Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masalah lingkungan secara nasional tidak jauh berbeda dengan masalah lingkungan secara
global.bedanya terletak pada corak,bobot besaran masalahnya.keadaan dan masalah lingkungan
pada tingkat nasional di dahului oleh uraian mengenai masalah kependudukan yang global
merupakan penyebab utama dari munculnya masalah lingkungan tersebut sehingga terjadinya
bencana alam.

Bencana alam apapun bentuknya memang tidak diinginkan. Sayangnya kejadian pun terus saja
ada. Berbagai usaha tidak jarang dianggap maksimal tetapi kenyataan sering tidak terelakkan.
Masih untung bagi kita yang mengagungkan Tuhan sehingga segala kehendak-Nya bisa
dimengerti, meski itu berarti derita.

Banyak masalah yang berkaitan dengan bencana alam. Kehilangan dan kerusakan termasuk yang
paling sering harus dialami bersama datangnya bencana itu. Harta benda dan manusia terpaksa
harus direlakan, dan itu semua bukan masalah yang mudah. Dalam arti mudah difahami dan
mudah diterima oleh mereka yang mengalami. Bayangkan saja harta yang dikumpulkan sedikit
demi sedikit, dipelihara bertahun-tahun lenyap seketika.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Mengetahui tentang pengertian bencana


2. Mengetahui tentang penilaian sebelum, saat dan sesudah bencana pada korban
3. Mengetahui tentang penilaian survivor
4. Untuk mengetahui tentang penilaian rentan
5. Untuk mengetahui tentang penilaian komunitas

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu bencana
2. Untuk mengetahui tentang penilaian sebelum, saat dan sesudah bencana pada korban
3. Untuk mengetahui tentang penilaian survivor
4. Untuk mengetahui tentang penilaian rentan dan
5. Untuk mengetahui tentang penilaian komunitas

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis serta memerlukan bantuan luar dalam penanganannya.
B. Klasifikasi bencana

Klasifikasi bencana alam berdasarkan penyebabnya dibedakan menjadi tiga jenis,


yaitu :

1. Bencana alam geologis

Bencana alam ini disebabkan oleh gaya-gaya yang berasal dari dalam bumi (gaya
endogen). Yang termasuk dalam bencana alam geologis adalah gempa bumi, letusan
gunung berapi, dan tsunami.

2. Bencana alam klimatologis

Bencana alam klimatologis merupakan bencana alam yang disebabkan oleh faktor
angin dan hujan. Contoh bencana alam klimatologis adalah banjir, badai, banjir
bandang, angin puting beliung, kekeringan, dan kebakaran alami hutan (bukan oleh
manusia).

Gerakan tanah (longsor) termasuk juga bencana alam, walaupun pemicu utamanya
adalah faktor klimatologis (hujan), tetapi gejala awalnya dimulai dari kondisi
geologis (jenis dan karakteristik tanah serta batuan dan sebagainya).

3. Bencana alam ekstra-terestrial

3
Bencana alam Ekstra-Terestrial adalah bencana alam yang terjadi di luar angkasa,
contoh : hantaman/impact meteor. Bila hantaman benda-benda langit mengenai
permukaan bumi maka akan menimbulkan bencana alam yang dahsyat bagi penduduk
bumi.

C. Macam-macam bencana alam


1. Banjir
Banjir adalah bencana akibat curah hujan yang tinggi dengan tidak diimbangi
dengan saluran pembuangan air yang memadai sehingga merendam wilayah-
wilayah yang tidak dikehendaki oleh orang-orang yang ada di sana. Banjir bisa
juga terjadi karena jebolnya sistem aliran air yang ada sehingga daerah yang
rendah terkena dampak kiriman banjir.
2. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan adalah kebakaran yang diakibatkan oleh faktor alam seperti
akibat sambaran petir, kekeringan yang berkepanjangan, leleran lahar, dan lain
sebagainya. Kebakaran hutan menyebabkan dampak yang luas akibat asap
kebakaran yang menyebar ke banyak daerah di sekitarnya. Hutan yang terbakar
juga bisa sampai ke pemukiman warga sehingga bisa membakar habis bangunan-
bangunan yang ada.

3. Gempa Bumi
Gempa bumi adalah goncangan yang mengguncang suatu daerah mulai dari yang
tingkat rendah sampai tingkat tinggi yang membahayakan. Gempa dengan skala
tinggi dapat membuat luluhlantak apa-apa yang ada di permukaan bumi. Rumah,
gedung, menara, jalan, jembatan, taman, landmark, dan lain sebagainya bisa
hancur rata dengan tanah jika terkena gempa bumi yang besar.
4. Tsunami
Tsunami adalah ombak yang sangat besar yang menyapu daratan akibat adanya
gempa bumi di laut, tumbukan benda besar/cepat di laut, angin ribut, dan lain
sebagainya. Sunami sangat berbahaya karena bisa menyapu bersih pemukiman
warga dan menyeret segala isinya ke laut lepas yang dalam. Tsunami yang besar

4
bisa membunuh banyak manusia dan makhluk hidup yang terkena dampak
tsunami.
5. Gunung Meletus
Gunung meletus adalah gunung yang memuntahkan materi-materi dari dalam
bumi seperti debu, awan panas, asap, kerikil, batu-batuan, lahar panas, lahar
dingin, magma, dan lain sebagainya. Gunung meletus biasanya bisa diprediksi
waktunya sehinggi korban jiwa dan harta benda bisa diminimalisir.
6. Angin Puting Beliung/Angin Ribut
Angin puting beliung adalah angin dengan kecepatan tinggi yang berhembus di
suatu daerah yang dapat merusak berbagai benda yang ada di permukaan tanah.
Angin yang sangat besar seperti badai, tornado, dan lain-lain bisa menerbangkan
benda-benda serta merobohkan bangunan yang ada sehingga sangat berbahaya
bagi manusia.
Puting Beliung secara resmi digambarkan secara singkat olehNational Weather
Service Amerika Serikat seperti tornado yang melintasi perairan. Namun, para
peneliti umumnya mencirikan puting beliung “cuaca sedang” berasal dari puting
beliung tornado.
7. Tanah Longsor
Tanah longsor adalah tanah yang turun atau jatuh dari tempat yang tinggi ke
tempat yang lebih rendah. Masalahnya jika ada orang atau pemukiman di atas
tanah yang longsor atau di bawah tanah yang jatuh maka sangat berbahaya.
Tidak hanya tanah saja yang longsor karena batu, pohon, pasir, dan lain
sebagainya bisa ikut longsor menghancurkan apa saja yang ada di bawahnya.
8. Pemanasan global/Global Warning
Pemanasan global atau Global Warming adalah adanya proses peningkatan suhu
rata-rata atmosfer, laut, dan daratanBumi. Suhu rata-rata global pada permukaan
Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun
terakhir.Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan
bahwa, “sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad
ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas
rumah kacaakibat aktivitas manusia” melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar

5
ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk
semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat
beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang
dikemukakan IPCC tersebut.
9. Kekeringan
Perlu dibedakan antara kekeringan (drought) dan kondisi kering (aridity).
Kekeringanadalah kesenjangan antara air yang tersedia dengan air yang
diperlukan, sedangkan ariditas (kondisi kering) diartikan sebagai keadaan jumlah
curah hujan sedikit. Kekeringan (kemarau) dapat timbul karena gejala alam yang
terjadi di bumi ini. Kekeringan terjadi karena adanya pergantian musim.
Pergantian musim merupakan dampak dari iklim. Pergantian musim dibedakan
oleh banyaknya curah hujan. Pengetahuan tentang musim bermanfaat bagi para
petani untuk menentukan waktu tanam dan panen dari hasil pertanian. Pada
musim kemarau, sungai akan mengalami kekeringan. Pada saat kekeringan,sungai
dan waduk tidak dapat berfungsi dengan baik.

D. Dampak Bencana Alam

Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau


menghindari bencana dan daya tahan mereka. Pemahaman ini berhubungan dengan
pernyataan: “bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan”.
Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di
daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di wilayah tak
berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah “alam” juga ditentang karena peristiwa
tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan manusia. Besarnya
potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran,
yang mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang
berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia.

Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta
memiliki kerentanan/kerawanan(vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi

6
dampak yang hebat/luas jika manusia yang berada disana memiliki ketahanan terhadap
bencana (disaster resilience).

Konsep ketahanan bencana merupakan valuasi kemampuan sistem dan infrastruktur-


infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah & menangani tantangan-tantangan serius yang
hadir. Dengan demikian meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah
penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketetahanan terhadap bencana yang
cukup.Bencana berarti juga terhambatnya laju pembangunan. Berbagai hasil
pembangunan ikut menjadi korban sehingga perlu adanya proses membangun ulang.
Kehidupan sehari-hari juga menjadi tersendat-sendat. Siswa yang hampir menempuh
ujian terpaksa berhenti bersekolah. Kenyataan seperti ini berarti pula muncul
kemungkinan kegagalan di masa mendatang. Pemenuhan kebutuhan seharihari juga
menjadi sulit padahal penggantinya juga tidak bisa diharapkan segera ada

E. Penangulangan Bencana
Secara garis besar, upaya penanggulangan bencana meliputi :
Kesiapsiagaan => keadaan siap setiap saat bagi setiap orang, petugas serta institusi
pelayanan (termasuk pelayanan kesehatan) untuk melakukan tindakan dan cara-cara
menghadapi bencana baik sebelum, sedang, maupun sesudah bencana.
Penanggulangan => upaya untuk menanggulangi bencana, baik yang ditimbulkan oleh
alam maupun ulah manusia, termasuk dampak kerusuhan yang meliputi kegiatan
pencegahan, penyelamatan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Tujuan dari upaya di atas ialah mengurangi jumlah kesakitan, risiko kecacatan dan
kematian pada saat terjadi bencana; mencegah atau mengurangi risiko munculnya
penyakit menular dan penyebarannya; dan mencegah atau mengurangi risiko dan
mengatasi dampak kesehatan lingkungan akibat bencana.

Penanganan atau penanggulangan bencana meliputi 3 fase yaitu fase sebelum terjadinya
bencana, fase saat terjadinya bencana, dan fase sesudah kejadian bencana.

I. Sebelum Bencana

7
Kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi kerugian harta dan korban
manusia yang disebabkan oleh bahaya dan memastikan bahwa kerugian yang ada juga
minimal ketika terjadi bencana. Meliputi kesiapsiagaan dan mitigasi.
Kesiapsiagaan :
-Mencakup penyusunan rencana pengembangan sistem peringatan, pemeliharaan
persediaan dan pelatihan personil.
-Mungkin juga merangkul langkah-langkah pencarian dan penyelamatan serta rencana
evakuasi untuk daerah yang mungkin menghadapi risiko dari bencana berulang.
-Langkah-langkah kesiapan tersebut dilakukan sebelum peristiwa bencana terjadi dan
ditujukan untuk meminimalkan korban jiwa, gangguan layanan, dan kerusakan saat
bencana terjadi.
Mitigasi :
-Mencakup semua langkah yang diambil untuk mengurangi skala bencana di masa
mendatang, baik efek maupun kondisi rentan terhadap bahaya itu sendiri .
-Oleh karena itu kegiatan mitigasi lebih difokuskan pada bahaya itu sendiri atau unsur-
unsur terkena ancaman tersebut. Contoh : pembangunan rumah tahan gempa, pembuatan
irigasi air pada daerah yang kekeringan.

II. Saat Bencana (Tanggap darurat)


Serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana yang
bertujuan untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan. Meliputi kegiatan :
-penyelamatan dan evakuasi korban maupun harta benda
-pemenuhan kebutuhan dasar
-perlindungan
-pengurusan pengungsi
-penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

II. Pasca Bencana (Recovery)


Penanggulangan pasca bencana meliputi dua tindakan utama yaitu rehabilitasi dan
rekonstruksi.

8
-Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.

-Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan


pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan
sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala
aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.

 Prinsip dasar upaya penanggulangan bencana dititik beratkan pada tahap


kesiapsiagaan sebelum bencana terjadi. Mengingat bahwa tindakan
preventif (mencegah) lebih baik daripada kuratif (pengobatan atau
penanganan). Bencana alam itu sendiri memang tidak dapat dicegah, namun
dampak buruk akibat bencana dapat kita cegah dengan kesiapsiagaan
sebelum bencana terjadi.

F. Penilaian sistematis pada bencana

Berikut ini merupakan akibat – akibat bencana yang dapat muncul baik langsung
maupun tidak langsung terhadap bidang kesehatan.

1. Korban jiwa, luka, dan sakit ( berkaitan dengan angka kematian dan kesakitan)
2. Adanya pengungsi yang pada umumnya akan menjdai rentan dan beresiko mengalami
kurang gizi, tertular penyakit, dan menderita stress.
3. Kerusakan lingkungan sehingga kondisi menjadi darurat dan menyebabkan keterbatasan
air dan sanitasi serta menjadi tempat perindukan vector penyakit.
4. Seringkali system pelayanan kesehatan terhenti, selain karena rusak, besar kemungkinan
tenaga kesehatan setempat juga menjadi korban bencana.
5. Bila tidak diatasi segera, maka derajat kesehatan semakin menurun dan berpotensi
menyebabkan terjadinya KLB.

9
Penyakit penyakit yang sering kali diderita para pengungsi di Indonesia tidak lepas
dari kondisi kedaruratan lingkungan, antara lain diare, ISPA, campak dan malaria. WHO
mengidentifikasi empat penyakit tersebut sebagai The Big Four. Kejadian penyakit spesifik
sering muncul sesuai dengan bencana yang terjadi. Banjir di Jakarta pada awal tahun 2007
selain menimbulkan peningkatan kasus Diare yang tinggi, juga memunculkan kasus
leptospirosis yang relative besar, yaitu 248 kasus dengan 19 kematian (CFR 7,66 %).
Sedangkan, gempa di DIY dan jateng pada tahun 2006 mengakibatkan 76 penduduk
menderita tetanus dan 29 di antaranya meninggal dunia.

Meskipun dapat dikatakan dengan sepatah kata, ada bermacam-macam penyebab


bencana, kondisi kerusakannya, serta massa-massa terkena dampak, dan lain-lain. Biasanya
dalam menanggulangi bencana, maka bencana tersebut akan dibagi menjadi 4 fase, yaitu :

1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana ( prevention and preparedne phase)


2. Fase tindakan ( response phase) yang terdiri dari fase akut ( acute phase) dan fase sub
akut (sub acute phase)
3. Fase pemulihan ( recovery phase)
4. Fase rehabilitasi / rekonstruksi.

Fase fase ini terjadi secara berurutan sebelum dan sesudah bencana, dan tindakan
terhadap bencana pertama berhubungan dengan kesiapsiagaan untuk bencana selanjutnya,
sehingga hal ini disebut siklus bencana.

1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana


Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan yang baik dengan
memikirkan berbagai tindakan untuk meminimalsisir berbagai kerugian yang
ditimbulkan akibat bencanadan menyusun perencanaan agar dapat melakukan kegiatan
pertolongan serta perawatan yang efektif pada saat terjadi bencana. Tindakan terhadap
bencana menurut PBB ada 9 kerangka, yaitu:
a. Pengkajian terhadap kerentanan
b. membuat perencanaan (pencegahan bencana)
c. Pengorganisasian
d. Sistem informasi

10
e. Pengumpulan sumber daya
f. Sistem alarm
g. Mekanisme tindakan
h. Pendidikan dan pelatihan penduduk
i. Gladi resik.
2. Fase tindakan
Fase tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang nyata untuk
menjaga diri sendiri dan harta kekayaan. Aktivitas yang dilakukan secara kongkret yaitu:
a. Instruksi pengungsian
b. pencarian dan penyelamatan korban
c. Menjamin keamanan dilokasi bencana
d. Pengkajian terhadap kerugian akibat bencana
e. Pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat,
f. Pengiriman dan penyerahan barang material
g. Menyediakan tempat pengungsian dan lain-lain.

Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih dipersempit lagi dengan
membaginya menjadi fase akut dan fase sub akut. Dalam fase akut, 48 jam pertama
sejak bencana terjadi disebut fase penyelamatan dan pertolongan / pelayanan medis
darurat terhadap orang orang yang terluka pada saat mengungsi atau dievakuasi, serta
dilakukan tindakan-tindakan terhadap munculnya permasalahan kesehatan dalam
pengungsian.

3. Fase pemulihan

Fase pemulihan dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan, tetapi fase ini
merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan kemampuannya sendiri dapat
memulihkan fungsinya seperti sedia kala, ( sebelum terjadi bencana), orang-orang
melakukan perbaikan darurat tempat tinggalnya, pindah kerumah sementara, mulai
masuk sekolah ataupun bekerja kembali sambil memulihkan lingkungan tempat
tinggalnya.

11
Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan aktivitas untuk membuka kembali
usahanya. Institusi pemerintah juga memulai memberikan kembali pelayanan seqqcara
normal serta mulai menyusun rencana-rencana untuk rekonstruksi sambil terus
memberikan bantuan kepada para korban. Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan
fase pemulihan dan tidak sampai mengembalikan fungsi-fungsi normal seperti sebelum
bencana terjadi. Dengan kata lain, fase ini merupakan masa peralihan dari kondisi darurat
ke kondisi tenang.

4. Fase Rehabilitasi / Rekonstruksi.

Jangka waktu fase Rehabilitasi / Rekonstruksi juga tidak dapat ditentukan, namun ini
merupakan fase dimana individu atau masyarakat berusaha menegembalikan fungsi-
fungsinya seperti sebelum bencana dan merencanakan rehabilitasi terhadap seluruh
komunitas. Tetapi, seseorang atau masyarakat tidak dapat kembali pada keadaan yang
sama seperti sebelum mengalami bencana, sehingga dengan menggunaan pengalamannya
tersebut diharapkan kehidupan individu serta keadaan komunitas pun dapat
dikembangkan secara progresif.

G. Penilaian Pada korban


1. Triase
Triase berasal dari Bahasa Prancis “Trier” berarti mengambil atau memilih. Adalah
penilaian, pemilihan dan pengelompokan penderita yang mendapat penanganan medis
dan evakusasi pada kondisi kejadian masal atau kejadian bencana. Penanganan medis
yang diberikan berdasarkan prioritas sesuai dengan keadaan penderita.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit
untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat serta transportasi. Tindakan ini
merupakan proses yang berkesinambungan sepanjang pengelolaan musibah massal.
Proses triase inisial harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba ditempat kejadian
dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat
berubah. Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang
dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim triase Penuntun
Lapangan START (Simple Triage And Rapid Transportation).

12
Tujuan Triage adalah untuk memudahkan penolong untuk memberikan petolongan
dalam kondisi korban masalah atau bencan dan diharapkan banyak penderita yang
memiliki kesempatan untuk bertahan hidup. Triage secara umum dibagi menjadi dua
yakni Triage di UGD/IGD Rumah Sakit dan Triage di Bencana.

Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritisasikan tindakan atas korban adalah


yang dijumpai pada sistim METTAG. Prioritas tindakan dijelaskan sebagai berikut :
a. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
b. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan tindakan dan
transport segera (gagal nafas, cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-
fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat).
c. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien dengan cedera yang dipastikan tidak akan
mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat (cedera abdomen tanpa shok, cedera
dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang
belakang leher, serta luka bakar ringan).
d. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan
stabilisasi segera (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera
maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas serta gawat darurat psikologis).
Penuntun Lapangan START berupa penilaian pasien 60 detik yang mengamati
ventilasi, perfusi, dan status mental untuk memastikan kelompok korban seperti yang
memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan, atau
mati. Ini memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang
dengan risiko besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport
segera. Sistim METTAG atau pengkodean dengan warna tagging system yang sejenis
bisa digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START.
Sistem triase terdiri dari Disaster dan Non Disaster. Disaster digunakan untuk
menyediakan perawatan yang lebih efektif untuk pasien dalam jumlah banyak.
Sedangkan Non Disaster digunakan untuk menyediakan perawatan sebaik mungkin
bagi setiap individu pasien.

Berikut langkah-langkah yang harus dilakukan penolong saat terjadi bencana.

13
1. Penolong pertama melakukan penilaian cepat tanpa menggunakan alat atau melakuakan
tindakan medis.
2. Panggil penderita yang dapat berjalan dan kumpulkan diarea pengumpulan
3. Nilai penderita yang tidak dapat berjalan, mulai dari posisi terdekat dengan penolong.
4. Inti Penilaian Triage Medis (TRIAGE dalam bencana memiliki 4 warna Hitam (penderita
sudah tidak dapat ditolong lagi/meninggal), Merah (penderita mengalami kondisi kritis
sehingga memerlukan penanganan yang lebih kompleks), Kuning (kondisi penderita tidak
kritis), Hijau (penanganan pendirita yang memiliki kemungkinan hidup lebih besar.
Penderita tidak memiliki cedera serius sehingga dapat dibebaskan dari TKP agar tidak
menambah korban yang lebih banyak. Penderita yang memiliki hidup lebih banyak harus
diselamatkan terlebih dahulu).

Inti Penilaian Triage Medis (TRIASE dalam bencana memiliki 4 warna Hitam (penderita
sudah tidak dapat ditolong lagi/meninggal), Merah (penderita mengalami kondisi kritis
sehingga memerlukan penanganan yang lebih kompleks), Kuning (kondisi penderita tidak
kritis), Hijau (penanganan pendirita yang memiliki kemungkinan hidup lebih besar.
Penderita tidak memiliki cedera serius sehingga dapat dibebaskan dari TKP agar tidak
menambah korban yang lebih banyak. Penderita yang memiliki hidup lebih banyak harus
diselamatkan terlebih dahulu).

1) Langkah 1: Respirasi
 Tidak bernapas, buka jalan napas, jika tetap tidak bernapas beri TAG HITAM
 Pernfasan >30 kali /menit atau <10 kali /meni beri TAG MERAH
 Pernafasn 10-30 kali /menit: lanjutkan ke tahap berikut
2) Langkah 2: Cek perfusi (denyut nadi radial) atau capillary refill test (kuku atau bibir
kebiruan)
 Bila CRT > 2 detik: TAG MERAH
 Bila CRT < 2 detik: tahap berikutnya
 Bila tidak memungkinankan untu CRT (pencahayaan kurang), cek nadi radial, bila
tidak teraba/lemah; TAG MERAH
 Bila nadi radial teraba: tahap berikutnya

14
3) Langkah 3: Mental Status
 Berikan perintah sederhana kepada penderita, jika dapat mengikuti perintah: TAG
KUNING
 Bila tidak dapat mengikuti perintah: TAG MERAH
Tindakan yang haru CEPAT dilakuakn adalah :
 Buka jalan napas, bebaskan benda asing atau darah
 Berikan nafas buatan segara jika korban tidak bernafas
 Balut tekan dan tinggikan jika ada luka terbuka/perdarahan
Setelah memberikan tindakan tersebut, penolong memberikan tag/kartu sesuai penilaian
triase (hijau, kuning, merah, hitam), setelah itu menuju korban lainya yang belum
dilakukan triase. Triase wajib dilakukan dengan kondisi ketika penderita/korban
melampaui jumlah tenaga kesehatan.

H. Survival
1. Pasca bencana
Bencana sesuatu yang mengakibatkan suatu kerugian baik jiwa,material, maupun
social. Setelah bencana kita diwajibkan untuk bias memepertahankan hidup kita
apabila material dan alam telah rusak.
Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan pasca bencana yaitu:
1. Aspek psikologis (panik, takut, cemas, sepi, bingun, tertekan, bosan).
Apsek ini bias mengganggu dalam proses kelangsungan hidup mereka. Setidaknya hal
yang bisa dilakukan adalah rasa empati dari masyarakat yang tidak terkena bencana
dari pemerintah sangat penting.
2. Aspek fisiologis ( saki, lapar, haus, luka, lelah).
Suatu upaya untuk bertahan hidup saat bencana pasti memebutuhkan suatu
pengorbanan, kerugian material pasti akan terjadi. Kelaparan, lelah, sakit, luka, haus
pasti akan terjadi disaat pasca bencana karena dampak dari kerusakan yang
ditimbulkan, apabila hal ini tidak bisa diatasi maka akan berdampak pada kejiwaan
seseorang.
3. Asspek lingkungan ( panas, dingin, kering, hujan).

15
Disebut bencana alam karena terjadi dari alam dan menimbulkan kerusukan alam.
Maka dari itu kondisi lingkungan akan berubah setelah terjadi lingkungan begitupula
ada dampak yang akan ditimbulkan oleh alam (perubahan) tergantung dan jenis
sumber bancana tersebut.
 Langkah-langkah survival
 Jika tersesat lakukan tindakan pedoman STOP (Seating, Thinking,
Observation dan Planning)
 Lakukan pembagian tugas kepada anggota kelompok
 Tetap berusaha mencari pertolongan
 Hemat terhadap penggunaan makanan, minuman dan tenanga
 Hindari dan jauhi masalah-masalah yang timbul yaitu dari diri sendiri,
orang lain dan salam
 Adapun kebutuhan dasar survival
1. Air
Air merupakan sumber kehidupan bagi kelangsungan hidup manusia. Dalam
proses survival air merupakan komponen pokok karena tubuh kita
membutuhkan cairan agar tubuh bisa mempertahankan suhu tubuh dan suhu
energy.
2. Shelter
Shelter adalah tempat perlindungan sementara yang dapat memeberikan
kenyamanan dan melindungi dari panas, dingin, hujan dan angin.
3. Makanan
Hal yang harus diperhatikan dalam mengkonsusmsi tumbuhan
 Hindari tumuhan berwarna mencolok
 Hindari tumbuhan bergetah putih, kecuali yang sudah dikenal aman
dimakan
 Mancoba mencicicpi sedikit atau mengoleskan kekulit.
 Variasikan makanan yang dimakan untuk menghindari akumulasi zat
yang mungkin buruk bagi kesehatan
 Jangan memakan tumbuhan yang meragukan untuk dimakan

16
4. Api
Api apabila didalam alam bebas, suhu disekita alam bebas akan tersa lebih
dingin, salah satu upaya untuk menghangatkan tubuh adalah dengan cara
membuat api selain untuk memperthankan suhu tubuh tetap hangat api juga
berguna untuk memasak olahan makanan, member tanda adanya kehidupan
disitu, dan mengusir hewan-hewan buas
I. Rentan
Kelompok rentan sering di sebut "kelompok dengna kebutuhan khusus", "kelompok yang
beresiko", "beresiko karena kondisi fisik, psikologis, atau kesehatan social" setelah
bencana. Banyak upaya yang telah dilakukan dalam persiapan menghadapi bencana,
namun jarang yang memperhatikan kebutuhan kelompok rentan, adapun orang yang
disebut sebagai kelompok rentan adalah (1) orang dengan kebutuhan khusus baik secara
fisik ataupun psikologis, (2) wanita, (3) anak-anak, (4) orang tua, (5) orang dipenjara, (6)
SES minoritas dan orang yang mengalami kendala bahasa.
Individu yang mengalami bencana bereaksi terhadap bencana sesuai dengan caranya
masing-masing dan antara satu individu dengan yang lainnya sangat berbeda. Setiap
bencana memiliki dampak demografik tertentu, budya, dan riwayat kejadian sebelumnya.
1. Individu dengan kebutuhan khusus
Orang-orang dengan kebutuhan khusus psikologis (mental disabilities) juga
mengalami hal yang sama. Ketika evakuasi berlangsung mungkin para relawan salah
mengartikan perilaku mereka atau orang-orang dekan kebutuhan khusus psikologis
kurang nyaman dengna relawan. Permasalahan lainnya adalah penolakan dari tempat
penampungan dengan alasan tidak kurangnya fasilitas untuk kebutuhan mereka. Ada
juga mendapatkan perlakuan yang kurang tepat karena ketidakmampuan mereka
untuk mengikuti instruksi yang diberikan dan di masukkan ke dalam rumah sakit
sebagai solusi yang lebih gampang. Lebih lanjut, kondisi bencana bisa mengganggu
homeostatis dan coping mereka yang sudah berjalan sesuai dengan polanya. Untuk
individu yang pernah mengalami PTSD, kejadian bencana dapat menjadi trigger akan
peristiwa sebelumnya. Tanpa adanya perencanaan dan antisipasi yang pasti terhadap
kelompok ini maka kelompok ini tidak akan bisa tercover secara baik ketika bencana
sedang berlangsung yang berdampak pada penderitaan.

17
2. Orang tua
Seseorang yang usianya di atas 65 tahun besar kemungkinan untuk mengalami
penyakit kronis, seperti: hipertensi, jantung, diabetes dll. 80 % dari kelompok ini
memiliki penyakit kronis, dan 50% memiliki komplikasi. Orang tua juga mengalami
gangguan gerak, kognisi, sensori, social dan keterbatasan dari segi ekonomi (Massey,
1997). Semuanya dapat mempengaruhi proses adaptasi dan kemampuannya berfungsi
selama bencana. Implikasinya adalah orang tua ini menjadi sangat sensitive,
overwhelming, gangguan tidur, disorientasi, depresi dan trauma. Setelah selesai
bencana bisa saja kondisi fisik mereka menurun karena kurang nutrisi, suhu yang
ekstrim, terpapar dengan infeksi, interupsi dari treatment medis, dan gangguan
emosional.
3. Wanita
Berkurang atau hilangnya dukungan social pada wanita dapat mempengaruhi kondisi
psikologinya. Faktor lainnya yang menyebabkan wanita lebih rentan adalah kondisi
psikologis sebelum bencana seperti: trauma exposure, kondisi kesehatan mental yang
kurang stabil dan rendahnya SES.

Lebih lanjut, wanita hamil di dalamnya. Seperti: bisa terjadi kelahiran premature, bayi
yang kurang berat badan, ataupun bayi yang meninggal. Sebagian wanita harus
melahirkan di rumah sakit yang minim fasilitas kesehatannya, kurangnya vitamin
untuk kehamilan, rekam medis yang tidak tersedia. Relawan yang kurang menyadari
kalau ada wanita hamil di antar kerumunan para penyintas maka bisa diberikan vaksin
sebagaimana orang lainnya.
4. Anak-anak
Anak-anak termasuk kelompok rentan karena kemungkinan mereka untuk cedera
besar dan ketergantungan mereka terhadap kebutuhan sandang, pangan dan emosional
masih sangat besar. Secara psikologis, kondisi kognisi yang belum berkembang
optimal seperti orang dewasa ditambah lagi strategic coping dalam menangani
permasalahan. Hasil riset menunjukkan bahwa anak-anak yang terkena ledakan
cenderung menjadi trauma ketika mereka dewasa. Lebih lanjut, perbedaan fisiologis
antara anak dengan orang dewasa sepeprti: ukuran badan yang lebih kecil, ukuran

18
ketebalan kulit, ventilasi, kebutuhan oksigen dll. Hal ini menyebabkan anak-anak
gampang mengalami dehidrasi, kurang gizi dan lebih cepat lelah dan rentan untuk
terinfeksi kuman dan virus.
5. Narapidana yang dipenjara
Karena status mereka sebagai tahanan, sehingga mereka sangat tergantung dengan
pemerintah sebagai pemegang otoritas. Narapidana tidak dapat melakukan evakuasi
sendiri, mencari pertolongan medis sendiri, ataupun mencari makanan ataupun tempat
penampungan sendiri. Lebih lanjut, dalam situasi bencana yang sanat besar, kalau
narapidana melakukan semuanya sendiri ada kemungkinan penyerangan yang
dilakukan oleh sesama anggota narapida ataupun penyerangan kepada masyarakat.
6. Social Economic Status (SES) minoritas dan orang yang mengalami kendala bahasa
Kelompok dengan SES rendah yang tidak memiliki asuransi untuk mengcover
kondisi mereka setelah bencana sehingga membuat beban psikologis menjadi lebih
berat. Kelompok dengan kendala bahasa juga sangat susah dalam
mengkomunikasikan hal-hal apa yang mereka butuhkan sehingga relawan bisa
membantu secara cepat dan tepat.
Keluarga yang sebelumnya sejahtera dan mengalami kebangkrutan karena kejadian
bencana dan menerima bantuan dari orang lain juga rentan untuk mengalami stress
akibat bencana.
7. Penduduk asli setempat (Indigenous people)
Indigenous people termasuk kelompok rentan karena status mereka sebagai orang
pinggiran yang termarginalkan, kondisi fisik dan rumah yang tidak baik, problem
terkait dengan kehilangan budaya dan kesedihan yang dapat menyebabkan stress dan
trauma. Mereka juga mungkin akan dipindahkan dari “tempat penting” menurut
budaya mereka.
8. Pengungsi dan migrant
Riset sebelumnya menunjukkan bahwa pengungsi yang berasal dari Negara lain
rentan untuk terkena PTSD ketika terjadi bencana. Namun penelitian terbaru
menunjukkan hal yang bertolak belakang bahwa PTSD dikalangan pengungsi rendah
meskipun menghadapi berbagai macam kejadian traumatis. Hal ini karena adanya
dukungan yang tepat membuat mereka bisa settle di Negara baru mereka, dan

19
memberikan kontribusi terhadap perkembangan masyarakat di Negara baru mereka
(Silove, 1999; Silove et al, 1993). Jadi hanya pengungsi minoritas saja yang
mengalami hal-hal terkait dengan PTSD dan depresi.

 Faktor Resiko dan Pelindung pada Kelompok Rentan


Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai faktor resiko seperti jenis
kelamin, SES, perpisahan dengan orang yang disayangi, diskriminasi dan
prejudice pada Negara baru (host country), usia, efek dari kejadian bencana,
paparan (exposure) ke bencana dan sejarah gangguan psikologi sebelumnya.
Agama, keyakinan, kepastian politik dan persiapan terhadap bencana merupakan
faktor pelindung untuk kelompok rentan.
 Efek dari Bencana
Karakteristik yang mempengaruhi rasa trauma:
1). Rasa horror yang terjadi ketika melihat even/kejadian tersebut
2). Durasi dari bencana
3). Kejadian yang tidak diharapkan (kejadian yang tidak ada peringatannya
berdampak lebih besar pada kondisi psikologis seseorang)
4). Rasio dampak bencana, ancaman yang dilihat dari: rasio akibat bencana,
kehilangan yang diakibatkan oleh bencana pada level komunitas
5). Perubahan sosial kultur seperti kegiatan dalam keseharian, kontrol terhadap
kejadian, dukungan sosial setelah bencana
6). Simbolism dari kejadian bencana (cara memaknai kejadian antara “kehendak
Tuhan” atau “manusia”)
7). Kemampuan memanage stress
8). Akumulasi dari sebelum dan sesudah bencana, seperti kepribadian seseorang
ataupun kondisi emosi individu tersebut.

J. Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK)


Pengurangan Risiko Bencana (PRB) adalah sebuah pendekatan sistematis untuk
mengidentifikasi, mengkaji dan mengurangi risiko- risiko bencana PRB bertujuan untuk
mengurangi kerentanan-kerentanan sosial-ekonomi terhadap bencana dan menangani
bahaya-bahaya lingkungan maupun bahaya-bahaya lainnya yang menimbulkan
kerentanan. Pendekatan PRB merupakan perpaduan dari sudut pandang teknis dan imiah
dengan perhatian kepada faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik dalam perencanaan

20
pengurangan bencana yang menyeluruh. Paradigma penanggulangan bencana ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dan pemerintah untuk mengelola
dan mcnckan risiko terjadinya bencana. Jadi, ada tiga hal penting terkait dengan
perubahan paradigma ini, yaitu sebagai berikut ini, Penanggulangan bencana tidak lagi
berfokus pada aspek tanggap darurat tetapi
a.pada keseluruhan manajemen risiko
b. Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh pemerintah merupakan wujud
pemenuhan hak asasi rakyat dan bukan semata-mata karena kewajiban pemerintah
c. Penanggulangan bencana buka lagi hanya urusan pemerintahan tetapi juga menjadi
urusan bersama masyarkat dan lembaga usaha, dimana pemerintah menjadi
penanggungjawab utamanya Seiring berjalannya waktu, konsep penanggulangan bencana
mengalami perkembangan. Hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1.6 (lihat halaman 23)
dimana paradigma kebencanaan, pemahaman, dan tujuannya dapat disajikan dalam tabel
tersebut Meminimalisir risiko pada hakekatnya adalah mengurangi ancaman mengurangi
kerentanan, dan meningkatkan kapasitas.
1. Pengurangan ancaman Dalam upaya mengurangi berbagai ancaman perlu
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut
a. sebagian besar risiko yang terkait dengan bencana alam, hanya ada sedikit atau bahkan
tidak ada sama sekali kesempatan untuk mengurangi ancaman; oleh karenanya kebijaka
pengurangan ancaman difokuskan pada upaya pencegahan, mitigasi, dan pembangunan
kesiapsiagaan masyarakat,
b. penyediaan peta rawan bencana, baik untuk gunung berapi, tanah longsor banjir, dan
kerawanan lainnya sehingga dapat dilakukan tindakan mitigasi secara dini.
c. penyiapan struktur fisik untuk mengurangi ancaman dan dampak bencana, seperti sabo
untuk menguragi ancaman aliran lahar, dam/bendungan untuk mereduksi banjir,
bangunan tahan gempa, rehabilitasi mangrove untuk pencegahan/pengurangan abrasi dan
lain sebagainya,
d. ancaman bencana nonalam dan bencana sosial, dapat dikurangi dengan penegakan
hukum dan pemberian insentif bagi upaya pelestarian lingkungan (reward and
punishment),

21
e. penyiapan regulasi untuk keselamatan dan kenyamanan yang berkaitan dengan
tindakan yang dapat menimbulkan ancaman bencana
2. Pengurangan kerentanan
Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur) sosial
kependudukan, dan ekonomi. Pengurangan kerentanan masyaraka difokuskan pada hal-
hal sebagai berikut ini. 2/43
a. Perlindungan masyarakat yang rentan (bayi, balita, ib cac dan lansia), mendorong
aktivitas ekonomi produktif dan peningkatan infrastruktur
b. Penalaan fasilitas baru; melalui perencanaan tata ruang yang dapat memberikan rasa
aman dan nyaman.
c. Pendorongan individu atau institusi untuk mengambil tindakan-tindakan mitigasi
bencana.

3. Peningkatan kapasitas

Ruang lingkup dalam peningkatan kapasitas adalah sebagai berikut ini

a. Tingkat individu, yang berarti kualifikasi dan kemampuannya dalam mengembangkan


pengelolaan bencana dalam setiap tupoksinya yang baik 22 sifatnya individu maupun
sebagai individu dalam lembaga. Untuk itu perlu dikembangkan upaya sebagai berikut
Pendidikan bencana dilaksanakan melalui program pendidikan formal, pelatihan dan
pembangunan institusi untuk memberikan pengetahuan profesional dan kompetensi yang
diperlukan. Sosialiasi pengetahuan kepada masyarakat dalam bidang mitigasi bencana
yang sedang berkembang dengan cepat baik tentang bahaya-bahaya maupun sarana untuk
memerangi bahaya tersebut sehingga program-program yang diimplementasikan menjadi
lebih efektif.
b. Tingkat kelembagaan; terkait dengan struktur organisasi, pengambilan keputusan, tata
kerja dan hubungannya dengan jaringan (koordinasi antar elemen) dalam melaksanakan
pengelola bencana sesuai dengan tupoksi lembaga yang bersangkutan
c. Tingkat sistem dan kebijakan; kerangka kebijakan penanggulangan bencana di daerah
sesuai dengan kondisi dan situasi lokal daerah, serta bagaimana lingkungan yang ada
mendukung tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah sistem atau kebijakan yag
terakomodasi dalam peraturanperundangan daerah. 22/43 Salah satu hal yang paling

22
utama dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah penyelenggaraan PRBBK
yang berintikan pemberdaya masyarakat dalam upaya peningkatan ketangguhan
menghadapi bencana. Dalam nomenklatur pemerintahan di tingkat pemerintah pusat,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana telah menetapkan Peraturan Kepala BNPB
Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Pembentukan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana
serta Peraturan Kepala BNPB Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Relawan Penanggulangan
Bencana sebagai Instrumen Regulasi dan Kebijakan Untuk Mengakomodasi PRBBK.
Komunitas yang dimaksudkan adalah masyarakat di wilayah itu sendiri.

23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpilan

1. Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa
fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas manusia.
Karena ketidak berdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen keadaan
darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural,
bahkan sampai kematian.

Bencana alam juga dapat diartikan sebagai bencana yang diakibatkan oleh gejala
alam. Sebenarnya gejala alam merupakan gejala yang sangat alamiah dan biasa
terjadi pada bumi. Namun, hanya ketika gejala alam tersebut melanda manusia
(nyawa) dan segala produk budidayanya (kepemilikan, harta dan benda), kita baru
dapat menyebutnya sebagai bencana.

Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau


menghindari bencana dan daya tahan mereka. Pemahaman ini berhubungan
dengan pernyataan: “bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu dengan
ketidakberdayaan”. Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya tidak akan
menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya
gempa bumi di wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah
“alam” juga ditentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau
malapetaka tanpa keterlibatan manusia. Besarnya potensi kerugian juga
tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang
mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang
berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia.

2. Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau
penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat serta transportasi.
Tindakan ini merupakan proses yang berkesinambungan sepanjang pengelolaan
musibah massal. Proses triase inisial harus dilakukan oleh petugas pertama yang

24
tiba ditempat kejadian dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus karena
status triase pasien dapat berubah. Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk
triase. Metode triase yang dianjurkan bisa secara METTAG (Triage tagging
system) atau sistim triase Penuntun Lapangan START (Simple Triage And Rapid
Transportation).
3. Disebut bencana alam karena terjadi dari alam dan menimbulkan kerusukan alam.
Maka dari itu kondisi lingkungan akan berubah setelah terjadi lingkungan
begitupula ada dampak yang akan ditimbulkan oleh alam (perubahan) tergantung
dan jenis sumber bancana tersebut.
 Langkah-langkah survival
 Jika tersesat lakukan tindakan pedoman STOP (Seating, Thinking,
Observation dan Planning)
 Lakukan pembagian tugas kepada anggota kelompok
 Tetap berusaha mencari pertolongan
 Hemat terhadap penggunaan makanan, minuman dan tenanga
 Hindari dan jauhi masalah-masalah yang timbul yaitu dari diri sendiri,
orang lain dan salam
4. Kelompok rentan sering di sebut "kelompok dengna kebutuhan khusus",
"kelompok yang beresiko", "beresiko karena kondisi fisik, psikologis, atau
kesehatan social" setelah bencana. Banyak upaya yang telah dilakukan dalam
persiapan menghadapi bencana, namun jarang yang memperhatikan kebutuhan
kelompok rentan, adapun orang yang disebut sebagai kelompok rentan adalah (1)
orang dengan kebutuhan khusus baik secara fisik ataupun psikologis, (2) wanita,
(3) anak-anak, (4) orang tua, (5) orang dipenjara, (6) SES minoritas dan orang
yang mengalami kendala bahasa.
5. Pengurangan Risiko Bencana (PRB) adalah sebuah pendekatan sistematis untuk
mengidentifikasi, mengkaji dan mengurangi risiko- risiko bencana PRB bertujuan
untuk mengurangi kerentanan-kerentanan sosial-ekonomi terhadap bencana dan
menangani bahaya-bahaya lingkungan maupun bahaya-bahaya lainnya yang
menimbulkan kerentanan. Pendekatan PRB merupakan perpaduan dari sudut
pandang teknis dan imiah dengan perhatian kepada faktor-faktor sosial, ekonomi,

25
dan politik dalam perencanaan pengurangan bencana yang menyeluruh.
Paradigma penanggulangan bencana ini bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dan pemerintah untuk mengelola dan mcnckan risiko
terjadinya bencana.

B. Saran
Dengan adanya penilaian tentang penilaian sebelum,dan setelah bencana pada korban,
survival, rentan dan komunitas dapat membuat sorang perawat berfikir kritis dalam
memilih dan memilah korban mana yang menjadi prioritas untuk mendapatkan
perawatan yang intensif yang menjadi korban bencana.

26
DAFTAR PUSTAKA
https://www-kompasiana
com.cdn.ampproject.org/v/s/www.kompasiana.com/amp/lasmana_ujang_d/survival-teknik-
bertahan hidup-di-saat-pasca-bencana-peluncuran
buku_551f66028133113c5d9df8d9?amp_js_v=a2&amp_gsa=1&usqp=mq331AQCKAE%3D#a
oh=15707623809041&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%
24s&ampshare=https%3A%2F%2Fwww.kompasiana.com%2Flasmana_ujang_d%2Fsurvival-
teknik-bertahan-hidup-di-saat-pasca-bencana-peluncuran-buku_551f66028133113c5d9df8d9

http://imeinars.blogspot.com/2011/02/penanggulangan-bencana-sebelum-saat-dan.html?m=1

http://wahyuhidaryani.blogspot.com/2018/04/makalah-manajemen-bencana-triase.html?m=1

https://www.academia.edu/7770149/SURVIVAL_SAAT_TERJADI_BENCANA_DAN_PASC
A_TERJADINYA_BENCANA

http://blogpsikologi.blogspot.com/2015/08/kelompok-rentan-dan-akibat-bencana.html?m=1

https://gustinerz.com/cara-cepat-menilai-triage-pada-korban-bencana/2/

.https://www.academia.edu/7770149/SURVIVAL_SAAT_TERJADI_BENCANA_DAN_PASC
A_TERJADINYA_BENCANA

http://blog.unnes.ac.id/aminahyusuf/2017/12/05/makalah-penanganan-bencana-alam/

27

Anda mungkin juga menyukai

  • App Akut
    App Akut
    Dokumen21 halaman
    App Akut
    Jaaka
    Belum ada peringkat
  • HambatanSkripsi
    HambatanSkripsi
    Dokumen91 halaman
    HambatanSkripsi
    Sri Wahyuni Yasin E
    Belum ada peringkat
  • Proposal Ayu
    Proposal Ayu
    Dokumen14 halaman
    Proposal Ayu
    Sri Wahyuni Yasin E
    Belum ada peringkat
  • Makalah Penatalaksanaan Fraktur
    Makalah Penatalaksanaan Fraktur
    Dokumen39 halaman
    Makalah Penatalaksanaan Fraktur
    Sitti Nurjannah Syarifuddin
    100% (1)
  • FRAKTUR
    FRAKTUR
    Dokumen40 halaman
    FRAKTUR
    Ardo Ardian
    Belum ada peringkat
  • J100050019 PDF
    J100050019 PDF
    Dokumen7 halaman
    J100050019 PDF
    Sri Wahyuni Yasin E
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen3 halaman
    Bab V
    Sri Wahyuni Yasin E
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen3 halaman
    Bab V
    Sri Wahyuni Yasin E
    Belum ada peringkat