Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Negara Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945, untuk
menyempurnakan negara maka tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang dan berhasil menetapkan dan mengesahkan
Dasar Negara, memilih Presiden dan Wakil Presiden hingga format negara “Republik”
yang diinginkan terbentuk. Kembali bercokolnya kekuasaan kolonial dan Munculnya
pemberontakan serta pasca itu bergulirnya pergantian rezim dengan segala kepentingan
dan kekuasaannya, mengakibatkan banyak perubahan dalam berbagai aspek di negeri
ini. Dalam menghadapi situasi seperti ini dapat di analisis beberapa perubahan dan
pergantian Dasar Negara dalam periode-periode penting sejarah Indonesia.
Secara umum negara kita mengalami proses percobaan Demokrasi yang tidak
mudah, yakni perubahan praktek ketatanegaraan dan sistem pemerintahan. Dalam
sejarah ketetatanegaraan Indonesia, ada 3 macam Undang-Undang Dasar yang berlaku,
yaitu (1) UUD 1945, yang berlaku antara 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949;
(2) Konstritusi republik Indonesia serikat; (3) UUD Sementara 1950, yang berlaku
antara 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959; (4) UUD 1945, yang berlaku lagi sejak
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.1
Dalam keempat periode berlakunya ketiga macam undang-undang dasar itu. UUD
1945 berlaku dalam dua kurun waktu. 2 Undang-undang dasar ini diputuskan dan
disahkan berlakunya oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Rancangan UUD 1945 ini
dibuat oleh BPUPKI yang di pimpin oleh dr. Radjiman Wedyodiningrat. UUD 1945 ini
di diumumkan secara resmi dalam Berita Republik Indonesia tanggal 15 Februari 1946
Tahun ke II No. 7. Tata Cara perubahan UUD 1945 diatur dalam Pasal 37, yakni:
1. Untuk mengubah undang-undang dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir;
2. Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah
anggota yang hadir.

1
Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta : Rajawali Pers,2008, hal 147.
2
Ibid.

1
Dilihat dari ketentuan perubahan tersebut, maka secara teoritis, UUD 1945
termasuk UUD yang rigid atau sulit diubah karena memerlukan persetujuan mayoritas
mutlak (2/3 dari seluruh anggota MPR). UUD 1945 selama masa Orde Baru sulit sekali
ditempatkan kedalam indikator yang dibuat oleh Wheare. 3 UUD 1945 pada masa itu
bisa dikatakan rigid dikarenakan sulit melakukan perubahan namun juga dapat
dikatakan flexible karena digunakan dalam kurun waktu yang panjang walau terkesan
dipaksakan.4
Kemudian jika dilihat dari jumlah pasal-pasalnya, UUD 1945 termasuk yang sedikit
jumlahnya, yakni hanya 37 pasal. Pasal-pasal UUD 1945 ini juga umum sifatnya
sehingga dapat menyesuaikan dengan dirinya dengan perkembangan zaman. Hal
tersebut disadari oleh para perumus UUD 1945 yang termuat dalam penjelasannya
dengan kalimat:
“UUD hanya terdiri dari 37 pasal. Pasal-pasal lain hanya memuat peralihan dan
tambahan. Maka rencana ini sangat singkat jika dibandingkan dengan Undang-
Undang Dasar Philipina. Maka telah cukup jikalau undang-undang dasar hanya
memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi
kepada pemerintah pusat dan lain-lain”
Masyarakat dan negara Indonesia akan tumbuh, zaman akan berubah, terutama
zaman sekarang ini. Oleh karena itu, kehidupan berbangsa dan bernegara akan
berlangsung secara dinamis. Mengingat hal demikian maka diperlukan menkanisme
pengujian yudisial. Pemikiran semacam ini telah dikemukakan sebelumnya oleh M.
Yamin pada sidang BPUPKI.
Pada mulanya upaya melembagakan pengujian yudisial itu selalu terbentur pada
dominasi eksekutif dalam bidang politik.5 Namun pada awal reformasi 1998 dominasi
eksekutif menjadi sangat berkurang dan kita mengumandangkan perlunya reformasi
konstitusi melalui amandemen atas UUD 1945.6
Undang-Undang Dasar Negara yang rumuskan para pendahulu bertujuan untuk
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu sejarah mencatat mata

3
Feri Amsari, Perubahan UUD 1945 : Perubahan Konstitusi Negara kesatuan republik Indonesia
Melalui keputusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta : Rajawali Pers, 2011, hal 17.
4
Ibid.
5
Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta : Rajawali Pers, 2010, hal 260.
6
Ibid.

2
rantai peristiwa dalam negeri dan lahirnya kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada
dinamika Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.

I.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dalam makalah ini
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah perubahan UUD NKRI 1945 yang berlaku di Indonesia ?
2. Apa yang menjadi dasar dapat dilakukan perubahan atas UUD NKRI 1945?
3. Bagaimana materi perubahan UUD NKRI 1945 dapat berimplikasi pada sistem
ketatanegaraan Indonesia?

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Perubahan UUD NKRI 1945


UUD NKRI 1945 dirancang sejak 29 mei 1945 oleh Badan Penyelidikan Usaha
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI ) yang diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat.
Tugas utamanya adalah menyusun rancangan Undang-Undang sebagai salah satu
persiapan Untuk membentuk negara yang merdeka, namun anggota lembaga ini sibuk
mengusung ideologinya masing-masing ketika membicarakan masalah Ideologi negara
Akibatnya, pembahasan tentang rancangan UUD menjadi terbengkalai. Maka BPUPKI
dalam sidang pertamanya membentuki panitia kecil untuk merumuskan UUD yang
diberinama Panitia Sembilan.7
Dan pada tanggal 22 juni 1945 Panitia Sembilan ini berhasil mencapai kompromi
untuk menyetujui sebuah naskah mukhodimah UUD yang kemudian diterima dalam
siding II BPUPKI tanggal 11 Julu 1945. Setelah itu Ir. Soekarno membentuk panitia
kecil pada tanggal 16 juli 1945 yang diketuai oleh Soepomo dengan tugas menyusun
rancangan UUD dan membentuk panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang
beranggotakan 21 orang.
Sehingga UUD atau konstitusi Negara Indonesia ditetapkan oleh PPKI pada hari
sabtu tanggal 18 Agustus 1945, Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945.
Dengan demikian sejak itu Indonesia telah menjadi suatu Negara modern karena telah
memiliki suatu system ketatanegaraan yaitu dalam UUD 1945.8
1. Periode berlakunya UUD 1945 18 Agustus 1945- 27 Desember 1949
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan
sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16
Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR
dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-

7
Khoirul Anam, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk perguruan tinggi, Yogyakarta: Inti
Media, 2011. hlm. 141
8
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945

4
Presidensiel (“Semi-Parlementer”) yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan
perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.
Dari ketentuan pada Aturan Tambahan UUD 1945 dapat disebutkan bahwa
sifat dari UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI hanya untuk sementara saja. 9
Sebagaimana yang berbunyi:10
1) Dalam enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden
Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam
undang-undang dasar ini;
2) Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis
ini bersidang untuk menetapkan undang-undang dasar
2. Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer. Bentuk
pemerintahan dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang didalamnya terdiri
dari negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan
sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya. Namun karena tidak sesuai dengan
jati diri bangsa serta mencuat issu disintegrasi, maka kemudian Indonesia berganti
bentuk lagi menjadi Negara kesatuan Republik.
Dalam penggantian UUD 1945 ke Konstitusi RIS 1949, Pembukaan
(Mukadimah) juga mengalami penggantian tetapi tetap memuat Pancasila dengan
rumusan yang lebih singkat pada Sila ke 2 sampai ke 5. Umumnya penggantian ini
adalah penggantian undang-undang dasar. Konstitusi RIS bukan ditetapkan MPR
sebagaimana biasanya, tetapi ditetapkan melalui Keputusan Presiden.Konstitusi RIS

9
Undang-Undang Dasar 1945, sejak semula pembentukannya dimaksudkan bersifat sementara, walaupun
tidak dinamai dengan demikian. Hal ini dibuktikan dengan adanya Pasal 3 dan ayat (2) Aturan Tambahan,
yang menjelaskan bahwa masih diharapkan akan dibentuk sebuah badan Permusyawaratan Rakyat untuk
menetapkan suatu undang-undang dasar. Alasannya adalah pertama, pembentuk UUD 1945 sendiri belum
merupakan badan yang representatif untuk menetapkan undang-undang dasar, kedua adalah berdasarkan
pertimbangan bahwa perencanaan, penetapan dan pengesahan adalah dilakukan dengan sangat tergesa-
gesa, oleh karena itu dikemudian hari apabila sudah dapat dibentuk sebuah badan yang lebih representatif
dapat ditetapkan sebuah undang-undang dasar yang telah dipertimbangkan dengan matang. Alasan ini
mengingat situasi politik dan suasana perang mempertahankan kemerdekaan dan tidak dapat segera
dilaksanakan Pemilihan Umum untuk membentuk Badan Perwakilan dan Permusyawaratan yang
representatif, maka kewenangan dialihkan untuk sementara kepada Komite Nasional sesuai Pasal IV
Aturan Peralihan UUD 1945.
10
Aturan Tambahan ayat (2) ini memberi kemungkinan pada MPR untuk menetapkan dan mengesahkan
UUD 1945 sesuai dengan fungsi MPR yang telah representatif mewakili segenap bangsa Indonesia untuk
menetapkan undang-undang dasar; atau menetapkan undang-undang dasar yang baru sama sekali.

5
ini dimaksudkan hanya berlaku sementara, karena menurut Pasal 186 Konstitusi RIS
ini ditentukan bahwa:11
“Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan pemerintah
selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang akan
menggantikan Konstitusi sementara ini”.
Sifat kesementaraannya ini disebabkan karena Pembentuk Undang-Undang
Dasar merasa dirinya belum representatif untuk menetapkan sebuah Undang-Undang
Dasar, selain daripada itu disadari pula bahwa pembuatan undang-undang dasar ini
dilakukan dengan tergesa-gesa untuk sekedar memenuhi kebutuhan dibentuknya
Negara Federal. Oleh karena itu dikemudian hari akan dibentuk Konstituante yang
bersama-sama Pemerintah untuk membuat Undang-Undang Dasar yang baru,
sempurna dan bersifat tetap.
Selanjutnya, ketika Republik Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia
Serikat berdasarkan UUD RIS 1949, presiden menetapkan UU Darurat No. 8 tahun
1950 yang mengadakan tambahan terhadap “Regeling op de Staat van Oorlog en van
Beleg”, sebagaimana pernah diubah pada 1948 dan terakhir dengan ordonansi tahun
1949. 12 Pada masa tersebut merupakan tonggak awal pemberlakukan hukum tata
negara darurat di negara ini.
3. Periode UUDS 1950 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
Perubahan bentuk Negara secara otomatis juga membuat perubahan dalam
konstitusinya. Mulai Pada tanggal 17 Agustus 1950 Konstitusi Indonesia berubah
menjadi Undang-Undang Sementara Republik Indonesia. Pada periode UUDS 50
ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi
Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan
tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai
atau golongannya.
Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang
dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa

11
Konstituante menurut Pasal 188, adalah badan representatif yang dibentuk dengan memperbesar DPR
dan Senat dengan anggota luar biasa yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota DPR dan Senat. Atau
dapat disebut DPR dan Senat, keduanya dengan jumlah anggota 2 kali lipat.
12
Jimmly asshidiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta : Rajawali Pers, 2008, hal 28.

6
UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai
dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945.
Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi
pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur;
sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran
Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.
4. Periode kembalinya ke UUD 1945 5 Juli 1959-1966
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling
tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka
pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah
satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar,
menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
1. Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil
Ketua DPA menjadi Menteri Negara.
2. MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
3. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai
Komunis Indonesia.
5. Periode UUD 1945 masa orde baru 11 Maret 1966- 21 Mei 1998
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan
menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun
pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang
murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat/private debt dijadikan
beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan
pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan sumber alam kita.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat
“sakral”, diantaranya melalui sejumlah peraturan:
1) Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR
berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan
melakukan perubahan terhadapnya.

7
2) Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain
menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih
dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan
pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
Pada masa ini pemerintah telah menjelma menjadi kekuatan kontrol
terlegitimasi dan tidak selamanya mampu merefleksikan konsep keadilan secara
substanstif. Akibatnya hukum di Indonesia saat itu benar-benar berfungsi sebagai
goverment social contol dan akibat dari hal tersebut munculnya gerakan-gerakan
sosial yang berdimensi HAM.
Sinyal positif dari soetandyo Wignjosoebroto memberikan pengertian bahwa
situasi kekuatan politik legislatif telah dimonopoli oleh eksekutif yang dominan itu,
yang pada gilirannya sistem hukum tersebut menjadi sistem hukum represif
(otoriterian) dan bukan hukum masyarakat (responsif).13
6. Periode Pasca Reformasi (Amandemen)
Setelah Reformasi banyak kalangan yang menginginkan dilakukannya
perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Tujuan dilakukannya perubahan
adalah untuk menambah sesuatu yang belum ada aturannya dalam konstitusi serta
untuk merespon tuntutan zaman.. Selain itu Undang-Undang dasar 1945 juga telah
diselewengkan oleh pemerintah orde baru untuk melanggengkan Kekuasaanya.
Salah satu hal yang berubah dengan adanya amandemen adalah keberadaan
lembaga Negara. Keberadaan lembaga ini cukup vital karena pada masa sebelumnya
berbagai macam lembaga Negara dikendalikan oleh satu orang saja, yaitu Presiden.
Meskipun secara formal terdapat aturan untuk memisahkan antara lembaga eksekutif,
legislative dan yudikatif namun karena ketiadaan aturan yang jelas, maka aturan
tersebut dapat dimanipulasi. Dengan adanya check and balances maka bisa
14
mengurangi penumpukan kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang. Dasar

13
Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (dari Orla, Orba sampai reformasi) : Telaah
sosiologis Yuridis dan Yuridis Pragmatis krisis Jati Diri Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta :
Rajawali Pers, 2007, hal 63.
14
Khoirul Anam, Op.Cit, hal 145-146.

8
pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan UUD 1945 diantaranya
adalah:15
A. Mencakup tuntutan Reformasi 1998
1. Amandemen UUD 1945;
2. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI;
3. Penegakan Supremasi Hukum, penghormatan HAM, dan pemberantasan KKN;
4. Desentralisasi dan hubungan yang adil antara Pusat dan Daerah atau Otonomi
Daerah;
5. Mewujudkan kebebasan Pers;
6. Mewujudkan kehidupan demokrasi.
7. Struktur ketatanegaraan menurut UUD 1945, bertumpu pada kewenangan atau
kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan
rakyat, dengan akibat tidak terjadinya checks and balancesantar lembaga-
lembaga kenegaraan.
8. UUD 1945 menganut sistem executive heavy yang berarti kewenangan atau
kekuasaan dominan berada di tangan Presiden (eksekutif) dalam menjalankan
pemerintahan atau chief exevutive yang dilengkapi dengan berbagai hak
konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif, antara lain memberi grasi,
amnesti, abolisi, dan rehabilitasi serta wewenang legislatif sebagai penyebab
tidak berfungsinya prinsip checks and balances dan mendorong lahirnya
wewenang yang otoriter.
9. UUD 1945 didalamnya terdapat pasal-pasal yang terlalu luwes yang dapat
menimbulkan multi-tafsir.
10. Presiden diberi wewenang terlalu banyak oleh UUD 1945 untuk mengatur hal-
hal penting dengan undang-undang. UUD 1945 menetapkan Presiden juga
sebagai pemegang wewenang legislatif, sehingga Presiden dapat merumuskan
hal-hal penting sesuai dengan kehendaknya dalam undang-undang. Hal ini
menyebabkan pengaturan mengenai MPR, DPR, BPK, MA, HAM dan
Pemerintahan Daerah disusun oleh wewenang Presiden dalam bentuk pengajuan
rancangan undang-undang ke DPR.

15
Susilo Suharto, Kekuasaan Presiden RI dalam Periode Berlakunya UUD 1945, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2006, hal. 139-141.

9
11. Semangat penyelenggara negara yang dirumuskan di dalam UUD 1945 belum
cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang
kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, perberdayaan rakyat,
penghormatan HAM dan otonomi daerah;
12. UUD 1945 bersifat ambivalen atau mendua, menganut sistem Presidensiil, akan
tetapi Presidensiilnya tidak nyata, sebab Presiden harus bertanggung jawab pula
kepada MPR yang berarti menganut sistem Kabinet Parlementer, jadi
Presidensiilnya semu atau quasi Presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan
(amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
1) Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 oktober 1999 : Perubahan Pertama
UUD “45
2) Sidang Umum MPR 2000, tanggal 7-18 Oktober 2000: Perubahan Kedua UUD
“45
3) Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001: Perubahan Ketiga
UUD “45
4) Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002: Perubahan Keempat
UUD “45

2.2 Dasar Perubahan UUD NKRI 1945


Konstitusi dapat diartikan sebagai sekelompok ketentuan yang mengatur organisasi
Negara dan susunan pemerintahan suatu Negara. 16 A.V Dicey membedakan antara
ketentuan konstitusi yang mempunyai sifat hukum dan tidak mempunyai sifat hukum.
Pembedaan ini didasarkan pada kriteria apakah pengadilan berwenang memaksakan
penataanya dan/atau mengambil tindakan hukum bagi yang tidak taat. 17
Dilihat dari wujudnya, konstitusi dapat dibedakan antara konstitusi tertulis dan
konstitusi tidak tertulis. Konstitusi tertulis dapat dibedakan antara yang tertulis dalam
satu dokumen khusus atau dalam beberapa dokumen yang saling terkait satu sama lain
dan yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan lain.

16
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung: Mandar Maju,
1995. hlm 5.
17
A.V. Dicey, sn introduction to study of the Law of the constitution, London: English language Book
Society and mac millan, 10th. 1971 hlm 23-24.

10
Konstitusi tertulis yang tersusun dalam satu dokumen khusus misalnya UUD 1945,
atau UUD Amerika Serikat 1787. Sedangkan konstitusi tertulis yang tedapat
dalam beberapa dokumen misalnya Undang Undang (UU), atau di Inggris kaidah-
kaidah Konstitusi tertulisnya, terdapat dalam undang-undang biasa (ordinary law atau
statuate).
Sedangkan Konstitusi tidak tertulis dapat dibedakan dalam tiga golongan. Pertama,
ketentuan konstitusi terdapat dalam kaidah-kaidah hukum adat sebagai jukum yang
tidak tertulis. Kedua, ketentuan –ketentuan konstitusi yang terdapat dalam konvensi
atau kebiasaan ketatanegaraan. Ketentuan untuk taat pada konvensi didasarkan kepada
pertimbangan –pertimbangan politik dan moral. Ketiga, adalah ketentuan adat istiadat.18
Sedangkan menurut sifatnya Kostitusi dapat klasifikasikan menjadi dua,
yaitu Konstitusi Fleksibel dan Konstitusi Kaku. Yang dimaksud konstitusi fleksibel
adalh konstitusi yang dapat dirubah tanpa prosedur khusus, dan sebaliknya konstitusi
kaku adalah konstitusi yang mensyaratkan prosedur khusus untuk merubahnya.19
Negra-negara yang menganut sistem Konstitusi fleksibel diantaranya adalah Inggris
(UK) dan Selandia Baru, jadi didalam Negara Inggris untuk mengubah konsitusinya
tanpa harus menunggu krisis hebat dan perkembangannya tanpa banyak kekerasan
sehingga memungkinkan untuk membentuk dirinya sendiri sesuai kebutuhan dari
masyarakat Inggris (UK).20
Hal ini berbeda dengan Negara-negara yang menggunakan sistim Konstitusi kaku
seperti di Negara Indonesia, di Negara Indonesia untuk dapat mengubah UUD 1945 (
konstitusi ) dibutuhkan prosedur-prosedur khusus sesuai dengan yang tercantum dalam
pasal 37 UUD “45 yaitu:
1. Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang dasar dapat diagendakan dalam siding
Majelis Permusyawaratan Rakyat apa bila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3
dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2. Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-undang dasar diajukan secara tertulis
dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk dirubah beserta
alasannya.

18
Bagir Manan, Op.cit, hal 5-6.
19
Khairul Anam, Loc.Cit, hal 136.
20
C.F. Strong, konstitusi-konstitusi politik Modern studi perbandingan tentang sejarah dan bentuk
, cetakan III, Bandung: Nusa Media, 2010. hlm.192

11
3. Untuk mengubah pasal-pasal Undang-undang dasar sidang MPR dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggoa majelis Perusyawaraatan Rakyat.
4. Putusan Mengubah pasal Undang-undang dasar dilakukan dengan persetujuan
sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari MPR
Dalam hal melakukan perubahan UUD 1945, Slamet Effendi Yusuf dan Umar
Basalim mengemukakan enam alasan, yaitu filosofis, sosiologis, historis, yuridis,
praktik ketatanegaraan, dan materi UUD 1945. 21 Pertama, secara historis, pemikiran
yang mendorong perubahan UUD 1945 terkait dengan sifat kesementaraan UUD
1945.22
Ada hal lain yang memperkuat alasan dilakukannya amandemen atau perubahan
UUD 1945 yakni alasan konstitusi sebagai resultante atau produk kesepakatan politik
sebagaimana dikemukakan KC Wheare. 23 Sebagai resultante, konstitusi merupakan
kesepakatan pembuatnya sesuai dengan keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya
pada saat dibuat.24

2.3. Materi Perubahan UUD NKRI 1945


Supremasi amandemen terhadap Undang-Undang Dasar penting artinya dalam hal
terjadi keragu-raguan dalam penafsiran arti dan konsekuensi amandemen terhadap satu
bagian maupun keseluruhan Undang-Undang Dasar.25 Amandemen UUD 1945 yang
dilakukan dalam empat kali perubahan tersebut telah mengakibatkan perubahan yang
mendasar dalam Hukum Tata Negara Indonesia.
Perubahan tersebut diantaranya meliputi (i) Perubahan norma-norma dasar dalam
kehidupan bernegara, seperti penegasan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum
dan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar; (ii) Perubahan kelembagaan negara dengan adanya lembaga-lembaga baru dan
hilangnya beberapa lembaga yang pernah ada; (iii) Perubahan hubungan antar lembaga
negara; dan (iv) Masalah Hak Asasi Manusia.

21
Saldi Isra, Pergeseran fungsi legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer, dalam Sistem
Presidensial Indonesia , Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hal 153.
22
Ibid, hal 154.
23
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, edisi revisi, 2010, hal 379.
24
Ibid.
25
Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hal 64.

12
Perubahan-perubahan hasil constitutional reform tersebut belum sepenuhnya
dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan maupun praktek ketatanegaraan
sehingga berbagai kerangka teoritis masih sangat diperlukan untuk mengembangkan
dasar-dasar konstitusional tersebut.
Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh
(16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat
dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan
Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.Setelah dilakukan 4 kali
perubahan, UUD 1945 memiliki 20 bab, 73 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan,
dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Perlu dijelaskan pula bahwa susunan ketatanegaraan dalam kelembagaan Negara
juga mengalami perubahan, dengan pemisahan kekuasaan, antara lain adanya lembaga
Negara yang dihapus maupun lahir baru, yaitu sebagai Badan legislative terdiri dari
anggota MPR, DPR, DPD, Badan Eksekutif Presiden dan wakil Presiden, sedang badan
yudikatif terdiri atas kekuasaan kehakiman yaitu mahkamah konstitusi (MK) sebagai
lembaga baru, Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Yudisial (KY) juga lembaga baru.
Lembaga Negara lama yang dihapus adalah dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan
Badan pemeriksa keuangan tetap ada hanya perlu diatur tersendiri.
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian
kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang
sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA) dan lembaga baru Mahkamah Konstitusi
(MK).
Salah satu perubahan UUD 1945 yang penting adalah dipilihnya presiden dan
wakil presiden dalam satu pasangan calon secara langsung oleh rakyat dalam pemilhan
umum.26 Ini merupakan bentuk penegasan sistem pemerintahan presidensil yang dianut
oleh negara. Karena pada masa orde baru terdapat kerancuan, dimasa itu DPR kesulitan

26
Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia: Pemikiran dan Pandangan, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2014, hal 171.

13
untuk mengajukan rancangan undang-undang. Karena semuanya dilakukan oleh
pemerintah. Itulah sebabnya dalam perubahan pertama dilakukan upaya:27
a) Mengurangi dan mengendalikan kekuasaan presiden;
b) Hak untuk membuta undang-undang ada pada DPR, sedangkan presiden berhak
unutk mengajukan rancangan undang-undang pada presiden.
Amandemen konstitusi menjadi momen bagi menguatnya isu desentralisasi.
Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama masa orde baru justru menyisakan
ketimpangan antar daerah sehingga memunculkan sentimen dan memicu konflik.
Desentralisasi dalam arti statis memerlukan desentralisasi dalam arti dinamis dan
desentralisasi dalam arti dinamis mengandung suatu pemindahan kekuasaan dai otokrat
kepada wakilnya, dan oleh sebab itu merupakan suatu pelemahan prinsip otokrasi.28
Perubahan kedua terhadap UUD 1945 dilakukan dengan lebih banyak pasal-pasal
yang diubah. Pada pokonya perubahan kedua meliputi: 29
a) Tentang Pemerintahan Daerah;
b) Tentang Dewan Perwakilan Rakyat;
c) Tentang Wilayah Negara;
d) Tentang Warga Negara dan Penduduk;
e) Tentang HAM;
f) Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara;
g) Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara.
Sebagai kelembagaan Negara, MPR RI contohnya, tidak lagi diberikan sebutan
sebagai lembaga tertinggi Negara dan hanya sebagai lembaga Negara, seperti juga,
seperti juga DPR, Presiden, BPK dan MA. Sesudah amandemen ke-3 UUD 1945,
“kedaulatan berada ditangan rakyat” tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR.30
sehingga tampaklah bahwa MPR RI tidak lagi menjadi pelaku/pelaksana kedaulatan
rakyat. Juga susunan MPR RI telah berubah keanggotaanya, yaitu terdiri atas anggota
DPR dan Dewan Perakilan Daerah (DPD), yang kesemuanya direkrut melalui pemilu.
Adapun perubahan ketiga ini meliputi:31
a) Kedududkan dan kekuasaan MPR;

27
Ibid, hal 169.
28
Hans kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung: Nusa Media, Cet. VI, 2011, hal 441.
29
Sri Soemantri, Op. Cit.
30
I Dewa Gede Atmadja, Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum, Malang: Setara Pers, 2015, hal 90.
31
Sri Soemantri, Op. Cit.

14
b) Negara Indonesia adalah negara hukum;
c) Jabatan presiden dan wakil presiden;
d) Pembentukan lembaga negara baru, seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Yudisial;
e) Pengaturan tambahan terhadap Badan Pemerikasaan Keuangan (BPK);
f) Pemilihan Umum.
Amandemen dalam konstitusi merupakan bentuk penafsiran ulang terhadap
konstitusi berdasarkan aspek yang sesuai dan dibutuhkan dengan kondisi kekinian
berlakunya konstitusi tersebut. Melalui penafsiran kita tidak bisa mendapatkan satu-
satunya peraturan yang benar dari konstitusi, demikian pula kita tidak bisa memperoleh,
melalui penafsiran, satu-satunya keputusan pengadilan yang benar dari peraturan
tersebut.32 Beberapa hal penting yang termaktub didalam perubahan ke 4 UUD NKRI
1945 :
a) Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan
menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka,
penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas
prinsip due process of law.
b) Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti
Hakim.
c) Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances)
yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-
masing.
d) Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
e) Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa
lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara
berdasarkan hukum.
f) Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga
negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.

32
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Bandung: Nusa Media, Cet.
IV, 2011, hal 379.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sebagaimana menurut KC Wheare bahwa konstitusi merupakan suatu resultante
atau suatu produk kespakatan politik. Kesepakatan politik pada suatu masa, sehingga
untuk menyesuaikan keberlakuannya terhadap situasi dan kondisi yang
memungkinkannya berlaku maka perlu dilakukan suatu perubahan. berdasarkan dari
pendapat C.F Strong jika konstitusi belum mencerminkan konstitusionalismenya dalam
ketatanegaraan, maka jalan satu-satunya adalah perombakan.
Dalam konteks adanya amandemen pada Undang-Undang Dasar yang telah terjadi
sebanyak empat (4) kali, masih terjadinya overlapping antara lembaga negara yang ada.
Hal ini bisa kita lihat dengan makin banyaknya lembaga-lembaga baru yang
keberadaannya terakomodir di dalamnya.
Sistim presidensiil setelah amandemen menjadikan sistem ketatanegaraan
kita menjadi kabur dan rancu. Ini juga terkait kontroversi dengan konsep di Indonesia
memakai bikameral atau trikameral. Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
justru menjadikan terklamuflasekan sistem ketatanegaraan kita. Hal ini walau sudah
diatur dalam Pasal 22D tetap kurang relevan dan tugas yang diberikan masih terlalu
terbatas, sehingga fungsi dan peran yang diberikan kurang memberikan kontribusi
banyak bagi perkembangan daerah. Konsep yang yang dibangun oleh Undang-Undang
Dasar terkait sistem presidesiil terlihat memakai konsep campuaran antara parlementer
dan presidensiil.
Terkait kekuasaan kehakiman, hal tersebut terakomodir dengan adanya Mahkamah
Konstitusi (MK) sebagai dewa penyelamat agar tetap tegaknya konstitusi Negara serta
Adanya Komisi Yudisial (KY) dalam amandeman Undang-Undang Dasar menurut saya
adalah legitimasi yang tepat dalam hukum positif ada lembaga yang bertugas untuk
mengawasi kinerja hakim.
Oleh karena itu, walaupun telah dilakukan perubahan-perubahan terhadap UUD
1945, tetap perlu diadakan perubahan lanjutan yang mendasar, menyeluruh, sistematis
dan bertahap. Dengan demikian Undang-Undang Dasar ini akan menjadi Undang-
Undang Dasar yang cukup modern dan religius, memuat landasan bagi kehidupan yang

16
demokratis, pemberdayaan rakyat, penghormatan HAM dan supremasi hukum, sehingga
tidak ada lagi peluang bagi penyelenggaraan negara yang sentralistik, otoriter dan KKN.

17

Anda mungkin juga menyukai