).

Dalam pengkajian pada kasus Tn. M, penulisan melakukan pengkajian


dengan metoda observasi dan wawancara. Penulis menggunakan konsep aktual,
yaitu menggunakan data-data terbaru pasien yang kemudian dikoordinasikan
dengan data-data sebelumnya yang telah ada. Kesulitan yang didapatkan
selama tahap pengkajian ini adalah terbatasnya waktu yang tersedia guna
melakukan pengkajian lebih mendalam lagi. Terlebih juga terbatasnya sumber-
sumber resensi terbaru yang tersedia untuk melengkapi proses pengkajian yang
ada. Kemudahan dalam pengkajian ini adalah kooperatifnya pasien serta
keluarga membuat pengkajian mampu berjalan lancar walaupun data-data yang
didapatkan masih belum maksimal.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Pada respon manusia, ada hal yang sangat bertumpang tindih untuk
mendiagnosis dan banyak faktor penting, mislanya budaya yang dapat
mengubah perspektif tentang diagnosis telah memverifikasi banyak penelitian
bahwa interpretasi terhadap kasus klinis memiliki potensi kurang akurat dari
yang diindikasikan oleh data (Lunney, 2008). Diagnosa keperawatan adalah
suatu proses dimana semua data yang ada mulai dari tahap pengkajian
kemudian dipilah dan dianalisis kedalam prioritas masalah masing-masing.
(NANDA, 201 ).

Pada kasus Tn. M, penulis mengangkat tiga buah diagnosa yaitu Nyeri
berhubungan dengan Iritasi mukosa buli – buli : agent injuri fisik, Risiko tinggi

67
infeksi berhubungan dengan Pemakaian kateter secara berkelanjutan, pajanan
tindakan medis, serta Ansietas berhubungan dengan cemas terhadap penyakit.
Kesulitan pada tahap ini adalah minimnya waktu yang ada guna mengangkat
data-data lain dari tahap pengkajian yang seharusnya juga dimunculkan.
Kemudahan dalam tahap ini adalah terbinanya kerjasama yang baik terhadap
pembimbing dari Ruang Bedah Campuran dalam mengangkat diagnosa.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosis keperawatan yang valid dan akurat menentukan sensitivitas


perawat tentang hasil yang diharapkan. Hasil yang diharapkan tersebut menjadi
petunjuk dalam menyeleksi intervensi yang mungkin menghasilkan efek
pengobatan yang diharapkan. Intervensi keperawatan merupakan tahap dimana
perawat akan secara kritis menentukan rencana tindakan keperawatan secara
prioritas terhadap pasien, yang kemudian menjadi tolak ukur suatu asuhan
keperawatan. (Johnson, et al, 2006).

Dalam tahap perencanaan pada kasus Benigna Prostat Hiperplasia pada


Tn. M di ruang Bedah Campuran , penulis menggunakan perencanaan yang
bersifat prioritas yang digunakan untuk mengurangi/menghilangkan keluhan
utama pada pasien. Kesulitan pada tahap ini terutama terdapat pada minimnya
waktu yang disediakan serta terbatasnya tindakan yang mampu dimaksimalkan
karenanya. Kemudahan yang didapatkan adalah adanya kolaborasi yang baik
dari teman sejawat serta pasien dan keluarganya dalam memenuhi pemenuhan
keperawatan yang ada.

4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Implementasi adalah tahap akhir dari sebuah asuhan keperawatan yang


diberikan sebelum evaluasi. Pada tahap ini semua rencana yang telah diberikan
baik itu prioritas maupun non prioritas akan diterapkan dan dilaksanakan
terhadap pasien. Sekali lagi dalam tahap ini dituntut sikap kompeten dan
profesional dari tenaga kesehatan guna mendapatkan hasil yang maksimal dan
memuaskan dari tahap pengkajian, perumusan diagnosa, hingga intervensi
yang ada. (Crosseti and Saurin, 2006).

68
Dalam tahap ini kesulitan yang ditemukan adalah rencana yang belum
mampu terlaksana karena keterbatasan waktu yang ada. Kemudahan yang
didapatkan adalah adanya bantuan dari tenaga seprofesi yang membantu dalam
menjalankan tindakan keperawatan.

5. EVALUASI

Evaluasi merupakan tahap akhir dimana tindakan mulai dari pengkajian


hingga pelaksanaan akan dilakukan penilaian pencapaian tingkat
keberhasilannya. Pada tahap ini semua tindakan akan dikembangkan guna
mengetahui letak kekurangan dan kelebihan pada asuhan keperawatan. Tingkat
keberhasilan yang tinggi serta kemajuan dalam pola perubahan kesehatan
merupakan hasil yang paling diharapkan oleh tenaga kesehatan (Minthorn,
2006)

Pada tahap ini penulis telah melakukan penilaian atas kinerja yang dicapai
selama proses keperawatan berlangsung. Walaupun masih masuk kedalam
kategori belum memuaskan dikemudian hari akan coba ditingkatkan.

69
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Benigna Prostat Hiperplasia merupakan penyakit yang terjadi karena


adanya penyumbatan jalan kemih oleh benda asing, sel kanker, kista, yang
menyebabkan ketidakmampuan seseorang untuk berkemih secara normal.

Selain itu BPH juga terjadi akibat pola hidup yang tidak sehat dan bersih.
Hal ini menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar prostat sehingga menutupi
saluran kemih yang menghambat proses pengeluaran urine.

Akan tetapi BPH bisa dihindari dengan menjaga pola hidup serta
kebersihan alat kelamin. Terlebih juga dapat dilakukan pembedahan guna
mengembalikan kegunaan dari alat kelamin.

B. SARAN

Sebaiknya, untuk menghindari terjadinya penyakit BPH di usia senja akan


lebih baik jika pola hidup sehat dan bersih ditingkatkan. Kemudian melakukan
aktivitas seperti olahraga terbukti dapat mengurangi persentase mengidap BPH.

70
DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI,


Katalog Dalam Terbitan (KTD): Jakarta.

Hardjowidjoto, S. (2000). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga University Press:


Surabaya

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.

Doengoes E. maryline.2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Sjamsuhidayat. R dan Wim De Jong2002.Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC

Purnomo, B.B. (2011). Dasar-dasar urologi .Jakarta: Penerbit Sagung Seto

Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses


Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

71

Anda mungkin juga menyukai