Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan masalah yang ditemukan


pada masyarakat baik di negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia.
Hipertensi merupakan suatu keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih
dari sama dengan 140 mmHg dan diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg.
Hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu hipertensi primer atau
esensial yang penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder yang dapat
disebabkan oleh penyakit ginjal, penyakit endokrin, penyakit jantung, dan
gangguan anak ginjal. Hipertensi seringkali tidak menimbulkan gejala, sementara
tekanan darah yang terus-menerus tinggi dalam jangka waktu lama dapat
menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu, hipertensi perlu dideteksi dini yaitu
dengan pemeriksaan tekanan darah secara berkala (Sidabutar, 2009).

Data World Health Organization (WHO) tahun 2008 menunjukan,


diseluruh dunia sekitar 972 juta orang atau 26,4% penduduk diseluruh dunia
menderita hipertensi. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di
tahun 2025. Dari 972 juta penderita hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan
639 sisanya berada di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Angka
kejadian hipertensi berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen
Kesehatan tahun 2013 menunjukkan kecenderungan prevalensi hipertensi
sebanyak 9,5% hasil ini lebih tinggi dibanding tahun 2007 sebanyak 7,6%
(Riskesdas, 2013). Prevalensi hipertensi di Jawa Tengah pada tahun 2007
mencapai 2,78% dari 32.380.279 jiwa dan pada tahun 2008 mengalami
peningkatan yakni 4,28% dari 32.626.390 jiwa. Data dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Pekalongan pada tahun 2015 prevalensi hipertensi di Kabupaten
Pekalongan sebesar 8.975 jiwa. Prevalensi tertinggi di Wilayah Kerja Puskesmas
Wonopringgo sebanyak 2524 dan jumlah terbanyak di desa Jetak Kidul sebanyak
268 (Bustan, M.N, 2007).

Di Indonesia banyaknya penderita Hipertensi diperkirakan 15 juta orang


tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi 6-15% pada
orang dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita hipertensi
sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak
menghindari dan tidak mengetahui factor risikonya, dan 90% merupakan
hipertensi esensial. Saat ini penyakit degeneratif dan kardiovaskuler sudah
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diperkirakan
sekitar 80 % kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang dari
sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di
tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan
pertambahan penduduk saat ini. Angka-angka prevalensi hipertensi di Indonesia
telah banyak dikumpulkan dan menunjukkan di daerah pedesaan masih banyak
penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Baik dari segi case-
finding maupun penatalaksanaan pengobatannya jangkauan masih sangat terbatas
dan sebagian besar penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan. Prevalensi
terbanyak berkisar antara 6 sampai dengan 15% tetapi angka-angka ekstrim
rendah seperti di Ungaran, Jawa Tengah 1,8%; Lembah Balim Pegunungan Jaya
Wijaya, Irian Jaya 0,6%; dan Talang Sumatera Barat 17,8%. Nyata di sini, dua
angka yang dilaporkan oleh kelompok yang sama pada 2 daerah pedesaan di
Sumatera Barat menunjukkan angka yang tinggi. Oleh sebab itu perlu diteliti lebih
lanjut, demikian juga angka yang relatif sangat rendah.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. SISTEM SIRKULASI


Sistem sirkulasi adalah sistem yang bertindak sebagai transportasi
berbagai zat yang masuk dan keluar tubuh. Sistem sirkulasi pada manusia
berupa sistem peredaran darah dan sistem limfe. Kedua sistem ini memiliki
fungsi memindahkan gizi dari saluran pencernaan dari sel-sel tubuh untuk
proses katabolisme, sintesis, dan deposit. Darah sebagai saluran transportasi
salah satunya membawa karbon dioksida ke paru-paru untuk dikeluarkan,
asam laktat ke hati dan ginjal, air dan sebagainya. Aliran darah juga
merupakan bagian dari system control tubuh dengan membawa hormone dari
kelenjar endokrin ke sel reseptor (Sugiono, 2018).
2.1.1. Sistem Peredaran Darah
Dalam Sistem Peredaran darah manusia tersusun atas jantung
sebagai pusat peredaran darah, pembuluh-pembuluh darah dan darah
itu sendiri. Jantung mempunyai empat ruang yang terbagi sempurna
yaitu dua serambi (atrium) dan dua bilik (ventrikel) dan terletak di
dalam rongga dada sebelah kiri di atas diafragma. Jantung terbungkus
oleh kantong perikardium ang terdiri dari dua lembar. Pembuluh darah
terdiri atas arteri dan vena. Arteri berhubungan langsung dengan vena
pada bagian kapiler dan venula yang dihubungkan oleh bagian
endotheliumnya. Peredaran darah manusia merupakan peredaran darah
tertutup karena darah yang dialirkan dari dan ke seluruh tubuh melalui
pembuluh darah dandarah mengalir melewati jantung sebanyak dua
kali sehingga disebut sebagai peredaran darah ganda yangterdiri dari
peredaran darah besar dan peredaran darah kecil (Tambayong, 2016).
Mekanisme peredaran darah pada manusia ada dua macam
yaitu:
1) Sistem peredaran darah pulmonalis (peredaran darah kecil/pendek)
Sistem ini meliputi system peredaran darah dari jantung
menuju ke paru-paru dan kembali ke jantung. Mekanismenya
ventrikel berkontraksi menuju katup trikuspid tertutup ke katup
semilunar arteri paru-paru terbuka kemudian menuju darah yang
kaya akan CO2 dari ventrikel kanan dibawa oleh arteri pulmonalis
selanjutnya ke paru-paru kanan dan kiri, diparu-paru darah
mengeluarkan CO2 kemudian darah mengambil O2 di paru-paru,
darah yang kaya akan O2 dibawa vena pulmonalis menuju
keatrium kiri, ventrikel relaksasi, katup bicuspid terbuka sehingga
darah mengalir ke ventrikel kiri (Irnaningtyas, 2014).
Sistem sirkulasi paru-paru pertama kali terjadi ketika darah
kotor yang mengandung banyak karbondioksida yang berasal adari
vena cava inferior dan superior mengalir meninggalkan bilik
kanan jantung melalui arteri pulmonalis menuju paru-paru.
Kecepatan dari aliran darah di dalam arteri pulmonalis sebesar 18
cm/detik, kecepatan inilebih lambat daripada aliran darah di dalam
aorta. Di dalam paru-paru kiri dan kanan, darah mengalir ke kapiler
paru-paru dimana terjadi pertukaran zat dan cairan melalui proses
filtrasi, reabsorpsi serta difusi. Pertukaran gas oksigen dengan
karbondioksida terjadi pada kapiler paru-paru sehingga
menghasilkan darah bersih. Darah bersih ini selanjutnya keluar
paru-paru melalui vena pulmonalis baik kanan dan kiri memasuki
serambi kiri jantung (Sugiono, 2018).
Kecepatan aliran darah di dalam kapiler paru-paru sangatlah
lambat, namun kecepatan aliran darah bertambah setelah mencapai
vena pulmonalis. Seperti halnya aorta, arteri pulmonalis hingga
kapiler juga mengalami fase pulsasi atau berdenyut. Selanjutnya
darah mengalir dari atrium kiri melalui katup mitral memasuki
ventrikel kiri lalu keluar jantung melalui aorta, maka dimulailah
system sirkulasi sistematik dan seterusnya secara
berkesinambungan (Sugiono, 2018).
2) Sistem Peredaran Darah Sistemik (peredaran darah besar/panjang)
Sistem peredaran darah sistematik yaitu sistem peredaran
darah dari jantung, kemudian diedarkan keseluruh tubuh dan
kembali ke jantung (Irnaningtyas, 2014). System sirkulasi
sistematik terjadi kareba darah bersih yang mengandung oksigen
dipompa dari jantung ke pembuluh darah aorta melalui arter-arteri
hingga mencapai pembuluh darah yang memiliki diameter paling
kecil yang disebut juga kapiler. Kapiler melakukan gerakan
vasomotion atau gerakan kontraksi dan relaksasi secara bergantian
sehingga darah di dalamnya mengalir secara terputus-putus
(intermittent). Gerakan vasomotion terjadi secara periodic dengan
interval 15 detik sampai 3 menit sekali. Darah mengalir sangat
lambat di dalam kapiler dengan kecepatan rata-rata 0,7 mm/detik.
Dengan aliran yang lambat ini memungkinkan terjadinya
pertukaran zat melalui dinding kapiler. Pertukaran zat ini terjadi
melalui proses difusi, pinositosis dan transport vesikuler, serta
filtrasi re-absorpsi (Sugiono, 2018).
Terdapat dua macam jenis kapiler, yaitu artiole dan venule.
Artiole merupakan ujung kapiler yang membawa darah bersih
sedangkan, venule merupakan ujung kapiler yang membawa darah
kotor. Terdapat hubungan antara artireole dengan venule melalui
“capillary bed” yang berbentuk seperti anyaman, ada juga
hubungan langsung dari artireole ke venule melalui Arteri-Vena
Anastomose atau disebut sebagai A-V Anastomosis. Darah dari
artireole mengalir kedalam venule kemudian melalui pembuluh
darah balik kembali ke jantung melalui serambi kanan. Darah dari
serambi kanan ini lalu memasuki ventrikel kanan melalui katup
tricuspid (Sugiono, 2018).
2.1.2. Sistem Limfa
Sistem limfatik terpisah dari pembuluh darah namun
merupakan aksesori pada system aliran darah. Salah satu tugasnya
adalah mengumpulkan cairan getah bening (interstisial) dan
extracelluar yang berlebihan dari jaringan tubuh dan membawanya
sebagai system darah. Akhir dari kapiler limfatik ada di sebagian
besar ruang jaringan, dekat dengan kapiler darah. Kapiler limfatik
berdinding tipis dan bersifat permeable sehingga partikel besar dan
molekul protein dapat melewatinya. Oleh karena itu, cairan dalam
system limfatik benar-benar merupakan aliran dari ruang jaringan.
Kapiler limfatik memiliki katup fluks satu arah untuk mengarahkan
aliran ke saluran lebih besar, yang disebut limfatik (Sugiono, 2018).
Aliran getah dalam system salurannya bergantung pada
tekanan cairan interstisial: semakin tinggi tekanannya, semakin besar
aliran getah bening. Factor lain yang memengaruhi aliran getah bening
adalah pompa limfatik: kelebihan getah bening yang membentang di
pembuluh getah bening yang kemudian otomatis berkontraksi.
Kontraksi ini mendorong kelenjar getah bening melewati katup satu
arah. Kontraksi terjadi secara berkala, satu kali setiap 6-10 detik.
Gerak jaringan di sekitar pembuluh getah bening, seperti contoh
kontraksi otot rangka yang mengelilingi pembuluh darah dapat pula
memompa getah bening. Mekanisme getah bening ini menghasilkan
vakum parsial di jaringan sehingga bisa mengumpulkan cairan yang
berlebih. Aliran limfa sangatlah bervariasi rata-rata 1-2 mL/menit,
cukup untuk mengalirkan kelebihan cairan dan protein (Sugiono,
2018).
Organ-organ limfatik terdiri dari:
1) Organ Limfatik Primer terdiri dari:
a. Sumsum tulang, menghasilkan limfosit. Apabila limfosit
menetap di sumsum tulang, maka limfosit berkembang
menjadi limfosit B.
b. Timus, tempat pematangan limfosit dari sumsum tulang.
Limfosit akan berkembang menjadi limfosit T.
2) Organ Limfatik Sekunder terdiri dari:
a. Nodus Limfa, titik di sepanjang pembuluh limfa yang
mengandung limfosit dan makrofag, fungsinya sebagai
penghancur benda asing.
b. Limpa/spleen, fungsinya membuang antigen dalam darah dan
menghancurkan eritrosit yang sudah tua.
c. Tonsil, fungsinya memerangi infeksi pada saluran pernapasan
atas dan faring.

2.2. SISTEM KARDIOVASKULAR


Sistem kardiovaskuler adalah kumpulan organ yang bekerja sama
untuk melakukan fungsi transportasi dalam tubuh manusia. Sistem ini
bertanggung jawab untuk mentransportasikan darah, yang mengandung
nutrisi, bahan sisa metabolisme, hormone, zat kekebalan tubuh, dan zat lain
ke seluruh tubuh. Sehingga, tiap bagian tubuh akan mendapatkan nutrisi dan
dapat membuang sisa metabolismenya ke dalam darah. Dengan tersampainya
hormone ke seluruh bagian tubuh, kecepatan metabolisme juga akan dapat
diatur. Sistem ini juga menjamin pasokan zat kekebalan tubuh yang
berlimpah pada bagian tubuh yang terluka, baik karena kecelakaan atau
operasi, dengan bertujuan mencegah infeksi di daerah tersebut. Dengan
demikian, dapat dilihat bahwa sistem kardiovaskuler memiliki fungsi utama
untuk mentransportasikan darah dan zat-zat yang dikandungnya ke seluruh
bagian tubuh.
Sistem kardiovaskuler terdiri atas organ jantung dan pembuluh
darah. Fungsi sistem ini dapat dianalogikan dengan sistem pengairan di
rumah tangga, dimana organ jantung berperan sebagai pompa dan pembuluh
darah berperan sebagai salurannya atau pipanya. Sistem ini bertanggung
jawab untuk mentransportasikan darah dan zat yang dikandungnya ke seluruh
bagian tubuh manusia.
Untuk menjaga agar darah tetap mencapai seluruh bagian tubuh
secara terus-menerus maka jantung sebagai pompa harus berdenyut secara
terus menerus pula. Denyutan jantung diatur oleh sistem saraf otonom (SSO)
yang berada di luar kesadaran atau kendali kita sehingga kita tidak dapat
mengatur denyutan jantung seperti kehendak kita. Sistem kardiovaskuler
merupakan sistem tertutup artinya darah yang ditransportasikan akan berada
di dalam jantung dan pembuluh darah, tidak dialirkan ke luar pembuluh
darah. Berdasarkan arah aliran darah maka pembuluh darah dapat
dikelompokkan menjadi dua. Pertama adalah pembuluh darah yang
meninggalkan jantung (arteri) dan pembuluh darah yang menuju jantung
(vena). Berdasarkan ukuran penampangnya (diameter) maka pembuluh darah
(arteri dan vena) dapat dikelompokkan menjadi pembuluh darah besar,
sedang, dan kecil. Contoh pembuluh arteri besar adalah aorta, a. iliaca
commonis; pembuluh arteri sedang adalah a. tibialis, a. radialis; sedangkan
contoh vena besar adalah v. cafa superior dan inferior. Diantara pembuluh
darah arteri kecil (arteriole) dan vena kecil (venule) akan terdapat saluran
kecil yang disebut pembuluh kapiler. Pembuluh kapiler ini menghubungkan
bagian pembuluh darah arteri dan vena. Pembuluh kapiler ini memiliki
struktur histologis tertentu.
Anatomi Sistem Kardiovaskuler
Jantung
Jantung terletak di rongga dada (thorax), dan cenderung terletak di sisi
kiri. Pada kelainan dekstrokardia jantung justru terletak di sisi sebelah kanan.
Jantung dikelilingi oleh pembuluh darah besar dan organ paru, dan timus di
bagian depannya.
Jantung terdiri dari empat ruang jantung yang dipisahkan oleh sekat-
sekat jantung. Empat ruang jantung tersebut adalah :
1. Atrium kanan
2. Atrium kiri
3. Ventrikel kanan
4. Ventrikel kiri
Ruang jantung ini terbentuk karena adanya sekat interventrikuler dan
sekat atrioventrikuler. Pada sekat atrioventrikuler terdapat dua buah katup
jantung, yaitu katup trikuspidalis dan katup bicuspidalis. Disebut trikuspidalis
karena terdiri dari tiga lempengan katup, dan disebut bicuspidalis karena
terdiri dari dua buah lempengan katup.
Atrium kanan dan kiri memiliki ukuran yang sama, demikian juga
ventrikel kanan dan kiri. Atrium dibatasi oleh otot jantung dan sekat yang
tipis, sedangkan bagian ventrikel dibatasi oleh otot jantung dan sekat
interventrikuler yang tebal.
Empat ruang jantung ini dilapisi oleh lapisan endotel, endocardium,
myocardium, dan dua lapisan pericardium (bagian dalam = bagian visceral
dan bagian luar = bagian parietal). Katup jantung sesungguhnya merupakan
perluasan cincin fibrosa atrioventrikuler, yang terdiri dari jaringan ikat fibrosa
yang dilapisi endotel pada kedua sisi.
Darah mengalir di dalam jantung ke satu arah, dari sisi kanan ke sisi
kiri. Hal ini dimungkinkan karena adanya katup-katup jantung yang akan
mencegah aliran darah balik. Katup-katup ini hanya mengijinkan darah
mengalir dari atrium kanan ke ventrikel kanan; dan dari atrium kiri ke
ventrikel kiri.
Darah di dalam jantung mengalir dalam satu arah. Dari atrium kanan
darah akan mengalir ke ventrikel kanan, darah ini mengandung oksigen yang
rendah, dan banyak mengandung CO2. Kemudian darah dialirkan ke paru
melalui arteri pulmonalis, untuk mendapatkan Oksigen (oksigenasi). Dari
paru-paru darah kembali ke atrium kiri jantung melalui vena pulmonalis,
darah ini kaya akan oksigen karena telah mengalami oksigenasi di paru. Dari
atrium kiri dialirkan ke ventrikel kiri, selanjutnya ke seluruh tubuh melalui
aorta.
Fungsi Sistem Kardiovaskuler
Jantung Sebagai Pompa
Denyut Jantung
Jantung memiliki system yang memungkinkan mereka untuk
berdenyut sendiri. System ini disebut sistem penghantar yang terdiri dari
simpul sinoatrial (SA node), lintasan antar simpul di atrium, simpul
atrioventrikuler (AV node) dan berkas His (bundle of His) dan cabangnya
serta serabut Purkinje. Nodus SA letaknya pada muara dari vena cava inferior
dan nodus AV letaknya pada bagian posterior kanan septum antar atrium.
Serabut antar simpul atrium terdiri dari tiga berkas, yaitu bagian anterior
(berkas Bachman), bagian medial (Wenckebach), dan bagian posterior
(Thorel). Secara histologis sistem penghantar ini merupakan modifikasi otot
jantung, dimana serat lintangnya lebih sedikit dan batas selnya tidak tegas.
Simpul SA dna AV mengandung sel bulat kecil dengan sedikit organela di
dalamnya. Pada keadaan normal, SA node merupakan pencetus denyut
jantung. Kecepatan cetusan listriknya menentukan frekuensi jantung. Impuls
tersebut kemudian berjalan melalui lintasan antar simpul atrium menuju
simpul AV, kemudian dari simpul ini menuju ke berkas His. Akhirnya akan
mencapai otot jantung melalui cabang berkas His dan serabut Purkinje.
Depolarisasi dimulai dari nodus SA dan disebarkan secara radial ke
seluruh atrium yang kemudian seluruh impuls tersebut bertemu dengan nodus
AV. Depolarisasi atrium keseluruhan berlangsung selama 0,1 detik. Hantaran
yang terjadi pada nodus AV lebih lambat, sehingga terjadi perlambatan
selama 0,1 detik sebelum impuls menyebar ke ventrikel. Kemudian
depolarisasi menyebar dengan cepat dalam serabut purkinje ke seluruh
ventrikel dalam waktu 0,08 – 0,1 detik. Pada manusia, depolarisasi otot
ventrikel dimulai di pada sisi kiri septum interventrikuler dan bergerak
pertama-tama ke kanan menyebrangi bagian tengah septum. Setelah itu
menyebar ke bagian bawah septum menuju puncak jantung. Kemudian
menyebar di sepanjang dinding ventrikel kembali ke daerah AV, berjalan
terus dari bagian dalam jantung (endokardium) ke bagian luar (epikardium).
Bagian terakhir jantung yang mengalami depolarisasi adalah bagian
posterobasal ventrikel kiri. Pada jantung orang normal, tiap denyut berasal
dari simpul SA sehingga irama jantungnya disebut sebagai irama sinus. Pada
keadaan istirahat, jantung berdenyut kira-kira 70 kali per menit. Frekuensi
akan lebih lambat pada waktu tidur (bradikardia) dan bertambah cepat
(takikardia) selama olah raga, emosi, demam, dan sebab lainnya.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Pengertian Hipertensi


Hipertensi (HTN) atau tekanan darah tinggi, kadang-kadang
disebut juga dengan hipertensi arteri adalah kondisi
medis kronis dengan tekanan darah di arteri meningkat. Peningkatan ini
menyebabkan jantung harus bekerja lebih keras dari biasanya untuk
mengedarkan darah melalui pembuluh darah. Tekanan darah melibatkan dua
pengukuran, sistolik dan diastolik, tergantung apakah otot jantung
berkontraksi (sistole) atau berelaksasi di antara denyut (diastole). Tekanan
darah normal pada saat istirahat adalah dalam kisaran sistolik (bacaan atas)
100–140 mmHg dan diastolik (bacaan bawah) 60–90 mmHg. Tekanan darah
tinggi terjadi bila terus-menerus berada pada 140/90 mmHg atau lebih
(Riyanto, 2009).
Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk stroke, infark
miokard (serangan jantung), gagal jantung, aneurisma arteri
(misalnya aneurisma aorta), penyakit arteri perifer, dan penyebab penyakit
ginjal kronik. Bahkan peningkatan sedang tekanan darah arteri terkait
dengan harapan hidup yang lebih pendek. Perubahan pola makan dan gaya
hidup dapat memperbaiki kontrol tekanan darah dan mengurangi resiko
terkait komplikasi kesehatan. Meskipun demikian, obat seringkali
diperlukan pada sebagian orang bila perubahan gaya hidup saja terbukti
tidak efektif atau tidak cukup ( Carretero OA, Oparil S, 2000).
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan
tekanan darah secara abnormal dan terus menerus pada beberapa kali
pemeriksaan tekanan darah yang disebabkan satu atau beberapa faktor
resiko yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam mempertahankan
tekanan darah secara normal. Hipertensi seringkali disebut sebagai
pembunuh gelap (sillent killer) karena termasuk penyakit yang mematikan,
tanda disertai gejala-gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan bagi
korbannya (Wijaya, 2013).
Sedangkan menurut tekanan darah yang terus meningkat
mengakibatkan beban kerja jantung yang berlebihan sehingga memicu
kerusakan pada pembuluh darah, gagal ginjal, jantung, kebutaan dan
gangguan fungsi kognitif pada lansia. Perubahan dalam kehidupan pada
penderita hipertensi, merupakan salah satu pemicu terjadinya stress
(Wahdah, 2011).
Seseorang dikatakan terkena hipertensi mempunyai tekanan dara
sistolik ≥140mmHg dan tekanan darah diastoltik ≥90mmHg. Seseorang
dikatakan terkena hipertensi tidak hanya dengan 1 kali pengukuran, tetapi 2
kali atau lebih pada waktu yang berbeda. Waktu yang paling baik saat
melakukan tekanan darah adalah saat istirahat dan dalam keadaan duduk
atau berbaring (Wirawan, 2012).
3.2. Patofisiologi Hipertensi
Patofisiologi terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme
(ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan
darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati.
Selanjutnya oleh hormone renin akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh
ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin
II. Renin disintesis dan disimpan dalam bentuk inaktif yang disebut prorenin
dalam sel-sel jukstaglomerular (sel JG) pada ginjal. Sel JG merupakan
modifikasi dari sel-sel otot polos yang terletak pada dinding arteriol aferen
tepat di proksimal glomeruli. Bila tekanan arteri menurun, reaksi intrinsik
dalam ginjal itu sendiri menyebabkan banyak molekul protein dalam sel JG
terurai dan melepaskan renin (Sylvestris, 2014).
Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat dan
memiliki efek-efek lain yang juga mempengaruhi sirkulasi. Selama
angiotensin II ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua
pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh pertama,
yaitu vasokonstriksi, timbul dengan cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama
pada arteriol dan sedikit lemah pada vena. Cara kedua dimana angiotensin II
meningkatkan tekanan arteri adalah dengan bekerja pada ginjal untuk
menurunkan ekskresi garam dan air (Sylvestris, 2014).
Vasopresin, disebut juga antidiuretic hormone (ADH), bahkan
lebih kuat daripada angiotensin sebagai vasokonstriktor, jadi kemungkinan
merupakan bahan vasokonstriktor yang paling kuat dari ubuh. Bahan ini
dibentuk di hipotalamus tetapi diangkut menuruni pusat akson saraf ke
glandula hipofise posterior, dimana akhirnya disekresi ke dalam darah
(Sylvestris, 2014).
Aldosteron, yang disekresikan oleh sel-sel zona glomerulosa pada
korteks adrenal, adalah suatu regulator penting bagi reabsorpsi natrium
(Na+) dan sekresi kalium (K+) oleh tubulus ginjal. Tempat kerja utama
aldosteron adalah pada sel-sel prinsipal di tubulus koligentes kortikalis.
Mekanisme dimana aldosteron meningkatkan reabsorbsi natrium sementara
pada saat yang sama meningkatkan sekresi kalium adalah dengan
merangsang pompa natriumkalium ATPase pada sisi basolateral dari
membrane tubulus koligentes kortikalis. Aldosteron juga meningkatkan
permeabilitas natrium pada sisi luminal membran. Sampai sekarang
pengetahuan tentang patogenesis hipertensi primer terus berkembang karena
belum didapat jawaban yang memuaskan yang dapat menerangkan
terjadinya peninkatan tekanan darah. Tekanan darah dipengaruhi oleh curah
jantung dan tahanan perifer (Sylvestris, 2014).
3.3. Kompilasi Hipertensi
Menurut komplikasi hipertensi dapat terjadi pada organ-organ sebgai
berikut (Wijaya, 2013) :
a. Jantung
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung dan
penyakit jantung koroner. Pada penderita hipertensi, beban kerja
jantung akan meningkat, otot jantung akan mengendor dan berkurang
elastisitasnya, yang disebut dekompensasi.
b. Otak
Komplikasi hipertensi pada otak, menimbulkan resiko stroke apabila
tidak diobati resiko terkena stroke tujuh kali lebih besar.
c. Ginjal
Tekanan darah tinggi juga menyebabkan kerusakkan ginjal, tekanan
darah tinggi dapat menyebabkan kerusakkan system penyaringan di
dalam ginjal akibatnya lambat laun ginjal tidak mampu membuang zat-
zat yang tidak dibutuhkan tubuh yang masuk melalui aliran darah dan
terjadi penumpukan di dalam tubuh.
d. Mata
Pada mata hipertensi dapat mengakibatkan terjadinya retinopati
hipertensi dan dapat menimbulkan kebutaan.

3.4. Macam-Macam Hipertensi


Hipertensi dapat dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu :
Hipertensi primer atau essensial dan hipertensi sekunder.

a. Hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak atau belum diketahui


penyebabnya. Hipertensi primer menyebabkan perubahan pada jantung
dan pembuluh darah. Hipertensi primer (esensial) adalah jenis
hipertensi yang paling umum, meliputi sebanyak 90–95% dari seluruh
kasus hipertensi. Dalam hampir semua masyarakat kontemporer,
tekanan darah meningkat seiring penuaan dan risiko untuk menjadi
hipertensi di kemudian hari cukup tinggi. Hipertensi diakibatkan oleh
interaksi gen yang kompleks dan faktor lingkungan. Berbagai gen yang
sering ditemukan sedikit berpengaruh pada tekanan darah, sudah
diidentifikasi, demikian juga beberapa gen yang jarang yang
berpengaruh besar pada tekanan darah tetapi dasar genetik dari
hipertensi masih belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa faktor
lingkungan mempengaruhi tekanan darah. Faktor gaya hidup yang
menurunkan tekanan darah di antaranya mengurangi
asupan garam dalam makanan, meningkatkan konsumsi buah-buahan
dan produk rendah lemak (Pendekatan Diet untuk Menghentikan
Hipertensi (diet DASH)). Olah Raga, penurunan berat badan dan
menurunkan asupan alkohol juga membantu menurunkan tekanan
darah. Kemungkinan peranan faktor lain seperti stres, konsumsi kafein,
dan defisiensi Vitamin D kurang begitu jelas. Resistensi insulin, yang
umum ditemukan pada obesitas dan merupakan komponen
dari sindrom X (atau sindrom metabolik), juga diduga ikut berperan
dalam mengakibatkan hipertensi. Studi terbaru juga memasukkan
kejadian-kejadian pada awal kehidupan (contohnya, berat lahir rendah,
ibu merokok, dan kurangnya air susu ibu) sebagai faktor risiko bagi
hipertensi esensial dewasa. Namun, mekanisme yang menghubungkan
paparan ini dengan hipertensi dewasa tetap tidak jelas (Palmer, 2007).
Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa
kelainan dasar patologis yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan
hipertensi essensial. Penyebab hipertensi meliputi faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium,
kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap
vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang
termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress
emosi, obesitas dan lain-lain (Nafrialdi, 2009).
Pada sebagian besar pasien, kenaikan berat badan yang
berlebihan dan gaya hidup tampaknya memiliki peran yang utama
dalam menyebabkan hipertensi. Kebanyakan pasien hipertensi
memiliki berat badan yang berlebih dan penelitian pada berbagai
populasi menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang berlebih
(obesitas) memberikan risiko 65-70 % untuk terkena hipertensi primer
(Guyton, 2008).
b. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan atau sebagai
akibat dari adanya penyakit lain dan biasanya penyebabnya sudah
diketahui, seperti penyakit ginjal dan kelainan hormonal atau
pemakaian obat tertentu. Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan
hipertensi sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu
yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus,
disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit
renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat
tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan
hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan
darah (Carretero O Dan Oparil S, 2000). Hipertensi yang penyebabnya
dapat diketahui, sering berhubungan dengan beberapa penyakit
misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes dan kelainan sistem saraf
pusat (Sunardi, 2000).
Hipertensi sekunder terjadi akibat suatu penyebab yang
diketahui. Penyakit ginjal adalah penyebab sekunder tersering dari
hipertensi. Hipertensi juga bisa disebabkan oleh kondisi endokrin,
seperti sindrom Cushing hipertiroidisme, hipotiroidisme, akromgali,
sindrom Conn atau hiperaldosteronisme, hiperparatiroidisme, dan
feokromositoma. Penyebab lain dari hipertensi sekunder di
antaranya obesitas, henti nafas saat tidur, kehamilan, koarktasio aorta,
konsumsi akar manis (licorice) yang berlebihan, serta obat resep, obat
herbal, dan obat-obat terlarang. Adapun lagi penyebab dari hipertensi
sekunder yaitu ( Sunaryo, 2014) :
a. Stenosis arteri renalis
Stenosis arteri renalis ini memerangi aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus (LFG), menstimulasi pelepasan rennin dan
produksi angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan hipertensi
melalui fase konstriksi dan stimulasi pelepasan aldosteron dan
retensi natrium. Jika kedua ginjal terkena, hipervolemia dan
hipertensi akhirnya mengembalikan perfusi ginjal dan kadar rennin
sedikit turun. Jika salah satu ginjal normal, hipertensi akan
meningkatkan LFG. Hal ini memacu eksresi natrium oleh ginjal
yang sehat, namun perfusi pada ginjal yang mengalami stenosis
tetap kurang dan terus menghasilkan kadar rennin yang sangat
tinggi.
b. Hiperaldosteronisme primer
Hiperaldosteronisme primer mencakup satu sampai dua persen dari
semua kasus hipertensi. Kelebihan aldosteron meningkatkan
retensi natrium dan sekresi kalium oleh ginjal. Hipervolemia yang
terjadi menyebabkan hipertensi. Produksi rennin disupresi karna
tekanan perfusi ginjal dan penyampaian nantrium klorida ke
macula densal meningkat.
c. Penyakit ginjal interinsik
Setiap penyakit ginjal dapat menyebabkan hipertensi. Gangguan
ginjal berat mengurangi eksresi natrium serta menyebaban
hipervolemia dan hipertensi, yang bersifat ‘sensitif terhadap
garam’ karna hipertensi meningkat seiring dengan asupan garam.
Pada gangguan ginjal ringan hipoperfusi ginjal yang dipersepsi
memacu sekresi rennin dan vasokontriksi yang di mediasi oleh
angiotensin II. Hipertensi ini tidak sensitive terhadap garam dan
disebut resisten garam.

3.5. Gejala Hipertensi


Pada sebagian besar penderita hipertensi tidak menimbulkan
gejala. Meskipun demikian secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi
bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan hipertensi (padahal
sebenarnya tidak). Gejala yang di maksud adalah sakit kepala,pendarahan
dari hidung,pusing,wajah kemerahan dan kelelahan (Potter, P A & Perry,
A G, 2005).
Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati bisa
timbul gejala berikut:
- Sakit kepala
- Kelelahan
- Mual
- Muntah
- Sesak nafas
- Gelisah
- Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada
otak,mata,jantung dan ginjal (Riyanto, 2009).
3.6. Penyebab atau Faktor Hipertensi
Tekanan darah tinggi adalah salah satu faktor resiko untuk stroke,
serangan jantung, gagal jantung dan aneurisma arterial, dan merupakan
penyebab utama gagal jantung kronis (Bustan, M.N, 2007). Selain faktor
genetika, usia, dan jenis kelamin, ada beberapa faktor penyebab lain,
antara lain:
a. Stres atau perasaan tertekan.
b. Kegemukan (Obesitas).
c. Kebiasaan merokok.
d. Kurang berolahraga.
e. Kelainan kadar lemak dalam darah (Dislipidemia).
f. Konsumsi yang berlebihan atas garam, alkohol, dan makanan yang
berlemak tinggi.
g. Kurang mengonsumsi makanan yang berserat dan diet yang tidak
seimbang (Nugroho, 2008).

3.7. Klasifikasi Hipertensi


Klasifikasi tekanan darah menurut WHO (WHO,
2011):
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normotensi <140 <90
Hipertensi ringan 140-180 90-105
Hipertensi perbatasan 140-160 90-95
Hipertensi sedang dan berat >180 >105
Hipertensi sistolik terisolasi >140 <90
Hipertensisistolik perbatasan 140-160 <90

a. Dewasa
Pada orang berusia 18 tahun ke atas, hipertensi didefinisikan
sebagai pengukuran tekanan darah sistolik dan/atau diastolik yang
terus-menerus melebihi nilai normal yang dapat diterima (saat ini
sistolik 139 mmHg, diastolik 89 mmHg: lihat tabel — Klasifikasi
(JNC7)). Bila pengukuran diperoleh dari pemantauan ambulatori 24
jam atau pemantauan di rumah, digunakan batasan yang lebih rendah
(sistolik 135 mmHg atau diastolik 85 mmHg). Beberapa pedoman
internasional terbaru tentang hipertensi juga telah membuat kategori di
bawah kisaran hipertensi untuk menunjukkan risiko yang
berkelanjutan pada tekanan darah yang lebih tinggi dari kisaran
normal. JNC7 (2003) menggunakan istilah pra-hipertensi untuk
tekanan darah dalam kisaran sistolik 120–139 mmHg dan/atau
diastolik 80–89 mmHg, sedangkan Pedoman ESH-ESC (2007) dan
BHS IV (2004) menggunakan kategori optimal, normal, dan normal
tinggi untuk membagi tekanan sistolik di bawah 140 mmHg dan
diastolik di bawah 90 mmHg. Hipertensi juga digolongkan lagi
sebagai berikut: JNC7 membedakan hipertensi derajat I, hipertensi
derajat II, dan hipertensi sistolik terisolasi. Hipertensi sistolik
terisolasi mengacu pada peningkatan tekanan sistolik dengan tekanan
diastolik normal dan umumnya terjadi pada kelompok usia lanjut.
Pedoman ESH-ESC (2007) dan BHS IV (2004), mendefinisikan
hipertensi derajat ketiga (derajat III) untuk orang dengan tekanan
darah sistolik di atas 179 mmHg atau tekanan diastolik di atas
109 mmHg. Hipertensi tergolong “resisten” bila [[Obat farmasi|obat-
obatan] tidak mengurangi tekanan darah menjadi normal
(Papadopoulus DP, Mouruozis L, Thomopuolos C, Makris T,
Papadmetriou, 2010).
b. Neonatus dan bayi
Hipertensi pada neonatus jarang terjadi, dan hanya terjadi pada
sekitar 0,2 sampai 3% neonatus. Tekanan darah tidak diukur secara
rutin pada bayi baru lahir yang sehat.[6] Hipertensi lebih umum terjadi
pada bayi baru lahir berisiko tinggi. Berbagai faktor, seperti usia
gestasi, usia pascakonsepsi, dan berat badan lahir perlu
dipertimbangkan ketika memutuskan apakah tekanan darah termasuk
normal pada neonatus (National Clinical Guideline Centre, 2011).
c. Anak dan remaja
Hipertensi cukup umum terjadi pada anak dan remaja (2–9%
bergantung pada usia, jenis kelamin, dan etnisitas)( Williams B,
Poulter NR, Brown MJ; et al, 2004) dan dikaitkan dengan risiko
jangka panjang mengalami kesehatan yang buruk (Mancia G, De
Backer G, Dominiczak A; et al, 2007). Rekomendasi saat ini adalah
agar anak di atas usia tiga tahun diperiksa tekanan darahnya kapanpun
mereka melakukan kunjungan atau pemeriksaan rutin. Tekanan darah
tinggi baru dipastikan setelah kunjungan berulang sebelum
menyatakan seorang anak mengalami hipertensi (Dionne JM, Abitbol
CL, Flynn JT, 2012). Tekanan darah meningkat seiring usia pada
masa kanak-kanak, dan pada anak, hipertensi didefinisikan sebagai
rerata tekanan darah sistolik dan diastolik yang pada tiga atau lebih
waktu yang berbeda, sama dengan atau lebih tinggi dari persentil ke-
95 yang sesuai untuk jenis kelamin, usia, dan tinggi badan anak. Pra-
hipertensi pada anak didefinisikan sebagai rerata tekanan darah
sistolik dan diastolik yang lebih besar atau sama dengan persentil ke-
90, tapi lebih kecil dari persentil ke-95 (Din-Dzietham R, Liu Y, Bielo
MV, Shamsa F, 2007). Pada remaja, diusulkan bahwa hipertensi dan
pra-hipertensi didiagnosis dan digolongkan dengan menggunakan
kriteria dewasa.

4. Diagnosis Hipertensi

Pemeriksaan yang dilakukan pada hipertensi

Sistem Pemeriksaan

Renal Urinalisis mikroskopik, proteinuria, darah BUN (ureum)


dan/atau kreatinin

Endokrin Darah natrium, kalium, kalsium, TSH (thyroid-stimulating hormone).

Metabolik Glukosa darah puasa, kolesterol total,


kolesterol HDL dan LDL, trigliserida
Lain-lain Hematokrit, elektrokardiogram, dan foto Röntgen dada

Sources: ( Anthony Fauci et al, 2008)

Diagnosis hipertensi ditegakkan saat pasien menderita tekanan


darah tinggi secara persisten. Biasanya, untuk menegakkan diagnosis
diperlukan tiga kali pengukuran sfigmomanometer yang berbeda dengan
interval satu bulan. Pemeriksaan awal pasien dengan hipertensi
mencakup anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap. Dengan tersedianya
pemantauan tekanan darah ambulatori 24 jam dan alat pengukur tekanan
darah di rumah, demi menghindari kekeliruan diagnosis pada pasien
dengan hipertensi white coat (jenis hipertensi yang disebabkan oleh stres
saat bertemu dokter atau berada dalam suasana medis) telah dihasilkan
suatu perubahan protokol. Di Inggris, praktik terbaik yang dianjurkan saat
ini adalah dengan melakukan follow-up satu kali hasil pengukuran tekanan
darah yang tinggi di klinik dengan pengukuran ambulatori. Follow-up juga
dapat dilakukan, walaupun kurang ideal, dengan memonitor tekanan darah
di rumah selama kurun waktu tujuh hari (Luma GB, Spiotta RT, 2006)
Sekali diagnosis telah ditegakkan, dokter berusaha
mengindentifikasi penyebabnya berdasarkan faktor risiko dan gejala
lainnya, bila ada. Hipertensi sekunder lebih sering ditemukan pada anak
usia prapubertas dan sebagian besar kasus disebabkan oleh penyakit ginjal.
Hipertensi primer atau esensial lebih umum pada orang dewasa dan
memiliki berbagai faktor risiko, di antaranya obesitas dan riwayat
hipertensi dalam keluarga. Pemeriksaan laboratorium juga dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab hipertensi
sekunder, dan untuk menentukan apakah hipertensi menyebabkan
kerusakan pada jantung, mata, dan ginjal. Pemeriksaan tambahan
untuk diabetes dan kadar kolesterol tinggi dilakukan karena kondisi ini
merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung dan mungkin
memerlukan penanganan (Sheps, 2005).

Kadar kreatinin darah diukur untuk menilai adanya gangguan


ginjal, yang mungkin merupakan penyebab atau akibat dari hipertensi.
Kadar kreatinin darah saja dapat memberikan dugaan yang terlalu tinggi
untuk laju filtrasi glomerulus. Panduan terkini menganjurkan penggunaan
rumus prediktif seperti formula Modification of Diet in Renal
Disease (MDRD) untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (eGFR).
eGFR juga dapat memberikan nilai awal/dasar fungsi ginjal yang dapat
digunakan untuk memonitor efek samping obat antihipertensi tertentu pada
fungsi ginjal. Pemeriksaan protein pada sampel urin digunakan juga
sebagai indikator sekunder penyakit ginjal.
Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG/ECG) dilakukan untuk memeriksa
tanda-tanda adanya beban yang berlebihan pada jantung akibat tekanan
darah tinggi (Williams B, Poulter NR, Brown MJ; et al, 2004).
Pemeriksaan ini juga dapat menunjukkan adanya penebalan
dinding jantung (hipertrofi ventrikel kiri) atau tanda bahwa jantung pernah
mengalami gangguan ringan seperti serangan jantung tanpa gejala (silent
heart attack). Pemeriksaan foto Röntgen dada atau ekokardiogram juga
dapat dilakukan untuk melihat tanda pembesaran atau kerusakan pada
jantung (Riyanto, 2009).

5. Pencegahan Hipertensi
Cukup banyak orang yang mengalami hipertensi tetapi tidak
menyadarinya. Diperlukan tindakan yang mencakup seluruh populasi
untuk mengurangi akibat tekanan darah tinggi dan meminimalkan
kebutuhan terapi dengan obat antihipertensi. Dianjurkan perubahan gaya
hidup untuk menurunkan tekanan darah, sebelum memulai terapi obat.
Pedoman mengajukan perubahan gaya hidup yang konsisten untuk
pencegahan utama bagi hipertensi sebagai berikut (Puspitorini, 2008):

1. Menjaga berat badan normal (misalnya, indeks massa tubuh 20–


25 kg/m2).

2. Mengurangi asupan diet yang mengandung natrium sampai


<100 mmol/ hari (<6 g natrium klorida atau <2,4 g natrium per hari).
Banyak yang tidak menyadari bahwa makanan ringan dan juga mie
instan banyak mengandung garam, demikian juga vetsin yang sebenarnya
adalah monosodium glutamate, karena sodium sebenarnya adalah nama
lain dari natrium.

3. Melakukan aktivitas fisik aerobik secara teratur, misalnya jalan cepat


(≥30 menit per hari, pada hampir setiap hari dalam seminggu).

4. Batasi konsumsi alkohol tidak lebih dari 3 unit/hari pada laki-laki dan
tidak lebih dari 2 unit/hari pada perempuan.

5. Mengonsumsi makanan yang kaya buah dan sayuran (misalnya,


sedikitnya lima porsi per hari).

6. Lakukan pengecekan tekanan darah secara rutin.

6.Pengobatan Hipertensi
Olah raga lebih banyak dihubungkan dengan pengobatan
hipertensi, karena olah raga isotonik (spt bersepeda, jogging, aerobic) yang
teratur dapat memperlancar peredaran darah sehingga dapat menurunkan
tekanan darah. Olah raga juga dapat digunakan untuk mengurangi/
mencegah obesitas dan mengurangi asupan garam ke dalam tubuh (tubuh
yang berkeringat akan mengeluarkan garam lewat kulit) (Palmer, A and
Williams, B, 2007).
Pengobatan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi 2 jenis
yaitu:
1. Pengobatan non obat (non farmakologis)
2. Pengobatan dengan obat-obatan (farmakologis)

a. Pengobatan non obat (non farmakologis)


Pengobatan non farmakologis kadang-kadang dapat
mengontrol tekanan darah sehingga pengobatan farmakologis menjadi
tidak diperlukan atau sekurang-kurangnya ditunda. Sedangkan pada
keadaan dimana obat anti hipertensi diperlukan, pengobatan non
farmakologis dapat dipakai sebagai pelengkap untuk mendapatkan
efek pengobatan yang lebih baik (Notoatmodjo, S, 2010).
Pengobatan non farmakologis diantaranya adalah (Notoatmodjo, S,
2010) :
1. Diet rendah garam/kolesterol/lemak jenuh
2. Mengurangi asupan garam ke dalam tubuh.
Nasehat pengurangan garam, harus memperhatikan
kebiasaan makan penderita. Pengurangan asupan garam secara
drastis akan sulit dilaksanakan. Cara pengobatan ini hendaknya
tidak dipakai sebagai pengobatan tunggal, tetapi lebih baik
digunakan sebagai pelengkap pada pengobatan farmakologis.
3. Ciptakan keadaan rileks Berbagai cara relaksasi seperti meditasi,
yoga atau
hipnosis dapat mengontrol sistem saraf yang akhirnya dapat
menurunkan tekanan darah.
4. Melakukan olah raga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama
30-45 menit
sebanyak 3-4 kali seminggu.
5. Berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alcohol
6. Perbanyak maknan yg mengandung kalsium,kalium dan
magnesium
7. Perbanyak makanan yg mengandung serat
8. Menjaga berat badan
9. Hindari kebiasaan minum kopi berlebihan

b. Pengobatan dengan obat-obatan (farmakologis)


Untuk pemilihan obat yang tepat diharapkan menghubungi dokter.
-. Diuretik
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan cara
mengeluarkan cairan tubuh (lewat kencing) sehingga volume
cairan ditubuh berkurang yang mengakibatkan daya pompa jantung
menjadi lebih ringan (Rusdi & Isnawati, 2009)
Contoh obatannya adalah Hidroklorotiazid.
- Penghambat Simpatetik
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktivitas
saraf simpatis (saraf yang bekerja pada saat kita beraktivitas )
(Rusdi & Isnawati, 2009)
Contoh obatnya adalah : Metildopa, Klonidin dan Reserpin.
- Betabloker
Mekanisme kerja anti-hipertensi obat ini adalah melalui
penurunan daya pompa jantung. Jenis betabloker tidak dianjurkan
pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan
pernapasan seperti asma bronchial (Rusdi & Isnawati, 2009).
Contoh obatnya adalah : Metoprolol, Propranolol dan Atenolol.
Pada penderita diabetes melitus harus hati-hati, karena dapat
menutupi gejala hipoglikemia (kondisi dimana kadar gula dalam
darah turun menjadi sangat rendah yang bisa berakibat bahaya bagi
penderitanya). Pada orang tua terdapat gejala bronkospasme
(penyempitan saluran pernapasan) sehingga pemberian obat harus
hati-hati (Sani, 2008).
- Vasodilator
Obat golongan ini bekerja langsung pada pembuluh darah
dengan relaksasi otot polos (otot pembuluh darah). Yang termasuk
dalam golongan ini adalah : Prasosin, Hidralasin. Efek samping
yang kemungkinan akan terjadi dari pemberian obat ini adalah :
sakit kepala dan pusing (Potter, R.A. Perry A.G., 2005).

- Penghambat ensim konversi Angiotensin


Cara kerja obat golongan ini adalah menghambat
pembentukan zat Angiotensin II (zat yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah).
Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah Kaptopril. Efek
samping yang mungkin timbul adalah : batuk kering, pusing, sakit
kepala dan lemas (Syamsudin, 2011).
- Antagonis kalsium
Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan
cara menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas). Yang
termasuk golongan obat ini adalah : Nifedipin, Diltiasem dan
Verapamil. Efek samping yang mungkin timbul adalah : sembelit,
pusing, sakit kepala dan muntah (Syamsudin, 2011).
- Penghambat Reseptor Angiotensin II
Cara kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan
zat Angiotensin II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya
daya pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan
ini adalah Valsartan (Diovan). Efek samping yang mungkin timbul
adalah : sakit kepala, pusing, lemas dan mual. Dengan pengobatan
dan kontrol yang teratur, serta menghindari faktor resiko terjadinya
hipertensi, maka angka kematian akibat penyakit ini bisa ditekan
(Udjianti, 2011).

DAFTAR PUSTAKA
Carretero OA, Oparil S (2000). "Essential hypertension. Part I: Definition and
etiology". Circulation. 101 (3): 329–35

Papadopoulos DP, Mourouzis I, Thomopoulos C, Makris T, Papademetriou V


(2010). "Hypertension crisis". Blood Press. 19 (6): 328–36.

National Clinical Guideline Centre (August 2011). "7 Diagnosis of Hypertension,


7.5

Williams B, Poulter NR, Brown MJ; et al. (2004). "Guidelines for management
of hypertension: report of the fourth working party of the British Hypertension
Society, 2004-BHS IV". J Hum Hypertens. 18 (3): 139–85

Mancia G, De Backer G, Dominiczak A; et al. (2007). "2007 ESH-ESC Practice


Guidelines for the Management of Arterial Hypertension: ESH-ESC Task Force
on the Management of Arterial Hypertension". J. Hypertens. 25 (9): 1751–62.

Dionne JM, Abitbol CL, Flynn JT (2012). "Hypertension in infancy: diagnosis,


management and outcome". Pediatr. Nephrol. 27 (1): 17–32.

Din-Dzietham R, Liu Y, Bielo MV, Shamsa F (2007). "High blood pressure trends
in children and adolescents in national surveys, 1963 to
2002". Circulation. 116 (13)

Luma GB, Spiotta RT (2006). "Hypertension in children and adolescents". Am


Fam Physician. 73 (9): 1558–68

Mansjoer Arif,Triyanti Kuspuji,Savitri Rakmi,Wardani Wahyu


Ika,Setiowulan.2011. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edissi III. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Media Aesculapius
Bustan, M.N. 2007. Hipertensi dan Faktor Resiko dalam Kajian Epidemiologi.
Makassar :FKM Unhas
Dedy. 2010. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta : Rineka Cipta
Price, S.A., dan Wilson, L. M., 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Prosesproses
Penyakit, Edisi 6, Vol. 2. , Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC

Sheps, S. G. 2005. Mayo clinic hipertensi; mengatasi tekanan darah tinggi.


Jakarta:Intisari Mediatama.

Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC

Sylvestris, Alfa. 2014. Hypertension And Retinopathy Hypertension. Journal


Kedokteran. Vol 10. No 1

Sunardi, Tuti. 2000. Hidangan Sehat untuk Penderita Hipertensi. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama. Depkes RI. 2006. Pedoman Penyelenggaraan dan
Prosedur Rekam Medis Rumah Sakit di Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

Nafrialdi. 2007.Antihipertensi. Farmakologi dan terapi (Edisi Kelima). Jakarta:


Gaya baru

Wijaya, A S & Putri, Y M. 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah.


Yogyakarta : Nuha Medika
Wirawan. 2012. Menghadapi Stres dan Depresi. Seni Menikmati Hidup Agar
Selalu Bahagia. Jakarta : Platinum.
Palmer, A and Williams, B. 2007. Simple Guides : Tekanan Darah Tinggi.
Jakarta: Erlangga
Sunaryo. 2014. Psikologi untuk keperawatan. Jakarta : EGC.

Potter, P A & Perry, A G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep.


Proses dan Praktik. vol.1 E/4. Jakarta : EGC.

Riyanto, A. 2009. Pengolahan dan Analisis Kesehatan. Yogyakarta : Nuha


Medika.

Nugroho, W. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta : EGC

World Health Organization. World report on disability 2011. Switzerland: World


Health Organization. 2011
Anthony Fauci, Eugene Braunwald, Dennis Kasper, Stephen Hauser, Dan Longo,
J. Jameson, Joseph Loscalzo. 2008. Harrison's Principles of Internal Medicine,
17th Edition, 17th edn., : Mcgraw-hill

Puspitorini, dr. Myra. (2008). Hipertensi cara mudah mengatasi darah tinggi.
Yogyakarta : Image press

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Rusdi & Isnawati. (2009). Awas anda bisa mati cepat akibat hipertensi & diabetes.
Yogjakarta : Power Books (Ihdina)

Sani. (2008). Klasifikasi penderita hipertensi. Jakarta : Hal. 26-28

Potter, R.A. Perry A.G. (2005). Fundamental of nursing. St. Luois: Mosby

Syamsudin. (2011). Buku ajar farmakoterapi kardiovaskuler dan renal. Jakarta :


Salemba Medika

Udjianti, Wajan Juni. (2011). Keperawatan kardiovaskuler. Jakarta : Salemba


Medika

Anda mungkin juga menyukai