Anda di halaman 1dari 8

KONSERVASI KAKAKTUA JAMBUL KUNING (Cacatua sulphurea)

Oleh : Naning Dwi Lestari (11030244205)

1.1. Pendahuluan

Indonesia memiliki keragaman sumber daya hayati burung yang kaya. Saat ini tercatat
sebanyak 1.539 jenis burung, jumlah tersebut kira-kira 17% dari seluruh jenis burung yang
ada di dunia saat ini (Shannaz et al, 1995). Dari keseluruhan jenis ini, 381 jenis diantaranya
merupakan burung endemik, salah satu diantaranya adalah kakatua jambul kuning (Cacatua
sulphurea). Di Singapura, burung ini merupakan burung introduksi (MacKinnon, 1995).

Menurut IUCN dalam tiga dekade terakhir, semakin banyak satwa Indonesia yang
masuk ke dalam daftar “terancam punah” (Hidayat, 2012). Burung termasuk salah satu
kelompok yang masuk dalam daftar tersebut. Banyak yang masuk ke dalam lampiran I dan II
Appendiks CITES (Konvensi Internasional Perdagangan Jenis Flora dan Fauna Terancam
Punah), salah satunya adalah Kakatua Jambul Kuning (Mangunjaya, Fachruddin 2006).
Kakatua jambul kuning merupakan burung endemik Kepulauan Masalembu, Kabupaten
sumenep, Propinsi Jawa Timur (Putra, 1998). Burung ini merupakan burung paruh bengkok
yang terancam punah akibat perdagangan dan degradasi habitat (PHPA/LIPI/Birdlife IP,
1998). Kakatua Jambul Kuning sebagai satwa endemik yang terancam punah memiliki
keistimewaan dibandingkan dengan burung-burung lainnya, selain bentuk dan warna bulunya
yang indah, elok dan berawarna-warni, kelebihan lain terletak pada jambul dan
kepintarannya, yakni menirukan kata-kata manusia (Hidayat, 2012). Guna menjaga
kelestariannya, diperlukan upaya konservasi burung tersebut, yakni dilakukan baik secara in
situ maupun eks situ dengan melibatkan fungsi konservasi yakni fungsi ekologi, sebagai
ekonomi jangka panjang, ekonomi jangka pendek, alasan etika, dan alasan estetika.

1.2. Pembahasan

Klasifikasi dan morfologi Kakatua jambul kuning

Kakatua jambul kuning termasuk dalam kingdom Animalia, divisi Vertebrata, Kelas
Aves, ordo Psittaciformes, Famili Psittacidae, genus Cacatua, dan Spesies Cacatua
sulphurea. Burung tersebut memiliki nama lokal yakni Kakatua Jambul Kuning (Hidayat,
2012).
Gambar 1. Kakaktua jambul kuning
(Hidayat, 2012)
Bulu berwarna putih dengan pipi kuning kejingga-jinggaan. Jambul depan yang
berbentuk melengkung, ketika dinaikkan berwarna jingga. Bulu dibawah sayap dan ekor
berwarna kuning. Cincin mata berupa kulit yang berwarna kebiru-biruan. Warna iris juga
dapat dijadikan pembeda kelamin jantan dan betina. Pada betina warna iris keabu-abuan pada
usia 5 – 6 bulan dan akan berubah kecoklatan pada usia 7 bulan. Berat rata-rata sekitar 350
gram, panjang tubuh 330 mm, panjang rentang sayap 211 – 245 mm, panjang ekor 98 – 115
mm, panjang tungkai 21 – 25 mm (O’brien, 2007). Kaki bertipe zygodactili, dua jari
menghadap ke depan dan dua jari lainnya menghadap kebelakang.
Menurut Forshaw dan Copper (1998), Cacatua sulphurea jantan memiliki ukuran
sayap 221-245 mm, ekor 106-115 mm, paruh 38-39 mm, dan tarsus 22-25 mm, sedangkan
untuk Cacatua sulphurea betina memiliki ukuran sayap 142-217 mm, ekor 99-113 mm, paruh
34-36 mm dan tarsus 22-25 mm.
Populasi kakatua diketahui pernah berlimpah di kawasan-kawasan sebarannya di
Indonesia namun setelah periode tahun 1990-an, populasi kakatua mengalami penurunan
drastis. Bahkan diketahui telah punah di beberapa lokasi (Agista dan Rubyanto, 2001).
Kakatua-kecil Jambul-kuning (selanjutnya disebut sebagai Kakatua) memiliki empat
subspesies, yaitu; Cacatua sulphurea sulphurea yang tersebar di sekitar Buton, Muna, dan
Kepulauan di Laut Flores; C. s. parvula, tersebar di kepulauan Nusa Tenggara, kecuali pulau
Sumba, diantaranya; Lombok, Sumbawa, Moyo, Komodo, Rinca, Flores, Solor, Adonara,
Lomblen, Pantar, Alor, Timor, dan Semau, juga pulau Nusa Penida sebelah Tenggarap pulau
Bali, C.s. citrinocristata, dari Sumba; dan C. s. abotti yang tersebar di kepulauan Masalembo.
Populasi dan Penyebaran
Penyebaran alami Kakatua jambul kuning meliputi Sulawesi dan Nusa Tenggara,
Sumbawa dan pulau-pulau sekitarnya, serta kepulauan Masalembu (Cahyadin, 1995 dalam
Putra, 1998). Cacatua sulphurea merupakan anak jenis Kakatua Jambul kuning yang
endemik di Pulau Sumba. Faktor terpenting yang mempengaruhi jumlah Kakatua jambul
kuning adalah luas blok hutan,
keragaman spesies tumbuhan dan
penutupan tajuk. Kakatua jarang
atau bahkan tidak dijumpai sama
sekali di hutan yang luasnya
kurang dari 1.000 ha. Kakatua
juga lebih menyukai hutan primer
yang belum terganggu (O’Brien
dkk. 1997 dalam
PHPA/LIPI/BirdlifeInternational-
IP, 1998). di Pulau Sumba burung
ini tidak atau jarang dijumpai
jarang pada areal hutan yang
luasnya kurang dari 10 km2, dan
mereka lebih memilih hutan
primer yang tidak terganggu
dengan karakter hutan berpohon
besar sebagai lokasi bersarang
Gambar 2. Peta penyebaran Kakatua jambul kuning
(Cacatua sulphurea) di Indonesia (Agista dan Dedy, (Kinnaird 1999 dalam CITES,
2001)
2004).

Persebaran burung kakatua jambul kuning terkonsentrasi di lembah lembah yang


ditumbuhi hutan musim (Agista dan Rubyanto, 2001). Lembah-lembah tersebut dipilih
karena terdapat vegetasi yang dibutuhkan burung kakatua kecil jambul kuning. Vegetasi
berperan sebagai pelindung, suksesi dan perilaku satwa liar. Vegetasi juga berperan di dalam
penyedia makanan dan sumber energi (Alikodra, 1990). Vegetasi pada hutan musim dipilih
oleh burung kakatua karena terdapat makanan yang dimanfaatkan oleh burung kakatua
seperti buah gebang (Corypha utan), buah nitak, asam (Tamarindus indica), pangkal daun
muda dan buah kelumpang (Sterculia foetida), buah nunang (Cordia dichotoma), buah kelor
(Moringa pterygosperma) dan buah peropa (Sonneratia alba) (Agista dan Rubyanto, 2001).
Selain itu lembah-lembah yang memiliki vegetasi hutan musim terdapat pohon-pohon yang
bisa dimanfaatkan burung kakatua untuk bersarang seperti pohon kelumpang (Sterculia
foetida), pohon nitak, pohon lontar (Borrasus flabellifer), dan pohon kapuk hutan (Ceiba
petandra) (Imansyah, dkk., 2005)
Perkembangbiakan
Masa berkembang biak Kakatua jambul kuning menurut de Hann dalam Forshaw
(1998), berlangsung pada bulan September sampai dengan Oktober. Apabila burung tersebut
berada dalam penangkaran, maka perkembangbiakan berlangsung dua kali dalam setahun,
yakni bulan Januari sampai April dan yang kedua pada bulan September sampai November
(Prahara 1984 dalam Putra 1998). Menurut Forshaw dan Copper (1998), selama masa berbiak
akan dihasilkan dua sampai tiga butir telur yang berbentuk oval dan berwarna putih. Rata-rata
telur memiliki ukuran 38,1-44,0 mm x 25,7 mm. Telur tersebut akan dierami oleh induk
selama 3 sampai 5 minggu.
Kakatua jambul kuning bersarang di dalam lubang pohon. Beberapa keuntungan
bersarang pada lubang pohon antara lain memberikan perlindungan dari predator,
perlindungan dari cuaca ekstrim dan memberikan iklim mikro yang stabil (Cameron, 2007).
Dari sekian banyak jenis pohon yang berada di kawasan hutan, hanya beberapa jenis yang
digunakan sebagai tempat bersarang. Menurut Cameron (2007) burung Kakatua jambul
kuning tidak dapat menggali lubang sarang sendiri, mereka tinggal memilih dari lubang
pohon yang tersedia di alam. Pemilihan lubang sebagai tempat bersarang dipengaruhi oleh
bentuk dan ukuran lubang, kondisi lingkungan di sekitar lubang sarang, termasuk
ketersediaan sumber pakan dan air. Enam jenis pohon yang digunakan sebagai tempat
bersarang, yaitu: Ma-ra (Tetrameles nudiflora R.Br.), Mosa/Kahembi Omang (Engelhardia
spicata Bl.), Wai Rara (Bischofia javanica Blume), Kalumbang (Sterculia foetida L.),
Nggoka (Chinocheton sp.) dan Lobhung (Decaspermum sp.).
Gambar 3. Perilaku bercumbu Kakatua jambul kuning (kiri), Lubang sarang (kanan)
(Mangunjaya, 2006)
Perkawinan pada Kakatua jambul kuning ditandai dengan proses pemilihan pasangan,
kemudian proses percumbuan yang cukup lama. Kakatua akan saling menelisik pasangannya
dengan menegakkan jambulnya. Pada proses percumbuan, juga dilakukan proses observasi
pohon yang akan dijadikan sebagai sarang. Biasanya Kakatua jambul kuning akan bermain di
sekitar pohon sarang untuk menjaga dan memastikan lubang sarang pada pohon yang
dipilihnya aman.
Makanan
Kakatua jambul kuning sangat menggemari jagung muda yang berbongkol, menyukai
biji bunga matahari, kacang tanah, bunga tebu, buah kenari, dan sedikit sayuran serta buah-
buahan. Burung Kakatua jambul kuning sangat menyukai buah kapuk dan tusam yang masih
muda (Forshaw dan Copper 1998 dalam putra 1998). Berdasarkan hasil survey, di Kepulauan
Masalembu, burung tersebut memakan buah kelapa yang masih muda, buah bakau, buah
kapuk dan bunga jantan dari lontar (Putra, 1998).
Status Konservasi

Burung kakatua jambul kuning merupakan burung paruh bengkok yang terancam
punah akibat perdagangan dan degradasi habitat (PHPA/LIPI/Birdlife IP, 1998). IUCN
(International Union for Conservation Nature and Natural Resources) mengkategorikan
kedalam status kritis (Critically endangered). Pada tahun 2004, di pertemuan ke-13 COP
(Conferences of the Parties) CITES (Convention on International Trade In Endangered
Species of Wild Fauna and Flora), status Kakatua jambul kuning diusulkan untuk meningkat
dari Appendiks 2 ke Appendiks 1, kemudian pada tanggal 24 Juni 2010 status Appendiks 1 ini
berlaku. Berdasarkan atas konvensi ini, Cacatua sulphurea hanya boleh diperdagangkan
antar negara apabila dapat dibuktikan bahwa penangkapan yang dilakukan tidak mengganggu
kelestarian di alam. Melihat keterancaman jenis ini, pemerintah juga turut melindunginya
melalui PP No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Di tingkat nasional kakatua telah dilindungi oleh pemerintah Indonesia sejak tahun
1997 melalui Keputusan Menteri Kehutanan No 350/Kpts-II/1997. Pemerintah Indonesia
menetapkan status perlindungan jenis trancam punah ini dengan mencantumkan kakatua
sebagai satwa yang dilindungi berdasar Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999. Secara
Nasional Kakatua jambul kuning dan semua anak jenisnya dilindungi oleh Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Pada tahun 1984 Direktorat Jendral PHPA telah menentukan kuota
perdagangan burung jenis ini sebesar 13.125 ekor, yang selanjutnya pada awal tahun 1991
PHPA menurunkan kuota perdagangan Kakatua jambul kuning menjadi 5000 ekor dan pada
bulan Juni, PHPA membekukan kuota penangkapan tersebut sampai adanya laporan
mengenai statusnya di alam.
Cara dan Fungsi konservasi

Populasi kakatua jambul kuning diketahui pernah berlimpah di kawasan-kawasan


sebarannya di Indonesia namun setelah periode tahun 1990-an, populasi burung tersebut
mengalami penurunan drastis. Penurunan tersebut disebabkan karena perdagangan dan
degradasi habitat (PHPA/LIPI/Birdlife IP, 1998). Upaya alternatif dilakukan demi mencegah
burung Kakatua jambul berakhir tragis seperti burung-burung lain yang terlanjur punah.
Kerja sama para pihak diperlukan untuk memulihkan populasi kakatua jambul kuning. Aksi
konservasi eks-situ melalui upaya penangkaran (captive breeding) dapat dipadukan dengan
aksi konservasi in-situ melalui pelepasliaran (reintroduksi), terutama bagi beberapa anak jenis
yang kini kritis. Jika tidak, kakatua dari Sulawesi dan Nusa Tenggara ini akhirnya hanya
tinggal lagu pengantar tidur (Jerry dkk, 2005).
Upaya konservasi Kakatua jambul kuning harus terintegrasi dalam rencana jangka
panjang maupun jangka pendek. Pengamanan kawasan dari ancaman terhadap penangkapan
dan perusakan habitat oleh oknum masyarakat mendapat prioritas utama.
Indonesia sendiri berada pada urutan pertama untuk negara dengan ancaman
ekploitasi burung tertinggi di dunia, berdasarkan World Bird Database 2008 yang
dirilis BirdLife International. Penangkapan burung di alam untuk dijadikan hewan peliharaan
atau komoditas perdagangan menjadi ancaman ekploitasi terbesar. Jenis-jenis paruh bengkok,
termasuk kakatua, menjadi komoditas favorit dalam perdagangan antar negara.
Konservasi burung Kakatua jambul kuning memberikan manfaat bagi kehidupan
manusia selanjutnya. Pertama, fungsi estetika yakni dengan memelihara atau melestarikan
burung tersebut. Hal ini berfungsi bahwa kedepannya, populasi burung ini akan masih
bertahan hidup, sehingga anak cucu manusia bisa melihat bahwa memang ada burung
tersebut di Indonesia. Kedua, fungsi estetika, seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa
burung Kakaktua jambul kuning memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh burung lain,
yakni bentuk dan warna bulunya yang indah, elok dan berawarna-warni, kelebihan lain
terletak pada jambul dan kepintarannya, yakni menirukan kata-kata manusia, sehingga
burung ini memiliki keindahan tersendiri. Ketiga, fungsi ekonomi, hal ini dikarenakan bahwa
kelebihan, kepintaran dan keindahan burung Kakatua, sehingga burung ini bisa dan sangat
mudah untuk dijadikan komoditas perdagangan dengan harga jutaan rupiah. Namun,
alangkah baiknya apabila kegiatan perdagangan burung ini tidak dilakukan, agar di Indonesia
burung ini tetap ada. Keempat, fungsi ekosistem. Adanya burung Kakatua jambul kuning di
hutan, yakni di habitat primer, supaya burung tersebut tidak terganggu dengan karakter hutan
berpohon besar sebagai lokasi bersarang. Hal ini menjaga keseimbangan dan kestabilan
kehidupan yang ada di hutan.
1.3. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa burung Kakatua jambul kuning
memiliki fungsi konservasi, antara lain fungsi ekosistem, fungsi ekonomi secara langsung,
fungsi ekonomi secara tidak langsung, fungsi etika dan fungsi estetika.
Daftar Pustaka

Agista, Dian; dan Dedy Rubyanto. 2001. Telaah awal status Kakatuakecil Jambul-kuning
(Cacatua sulphurea parvula) di Taman Nasional Komodo. BirdLife Indonesia –
PHPA. Bogor
Cameron, M. 2007. Cockatoos. Australia. CSIRO Publishing.
Hidayat, Oki. 2012. Pengenalan Jenis Satwa Endemik Pulau Sumba : Kakaktua Sumba
(Cacatua sulphurea cirinocristata). Diakes melalui http://www.forda-
mof.org/files-/Warta_VI_no_1_2012.pdf pada tanggal 19 Februari 2015
Jeri, M, Imansyah, Dimas G anggoro, Niken Yangpatra, Aris Hidayat, dan Y Jackson Benu.
2005. Sebaran Dan Karakteristik Pohon Sarang Kakatua Jambul Kuning (Cacatua
sulphurea parvula) di Pulau Komodo, Taman Nasional Komodo. Diakses melalui
http://www.kutilang.or.id/wp-content/uploads/2011/07/report_cockatoo_nest.pdf
pada tanggal 19 Februari 2015
Mangunjaya, Fachruddin. 2006. Hidup Harmonis dengan Alam : Esai-esai Pembangunan
Lingkungan, Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Jakarta. Yayasan
Obor Indonesia
MacKinnon, J. 1995. Panduan Lapangan Pengamatan Burung-Burung di Jawa dan Bali.
Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
O’berin, J. 2007. Husbandry Guidelines for Cacatua sp. EEP. England.
PHPA/LIPI/Birdlife International-IP. 1998. Rencana Pemulihan Kakatua kecil Jambul
Kuning. PHPA/LIPI/Birdlife International Indonesia Programme. Bogor. Indonesia.

Putra, Elga. 1998. Ekologi Perilaku Berkembang Biak Kakatua-Kecil Jambul Kuning
(Cacatua sulphurea abbotti) DI PULAU MASAKAMBING. S1 thesis, UAJY.

Anda mungkin juga menyukai