Anda di halaman 1dari 2

Ateisme teoretis

Ateisme teoretis secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan tuhan, dan
secara aktif merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan tuhan, seperti misalnya
argumen dari rancangan dan taruhan Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan teoretis untuk
menolak keberadaan tuhan, utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan epistemologis. Selain
itu terdapat pula alasan psikologis dan sosiologis.

Argumen epistemologis dan ontologis

Ateisme epistemologis berargumen bahwa orang tidak dapat mengetahui Tuhan ataupun
menentukan keberadaan Tuhan. Dasar epistemologis ateisme adalah agnostisisme. Dalam
filosofi imanensi, ketuhanan tidak dapat dipisahkan dari dunia itu sendiri, termasuk pula pikiran
seseorang, dan kesadaran tiap-tiap orang terkunci pada subjek. Menurut bentuk agnostisisme ini,
keterbatasan pada perspektif ini menghalangi kesimpulan objektif apapun mengenai kepercayaan
pada tuhan dan keberadaannya. Agnostisisme rasionalistik Kant dan Pencerahan hanya
menerima ilmu yang dideduksi dari rasionalitas manusia. Bentuk ateisme ini memiliki posisi
bahwa tuhan tidak dapat dilihat sebagai suatu materi secara prinsipnya, sehingga tidak dapat
diketahui apakah ia ada atau tidak. Skeptisisme, yang didasarkan pada pemikiran Hume,
menegaskan bahwa kepastian akan segala sesuatunya adalah tidak mungkin, sehingga seseorang
tidak akan pernah mengetahui keberadaan tentang Tuhan. Alokasi agnostisisme terhadap ateisme
adalah dipertentangkan; ia juga dapat dianggap sebagai pandangan dunia dasar yang independen.
Argumen lainnya yang mendukung ateisme yang dapat diklasifikasikan sebagai epistemologis
ataupun ontologis meliputi positivisme logis dan ignostisisme, yang menegaskan
ketidakberartian ataupun ketidakterpahaman istilah-istilah dasar seperti "Tuhan" dan pernyataan
seperti "Tuhan adalah mahakuasa." Nonkognitivisme teologis memiliki posisi bahwa pernyataan
"Tuhan ada" bukanlah suatu dalil, namun adalah omong kosong ataupun secara kognitif tidak
berarti.

Argumen psikologis, sosiologis, dan ekonomi

Para filsuf seperti Ludwig Feuerbach[42] dan Sigmund Freud berargumen bahwa Tuhan
dan kepercayaan keagamaan lainnya hanyalah ciptaan manusia, yang diciptakan untuk
memenuhi keinginan dan kebutuhan psikologis dan emosi manusia. Hal ini juga merupakan
pandangan banyak Buddhis.[43] Karl Marx dan Friedrich Engels, dipengaruhi oleh karya
Feuerbach, berargumen bahwa kepercayaan pada Tuhan dan agama adalah fungsi sosial, yang
digunakan oleh penguasa untuk menekan kelas pekerja. Menurut Mikhail Bakunin, "pemikiran
akan Tuhan mengimplikasikan turunnya derajat akal manusia dan keadilan; ia merupakan negasi
kebebasan manusia yang paling tegas, dan seperlunya akan berakhir pada perbudakan umat
manusia, dalam teori dan praktiknya." Ia membalikkan aforisme Voltaire yang terkenal yang
berbunyi jika "Tuhan tidak ada, maka adalah perlu untuk menciptakanNya", dengan menulis:
"Jika Tuhan benar-benar ada, maka adalah perlu untuk menghapusnya.
Argumen logis dan berdasarkan bukti

Ateisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti tuhan personal
dalam kekristenan, dianggap secara logis tidak konsisten. Para ateis ini memberikan argumen
deduktif yang menentang keberadaan Tuhan, yang menegaskan ketidakcocokan antara sifat-sifat
tertentu Tuhan, misalnya kesempurnaan, status pencipta, kekekalan, kemahakuasaan,
kemahatahuan, kemahabelaskasihan, transendensi, kemahaadilan, dan kemahapengampunan
Tuhan.

Ateis teodisi percaya bahwa dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat-sifat yang
terdapat pada Tuhan dan dewa-dewi sebagaimana yang diberikan oleh para teolog. Mereka
berargumen bahwa kemahatahuan, kemahakuasaan, dan kemahabelaskasihan Tuhan tidaklah
cocok dengan dunia yang penuh dengan kejahatan dan penderitaan, dan belas kasih tuhan/dewa
adalah tidak dapat dilihat oleh banyak orang. Argumen yang sama juga diberikan oleh
Siddhartha Gautama, pendiri Agama Buddha.

Argumen antroposentris
Ateisme aksiologis atau konstruktif menolak keberadaan tuhan, dan sebaliknya menerima
keberadaan "kemutlakan yang lebih tinggi" seperti kemanusiaan. Ateisme dalam bentuk ini
menganggap kemanusiaan sebagai sumber mutlak etika dan nilai-nilai, dan mengizinkan
individu untuk menyelesaikan permasalahan moral tanpa bergantung pada Tuhan. Marx,
Nietzsche, Freud, dan Sartre semuanya menggunakan argumen ini untuk menyebarkan pesar-
pesan kebebasan, Übermensch, dan kebahagiaan tanpa kekangan.

Anda mungkin juga menyukai