Anda di halaman 1dari 42

WRAP UP SKENARIO 1

“BERSIN DI PAGI HARI”

KELOMPOK B-8

Ketua:

Muhammad Reza Ma’Rifatullah 1102016136

Sekertaris:

Rafid 1102016175

Anggota:

Nurul Afiyah Salsabila 1102016163

Ramdesima Kasmir 1102016177

Ramzy Kuswijayanto 1102014219

Rislamia Oktafiani 1102016189

Salsabila Ainul Ghalbi 1102016196

Sella Pratiwi 1102014240

Suci Puspapertiwi 1102016210

Yulya Mauliddina 1102016230

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

2016/2017
SKENARIO

BERSIN DI PAGI HARI

Seorang perempuan, umur 25 tahun, selalu bersin-bersin lebih dari lima kali setiap pagi
hari, keluar ingus encer, gatal di hidung dan mata. Keluhan timbul bila udara berdebu jika
berangkat ke kantor. Keluhan ini sudah dialami sejak kecil dan mengganggu aktifitas kerja.
Dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit serupa, kecuali penyakit asma pada ayah
pasien.
Pada pemeriksaan fisik terlihat sekret bening keluar dari nares anterior, choncha nasalis
inferior, oedem, mukosa pucat.
Pasien rajin sholat tahajud, sehingga dia bertanya adakah hubungan memasukkan air
wudhu ke dalam hidung di malam hari dengan keluhannya ini? Pasien menanyakan ke dokter
mengapa bias terjadi demikian, dan apakah berbahaya apabila menderita keluhan seperti ini
dalam jangka waktu yang lama.
KATA SULIT

1. Asma : penyempitan saluran nafas dan peradangan sementara


akibat hiperreaktivitas terhadap rangsangan tertentu
2. Rhinitis alergi : inflamasi membran mukosa di hidung
3. Choncha nasalis inferior : bagian paling bawah choncha nasalis dekat meatus nasi
inferior
4. Asma : Serangan dyspnea paroxysmal berulang mengakibatkan
kontraksi spasmodic Bronki

PERTANYAAN

1) Mengapa bersin terjadi hanya pada pagi hari?


2) Mengapa terjadi gatal di hidung dan mata?
3) Apa saja factor resiko yang dapat menyebabkan keluhan tersebut?
4) Mengapa keluhan timbul bila udara berdebu?
5) Apakah ada hubungan antara asma yang diderita ayahnya dengan pasien tersebut?
6) Adakah hubungan memasukkan air wudhu dengan gejala yang diderita pasien?
7) Apa saja factor pencetus asma?
8) Mengapa pada pemeriksaan fisik didapatkan choncha nasalis inferior dan udem?
9) Mengapa keluar ingusnya encer?
10) Bagaimana tatalaksana pada scenario tersebut?
11) Apa yang dapat terjadi dalam jangka panjang?
12) Apakah ada pemeriksaan penunjang dalam scenario ini? Sebutkan!
13) Apakah diagnosis pada scenario tersebut?
14) Bagaimana cara menjaga saluran pernafasan menurut islam?

JAWABAN

1) Karena pada pagi hari suhu rendah, dan mempengaruhi kerja silia
Merupakan mekanisme pertahanan tubuh benda asing yang masuk ke saluran
pernafasan atas yang akan dikeluarkan melalui proses bersin
2) Karena debu merupakan allergen inhalasi yang diikat oleh IgE dan mengaktifkan
mediator inflamasi sehingga timbul gejala yang dialami pasien
3) Genetic, lingkungan, reseptor yang sesuai
4) Karena debu merupakan salah satu benda asing yang jika masuk ke dalam tubuh akan
dikenali dan dikeluarkan
5) Ada, karena terdapat factor resiko genetic
Adanya peran preposisi IgE yang diturunkan
6) Tidak ada hubungannya karena wudhu bertujuan membersihkan hidung
7) Allergen, makanan, perubahan cuaca, zat kimia, dan infeksi saluran pernafasan
8) Karena debu merupakan allergen inhalasi yang diikat oleh IgE dan mengaktifkan
mediator inflamasi sehingga timbul gejala yang dialami pasien
9) Karena debu merupakan allergen inhalasi yang diikat oleh IgE dan mengaktifkan
mediator inflamasi sehingga timbul gejala yang dialami pasien
10) Farmako : anti-histamin dan kortikosteroid
Non-farmako : menghindari allergen, menjaga suhu, dan sehabis wudhu dikeringkan
11) Dapat terjadi sinusitis dan menimbulkan bahaya bila terjadi komplikasi
12) - Pemeriksaan feses
- Skin prick test
- IgE serum
- Eosinofil
13) Rhinitis alergi, karena ada riwayat alergi dan factor pencetus
14) Berwudhu dan menjaga kebersihan lingkungan
HIPOTESIS

Rhinitis alergi merupakan peradangan membrane mukosa hidung berupa


hipersensitivitas tipe I yang diakibatkan oleh factor pencetus yaitu allergen, makanan,
perubahan cuaca, zat kimia, dan infeksi saluran pernafasan dengan gejala klinis berupa
bersin, keluar secret bening dari nares anterior, gatal, udem, dan mukosa pucat. Untuk
membantu menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan feses, skin prick test, IgE serum, dan eosinophil. Keadaan ini dapat ditangani
dengan menghindari allergen, pemberian anti-histamine dan kortikosteroid, serta menjaga
kebersihan hidung sesuai ajaran Islam.
SASARAN BELAJAR

1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN ANATOMI SISTEM PERNAFASAN ATAS


1.1 mikroskopis
1.2 makroskopis
2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN FISIOLOGI SISTEM PERNAFASAN ATAS
2.1 fungsi pernafasan atas
2.2 mekanisme pertahanan tubuh pernafasan atas
3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN RHINITIS ALERGI
3.1 definisi
3.2 epidemiologi
3.3 etiologi
3.4 patofisiologi
3.5 manifestasi klinik
3.6 cara diagnosis
3.7 diagnosis banding
3.8 tatalaksana
3.9 komplikasi
3.10 pencegahan
3.11 prognosis
4. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN MENJAGA KEBERSIHAN SALURAN
PERNAFASAN ATAS MENURUT ISLAM
LO 1 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN ANATOMI DAN SISTEM PERNAFASAN
ATAS

1.1 MIKROSKOPIS
Sistem pernapasan biasanya dibagi menjadi 2 daerah utama:

1. Bagian konduksi, meliputi rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus,


bronkiolus dan bronkiolus terminalis
2. Bagian respirasi, meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveolus.
Sebagian besar bagian konduksi dilapisi epitel respirasi, yaitu epitel bertingkat silindris
bersilia dengan sel goblet. Dengan menggunakan mikroskop elektron dapat dilihat ada 5
macam sel epitel respirasi yaitu sel silindris bersilia, sel goblet mukosa, sel sikat (brush
cells), sel basal, dan sel granul kecil.

1. Hidung

Bagian dalam hidung dilapisi empat epitel. Pada bagian luar hidung akan
ditutupi oleh kulit dengan epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk banyak terdapat
kelenjar sebasea yang akan meluas hingga bagian depan dari vestibulum nasi.
Rambut kaku dan besar menonjol ke luar berfungsi sebagai penyaring.
Beberapa milimeter ke dalam vestibulum, epitel berlapis gepeng menjadi epitel kuboid
tanpa silia lalu menjadi epitel bertingkat dan kolumna (torak) bersilia. Epitel hidung
terdiri dari sel-sel kolumnar bersilia, sel goblet dan sel-sel basofilik kecil pada dasar
epitel yang dianggap sebagai sel-sel induk bagi penggantian jenis sel yang lebih
berkembang. Selain mukus, epitel juga mensekresi cairan yang membentuk lapisan
diantara bantalan mukus dan permukaan epitel. Di bawah epitel terdapat lamina propria
tebal mengandung kelenjar submukosa terdiri dari sel-sel mukosa dan serosa. Di lamina
propria juga terdapat sel plasma, sel mast, dan kelompok jaringan limfoid.
Di atas chonca nasalis superior serta di bagian sekat hidung di dekatnya terdapat
daerah berwarna cokelat kekuningan berbeda dengan daerah respirasi lain yang
berwarna merah jambu mengandung reseptor penghidu yaitu derah olfaktoriua atau
mukosa olfaktoria. Di bawah epitel chonca inferior terdapat swell bodies, merupakan
fleksus venosus untuk menghangatkan udara inspirasi. Fungsi chonca :
a. Meningkatkan luas permukaan epitel respirasi
b. Turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan permukaan mukosa
Epitel olfaktoria bertingkat silindris tanpa sel goblet, lamina basal tidak jelas. Epitel
disusun tiga jenis sel :
a. Sel penyokong/sel sustentakular
b. Sel basal
c. Sel olfaktorius
2. Faring
Terbagi menjadi tiga, yaitu :
a. Nasofaring yang terletak di bawah dasar tengkorak : epitel bertingkat torak
bersilia dengan lapisan tanduk
b. Orofaring terletak belakang rongga mulut dan permukaan belakang lidah : epitel
berlapis gepeng dengan lapisan tanduk
c. Laringofaring, terletak di belakang laring : epitel bervariasi.
3. Laring
Laring adalah saluran napas yang menghubungkan faring dengan trakea. Laring
berfungsi untuk bagian system konduksi pernapasan juga pita suara. Pita suara sejati
dan pita suara palsu masing-masing merupakan tepi bebas atas selaput krikovokal
(krikotiroid) dan tepi bebas bawah selaput kuadratus (aryepiglotica). Di antara pita
suara palsu dan pita suara sejati terdapat sinus dan kantung laring. Lipatan aryepiglotica
dan pita suara mempunyai epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk. Laring juga
mempunyai epitel bertingkat silindris bersilia dengan sel goblet.
Pada pita suara, lamina propria di bawah epitel berlapis gepeng padat dan terikat
erat dengan jaringan ikat ligamentum vokalis di bawahnya. Dalam laring tidak ada
submukosa tapi lamina propria dari membrane mukosanya tebal dan mengandung
banyak serat elastin.
4. Epiglotis
Epiglotis merupakan juluran dari tepian laring, meluas ke faring dan memiliki
permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal epiglotis ditutupi oleh epitel
gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal ditutupi oleh epitel respirasi
bertingkat silindris bersilia. Di bawah epitel terdapat kelenjar campuran mukosa dan
serosa.
Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke
dalamlumen laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu
(plikavestibularis) yang terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta dilipatan
bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri dari epitel berlapisgepeng, ligamentum
vokalis (serat elastin)
dan muskulus vokalis
(otot rangka).Otot
muskulus vokalis akan
membantu
terbentuknya suara
dengan frekuensiyang
berbeda-beda.
1.2 MAKROSKOPIS

Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O2) yang dibutuhkan tubuh untuk
metabolisme sel dan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari metabolisme tersebut
dikeluarkan dari tubuh melalui paru.

Sistem Respirasi
1. Saluran Nafas Bagian Atas, pada bagian ini udara yang masuk ke tubuh
dihangatkan, disarung dan dilembabkan.
2. Saluran Nafas Bagian Bawah, bagian ini menghantarkan udara yang masuk dari
saluran bagian atas ke alveoli.
3. Alveoli, terjadi pertukaran gas anatara O2 dan CO2
4. Sirkulasi Paru, pembuluh darah arteri menuju paru, sedangkan pembuluh darah
vena meninggalkan paru.
5. Paru, terdiri atas :
a. Saluran Nafas Bagian Bawah
b. Alveoli
c. Sirkulasi Paru
6. Rongga Pleura, terbentuk dari dua selaput serosa, yang meluputi dinding dalam
rongga dada yang disebut pleura parietalis, dan yang meliputi paru atau pleura
veseralis
7. Rongga dan Dinding Dada, merupakan pompa muskuloskeletal yang mengatur
pertukaran gas dalam proses respirasi

Saluran Nafas Bagian Atas


a. Rongga hidung
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga hal :
1. Dihangatkan
2. Disaring
3. Dilembabkan
Ketiga hal di atas merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi, yang terdiri
atas Psedostrafied Ciliated Columnar Epitelium yang berfungsi menggerakkan
partikel-partikel halus ke arah faring sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh
bulu hidung, sel golbet dan kelenjar serous yang berfungsi melembabkan udara yang
masuk, pembuluh darah yang berfungsi menghangatkan udara. Ketiga hal tersebut
dibantu dengan concha.
b. Nasofaring (terdapat Pharyngeal Tonsil dan Tuba Eustachius)
c. Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring, terdapat pangkal
lidah)
d. Laringofaring (terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan)
(Daniel S.W, 2008; Raden Inmar, 2009)

Hidung
Organ pertama yang berfungsi dalam saluran napas. Terdapat vestibulum nasi yang
terdapat cilia kasar yang berfungsi sebagai saringan udara. Bagian dalam rongga
hidungada terbentuk terowongan yang disebut cavum nasi mulai dari nares anterior
sampai ke nares posterior lalu ke nasofaring.
Sekat antara kedua rongga hidung dibatasi dinding yang berasal dari tulang dan
mucusa yaitu septum nasi yang dibentuk oleh :
a. Cartilago septi naso
b. Os vomer
c. Lamina perpendicularis os ethmoidalis
1) Merupakan organ berongga yang terdiri atas tulang, tulang rawan hyalin otot
bercorak dan jaringan ikat
2) Fungsi :
a) Menyalurkan udara
b) Menyaring udara dari benda asing
c) Menghangatkan udara pernafasan
d) Melembabkan udara pernafasan
e) Alat pembau
3) Cavum nasi dipisahkan oleh septum nasi,
yang berhubungan dengan nasofaring
melalui choana (nares posterior)
4) Memiliki bagian terlebar yang disebut dengan vestibulum nasi

Fossa Nasalis
Dinding superior rongga hidung sempit, dibentuk lamina cribroformis
ethmoidalis yang memisahkan rongga tengkorak dengan rongga hidung. Dinding
inferior dibentuk os maxilla dan os palatinum.
Ada 2 cara pemeriksaan hidung yaitu rhinoscopy anterior dan posterior. Bagian
anterior, di cavum nasi di sisi lateral terdapat concha nasalis yang terbentuk dari tulang
tipis dan ditutupi mukusa yang mengeluarkan lendir dan di medial terlihat dinding
septum nasi. Kalau pada posterior, dapat terlihat nasofaring, choanae, bagian ujung
belakang conchae nasalis media dan inferior, juga terlihat OPTA yang berhubungan
dengan telinga.
Ada 3 buah concha nasalis, yaitu :
a. Concha nasalis superior
b. Concha nasalis inferior
c. Concha nasalis media
Di antara concha nasalis superior dan media terdapat meatus nasalis superior.
Antara concha media dan inferior terdapat meatus nasalis media. Antara concha nasalis
inferior dan dinding atas maxilla terdapat meatus nasalis inferior.

Fungsi chonca :
1. Meningkatkan luas permukaan epitel respirasi
2. Turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan permukaan mukosa.

Sinus-sinus yang berhubungan dengan cavum nasi disebut sinus paranasalis :


a. Sinus sphenoidalis mengeluarkan sekresinya melalui meatus superior
b. Sinus frontalis ke meatus media
c. Sinus maxillaris ke meatus media
d. Sinus ethmoidalis ke meatus superior dan media.
Di sudut mata terdapat hubungan antara hidung dan mata melalui ductus
nasolacrimalis tempat keluarnya air mata ke hidung melalui meatus inferior. Di
nasofaring terdapat hubungan antara hidung dan rongga telinga melalui OPTA (Osteum
Pharyngeum Tuba Auditiva) eustachii. Alurnya bernama torus tobarius.

Vaskularisasi hidung
Berasal dari cabang a. Opthalmica dan a. Maxillaris interna
1. Arteri ethmoidalis dengan cabang-cabang : arteri nasalis externa dan lateralis,
arteri septalis anterior
2. Arteri ethmoidalis posterior dengan cabang-cabang : arteri nasalis posterior,
lateralis dan septal, arteri palatinus majus
3. Arteri sphenopalatinum cabang arteri maxillaris interna. Ketiga pembuluh
tersebut membentuk anyaman kapiler pembuluh darah yang dinamakan Plexus
Kisselbach. Plexus ini mudah pecah oleh trauma/infeksi sehingga sering menjadi
sumber epistaxis pada anak.

Persarafan hidung
Persarafan sensorik dan sekremotorik hidung :
1. Depan dan atas cavum nasi mendapat persarafan sensoris dari cabang nervus
opthalmicus
2. Bagian lainnya termasuk mucusa hidung cavum nasi dipersarafi ganglion
sfenopalatinum. Nasofaring dan concha nasalis mendapat persarafan sensorik
dari cabang ganglion pterygopalatinum.
Nervus olfactorius memberikan sel-sel reseptor untuk penciuman. Proses penciuman :
pusat penciuman pada gyrus frontalis, menembus lamina cribrosa ethmoidalis ke
traktus olfactorius, bulbus olfactorius, serabut n. olfactorius pda mucusa atas depan
cavum nasi.

FARING

Merupakan struktur seperti tuba yang


menghubungkan hidung dan rongga mulut ke
laring. Dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Nasofaring
Bagian pharynx yang berada dibelakang cavum nasi dan diatas palatum molle
berfungsi sebagai tractus respiratorius sehingga dindingnya tidak kolaps.
Nasopharynx dihubungkan dengan cavum nasi oleh choanae. Nasopharynx
berhubungan dengan oropharynx lewat isthmus pharyngeus. Pada dinding
lateral nasopharynx terdapat ostium pharyngeum tubae auditiva (O.P.T.A.).
Pada atap dan dinding posterior terdapat tonsila pharyngea yang dapat
mengalami pembesaran dikenal sebagai adenoid yang membuat buntu tractus
respiratorius. Di samping OPTA terdapat di depan lekukan yang disebut fosa
Rosenmuller.

2. Orofaring
Mulai dari palatum mole ke tulang hyoid. Ini membuka ke bagian depan,
melalui isthmus faucium ke dalam mulut, sementara di dinding lateral, antara
kedua lengkungan palatina, terdapat tonsila palatina.

3. Laringofaringeal
Di depannya terdapat pintu masuk larnyx, yang digerakkan oleh epiglotis. Di
bawah muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan yang disebut
sinus piriformis yaitu di antara lipatan ariepiglotika dan cartilago thyroid. Lebih
ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina cricoid dan di bawahnya terdapat
muara esofagus.
LARING
Daerah yang dimulai dari aditus laryngis sampai batas bawah cartilago cricoid. Rangka
laring terbentuk dari tulang rawan dan tulang.
1. Berbentuk tulang adalah os hyoid
2. Berbentuk tulang rawan adalah : tyroid 1 buah, arytenoid 2 buah, epiglotis 1 buah.
Pada arytenoid bagian ujung ada tulang rawan kecil cartilago cornuculata dan
cuneiforme.

Laring adalah bagian terbawah dari saluran napas atas.


Os hyoid
Mempunyai 2 buah cornu, cornu majus dan minus. Berfungsi untuk perlekatan otot
mulut dan cartilago thyroid
Cartilago thyroid
Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang disebut promines’s laryngis
atau lebih disebut jakun pada laki-laki. Jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid.
Mempunyai cornu superior dan inferior. Pendarahan dari a. Thyroidea superior dan
inferior.
Cartilago arytenoid
Mempunyai bentuk seperti burung penguin. Ada cartilago corniculata dan cuneiforme.
Kedua arytenoid dihubungkan m.arytenoideus transversus.
Epiglotis
Tulang rawan berbentuk sendok. Melekat di antara cartilago arytenoid. Berfungsi
untuk membuka dan menutup aditus laryngis. Saat menelan epiglotis menutup aditus
laryngis supaya makanan tidak masuk ke laring.
Cartilago cricoid
Batas bawah adalah cincin pertama trakea. Berhubungan dengan thyroid dengan
ligamentum cricothyroid dan m.cricothyroid medial lateral.

Otot-otot laring :
a. Otot extrinsik laring
Berfungsi untuk menarik larynx ke atas dan ke bawah selama proses menelan.
Pada umumnya otot-otot melekat pada os hyoideus melalui membrana
thyrohyoideus dan terjadi gerakan larynx. Otot-otot ekstrinsik terbagi atas 2
golongan :
1. Otot-otot elevator (otot-otot suprahyoid), otot yang berinsertio pada os hyoideus
yaitu : M. digastricus, M. stylohyoideus, M. mylohyoideus dan M.
geniohyoideus
2. Otot-otot depressor (otot-otot yang infra hyoid), otot yang berorigo pada os
hyoideus yaitu : M. sternothyroideus, M. sternohyoideus dan M. omohyoideus
b. Otot intrinsik laring
1. M.cricoarytenoid posterior yang membuka plica vocalis. Jika terdapat gangguan
pada otot ini maka bisa menyebabkan orang tercekik dan meninggal karena rima
glottidis tertutup. Otot ini disebut juga safety muscle of larynx.
2. M. cricoarytenoid lateralis yang menutup plica vocalis dan menutup rima
glottdis
3. M. arytenoid transversus dan obliq
4. M.vocalis
5. M. aryepiglotica
6. M. thyroarytenoid

Dalam cavum laryngis terdapat :


Plica vocalis, yaitu pita suara asli
sedangkan plica vestibularis adalah pita
suara palsu. Antara plica vocalis kiri dan
kanan terdapat rima glottidis sedangkan
antara plica vestibularis terdapat rima
vestibuli. Persyarafan daerah laring
adalah serabut nervus vagus dengan
cabang ke laring sebagai n.laryngis
superior dan n. recurrent.

LO 2 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN FISIOLOGI SISTEM PERNAFASAN ATAS


2.1 FUNGSI PERNAFASAN ATAS
Pernapasan atau respirasi adalah menghirup udara dari luar yang mengandung O2
kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 sebagai sisa dari
oksidasi yang keluar dari tubuh. Proses penghirupan udara ini disebut inspirasi dan
menghembuskan disebut ekspirasi

Secara fungsional (faal) saluran pernafasan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Zona Konduksi
Zona konduksi berperan sebagai saluran tempat lewatnya udara pernapasan, serta
membersihkan, melembabkan dan menyamakan suhu udara pernapasan dengan suhu
tubuh. Disamping itu zona konduksi juga berperan pada proses pembentukan suara.
Zona konduksi terdiri dari hidung, faring, trakea, bronkus, serta bronkioli
terminalis.Trakea dapat juga dijuluki sebagai eskalator-muko-siliaris karena silia pada
trakea dapat mendorong benda asing yang terikat zat mucus ke arah faring yang
kemudian dapat ditelan atau dikeluarkan. Silia dapat dirusak oleh bahan-bahan beracun
yang terkandung dalam asap rokok. Struktur bronki primer masih serupa dengan struktur
trakea. Pada bagian akhir dari bronki, cincin tulang rawan yang utuh berubah menjadi
lempengan-lempengan. Pada bronkioli terminalis struktur tulang rawan menghilang dan
saluran udara pada daerah ini hanya dilingkari oleh otot polos. Struktur semacam ini
menyebabkan bronkioli lebih rentan terhadap penyimpatan yang dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Bronkioli mempunyai silia dan zat mucus.

Bahan-bahan debris di alveoli ditangkap oleh sel makrofag yang terdapat pada
alveoli, kemudian dibawa oleh lapisan mukosa dan selanjutnya dibuang.

2. Zona Respiratorik
Zona respiratorik terdiri dari alveoli, dan struktur yang berhubungan. Pertukaran
gas antara udara dan darah terjadi di dalam alveoli. Selain struktur diatas terdapat pula
struktur yang lain, seperti bulu-bulu pada pintu masuk yang penting untuk menyaring
partikel-partikel yang masuk.

Proses terjadinya pernapasan terbagi 2 bagian, yaitu :

1. Menarik napas (inspirasi)


Inspirasi merupakan proses aktif, disini kontraksi otot-otot inspirasi akan
meningkatkan tekanan di dalam ruang antara paru-paru dan dinding dada (tekanan
intraktorakal). Inspirasi terjadi bila muskulus diafragma telah dapat rangsangan dari
nervus prenikus lalu mengkerut datar. Muskulus interkostalis kontraksi. Dengan
demikian jarak antara sternum dan vertebrata semakin luas dan lebar. Rongga dada
membesar maka pleura akan tertarik, dengan demikian menarik paru-paru maka
tekanan udara di dalamnya berkurang dan masuklah udara dari luar.

2. Menghembus napas (ekspirasi)


Ekspirasi merupakan proses pasif yang tidak memerlukan konstraksi otot untuk
menurunkan intratorakal. Ekspirasi terjadi apabila pada suatu saat otot-otot akan kendur
lagi (diafragma akan menjadi cekung, muskulus interkostalis miring lagi) dan dengan
demikian rongga dada menjadi kecil kembali, maka udara didorong keluar. Tetapi
setelah ekspirasi normal, kitapun masih bisa menghembuskan nafas dalam-dalam
karena adanya kerja dari otot-otot ekspirasi yaitu muskulus interkostalis internus dan
muskulus abdominis.

Fungsi Saluran Pernafasan Atas


1. Mengambil oksigen yang kemudian dibawa oleh darah keseluruh tubuh (sel-selnya)
untuk mengadakan pembakaran
2. Mengeluarkan karbon dioksida yang terjadi sebagai sisa dari pembakaran, kemudian
dibawa oleh darah ke paru-paru untuk dibuang (karena tidak berguna lagi oleh tubuh)
3. Melembabkan udara / Penyesuaian udara  dalam waktu singkat saat udara melintasi
bagian horisontal hidung , udara inspirasi dihangatkan atau didinginkan mendekati suhu
tubuh dan kelembapan relatifnya dibuat mendekati 100 % . Suhu ekstrim dan
kekeringan udara inspirasi dikompensasi dengan cara mengubah aliran udara . Hal ini
dilakukan melalui perubahan fisik pada jaringan erektil hidung
4. Purifikasi udara  Rambut hidung atau vibrisa pada vestibulum nasi berperan dalam
filtrasi udara . Anatomi hidung dalam yang iregular menimbulkan arus balik udara
inspirasi dengan akibat penimbunan partikel dalam hidung dan nasofaring . Benda asing
( virus / bakteri ) yang seringkali menggumpal membentuk partikel besar akan di
ekspektorans atau diangkut melalui transpor mukosiliar ke dalam lambung untuk di
sterilkan sekresi lambung .

Sistem respirasi bekerja melalui 3 tahapan yaitu :


1. Ventilasi
Ventilasi terjadi karena adanya perubahan tekanan intra pulmonal, pada saat
inspirasi tekanan intra pulmonal lebih rendah dari tekanan atmosfer sehingga udara dari
atmosfer akan terhisap ke dalam paru-paru. Sebaliknya pada saat ekspirasi tekanan
intrapulmonal menjadi lebih tinggi dari atmosfer sehingga udara akan tertiup keluar
dari paru-paru. Perubahan tekanan intrapulmonal tersebut disebabkan karena
perubahan volume thorax akibat kerja dari otot-otot pernafasan dan diafragma.
Ventilasi dipengaruhi oleh :
a. Kadar oksigen pada atmosfer
b. Kebersihan jalan nafas
c. Daya recoil & complience (kembang kempis) dari paru-paru
d. Pusat pernafasan

Fleksibilitas paru sangat penting dalam proses ventilasi. Fleksibilitas paru


dijaga oleh surfaktan. Surfaktan merupakan campuran lipoprotein yang dikeluarkan sel
sekretori alveoli pada bagian epitel alveolus dan berfungsi menurunkan tegangan
permukaan alveolus yang disebabkan karena daya tarik menarik molekul air &
mencegah kolaps alveoli dengan cara membentuk lapisan monomolekuler antara
lapisan cairan dan udara.
2. Difusi
Difusi dalam respirasi merupakan proses pertukaran gas antara alveoli dengan
darah pada kapiler paru. Proses difusi terjadi karena perbedaan tekanan, gas berdifusi
dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Salah satu ukuran difusi adalah tekanan parsial.
Volume gas yang berdifusi melalui membran respirasi per menit untuk setiap
perbedaan tekanan sebesar 1 mmHg disebut kapasitas difusi. Kapasitas difusi oksigen
dalam keadaan istirahat sekitar 230 ml/menit.
Difusi dipengaruhi oleh :

a. Ketebalan membran respirasi


b. Koefisien difusi
c. Luas permukaan membran respirasi
d. Perbedaan tekanan parsial
e. Transportasi
3. Perfusi
Merupakan aliran darah aktual melalui sirkulasi pulmonal dimana O2 diangkut
dalam darah membentuk ikatan (oksi Hb) / Oksihaemoglobin(98,5%) sedangkan dalam
eritrosit bergabung dengan Hb dalam plasma sebagai O2 yang larut dlm plasma (1,5%).
CO2 dalam darah ditrasportasikan sebagai bikarbonat.
2.2 MEKANISME PERTAHANAN TUBUH PERNAFASAN ATAS
Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau
innate, atau imunitas alamiah, sudah ada sejak bayi lahir. Jadi bukan merupakan pertahanan
khusus untuk antigen tertentu.

Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif atau
imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis
antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain.

1. Deposisi Partikel :
Perjanalan udara pernapasan mulai dari hidung sampai ke parenkim paru
melalui struktur yang berkelok-kelok sehingga memungkinkan terjadinya proses
deposisi partikel. Partikel yang masuk ke dalam sistem pernapasan ukurannya sangat
heterogen. Partikel berukuran >10 µm tertangkap di dalam rongga hidung, yang
berukuran di antara 5-10 µm tertangkap di bronkus dan percabangannya, sedangkan
yang berukuran <3 µm dapat masuk ke dalam alveoli. Tertangkapnya partikel
disebabkan karena partikel tersebut menabrak dinding saluran pernapasan dan adanya
kecenderungan partikel untuk mengendap. Pada daerah yang mempunyai aliran udara
turbulen, partikel besar terlempar keluar dari jalur aslinya sehingga menabrak dinding
jalan napas dan menempel pada mukus. Kecepatan aliran udara di bronkiolus berkurang
sehingga partikel kecil yang masuk sampai alveoli dapat dipengaruhi oleh gaya
gravitasi dan sedimentasi sehingga partikel tersebut mengendap. Partikel yang sangat
kecil menabrak dinding karena adanya gerak Brown.
2. Refleks Batuk dan Refleks Tekak ( Gag Reflex )
Batuk merupakan mekanisme refleks yang sangat penting untuk menjaga agar
jalan napas tetap terbuka (patent) dengan cara meyingkirkan hasil sekresi, selain itu
juga untuk menghalau benda asing (corpus alineum) yang akan masuk ke dalam sistem
pernapasan . Benda asing yang masuk ke dalam saluran pernapasan dapat menyebabkan
peradangan dalam sistem pernapasan. Mekanisme batuk memerlukan adanya
penutupan glotis dan peningkatan tekanan intratoraks (sebagai elemen eksplosif).
Jika terdapat kelumpuhan pita suara, elemen eksplosif batuk tidak terjadi dan
keadaan seperti ini disebut sebagai bovine cough. Paralisis motorik pada laring biasanya
disebabkan oleh terganggunya nervus laringeus rekuren kiri, karena terdapat karsinoma
bronkial pada regio hilus kiri, aneurisma aorta karena sifilis, karsinoma esofagus,
karsinoma tiroid, atau dapat juga karena adanya pembengkakan mediastinum.
3. Mekanisme Eskalasi Mukus
Eskalasi mukosiliar melibatkan peran silia dan mukus. Silia terdapat pada
dinding saluran pernapasan mulai dari laring sampai bronkiolus terminal. Jumlah silia
pada bronkiolus jarang tetapi ke arah cephalad jumlah silia bertambah padat. Silia
bergerak 14 kali per detik. Mukus yang lengket dan berbentuk gel yang mengapung di
atas mukus yang lebih encer, terdorong ke arah cephalad karena gerak silia. Partikel
menempel pada mukus sehingga partikel juga keluar bersama mukus .
Jumlah silia dan aktivitasnya dipengaruhi oleh asap rokok, toksin, dan asidosis ;
ketiganya menurunkan jumlah silia dan aktivitasnya. Gerak silia ditingkatkan oleh β -
agonis , kecepatan mucociliary clearance dipercepat oleh metilxantin, dan oleh bahan
kolinergik. Atropin menurunkan kecepatan mucociliary clearance .
Mekanisme Batuk

Seluruh saluran nafas


dari hidung sampai
bronkiolus terminalis,
dipertahankan agar tetap
lembab oleh selapis mukosa
yang melapisi seluruh
permukaan. Mukus ini
disekresikan sebagian oleh sel
goblet dalam epitel saluran
nafas, dan sebagian lagi oleh kelenjar submukosa yang kecil. Batuk yang tidak efektif dapat
menimbulkan penumpukan sekret yang berlebihan, atelektasis, gangguan pertukaran gas
dan lain-lain. Pusat batuk berada pada medulla oblongata.

Mekanisme batuk dibagi menjadi 4 fase:

Fase 1 (iritasi), allergen atau bahan iritan masuk ke dalam saluran pernafasan

Fase 2 (Inspirasi), paru2 memasukan kurang lebih 2,5 liter udara, oesofagus dan pita suara
menutup, sehingga udara terjerat dalam paru-paru

Fase 3 (Kompresi), otot perut berkontraksi, diafragma naik dan menekan paru-paru, diikuti
pula dengan kontraksi intercosta internus. Pada akhirnya akan menyebabkan tekanan pada
paru2 meningkat hingga 100mm/hg.

Fase 4 (Ekspirasi), Spontan oesofagus dan pita suara terbuka dan udara meledak keluar dari
paru

Mekanisme Bersin

Reflek bersin mirip dengan reflek batuk kecuali bahwa refleks ini berlangsung pada
saluran hidung, bukan pada saluran pernapasan bagian bawah. Rangsangan awal
menimbulkan refleks bersin adalah iritasi dalam saluran hidung, impuls saraf aferen berjalan
dalam nervus ke lima menuju medulla tempat refleks ini dicetuskan. Terjadi serangkaian
reaksi yang mirip dengan refleks batuk tetapi uvula ditekan, sehingga sejumlah besar udara
dengan cepat melalui hidung, dengan demikian membantu membersihkan saluran hidung
dari benda asing.

LO 3 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN RHINITIS ALERGI


3.1 DEFINISI
Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von
Pirquet, 1986).
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.

3.2 EPIDEMIOLOGI
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang memberi dampak 10-20%
populasi. Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara mencapai 10-20%, di Eropa sekitar 10-
15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang 10% (Madiadipoera, 2009). Prevalensi rinitis
alergi di Indonesia mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap
tahunnya (Nurcahyo dan Eko, 2009).

Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan
mempengaruhi 40% anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rinitis alergi berpengaruh pada
kualitas hidup, bersama-sama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban
sosial-ekonomi, rinitis alergi dianggap sebagai gangguan pernafasan utama. Tingkat
keparahan rinitis alergi diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit terhadap kualitas
hidup seseorang.

3.3 ETIOLOGI
Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rhinitis alergi. Penyebab tersering adalah allergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain seperti urtikaria
dan gangguan pencernaan. Penyebab rhinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi.

Rhinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rhinitis alergi
perennial diantaranya debu tungau (Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides
pteronyssinus), jamur, binatang peliharaan, dan binatang pengerat. Faktor resiko
terpaparnya debu tungau biasanya karpet, sprei, suhu tinggi, dan kelembaban udara.
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik
diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan
cuaca.

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:


a. Allergen inhalan yang masuk bersama dengan udara pernafasan misalnya, debu rumah,
tungau, serpihan epitel bulu binatang, serta jamur.
b. Allergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,
coklat, ikan, dan udang.
c. Allergen injektan yang masuk melalui suntikan atau tusukan misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
d. Allergen kontaktan yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
KLASIFIKASI

Dahulu rhinitis alergik dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu
:

1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)


Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada pada Negara yang
mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik yaitu tepung sari (pollen) dan
spora jamur. Oleh karena itu, nama yang tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis
karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merha, gatal
disertai lakrimasi)
2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim,
jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah allergen
inhalan terutama pada orang dewasa dan allergen ingestan.

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative
ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 :

Rhinitis berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi dua :

1. Rhinitis akut (coryza, common cold) merupakan peradangan mukosa hidung dan sinus-
sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus dan bakteri. Penyakit ini dapat
mengenai hampir setiap orang dan pada suatu waktu dan sering kali terjadi pada musim
dingin dengan insidensi tertinggi pada awal musim hujan dan musim semi.

2. Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa yang disebabkan
oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena rhinitis vasomotor.
Klasifikasi rhinitis berdasarkan etiologi
Jenis Rhinitis Penjelasan

Alergin (diperantarai oleh a. Inflamasi yang diperantarai


Ig E) oleh Ig E pada mukosa hidung,
berakibat pada infiltrasi dari
sel eosinofil dan sel Th 2 pada
lapisan hidung.
b. Diklasifikasikan sebagai
intermiten atau persisten
Autonomic a. Rhinitis medicamentosa
b. Hypothyroidism
c. Hormonal
d. Non-allergic rhinitis with
eosinophilia syndrome
(NARES)
Infectious Disebabkan oleh virus (tersering),
bacterial, atau infeksi jamur

Idiopatik Penyebabnya tidak jelas

Rhinitis Non-Alergi
Disebabkan oleh infeksi saluran nafas (rhinitis viral dan rhinitis bacterial,
masuknya benda asing ke dalam hidung, deformitas struktural, neoplasma, dan massa,
penggunaan kronik dekongestan nasal, penggunaan kontrasepsi oral, kokain dan anti
hipertensif).
1. Rhinitis Infeksiosa
Rhinitis infeksiosa biasanya disebabkan oleh infeksi pada saluran pernafasan. Bagian
atas, baik oleh bakteri maupun virus. Ciri khas dari rhinitis infeksiosa adalah lendir
hidung yang bernanah, yang disertai dengan nyeri dan tekanan pada wajah, penurunan
fungsi indera penciuman serta batuk.
2. Rhinitis Non-Alergi dengan Sindroma Eosinofilia
Penyakit ini diduga berhubungan dengan kelainan metabolisme prostaglandin. Pada
hasil pemeriksaan apus hidung penderitanya, ditemukan eosinofil sebanyak 10-20 %.
Gejalanya berupa hidung tersumbat, bersin, hidung meler, hidung terasa gatal dan
penurunan fungsi indera penciuman (hiposmia).
3. Rhinitis Okupasional
Gejala-gejala rhinitis hanya timbul di tempat penderita bekerja. Gejala-gejala rhinitis
biasanya terjadi akibat menghirup bahan-bahan iritan (misalnya debu kayu, bahan
kimia). Penderita juga sering mengalami asma karena pekerjaan.
4. Rhinitis Hormonal
Beberapa penderita mengalami gejala rhinitis pada saat terjadi gangguan keseimbangan
hormon (misalnya selama kehamilan, hipotiroid, pubertas, pemakaian pil KB).
Estrogen diduga menyebabkan peningkatan kadar asam hialuronat di selaput hidung.
Gejala rhinitis pada kehamilan biasanya mulai timbul pada bulan kedua, terus
berlangsung selama kehamilan dan akan menghilang pada saat persalinan. Gejala
utamanya adalah hidung tersumbat dan hidung berair.
5. Rhinitis Medikamentosa (karena obat-obatan)
Rhinitis medikamentosa merupakan akibat pemakaian vasokonstriktor topikal (obat
tetes hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga
menyebabkan sumbatan pada hidung yang menetap. Dapat dikatakan hal ini disebabkan
oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).
6. Rhinitis Gustatorius
Rhinitis gustatorius terjadi setelah mengkonsumsi makanan tertentu, terutama makanan
yang panas dan pedas.
7. Rhinitis Vasomotor
Rhinitis vasomotor diyakini merupakan akibat dari teganggunya keseimbangan sistem
parasimpatis dan simpatis. Gejala yang timbul berupa hidung tersumbat, bersin-bersin
dan hidung berair. Rhinitis vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang
ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa
hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik.
8. Rhinitis Atrofi
Beberapa hal yang dianggap sebagai penyebabnya seperti infeksi oleh kuman spesifik,
yaitu spesies Klebsiella , stafiokokus, streptokokus, pseudomonas aeruginosa,
defisiensi Fe, sinusitis kronik, kelainan hormonal.

3.4 PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase
lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1
(IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi
yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi
terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan
terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor
(PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah
pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor
(GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan,
Rusmono, 2008).

Secara
mikroskopik
tampak adanya
dilatasi
pembuluh
(vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-
sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan
terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan
terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia
mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik
dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi
berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari
sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

3.5 MANIFESTASI KLINIK

Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :

1. Bersin patologis. Bersin yang berulang lebih 5 kali setiap serangan bersin.
2. Ingus (rinore) yang encer
3. Gangguan hidung. Hidung gatal dan rasa tersumbat. Hidung rasa tersumbat merupakan
gejala rinitis alergi yang paling sering kita temukan pada pasien anak-anak.
4. Gangguan mata. Mata gatal dan mengeluarkan air mata (lakrimasi).
5. Lubang hidung membengkak
6. Edema kelopak mata
7. Kongesti konjungtiva

Gejala spesifik lain pada anak adalah:

1. Allergic shiner. Perasaan anak bahwa ada bayangan gelap di daerah bawah mata akibat
stasis vena sekunder. Stasis vena ini disebabkan obstruksi hidung.
2. Allergic salute. Perilaku anak yang suka menggosok-gosok hidungnya akibat rasa gatal.
3. Allergic crease. Tanda garis melintang di dorsum nasi pada 1/3 bagian bawah akibat
kebiasaan menggosok hidung.
4. Bunny rabbit sound: adalah suara yang dihasilkan karena lidah menggosok palatum
yang gatal dangerakannya seperti kelinci mengunyah.

3.6 CARA DIAGNOSIS


A. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala
rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah
keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-
satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan
keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter
sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi
lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan,
hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata
merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).
2. Pemeriksaan Fisik.
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner,
yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease
yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini
timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic
salute).
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat
atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat
adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung
tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak (5
sel/lapang pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung jenis eosinofil dalam
darah tepi dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan cara RAST
(Radioimmuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Test).
Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua macam tes kulit
yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal berupa tes kulit
gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes kulit tusuk (skin prick
test). Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran tunggal (single dilution) dan
pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration – SET). SET dilakukan untuk alergen
inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat
mengetahui alergen penyebab, juga dapat menentukan derajat alergi serta dosis
inisial untuk imunoterapi.
Selain itu, dapat pula dilakukan tes provokasi hidung dengan memberikan
alergen langsung ke mukosa hidung. Untuk alergi makanan, dapat pula dilakukan
diet eliminasi dan provokasi atau Intracutaneous Provocative Food Test (IPFT).
a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radioimunosorbent test ) sering kali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna
untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent
Test ) atau ELISA (Enzyme Linked ImmunoSorbent Assay Test ). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan
alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

b. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan
untuk elergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi
serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit
seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan
diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test ”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap
dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.
Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai
suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

Pemeriksaan IgE total serum

Kadar IgE total serum rendah pada orang normal dan meningkat pada orang atopi, tetapi
kadar IgE normal tidak menyingkirkan adanya rhinitis alergi. Pada orang normal, kadar IgE
meningkat dari lahir (o-1 KU/L) sampai pubertas dan menurun secara bertahap dan menetap
setelah usia 20-30 tahun. Pada orang dewasa kadar >100-150 KU/L dianggap normal. Kadar
meningkat hanya dijumpai pada 60% penderita rhinitis alergi dan 75% penderita asma.
Terdapat berbagai keadaan dimana kadar IgE meingkat yaitu infeksi parasit, penyakit kulit
(dermatitis kronik, penyakit pemfigoid bulosa) dan kadar menurun pada imunodefisiensi serta
multiple mielom. Kadar IgE dipengaruhi juga oleh ras dan umur, sehingga pelaporan hasil
harus melampirkan nilai batas normal sesuai golongan usia. Pemeriksaan ini masih dapat
dipakai sebagai pemeriksaan penyaring, tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan
diagnostic.

Pemeriksaan IgE spesifik serum (dengan metode RAST/ Radioallergosorbent test)


Pemeriksaan ini untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap suatu allergen.
Pemeriksaan ini cukup sensitive dan spesifik (>85%), akurat dapat diulang dan bersifat
kuantitatif. Studi penelitian membuktikan adanya korelasi yang baik antara IgE spesifik dengan
tes kulit, gejala klinik, dan tes provokasi hidung bila menggunakan allergen terstandarisasi.
Hasil baru bermakna bila ada korelasi dengan gejala klinik, seperti pada tes kulit. Cara lain
adalah modified RAST dengan sistem scoring.

Pemeriksaan lain

Pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan pertama untuk menegakkan diagnosis,


tetapi dapat dipakai sebagai pemeriksaan penunjang atau untuk mencari penyebab lain yang
mempengaruhi timbulnya gejala klinik :

1. Hitung jenis sel darah tepi


Pemeriksaan ini dipergunakan bila fasilitas lain tidak tersedia. Jumlah sel eosinofil
darah tepi kadang meningkat jumlahnya pada penderita rhinitis alergi, tetapi kurang
bermakna secara klinik
2. Pemeriksaan sitologi secret dan mukosa hidung
Bahan pemeriksaan diperoleh dari secret hidung secara langsung (usapan), kerokan,
bilasan, dan biopsy mukosa. Pengambilaan sediaan untuk pemeriksaan ini sebaiknya
dilakukan pada puncak RAFL pasca pacuan allergen atau saat bergejala berat dan
biasanya hanya untuk keperluan penelitian dan harus dikerjakan oleh tenaga terlatih
3. Tes provokasi hidung/ nasal challenge test (bila fasilitas tersedia)
Pemeriksaan ini dilakukan bila tidak terdapat kesesuaian antara hasil pemeriksaan
diagnostic primer (tes kulit) dengan gejala klinik. Secara umum tes ini lebih sulit untuk
diulang dibandingkan dengan tes kulit dan pemeriksaan IgE spesifik. Tes provokasi
menempatkan penderita pada situasi beresiko untuk terjadinya reaksi anafilaksis
4. Tes fungsi mukosilier (menilai gerakan silia)
Pemeriksaan ini untuk kepentingan penelitian
5. Pemeriksaan aliran udara hidung
Derajat obstruksi hidung diukur secara kuantitatif dengan alat rinomanometri (anterior
atau posterior) atau rinomanometri akustik misalnya pasca tes provokasi hidung.
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan.
6. Pemeriksaan radiologic
Pemeriksaan foto polos sinus paranasal, CT scan maupun MRI (bila fasilitas tersedia)
tidak dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis rhinitis alergi, tetapi untuk
menyingkirkan adanya kelainan patologik atau komplikasi rhinitis alergi terutama bila
respon pengobatan tidak memuaskan. Pada pemeriksaan foto polos dapat ditemukan
penebalan mukosa sinus (gambaran khas sinusitis akibat alergi), perselubungan
homogeny serta gambaran batas udara cairan di sinus maxilla.
7. Pemeriksaan lain yaitu : fungsi penghidu dan pengukuran kadar NO (nitric oxide)

3.7 DIAGNOSIS BANDING


Rhinitis vasomotor : suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal dan pajanan obat.

Rhinitis medikamentosa : suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal


vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor topikal dalam waktu lama dan
berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.

Rhinitis simpleks : penyakit yang diakibatkan oleh virus. Biasanya adalah rhinovirus.
Sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan atau
menurunnya daya tahan tubuh

Rhinitis hipertrofi : hipertrofi concha karena proses inflamasi kronis yang disebabkan oleh
bakteri primer atau sekunder.

Rhinitis atrofi : infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa
dan tulang chonca.

NARES (Non Allergic Rhinitis with Eosinophilic Syndrome) : NARES dapat


disingkirkan bila tes kulit menunjukan positif terhadap allergen lingkungan. Penyebab
keluhan pada NARES adalah alergi pada makanan.

3.7 TATALAKSANA

A. Non-farmakologi:
Hindari pencetus (alergen)

a. Amati benda-benda apa yang menjadi pencetus(debu, serbuk sari, bulu binatang, dll)
b. Jika perlu, pastikan dengan skin test
c. Jaga kebersihan rumah, jendela ditutup, hindari kegiatan berkebun. Jika harus
berkebun, gunakan masker wajah

B. Farmakologi :
Jika tidak bisa menghindari pencetus, gunakan obat-obat anti alergi seperti:
a. Anti histamine oral, antagonis H-1 (difenhidaramin, prometasin, loratadin, setisirin,
fexofenadin)
b. Agonis alfa adrenergic, sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
anti histamine
c. Kortikosteroid topikal, bila gejala sumbatan tidak dapat diobati dengan obat lain
(beklometason, budesonid, flunisolid, triamsinolon).
d. Sodium kromoglikat topikal, bekerja menstabilkan mastosit sehingga pelepasan
mediator kimia dihambat.
e. Antikolinergik topikal, mengatasi rhinorea karena inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor (ipratropium bromida).
f. Anti leukotrine (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan merupakan obat-
obatan baru untuk rhinitis alergi.
Jika tidak berhasil, atau obat-obatan tadi menyebabkan efek samping yang tidak bisa
diterima, lakukan imunoterapi dengan terapi desensitasi
Penatalaksanaan rhinitis alergi berdasarkan ARIA 2001

Tipe rhinitis Lini pertama Tambahan


alergi

Sedang- Antihistamin Dekongestan


Intermitten oral,antihistamin intranasal
intranasal

Sedang- Antihistamin Dekongestan


Intermitten atau oral,kortikosteroid intranasal dan sodium
berat-intermitten intranasal, kromolin
antihistamin
intranasal

Berat-Persisten Kortikosteroid Antihistamin


intranasal oral,antihistamin
intranasal,sodium
kromolin,ipratropium
bromida,antagonis
leukotriene

1. Anti Histamin Antagonis H-1


a. Farmakodinamik :
Antagonis H1 netral dan agonis inversa H1 mengurangi atau menghambat kerja
histamin secara reversibel dan kompetitif mengikat reseptor H1. Obat-obat ini hampr
tidak berefek terhadap reseptor H2 dan sedikit terhadap reseptor H3. Antagonis reseptor
H1 generasi pertama memiliki banyak efek selain blokade efek histamin. Sejumlah
besar dari efek ini mungkin terjadi karena kemiripan struktur umum dengan struktur
obat yang memiliki efek pada kolinoreseptor muskarinik, adrenoseptor α, serotonin,
dan reseptor anestetik lokal.
Mengantuk, efek umum antagonis H1 generasi pertama adalah sedasi, tetapi
intensitas efek ini bervariasi di antara subgolongan kimiawi dan juga diantara pasien.
Antagonis H1 generasi kedua sedikit atau tidak memiliki efek sedatif atau stimulan.
Obat-obat ini juga jarang menimbulkan efek autonom daripada antihistamin generasi
pertama.
Efek antimual dan antimuntah, beberapa antagonis H1 generasi pertama
memiliki aktivitas signifikan dalam mencegah mabuk perjalanan. Antagonis H1
tertentu, terutama doksilamin dahulu luas digunakan dalam mengobati mual dan
muntah kehamilan.
Efek antiparkinsonisme, sebagian dari antagonis H1 khususnya difenhidramin
memiliki efek penekan akut yang signifikan pada gejala ekstrapiramidal yang berkaitan
dengan obat antipsikotik tersebut.
Anestesia lokal, beberapa antagonis H1 generasi pertama adalah anestesi lokal
yang poten. Mereka menghambat saluran natrium di membran peka-rangsang dengan
cara serupa seperti yang dilakukan prokain dan lidokain. Difenhidramin dan prometazin
sebenarnya lebih poten daripada prokain sebagai anestetik lokal. Mereka kadang
digunakan untuk menghasilkan anestesia lokal pada pasien yang alergi terhadap obat
anestetik lokal konvensional.
Beberapa antagonis H1 misalnya setirizin, menghambat pelepasan histamin dan
mediator peradangan lain dari sel mast. Mekanismenya belum sepenuhnya diketahui
tetapi mungkin berperan dalam efek positif obat ini dalam pengobatan alergi misalnya
rhinitis alergi.
b. Farmakokinetik :
Antagonis H1 biasanya dibagi menjadi obat generasi pertama dan generasi
kedua. Keduanya ini dibedakan oleh efek sedatif yang relatif kuat pada sebagian besar
obat generasi pertama. Penghambat H1 generasi kedua kurang sedatif, sebagian karena
distribusinya yang lebih sedikit di susunan saraf pusat.
Obat-obat ini cepat diserap setelah pemberian oral, dengan konsentrasi
puncak darah terjadi dalam 1-2 jam. Mereka tersebar luas di seluruh tubuh, dan obat
generasi pertama cepat masuk ke susunan saraf pusat. Sebagian dari mereka mengalami
metabolisme ekstensif, terutama oleh sistem mikrosom di hati.
Beberapa dari obat generasi kedua dimetabolisme oleh sistem CYP3A4 dan
karenanya dapat berinteraksi dengan obat lain (misalnya ketokonazol) yang
menghambat subtipe enzim P450 ini. Sebagian besar obat memiliki masa kerja efektif
4-6 jam setelah satu dosis, tetapi meklizin dan beberapa obat generasi kedua bekerja
lebih lama, dengan masa kerja 12-24 jam.

c. Penggolongan AH1
1) AH 1 generasi 1
Contoh : Etanolamin, Etilenedamin, Piperazin, Alkilamin, Derivat fenotiazin
Keterangan AH1 generasi 1 = - sedasi ringan-berat
- antimietik dan komposisi obat flu
- antimotion sickness
2) AH 1 generasi 2
Contoh : Feksofenadin, Loratadin, Desloratadin, Setirizin
Keterangan AH1 generasi 2 = kurang menyebabkan sedasi dibandingkan AH 1 generasi
1
d. Indikasi AH1 berguna untuk penyakit :
- Mabuk perjalanan
- Alergi
- Anastesi lokal
- Untuk asma berbagai profilaksis
e. Efek samping
Vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, insomnia, tremor, mulut kering, disuria,
palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, lemah pada tangan.

f. Interaksi Obat
Aritmia ventrikel letal yang terjadi pada beberapa pasien yang mendapat obat
generasi kedua awal, terfenadin atau astemizol, dalam kombinasi dengan ketokonazol,
itrakonazol atau antibiotik makrolid seperti eritromisin. Obat-obat antimikroba ini
menghambat metabolisme banyak obat oleh CYP3A4 dan menyebabkan peningkatan
signifikan konsentrasi antihistamin dalam darah. Karena interaksi yang berbahaya
tersebut maka terfenadin dan astemizol dikontraindikasikan pemberiannya pada pasien
yang mendapat ketokonazol, itrakonazol, atau antibiotik golongan makrolid, dan juga
pada pasien dengan penyakit hati

g. Antihistamin golongan 1 lini pertama


1) Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral.
2) Lipofilik, dapat menembus sawar darah otak, mempunyai efek pada SSP dan
plasenta.
3) Kolinergik
4) Sedatif
Oral : difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin
Topikal : Azelastin

2. Dekongestan
a. Dekongestan Nasal
1) Farmakodinamik
Golongan simpatomimetik, beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung
untuk menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak, dan
memperbaiki pernafasan
2) Farmakokinetik
Penggunaan dekongestan topikal tidak menyebabkan atau sedikit sekali menyebabkan
absorpsi sistemik
3) Efek Samping
Penggunaan agen topikal yang lama (lebih dari 3-5 hari) dapat menyebabkan rhinitis
medikamentosa, di mana hidung kembali tersumbat akibat vasodilatasi perifer maka
batasi penggunaan
Contoh Obat : nafazolin, tetrahidrozolin, oksimetazolin dan xilometazolin

Obat dekongestan topical dan durasi aksinya :

Obat Durasi Aksi

Aksi Pendek Sampai 4 jam

Fenilefrin HCl

Aksi Sedang 4-6 jam

Nafazolin HCl

Tetrahidrozolin HCl
Aksi Panjang Sampai 12 jam

Oksimetazolin HCl

Xylometazolin HCl

b. Dekongestan oral
Secara umum tidak dianjurkan karena efek klinis masih diragukan dan punya banyak
efek samping

Contoh obat: Efedrin, fenilpropanolamin dan fenilefrin

Indeks terapi sempit  resiko hipertensi


1) Efedrin
a) Farmakokinetik
Alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan efedra. Efektif pada pemberian oral,
masa kerja panjang, efek sentralnya kuat. Bekerja pada reseptor alfa, beta 1 dan
beta 2.
b) Efek Samping
Efek kardiovaskular : tekanan sistolik dan diastolik meningkat, tekanan nadi
membesar. Terjadi peningkatan tekanan darah karena vasokontriksi dan stimulasi
jantung. Terjadi bronkorelaksasi yang relatif lama.
Efek sentral : insomnia, sering terjadi pada pengobatan kronik yang dapat diatasi
dengan pemberian sedatif.

c) Dosis : Dewasa : 60 mg/4-6 jam


Anak-anak 6-12 tahun : 30 mg/4-6 jam

Anak-anak 2-5 tahun : 15 mg/4-6 jam

2) Fenilpropanolamin
a) Farmakodinamik
Dekongestan nasal yang efektif pada pemberian oral. Selain menimbulkan
konstriksi pembuluh darah mukosa hidung, juga menimbulkan konstriksi
pembuluh darah lain sehingga dapat meningkatkan tekanan darah dan
menimbulkan stimulasi jantung. Efek farmakodinamiknya menyerupai
efedrin tapi kurang menimbulkan efek SSP.

b) Kontraindikasi
Harus digunakan sangat hati-hati pada pasien hipertensi dan pada pria
dengan hipertrofi prostat. Obat ini jika digunakan dalam dosis besar (>75
mg/hari) pada orang yang obesitas akan meningkatkan kejadian stroke,
sehingga hanya boleh digunakan dalam dosis maksimal 75 mg/hari sebagai
dekongestan.

c) Interaksi Obat
Kombinasi obat ini dengan penghambat MAO adalah kontra indikasi.

d) Dosis : Dewasa : 25 mg/4 jam


Anak-anak 6-12 tahun : 12,5 mg/4 jam
Anak-anak 2-5 tahun : 6,25 mg/4 jam

3) Fenilefrin
Fenilefrin adalah agonis selektif reseptor alfa 1 dan hanya sedikit
mempengaruhi reseptor beta. Hanya sedikit mempengaruhi jantung secara
langsung dan tidak merelaksasi bronkus. Menyebabkan konstriksi pembuluh
darah kulit dan daerah splanknikus sehingga menaikkan tekanan darah.

3. Intranasal corticosteroids (INCS)


INCS menjadi obat pilihan untuk anak-anak yang menderita rhinitis alergi. Dahulu di
khawatirkan INCS dapat menyebabkan efek samping sistemik seperti terganggunya
pertumbuhan dan metabolism tulang. Tapi studi menunjukkan fluticasone tidak ada
efek samping klinis yang membahayakan. Mometason juga tidak menunjukkan
mengganggu pertumbuhan anak-anak usia 3-9 tahun. Setelah penggunaan 3 bulan
flutikason pada anak-anak usia 3-11 tahun, dilakukan rhinoskopi, dan tidak
menunjukkan menipisnya jaringan hidung atau atrofi mukosa hidung
Macamnya : betametason, budesonide, flunisolide, flucticasone, mometasone dan
triamikolon
Kerjanya dengan menghambat respon alergi fase awal maupun fase lambat. Efek utama
pada mukosa hidung :
a. mengurangi inflamasi dengan memblok pelepasan mediator,
b. menekan kemotaksis neutrofil
c. mengurangi edema intrasel
d. menyebabkan vasokonstriksi ringan
e. menghambat reaksi fase lambat yang diperantarai oleh sel mast
Efek Samping : bersin, perih pada mukosa hidung, sakit kepala dan infeksi Candida
albicans

4. Sodium kromolin
Suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan
mediator, termasuk histamin. Tersedia dalam bentuk semprotan hidung untuk
mencegah dan mengobati rhinitis alergi.
Efek sampingnya : iritasi lokal (bersin dan rasa perih pada membran mukosa hidung
Dosisnya untuk pasien di atas 6 tahun adalah 1 semprotan pada setiap lubang hidung 3-
4 kali sehari pada interval yang teratur.

5. Ipratropium bromida
Merupakan agen antikolinergik berbentuk semprotan hidung, bermanfaat pada rhinitis
alergi yang persisten atau perenial. Memiliki sifat anti sekretori jika digunakan secara
lokal dan bermanfaat untuk mengurangi hidung berair yang terjadi pada rhinitis alergi.
Tersedia dalam bentuk larutan dengan kadar 0,03%, diberikan dalam 2 semprotan (42
mg) 2- 3 kali sehari.
Efek sampingnya ringan, meliputi sakit kepala, epistaxis, dan hidung terasa kering.

C. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kateurisasi memakai
AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage,Sciinneider, 2001).

Polip mukoid jinak pada hidung sering kali dihubungkan dengan alergi hidung, dapat
terjadi pada anak-anak namun lebih sering ditemukan pada orang dewasa, karena
menyumbat jalan napas, polip seringkali dirasakan sangat mengganggu. Setelah lesi
penyumbat diidentifikasi sebagai polip jinak, maka lesi tersebut dapat diangkat.

Pasien harus di peringatkan bahwa polip dapat kembali kambuh bilamana ada alergi,
sehingga polip perlu berkali-kali diangkat selama hidup. Polip umumnya berasal dari
sinus.

D. Imunoterapi (Desensitisasi)
Bersifat kausatif, imunoterapi merupakan proses yang lambat dan bertahap dengan
menginjeksikan alergen yang diketahui memicu reaksi alergi pada pasien dengan dosis
yang semakin meningkat.
Tujuannya adalah agar pasien mencapai peningkatan toleransi terhadap alergen,
sampai dia tidak lagi menunjukkan reaksi alergi jika terpapar oleh senyawa tersebut

3.8 KOMPLIKASI
Komplikasi rhinitis alergi yang sering ialah :

a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,


akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit
T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan
udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama
bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain
akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil
(MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).

1.10 PENCEGAHAN
Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
a. Pencegahan primer
Untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini terhadap alergen. Tindakan
pertama adalah mengidentifikasi bayi yang mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil
diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan laut, dan kacang) mulai trimester 3 dan selama
menyusui, dan bayi mendapat ASI eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol
lingkungan dilakukan untuk mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan.

b. Pencegahan sekunder
Untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa asma dan pilek alergi yang
sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal berupaalergi makanan dan kulit.
Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan dan
makanan yang dapat diketahui dengan uji kulit. Debu tungau adalah salah satu penyebab
terbesar alergi. Mereka adalah serangga mikroskopis yang berkembang biak dalam debu
rumah tangga.

Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membatasi jumlah tungau di
rumah:
1) Pertimbangkan membeli udara-permeabel kasur dan selimut penutup oklusif
( jenis tempat tidur bertindak sebagai penghalang terhadap tungau debu dan
kotoran mereka).
2) Pilih kayu atau penutup lantai vinyl, bukan karpet.
3) Bersihkan bantai, mainan, tirai dan furnitur berlapis secara teratur, baik dengan
menghilangkan debu.
4) Gunakan bantal sintetis dan selimut akrilik bukannya selimut wol atau selimut
bulu.
5) Gunakan vacuum cleaner dilengkapi dengan filter udara partikulat efisiensi tinggi
(HEPA) karena dapat mengeluarkan debu lebih dari penyedot debu biasa.
6) Gunakan kain bersih basah untuk menyeka permukaan karena debu kering dapat
menyebarkan alergen lanjut.
7) Menjaga pintu dan jendela tertutup selama pertengahan pagi dan sore hari, ketika
ada sebagian serbuk sari di udara
8) Mandi, mencuci rambut dan mengganti pakaian setelah berada di luar
c. Pencegahan tersier
Untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit alergi dengan
penghindaran alergen dan pengobatan.

1.11 PROGNOSIS
Secara umum, pasien dengan rhinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan
pengobatan memiliki prognnosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap serbuk
sari, maka kemungkinan rhinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis sulit
diprediksi pada anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga yang berulang.

Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk status


kekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rhinitis alergi dapat
bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan
enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena menurunnya
sistem kekebalan tubuh.
LO 4 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN MENJAGA KEBERSIHAN SALURAN
PERNAFASAN ATAS MENURUT ISLAM

1. Adab Menguap dalam Islam


Berikut ini beberapa Hadits Nabawi yang menjelaskan tentang hakikat dari
menguap dan beberapa adab yang berkaitan dengannya. Allah mencintai bersin dan
membenci menguap. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci
menguap. Karenanya apabila salah seorang dari kalian bersin lalu dia memuji Allah,
maka kewajiban atas setiap muslim yang mendengarnya untuk mentasymitnya
(mengucapkan yarhamukallah). Adapun menguap, maka dia tidaklah datang kecuali
dari setan. Karenanya hendaklah menahan menguap semampunya. Jika dia sampai
mengucapkan ‘haaah’, maka setan akan menertawainya.” (HR. Bukhari no. 6223 dan
Muslim no. 2994).

Allah membenci menguap karena menguap adalah aktivitas yang membuat


seseorang banyak makan, yang pada akhirnya membawa pada kemalasan dalam
beribadah. Menguap adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah, terlebih-lebih ketika
pada waktu shalat. Para nabi tidak pernah menguap, dikarenakan menguap adalah salah
satu aktivitas yang dibenci oleh Allah. Imam Ibnu Hajar berkata, “Imam Al-Khathabi
mengatakan bahwa makna cinta dan benci pada hadits di atas dikembalikan kepada
sebab yang termaktub dalam hadits itu. Yaitu bahwa bersin terjadi karena badan yang
kering dan pori-pori kulit terbuka, dan tidak tercapainya rasa kenyang. Ini berbeda
dengan orang yang menguap. Menguap terjadi karena badan yang kekenyangan, dan
badan terasa berat untuk beraktivitas, hal ini karena banyaknya makan. Bersin bisa
menggerakkan orang untuk bisa beribadah, sedangkan menguap menjadikan orang itu
malas (Fathul Baari, 10/607)

Menutup mulut ketika menguap. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu,
dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bila salah
seorang dari kalian menguap maka hendaklah dia menahan mulutnya dengan tangannya
karena sesungguhnya setan akan masuk.” (HR. Muslim no. 2995). Ketika seseorang
ingin menguap hendaknya ia menutup mulutnya dengan tangan kiri, karena menguap
adalah salah satu perbuatan yang buruk. Tidak ada bacaan dzikir khusus yang dibaca
ketika menguap. Syaikh Sulaiman al-Majid menegaskan,“Dan kami tidak mengetahui
adanya sunah yang mengajarkan dzikir atau doa yang dianjurkan untuk dibaca ketika
menguap. Adapun yang banyak tersebar menurut sebagian ulama dan kebanyakan
masyarakat, bahwa ketika menguap dianjurkan untuk membaca ta’awudz, berdalil
dengan firman Allah, yang artinya: ‘Apabila setan mengganggumu maka mintalah
perlindungan kepada Allah.’ Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut
bahwa menguap itu dari setan. Pendalilan semacam ini, tidak pada tempatnya. Beliau
menyebutkan alasan, “Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengabarkan
kepada kita bahwa menguap itu dari setan, beliau tidak mengajarkan kepada kita (untuk
membaca ta’awudz), selain perintah untuk menahan dan meletakkan tangan di mulut.
Sehingga, andaikan ta’awudz (ketika menguap) disyariatkan, tentu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam akan menyebutkannya.”

Mengguap di dalam Shalat. Hadits tentang menguap berasal dari setan juga
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dengan lafazh: “Menguap ketika shalat adalah dari
setan, jika salah seorang dari kalian menguap, maka tahanlah semampunya”. Al-Imam
Malik rahimahullah berkata: “Mulutnya ditutup dengan tangannya ketika shalat sampai
selesai menguap. Jika menguap ketika sedang membaca bacaan shalat, kalau dia
memahami apa yang dibaca, maka hukumnya makruh namun sudah mencukupi
baginya (bacaan dia). Tetapi jika tidak memahaminya, maka dia harus mengulangi
bacaannya, dan jika tidak mengulanginya, -kalau bacaan tersebut adalah surat Al-
Fatihah-, maka itu tidak mencukupi (tidak sah shalatnya), dan kalau selain Al-Fatihah,
maka sudah mencukupinya (shalatnya sah)”. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
menerangkan: “Pasal tentang beberapa masalah yang langka di tengah-tengah umat
namun sangat butuh untuk dijelaskan kepada mereka, adalah di antaranya: Seorang
yang menguap ketika shalat, dia harus menghentikan bacaan shalatnya sampai
menguapnya selesai, kemudian melanjutkan bacaannya. Ini adalah perkataan Mujahid,
dan ini ucapan yang bagus, ditunjukkan oleh riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudri
radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika
salah seorang di antara kalian menguap, hendaknya dia tahan mulutnya dengan
tangannya, karena setan berupaya untuk masuk.” (HR. Muslim)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan : “Dan di antara yang


diperintahkan bagi orang yang menguap adalah: jika sedang shalat, maka dia harus
menghentikan bacaannya sampai menguapnya selesai, agar bacaannya tidak berubah.
Pendapat yang seperti ini disandarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Mujahid, ‘Ikrimah,
dan para tabi’in.

2. Adab Bersin dalam Islam

Bersin adalah sesuatu yang disukai Allah Ta’ala, dan bahkan bersin itu adalah
pemberian dari Allah. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Bersin itu dari Allah dan menguap itu dari syaithon. Jika salah seorang
diantara kalian menguap, hendaknya dia menutup dengan tangannya. Jika ia
mengatakan, “aah…” berarti syaithon sedang tertawa di dalam perutnya.
Sesungguhnya Allah menyukai perbuatan bersin dan membenci menguap.”
(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 2746; al-Hakim, IV/264; Ibnu Khuzaimah, no. 921
dan Ibnu Sunni dalam kitab ‘Amalul Yaum wal Lailah, no. 2666. Hadits ini dinilai
shohih oleh al-Albani dalam Shohiih al-Jaami’, no. 4009).

Agar bersin yang kita lakukan bisa mendatang pahala di sisi Allah Ta’ala, maka
hendaklah kita memperhatikan adab-adab yang diajarkan oleh Nabi kita, Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala kita sedang bersin.
Berikut ini adalah adab-adab yang harus kita perhatikan ketika bersin.

a. Meletakkan tangan atau baju ke mulut ketika bersin. Salah satu akhlaq mulia
yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersin adalah
menutup mulut dengan tangan atau baju. Hal ini sebagaimana yang biasa dilakukan
oleh Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau bersin. Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersin, beliau meletakkan tangan atau bajunya ke mulut dan mengecilkan
suaranya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5029; at-Tirmidzi, no. 2745 dan
beliau menshohihkannya. Diriwayatkan pula oleh al-Hakim, IV/293, beliau
menshohikannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi).
b. Mengecilkan suara ketika bersin. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas. Dalam redaksi yang lainnya
disebutkan, “Apabila salah seorang dari kalian bersin hendaklah ia meletakkan
tangannya ke wajahnya dan mengecilkan suaranya.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim,
IV/264 dan beliau menshohihkannya. Disepakati pula oleh adz-Dzahabi, dan al-
Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 9353. Hadits ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam
Shohiih al-Jaami’, no. 685). Betapa banyaknya orang yang terganggu atau terkejut
dengan kerasnya suara bersin. Maka sudah selayaknya setiap muslim mengecilkan
suaranya ketika bersin sehingga tidak mengganggu atau mengejutkan orang-orang
yang ada di sekitarnya.
c. Memuji Allah Ta’ala ketika bersin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan umatnya untuk mengucapkan tahmid tatkala bersin. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian bersin,
hendaklah ia mengucapkan Alhamdulillah, jika ia mengatakannya maka hendaklah
saudaranya atau temannya membalas: yarhamukalloh (semoga Allah
merahmatimu). Dan jika temannya berkata yarhamukallah, maka ucapkanlah:
yahdikumulloh wa yushlihu baalakum (semoga Allah memberimu petunjuk dan
memperbaiki keadaanmu).” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhori, no. 6224
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
d. Mengingatkan orang yang bersin agar mengucapkan Tahmid jika ia lupa. Jika
kita mendapati orang yang bersin namun tidak memuji Allah Ta’ala, hendaklah kita
mengingatkannya. Ini termasuk bagian dari nasihat. ‘Abdullah bin al-Mubarak
melihat orang lain bersin tapi tidak mengucapkan Alhamdulillah, maka beliau
berkata kepadanya, “Apa yang seharusnya diucapkan seseorang jika ia bersin?”
Orang itu mengatakan, “Alhamdulillah.” Maka Ibnul Mubarak menjawab,
“Yarhamukalloh.”

3. Adab Istinyak dan Istinsyar dalam Islam


a. Menggunakan tangan kanan. Pada hadits Utsman bin Affan di atas, yang
menjelaskan tentang tata cara berwudhu rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
salam¸ beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana air lalu diikuti dengan
berkumur dan beristinsyaq. Dan beberapa ulama berpendapat bahwasanya istinsyaq
menggunakan tangan kanan, dan menggunakan tangan kiri ketika mengeluarkannya
(Istintsar). Mereka beralasan, dikarenakan ketika menghembuskan air keluar dari
hidung, maka yang ikut keluar bersama air adalah kotoran hidung, dan tangan kiri
digunakan untuk membersihkan kotoran yang ada pada tubuh.
b. Mendahulukan madhmadhah daripada Istinsyaq. Dalilnya adalah hadits yang
menunjukkan tata cara wudhu Utsman ketika mencontohkan cara beliau berwudhu.
Beliau menyebutkan madhmadhah sebelum menyebutkan istinsyaq. Dan sebagian
besar ulama sepakat akan urutan ini, akan tetapi mereka berselisih tentang apakah
berkumur dan istinsyaq ini menjadi satu rangkaian dalam satu cidukan air saja,
ataukah harus terpisah? Ulama Malikiyah berpendapat bahwasanya seseorang
berkumur terlebih dahulu sebanyak sekali, dua kali atau tiga kali, lalu dilanjutkan
dengan beristinsyaq. Pendapat inilah yang banyak kita jumpai pada kebanyakan
masyarakat di sekitar kita.

c. Berkumur dan beristinsyaq dengan air yang sama. Lepas dari pendapat di kalangan
Malikiyah di atas, berkata Imam Syafi’e rahimahullahu ta’ala; disunnahkan untuk
menggabungkan antara berkumur dan beristinsyaq dengan air yang sama sebanyak
tiga kali cidukan telapak tangan (kanan).

d. Bersungguh-sungguh dalam berkumur-kumur dan beristinsyaq kecuali ketika


sedang berpuasa.

2. Adab Bersendawa dalam Islam

Dalam kasus sendawa ketika shalat, ulama hanafiyah membedakan antara sendawa
yang bisa ditahan dan sendawa yang tidak bisa ditahan, dan antara sendawa yang keluar
suara dan sendawa tanpa keluar suara. Jika sendawa itu bersuara, dan bisa ditahan,
namun dikeluarkan oleh orang yang shalat, maka menurut Abu Hanifah dan
Muhammad bin Hasan as-Syaibani (murid senior Abu Hanifah).

Dalam Durar al-Hukkam Syarh Gharar al-Ahkam dinyatakan, untuk sendawa, biasanya
keluar suara (huruf), dan bisa ditahan maka membatalkan shalat menurut kedua imam
Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan. Namun jika tidak bisa ditahan, tidak
membatalkan shalat. Demikian kesimpulan dalam kitab al-Kafi. (Durar al-Hukkam,
1/448).

Sementara dalam madzhab Malikiyah, mereka menyamakan hukum sendawa dengan


berdehem. Al-Ujhuri mengatakan,”Yang jelas, sendawa dan keluar dahak, hukumnya
sama dengan berdehem.” (al-Fawakih ad-Dawani, 3/15).

Kemudian mereka menjelaskan, jika sendawa itu tidak bisa ditahan, tidak membatalkan
shalat dan tidak perlu sujud sahwi. Namun jika bisa ditahan, ada dua pendapat. Dan
pendapat yang paling kuat dalam madzhab Maliki, bahwa sendawa bisa membatalkan
shalat jika sendawa itu dilakukan karena sengaja dan main-main. (al-Fawakih ad-
Dawani ‘ala risalah al-Qoiruwani, 3/15).
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Jakarta : Badan Penerbit FKUI. (p: 278-281,513-514)
Dorland WAN. 2000. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC (p: 1050)
Ganong, WF, 2007, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 21th ed, ab. M. Djauhari
Widjajakusumah. Jakarta : EGC.
Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. (2011). Farmakologi dan Terapi. Edisi V,
Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
http://www.nytimes.com/health/guides/disease/allergic-rhinitis/prognosis.html. Diakses pada
Kamis, 13 Febuari 2018 19:30
http://www.piss-ktb.com/2012/02/770-akidah-adab-bersendawa-glegeken.html. Diakses pada
Kamis, 13 Febuari 2018 20:45

https://muslimah.or.id/217-adab-menguap-dan-bersin.html. Diakses pada Kamis, 13 Februari


2018 20:45

https://untukislam.wordpress.com/2014/03/16/istinsyaq/. Diakses pada Kamis, 13 Februari


2018 20:50

https://remajaislam.com/343-adab-ketika-bersin.html. Diakses pada Kamis, 13 Februari 2018


21:30

Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. 2008. Dalam: Buku AjarIlmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam.Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 128-134.

Kaplan AP dan Cauwenberge PV, 2003. Allergic Rhinitis In : GLORIA Global Resources
Allegy Allergic Rhinitis and Allergic Conjunctivitis, Revised Guidelines, Milwaukeem
USA.

Price,Wilson. 2006. ”Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit vol 2”. Jakarta:EGC.

Raden, Inmar. 2014. Anatomi Kedokteran Sistem Respiratorius. Jakarta : Universitas Yarsi

Sherwood L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC
Small, P. and Kim, H. 2011. Allergic rhinitis. 7 (Suppl 1), p. S3. Available from: doi:
10.1186/1710-1492-7-S1-S3.

Soepardi E., Iskandar N, 2004. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Suprihati. 2005. The Prevalence of Allergic Rhinitis and Its Relation to some Risk Factors
among 13-14 years old students in Semarang, Indonesia, In : Indonesian Journal of
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, Vol,XXXV, no 1, Jakarta; 64-70.

Syarh Shahih Al-Adab Al-Mufrad. Majalah Tashfiyah edisi 03 vol. 01 1432 H – 2011 M, hal.
50-51

Anda mungkin juga menyukai