Anda di halaman 1dari 14

KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DALAM MENANGANI

PERKARA SENGKETA HIBAH MASYARAKAT MUSLIM


DI INDONESIA

Dwi Utomo
Email : utomodwi91@gmail.com
(Mahasiswa S2 Program MKN FH UNS)

Burhanudin Harahap
Email : burhanudin60@gmail.com
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta)

Absctract
The purpose of this article is to find and analyze authority district court and
religious courts in mengani matter dispute grant communities muslims in
indonesia.Research methodology used to achieve research objectives this law uses
the approach juridical normative.Technique analysis the data used in this
research was used a qualitative approach through the method of analysis
descriptive. The research results declaring the district court which still receive
and prosecute the cases of a grant from the muslim community because district
court judge opinion that the muslim community that registers a suit to the district
court means voluntarily subject to the provisions of the common law not islamic
law ..Based on the provisions of article 49 and 50 paragraph 2 the act number 3
year 2006 about religious court , the district court has no authority in
adjudicating backlog grants to the muslim community in Indonesia.
Keywords: authority district court, grants, muslim community
Abstrak
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis
kewenangan pengadilan negeri dan pengadilan agama dalam mengani perkara
sengketa hibah masayarakat muslim di Indonesia. Metode penelitian yang
digunakan untuk mencapai tujuan penelitian hukum ini menggunakan metode
pendekatan yuridis normatif. Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis
deskriptif. Hasil Penelitian menyatakan Pengadilan Negeri yang masih menerima
dan mengadili perkara hibah dari masyarakat muslim karena hakim Pengadilan
Negeri beranggapan bahwa masyarakat muslim yang mendaftarkan gugatan ke
Pengadilan Negeri berarti secara suka rela tunduk pada ketentuan hukum umum
bukan hukum Islam. Berdasarkan ketentuan Pasal 49 dan 50 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Pengadilan negeri tidak
mempunyai kewenangan dalam mengadili perkara hibah bagi masyarakat muslim
di Indonesia.
Kata kunci : kewenangan pengadilan negeri, perkara hibah, masyarakat muslim

1
A. Pendahuluan
Manusia dalam berinteraksi satu sama lain seringkali tidak dapat
menghindari adanya bentrokan-bentrokan kepentingan di antara mereka.
Konflik yang terjadi dapat menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai
pelanggaran hak dan kewajiban dari pihak satu terhadap pihak lain. Masalah
tanah merupakan masalah yang sangat kompleks, antara lain yaitu masalah
pemberian hak tanah seperti masalah warisan dan hibah. Salah satu
pemberian tanah yaitu dengan melalui hibah. Penerapan hibah dalam
kehidupan sehari-hari sudah diterapkan dan dilaksanakan pada masyarakat
khususnya hibah tanah. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf (g)
dikatakan hibah adalah pemberian sesuatu benda secara sukarela tanpa
imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Selanjutnya menurut pasal 210 Kompilasi Hukum Islam pada ayat (1)
menyatakan bahwa orang yang telah berumur sekurang-kurang 21 tahun,
berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-
banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga dihadapan dua
orang saksi untuk dimiliki. Selanjutnya pada ayat (2) menyatakan harta benda
yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah, dengan demikian
apabila seseorang yang menghibahkan harta yang bukan merupakan haknya,
maka hibahnya menjadi batal. (Azni Umar, 2015 : 101)
Keragaman budaya dan adat-istiadat melahirkan keragaman dalam
bidang hukum tidak terkecuali hukum waris, keragaman hukum waris
berakibat pada adanya beberapa lembaga peradilan yang memiliki
kewenangan menyelesaikan sengketa waris. Lembaga peradilan dimaksud
adalah Peradilan Umum dan Peradilan Agama yang masing-masing peradilan
memiliki kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Pengadilan
Negeri sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada dalam
lingkup badan peradilan umum mempunyai kewenangan untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata di tingkat pertama
(Ilham Thohari, 2015:173). Umat Islam sebagai mayoritas penduduk
Indonesia mendapat perhatian khusus oleh negara. Hal ini tercermin dari

2
adanya lembaga khusus yang menangani sengketa diantara umat Islam
yaitu Peradilan Agama. Hal ini tidak terlepas dari perubahan UUD 1945
yang membawa perubahan mendasar mengenai penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, membuat perlunya dilakukan perubahan secara
komprehensif mengenai undang-undang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman. (M Jihadul Hayat, Refky Filenanda, 2015 : 126)
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 dan
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Mardani, 2009 : 65).
Undang-Undang Peradilan Agama menganut asas personalitas keislaman
secara terbatas. Asas personalitas keislaman mengajarkan bahwa terhadap
setiap muslim dan/atau badan hukum dalam syariah Islam berlaku dan tunduk
pada hukum syariah islam tanpa ada kecualinya. Pasal 28 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa
susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diatur
dalam Undang-Undang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ini, maka pelimpahan kekuasaan kepada
Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan
Tata Usaha Negara, sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, masing-masing
diatur dalam undang-undang. Hal ini berarti bahwa apabila suatu perkara
telah dilimpahkan kepada pengadilan dalam satu lingkungan peradilan
tertentu, maka menjadi kompetensi absolut pengadilan-pengadilan dalam
lingkungan peradilan tersebut. Dengan demikian pengadilan dalam
lingkungan peradilan lain tidak berwenang dan memeriksa dan mengadilinya
(H.A Mukti Arto, 2015 : 138).
Salah satu contoh keputusan Pengadilan Negeri dalam menangani
perkara hibah bagi masyarakat muslim di Indonesia adalah adanya Putusan
Pengadilan Negeri Sukoharjo Nomor 72/Pdt.G/2014/PN Skh dan putusan

3
Pengadilan Negeri Klaten Nomor 78/pdt.G/2013/PN.Klt hakim Pengadilan
Negeri Sukoharjo dalam menangani perkara hibah tersebut menerima
,memeriksa dan memutus perkara sementara Pengadilan Negeri Klaten dalam
putusannya yang kasusnya hampir sama dengan perkara hibah yang ditangani
Hakim Pengadilan Sukoharjo dalam Putusan Pengadilan Negeri Klaten
Nomor 78/Pdt.G/2013/PN.Klt tersebut menyatakan Pengadilan Negeri
Klaten tidak berwenang mengadili perkara hibah antara para pihak yang
beragama Islam karena mereka menganggap bahwa perkara tersebut bukan
menjadi kewenangan mereka tetapi menjadi kewenangan absolut Pengadilan
Agama.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis ingin mengkaji
mengenai permasalahan berjudul kewenangan Pengadilan Negeri dalam
menangani perkara sengketa hibah masyarakat muslim di Indonesia.

B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis normatif untuk meneliti, menelusuri dan mengkaji
permasalahan berdasarkan literatur-literatur terkait dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Penelitian hukum normatif merupakan suatu proses
untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian
hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru
sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter
Mahmud Marzuki, 2008 : 35). Dalam penelitian ini penulis menggunakan
bahan hukum primer, yaitu :
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
c. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
d. Undang-Undang Peradilan Agama
e. Kompilasi Hukum Islam
f. Putusan Pengadilan Negeri

4
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer (Peter Mahmud Marzuki, 2008 :
16). Bahan hukum sekunder meliputi buku-buku teks yang ditulis para ahli
hukum, jurnal hukum,skripsi maupun tesis, artikel internet, dan sumber
lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.
Bahan hukum tersier, adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan
hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus,
ensilokpedia, majalah, surat kabar, dan sebagainya (Amirudin dan Zainal
Asikin, 2004 : 176). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis
deskriptif. Pendekatan kualitatif dengan metode analisis deskriptif dapat
diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan, melukiskan keadaan subyek, obyek penelitian saat
sekarang berdasarkan fakta – fakta yang tampak sebagaimana adanya
(Bambang Sunggono, 1997 : 134). Hasil dari gambaran pemecahan
permasalahan yang ada pada hasil akhirnya akan ditarik suatu kesimpulan
tertentu. Kesimpulan diambil dengan menggunakan analisa induktif, yang
berangkat dari kasus – kasus yang bersifat khusus berdasarkan pengalaman
nyata di lapangan untuk kemudian ditarik ke pengertian yang umum.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Lembaga Peradilan dalam suatu Negara merupakan hal yang sangat
strategis dan menentukan karena lembaga inilah yang bertindak untuk
menyelesaikan segala sengketa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
dan menghukum orang-orang yang melanggar hukum sesuai dengan
hukum yang telah ditentukan. Dengan adanya lembaga peradilan ini
diharapkan masyarakat tidak melakukan perbuatan yang merugikan pihak
lain dengan cara main hakim sendiri, tetapi hendaknya segala persoalan
hukum yang timbul akibat pergaulan masyarakat itu diselesaikan melalui
lembaga peradilan itu berada. Suatu negara yang tidak mementingkan
lembaga peradilan berada, atau mengecilkan peranannya, maka Negara
tersebut akan mengalami kesulitan dalam menjalankan roda

5
pemerintahannya. Melalui lembaga peradilanlah hukum ditegakkan tanpa
pandang bulu dan tidak membeda-bedakan orang. Di mana pun di dunia
ini, lembaga peradilan dalam suatu Negara diharapkan dapat menegakkan
supremasi hukum, sebab dengan tegakknya hukum dalam suatu Negara,
maka keadilan akan terwujud. Apabila hal yang terakhir ini dapat
dilaksanakan dengan baik, maka lembaga peradilan itu pasti akan
mempunyai wibawa dan disegani oleh masyarakat (Abdul Manan, 2010 :
1).
Tugas pokok daripada pengadilan, yang menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman, adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Telah
diketengahkan di muka, bahwa Pengadilan Negeri merupakan pengadilan
sehari-hari biasa untuk segala penduduk, yang mempunyai wewenang
memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara
perdata dan pidana yang dulu diperiksa dan diputus oleh pengadilan-
pengadilan yang dihapuskan (pasal 5 ayat 3a UU Dar.1/1951) (Sudikno
Mertokusumo, 2006 : 81).
Kekuasaan Pengadilan Negeri dalam perkara perdata meliputi semua
sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya atau hak –
hak keperdataan lainnya (pasal 2 ayat 1 RO), kecuali apabila dalam
undang-undang ditetapkan pengadilan lain untuk memeriksa dan
memutuskan (TLN 81), misalnya perkara perceraian bagi mereka yang
beragama Islam menjadi wewenang Pengadilan Agama (pasal 14
PP.9/1975 jo. UU 1.1974 tentang perkawinan), tentang perselisihan
perburuhan oleh P4D atau P4P (UU 22/1957) (Sudikno Mertokusumo,
2006 : 82).
Wewenang Pengadilan Negeri tersebut di atas disebut wewenang
mutlak atau kompetensi absolut, yaitu wewenang badan pengadilan dalam
memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa
oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama
(Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan

6
peradilan lain (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama). Wewenang mutlak
ini menjawab pertanyaan: apakah pengadilan tertentu itu, katakanlah
Pengadilan Negeri, pada umumnya berwenang memeriksa jenis perkara
tertentu yang diajukan, dan bukan pengadilan lain yang berwenang,
misalnya Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Agama. Biasanya kompetensi
absolut ini tergantung pada isi gugatan, yaitu nilai daripada gugatan.
Wewenang mutlak ini disebut juga atribusi kekuasaan kehakiman
(Sudikno Mertokusumo, 2006 : 84).
Kekuasaan absolut artinya kekuasaan Pengadilan yang berhubungan
dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan,
dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau
tingkatan Pengadilan lainnya (Roihan A Rasyid, 2003 : 27). Kompetensi
absolut Pengadilan Negeri merupakan penentu apakah Pengadilan Negeri
pemeriksa perkara berwenang memeriksa dan mengadilinya. Dalam hal ini
hakim harus bersikap aktif. Semua Pengadilan hanya boleh memeriksa dan
mengadili perkara yang masuk menjadi kompetensinya dan tidak boleh
memeriksa dan mengadili perkara di luar kompetensinya. Oleh karena itu,
kompetensi absolut ini harus dipastikan terlebih dahulu sebelum
melangkah ke pemeriksaan berikutnya. Dengan perumusan pokok
sengketa akan diketahui apakah Pengadilan Negeri berwenang secara
absolut memeriksa dan mengadilinya.
Bangsa Indonesia sendiri mengalami kemajuan intelektual dalam
bidang hukum utamanya setelah pemerintah Hindia Belanda memberi
kesempatan kepada orang-orang pribumi untuk mengikuti kuliah di
Universitas Leiden Belanda. Pendidikan hukum yang diperoleh di Leiden
telah membuka cakrawala pengetahuan hukum untuk kemudian pada tahun
1890-an menemukan momentumnya untuk membentuk hukum nasional
Indonesia (Sutandyo Wignjosoebroto, 1994 : 11).
Sebagaimana diketahui bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
multikultural dan majemuk yang terdiri dari berbagai macam suku, ras dan
agama. Terkait agama, Islam adalah agama yang paling banyak dianut oleh

7
bangsa Indonesia. Sebagai agama seperti agama-agama lain Islam
mengajarkan aturan-aturan hukum yang harus ditaati oleh pemeluknya,
oleh karena itu, hukum Islam menempati posisi sentral dan menjadi inti
serta jantung dari ajaran Islam itu sendiri. Karena itu wajar jika Islam
seringkali disebut sebagai agama hukum (a religion of law) (Abdul Ghofur
Anshari, 2010 : 8).
Pada kenyataannya sisa-sisa peninggalan Belanda di bidang Peradilan
Agama masih ada di zaman awal kemerdekaan, khususnya yang terkait
dengan diperlukannya fiat eksekusi (executor verklaring) dari Ketua
Pengadilan Negeri terhadap putusan yang dikeluarkan oleh para hakim
Pengadilan Agama sehingga dapat dinilai bahwa kedudukan Peradilan
Agama pada waktu itu adalah subordinatif terhadap Peradilan Umum atau
Peradilan Negeri, sehingga keberadaannya tidak memiliki kemandirian
dalam hal melaksanakan fungsi dan peran yang dimilikinya. Sementara itu,
Peradilan di luar daerah Jawa, Madura, dan sebagian Kalimantan Selatan
masih berjalan seperti biasa sampai dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
(PP) Tahun 1957 setelah Indonesia merdeka yaitu Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 45 Tahun 1957. Pada Peraturan Pemerintah tersebut mengatur
kewenangan Peradilan Agama secara legislatif meliputi hukum
perkawinan kewarisan, hadlanah, waqaf, hibah, dan sedekah baitulmal
(Bustanul Arifin, 1996 : 51).
Peraturan Pemerintah tersebut memberi pengertian bahwa
kewenangan perkara waris dimiliki oleh Pengadilan Agama di luar Jawa-
Madura. Namun hal tersebut telah menimbulkan persoalan sehubungan
dengan masalah wewenang untuk mengadili, karena sengketa mengenai
harta waris adalah juga wewenang Pengadilan Negeri untuk mengadilinya.
Oleh karena itu dalam masalah kewarisan, Pengadilan Agama pada waktu
itu hanya bisa memberi fatwa saja, yang disebut dengan fatwa waris
(Wantjik Saleh, 1977 : 71).
Perkara waris tersebut telah mendapat perhatian setelah diberlakukan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam

8
Undang-Undang tersebut Peradilan Agama berwenang menangani
sengketa perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah.
Namun demikian penyelesaian sengketa waris bagi umat Islam masih
diberlakukan proses pemilihan hukum (hak opsi), yaitu hak untuk memilih
sistem hukum yang dikehendaki para pihak yang berperkara sebagai acuan
hukum yang akan diterapkan dalam penyelesaian suatu perkara. Dalam hal
ini penyelesaian perkara waris dapat dipilih untuk diselesaikan di
Pengadilan Umum atau di Pengadilan Agama (Abdullah Tri Wahyudi,
2004 : 73). Dahulu dalam Undang-Undang Nomer 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama masih terdapat dua kelemahan, yaitu:
a. Adanya klausul dalam perkara-perkara waris, wasiat, dan hibah dengan
syarat “apabila dilakukan berdasarkan hukum Islam” sebagaimana
dimuat dalam Pasal 49 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989.
b. Adanya pilihan hukum dalam pembagian warisan meskipun pewarisnya
beragama Islam sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Umum angka 2
alinea keenam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
Karena menimbulkan ketidakpastian dan multitafsir akhirnya
kelemahan ini telah diperbaiki oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dengan dihapuskannya dua klausul tersebut.
Dalam ilmu hukum umum, berlaku sebuah kaidah yang dikenal dalam
bahasa latin yaitu lex superiori derogate legi inferiori (Sudikno
Mertokusumo, 1991 : 74). Dalam bahasa Indonesia, maksudnya adalah
hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah. Konteks
‘tinggi’ dan ‘rendah’ di sini adalah secara hierarkial tergantung bentuk
peraturan hukumnya. Dalam hukum Indonesia, hierarki kekuatan hukum
peraturan perundang-undangan dapat dilihat di Pasal 7, UU No. 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hakim
Pengadilan Negeri bisa saja mengadili perkara hibah di antara masayarakat
muslim dengan mendasarkan asas ini karaena UUD 1945 lebih tinggi

9
tingkatannya daripada Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga
negara memiliki hak yang sama dan setara di depan hukum. Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 ini biasanya dijadikan dasar oleh hakim Pengadilan
Negeri untuk menerima dan mengadili perkara sengketa waris masyarakat
muslim di Indonesia terlepas dari agama mereka. Di sini, yang dijadikan
pertimbangan hakim Pengadilan Negeri adalah identitas mereka sebagai
warga negara Indonesia. Tetapi perlu diperhatikan juga, jika ada dua
aturan hukum yang bertentangan tetapi secara hierarki ternyata sejajar
maka akan berlaku basas lex specialis derogate legi generalis, yaitu
hukum yang lebih khusus akan mengalahkan hukum yang lebih umum.
Maksudnya adalah bahwa aturan hukum yang umum
akan berlaku kecuali dalam area-area yang khusus diatur oleh aturan
hukum yang khusus tersebut.
Jadi sengketa waris meskipun sudah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum maka setelah
diundangkannya Undang-Undang tentang Peradilan Agama maka secara
otomatis untuk pengaturan sengketa waris orang yang beragama Islam
akan memakai Undang-Undang Peradilan Agama bukan Undang-Undang
Peradilan Umum. Selain itu saat ada dua aturan hukum yang
bertentangan, padahal keduanya secara hierarki bersifat sejajar dan juga
tidak bersifat umum-khusus alias mengatur materi yang sama, maka akan
berlaku asas lex posteriori derogate legi priori atau hukum yang lebih baru
mengalahkan hukum yang lebih lampau. Apabila memakai asas ini maka
Pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang
sudah dirubah dengan Pasal pasal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam hal ini yang krusial adalah dihapuskannya klausul pilihan
hukum dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang
menggantikan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.

10
Jadi setelah diundangkannya Undang-Undang ini maka seharusnya
sengketa waris antara orang yang beragama Islam wajib diselesaikan di
Pengadilan Agama bukan Pengadilan Negeri karena sudah tidak ada lagi
klausul pilihan hukum untuk memilih hukum umum atau hukum Islam di
dalam Undang-Undang..
Berbedanya putusan hakim mengenai perkara hibah di Pengadilan
Negeri di klaten dan sukoharjo disebabkan adanya interprestasi yang
berbeda antara hakim yang satu dengan hakim yang lain. Interprestasi
merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan
yang gamblang terhadap undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat
searah dengan peristiwa tertentu. Penafsiran hakim mengenai peraturan
hukum merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pemahaman
terhadap peristiwa yang konkret yang dapat diterima oleh masyarakat.
Penggunaan penafsiran undang-undang ini dengan baik, mensyaratkan
hakim dengan sungguh-sungguh memahami berbagai macam metode
penafsiran hukum, atau undang-undang, antara lain metode gramatikal,
teleologis, sistematis, historis, komperatif, faturistis, restrktif dan ekstensif,
serta metode contrario (Abdul Manan, 2010 : 179). Kepastian dan
perlindungan hukum hanya dapat diberikan dengan cara menerapkan
hukum normatif sesuai bunyinya. Kepastian hukum lebih bersifat umum
sehingga menghendaki kesamaan pada semua kasus.
Perkara hibah seharusnya menjadi kewenangan absolut Pengadilan
Agama bukan Pengadilan Negeri, hal yang membuat hakim di Pengadilan
Negeri masih menerima dan mengadili perkara hibah dari orang-orang
yang beragama Islam adalah karena masih berbedanya pemahaman dan
interprestasi yang berbeda dari para hakim Pengadilan Negeri terhadap
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta karena
hakim Pengadilan Negeri beranggapan bahwa orang–orang Islam yang
mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri berarti secara otomatis secara
suka rela tunduk pada ketentuan hukum umum bukan hukum Islam.

11
Pola pikir hakim Pengadilan Negeri yang masih terpengaruh oleh
warisan kondisi hukum di masa lalu sehingga tidak mudah untuk
mengubah secara seketika dan memperbaruinya sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku secara
cepat. Untuk mengubah pola pikir hakim Pengadilan Negeri membutuhkan
proses pembinaan yang teratur dan berkesinambungan .Dengan demikian
akan terjadi perubahan pola pikir hakim Pengadilan Negeri tersebut sesuai
dengan perjalanan zaman dan waktu.
Berdasarkan uraian di atas sudah jelas bahwa dengan adanya Pasal
49 dan 50 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 maka seharusnya
Pengadilan Negeri tidak berwenang lagi untuk mengadili perkara hibah
bagi masyarakat muslim di Indonesia. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 sendiri secara tegas sudah mengatur bahwa Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan
ekonomi syariah. Sedangkan Pasal 50 ayat 2 secara tegas sudah mengatur
bahwa apabila terjadi sengketa hak milik yang subjek hukumnya antara
orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh
Pengadilan Agama bersama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49.
Pada intinya Pengadilan Negeri tidak mempunyai kewenangan dalam
memutuskan perkara hibah dari para pihak yang beragama Islam sesuai
dengan Pasal 49 dan 50 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang peradilan agama. Selain itu Pola pikir hakim Pengadilan Negeri
yang masih terpengaruh oleh warisan kondisi hukum di masa lalu sehingga
tidak mudah untuk mengubah secara seketika dan memperbaruinya sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku secara cepat.

12
D. Simpulan
Pengadilan Negeri yang masih menerima dan mengadili perkara hibah
dari masyarakat muslim karena hakim Pengadilan Negeri beranggapan
bahwa masyarakat muslim yang mendaftarkan gugatan ke Pengadilan
Negeri berarti secara suka rela tunduk pada ketentuan hukum umum bukan
hukum Islam. Selain itu Pola pikir hakim Pengadilan Negeri masih
terpengaruh oleh warisan kondisi hukum di masa lalu sehingga tidak
mudah untuk mengubah secara seketika dan memperbaruinya sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku secara cepat. Sikap hakim Pengadilan Negeri yang menerima,
memeriksa, dan memutus perkara hibah masyarakat muslim tersebut
kurang tepat karena berdasarkan ketentuan Pasal 49 dan 50 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Pengadilan negeri
tidak mempunyai kewenangan absolut dalam memutuskan perkara hibah
bagi masyarakat muslim di Indonesia. Perkara hibah masyarakat muslim
yang diselesaikan di Pengadilan Negeri bisa mengakibatkan konflik
kewenangan antara Pengadilan negeri dengan Pengadilan Agama.

E. Saran
Ketentuan dalam Pasal Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama seharusnya diubah atau diperbaiki karena masih
adanya kerancuan dalam hal penegakan asas personalitas keislaman yang
terdapat pada Penjelasan Undang-Undang tersebut. Hal ini perlu dilakukan
untuk mempertegas penerapan asas personalitas keislaman agar tidak ada
lagi kerancuan dan perbedaan penafsiran terhadap Undang-undang
tersebut.

13
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdul Ghofur Anshari. 2010. Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep


Bilateral Hazairin. Yogyakarta: UII Press
Abdul Manan. 2010. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan
Peradilan:Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan islam. Jakarta:
Kencana
Abdullah Tri Wahyudi. 2004. Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Amirudin, Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta : Raja Grafindo Pustaka
Bambang Sunggono. 1997 Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Bustanul Arifin. 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:
Gema Insani Press
H.A Mukti Arto. 2015. Pembaruan Hukum Islam melalui Putusan Hakim.
Yogyakarta : Pustaka Belajar
Mardani. 2009. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah
Syar’iah. Jakarta: Sinar Grafika
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana
Roihan A Rasyid. 2006. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Sudikno Mertokusumo. 1983. Sejarah Peradilan dan Perundang-
undangannya di Indonesia sejak 1942 cet.2. Yogyakarta: Liberty
Sudikno Mertokusumo. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia edisi
ketujuh. Yogyakarta: Liberty
Wantjik Saleh. 1997. Kehakiman dan Peradilan. Jakarta: Ghalia Indonesia

Jurnal

Ilham Thohari. 2015. “Konflik Kewenangan Antara Pengadilan Negeri


dan Pengadilan Agama Dalam Menangani Sengketa Waris Orang
Islam”. Jurnal Universum Stain Kediri. vol 9 No 2. Kediri : STAIN
Kediri
Azni Umar. 2015. “Eksistensi Hibah dan Posibilitas Pembatalannya dalam
Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia”. Jurnal
Pemikiran Islam.Vol 40. No 2. Riau : UIN Sultan Syarif Kasim
M.Jihadul Hayat, Refky Fielnanda. 2015. “Peradilan Agama Era
Reformasi Kedua Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama”. Jurnal Perhimpunan
Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Vol 1. No.1. Yogyakarta : Pangggung Hukum

14

Anda mungkin juga menyukai