Lupus Eritematosus Sistemik (LSE) adalah penyakit rematik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan ( Sudoyo,dkk 2009).
B. Etiologi
Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan
interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperan penting dalam predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara sporadic tanpa identifikasi faktor genetik, berbagai faktor limgkungan diduga terlibat atau belum diketahui faktor yang bertanggung jawab.
Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus- hipofise-
adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel- sel apoptosis dan kompleks imun merupakan konstibutor yang penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatkan beban antigenik (antigenic load), bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 (Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik. Respon imun yang terpapar faktor eksternal/ lingkungan seperti radiasi ultraviolet (UV) atau infeksi virus dalam periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun. 1. Faktor genetik
Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%)
dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%), peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam pathogenesis SLE.
Elemen genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadap SLE
pada manusia adalah gen dari Kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC). Penelitian populasi menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme dari gen HLA (human leucocyte antigen) kelas II. Hubungan HLA DR2 dan DR3 dengan SLE pada umumnya ditemukan pada etnik yang berbeda, dengan resiko relatif terjadinya penyakit berkisar antara 2 sampai 5.
Selain itu, banyak gen non- MHC polimorfik yang dilaporkan
berhubungan dengan SLE, termasuk gen yang mengkode mannose binding protein (MBP), TNF-α, reseptor sel T, interleukin 6 (IL-6), CR1, immunoglobulin Gm dan Km allotypes, FcaRIIIA dan heat shock protein 70 (HSP 70). Penemuan daerah kromosom yang multiple (multiple chromosome regions) sebagai risiko berkembangnya SLE, mendukung pendapat bahwa SLE merupakan penyakit poligenik.
2. Autoantibodi
Adanya antibody anti-Ro, anti-La atau kedua-duanya pada kehamilan
memberikan risiko terkena blok jantung fetus sebesar 1-2%. Antigen Ro terpapar pada permukaan otot jantung fetus (tetapi tidak pada ibu) sehingga jantung mengalami remodelling melalui apoptosis, dan antibodi anti-Ro dari ibu melewati plasenta kemudian berinteraksi dengan antigen Ro. Autoantibodi dari ibu akan merusak jaringan konduksi jantung fetus. Tidak adanya efek pada ibu memperlihatkan pentingnya keberadaan autoantibodi dan paparan antigen secara bersama-sama pada jaringan jantung.
Autoantibodi yang merusak sel darah merah dan trombosit berperan
penting dalam kejadian anemia hemolitik dan trombositopenia pada penderita lupus. Pujo, dkk mendapatkan korelasi yang kuat antara trombositopenia dengan adanya antibody anti-trombosit. Beberapa autoantibodi seperti antinuklear, anti-Ro, anti-La dan antifosfolipid pada umumnya sudah terbentuk beberapa tahun sebelum timbulnya gejala SLE. Autoantibodi yang lain seperti anti-Sm dan anti-nuklear ribonukleoprotein muncul hanya dalam beberapa bulan sebelum diagnosis SLE. Sedangkan autoantibodi anti dsDNA berada dipertengahan antara dua kelompok autoantibodi tersebut.
3. Faktor lingkungan
Meskipun faktor genetik dan hormonal mungkin merupakan predisposisi
untuk SLE, tetapi inisiasi penyakit ini diduga merupakan hasil dari beberapa faktor eksogen dan lingkungan. Agen infeksi seperti virus Epstein-Barr (EBV) mungkin menginduksi respon spesifik melalui kemiripan molecular (molecular mimicry) dan gangguan terhadap regulasi imun; diet mempengaruhi produksi mediator inflamasi ; toksin atau obat-obatan memodifikasi respon selular dan imunogenisitas dari self antigen; dana gen fisik/kimia seperti ultraviolet dapat menyebabkan infalamasi, memicu apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan jaringan. Pengaruh faktor lingkungan terhadap predisposisi individual sangat bervariasi. Hal ini mungkin bisa menjelaskan heterogenitas dan adanya periode bergantian antara remisi dan kekambuhan dari penyakit ini.
a) Faktor fisik/ kimia: Amin aromatic, hidrazyne, obat-obatan
(prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid, fenitoin, penisilamin), merokok, pewarna rambut, dan sinar ultraviolet (UV). b) Faktor makanan : Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan, dan L-canavanine ( kuncup dari alvalva). c) Agen infeksi : Retrovirus dan DNA/ endotoksin. d) Hormone dan estrogen limgkungan : Terapi sulih hormone (HRT), pil kontrasepsi oral, dan paparan estrogen prenatal ( Sudoyo,dkk 2009).