Anda di halaman 1dari 32

Laporan Kasus

URTIKARIA (ANGIOEDEMA)
Diajukan sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak
BLUD RSUD dr. Zainoel Abidin,Banda Aceh

Disusun oleh:
AYU AZRINA
1507101030217

Pembimbing:
Dr. dr. Mulya Safri, M.Kes, Sp. A(K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BLUD RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT atas limpahan
berkah dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus
yang berjudul “Urtikaria (Angioedema)”. Shalawat beserta salam kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari alam kegelapan kea lam
yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Laporan Kasus ini ditulis sebagai salah satu tugas dalam menjalankan
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Unsyiah Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Mulya Safri, M.Kes,
Sp.A(K) selaku pembimbing penulisan Laporan Kasus ini yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari Laporan Kasus ini masih sangat banyak kekurangan
maka untuk itu penulis harapkan kepada semua pihak agar dapat memberikan
kritik dan saran agar Laporan Kasus ini dapat menjadi lebih baik di kemudian
hari.
Penulis juga berharap penyusunan Laporan Kasus ini dapat bermanfaat
bagi penulis sendiri dan juga bagi para pembaca, agar laporan kasus ini dapat
dijadikan bahan belajar dan pengembangan ilmu.

Banda Aceh, Agustus 2017

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... x


BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3
2.1 Definisi ..................................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi ............................................................................................ 3
2.3 Etiologi dan Klasifikasi ........................................................................... 4
2.4 Patofisiologi ............................................................................................. 5
2.5 Manifestasi Klinis..................................................................................... 6
2.6 Diagnosis Banding ................................................................................... 7
2.7 Diagnosis .................................................................................................. 7
2.8 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 9
2.9 Tatalaksana ............................................................................................ 11
2.10 Prognosis ............................................................................................... 13

BAB III LAPORAN KASUS .............................................................................. 14


3.1 Identitas Pasien ....................................................................................... 14
3.2 Anamnesis .............................................................................................. 14
3.3 Pemeriksaan Fisik................................................................................... 15
3.4 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 19
3.5 Diagnosa ................................................................................................. 20
3.6 Tatalaksana ............................................................................................. 20
3.7 Planning .................................................................................................. 20
3.8 Prognosis ................................................................................................ 20
3.9 Follow up Harian .................................................................................... 21

BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................... 24
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 28
BAB I
PENDAHULUAN

Urtikaria atau dikenal juga dengan “hives” adalah kondisi kelainan kulit
berupa reaksi vaskular terhadap bermacam-macam sebab, biasanya disebabkan
oleh suatu reaksi alergi, yang mempunyai karakteristik gambaran kulit kemerahan
(eritema) dengan sedikit oedem atau penonjolan (elevasi) kulit berbatas tegas
yang timbul secara cepat setelah dicetuskan oleh faktor presipitasi dan
menghilang perlahan-lahan.1 Urtikaria memiliki ukuran yang bervariasi, biasanya
dikelilingi eritema, terasa gatal atau sensasi terbakar, umumnya menghilang dalam
1-24 jam. Angioedema terjadi akibat edema lapisan dermis bagian bawah dan
jaringan subkutan, biasanya lebih dirasakan sebagai sensasi nyeri, dan menghilang
setelah 72 jam.2
Prevalensi urtikaria di dunia berkisar antara 0,3-11,3% tergantung populasi
yang diteliti. Prevalensi hospitalisasi akibat urtikaria dan angioedema makin
meningkat di Australia. Hospitalisasi akibat urtikaria 3 kali lebih tinggi pada anak
usia 0-4 tahun. Peningkatan hospitalisasi akibat urtikaria paling sering dijumpai
pada usia 5-34 tahun, sedangkan hospitalisasi akibat angioedema tinggi pada usia
>65 tahun. Urtikaria lebih sering ditemukan pada wanita usia 35-60 tahun (usia
rata-rata 40 tahun). Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum diketahui pasti.
Penelitian di Palembang tahun 2007 pada 3000 remaja usia 14-19 tahun,
mendapatkan prevalensi urtikaria sebesar 42,78%. Sebanyak 8-20% populasi
diperkirakan pernah atau akan menderita urtikaria dalam perjalanan hidupnya dan
sebanyak 0,1% akan berkembang menjadi urtikaria kronis spontan. Prevalensi
urtikaria kronis lebih kecil dibandingkan urtikaria akut, yaitu 1,8% pada dewasa
dan berkisar antara 0,1-0,3% pada anak.2
Sejumlah faktor, baik imunologik dan nonimunologik, dapat terlibat dalam
patogenesis terjadinya urtikaria. Urtikaria dihasilkan dari pelepasan histamin dari
jaringan sel-sel mast dan dari sirkulasi basofil. Faktor-faktor nonimunologik yang
dapat melepaskan histamin dari sel-sel tersebut meliputi bahan-bahan kimia,
beberapa obat-obatan (termasuk morfin dan kodein), makan makanan laut seperti
lobster, kerang, dan yang lain, toksin bakteri, serta agen fisik. Mekanisme
imunologik kemungkinan terlibat lebih sering pada urtikaria akut daripada
urtikaria kronik. Mekanisme yang paling sering adalah reaksi hipersensitivitas tipe
I yang distimulasi oleh antigen polivalen yang mempertemukan dua molekul Ig E
spesifik yang mengikat sel mast atau permukaan basofil.1,2
Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi dan faktor pencetus.
Berdasarkan durasi, urtikaria dapat diklasifikasikan menjadi urtikaria akut (<6
minggu) dan urtikaria kronis (>6 minggu).1 Urtikaria harus dibedakan dengan
kondisi atau penyakit lain yang menimbulkan peninggian kulit atau angioedema,
seperti tes tusuk kulit, reaksi anafilaksis, sindrom autoinflamasi, dan hereditary
angioedema.2
Urtikaria mempunyai dampak cukup signifikan terhadap kualitas hidup
penderitanya, meskipun sering dianggap ringan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Urtikaria (nettle-rash, hives) adalah erupsi kulit yang menimbul (wheal)


berbatas tegas, berwarna merah, lebih pucat pada bagian tengah, dan memucat
bila ditekan, disertai rasa gatal. Urtikaria dapat berlangsung secara akut, kronik
atau berulang.3
Angioedema (giant urticaria, angioneurotic edema, quinckes edema)
adalah sebuah lesi yang sama dengan urtikaria tetapi pada angioedema meliputi
jaringan subkutan yang lebih dalam, tidak disertai dengan rasa gatal, namun
biasanya disertai rasa nyeri dan terbakar.3
Angioedema juga merupakan suatu pembengkakan yang difus pada
jaringan lunak umumnya melibatkan jaringan subcutaneus dan submukosa tetapi
dapat juga mempengaruhi saluran pencernaan atau saluran pernafasan, dan bisa
saja bersifat fatal. Hal ini biasanya juga dikenal sebagai Quincke’s disease,
dimana awalnya klinisi menghubungkannya pada perubahan penggantian
permeabilitas vaskuler.4

2.2 Epidemiologi
Prevalensi urtikaria di dunia berkisar antara 0,3-11,3% tergantung populasi
yang diteliti. Prevalensi hospitalisasi akibat urtikaria dan angioedema makin
meningkat di Australia. Hospitalisasi akibat urtikaria 3 kali lebih tinggi pada anak
usia 0-4 tahun. Peningkatan hospitalisasi akibat urtikaria paling sering dijumpai
pada usia 5-34 tahun, sedangkan hospitalisasi akibat angioedema tinggi pada usia
>65 tahun. Urtikaria lebih sering ditemukan pada wanita usia 35-60 tahun (usia
rata-rata 40 tahun). Di Indonesia, prevalensi urtikaria belum diketahui pasti.
Penelitian di Palembang tahun 2007 pada 3000 remaja usia 14-19 tahun,
didapatkan prevalensi urtikaria sebesar 42,78%. Sebanyak 8-20% populasi
diperkirakan pernah atau akan menderita urtikaria dalam perjalanan hidupnya dan
sebanyak 0,1% akan berkembang menjadi urtikaria kronis spontan. Prevalensi
urtikaria kronis lebih kecil dibandingkan urtikaria akut, yaitu 1,8% pada dewasa
dan berkisar antara 0,1-0,3% pada anak.2
Urtikaria disebut akut jika berlangsung kurang dari 6 minggu. Paling
sering episode akut pada anak-anak adalah karena reaksi merugikan atau efek
samping dari makanan atau karena penyakit-penyakit virus. Episode urtikaria
yang persisten melebihi 6 minggu disebut kronik dan paling sering adalah
urtikaria idiopatik atau urtikaria yang disebabkan karena autoimun. Sekitar 50%
pasien dengan urtiakria saja tanpa lesi kulit lainnya dan dapat bebas dari lesi
tersebut dalam 1 tahun, 65% dalam 3 tahun, dan 85% dalam 5 tahun; kurang dari
5% lesi hilang lebih dari 10 tahun.5

2.3 Etiologi dan Klasifikasi


Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi atau etiologi dan
mekanisme patofisiologi.3
A. Durasi
1. Akut
Urtikaria akut biasanya berlangsung beberapa jam sampai beberapa
hari (kurang dari 6 minggu)
2. Kronik
Urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu, dan urtikaria
biasanya berulang dan tidak diketahui pencetusnya, serta dapat
berlangsung sampai beberapa tahun. Urtikaria kronik umumnya
ditemukan pada orang dewasa.
B. Etiologi dan mekanisme patofisiologi
1. Mekanisme imun
Mekanisme imun dapat diperantarai melalui reaksi hipersensitivitas
tipe I, II, dan III
2. Mekanisme non-imun (anafilaktoid)
a. Angioedema herediter
b. Aspirin
c. Liberator histamin, yaitu zat yang dapat menyebabkan pelepasan
histamin seperti opiat, pelemas otot, obat vasoaktif, dan makanan
(putih telur, tomat, lobster)
3. Fisik
a. Dermatografia (writing on the skin)
b. Urtikaria dingin
c. Urtikaria kolinergik
d. Urtikaria panas
e. Urtikaria solar
f. Urtikaria dan angioedema tekanan
g. Angioedema getar
h. Urtikaria akuagenik
4. Miscellaneous
a. Urtikaria papular
 Etiologi : gigitan serangga (nyamuk, lebah, dll)
 Pruritus bifasik : papular  wheal
 Reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV
b. Urtikaria pigmentosa
c. Mastositosis sistemik
d. Infeksi disertai urtikaria
e. Urtikaria dengan penyakit sistemik yang mendasarinya:
1) Penyakit vaskular kolagen
2) Keganasan
3) Ketidakseimbangan sistem endokrin
f. Faktor psikogenik
g. Urtikaria dan angioedema idiopatik

2.4 Patofisiologi
Urtikaria adalah penyakit yang diperantarai sel mast. Sel mast yang
teraktivasi akan mengeluarkan histamin dan mediator lain seperti platelet
activating factor (PAF) dan sitokin. Terlepasnya mediator-mediator ini akan
menyebabkan aktivasi saraf sensoris, vasodilatasi, ekstravasasi plasma, serta
migrasi sel-sel inflamasi lain ke lesi urtikaria. Pada kulit yang terkena, dapat
ditemukan berbagai jenis sel inflamasi, antara lain eosinofil dan/atau neutrofil,
makrofag, dan sel T.2
Hal yang mendasari terjadinya urtikaria adalah triple respons dari Lewis,
yaitu eritem akibat dilatasi kapiler, timbulnya flare akibat dilatasi arteriolar yang
diperantarai refleks akson saraf dan timbulnya wheal, akibat ekstravasasi cairan
karena meningkatnya permeabilitas vaskuler.3
Secara histologis, urtikaria menunjukkan adanya dilatasi pembuluh darah
dermal di bawah kulit dan edema (pembengkakan) dengan sedikit infiltrasi sel
perivaskular, diantaranya yang paling dominan adalah eosinofil. Kelainan ini
disebabkan oleh mediator yang lepas, terutama histamin, akibat degranulasi sel
mast kutan atau subkutan, dan leukotrien juga dapat berperan.3
Histamin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di bawah kulit
sehingga kulit berwarna merah (eritema). Histamin juga menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga cairan dan sel, terutama
eosinofil, keluar dari pembuluh darah dan mengakibatkan pembengkakan kulit
lokal. Cairan serta sel yang keluar akan merangsang ujung saraf perifer kulit
sehingga timbul rasa gatal. Terjadilah bentol merah yang gatal.3
Bila pembuluh darah yang terangsang adalah pembuluh darah jaringan
subkutan, biasanya jaringan subkutan longgar, maka edema yang terjadi tidak
berbatas tegas dan tidak gatal karena jaringan subkutan mengandung sedikit ujung
saraf perifer, dinamakan angioedema. Daerah yang terkena biasanya muka
(periorbita dan perioral).3
Urtikaria disebabkan karena adanya degranulasi sel mast yang dapat
terjadi melalui mekanisme imun atau nonimun.3
Histamin adalah mediator terpenting pada reaksi alergi fase cepat yang
diperantarai IgE pada penyakit atopik. Histamin terikat pada reseptor histamin
yang berbeda-beda. Terdapat 4 jenis reseptor histamin, yaitu reseptor H1, H2, H3,
dan H4; masing-masing memiliki efek fisiologik yang berbeda. Reseptor H4 dapat
mengatur fungsi sel imun. Aktivasi reseptor H4 penting pada kemotaksis dan
akumulasi sel pada jaringan alergik yang mengalami inflamasi. Reseptor histamin
H4 berperan pada regulasi histamin proinflamasi, dipresentasikan pada leukosit
dan saluran cerna.3
Gambar 2.1 Imunopatogenesis urtikaria dan angioedema3

2.5 Manifestasi klinis


Urtikaria merupakan penyakit yang sering ditemukan, diperkirakan 3,2-
12,8% dari populasi pernah mengalami urtikaria. Dari penelitian di daerah Utan
Kayu, Jakarta Timur, ternyata urtikaria terdapat pada 4,5% dari penderita atopi.3
Klinis tampak bentol (plaque edemateus) multipel yang berbatas tegas,
berwarna merah dan gatal. Bentol dapat pula berwarna putih ditengah yang
dikelilingi warna merah. Warna merah bila ditekan akan memutih. Ukuran tiap
lesi bervariasi dari diameter beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter,
berbentuk sirkular atau serpiginosa (merambat). Tiap lesi akan menghilang setelah
1 sampai 48 jam, tetapi dapat timbul lesi baru.3
Angioedema ditandai dengan karakteristik berikut:2
1. Edema dermis bagian bawah atau jaringan subkutan yang timbul
mendadak, dapat berwarna kemerahan ataupun warna lain, sering disertai
edema membran mukosa.
2. Lebih sering dirasakan sebagai sensasi nyeri dibandingkan gatal, dapat
menghilang setelah 72 jam.
Gambar 2.2 Urtikaria pada lengan (A), Angioedema pada mata (B)2

Pada dermografisme lesi sering berbentuk linear, pada urtikaria solar lesi
terdapat pada bagian tubuh yang terbuka. Pada urtikaria dingin dan panas lesi
akan terlihat pada daerah yang terkena dingin atau panas. Lesi kolinergik adalah
kecil-kecil dengan diameter 1-3 milimeter dikelilingi daerah warna merah dan
terdapat di daerah yang berkeringat. Secara klinis urtikaria kadang-kadang disertai
angioedema yaitu pembengkakan difus yang kadang-kadang di genitalia. Kadang-
kadang pembengkakan dapat juga terjadi di faring atau laring sehingga dapat
mengancam jiwa.3

2.6 Diagnosis Banding


Adapun diagnosa banding urtikaria pada anak adalah sebagai berikut:3
1. Sengatan serangga multiple : pada sengatan akan terlihat titik di tengah
bentol, yang merupakan bekas sengatan serangga.
2. Angioedema herediter : terdapat edema subkutan atau submukosa periodik
disertai rasa sakit dan terkadang disertai edema laring. Edema biasanya
mengenai ekstremitas dan mukosa gastrointestinalis yang sembuh setelah 1
sampai 4 hari. Pada keluarga terdapat riwayat penyakit yang serupa.
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan kadar komplemen C4 dan C2
yang menurun dan tidak adanya inhibitor C1-esterase dalam serum

2.7 Diagnosis
Diagnosis urtikaria meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes diagnostik
rutin; tes diagnostik lanjutan dilakukan jika perlu. Tujuan diagnosis adalah
menentukan tipe dan subtipe urtikaria serta mengidentifikasi etiologi.2
Lesi urtikaria dapat berupa papul-papul merah pea-sized (sebesar kacang
polong) sampai gambaran circinate (lingkaran) besar dengan batas-batas
kemerahan dan putih di sentral yang dapat menutupi seluruh bagian dari badan.
Vesikel-vesikel dan bula dapat tampak dalam kasus yang berat, bersamaan dengan
efusi hemoragik. Bentuk berat dari urtikaria disebut juga angioedema. Ia dapat
mengenai seluruh bagian tubuh, seperti bibir atau tangan. Oedem glotis dan
bronkospasme merupakan komplikasi yang serius yang dapat mengancam nyawa.
Kasus-kasus akut dapat ringan atau berat tetapi biasanya hilang dengan atau tanpa
pengobatan dalam beberapa jam atau hari. Bentuk kronik dapat mengalami remisi
dan eksaserbasi dalam hitungan beberapa bulan atau tahun.6
Urtikaria akut lebih sering dijumpai dan biasanya cepat menghilang, tetapi
identifikasi etiologi penting untuk mencegah kekambuhan. Etiologi urtikaria akut
sebagian besar dapat diketahui melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
menyeluruh, jarang dibutuhkan pemeriksaan penunjang. Pada anak, etiologi yang
sering adalah infeksi virus dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Makanan
dan obat-obatan, seperti antibiotik dan NSAID (nonsteroidal anti-inflammatory
drug), dapat sebagai penyebab pada anak ataupun dewasa. Tes diagnostik hanya
diindikasikan apabila dicurigai didasari oleh alergi tipe I.2

Tabel 2.1 Pertanyaan terkait urtikaria2


No. Pertanyaan
1. Onset
2. Frekuensi dan durasi
3. Variasi diurnal
4. Korelasi dengan riwayat perjalanan, liburan, atau
akhir minggu
5. Bentuk, ukuran, dan distribusi lesi
6. Ada/tidaknya angioedema
7. Keluhan, misalnya gatal atau nyeri
8. Riwayat urtikaria atau atopi, riwayat pada
Keluarga
9. Riwayat alergi, infeksi, atau penyakit sistemik
yang sedang atau pernah diderita
10. Penyakit psikosomatis atau psikiatri
11. Operasi implant
12. Gangguan pencernaan (lambung/usus)
13. Induksi oleh agen fisik atau aktivitas fisik
14. Penggunaan obat-obatan (NSAIDs, injeksi,
imunisasi, hormon, laksatif, supositoria, tetes
telinga atau mata, dan obat herbal)
15. Korelasi dengan makanan
16. Korelasi dengan siklus menstruasi
17. 17. Kebiasaan merokok
18. Pekerjaan
19. Hobi
20. Stres
21. Kualitas hidup pasien terkait urtikaria dan efek
Emosional
22. Riwayat pengobatan dan respons terhadap
Pengobatan

2.8 Pemeriksan Penunjang


1. Reaksi Hipersensitivitas tipe I
Untuk reaksi hipersensitivitas alergi dan non alergi ini dapat dilakukan :
 Hitung eosinofil darah perifer/nasal
 Pemeriksaan konsentrasi tryptase serum, apabila konsentrasinya > 10
mg/ml menunjukkan adanya aktivasi dari sel mast.
Untuk alergi yang diperantarai IgE (IgE mediated) dilakukan pemeriksaan :
 IgE total serum
Untuk alergen protein (inhalan/makanan) perlu dilakukan :
 Uji tusuk kulit
Radio-Allergo-Sorbent Test (RAST) : IgE spesifik serum
Untuk alergen obat perlu dilakukan :
 Uji tusuk kulit
Satu tetes larutan obat 1:1000 dalam larutan garam fisiologis tanpa
pengawet, harus disertai kontrol positif dan kontrol negatif
Uji intradermal
0,02 ml larutan obat 1:1000 dalam larutan garam fisiologis, harus disertai
kontrol positif dan negatif.3
2. Urtikaria fisik.
Kulit yang akan diuji:
- Kulit harus sehat/normal
- Pada daerah volar lengan bawah
- Angioedema herediter
- Uji yang dilakukan pemeriksaan C4, C2, CH30, C1-INH
- Dermatografisme (menulis pada kulit).3
Cara pemeriksaannya :
- Gores kulit normal pada daerah volar lengan bawah dengan alat
tumpul (stik yang keras atau tounge blade/penekan lidah atau dengan
kuku)
- Suatu reaksi wheal dan kemerahan berbentuk garis akan timbul dalam
2-3 menit setelah digores. Intensitas puncak terjadi pada 6-7 menit dan
hilang spontan dalam 20 menit. Tipe lambat terjadi dalam 6-9 jam
pada sisi yang sama dan menetap selama 24-48 jam.3
3. Urtikaria yang tergantung pada temperatur
Kulit diberi pajanan temperatur ekstrim:
Urtikaria dingin:
- Tempelkan benda dingin pada kulit
- Pegang kubus es atau lebih baik benda dingin yang kering (baskom
tembaga yang diisi es, direndam dalam air dingin atau tabung kering
berisi dry ice)
Urtikaria panas:
- Tempel air panas yang dimasukkan dalam tabung pada kulit. Wheal
yang gatal akan timbul dalam beberapa menit.3
4. Urtikaria solar
- Sejumlah anak memiliki protoporfiria eritropoeitik
- Kulit diberi paparan pancaran sinar berbagai panjang gelombang di
laboratorium
- Wheal/ eritem yang pruritik akan timbul pada kulit yang terpajan
pancaran sinar, biasanya hilang dalam 24 jam.3
5. Urtikaria tekanan
- Beri tekanan dengan beban
- Siapkan beban 7-14 kg
- Gantung suatu beban 7-14 kg disekeliling lengan bawah atau bahu
selama 10 menit.3
6. Angioedema vibrator
Tempelkan vibrator atau mixer pada lengan bawah selama 4 menit.3
7. Urtikaria aquagenik
Tempelkan kompres air/ tap water dicoba pada berbagai temperatur pada
kulit yang diuji. Papul multipel yang gatal seperti urtikaria kolinergik akan
timbul dalam beberapa menit hingga 30 menit.3
8. Urtikaria kolinergik
- Mandi dalam air hangat dan tidak beraktivitas hingga berkeringat
-
Wheal/ papula yang gatal dengan diameter 1-3 mm, dikelilingi eritem
yang luas timbul dalam 2-20 menit. Episode ini akan menetap dalam
5-30 menit.3

2.9 Tatalaksana
Urtikaria akut pada umumnya lebih mudah diatasi dan kadang-kadang
sembuh dengan sendirinya tanpa memerlukan pengobatan. Prinsip pengobatan
urtikaria akut sebagai berikut:3
A. Penanganan umum
1. Eliminasi/Penghindaran faktor penyebab
Identifikasi faktor penyebab membutuhkan diagnostik yang
menyeluruh dan tepat. Jika didapatkan perbaikan setelah eliminasi faktor
diduga penyebab, faktor ini baru bias disimpulkan sebagai penyebab jika
terjadi kekambuhan setelah tes provokasi.2
2. Antihistamin
Pada urtikaria akut lokalisata cukup diberikan antihistamin
penghambat reseptor histamin H1.3 Antihistamin-H1 non-sedatif/ generasi
kedua (azelastine, bilastine, cetirizine, desloratadine, ebastine,
fexofenadine, levocetirizine, loratadine, mizolastine, dan rupatadine)
memiliki efikasi sangat baik, keamanan tinggi, dan dapat ditoleransi dengan
baik, sehingga saat ini digunakan sebagai terapi lini pertama. Apabila
keluhan menetap dengan pemberian antihistamin-H1 non-sedatif selama 2
minggu, dosis antihistamin-H1 nonsedatif dapat ditingkatkan sampai 4 kali
lipat dosis awal yang diberikan (Gambar 2.3).2
Gambar 2.3 Alogaritma terapi urtikaria2

Antihistamin generasi pertama sudah jarang digunakan, hanya


direkomendasikan sebagai terapi tambahan urtikaria kronis yang tidak
terkontrol dengan antihistamin generasi kedua. Antihistamin generasi
pertama sebaiknya diberikan dosis tunggal malam hari karena mempunyai
efek sedatif.2

3. Adrenergik
Pada urtikaria akut generalisata dan disertai gejala distres pernafasan,
asma atau edema laring mula-mula diberikan larutan adrenalin (1:1000)
dengan dosis 0,01 ml/kgBB/kali subkutan (maksimum 0,3 ml), dilanjutkan
dengan pemberian antihistamin penghambat reseptor histamin H1.3
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan bila tidak memberi respon yang baik dengan
obat-obat lain, dengan mewaspadai efek sampig yang dapat terjadi.3
Kortikosteroid digunakan hanya pada urtikaria akut atau eksaserbasi akut
urtikaria kronis. Belum ada konsensus yang mengatur pemberian
kortikosteroid, disarankan dalam dosis terendah yang memberikan efek
dalam periode singkat. Salah satu kortikosteroid yang disarankan adalah
prednison 15 mg/hari, diturunkan 1 mg setiap minggu.2
B. Penanganan khusus
Penanganan sesuai diagnosis jenis urtikaria.3
C. Penanganan topikal
Untuk mengatasi pruritus, dapat diberikan lotion calamine.3
Urtikaria kronik biasanya lebih sukar diatasi. Idealnya adalah tetap
identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab, namun hal ini juga sulit
dilakukan. Untuk itu selain antihistamin penghambat reseptor histamin H1, juga
dapat menambahkan obat penghambat reseptor histamin H2. Kombinasi lain yang
dapat diberikan adalah antihistamin penghambat reseptor histamin H1 non sedasi
dan sedasi pada malam hari atau antihistamin penghambat reseptor histamin H1
dengan antidepresan trisiklik. Pada kasus berat dapat diberikan antihistamin
penghambat reseptor histamin H1 dengan kortikosterod jangka pendek.3
2.10 Prognosis
Pada umumnya prognosis urtikaria adalah baik, dapat sembuh spontan
dalam 24 jam atau dengan obat. Urtikaria akut hampir tidak pernah menimbulkan
kematian, kecuali bila disertai angioedema saluran napas bagian atas. Pada anak-
anak, 20-30% urtikaria akut akan berkembang menjadi urtikaria kronis dan angka
hospitalisasi meningkat 3 kali lipat pada usia 0-4 tahun.1,3 Prognosis urtikaria
kronis lebih bervariasi. Sebanyak 30-50% remisi spontan, 20% dalam 5 tahun, dan
20% akan menetap setelah 5 tahun.2

Akan tetapi karena urtikaria merupakan bentuk kutan anafilaksis sistemik,


dapat saja terjadi obstruksi jalan nafas karena adanya edema laring atau jaringan
sekitarnya, atau anafilaksis sistemik yang dapat mengancam jiwa.3
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Deswita
No. CM : 1-13-52-54
Tanggal lahir : 14 Januari 2008
Usia : 9 tahun 6 bulan 4 hari
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Seulimeum, Aceh Besar
Tanggal pemeriksaan : 19 Juli 2017

3.2 Anamnesis (heteroanamnesis)


Keluhan utama : Bengkak pada mata
Keluhan tambahan : ruam kemerahan seluruh tubuh.
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien dibawa ibunya datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUDZA tanggal
16 Juli 2017 dengan keluhan bengkak pada kedua mata yang dialami sejak sekitar
1 jam SMRS. Bengkak semakin membesar dan pasien sulit membuka mata. Hal
ini dialami pasien setelah pasien digigit tawon pada bagian punggung sebelah kiri.
Pasien juga mengeluh keluar bercak-bercak kemerahan di seluruh tubuh dan
terasa gatal. Pasien tidak demam maupun sesak nafas. Tumbuh kembang pasien
juga terlambat dibanding anak seusianya. Menurut keterangan ibu pasien, pasien
pernah tinggal kelas 1 tahun saat akan naik kelas 4 SD. Prestasinya disekolah
biasa saja. BAB dan BAK dalam batas normal.

Riwayat penyakit dahulu


Sebelumnya pasien sudah dibawa ke bidan desa untuk mengobati bengkak
matanya. Namun keluhan tidak berkurang. Pasien juga memiliki alergi terhadap
debu dan obat kotrimoksazol.

Riwayat pengobatan
Pasien diberikan obat pulvis berisi amoxicillin dan paracetamol oleh bidan
desa.
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat alergi di keluarga ada. Ibu pasien mempunyai alergi terhadap
debu. Jika terkena debu ibu pasien akan sesak nafas. Riwayat diabetes mellitus,
penyakit jantung, dan hipertensi disangkal.

Riwayat kehamilan dan persalinan


Pasien merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara. Saat hamil, ibu pasien
ANC sebanyak 3 kali (pada usia kehamilan 3 bulan, 4 bulan, dan 9 bulan). ANC
dengan bidan desa. Dan tidak pernah mengalami sakit selama masa kehamilan.
Pasien lahir secara pervaginam dan berat badan lahir 2500 gram. Usia kandungan
pada saat lahir adalah 38 minggu. Saat lahir pasien menangis kuat dengan
ekstremitas kebiruan dan badan kemerahan.

Riwayat imunisasi
Pasien tidak diimunisasi secara lengkap.

Riwayat nutrisi
0 – 18 bulan : ASI + pisang
18 – 2 tahun : Nasi tim
2 tahun – sekarang : Makanan biasa

Riwayat tumbuh kembang


Ibu pasien mengatakan bahwa berat badan pasien tidak banyak bertambah.
Tumbuh kembang pasien juga terlambat dibanding anak seusianya. Menurut
keterangan ibu pasien, pasien pernah tinggal kelas 1 tahun saat akan naik kelas 4
SD. Prestasinya disekolah biasa saja.

3.3 Pemeriksaan fisik


a. Status present
Keadaan umum : baik
Kesadaran : kompos mentis
Nadi : 130 x/ menit, regular, kuat angkat
Frekuensi napas : 24 x/ menit
Temperatur (aksila) : 36,9 ºC
a. Status general
Kepala : Normocephali, lingkar kepala 51 cm, wajah dismorfik (-)
Rambut : hitam kemerahan halus sukar dicabut
Mata : palpebra edem (+/+), konjungtiva edema (+/+), sklera ikterik (-),
mata cekung (-), pupil bulat isokor (+) dengan diameter 2mm/2mm,
RC (+/+).
Telinga : Normotia, sekret (-)
Hidung : NCH (-), sekret (-/-)
Mulut : simetris, mukosa bibir kering (-), sianosis (-), lidah tampak
normal, faring hiperemis (-), tonsil T1/T1, hiperemis (-), karies
pada gigi (-).
Leher : pembesaran KGB (-)
Toraks : Simetris, vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), retraksi (-/-)
Jantung : BJ1>BJ2, bising (-)
Abdomen : Soepel, distensi (-), bising usus (+), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat (+), edema (-), pucat (-)
Genitalia : alat kelamin perempuan
Status dermatologi :
a/r Generalisata : plakat eritematosus, batas tegas

b. Data antropometri
Berat badan : 21 kg
Berat badan ideal : 27 kg
Tinggi badan : 121 cm
LK : 51 cm
LiLa : 12 cm
Status gizi : BB/U : 67,7 % = kurus
PB/U : 89,6% = pendek
BB/TB : 91 % = baik
LK/U : -2 SD s/d +2 SD
HA : 7 tahun
c. Kurva Antropometri
Kebutuhan cairan : 1500 + (1x20)

= (1500 + 20)

= 1520 cc/24 jam

Kebutuhan kalori : (BBI = 27 kg)


= 27 x (50-62)
= 1350 – 1674 kkal/hari

Kebutuhan protein : (BBI = 27 kg)


= 27 x 1 gr/kg/hari
= 27 gram/hari
3.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium (16/7/2017)

Hematologi Hasil Nilai Rujukan


Hemoglobin 12,7 9.0-14.0 g/dL

Hematokrit 38 53-63 %

Eritrosit 4,9 4.7-6.1 x 106/mm3

Leukosit 13,8 4.5-10.5 x103/mm3

Trombosit 484 150-450 x 103/mm3

MCV 78 80-100 fL

MCH 26 27-31 pg

MCHC 34 32-36 %

RDW 13,2 11.5-14.5 %

MPV 8,9 7.2-11.1 fL

PDW 8,6 9.0-14.0 g/dL

Gula Darah Sewaktu 127 <200 mg/dL


Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 5 0-6 %

Basofil 0 0-2 %

Neutrofil Batang 0 2-6 %

Neutrofil Segmen 70 50-70 %

Limfosit 20 20-40%

Monosit 5 2-8%

Ginjal Hipertensi
Ureum 24 13-43 mg/dL

Kreatinin 0,40 0,67-1,17 mg/dL

Elektrolit
Natrium 142 132-146 mmol/L

Kalium 4,0 3,7-5,4 mmol/L


Clorida 110 98-106 mmol/L

3.5 Diagnosa
Angioedema etcausa Insect Bite + Malnutrisi Kronik

3.6 Tatalaksana
 IVFD Dextrose 5% : NaCl 0,45% 10gtt/i (mikro)
 Inj. Dexamethason 10mg/24 jam (selama 3 hari)
 Inj. Ranitidin 20mg (extra)
 Cetirizine syr 1 x cth 1
 Eritromycin syr 3 x cth 3/4
 Hoketyon cream (dioles pagi – sore pada punggung)
 Bila sesak nafas diberikan :
Inj. Epinefrin 0,21 mg – 0,63 mg (secara IV) atau 2cc (secara IM)

 Diet hipoalergi

3.7 Planning
 Pantau tanda-tanda vital
 Konsul Nutrisi
 Konsul TKPS
 Periksa Ig E spesifik (di poliklinik)

3.8 Prognosis
 Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
 Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
 Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam
3.9 Follow Up Harian

Tanggal Catatan Instruksi


S/ Bengkak pada mata (+), Th/
sesak nafas (-), akral -IVFD 2:1 10 gtt/i
hangat, BAB dan BAK (mikro)
lancar. - Inj dexamethason ½
O/ TD : 90/60 mmHg amp/ 8 jam (3-5 hari)
HR : 124 x/mnt (Hari 1)
17/7/2017
T : 36,7oC Bila sesak nafas :
RR : 24x/mnt - Inj Epinefrin 0,1 cc –
0,3 cc/kgBB  0,2 cc
A/ (IM)
Angioedema e.c Insect bite - Cetirizine syr 1 x cth
+ malnutrisi kronik 3/4
- Eritromycin syr 3 x cth
3/4
- Hoketyon cream (dioles
pagi – sore pada
punggung)
- Diet hipoalergi
S/ Bengkak pada mata Th/
berkurang, sesak nafas -IVFD 2:1 10 gtt/i
tidak ada, akral hangat (mikro)
O/ TD : 90/60 mmHg - Inj dexamethason ½
HR : 124 x/mnt amp/ 8 jam (3-5 hari)
T : 36,8oC (Hari 2)
RR : 25 x/mnt Bila sesak nafas :
Ass/ Angioedema e.c - Inj Epinefrin 0,1 cc –
18/7/2017 Insect bite + malnutrisi 0,3 cc/kgBB  0,2 cc
kronik (IM)
- Cetirizine syr 1 x cth
3/4
- Eritromycin syr 3 x cth
3/4
- Hoketyon cream (dioles
pagi – sore pada
punggung)
- Diet hipoalergi
S/ Bengkak pada mata Th/
berkurang, sesak nafas - IVFD 2:1 10 gtt/i
tidak ada, akral hangat (mikro)
O/ TD : 100/70 mmHg - Inj dexamethason ½
19/7/2017
HR : 124 x/mnt amp/ 8 jam (3-5 hari)
T : 36,7oC (Hari 3)
RR : 24 x/mnt - Cetirizine syr 1 x cth
Ass/ Angioedema e.c 3/4
Insect bite + malnutrisi - Eritromycin syr 3 x cth
kronik 3/4
- Hoketyon cream (dioles
pagi – sore pada
punggung)
- Diet hipoalergi
P/
Bila sesak nafas :
- Inj Epinefrin 0,1 cc –
0,3 cc/kgBB  0,2 cc
(IM)
- konsul picu untuk
perawatan selanjutnya.

20/7/2017
PBJ
BAB IV
PEMBAHASAN

Telah dilaporkan seorang anak perempuan dengan usia 9 tahun 6 bulan


dengan keluhan utama bengkak pada mata dan keluhan tambahan ruam
kemerahan pada seluruh tubuh. Hal ini dialami pasien setelah digigit tawon pada
bagian punggung sebelah kiri. Pasien didiagnosa dengan angioedema etcausa
insect bite.
Urtikaria adalah kelainan kulit yang ditandai dengan peninggian kulit yang
timbul mendadak dan/atau disertai angioedema. Ukurannya bervariasi, biasanya
dikelilingi eritema, lebih pucat dibagian tengah, dan memucat bila ditekan,
disertai rasa gatal, umumnya mengilang dalam 1-24 jam. Angioedema (giant
urticaria, angioneurotic edema, quinckes edema) adalah sebuah lesi yang sama
dengan urtikaria terapi angioedema meliputi jaringan subkutan yang lebih dalam,
tidak disertai dengan rasa gatal, namun biasanya disertai nyeri dan terbakar.2,3
Diagnosis urtikaria (angioedema) yang tepat bertujuan untuk menentukan
tipe dan subtipe urtikaria serta mengidentifikasi etiologi. Dalam hal ini urtikaria
biasanya dapat diketahui melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh,
jarang membutuhkan pemeriksaan penunjang. Tes diagnostik hanya diindikasikan
apabila dicurigai alergi tipe I.2 Hasil anamnesis dan pemeriksaan didapatkan
pasien dengan keluhan bengkak kedua mata yang dialami sekitar 1 jam SMRS.
Pasien juga dengan keluhan keluar bercak-bercak kemerahan di seluruh tubuh dan
terasa gatal. Pasien tidak demam maupun sesak nafas. Saat menegakkan diagnosis
angioedema maka klinis yang sering muncul biasanya bersamaan dengan urtikaria
akut dan memiliki gambaran sebagai berikut : nonpiting (cekungan dapat
kembali), tidak gatal, bengkak yang berbatas tegas yang mengenai daerah muka,
tangan, pantat, dan daerah genital. Namun perbedaan yang harus diperhatikan
antara urtikaria dan angioedema yaitu terutama pada lapisan kulit yang terkena
dan juga sensasi kulit yang dirasakan. Pada urtikaria peninggian kulit hanya
terjadi di bagian dermis superfisial dan disertai rasa gatal, sedangkan pada
angioedema lesi yang terbentuk sama dengan urtikaria akan tetapi meliputi
jaringan subkutan yang lebih dalam (edema membran mukosa) dan lebih sering
dirasakan sebagai sensasi nyeri dibandingkan gatal.2
Pasien direncanakan untuk pemeriksaan IgE spesifik di poliklinik.
Pemeriksaan akan dilakukan setelah rawat inap di rumah sakit selesai dan saat
kontrol ulang ke poli untuk berobat jalan. Pemeriksaan ini dilakukan jika dicurigai
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik terdapat kecendrungan penyebab
dari urtikarianya didasari oleh alergi tipe I.2
Gejala-gejala angioedema berupa manifestasi urtikaria dengan serangan
cepat yang onsetnya sedang. Manifestasi klinis yang ditimbulkan berupa jaringan
bengkak, dapat solitari atau multiple dan umumnya melibatkan wajah, bibir, lidah,
faring dan laring. Jika mengenai kulit dan mukosa membran dapat menyebabkan
pelebaran sampai beberapa sentimeter. Sebagai tambahan selain wajah, dapat juga
melibatkan kulit meliputi lengan, kaki, alat kelamin dan bokong. Biasanya tidak
sakit, umumnya menimbulkan rasa gatal dan dapat terlihat eritema. Pelebaran ini
sering terjadi diatas 24 jam sampai 72 jam.4
Urtikaria kronis mempunyai lebih banyak etiologi dan subtipe, sehingga
selain anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh, dibutuhkan tes diagnostik
rutin; antara lain darah lengkap, fungsi hati, laju endap darah (LED), dan kadar C-
reactive protein (CRP). Tes diagnostik lanjutan dipertimbangkan pada urtikaria
kronis berat dan persisten untuk identifikasi faktor pencetus dan menyingkirkan
diagnosis banding.2
Pada pasien ini dari hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien mendapat
sengatan serangga dan terlihat titik ditengah bentol, yang merupakan bekas
sengatan serangga. Hal ini menunjukkan bahwa pasien mendapatkan urtikaria
yang penyebabnya didasari oleh gigitan serangga. Namun apabila ada kecurigaan
terjadinya edema subkutan atau submukosa kemudian tidak disertai rasa gatal dan
berlangsung lebih dari 24 jam sampai 72 jam maka dapat ditegakkan diagnosanya
berupa suatu angioedema. Hal ini perlu dibedakan dengan angioedema herediter.
Biasanya pada angioedema herediter edema terjadi di subkutan atau submukosa
secara periodik. Kemudian edema mengenai ekstremitas dan mukosa
gastrointestinal yang sembuh setelah 1 sampai 4 hari. Pada keluarga terdapat
riwayat penyakit serupa. Dan dari hasil pemeriksaan didapatkan kadar komplemen
C4 dan C2 yang menurun dan tidak adanya inhibitor C1-esterase dalam serum.3
Penatalaksanaan angioedema pada umumnya terdiri dari obat antialergi
peroral. Serangan tidak dapat dikontrol jika mengenai laring dan dapat diberikan
epinephrine secara intramuskular. Jika ephinephrine tidak ampuh, harus diberikan
kortikosteroid secara intravena dan antihistamin. Jika kasus defisiensi C1-INH
obat antihistamin, kortikosteroid, atau jenis obat adrenergik tidak memberikan
respon. Jika mengenai laring dapat dilakukan intubasi dan trakeostomi.4
BAB V
KESIMPULAN

Urtikaria adalah kelainan kulit yang banyak dijumpai, jarang berbahaya,


umumnya menghilang sendiri. Urtikaria berdasarkan durasi dibedakan menjadi
urtikaria akut (<6 minggu) dan urtikaria kronis (>6 minggu). Berdasarkan
ada/tidaknya faktor pencetus, dibedakan menjadi urtikaria spontan, urtikaria yang
disebabkan agen fisik, dan urtikaria tipe lain.2
Angioedema juga merupakan suatu pembengkakan yang difus pada
jaringan lunak umumnya melibatkan jaringan subcutaneus dan submukosa tetapi
dapat juga mempengaruhi saluran pencernaan atau saluran pernafasan, dan bisa
saja bersifat fatal.4 Diagnostik meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes
diagnostik rutin, dan tes diagnostik lanjutan apabila diperlukan. Tatalaksana
meliputi identifikasi serta eliminasi faktor penyebab dan terapi simptomatis.
Prognosis urtikaria akut pada umumnya baik, sedangkan urtikaria kronis
prognosisnya bervariasi.2
DAFTAR PUSTAKA

1. Soter, Allen. Urticaria and Angioedema. Dalam : Freedberg, Eisen, Wolff,


Austen. Fitzpatrick’s Dermatology In Genereal Medicine. Edisi 6. New
York : McGraw-Hill Inc. 2003: 122-45.
2. Siannoto M. Diagosis dan Tatalaksana Urtikaria. RS Santa Clara Jawa
Timur. 2017. Hal: 190-1.
3. Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N. Buku Ajar Alergi Imunisasi Anak.
Jakarta:Badan Penerbit Ikatan Kedokteran Anak Indonesia. 2010. Hal:
224-33.
4. Neville BW, Damn DD, Allen CM, Bouquot JE. Oral and Maxilofacial
Patology. 2nd edition. Philadelphia. W.B. Sounders CO. 2002: 308-10.
5. Hall. Vascular Dermatoses. Dalam : Hall. Gordon. Sauer’s Manual of Skin
Disease. Edisi 8. London : Lippincott William & Wilkins. 2000 : 19-41.
6. Aisah. Urtikaria. Dalam : Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi 2. Jakarta : FKUI. 2005: 169-76.

Anda mungkin juga menyukai