Oleh:
Preseptor :
Dr. Nice Rachmawati, Sp.A (K)
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Definisi gangguan nafas adalah suatu keadaan meningkatnya keja pernafasan yang
ditandai dengan takipnea (frekuensi nafas >60-80 kali/menit) dan retraksi (cekungan atau
tarikan kulit antar iga (interkostal) dan atau di bawah sternum substernal selama inspirasi.1
Distres pernapasan merupakan kompleks gejala yang mewakili kelompok penyakit yang
heterogen. Distres pernafasan sering didefinisikan sebagai munculnya gambaran klinis yang
menjadi indikator gangguan pernapasan, antara lain termasuk takipnea, nasal flaring, grunting,
retraksi (subkostal, interkostal, suprakostal, jugularis), serta sianosis.2,3 Menurut WHO distres
pernafasan terjadi bila laju pernapasan lebih dari 60 atau kurang dari 30 napas per menit,
adanya grunting saat ekspirasi, retraksi dinding dada, sianosis sentral, atau apnea. Gejala lain
yang dapat terjadi adalah pernapasan iregular (seesaw), stridor inspirasi, dan mengi.4
2.2 Etiologi
Distres pernapasan merupakan presentasi klinis dari berbagai kondisi yang terjadi pada
neonatus. Penyebab spesifik gangguan pernapasan mungkin sulit ditentukan berdasarkan
presentasi klinis saja. Penyebab paling umum dari gangguan pernapasan pada bayi baru lahir
yang terjadi pada paru antara lain TTN, HMD, Sindrom Aspirasi Mekonium (MAS),
pneumonia, sepsis, pneumotoraks, serta Persistent Pulmonary Hypertension of the Newborn
(PPHN).1,2 Sedangkan etiologi ekstrapulmoner, seperti defek jantung kongenital, malformasi
jalan napas, penyebab neurologis, serta hematologi lebih jarang terjadi.4
Tabel 1. Etiologi pulmoner distres pernafasan4
Kongenital Hipoplasia paru, hernia diafragma kongenital, chylothorax, pulmonary
sequestration, malformasi paru adenomatosa kistik kongenital, malformasi
arteriovena, emfisema lobus kongenital, proteinosis alveolar kongenital,
displasia kapiler alveolar, limfangiektasis pulmoner kongenital, defisiensi
protein surfaktan
Didapat TTN, HMD, sindrom aspirasi mekonium, pneumonia, pneumotoraks,
pneumomediastinum, atelektasis, perdarahan paru, displasia
bronkopulmoner, hipertensi paru persisten pada bayi baru lahir, paralisis
diafragmatik, reaksi obat, reaksi anafilaksis
3
Tabel 2. Etiologi ekstrapulmoner distres pernafasan4
Saluran nafas Obstruksi hidung, atresia koana, stenosis hidung, mikrognatia, anomali
Pierre Robin, celah langit-langit mulut, makroglossia, glossoptosis,
stenosis atau atresia laring, atresia trakea, paralisis pita suara, stenosis
subglotis, hemangioma, papilloma, laringomalasia, trakeobronkomalasia,
stenosis trakeobronkial, fistula trakeo-esofageal, hygroma kistik dan
kompresi eksternal oleh massa leher lainnya
Kardiovaskular TGA, TOF, defek septum besar, paten ductus arteriosus, koarktasio aorta,
gagal jantung kongestif, kardiomiopati, pneumoperikardium
Hematologi Polisitemia, anemia, penyakit hemolitik berat, hipovolemia,
hemoglobinopati herediter, methemoglobinemia herediter
Infeksi Sepsis, bakteremia, meningitis
Metabolik Hipoglikemia, hipokasemia, hipermagnesemia, hiponatremia atau
hipernatremia
Neuromuskular Ensefalopati hipoksik-iskemik, perdarahan intrakranial, hidrosefalus,
kejang, gangguan otot dan sumsum tulang belakang
Lainnya Asfikasi, asidosis, hipotermia, hipertermia, hydrops
fetalis
4
4. Bayi lahir sectio caesarea
Bayi yang lahir dengan sectio caesarea, berapapun masa gestasinya dapat
mengakibatkan terlambatnya absorbsi cairan paru (TTN).
5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini, atau air ketuban
yang berbau busuk
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan bayi berisiko mengalami pneumonia
bakterialis atau sepsis.
6. Bayi dengan kulit berwarna seperti mekonium
Kondisi tersebut menyebabkan tingginya kemungkinan bayi mengalami aspirasi
mekonium.
2.4 Patofisiologi
Penyebab gangguan pernapasan pada bayi baru lahir beragam dan multisistemik.
Penyebab dari paru berhubungan dengan perkembangan paru normal dalam transisi ke
kehidupan ekstrauterin. Perkembangan paru normal terjadi dalam 5 fase (Tabel 3). Distres
pernapasan dapat terjadi akibat kelainan perkembangan yang terjadi sebelum atau setelah
kelahiran. Malformasi perkembangan awal dapat berupa fistula trakeoesofageal,
bronchopulmonary sequestration (massa abnormal jaringan paru yang tidak terhubung dengan
trakeobronkial), dan kista bronkogenik (percabangan abnormal trakeobronkial). Sedangkan
pada usia kehamilan dapat berupa malformasi parenkim paru.3
Distres pernapasan yang lebih umum, seperti TTN, HMD, pneumonia neonatal, MAS,
dan PPHN merupakan komplikasi selama masa transisi prenatal ke postnatal. Meskipun alveoli
matur pada usia kehamilan 36 minggu, banyak septasi alveolar dan maturasi mikrovaskular
yang baru terjadi setelah kelahiran. Paru belum sepenuhnya berkembang hingga usia 2 hingga
5 tahun. Tak hanya itu, penyakit paru juga dapat terjadi setelah kelahiran. Misalnya displasia
bronkopulmoner (BPD) yang merupakan penyakit paru yang memperberat bayi prematur
karena terhentinya alveolarisasi dalam mengembangkan paru yang terpapar dengan ventilasi
mekanis, oksigen, dan mediator inflamasi lainnya sebelum perkembangan normal selesai.BPD
terjadi pada hingga 32% bayi prematur dan 50% bayi berat lahir rendah.3,4
5
Tabel 3. Tahap perkembangan paru dan patogenesis penyakitnya3
Tahap Embryonik Pseudogland Kanalikular Terminal Alveolar
perkembangan ular sac
Gestasi 0-6 7-16 minggu 17-24 25-36 >37 minggu
minggu minggu minggu
Morfogenesis Trakea, Bronkiolus, Bonkiolus Duktus Alveolus
truktural bronkus bronkiolus respiratorik, alveolus, definitif dan
terminal, alveolus kantong sel tipe 2
sirkulasi paru alveolus, matur
sel tipe 2
fungsional
Manifestasi Fistula Kista Hipoplasia HMD, BPD TTN, MAS,
peyakit trakeoesof bronkogenik, pulmoner, pneumonia
ageal, hernia HMD, BPD, neonatal,
bronchopu diafragmatik displasia PPHN
lmonary kongenital kapiler
sequestrati alveolar
on
*BPD: bronchopulmonary dysplasia; MAS: meconium aspiration syndrome; PPHN:
persistent pulmonary hypertension of the newborn; HMD: hyaline membrane disease; TTN:
transient tachypnea of the newborn;
*Pneumosit tipe 2 adalah sel penghasil surfaktan
6
adalah penggunaan otot-otot tambahan di leher, tulang rusuk, sternum, atau perut saat
bernafas.3
Grunting adalah bunyi ekspirasi yang disebabkan oleh penutupan glotis yang tiba-tiba
selama ekspirasi dalam upaya mempertahankan kapasitas residual fungsional dan mencegah
atelektasis alveolar. Karena compliance paru lebih buruk pada kapasitas residual fungsional
yang sangat rendah atau sangat tinggi, mencapai dan mempertahankan kapasitas residual
fungsional fisiologis sangat penting dalam pengelolaan gangguan pernapasan dengan
compliance yang buruk, seperti RDS atau TTN. Selain itu, pada sindrom aspirasi mekonium
(MAS) adalah contoh obstruksi jalan nafas bawah dengan air trapping. Bayi baru lahir ini
memiliki volume paru yang tinggi, sehingga mempengaruhi compliance paru mereka. Apa pun
penyebabnya, sangat penting untuk mengenali gejala dan bertindak cepat. Jika bayi baru lahir
dan tidak dapat mempertahankan kerja pernapasan tambahan untuk memenuhi kebutuhan
pernapasannya, maka gagal nafas akan terjadi yang dapat bermanifestasi sebagai gangguan
oksigenasi (sianosis) atau ventilasi (asidosis respiratorik). Tanpa intervensi segera, henti
pernapasan dapat segera terjadi.3
2.6 Diagnosis
Diagnosis gangguan nafas dapat ditegakkan secara klinis dan pemeriksaan penunjang.
Bila mengevaluasi bayi dengan gangguan nafas, harus berhati-hati atau waspada karena dapat
terjadi bayi dengan gejala pernafasan yang menojol, tetapi tidak menderita gangguan nafas
(misalnya asidosis metabolik, DKA) dan sebaliknya gangguan nafas berat dapat juga terjadi
pada bayi tanpa gejala distres respirasi (hipoventilasi sentral akibat intoksikasi obat atau
infeksi). Penilaian yang hati-hati berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang lengkap, dan
pemeriksaan penunjang dapat menjelaskan tentang diagnosis.1
Menurut Swiss Society of Neonatology distres pernafasan pada neonatus terjadi bila
setidaknya hadir dua antara kriteria berikut: takipnea (> 60 napas per menit), sianosis sentral
pada udara ruangan, grunting ekspirasi, retraksi subkostal, interkostal atau jugularis, serta
nasal flaring. Seluruhnya didasarkan pada pengamatan klinis terlepas dari apapun etiologinya.5
Penilaian secara serial tentang kesadaran, gejala respirasi, pemeriksaan penunjang, dan respon
terhadap terapi dapat merupakan kunci yang berarti untuk menentukan perlunya intervensi
selanjutnya.1
7
1. Anamnesis
Anamnesis tentang riwayat keluarga, maternal, prenatal, dan intrapartum sangat
diperlukan.1
a. Prematuritas, sindrom gangguan nafas, sindrom aspirasi mekoniium, infeksi:
penumonia, displasia pulmoner, trauma persalinan sungsang, kongesti nasal,
depresi susunan saraf pusat, pendarahan suusnan saraf pusat, paralisiis nervus
frenikus, takikardia ata bradikardia pada janini, depresi neonatal, tali pusar
menumbung, bayi lebih bulan, demam, atau suhu yang tidak satbil (pada
pneumonia).
b. Ganguan SSP: tangis melengking, hipertoni, flasiditas, atonia, trauma, miastenia
c. Kelainan kongenital: arteri umbilikalis tunggal, anomali kongenital lain: anomali
kardiopulmonal, abdomen cekung pada hernia diafragmatika, paralisis erb (paralisis
nervus frenikus, atresia koana, kongesti nasal obstruktif, meningkatnya diameter
anterior posterior paru, hipoplasia paru, trakeoesofageal fistula)
d. Diabetes pada ibu, pendarahan antepartum pada persalinan kurang bulan, partus
lama, ketuban pecah dini, oligohidramnion, penggunaan obat yang berlebihan.
e. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan nafas berupa bebeapa
tanda berikut:1
a. Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan, merupakan gejala yang
menonjol.
b. Sianosis
c. Retraksi
d. Tanda obstruksi saluran nafas mulai dari hidung: atresia koana, ditandai dengan
kesulitan memasukkan pipa nasogastrik memlalui hidung
e. Air ketuban bercampur mekonium atau pewarnaan hijau-kekuningan pada tali
pusar
f. Abdomen mengempis (schapoid abdomen)
8
3. Klasifikasi gangguan nafas
Tabel 4. Klasifikasi gangguan nafas1
Frekuensi nafas Gejala tambahan Klasifikasi
gangguan nafas
>60x/menit DENGAN Sianosis setral Gangguan napas
DAN retraksi berat
dinding dada atau
merintih saat
ekspirasi
>90x/menit DENGAN Sianosis sentral
ATAU rektraksi
dinding dada
ATAU merintih
saat ekspirasi
<30x/menit DENGAN atau Gejala lain dari
TANPA gangguan nafas
60-90x/menit DENGAN tetapi Tarikan dinding Gangguan nafas
dada ATAU sedang
meritih
TANPA Sianosis sentral
>90x/menit TANPA Retraksi dinding
dada atau merintih
saat ekspirasi atau
sianosis sentral
60-90x/menit TANPA Retraksi dinding Gangguan nafas
dada atau nerintih ringan
saat ekspirasi atau
sianosis sentral
60-90x/menit DENGAN Sianosis sentral Kelainan jantung
tetapi kongenital
TANPA Retraksi dinding
dada atau merintih
9
4. Evaluasi gawat nafas dengan skor Downes1
Tabel 4. Evaluasi gawat nafas dengan skor Downles
Pemeriksaan Skor
0 1 2
Evaluasi
Total Diagnosis
1-3 Sesak nafas ringan
4-5 Sesak nafas sedang
>6 Sesak nafas berat
5. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dapat membantu dalam penegakan diagnosis.
Pemeriksaan darah lengkap dengan hasil rasio neutrofil imatur lebih dari 0,2
menunjukkan adanya infeksi. Kadar protein C-reaktif kurang dari 10 mg per L (95,24
nmol per L) dapat menepis sangkaan sepsis dengan nilai prediktif negatif 94% jika
diperiksa 24 dan 48 jam setelah lahir. Kadar glukosa juga harus diperiksa karena
hipoglikemia dapat menjadi penyebab dan akibat dari gangguan pernapasan.2 Analisa
gas darah (blood gas analysis) dilakukan untuk mengetahui perhitungan indeks
oksigenasi yang dapat menggambarkan beratnya hipoksemia.1
Pemeriksaan radiografi berupa foto polos thoraks dapat berguna dalam
menentukan etiologi dan derajat distres pernafasan pada neonatus. Selain itu foto polos
thoraks juga berguna untuk evaluasi adanya kelainan yang memerlukan tindakan segera
10
seperti malposisi pipa endotrakeal atau pneumotoraks. Bila terjadi hipoksemia
sedangkan foto polos toraks menunjukkan hasil normal, maka harus diperkirakan
kemungkinan lain seperti penyakit jantung bawaan tipe sianotik, hipertensi pulmonal,
atau emboli paru.1
2.7 Tatalaksana
Tatalaksana distres pernapasan pada neonatus bersifat umum dan spesifik, dan sesuai
dengan algoritma resusitasi neonatus. Gambar 1 merupakan algoritma evaluasi dan manajemen
distres pernafasan pada neonatus.2 Pada tahun 1870-1980 penerapan oksigen dan ventilasi
mekanik menjadi pendekatan utama dalam kasus distres pernafasan. Tahun 1990 penggunaan
CPAP secara dini dimulai di ruang bersalin mengurangi tingkat intubasi pada bayi prematur.
Pada tahun 2004, 27% pasien dengan HMD tidak diintubasi dan hanya ditatalaksana dengan
CPAP, suatu pendekatan yang nampaknya memiliki efisiensi dan outcome yang sama. Hal in
mengakibatkan pemberian surfaktan hanya sekitar 50% pasien HMD.5
11
1. Ventilasi
Ventilasi merupakan prioritas awal dalam manajemen dan evaluasi neonatas
dengan gangguan nafas. Ventilasi dilakukan dengan menggunakan balon resusitasi
dan sungkup atau melalui pipa endotrakeal bila pernafasan bayi tidak adekuat.
Pemantauan saturasi O2 dilakukan dengan menggunakan pulse oxymeter. Untuk
mengurangi kebutuhan oksigen bayi dapat dilakukan dengan cara menjaga
kehangatan suhu bayi dan melembabkan O2 yang dihirup dengan menggunakan
humidifier. Rawat bayi dengan minimal handling, yaitu dengan menunda mandi dan
tidak melakukan prosedur serta pemeriksaan fisik yang berlebihan.1
2. Manajemen ventilator mekanik
Pemberian Continous positive airway pressure (CPAP) akan meningkatkan
oksigenasi dan survival. CPAP mulai dipasang pada tekanan sekitar 5-7 cm H2O
melalui prong nasal, pipa nasofaringeal, atau pipa endotrakeal. Pada beberapa bayi
dengan derajat sakit sedang, CPAP sangat membantu dalam pencegahan penggunaan
ventilator mekanik. Untuk bayi dengan asidosis respiratorik, hipoksemia, atau apne
mungkin diperlukan IPPV (intermittent positive pressure ventilation) sebagai
tambahan mungkin diperlukan PEEP (positive end-expiratory pressure) yang akan
menstabilkan alveoli dan meningkatkan volume serta oksigenasi.1
CPAP dimulai denga tekanan 3-10 cm H2O sehingga dapat meningkatkan
volume paru dan memfasilitasi redistribusi cairan edema paru dari alveoli ke
intersisium. CPAP meningkatkan ventilasi ke area dengan rasio ventilasi dan perfusi
rendah serta memperbaiki mekanisme respirasi. CPAP menyebabkan alveoli tetap
terbuka pada saat akhir ekspirasi oleh karena itu terjadi penurunan pirau paru
(shunting) dari paru kanan ke kiriTujuan utama terapi pada bayi yang mengalami
distres pernafasan adalag untuk memelihara pH sekitar 7,25-7,4, arterial oksigen
(PaO2) 50-70 mmHg, dan tekanan karbon dioksida (PCO2) 40-65 mmHg.1
3. Koreksi asidosis metabolik
Asidosis metabolik berat (pH < 7,2) dengan kadar bikarbonat serum (< 15-16
mEq/L) atau defisit basa menunjukkan beratnya kondisi bayi. Penyeybab harus
segera diidentifikasi dan ditangani. Penyeyebab paling sering antara lain kekurangan
oksigen arterial, perfusi jaringan yang buruk akibat rendahnya volume sirkulasi
darah, stres dingin, hipoksia yang lama, dan infeksi. Bila penyeybab telah
didentifikasi, asidosis metabolik diterapi dengan pemberian larutan bikarbonat
12
natrikus dosisi 2 mEq/kg (4 ml/kg dari pengenceran 4,2 % dengan kecepatan
pemberian tidak lebih cepat dari 1 mEq/kg/menit). Ventilasi yang adekuat harus
dipertahankan untuk mencegah terjadinya asidosis respiratorik.1
4. Terapi suportif
Bila tidak tersedia fasilitas NICU segera rujuk ke rumah sakit rujukan dengan
terapi suportif. Jaga kehangatan bayi supaya tidak terjadi hipotermia. Lakukan
pemberian cairan dan elektrolit serta nutrisi yang baik, berupa dekstrose 5% atau 10%
dosisi 60-80 ml/kg/hari. BBLSR atau BKB memerlukan asupan cairan yang lebih
besar 200-300 mL/kg/hari. Pemberian antibiotika diberikan selama 3-5 hari,
sbeelumnya dilakukan pengambilan sampel darah untuk kultur. Selain itu lakukan
dukungan emosional kepada orang tua dan keluarga.1
2.8 Prognosis
Prognosis tergantung pada latar belakang etiologi dan gangguan nafas. Prognosis
baik bila gangguan nafas akut dan tidak berhubungan dengan keadaan hipoksemia yang
lama.1 Walaupun angka rawatan neonatus dengan distres pernafasan meningkat, pada tahun
2004 diketahui angka mortalitas neonatus dengan distres pernafasan yang masih dalam
rawatan sebesar 2,5% dan angka mortalitas keseluruhan sebesar 3,5%.5 Sekuele neurologik
sering terjadi pada kasus asfiksia berat.6
Gejala klinis berupa sesak, merintih, takipnea, retraksi interkostal dan subkostal,
napas cuping hidung, dan sianosis yang terjadi dalam beberapa jam pertama kehidupan. Bila
gejala tidak timbul dalam 8 jam pertama kehidupan, adanya HMD dapat disingkirkan.
Gambaran foto polos torask pada HMD antara lain bentuk toraks yang sempit disebabkan
hipoaerasi dan volume paru berkurang, gambaran ground-glass, retikulogranuler
menyeluruh serta perluasan ke perifer, gambaran udara bronkus (air bronchogram),
13
gambaran granularitas, yaitu distensi duktus dan bronkiolus yang terisi udara dengan alveoli
yang mengalami atelektasis. Tata laksana PMH yang semakin baik, seperti penggunaan
surfaktan dan pemberian CPAP segera setelah bayi lahir menyebabkan gambaran tidak
klasik pada foto polos toraks.6
Klasifikasi beratnya HMD berdasarkan foto polos toraks dibagi atas 4 derajat
(Gambar 2), yaitu derajat I ditemukan bercak retikulogranuler dengan air brochogram,
derajat II ditemukan bercak retikulogranular menyeluruh dengan air bronchogram, derajat
III tampak opasitas lebih jelas, dengan air bronchogram lebih jelas meluas ke cabang di
perifer; gambaran jantung menjadi kabur, derajat IV terlihat seluruh lpanagan paru opak,
tidak tampak air bronchogram, jantung tak terlihat, disebut juga white lung.6
Derajat I Derajat II
14
2.10 Aspirasi Mekonium
Gambar 3. Infiltrat fluffy, nodular kasar tersebar pada kedua lapang paru yang mengalami
hiperaerasi.6
15
Pencegahan keluarnya mekonium intrauterin pada tahap pranatal adalah dengan
identifikasi kehamilan risiko tinggi yang dapat menyebabkan insufisiensi uteroplasenta dan
hipoksia janin seperti ibu dengan preeklampsia atau hipertensi, ibu dengan penyakit
respiratorik atau kardiovaskular kronik, ibu yang memiliki janin dengan pertumbuhan
terhambat, kehamilan post-matur, ibu perokok berat. Selain itu dilakukan pemantauan janin
secara ketat untuk identifikasi tanda distres janin, yaitu takikardi janin atau deselerasi yang
harus ditindaklanjuti segera.6
Gambar 4. Paru overaerasi dengan densitas rope-like, kasar, iregular yang luas dan
dipisahkan daerah hiperlusen. Batas jantung menjadi kabur.6
16
BPD terjadi pada bayi yang tidak bisa lepas oksigen sampai usia 28 hari, takipneu,
takikardi, retraksi, desaturasi oksigen, kehilangan berat badan. Edema paru, infeksi, serta
status gizi yang buruk merupakan faktor potensial untuk terjadinya BPD. Foto polos toraks
menunjukkan gambaran opak kasar, iregular, berbentuk garis atau rope-like yang
menunjukkan adanya atelektasis atau fibrosis pada paru dengan daerah lusen menyerupai
kista yang menunjukkan adanya hiperekspansi akibat air-trapping, hiperaerasi paru, dan
pergeseran struktur normal akibat atelektasis.
TTN biasanya terjadi pada bayi cukup bulan atau sedikit prematur, lahir dengan operasi
caear, atau precipitous labour. Gejala klinis adalah bayi yang mengalami distres pernapasan
ringan segera setelah lahir yang membaik dalam beberapa jam kemudian, umumnya kurang
dari 24 jam. Bila tidak segera membaik pikirkan kemungkinan neonatal pmeumonia. Gambaran
Pencitraan foto polos toraks adalah hiperinflasi paru atau normal, fisura interlobaris terlihat
opak karena terdapat cairan, efusi pleura, fuzzy vessel atau densitas bergaris.6
Gambar 5. Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan (a) densitas bergaris divergen di
medial dengan sedikit efusi kanan (b). Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat
sejalan dengan perbaikan klinis.6
17
2.13 Pneumonia Nonatal
Gambar 6. (a) Infiltrat inhomogen pada lapang paru kanan atas. Bila terjadi dalam 72 jam
pertama kehidupan, pneumonia neonatal perlu dipikirkan. (b) Pneumonia neonatal dapat
memberikan gambaran menyerupai ground glass seperti PMH.6
18
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Alloanamnesis diberikan oleh ibu pasien
Keluhan utama
Sesak nafas sejak lahir
Riwayat penyakit sekarang
- NBBLC 3210 gram, Panjang Badan 50 cm, lebih bulan 42-43 minggu, lahir sectio
caesarea atas indikasi ibu G4P3A0H3 gravid 42-43 minggu + PEB + struma nodusa +
letak sungsang, Apgar score 6/8, ibu baik ketuban hijau kental
- Pasien tampak sesak, kebiruan hilang dengan pemberian O2
- Tidak ada demam dan kejang
- Tidak ada muntah
- Injeksi vitamin K telah diberikan sebanyak 1 mg
- BAK dan mekonium sudah keluar
- Riwayat ibu nyeri BAK dan keputihan selama hamil dan menjelang persalinan tidak
ada
- Ibu menderita struma nodusa sejak tahun 1993, tidak berobat
- Ibu menderita hipertensi sejak 3 tahun lalu, tidak berobat
19
Riwayat keluarga
Orang tua Ayah Ibu
Nama : Tn. M Ny. Y
Usia : 50 tahun 44 tahun
Pendidikan : SMP SD
Pekerjaan : Petani Ibu Rumah Tangga
Penghasilan : Rp. 2.000.000,- -
Perkawinan : Pertama Pertama
Penyakit yang pernah diderita : - Struma nodusa & hipertensi
Saudara kandung
1. Perempuan usia 25 tahun (sehat)
2. Laki-laki usia 18 tahun (sehat)
3. Perempuan usia 8 tahun (sehat)
4. Perempuan usia 1 hari (pasien)
20
Riwayat persalinan
Berat badan ibu : 58 Kg
Persalinan di : RSUP Dr. M. Djamil Padang
Jenis Persalinan : Section caesarea
Dipimpin oleh : Dokter
Indikasi : Ibu G4P3A0H3 gravid 42-43 minggu + PEB + struma nodusa +
letak sungsang
Ketuban : Berwarna hijau, kental, dan berbau
Keadaan bayi saat lahir
Lahir tanggal : 22 Juni 2019
Jenis kelamin : Perempuan
Jam : 20.30 WIB
Keadaan saat lahir : Langsung menangis
APGAR SCORE
Tanda 0 1 2 Jumlah
Frekuensi
[ ] ( ) Tidak ada [ ] ( ) < 100 [v] (v) >100 2/2
jantung
Usaha [ ] ( ) Menangis
[ ] ( ) Tidak ada [v] (v) Lambat 1/1
bernafas kuat
[v] (v) Ekstremitas [ ] ( ) Gerakan
Tonus otot [ ] ( ) Lumpuh 1/1
fleksi sedikit aktif
[ ] ( ) Tidak [v] ( ) Gerakan [ ] (v) Reaksi
Refleks ½
bereaksi sedikit melawan
[v] ( ) Badan
kemerahan,
Warna kulit [ ] ( ) Biru-pucat [ ] (v) Kemerahan ½
tangan/kaki
kebiruan
Total APGAR Score 6/8
22
New Ballard Score
23
Usia Gestasi
Resume
- NBBLC 3210 gram, panjang badan 50 cm, A/S 6/8, lahir SC ai ibu G4P3A0H3 gravid
42-43 minggu + PEB + struma nodusa + letak sungsang
- Taksiran maturitas 42-43 minggu, berat badan sesuai masa kehamilan
- Derajat asfiksia sedang
- Jejas persalinan tidak ada
- Riwayat penyakit sekarang: NBBLC 3210 gram
- Respiratory distress ec susp aspirasi mekonium dd/ pneumonia neonatal
24
3.4 Penatalaksanaan
Tatalaksana kegawatdaruratan
- Resusitasi neonatus
- CPAP PEEP 6 FiO2 35%
Tatalaksana nutrisi/dietetik
- IVFD PG1 60 cc/KgBB/hari
Tatalaksana medikamentosa
- Ampicillin sulbactam 2x160 mg
- Gentamisin 1x16 mg/36 jam
Edukasi
- Pasien membutuhkan perawatan intensif di NICU
- Sementara di puasakan
- Perawatan tali pusar
3.6 Follow up
22 Juni 2019 23.00 WIB
S/
- Pasien terpasang CPAP PEEP 6 FiO2 35 %
- Pasien tampak sesak
- Pasien tidak ada distensi
- Pasien tidak ada demam
- Pasien tidak ada kejang
- Pasien dipuasakan sementara
- BAK dan mekonium telah keluar
O/
Keadaan umum: Sakit sedang
Kesadaran: Kurang aktif
Heart rate: 143x/ menit
Respiratory rate: 62x/ menit
Suhu: 36,8oC
Saturasi O2: 95-98%
25
Mata: Anemis (-)
Thoraks: Retraksi epigastrium (+)
Abdomen: Distensi (-)
Ekstremitas: Akral hangat, CRT < 2 detik
A/
NBBLC 3210 gram
Respiratory distress ec suspek aspirasi mekonium dd/ Pneumonia neonatal
P/
Terapi lanjut
Foto polos thoraks
Cek darah perifer lengkap
23 Juni 2019 07.00 WIB
S/
- Pasien terpasang CPAP PEEP 6 FiO2 21 %
- Pasien tidak ada sesak
- Pasien tidak ada distensi
- Pasien tidak ada demam
- Pasien tidak ada kejang
- BAK ada
O/
Keadaan umum: Sakit sedang
Kesadaran: Kurang aktif
Heart rate: 160x/ menit
Respiratory rate: 46x/ menit
Suhu: 36,7oC
Saturasi O2: 95-98%
Mata: Anemis (-)
Thoraks: Retraksi (-)
Abdomen: Distensi (-)
Ekstremitas: Akral hangat, CRT < 2 detik
Hasil laboratorium
Hb: 16 gr/dL
Ht: 47%
26
Leukosit: 18.120/mm3
Trombosit: 222.000/mm3
Hitung jenis: 0/0/2/3/73/22/3
Kesan: Anemia
A/
NBBLC 3210 gram
Respiratory distress ec suspek aspirasi mekonium dd/ Pneumonia neonatal
P/
Pantau vital sign
ASI 8x5 cc
IVFD PG2
Terapi antibiotik lanjut
24 Juni 2019 07.00 WIB
S/
- Pasien tanpa alat bantu, tidak ada desaturasi dan sesak nafas
- Pasien tidak ada distensi
- Pasien tidak ada demam
- Pasien tidak ada kejang
- BAK ada, jumlah cukup
O/
Keadaan umum: Sakit sedang
Kesadaran: Cukup aktif
Heart rate: 140x/ menit
Respiratory rate: 42x/ menit
Suhu: 36,8oC
Saturasi O2: 95%
Mata: Anemis (-)
Thoraks: Retraksi (-)
Abdomen: Distensi (-)
Ekstremitas: Akral hangat, CRT < 2 detik
27
Ekspertise foto polos thoraks
Corakan bronkovaskular meningkat
Tampak infiltrat kasar disertai kalsifikasi pada kedua lapangan paru
Kesan: Aspirasi mekonium
A/
NBBLC 3210 gram
Respiratory distress ec aspirasi mekonium
28
P/
Pantau vital sign
ASI 8x5 cc
IVFD PG2
Terapi antibiotik lanjut
25 Juni 2019 07.00 WIB
S/
- Pasien tanpa oksigen, tidak ada desaturasi dan sesak nafas
- Pasien tidak ada distensi
- Pasien tidak ada demam
- Pasien tidak ada kejang
- Intake per oral dengan toleransi baik
- BAK ada, jumlah cukup
O/
Keadaan umum: Sakit sedang
Kesadaran: Cukup aktif
Heart rate: 126x/ menit
Respiratory rate: 42x/ menit
Suhu: 36,8oC
Saturasi O2: 96-98%
Mata: Anemis (-)
Thoraks: Retraksi (-)
Abdomen: Distensi (-)
Ekstremitas: Akral hangat, CRT < 2 detik
A/
NBBLC 3210 gram
Respiratory distress ec aspirasi mekonium
P/
Pantau vital sign
Terapi lanjut
ASI 8x10 cc
Pasien dipindahkan ke Special care nursery
29
BAB 4
PEMBAHASAN
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa G, Usman A. Gangguan Nafas Pada Bayi
Baru Lahir. 1st ed. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2008. 126–146 p.
2. Hermansen CL, Mahajan A. Newborn Respiratory Distress. Am Fam Physician
[Internet]. 2015;92(11):994–1002. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26760414
3. Reuter S, Moser C, Baack M. Respiratory distress in the newborn patient. Paediatr
Rev. 2014;35(10):417–28.
4. Sweet LR, Keech C, Klein NP, Marshall HS, Tagbo BN, Quine D, et al. Respiratory
distress in the neonate: Case definition & guidelines for data collection, analysis, and
presentation of maternal immunization safety data. Vaccine [Internet].
2017;35(48):6506–17. Available from: https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2017.01.046
5. Ersch J, Roth-Kleiner M, Baeckert P, Bucher HU. Increasing incidence of respiratory
distress in neonates. Acta Paediatr Int J Paediatr. 2007;96(11):1577–81.
6. Pudjiadi et al. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2nd ed.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
31