URTIKARIA (ANGIOEDEMA)
Diajukan sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak
BLUD RSUD dr. Zainoel Abidin,Banda Aceh
Disusun oleh:
AYU AZRINA
1507101030217
Pembimbing:
Dr. dr. Mulya Safri, M.Kes, Sp. A(K)
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT atas limpahan
berkah dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus
yang berjudul “Urtikaria (Angioedema)”. Shalawat beserta salam kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari alam kegelapan kea lam
yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Laporan Kasus ini ditulis sebagai salah satu tugas dalam menjalankan
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Unsyiah Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Mulya Safri, M.Kes,
Sp.A(K) selaku pembimbing penulisan Laporan Kasus ini yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari Laporan Kasus ini masih sangat banyak kekurangan
maka untuk itu penulis harapkan kepada semua pihak agar dapat memberikan
kritik dan saran agar Laporan Kasus ini dapat menjadi lebih baik di kemudian
hari.
Penulis juga berharap penyusunan Laporan Kasus ini dapat bermanfaat
bagi penulis sendiri dan juga bagi para pembaca, agar laporan kasus ini dapat
dijadikan bahan belajar dan pengembangan ilmu.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................... 24
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 28
BAB I
PENDAHULUAN
Urtikaria atau dikenal juga dengan “hives” adalah kondisi kelainan kulit
berupa reaksi vaskular terhadap bermacam-macam sebab, biasanya disebabkan
oleh suatu reaksi alergi, yang mempunyai karakteristik gambaran kulit kemerahan
(eritema) dengan sedikit oedem atau penonjolan (elevasi) kulit berbatas tegas
yang timbul secara cepat setelah dicetuskan oleh faktor presipitasi dan
menghilang perlahan-lahan.1 Urtikaria memiliki ukuran yang bervariasi, biasanya
dikelilingi eritema, terasa gatal atau sensasi terbakar, umumnya menghilang dalam
1-24 jam. Angioedema terjadi akibat edema lapisan dermis bagian bawah dan
jaringan subkutan, biasanya lebih dirasakan sebagai sensasi nyeri, dan menghilang
setelah 72 jam.2
Prevalensi urtikaria di dunia berkisar antara 0,3-11,3% tergantung populasi
yang diteliti. Prevalensi hospitalisasi akibat urtikaria dan angioedema makin
meningkat di Australia. Hospitalisasi akibat urtikaria 3 kali lebih tinggi pada anak
usia 0-4 tahun. Peningkatan hospitalisasi akibat urtikaria paling sering dijumpai
pada usia 5-34 tahun, sedangkan hospitalisasi akibat angioedema tinggi pada usia
>65 tahun. Urtikaria lebih sering ditemukan pada wanita usia 35-60 tahun (usia
rata-rata 40 tahun). Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum diketahui pasti.
Penelitian di Palembang tahun 2007 pada 3000 remaja usia 14-19 tahun,
mendapatkan prevalensi urtikaria sebesar 42,78%. Sebanyak 8-20% populasi
diperkirakan pernah atau akan menderita urtikaria dalam perjalanan hidupnya dan
sebanyak 0,1% akan berkembang menjadi urtikaria kronis spontan. Prevalensi
urtikaria kronis lebih kecil dibandingkan urtikaria akut, yaitu 1,8% pada dewasa
dan berkisar antara 0,1-0,3% pada anak.2
Sejumlah faktor, baik imunologik dan nonimunologik, dapat terlibat dalam
patogenesis terjadinya urtikaria. Urtikaria dihasilkan dari pelepasan histamin dari
jaringan sel-sel mast dan dari sirkulasi basofil. Faktor-faktor nonimunologik yang
dapat melepaskan histamin dari sel-sel tersebut meliputi bahan-bahan kimia,
beberapa obat-obatan (termasuk morfin dan kodein), makan makanan laut seperti
lobster, kerang, dan yang lain, toksin bakteri, serta agen fisik. Mekanisme
imunologik kemungkinan terlibat lebih sering pada urtikaria akut daripada
urtikaria kronik. Mekanisme yang paling sering adalah reaksi hipersensitivitas tipe
I yang distimulasi oleh antigen polivalen yang mempertemukan dua molekul Ig E
spesifik yang mengikat sel mast atau permukaan basofil.1,2
Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi dan faktor pencetus.
Berdasarkan durasi, urtikaria dapat diklasifikasikan menjadi urtikaria akut (<6
minggu) dan urtikaria kronis (>6 minggu).1 Urtikaria harus dibedakan dengan
kondisi atau penyakit lain yang menimbulkan peninggian kulit atau angioedema,
seperti tes tusuk kulit, reaksi anafilaksis, sindrom autoinflamasi, dan hereditary
angioedema.2
Urtikaria mempunyai dampak cukup signifikan terhadap kualitas hidup
penderitanya, meskipun sering dianggap ringan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Prevalensi urtikaria di dunia berkisar antara 0,3-11,3% tergantung populasi
yang diteliti. Prevalensi hospitalisasi akibat urtikaria dan angioedema makin
meningkat di Australia. Hospitalisasi akibat urtikaria 3 kali lebih tinggi pada anak
usia 0-4 tahun. Peningkatan hospitalisasi akibat urtikaria paling sering dijumpai
pada usia 5-34 tahun, sedangkan hospitalisasi akibat angioedema tinggi pada usia
>65 tahun. Urtikaria lebih sering ditemukan pada wanita usia 35-60 tahun (usia
rata-rata 40 tahun). Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum diketahui pasti.
Penelitian di Palembang tahun 2007 pada 3000 remaja usia 14-19 tahun,
didapatkan prevalensi urtikaria sebesar 42,78%. Sebanyak 8-20% populasi
diperkirakan pernah atau akan menderita urtikaria dalam perjalanan hidupnya dan
sebanyak 0,1% akan berkembang menjadi urtikaria kronis spontan. Prevalensi
urtikaria kronis lebih kecil dibandingkan urtikaria akut, yaitu 1,8% pada dewasa
dan berkisar antara 0,1-0,3% pada anak.2
Urtikaria disebut akut jika berlangsung kurang dari 6 minggu. Paling
sering episode akut pada anak-anak adalah karena reaksi merugikan atau efek
samping dari makanan atau karena penyakit-penyakit virus. Episode urtikaria
yang persisten melebihi 6 minggu disebut kronik dan paling sering adalah
urtikaria idiopatik atau urtikaria yang disebabkan karena autoimun. Sekitar 50%
pasien dengan urtiakria saja tanpa lesi kulit lainnya dan dapat bebas dari lesi
tersebut dalam 1 tahun, 65% dalam 3 tahun, dan 85% dalam 5 tahun; kurang dari
5% lesi hilang lebih dari 10 tahun.5
2.4 Patofisiologi
Urtikaria adalah penyakit yang diperantarai sel mast. Sel mast yang
teraktivasi akan mengeluarkan histamin dan mediator lain seperti platelet
activating factor (PAF) dan sitokin. Terlepasnya mediator-mediator ini akan
menyebabkan aktivasi saraf sensoris, vasodilatasi, ekstravasasi plasma, serta
migrasi sel-sel inflamasi lain ke lesi urtikaria. Pada kulit yang terkena, dapat
ditemukan berbagai jenis sel inflamasi, antara lain eosinofil dan/atau neutrofil,
makrofag, dan sel T.2
Hal yang mendasari terjadinya urtikaria adalah triple respons dari Lewis,
yaitu eritem akibat dilatasi kapiler, timbulnya flare akibat dilatasi arteriolar yang
diperantarai refleks akson saraf dan timbulnya wheal, akibat ekstravasasi cairan
karena meningkatnya permeabilitas vaskuler.3
Secara histologis, urtikaria menunjukkan adanya dilatasi pembuluh darah
dermal di bawah kulit dan edema (pembengkakan) dengan sedikit infiltrasi sel
perivaskular, diantaranya yang paling dominan adalah eosinofil. Kelainan ini
disebabkan oleh mediator yang lepas, terutama histamin, akibat degranulasi sel
mast kutan atau subkutan, dan leukotrien juga dapat berperan.3
Histamin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di bawah kulit
sehingga kulit berwarna merah (eritema). Histamin juga menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga cairan dan sel, terutama
eosinofil, keluar dari pembuluh darah dan mengakibatkan pembengkakan kulit
lokal. Cairan serta sel yang keluar akan merangsang ujung saraf perifer kulit
sehingga timbul rasa gatal. Terjadilah bentol merah yang gatal.3
Bila pembuluh darah yang terangsang adalah pembuluh darah jaringan
subkutan, biasanya jaringan subkutan longgar, maka edema yang terjadi tidak
berbatas tegas dan tidak gatal karena jaringan subkutan mengandung sedikit ujung
saraf perifer, dinamakan angioedema. Daerah yang terkena biasanya muka
(periorbita dan perioral).3
Urtikaria disebabkan karena adanya degranulasi sel mast yang dapat
terjadi melalui mekanisme imun atau nonimun.3
Histamin adalah mediator terpenting pada reaksi alergi fase cepat yang
diperantarai IgE pada penyakit atopik. Histamin terikat pada reseptor histamin
yang berbeda-beda. Terdapat 4 jenis reseptor histamin, yaitu reseptor H1, H2, H3,
dan H4; masing-masing memiliki efek fisiologik yang berbeda. Reseptor H4 dapat
mengatur fungsi sel imun. Aktivasi reseptor H4 penting pada kemotaksis dan
akumulasi sel pada jaringan alergik yang mengalami inflamasi. Reseptor histamin
H4 berperan pada regulasi histamin proinflamasi, dipresentasikan pada leukosit
dan saluran cerna.3
Gambar 2.1 Imunopatogenesis urtikaria dan angioedema3
Pada dermografisme lesi sering berbentuk linear, pada urtikaria solar lesi
terdapat pada bagian tubuh yang terbuka. Pada urtikaria dingin dan panas lesi
akan terlihat pada daerah yang terkena dingin atau panas. Lesi kolinergik adalah
kecil-kecil dengan diameter 1-3 milimeter dikelilingi daerah warna merah dan
terdapat di daerah yang berkeringat. Secara klinis urtikaria kadang-kadang disertai
angioedema yaitu pembengkakan difus yang kadang-kadang di genitalia. Kadang-
kadang pembengkakan dapat juga terjadi di faring atau laring sehingga dapat
mengancam jiwa.3
2.7 Diagnosis
Diagnosis urtikaria meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes diagnostik
rutin; tes diagnostik lanjutan dilakukan jika perlu. Tujuan diagnosis adalah
menentukan tipe dan subtipe urtikaria serta mengidentifikasi etiologi.2
Lesi urtikaria dapat berupa papul-papul merah pea-sized (sebesar kacang
polong) sampai gambaran circinate (lingkaran) besar dengan batas-batas
kemerahan dan putih di sentral yang dapat menutupi seluruh bagian dari badan.
Vesikel-vesikel dan bula dapat tampak dalam kasus yang berat, bersamaan dengan
efusi hemoragik. Bentuk berat dari urtikaria disebut juga angioedema. Ia dapat
mengenai seluruh bagian tubuh, seperti bibir atau tangan. Oedem glotis dan
bronkospasme merupakan komplikasi yang serius yang dapat mengancam nyawa.
Kasus-kasus akut dapat ringan atau berat tetapi biasanya hilang dengan atau tanpa
pengobatan dalam beberapa jam atau hari. Bentuk kronik dapat mengalami remisi
dan eksaserbasi dalam hitungan beberapa bulan atau tahun.6
Urtikaria akut lebih sering dijumpai dan biasanya cepat menghilang, tetapi
identifikasi etiologi penting untuk mencegah kekambuhan. Etiologi urtikaria akut
sebagian besar dapat diketahui melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
menyeluruh, jarang dibutuhkan pemeriksaan penunjang. Pada anak, etiologi yang
sering adalah infeksi virus dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Makanan
dan obat-obatan, seperti antibiotik dan NSAID (nonsteroidal anti-inflammatory
drug), dapat sebagai penyebab pada anak ataupun dewasa. Tes diagnostik hanya
diindikasikan apabila dicurigai didasari oleh alergi tipe I.2
2.9 Tatalaksana
Urtikaria akut pada umumnya lebih mudah diatasi dan kadang-kadang
sembuh dengan sendirinya tanpa memerlukan pengobatan. Prinsip pengobatan
urtikaria akut sebagai berikut:3
A. Penanganan umum
1. Eliminasi/Penghindaran faktor penyebab
Identifikasi faktor penyebab membutuhkan diagnostik yang
menyeluruh dan tepat. Jika didapatkan perbaikan setelah eliminasi faktor
diduga penyebab, faktor ini baru bias disimpulkan sebagai penyebab jika
terjadi kekambuhan setelah tes provokasi.2
2. Antihistamin
Pada urtikaria akut lokalisata cukup diberikan antihistamin
penghambat reseptor histamin H1.3 Antihistamin-H1 non-sedatif/ generasi
kedua (azelastine, bilastine, cetirizine, desloratadine, ebastine,
fexofenadine, levocetirizine, loratadine, mizolastine, dan rupatadine)
memiliki efikasi sangat baik, keamanan tinggi, dan dapat ditoleransi dengan
baik, sehingga saat ini digunakan sebagai terapi lini pertama. Apabila
keluhan menetap dengan pemberian antihistamin-H1 non-sedatif selama 2
minggu, dosis antihistamin-H1 nonsedatif dapat ditingkatkan sampai 4 kali
lipat dosis awal yang diberikan (Gambar 2.3).2
Gambar 2.3 Alogaritma terapi urtikaria2
3. Adrenergik
Pada urtikaria akut generalisata dan disertai gejala distres pernafasan,
asma atau edema laring mula-mula diberikan larutan adrenalin (1:1000)
dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali subkutan (maksimum 0,3 ml), dilanjutkan
dengan pemberian antihistamin penghambat reseptor histamin H1.3
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan bila tidak memberi respon yang baik dengan
obat-obat lain, dengan mewaspadai efek sampig yang dapat terjadi.3
Kortikosteroid digunakan hanya pada urtikaria akut atau eksaserbasi akut
urtikaria kronis. Belum ada konsensus yang mengatur pemberian
kortikosteroid, disarankan dalam dosis terendah yang memberikan efek
dalam periode singkat. Salah satu kortikosteroid yang disarankan adalah
prednison 15 mg/hari, diturunkan 1 mg setiap minggu.2
B. Penanganan khusus
Penanganan sesuai diagnosis jenis urtikaria.3
C. Penanganan topikal
Untuk mengatasi pruritus, dapat diberikan lotion calamine.3
Urtikaria kronik biasanya lebih sukar diatasi. Idealnya adalah tetap
identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, namun hal ini juga sulit
dilakukan. Untuk itu selain antihistamin penghambat reseptor histamin H1, juga
dapat menambahkan obat penghambat reseptor histamin H2. Kombinasi lain yang
dapat diberikan adalah antihistamin penghambat reseptor histamin H1 non sedasi
dan sedasi pada malam hari atau antihistamin penghambat reseptor histamin H1
dengan antidepresan trisiklik. Pada kasus berat dapat diberikan antihistamin
penghambat reseptor histamin H1 dengan kortikosterod jangka pendek.3
2.10 Prognosis
Pada umumnya prognosis urtikaria adalah baik, dapat sembuh spontan
dalam 24 jam atau dengan obat. Urtikaria akut hampir tidak pernah menimbulkan
kematian, kecuali bila disertai angioedema saluran napas bagian atas. Pada anak-
anak, 20-30% urtikaria akut akan berkembang menjadi urtikaria kronis dan angka
hospitalisasi meningkat 3 kali lipat pada usia 0-4 tahun.1,3 Prognosis urtikaria
kronis lebih bervariasi. Sebanyak 30-50% remisi spontan, 20% dalam 5 tahun, dan
20% akan menetap setelah 5 tahun.2
Nama : Deswita
No. CM : 1-13-52-54
Tanggal lahir : 14 Januari 2008
Usia : 9 tahun 6 bulan 4 hari
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Seulimeum, Aceh Besar
Tanggal pemeriksaan : 19 Juli 2017
Riwayat pengobatan
Pasien diberikan obat pulvis berisi amoxicillin dan paracetamol oleh bidan
desa.
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat alergi di keluarga ada. Ibu pasien mempunyai alergi terhadap
debu. Jika terkena debu ibu pasien akan sesak nafas. Riwayat diabetes mellitus,
penyakit jantung, dan hipertensi disangkal.
Riwayat imunisasi
Pasien tidak diimunisasi secara lengkap.
Riwayat nutrisi
0 – 18 bulan : ASI + pisang
18 – 2 tahun : Nasi tim
2 tahun – sekarang : Makanan biasa
b. Data antropometri
Berat badan : 21 kg
Berat badan ideal : 27 kg
Tinggi badan : 121 cm
LK : 51 cm
LiLa : 12 cm
Status gizi : BB/U : 67,7 % = kurus
PB/U : 89,6% = pendek
BB/TB : 91 % = baik
LK/U : -2 SD s/d +2 SD
HA : 7 tahun
c. Kurva Antropometri
Kebutuhan cairan : 1500 + (1x20)
= (1500 + 20)
Hematokrit 38 53-63 %
MCV 78 80-100 fL
MCH 26 27-31 pg
MCHC 34 32-36 %
Basofil 0 0-2 %
Limfosit 20 20-40%
Monosit 5 2-8%
Ginjal Hipertensi
Ureum 24 13-43 mg/dL
Elektrolit
Natrium 142 132-146 mmol/L
3.5 Diagnosa
Angioedema etcausa Insect Bite + Malnutrisi Kronik
3.6 Tatalaksana
IVFD Dextrose 5% : NaCl 0,45% 10gtt/i (mikro)
Inj. Dexamethason 10mg/24 jam (selama 3 hari)
Inj. Ranitidin 20mg (extra)
Cetirizine syr 1 x cth 1
Eritromycin syr 3 x cth 3/4
Hoketyon cream (dioles pagi – sore pada punggung)
Bila sesak nafas diberikan :
Inj. Epinefrin 0,21 mg – 0,63 mg (secara IV) atau 2cc (secara IM)
Diet hipoalergi
3.7 Planning
Pantau tanda-tanda vital
Konsul Nutrisi
Konsul TKPS
Periksa Ig E spesifik (di poliklinik)
3.8 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam
3.9 Follow Up Harian
20/7/2017
PBJ
BAB IV
PEMBAHASAN