Anda di halaman 1dari 3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Lupus Eritematosus Sistemik (LSE) adalah penyakit rematik autoimun


yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap
organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan ( Sudoyo,dkk 2009).

B. Etiologi

Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan


interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik diduga berperan penting dalam predisposisi
penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara sporadic tanpa identifikasi
faktor genetik, berbagai faktor limgkungan diduga terlibat atau belum
diketahui faktor yang bertanggung jawab.

Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus- hipofise-


adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya
gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan
sel- sel apoptosis dan kompleks imun merupakan konstibutor yang penting
dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatkan
beban antigenik (antigenic load), bantuan sel T yang berlebihan, gangguan
supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 (Th1) ke Th2
menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik.
Respon imun yang terpapar faktor eksternal/ lingkungan seperti radiasi
ultraviolet (UV) atau infeksi virus dalam periode yang cukup lama bisa juga
menyebabkan disregulasi sistem imun.
1. Faktor genetik

Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%)


dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%), peningkatan frekuensi SLE
pada keluarga penderita SLE dibandingkan dengan kontrol sehat dan
peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu, menguatkan
dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam pathogenesis SLE.

Elemen genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadap SLE


pada manusia adalah gen dari Kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC).
Penelitian populasi menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan
polimorfisme dari gen HLA (human leucocyte antigen) kelas II. Hubungan
HLA DR2 dan DR3 dengan SLE pada umumnya ditemukan pada etnik yang
berbeda, dengan resiko relatif terjadinya penyakit berkisar antara 2 sampai 5.

Selain itu, banyak gen non- MHC polimorfik yang dilaporkan


berhubungan dengan SLE, termasuk gen yang mengkode mannose binding
protein (MBP), TNF-α, reseptor sel T, interleukin 6 (IL-6), CR1,
immunoglobulin Gm dan Km allotypes, FcaRIIIA dan heat shock protein 70
(HSP 70). Penemuan daerah kromosom yang multiple (multiple chromosome
regions) sebagai risiko berkembangnya SLE, mendukung pendapat bahwa
SLE merupakan penyakit poligenik.

2. Autoantibodi

Adanya antibody anti-Ro, anti-La atau kedua-duanya pada kehamilan


memberikan risiko terkena blok jantung fetus sebesar 1-2%. Antigen Ro
terpapar pada permukaan otot jantung fetus (tetapi tidak pada ibu) sehingga
jantung mengalami remodelling melalui apoptosis, dan antibodi anti-Ro dari
ibu melewati plasenta kemudian berinteraksi dengan antigen Ro.
Autoantibodi dari ibu akan merusak jaringan konduksi jantung fetus. Tidak
adanya efek pada ibu memperlihatkan pentingnya keberadaan autoantibodi
dan paparan antigen secara bersama-sama pada jaringan jantung.

Autoantibodi yang merusak sel darah merah dan trombosit berperan


penting dalam kejadian anemia hemolitik dan trombositopenia pada penderita
lupus. Pujo, dkk mendapatkan korelasi yang kuat antara trombositopenia
dengan adanya antibody anti-trombosit. Beberapa autoantibodi seperti
antinuklear, anti-Ro, anti-La dan antifosfolipid pada umumnya sudah
terbentuk beberapa tahun sebelum timbulnya gejala SLE. Autoantibodi yang
lain seperti anti-Sm dan anti-nuklear ribonukleoprotein muncul hanya dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis SLE. Sedangkan autoantibodi anti dsDNA
berada dipertengahan antara dua kelompok autoantibodi tersebut.

3. Faktor lingkungan

Meskipun faktor genetik dan hormonal mungkin merupakan predisposisi


untuk SLE, tetapi inisiasi penyakit ini diduga merupakan hasil dari beberapa
faktor eksogen dan lingkungan. Agen infeksi seperti virus Epstein-Barr
(EBV) mungkin menginduksi respon spesifik melalui kemiripan molecular
(molecular mimicry) dan gangguan terhadap regulasi imun; diet
mempengaruhi produksi mediator inflamasi ; toksin atau obat-obatan
memodifikasi respon selular dan imunogenisitas dari self antigen; dana gen
fisik/kimia seperti ultraviolet dapat menyebabkan infalamasi, memicu
apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan jaringan. Pengaruh faktor
lingkungan terhadap predisposisi individual sangat bervariasi. Hal ini
mungkin bisa menjelaskan heterogenitas dan adanya periode bergantian
antara remisi dan kekambuhan dari penyakit ini.

a) Faktor fisik/ kimia: Amin aromatic, hidrazyne, obat-obatan


(prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid, fenitoin,
penisilamin), merokok, pewarna rambut, dan sinar ultraviolet (UV).
b) Faktor makanan : Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan, dan
L-canavanine ( kuncup dari alvalva).
c) Agen infeksi : Retrovirus dan DNA/ endotoksin.
d) Hormone dan estrogen limgkungan : Terapi sulih hormone (HRT), pil
kontrasepsi oral, dan paparan estrogen prenatal ( Sudoyo,dkk 2009).

Anda mungkin juga menyukai