KELOMPOK B-8
Ketua:
Sekertaris:
Rafid 1102016175
Anggota:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2016/2017
SKENARIO
Seorang perempuan, umur 25 tahun, selalu bersin-bersin lebih dari lima kali setiap pagi
hari, keluar ingus encer, gatal di hidung dan mata. Keluhan timbul bila udara berdebu jika
berangkat ke kantor. Keluhan ini sudah dialami sejak kecil dan mengganggu aktifitas kerja.
Dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit serupa, kecuali penyakit asma pada ayah
pasien.
Pada pemeriksaan fisik terlihat sekret bening keluar dari nares anterior, choncha nasalis
inferior, oedem, mukosa pucat.
Pasien rajin sholat tahajud, sehingga dia bertanya adakah hubungan memasukkan air
wudhu ke dalam hidung di malam hari dengan keluhannya ini? Pasien menanyakan ke dokter
mengapa bias terjadi demikian, dan apakah berbahaya apabila menderita keluhan seperti ini
dalam jangka waktu yang lama.
KATA SULIT
PERTANYAAN
JAWABAN
1) Karena pada pagi hari suhu rendah, dan mempengaruhi kerja silia
Merupakan mekanisme pertahanan tubuh benda asing yang masuk ke saluran
pernafasan atas yang akan dikeluarkan melalui proses bersin
2) Karena debu merupakan allergen inhalasi yang diikat oleh IgE dan mengaktifkan
mediator inflamasi sehingga timbul gejala yang dialami pasien
3) Genetic, lingkungan, reseptor yang sesuai
4) Karena debu merupakan salah satu benda asing yang jika masuk ke dalam tubuh akan
dikenali dan dikeluarkan
5) Ada, karena terdapat factor resiko genetic
Adanya peran preposisi IgE yang diturunkan
6) Tidak ada hubungannya karena wudhu bertujuan membersihkan hidung
7) Allergen, makanan, perubahan cuaca, zat kimia, dan infeksi saluran pernafasan
8) Karena debu merupakan allergen inhalasi yang diikat oleh IgE dan mengaktifkan
mediator inflamasi sehingga timbul gejala yang dialami pasien
9) Karena debu merupakan allergen inhalasi yang diikat oleh IgE dan mengaktifkan
mediator inflamasi sehingga timbul gejala yang dialami pasien
10) Farmako : anti-histamin dan kortikosteroid
Non-farmako : menghindari allergen, menjaga suhu, dan sehabis wudhu dikeringkan
11) Dapat terjadi sinusitis dan menimbulkan bahaya bila terjadi komplikasi
12) - Pemeriksaan feses
- Skin prick test
- IgE serum
- Eosinofil
13) Rhinitis alergi, karena ada riwayat alergi dan factor pencetus
14) Berwudhu dan menjaga kebersihan lingkungan
HIPOTESIS
1.1 MIKROSKOPIS
Sistem pernapasan biasanya dibagi menjadi 2 daerah utama:
1. Hidung
Bagian dalam hidung dilapisi empat epitel. Pada bagian luar hidung akan
ditutupi oleh kulit dengan epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk banyak terdapat
kelenjar sebasea yang akan meluas hingga bagian depan dari vestibulum nasi.
Rambut kaku dan besar menonjol ke luar berfungsi sebagai penyaring.
Beberapa milimeter ke dalam vestibulum, epitel berlapis gepeng menjadi epitel kuboid
tanpa silia lalu menjadi epitel bertingkat dan kolumna (torak) bersilia. Epitel hidung
terdiri dari sel-sel kolumnar bersilia, sel goblet dan sel-sel basofilik kecil pada dasar
epitel yang dianggap sebagai sel-sel induk bagi penggantian jenis sel yang lebih
berkembang. Selain mukus, epitel juga mensekresi cairan yang membentuk lapisan
diantara bantalan mukus dan permukaan epitel. Di bawah epitel terdapat lamina propria
tebal mengandung kelenjar submukosa terdiri dari sel-sel mukosa dan serosa. Di lamina
propria juga terdapat sel plasma, sel mast, dan kelompok jaringan limfoid.
Di atas chonca nasalis superior serta di bagian sekat hidung di dekatnya terdapat
daerah berwarna cokelat kekuningan berbeda dengan daerah respirasi lain yang
berwarna merah jambu mengandung reseptor penghidu yaitu derah olfaktoriua atau
mukosa olfaktoria. Di bawah epitel chonca inferior terdapat swell bodies, merupakan
fleksus venosus untuk menghangatkan udara inspirasi. Fungsi chonca :
a. Meningkatkan luas permukaan epitel respirasi
b. Turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan permukaan mukosa
Epitel olfaktoria bertingkat silindris tanpa sel goblet, lamina basal tidak jelas. Epitel
disusun tiga jenis sel :
a. Sel penyokong/sel sustentakular
b. Sel basal
c. Sel olfaktorius
2. Faring
Terbagi menjadi tiga, yaitu :
a. Nasofaring yang terletak di bawah dasar tengkorak : epitel bertingkat torak
bersilia dengan lapisan tanduk
b. Orofaring terletak belakang rongga mulut dan permukaan belakang lidah : epitel
berlapis gepeng dengan lapisan tanduk
c. Laringofaring, terletak di belakang laring : epitel bervariasi.
3. Laring
Laring adalah saluran napas yang menghubungkan faring dengan trakea. Laring
berfungsi untuk bagian system konduksi pernapasan juga pita suara. Pita suara sejati
dan pita suara palsu masing-masing merupakan tepi bebas atas selaput krikovokal
(krikotiroid) dan tepi bebas bawah selaput kuadratus (aryepiglotica). Di antara pita
suara palsu dan pita suara sejati terdapat sinus dan kantung laring. Lipatan aryepiglotica
dan pita suara mempunyai epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk. Laring juga
mempunyai epitel bertingkat silindris bersilia dengan sel goblet.
Pada pita suara, lamina propria di bawah epitel berlapis gepeng padat dan terikat
erat dengan jaringan ikat ligamentum vokalis di bawahnya. Dalam laring tidak ada
submukosa tapi lamina propria dari membrane mukosanya tebal dan mengandung
banyak serat elastin.
4. Epiglotis
Epiglotis merupakan juluran dari tepian laring, meluas ke faring dan memiliki
permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal epiglotis ditutupi oleh epitel
gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal ditutupi oleh epitel respirasi
bertingkat silindris bersilia. Di bawah epitel terdapat kelenjar campuran mukosa dan
serosa.
Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke
dalamlumen laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu
(plikavestibularis) yang terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta dilipatan
bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri dari epitel berlapisgepeng, ligamentum
vokalis (serat elastin)
dan muskulus vokalis
(otot rangka).Otot
muskulus vokalis akan
membantu
terbentuknya suara
dengan frekuensiyang
berbeda-beda.
1.2 MAKROSKOPIS
Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O2) yang dibutuhkan tubuh untuk
metabolisme sel dan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari metabolisme tersebut
dikeluarkan dari tubuh melalui paru.
Sistem Respirasi
1. Saluran Nafas Bagian Atas, pada bagian ini udara yang masuk ke tubuh
dihangatkan, disarung dan dilembabkan.
2. Saluran Nafas Bagian Bawah, bagian ini menghantarkan udara yang masuk dari
saluran bagian atas ke alveoli.
3. Alveoli, terjadi pertukaran gas anatara O2 dan CO2
4. Sirkulasi Paru, pembuluh darah arteri menuju paru, sedangkan pembuluh darah
vena meninggalkan paru.
5. Paru, terdiri atas :
a. Saluran Nafas Bagian Bawah
b. Alveoli
c. Sirkulasi Paru
6. Rongga Pleura, terbentuk dari dua selaput serosa, yang meluputi dinding dalam
rongga dada yang disebut pleura parietalis, dan yang meliputi paru atau pleura
veseralis
7. Rongga dan Dinding Dada, merupakan pompa muskuloskeletal yang mengatur
pertukaran gas dalam proses respirasi
Hidung
Organ pertama yang berfungsi dalam saluran napas. Terdapat vestibulum nasi yang
terdapat cilia kasar yang berfungsi sebagai saringan udara. Bagian dalam rongga
hidungada terbentuk terowongan yang disebut cavum nasi mulai dari nares anterior
sampai ke nares posterior lalu ke nasofaring.
Sekat antara kedua rongga hidung dibatasi dinding yang berasal dari tulang dan
mucusa yaitu septum nasi yang dibentuk oleh :
a. Cartilago septi naso
b. Os vomer
c. Lamina perpendicularis os ethmoidalis
1) Merupakan organ berongga yang terdiri atas tulang, tulang rawan hyalin otot
bercorak dan jaringan ikat
2) Fungsi :
a) Menyalurkan udara
b) Menyaring udara dari benda asing
c) Menghangatkan udara pernafasan
d) Melembabkan udara pernafasan
e) Alat pembau
3) Cavum nasi dipisahkan oleh septum nasi,
yang berhubungan dengan nasofaring
melalui choana (nares posterior)
4) Memiliki bagian terlebar yang disebut dengan vestibulum nasi
Fossa Nasalis
Dinding superior rongga hidung sempit, dibentuk lamina cribroformis
ethmoidalis yang memisahkan rongga tengkorak dengan rongga hidung. Dinding
inferior dibentuk os maxilla dan os palatinum.
Ada 2 cara pemeriksaan hidung yaitu rhinoscopy anterior dan posterior. Bagian
anterior, di cavum nasi di sisi lateral terdapat concha nasalis yang terbentuk dari tulang
tipis dan ditutupi mukusa yang mengeluarkan lendir dan di medial terlihat dinding
septum nasi. Kalau pada posterior, dapat terlihat nasofaring, choanae, bagian ujung
belakang conchae nasalis media dan inferior, juga terlihat OPTA yang berhubungan
dengan telinga.
Ada 3 buah concha nasalis, yaitu :
a. Concha nasalis superior
b. Concha nasalis inferior
c. Concha nasalis media
Di antara concha nasalis superior dan media terdapat meatus nasalis superior.
Antara concha media dan inferior terdapat meatus nasalis media. Antara concha nasalis
inferior dan dinding atas maxilla terdapat meatus nasalis inferior.
Fungsi chonca :
1. Meningkatkan luas permukaan epitel respirasi
2. Turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan permukaan mukosa.
Vaskularisasi hidung
Berasal dari cabang a. Opthalmica dan a. Maxillaris interna
1. Arteri ethmoidalis dengan cabang-cabang : arteri nasalis externa dan lateralis,
arteri septalis anterior
2. Arteri ethmoidalis posterior dengan cabang-cabang : arteri nasalis posterior,
lateralis dan septal, arteri palatinus majus
3. Arteri sphenopalatinum cabang arteri maxillaris interna. Ketiga pembuluh
tersebut membentuk anyaman kapiler pembuluh darah yang dinamakan Plexus
Kisselbach. Plexus ini mudah pecah oleh trauma/infeksi sehingga sering menjadi
sumber epistaxis pada anak.
Persarafan hidung
Persarafan sensorik dan sekremotorik hidung :
1. Depan dan atas cavum nasi mendapat persarafan sensoris dari cabang nervus
opthalmicus
2. Bagian lainnya termasuk mucusa hidung cavum nasi dipersarafi ganglion
sfenopalatinum. Nasofaring dan concha nasalis mendapat persarafan sensorik
dari cabang ganglion pterygopalatinum.
Nervus olfactorius memberikan sel-sel reseptor untuk penciuman. Proses penciuman :
pusat penciuman pada gyrus frontalis, menembus lamina cribrosa ethmoidalis ke
traktus olfactorius, bulbus olfactorius, serabut n. olfactorius pda mucusa atas depan
cavum nasi.
FARING
2. Orofaring
Mulai dari palatum mole ke tulang hyoid. Ini membuka ke bagian depan,
melalui isthmus faucium ke dalam mulut, sementara di dinding lateral, antara
kedua lengkungan palatina, terdapat tonsila palatina.
3. Laringofaringeal
Di depannya terdapat pintu masuk larnyx, yang digerakkan oleh epiglotis. Di
bawah muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan yang disebut
sinus piriformis yaitu di antara lipatan ariepiglotika dan cartilago thyroid. Lebih
ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina cricoid dan di bawahnya terdapat
muara esofagus.
LARING
Daerah yang dimulai dari aditus laryngis sampai batas bawah cartilago cricoid. Rangka
laring terbentuk dari tulang rawan dan tulang.
1. Berbentuk tulang adalah os hyoid
2. Berbentuk tulang rawan adalah : tyroid 1 buah, arytenoid 2 buah, epiglotis 1 buah.
Pada arytenoid bagian ujung ada tulang rawan kecil cartilago cornuculata dan
cuneiforme.
Otot-otot laring :
a. Otot extrinsik laring
Berfungsi untuk menarik larynx ke atas dan ke bawah selama proses menelan.
Pada umumnya otot-otot melekat pada os hyoideus melalui membrana
thyrohyoideus dan terjadi gerakan larynx. Otot-otot ekstrinsik terbagi atas 2
golongan :
1. Otot-otot elevator (otot-otot suprahyoid), otot yang berinsertio pada os hyoideus
yaitu : M. digastricus, M. stylohyoideus, M. mylohyoideus dan M.
geniohyoideus
2. Otot-otot depressor (otot-otot yang infra hyoid), otot yang berorigo pada os
hyoideus yaitu : M. sternothyroideus, M. sternohyoideus dan M. omohyoideus
b. Otot intrinsik laring
1. M.cricoarytenoid posterior yang membuka plica vocalis. Jika terdapat gangguan
pada otot ini maka bisa menyebabkan orang tercekik dan meninggal karena rima
glottidis tertutup. Otot ini disebut juga safety muscle of larynx.
2. M. cricoarytenoid lateralis yang menutup plica vocalis dan menutup rima
glottdis
3. M. arytenoid transversus dan obliq
4. M.vocalis
5. M. aryepiglotica
6. M. thyroarytenoid
Secara fungsional (faal) saluran pernafasan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Zona Konduksi
Zona konduksi berperan sebagai saluran tempat lewatnya udara pernapasan, serta
membersihkan, melembabkan dan menyamakan suhu udara pernapasan dengan suhu
tubuh. Disamping itu zona konduksi juga berperan pada proses pembentukan suara.
Zona konduksi terdiri dari hidung, faring, trakea, bronkus, serta bronkioli
terminalis.Trakea dapat juga dijuluki sebagai eskalator-muko-siliaris karena silia pada
trakea dapat mendorong benda asing yang terikat zat mucus ke arah faring yang
kemudian dapat ditelan atau dikeluarkan. Silia dapat dirusak oleh bahan-bahan beracun
yang terkandung dalam asap rokok. Struktur bronki primer masih serupa dengan struktur
trakea. Pada bagian akhir dari bronki, cincin tulang rawan yang utuh berubah menjadi
lempengan-lempengan. Pada bronkioli terminalis struktur tulang rawan menghilang dan
saluran udara pada daerah ini hanya dilingkari oleh otot polos. Struktur semacam ini
menyebabkan bronkioli lebih rentan terhadap penyimpatan yang dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Bronkioli mempunyai silia dan zat mucus.
Bahan-bahan debris di alveoli ditangkap oleh sel makrofag yang terdapat pada
alveoli, kemudian dibawa oleh lapisan mukosa dan selanjutnya dibuang.
2. Zona Respiratorik
Zona respiratorik terdiri dari alveoli, dan struktur yang berhubungan. Pertukaran
gas antara udara dan darah terjadi di dalam alveoli. Selain struktur diatas terdapat pula
struktur yang lain, seperti bulu-bulu pada pintu masuk yang penting untuk menyaring
partikel-partikel yang masuk.
Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif atau
imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis
antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain.
1. Deposisi Partikel :
Perjanalan udara pernapasan mulai dari hidung sampai ke parenkim paru
melalui struktur yang berkelok-kelok sehingga memungkinkan terjadinya proses
deposisi partikel. Partikel yang masuk ke dalam sistem pernapasan ukurannya sangat
heterogen. Partikel berukuran >10 µm tertangkap di dalam rongga hidung, yang
berukuran di antara 5-10 µm tertangkap di bronkus dan percabangannya, sedangkan
yang berukuran <3 µm dapat masuk ke dalam alveoli. Tertangkapnya partikel
disebabkan karena partikel tersebut menabrak dinding saluran pernapasan dan adanya
kecenderungan partikel untuk mengendap. Pada daerah yang mempunyai aliran udara
turbulen, partikel besar terlempar keluar dari jalur aslinya sehingga menabrak dinding
jalan napas dan menempel pada mukus. Kecepatan aliran udara di bronkiolus berkurang
sehingga partikel kecil yang masuk sampai alveoli dapat dipengaruhi oleh gaya
gravitasi dan sedimentasi sehingga partikel tersebut mengendap. Partikel yang sangat
kecil menabrak dinding karena adanya gerak Brown.
2. Refleks Batuk dan Refleks Tekak ( Gag Reflex )
Batuk merupakan mekanisme refleks yang sangat penting untuk menjaga agar
jalan napas tetap terbuka (patent) dengan cara meyingkirkan hasil sekresi, selain itu
juga untuk menghalau benda asing (corpus alineum) yang akan masuk ke dalam sistem
pernapasan . Benda asing yang masuk ke dalam saluran pernapasan dapat menyebabkan
peradangan dalam sistem pernapasan. Mekanisme batuk memerlukan adanya
penutupan glotis dan peningkatan tekanan intratoraks (sebagai elemen eksplosif).
Jika terdapat kelumpuhan pita suara, elemen eksplosif batuk tidak terjadi dan
keadaan seperti ini disebut sebagai bovine cough. Paralisis motorik pada laring biasanya
disebabkan oleh terganggunya nervus laringeus rekuren kiri, karena terdapat karsinoma
bronkial pada regio hilus kiri, aneurisma aorta karena sifilis, karsinoma esofagus,
karsinoma tiroid, atau dapat juga karena adanya pembengkakan mediastinum.
3. Mekanisme Eskalasi Mukus
Eskalasi mukosiliar melibatkan peran silia dan mukus. Silia terdapat pada
dinding saluran pernapasan mulai dari laring sampai bronkiolus terminal. Jumlah silia
pada bronkiolus jarang tetapi ke arah cephalad jumlah silia bertambah padat. Silia
bergerak 14 kali per detik. Mukus yang lengket dan berbentuk gel yang mengapung di
atas mukus yang lebih encer, terdorong ke arah cephalad karena gerak silia. Partikel
menempel pada mukus sehingga partikel juga keluar bersama mukus .
Jumlah silia dan aktivitasnya dipengaruhi oleh asap rokok, toksin, dan asidosis ;
ketiganya menurunkan jumlah silia dan aktivitasnya. Gerak silia ditingkatkan oleh β -
agonis , kecepatan mucociliary clearance dipercepat oleh metilxantin, dan oleh bahan
kolinergik. Atropin menurunkan kecepatan mucociliary clearance .
Mekanisme Batuk
Fase 1 (iritasi), allergen atau bahan iritan masuk ke dalam saluran pernafasan
Fase 2 (Inspirasi), paru2 memasukan kurang lebih 2,5 liter udara, oesofagus dan pita suara
menutup, sehingga udara terjerat dalam paru-paru
Fase 3 (Kompresi), otot perut berkontraksi, diafragma naik dan menekan paru-paru, diikuti
pula dengan kontraksi intercosta internus. Pada akhirnya akan menyebabkan tekanan pada
paru2 meningkat hingga 100mm/hg.
Fase 4 (Ekspirasi), Spontan oesofagus dan pita suara terbuka dan udara meledak keluar dari
paru
Mekanisme Bersin
Reflek bersin mirip dengan reflek batuk kecuali bahwa refleks ini berlangsung pada
saluran hidung, bukan pada saluran pernapasan bagian bawah. Rangsangan awal
menimbulkan refleks bersin adalah iritasi dalam saluran hidung, impuls saraf aferen berjalan
dalam nervus ke lima menuju medulla tempat refleks ini dicetuskan. Terjadi serangkaian
reaksi yang mirip dengan refleks batuk tetapi uvula ditekan, sehingga sejumlah besar udara
dengan cepat melalui hidung, dengan demikian membantu membersihkan saluran hidung
dari benda asing.
3.2 EPIDEMIOLOGI
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang memberi dampak 10-20%
populasi. Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara mencapai 10-20%, di Eropa sekitar 10-
15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang 10% (Madiadipoera, 2009). Prevalensi rinitis
alergi di Indonesia mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap
tahunnya (Nurcahyo dan Eko, 2009).
Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan
mempengaruhi 40% anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rinitis alergi berpengaruh pada
kualitas hidup, bersama-sama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban
sosial-ekonomi, rinitis alergi dianggap sebagai gangguan pernafasan utama. Tingkat
keparahan rinitis alergi diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit terhadap kualitas
hidup seseorang.
3.3 ETIOLOGI
Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rhinitis alergi. Penyebab tersering adalah allergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain seperti urtikaria
dan gangguan pencernaan. Penyebab rhinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi.
Rhinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rhinitis alergi
perennial diantaranya debu tungau (Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides
pteronyssinus), jamur, binatang peliharaan, dan binatang pengerat. Faktor resiko
terpaparnya debu tungau biasanya karpet, sprei, suhu tinggi, dan kelembaban udara.
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik
diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan
cuaca.
Dahulu rhinitis alergik dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu
:
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative
ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 :
1. Rhinitis akut (coryza, common cold) merupakan peradangan mukosa hidung dan sinus-
sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus dan bakteri. Penyakit ini dapat
mengenai hampir setiap orang dan pada suatu waktu dan sering kali terjadi pada musim
dingin dengan insidensi tertinggi pada awal musim hujan dan musim semi.
2. Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa yang disebabkan
oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena rhinitis vasomotor.
Klasifikasi rhinitis berdasarkan etiologi
Jenis Rhinitis Penjelasan
Rhinitis Non-Alergi
Disebabkan oleh infeksi saluran nafas (rhinitis viral dan rhinitis bacterial,
masuknya benda asing ke dalam hidung, deformitas struktural, neoplasma, dan massa,
penggunaan kronik dekongestan nasal, penggunaan kontrasepsi oral, kokain dan anti
hipertensif).
1. Rhinitis Infeksiosa
Rhinitis infeksiosa biasanya disebabkan oleh infeksi pada saluran pernafasan. Bagian
atas, baik oleh bakteri maupun virus. Ciri khas dari rhinitis infeksiosa adalah lendir
hidung yang bernanah, yang disertai dengan nyeri dan tekanan pada wajah, penurunan
fungsi indera penciuman serta batuk.
2. Rhinitis Non-Alergi dengan Sindroma Eosinofilia
Penyakit ini diduga berhubungan dengan kelainan metabolisme prostaglandin. Pada
hasil pemeriksaan apus hidung penderitanya, ditemukan eosinofil sebanyak 10-20 %.
Gejalanya berupa hidung tersumbat, bersin, hidung meler, hidung terasa gatal dan
penurunan fungsi indera penciuman (hiposmia).
3. Rhinitis Okupasional
Gejala-gejala rhinitis hanya timbul di tempat penderita bekerja. Gejala-gejala rhinitis
biasanya terjadi akibat menghirup bahan-bahan iritan (misalnya debu kayu, bahan
kimia). Penderita juga sering mengalami asma karena pekerjaan.
4. Rhinitis Hormonal
Beberapa penderita mengalami gejala rhinitis pada saat terjadi gangguan keseimbangan
hormon (misalnya selama kehamilan, hipotiroid, pubertas, pemakaian pil KB).
Estrogen diduga menyebabkan peningkatan kadar asam hialuronat di selaput hidung.
Gejala rhinitis pada kehamilan biasanya mulai timbul pada bulan kedua, terus
berlangsung selama kehamilan dan akan menghilang pada saat persalinan. Gejala
utamanya adalah hidung tersumbat dan hidung berair.
5. Rhinitis Medikamentosa (karena obat-obatan)
Rhinitis medikamentosa merupakan akibat pemakaian vasokonstriktor topikal (obat
tetes hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga
menyebabkan sumbatan pada hidung yang menetap. Dapat dikatakan hal ini disebabkan
oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).
6. Rhinitis Gustatorius
Rhinitis gustatorius terjadi setelah mengkonsumsi makanan tertentu, terutama makanan
yang panas dan pedas.
7. Rhinitis Vasomotor
Rhinitis vasomotor diyakini merupakan akibat dari teganggunya keseimbangan sistem
parasimpatis dan simpatis. Gejala yang timbul berupa hidung tersumbat, bersin-bersin
dan hidung berair. Rhinitis vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang
ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa
hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik.
8. Rhinitis Atrofi
Beberapa hal yang dianggap sebagai penyebabnya seperti infeksi oleh kuman spesifik,
yaitu spesies Klebsiella , stafiokokus, streptokokus, pseudomonas aeruginosa,
defisiensi Fe, sinusitis kronik, kelainan hormonal.
3.4 PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase
lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1
(IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi
yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi
terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan
terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor
(PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah
pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor
(GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan,
Rusmono, 2008).
Secara
mikroskopik
tampak adanya
dilatasi
pembuluh
(vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-
sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan
terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan
terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia
mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik
dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi
berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari
sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
1. Bersin patologis. Bersin yang berulang lebih 5 kali setiap serangan bersin.
2. Ingus (rinore) yang encer
3. Gangguan hidung. Hidung gatal dan rasa tersumbat. Hidung rasa tersumbat merupakan
gejala rinitis alergi yang paling sering kita temukan pada pasien anak-anak.
4. Gangguan mata. Mata gatal dan mengeluarkan air mata (lakrimasi).
5. Lubang hidung membengkak
6. Edema kelopak mata
7. Kongesti konjungtiva
1. Allergic shiner. Perasaan anak bahwa ada bayangan gelap di daerah bawah mata akibat
stasis vena sekunder. Stasis vena ini disebabkan obstruksi hidung.
2. Allergic salute. Perilaku anak yang suka menggosok-gosok hidungnya akibat rasa gatal.
3. Allergic crease. Tanda garis melintang di dorsum nasi pada 1/3 bagian bawah akibat
kebiasaan menggosok hidung.
4. Bunny rabbit sound: adalah suara yang dihasilkan karena lidah menggosok palatum
yang gatal dangerakannya seperti kelinci mengunyah.
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radioimunosorbent test ) sering kali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna
untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent
Test ) atau ELISA (Enzyme Linked ImmunoSorbent Assay Test ). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan
alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan
untuk elergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi
serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit
seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan
diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test ”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap
dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.
Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai
suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.
Kadar IgE total serum rendah pada orang normal dan meningkat pada orang atopi, tetapi
kadar IgE normal tidak menyingkirkan adanya rhinitis alergi. Pada orang normal, kadar IgE
meningkat dari lahir (o-1 KU/L) sampai pubertas dan menurun secara bertahap dan menetap
setelah usia 20-30 tahun. Pada orang dewasa kadar >100-150 KU/L dianggap normal. Kadar
meningkat hanya dijumpai pada 60% penderita rhinitis alergi dan 75% penderita asma.
Terdapat berbagai keadaan dimana kadar IgE meingkat yaitu infeksi parasit, penyakit kulit
(dermatitis kronik, penyakit pemfigoid bulosa) dan kadar menurun pada imunodefisiensi serta
multiple mielom. Kadar IgE dipengaruhi juga oleh ras dan umur, sehingga pelaporan hasil
harus melampirkan nilai batas normal sesuai golongan usia. Pemeriksaan ini masih dapat
dipakai sebagai pemeriksaan penyaring, tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan
diagnostic.
Pemeriksaan lain
Rhinitis simpleks : penyakit yang diakibatkan oleh virus. Biasanya adalah rhinovirus.
Sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan atau
menurunnya daya tahan tubuh
Rhinitis hipertrofi : hipertrofi concha karena proses inflamasi kronis yang disebabkan oleh
bakteri primer atau sekunder.
Rhinitis atrofi : infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa
dan tulang chonca.
3.7 TATALAKSANA
A. Non-farmakologi:
Hindari pencetus (alergen)
a. Amati benda-benda apa yang menjadi pencetus(debu, serbuk sari, bulu binatang, dll)
b. Jika perlu, pastikan dengan skin test
c. Jaga kebersihan rumah, jendela ditutup, hindari kegiatan berkebun. Jika harus
berkebun, gunakan masker wajah
B. Farmakologi :
Jika tidak bisa menghindari pencetus, gunakan obat-obat anti alergi seperti:
a. Anti histamine oral, antagonis H-1 (difenhidaramin, prometasin, loratadin, setisirin,
fexofenadin)
b. Agonis alfa adrenergic, sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
anti histamine
c. Kortikosteroid topikal, bila gejala sumbatan tidak dapat diobati dengan obat lain
(beklometason, budesonid, flunisolid, triamsinolon).
d. Sodium kromoglikat topikal, bekerja menstabilkan mastosit sehingga pelepasan
mediator kimia dihambat.
e. Antikolinergik topikal, mengatasi rhinorea karena inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor (ipratropium bromida).
f. Anti leukotrine (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan merupakan obat-
obatan baru untuk rhinitis alergi.
Jika tidak berhasil, atau obat-obatan tadi menyebabkan efek samping yang tidak bisa
diterima, lakukan imunoterapi dengan terapi desensitasi
Penatalaksanaan rhinitis alergi berdasarkan ARIA 2001
c. Penggolongan AH1
1) AH 1 generasi 1
Contoh : Etanolamin, Etilenedamin, Piperazin, Alkilamin, Derivat fenotiazin
Keterangan AH1 generasi 1 = - sedasi ringan-berat
- antimietik dan komposisi obat flu
- antimotion sickness
2) AH 1 generasi 2
Contoh : Feksofenadin, Loratadin, Desloratadin, Setirizin
Keterangan AH1 generasi 2 = kurang menyebabkan sedasi dibandingkan AH 1 generasi
1
d. Indikasi AH1 berguna untuk penyakit :
- Mabuk perjalanan
- Alergi
- Anastesi lokal
- Untuk asma berbagai profilaksis
e. Efek samping
Vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, insomnia, tremor, mulut kering, disuria,
palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, lemah pada tangan.
f. Interaksi Obat
Aritmia ventrikel letal yang terjadi pada beberapa pasien yang mendapat obat
generasi kedua awal, terfenadin atau astemizol, dalam kombinasi dengan ketokonazol,
itrakonazol atau antibiotik makrolid seperti eritromisin. Obat-obat antimikroba ini
menghambat metabolisme banyak obat oleh CYP3A4 dan menyebabkan peningkatan
signifikan konsentrasi antihistamin dalam darah. Karena interaksi yang berbahaya
tersebut maka terfenadin dan astemizol dikontraindikasikan pemberiannya pada pasien
yang mendapat ketokonazol, itrakonazol, atau antibiotik golongan makrolid, dan juga
pada pasien dengan penyakit hati
2. Dekongestan
a. Dekongestan Nasal
1) Farmakodinamik
Golongan simpatomimetik, beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung
untuk menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak, dan
memperbaiki pernafasan
2) Farmakokinetik
Penggunaan dekongestan topikal tidak menyebabkan atau sedikit sekali menyebabkan
absorpsi sistemik
3) Efek Samping
Penggunaan agen topikal yang lama (lebih dari 3-5 hari) dapat menyebabkan rhinitis
medikamentosa, di mana hidung kembali tersumbat akibat vasodilatasi perifer maka
batasi penggunaan
Contoh Obat : nafazolin, tetrahidrozolin, oksimetazolin dan xilometazolin
Fenilefrin HCl
Nafazolin HCl
Tetrahidrozolin HCl
Aksi Panjang Sampai 12 jam
Oksimetazolin HCl
Xylometazolin HCl
b. Dekongestan oral
Secara umum tidak dianjurkan karena efek klinis masih diragukan dan punya banyak
efek samping
2) Fenilpropanolamin
a) Farmakodinamik
Dekongestan nasal yang efektif pada pemberian oral. Selain menimbulkan
konstriksi pembuluh darah mukosa hidung, juga menimbulkan konstriksi
pembuluh darah lain sehingga dapat meningkatkan tekanan darah dan
menimbulkan stimulasi jantung. Efek farmakodinamiknya menyerupai
efedrin tapi kurang menimbulkan efek SSP.
b) Kontraindikasi
Harus digunakan sangat hati-hati pada pasien hipertensi dan pada pria
dengan hipertrofi prostat. Obat ini jika digunakan dalam dosis besar (>75
mg/hari) pada orang yang obesitas akan meningkatkan kejadian stroke,
sehingga hanya boleh digunakan dalam dosis maksimal 75 mg/hari sebagai
dekongestan.
c) Interaksi Obat
Kombinasi obat ini dengan penghambat MAO adalah kontra indikasi.
3) Fenilefrin
Fenilefrin adalah agonis selektif reseptor alfa 1 dan hanya sedikit
mempengaruhi reseptor beta. Hanya sedikit mempengaruhi jantung secara
langsung dan tidak merelaksasi bronkus. Menyebabkan konstriksi pembuluh
darah kulit dan daerah splanknikus sehingga menaikkan tekanan darah.
4. Sodium kromolin
Suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan
mediator, termasuk histamin. Tersedia dalam bentuk semprotan hidung untuk
mencegah dan mengobati rhinitis alergi.
Efek sampingnya : iritasi lokal (bersin dan rasa perih pada membran mukosa hidung
Dosisnya untuk pasien di atas 6 tahun adalah 1 semprotan pada setiap lubang hidung 3-
4 kali sehari pada interval yang teratur.
5. Ipratropium bromida
Merupakan agen antikolinergik berbentuk semprotan hidung, bermanfaat pada rhinitis
alergi yang persisten atau perenial. Memiliki sifat anti sekretori jika digunakan secara
lokal dan bermanfaat untuk mengurangi hidung berair yang terjadi pada rhinitis alergi.
Tersedia dalam bentuk larutan dengan kadar 0,03%, diberikan dalam 2 semprotan (42
mg) 2- 3 kali sehari.
Efek sampingnya ringan, meliputi sakit kepala, epistaxis, dan hidung terasa kering.
C. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kateurisasi memakai
AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage,Sciinneider, 2001).
Polip mukoid jinak pada hidung sering kali dihubungkan dengan alergi hidung, dapat
terjadi pada anak-anak namun lebih sering ditemukan pada orang dewasa, karena
menyumbat jalan napas, polip seringkali dirasakan sangat mengganggu. Setelah lesi
penyumbat diidentifikasi sebagai polip jinak, maka lesi tersebut dapat diangkat.
Pasien harus di peringatkan bahwa polip dapat kembali kambuh bilamana ada alergi,
sehingga polip perlu berkali-kali diangkat selama hidup. Polip umumnya berasal dari
sinus.
D. Imunoterapi (Desensitisasi)
Bersifat kausatif, imunoterapi merupakan proses yang lambat dan bertahap dengan
menginjeksikan alergen yang diketahui memicu reaksi alergi pada pasien dengan dosis
yang semakin meningkat.
Tujuannya adalah agar pasien mencapai peningkatan toleransi terhadap alergen,
sampai dia tidak lagi menunjukkan reaksi alergi jika terpapar oleh senyawa tersebut
3.8 KOMPLIKASI
Komplikasi rhinitis alergi yang sering ialah :
1.10 PENCEGAHAN
Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
a. Pencegahan primer
Untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini terhadap alergen. Tindakan
pertama adalah mengidentifikasi bayi yang mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil
diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan laut, dan kacang) mulai trimester 3 dan selama
menyusui, dan bayi mendapat ASI eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol
lingkungan dilakukan untuk mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan.
b. Pencegahan sekunder
Untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa asma dan pilek alergi yang
sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal berupaalergi makanan dan kulit.
Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan dan
makanan yang dapat diketahui dengan uji kulit. Debu tungau adalah salah satu penyebab
terbesar alergi. Mereka adalah serangga mikroskopis yang berkembang biak dalam debu
rumah tangga.
Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membatasi jumlah tungau di
rumah:
1) Pertimbangkan membeli udara-permeabel kasur dan selimut penutup oklusif
( jenis tempat tidur bertindak sebagai penghalang terhadap tungau debu dan
kotoran mereka).
2) Pilih kayu atau penutup lantai vinyl, bukan karpet.
3) Bersihkan bantai, mainan, tirai dan furnitur berlapis secara teratur, baik dengan
menghilangkan debu.
4) Gunakan bantal sintetis dan selimut akrilik bukannya selimut wol atau selimut
bulu.
5) Gunakan vacuum cleaner dilengkapi dengan filter udara partikulat efisiensi tinggi
(HEPA) karena dapat mengeluarkan debu lebih dari penyedot debu biasa.
6) Gunakan kain bersih basah untuk menyeka permukaan karena debu kering dapat
menyebarkan alergen lanjut.
7) Menjaga pintu dan jendela tertutup selama pertengahan pagi dan sore hari, ketika
ada sebagian serbuk sari di udara
8) Mandi, mencuci rambut dan mengganti pakaian setelah berada di luar
c. Pencegahan tersier
Untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit alergi dengan
penghindaran alergen dan pengobatan.
1.11 PROGNOSIS
Secara umum, pasien dengan rhinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan
pengobatan memiliki prognnosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap serbuk
sari, maka kemungkinan rhinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis sulit
diprediksi pada anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga yang berulang.
Menutup mulut ketika menguap. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu,
dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bila salah
seorang dari kalian menguap maka hendaklah dia menahan mulutnya dengan tangannya
karena sesungguhnya setan akan masuk.” (HR. Muslim no. 2995). Ketika seseorang
ingin menguap hendaknya ia menutup mulutnya dengan tangan kiri, karena menguap
adalah salah satu perbuatan yang buruk. Tidak ada bacaan dzikir khusus yang dibaca
ketika menguap. Syaikh Sulaiman al-Majid menegaskan,“Dan kami tidak mengetahui
adanya sunah yang mengajarkan dzikir atau doa yang dianjurkan untuk dibaca ketika
menguap. Adapun yang banyak tersebar menurut sebagian ulama dan kebanyakan
masyarakat, bahwa ketika menguap dianjurkan untuk membaca ta’awudz, berdalil
dengan firman Allah, yang artinya: ‘Apabila setan mengganggumu maka mintalah
perlindungan kepada Allah.’ Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut
bahwa menguap itu dari setan. Pendalilan semacam ini, tidak pada tempatnya. Beliau
menyebutkan alasan, “Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengabarkan
kepada kita bahwa menguap itu dari setan, beliau tidak mengajarkan kepada kita (untuk
membaca ta’awudz), selain perintah untuk menahan dan meletakkan tangan di mulut.
Sehingga, andaikan ta’awudz (ketika menguap) disyariatkan, tentu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam akan menyebutkannya.”
Mengguap di dalam Shalat. Hadits tentang menguap berasal dari setan juga
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dengan lafazh: “Menguap ketika shalat adalah dari
setan, jika salah seorang dari kalian menguap, maka tahanlah semampunya”. Al-Imam
Malik rahimahullah berkata: “Mulutnya ditutup dengan tangannya ketika shalat sampai
selesai menguap. Jika menguap ketika sedang membaca bacaan shalat, kalau dia
memahami apa yang dibaca, maka hukumnya makruh namun sudah mencukupi
baginya (bacaan dia). Tetapi jika tidak memahaminya, maka dia harus mengulangi
bacaannya, dan jika tidak mengulanginya, -kalau bacaan tersebut adalah surat Al-
Fatihah-, maka itu tidak mencukupi (tidak sah shalatnya), dan kalau selain Al-Fatihah,
maka sudah mencukupinya (shalatnya sah)”. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
menerangkan: “Pasal tentang beberapa masalah yang langka di tengah-tengah umat
namun sangat butuh untuk dijelaskan kepada mereka, adalah di antaranya: Seorang
yang menguap ketika shalat, dia harus menghentikan bacaan shalatnya sampai
menguapnya selesai, kemudian melanjutkan bacaannya. Ini adalah perkataan Mujahid,
dan ini ucapan yang bagus, ditunjukkan oleh riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudri
radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika
salah seorang di antara kalian menguap, hendaknya dia tahan mulutnya dengan
tangannya, karena setan berupaya untuk masuk.” (HR. Muslim)
Bersin adalah sesuatu yang disukai Allah Ta’ala, dan bahkan bersin itu adalah
pemberian dari Allah. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Bersin itu dari Allah dan menguap itu dari syaithon. Jika salah seorang
diantara kalian menguap, hendaknya dia menutup dengan tangannya. Jika ia
mengatakan, “aah…” berarti syaithon sedang tertawa di dalam perutnya.
Sesungguhnya Allah menyukai perbuatan bersin dan membenci menguap.”
(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 2746; al-Hakim, IV/264; Ibnu Khuzaimah, no. 921
dan Ibnu Sunni dalam kitab ‘Amalul Yaum wal Lailah, no. 2666. Hadits ini dinilai
shohih oleh al-Albani dalam Shohiih al-Jaami’, no. 4009).
Agar bersin yang kita lakukan bisa mendatang pahala di sisi Allah Ta’ala, maka
hendaklah kita memperhatikan adab-adab yang diajarkan oleh Nabi kita, Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala kita sedang bersin.
Berikut ini adalah adab-adab yang harus kita perhatikan ketika bersin.
a. Meletakkan tangan atau baju ke mulut ketika bersin. Salah satu akhlaq mulia
yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersin adalah
menutup mulut dengan tangan atau baju. Hal ini sebagaimana yang biasa dilakukan
oleh Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau bersin. Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersin, beliau meletakkan tangan atau bajunya ke mulut dan mengecilkan
suaranya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5029; at-Tirmidzi, no. 2745 dan
beliau menshohihkannya. Diriwayatkan pula oleh al-Hakim, IV/293, beliau
menshohikannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi).
b. Mengecilkan suara ketika bersin. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas. Dalam redaksi yang lainnya
disebutkan, “Apabila salah seorang dari kalian bersin hendaklah ia meletakkan
tangannya ke wajahnya dan mengecilkan suaranya.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim,
IV/264 dan beliau menshohihkannya. Disepakati pula oleh adz-Dzahabi, dan al-
Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 9353. Hadits ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam
Shohiih al-Jaami’, no. 685). Betapa banyaknya orang yang terganggu atau terkejut
dengan kerasnya suara bersin. Maka sudah selayaknya setiap muslim mengecilkan
suaranya ketika bersin sehingga tidak mengganggu atau mengejutkan orang-orang
yang ada di sekitarnya.
c. Memuji Allah Ta’ala ketika bersin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan umatnya untuk mengucapkan tahmid tatkala bersin. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian bersin,
hendaklah ia mengucapkan Alhamdulillah, jika ia mengatakannya maka hendaklah
saudaranya atau temannya membalas: yarhamukalloh (semoga Allah
merahmatimu). Dan jika temannya berkata yarhamukallah, maka ucapkanlah:
yahdikumulloh wa yushlihu baalakum (semoga Allah memberimu petunjuk dan
memperbaiki keadaanmu).” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhori, no. 6224
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
d. Mengingatkan orang yang bersin agar mengucapkan Tahmid jika ia lupa. Jika
kita mendapati orang yang bersin namun tidak memuji Allah Ta’ala, hendaklah kita
mengingatkannya. Ini termasuk bagian dari nasihat. ‘Abdullah bin al-Mubarak
melihat orang lain bersin tapi tidak mengucapkan Alhamdulillah, maka beliau
berkata kepadanya, “Apa yang seharusnya diucapkan seseorang jika ia bersin?”
Orang itu mengatakan, “Alhamdulillah.” Maka Ibnul Mubarak menjawab,
“Yarhamukalloh.”
c. Berkumur dan beristinsyaq dengan air yang sama. Lepas dari pendapat di kalangan
Malikiyah di atas, berkata Imam Syafi’e rahimahullahu ta’ala; disunnahkan untuk
menggabungkan antara berkumur dan beristinsyaq dengan air yang sama sebanyak
tiga kali cidukan telapak tangan (kanan).
Dalam kasus sendawa ketika shalat, ulama hanafiyah membedakan antara sendawa
yang bisa ditahan dan sendawa yang tidak bisa ditahan, dan antara sendawa yang keluar
suara dan sendawa tanpa keluar suara. Jika sendawa itu bersuara, dan bisa ditahan,
namun dikeluarkan oleh orang yang shalat, maka menurut Abu Hanifah dan
Muhammad bin Hasan as-Syaibani (murid senior Abu Hanifah).
Dalam Durar al-Hukkam Syarh Gharar al-Ahkam dinyatakan, untuk sendawa, biasanya
keluar suara (huruf), dan bisa ditahan maka membatalkan shalat menurut kedua imam
Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan. Namun jika tidak bisa ditahan, tidak
membatalkan shalat. Demikian kesimpulan dalam kitab al-Kafi. (Durar al-Hukkam,
1/448).
Kemudian mereka menjelaskan, jika sendawa itu tidak bisa ditahan, tidak membatalkan
shalat dan tidak perlu sujud sahwi. Namun jika bisa ditahan, ada dua pendapat. Dan
pendapat yang paling kuat dalam madzhab Maliki, bahwa sendawa bisa membatalkan
shalat jika sendawa itu dilakukan karena sengaja dan main-main. (al-Fawakih ad-
Dawani ‘ala risalah al-Qoiruwani, 3/15).
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Jakarta : Badan Penerbit FKUI. (p: 278-281,513-514)
Dorland WAN. 2000. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC (p: 1050)
Ganong, WF, 2007, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 21th ed, ab. M. Djauhari
Widjajakusumah. Jakarta : EGC.
Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. (2011). Farmakologi dan Terapi. Edisi V,
Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
http://www.nytimes.com/health/guides/disease/allergic-rhinitis/prognosis.html. Diakses pada
Kamis, 13 Febuari 2018 19:30
http://www.piss-ktb.com/2012/02/770-akidah-adab-bersendawa-glegeken.html. Diakses pada
Kamis, 13 Febuari 2018 20:45
Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. 2008. Dalam: Buku AjarIlmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam.Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 128-134.
Kaplan AP dan Cauwenberge PV, 2003. Allergic Rhinitis In : GLORIA Global Resources
Allegy Allergic Rhinitis and Allergic Conjunctivitis, Revised Guidelines, Milwaukeem
USA.
Price,Wilson. 2006. ”Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit vol 2”. Jakarta:EGC.
Raden, Inmar. 2014. Anatomi Kedokteran Sistem Respiratorius. Jakarta : Universitas Yarsi
Sherwood L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC
Small, P. and Kim, H. 2011. Allergic rhinitis. 7 (Suppl 1), p. S3. Available from: doi:
10.1186/1710-1492-7-S1-S3.
Soepardi E., Iskandar N, 2004. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Suprihati. 2005. The Prevalence of Allergic Rhinitis and Its Relation to some Risk Factors
among 13-14 years old students in Semarang, Indonesia, In : Indonesian Journal of
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, Vol,XXXV, no 1, Jakarta; 64-70.
Syarh Shahih Al-Adab Al-Mufrad. Majalah Tashfiyah edisi 03 vol. 01 1432 H – 2011 M, hal.
50-51