LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………. ii
A. Identitas………...…………..…….…………………………. 2
B. Anamnesis................................................................................ 2
C. Pemeriksaan Fisik.…….…………….…………………….. 4
D. Pemeriksaan Penunjang..…..……………………………… 6
E. Resume..........………………………………..……….…….. 7
F. Diagnosis........……………………………………………. 8
G. Tatalaksana............................................................................. 8
H. Prognosis................................................................................. 9
I. Catatan Kemajuan.................................................................... 9
BAB II Pembahasan…………..……….………………........……… 13
3.2 Etiologi...........................…………………………….…….. 18
3.3 Epidemiologi.......................................................................... 18
3.4 Penularan................................................................................ 20
3.5 Patogenesis.............................................................................. 21
3.6 Diagnosis................................................................................. 24
3.7 Penatalaksanaan...................................................................... 29
BAB IV Kesimpulan............................................................................ 34
Daftar Pustaka..................................................................................... 35
BAB I
ILUSTRASI KASUS
A. IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama : Anak RZ
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Sungai Raya Dalam, Pontianak
Umur : 11 tahun
Agama : Islam
Suku bangsa : Melayu
Anak ke : 2 dari 2 bersaudara
Tanggal Rawat : 9 September 2011
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dan autoanamnesis dengan Ibu pasien dan pasien
sendiri pada tanggal 11 September 2011.
Keluhan Utama
Demam
Riwayat Penyakit dalam Keluarga/ Lingkungan Sekitarnya yang Ada Hubungan dengan
Penyakit Sekarang
Pada keluarga maupun tetangga sekitar rumah tidak ada yang mengalami penyakit yang serupa
seperti pada pasien. Namun, di lingkungan sekolah, terdapat beberapa teman pasien yang
menderita DBD dan sempat dirawat di rumah sakit.
Riwayat Kelahiran
Pasien lahir spontan, cukup bulan, langsung menangis, tidak terdapat badan biru maupun kuning
saat lahir. Berat badan lahir sekitar 3400 gram dengan panjang badan Ibu tidak ingat.
Riwayat Makanan
Pasien mendapat ASI ekslusif sampai usia 6 bulan. Saat ini pasien makan tiga kali sehari. Pasien
makan nasi dengan berbagai lauk setiap harinya, namun pasien tidak suka makan sayur-sayuran.
Pasien terkadang minum susu instan tetapi tidak rutin.
Riwayat Imunisasi
Imunisasi wajib pasien lengkap
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pada tanggal 11 September 2011:
Tanda Vital :
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, gelisah
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 96/78 mmHg
Frekuensi nadi : 120x/menit, regular, isi kurang, teraba lemah
Frekuensi nafas : 28x/menit, kedalaman cukup, napas cuping hidung (-), retraksi (-)
Suhu tubuh : 36,9 C
Status Antropometri :
Berat badan : 42 kg
Tinggi badan : 148 cm
BB Persentil 50-75
PB Persentil 75
BB/U = 42/36 x100% = 116,7% (gizi baik)
TB/U = 148/143 x100% = 103,5% (gizi baik/normal)
BB/TB = 42/40 x 100% = 105% (normal)
Kesan : gizi baik
IMT: 42/(1,48)2 = 19,17 (menurut kurva NCHS berdasarkan IMT/umur didapatkan hasil
diantara persentil 75 dan 85 = gizi normal)
Status Generals dan Lokalis
Kulit : Petekie (-), turgor baik
Kepala : Normocephali, rambut hitam, distribusi merata, tak mudah dicabut.
Wajah : Ekspresi baik, bentuk simetris
Mata : Pupil bulat isokor diameter 3 mm/3 mm, RCL +/+, RCTL +/+, conjunctiva anemis -/-
sklera ikterik -/-
Telinga : Normotia, serumen -/-, sekret -/-
Hidung : Deviasi septum -/-, mucosa hiperemis -/-, secret -/-
Mulut : Lidah kotor (-), tonsil dan faring tidak hiperemis, mukosa bibir kering, sianosis perioral
(-)
Leher : KGB tidak teraba membesar, kelenjar thyroid tak teraba membesar.
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : dalam batas normal, tidak terdapat pembesaran jantung
Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis & dinamis, tidak ada bagian paru yang
tertinggal, penggunaan otot bantu napas (-), retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus sama di kedua hemithorax
Perkusi : Sonor di kedua hemithorax
Auskultasi : Suara napas vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : Inspeksi : penonjolan massa (-), abdomen lebih tinggi dari dinding dada
Palpasi : lemas, hepar teraba 3 cm bawah arcus costae dan 5 cm bawah processuss xiphoideus,
tepi tajam, permukaan rata, konsistensi kenyal, nyeri tekan (+), nyeri tekan epigastrium (+),lien
tidak teraba.
Perkusi : Timpani, regio kuadran kanan atas pekak, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Extremitas : Akral dingin, petechiae (-), perfusi perifer kurang, CRT 3”, oedema (-), pulsasi
arteri perifer (A.Dorsalis pedis dekstra et sinistra) teraba lemah.
Rumple leede test (+)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Darah Rutin tanggal 10 September 2011
o 10/09/2011 05:41 (IGD)
E. RESUME
Anak RZ usia 11 tahun dengan berat badan 42 kg datang dengan keluhan utama demam tinggi
sejak empat hari SMRS. Demam dirasakan timbul mendadak dan terus menerus. Menggigil (+),
Kejang (-). Batuk (-). Mencret, (-) sesak (-), Mual (+), muntah (+). Sakit kepala (+), sakit perut
(+), pegal (+). Riwayat perdarahan dari hidung, gusi, saluran cerna, dan tempat lain disangkal.
Kaki dan tangan dingin (+), Buang air kecil pasien masih seperti biasanya kemudian menjadi
semakin sedikit. Selama empat hari pasien belum buang air besar. Riwayat ke luar kota
sebelumnya (-). Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, tanda vital
didapatkan Tekanan darah 98/76 mmHg, Frekuensi nadi 120x/menit, regular, isi kurang, teraba
lemah, Frekuensi nafas 24x/menit,Suhu tubuh 36,9 C, hepatomegali, nyeri tekan epigastrium
(+), pulsasi arteri perifer teraba lemah dan hasil uji rumple leed (+). Status gizi baik. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan Hb, Ht dan terdapat trombositopenia.
F. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : Demam Berdarah Dengue derajat III
Rencana diagnostik
Pemeriksaan darah perifer lengkap setiap 6-8 jam.
Monitor tanda vital setiap 15-30 menit
Pemeriksaan Malaria Kuantitatif (Hapus darah tebal dan tipis)
G. Tatalaksana
Medikamentosa
Non medikamentosa
H. PROGNOSIS
Quo Ad vitam : Ad bonam
Quo Ad functionam : Ad bonam
Quo Ad sanactionam : Ad bonam
CATATAN KEMAJUAN
Senin, 12/09/11
S : Perut terasa sakit, demam (+), nafsu makan kurang, Belum BAB (-), kaki dan tangan masih
terasa dingin
Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+, Konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterik
Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar teraba 3 jari BACD dan 3 jari BPx,
konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tajam, NT (+), NT epigastrium (+)
Balance + 540 cc
Leukosit 11.700 /µL, Eritrosit 4.950 /µL, Trombosit 34.000 /µL, Hb 14,0 g/dL, Ht 39,5 %
Leukosit 13.300 /µL, Eritrosit 5.980 /µL, Trombosit 64.000 /µL, Hb 16,5 g/dl, Ht 47,5 %
Leukosit 13.100 /µL, Eritrosit 5,600 /µL, Trombosit 61.000 /µL, Hb 15,2 g/dl, Ht 43,8 %
GDS: 121 mg/dl
- Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
- Drip Cernovit 3 x 15 cc
Selasa, 13/09/11
S : Perut sakit berkurang, demam (-), kaki dan tangan tidak terasa dingin, kencing banyak
Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+, Konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterik
Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT <2 detik, Petekie (-).
Leukosit 13.300 /µL, Eritrosit 5.510 /µL, Trombosit 97.000 /µL, Hb 14,9 g/dl, Ht 42,3 %
P : - RL 27 tpm (maintenance)
- Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
Rabu, 14/09/11
S : Sakit perut (-) , demam (-), nafsu makan (+), BAB (+), kaki dan tangan terasa hangat,
muntah (-), BAK lancar dan banyak,
Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+, Konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterik
Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT < 2 detik, Petekie (-).
- Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
Kamis, 15/09/11
S : Sakit perut (-), demam (-), nafsu makan (+) baik, BAB (+), kaki dan tangan terasa hangat,
BAK banyak
Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+, Konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterik
Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar teraba 2 jari BACD dan 3 jari BPx,
konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tajam, NT (+), NT epigastrium (-)
Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT <2 detik, Petekie (-).
A : Dengue Shock Syndrome (DBD grade III) teratasi dan dalam perbaikan
P : - Boleh pulang
Jumat, 16/09/11
Pasien pulang
BAB II PEMBAHASAN
Diagnosis demam berdarah dengue derajat III ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini. Penegakan diagnosis DBD pada pasien ini
berdasarkan adanya lebih dari dua kriteria, yang memenuhi kriteria klinis dari WHO yakni
demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung terus menerus selama 2-7 hari,
pembesaran hati, terdapat manifestasi perdarahan berupa uji tourniquet positif serta dari
pemeriksaan fisik didapatkan pasien dalam keadaan syok (terdapat kegagalan sirkulasi), yaitu
keadaan umum yang buruk, gelisah, dengan tekanan darah 98/76 mmHg, nadi yang cepat dan
halus, frekuensi nafas 28 x/menit, akral dingin dan perfusi jelek.
Dari pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil leukosit yang
berada dalam batas normal, nilai hemoglobin dan hematokrit yang cenderung meningkat serta
didapatkan trombositopenia yaitu sebesar 60.000/mm3 (pemeriksaan pada tanggal 10/09/2011),
30.000/mm3 dan 23.000/mm3 (pemeriksaan pada tanggal 11/09/2011). Hal ini merupakan salah
satu dari kriteria laboratories DBD. Hemoglobin dan hematokrit yang meningkat menunjukkan
adanya hemokonsentrasi. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran
plasma. Hal ini memperkuat diagnosis demam berdarah dengue. Selain itu pada pasien ini juga
didapatkan tanda-tanda kegagalan sirkulasi seperti nadi yang lemah, perfusi perifer yang
menurun dan akral yang dingin dan lembab. Hal ini menunjukkan bahwa pasien ini mengalami
DBD derajat III.
Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa pada sindrom syok dengue, setelah
demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum pasien dapat tiba-tiba memburuk, yang
biasannya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yakni antara hari sakit ke 3 – 7. Pada
sebagian besar kasus ditemukan tanda-tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba lembab dan dingin,
serta nadi menjadi cepat dan halus. Pasien seringkali akan mengeluh nyeri di daerah perut sesaat
sebelum syok. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya akan ditemukan adanya
hemokonsentrasi (peningkatan kadar hematokrit ≥20%) dan trombositopenia
Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnostik klinik pada penderita DSS
menurut Wong adalah sebagai berikut.
1. Clouding of sensorium
4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis, hematemesis, melena,
hematuri dan hemoptisis.
5. Trombositopenia berat.
Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya perubahan fisiologi
berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma dapat mengakibatkan syok,
anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma dan penggantian cairan
yang adekuat akan mencegah terjadinya syok, Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat
peralihan dari fase demam (fase febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya
terjadi pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan
peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan
pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis
cairan dan jumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan.
Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok,
merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan
penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik,
dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana
DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase
demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.
Terapi yang diberikan pada pasien ini meliputi terapi suportif dan simtomatik. Terapi suportif
yang diberikan adalah pemberian O2 melalui nasal kanul 2 liter permenit. Pemberian oksigen
harus selalu dilakukan pada semua pasien syok. Saturasi oksigen pada pasien harus
dipertahankan > 92%, oleh karena itu untuk pemantauan diperlukan pemasangan pulse oximetry
untuk mengetahui saturasi oksigen dalam darah.
Selain itu juga dilakukan pemasangan infus cairan intravena berupa ringer laktat (RL) 840 mL
dalam 30 menit pertama .Ringer laktat adalah salah satu larutan kristaloid yang
direkomendasikan WHO pada terapi DBD. Pengobatan awal cairan intravena pada keadaan syok
adalah dengan larutan kristaloid 20 ml/kg berat badan dalam 30 menit. Pada pasien ini berat
badannya adalah 42 kg sehingga didapatkan jumlah cairan yang diberikan adalah 840 ml dalam
30 menit dengan tetesan infus sebesar 560 tetes per menit makro {(840/30) x 20}. Apabila syok
belum teratasi dan atau keadaan
klinis memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal, cairan diganti dengan koloid (dekstran
40 atau plasma) 10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kgBB/jam. Segera setelah
terjadi perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan kristaloid dengan tetesan 20 ml/kgBB.
Pada pasien kondisi membaik setelah dilakukan pemberian cairan awal sehingga jumlah cairan
yang diberikan dikurangi menjadi 420 ml dalam 1 jam (10 ml/kgBB/jam). Jika kondisi tetap
stabil dan membaik maka cairan diturunkan menjadi 210 ml/jam (5 ml/kgBB/jam) atau Jika
dalam 24 jam kondisi membaik dan stabil maka cairan diturunkan lagi menjadi 126 ml/jam (3
ml/kgBB/jam) atau 42 tpm makro dan dalam 48 jam setelah syok teratasi pemberian terapi cairan
dapat dihentikan.
Oleh karena perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat
suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan
plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang
berlebihan dan terus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan
plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan
ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan
menyebabkan edema paru dan distres pernafasan
Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan parasetamol untuk mengatasi demam
dengan dosis sebanyak 3 x 500 mg PO (apabila suhu > 38 C). Karena pasien ini mengeluhkan
adanya nyeri perut terutama di ulu hati maka juga diberikan ranitidine dengan dosis 50 mg untuk
sekali pemberian yang diberikan 2 kali sehari. Diberikan antibiotik dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder yang mungkin terjadi akibat manipulasi yang dilakukan
terhadap pasien seperti pemasangan jalur infus untuk pemberian cairan, pemasangan Douwer
Catheter dan pengambilan sampel darah yang secara rutin dilakukan. Kesemuanya itu
mempunyai resiko untuk terjadinya infeksi pada pasien ini. Selain itu berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium pada tanggal 11 September 2011 didapatkan kecenderungan
terjadinya peningkatan leukosit meskipun hanya meningkat sedikit (dari 11.700 /µL menjadi
13.600/µL).
Selain medikamentosa tidak lupa juga diberikan terapi non medikamentosa, yaitu minum air
yang banyak, mengedukasi keluarga pasien untuk melakukan kegiatan pencegahan DBD dengan
3M menutup, menguras, mengubur barang-barang yang dapat menampung air; menganjurkan
agar pasien memakai repellan untuk mencegah gigitan nyamuk, khususnya saat berada di
lingkungan sekolah; dan menjaga asupan nutrisi yang seimbang, baik kualitas, maupun
kuantitasnya.
Pasien dapat dipulangkan apabila sudah tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu
makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit stabil, tiga hari setelah syok
teratasi, jumlah trombosit > 50.000/mm3 dan cenderung meningkat, serta tidak dijumpai adanya
distress pernafasan.
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam adalah bonam karena penyakit pada pasien saat ini tidak
mengancam nyawa. Untuk quo ad functionam bonam, karena organ-organ vital pasien masih
berfungsi dengan baik dan tidak terdapat adanya manisfestasi perdarahan. Untuk quo ad
sanactionam bonam karena kekambuhan pada DBD hanya dapat terjadi jika terdapat reinfeksi
oleh virus dengue. Dengan edukasi yang tepat, maka dapat dilakukan tindakan pencegahan
terjadinya infeksi virus dengue.
BAB III
Spektrum klinis infeksi virus dengue bervariasi tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya
tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi
virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala
(asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam
Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok
Dengue (SSD). (1,2,3)
Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria DBD disertai
dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah kelanjutan dari DBD dan
merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus dengue, derajat paling berat, yang
berakibat fatal. (1,2,3)
Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh dalam syok
hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut dengue shock syndrome (DSS).
2.2 Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus mempunyai empat serotipe yang
dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4; dengan serotipe DEN-3 yang dominan di
Indonesia dan paling banyak berkaitan dengan kasus berat. Terdapat reaksi silang antara serotipe
Dengue dengan Flavivirus lainnya. Infeksi oleh salah satu serotipe Dengue akan memberikan
imunitas seumur hidup, namun tidak ada imunitas silang dengan jenis serotipe lain.
2.3 Epidemiologi
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling banyak
dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia, dilaporkan angka
kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka
kematian berkisar 24.000 jiwa. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di
Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate
meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per
100,000 penduduk (1989-1995). Mortalitas DBD cenderung menurun hingga 2% tahun 1999.
(1,2,3,4,5)
Gambar 2. Distribusi Virus Dengue, Infeksi dan Daerah Epidemis
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu
yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup
untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap
tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada
umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus
terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun. (2)
Gambar 3. Infeksi Dengue di Indonesia
2.4 Penularan
Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang
sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue. Kedua jenis nyamuk ini terdapat
hampir di seluruh pelosok Indonesia, terutama di tempat-tempat dengan ketinggian kurang dari
1000 meter di atas permukaan air laut. Populasi nyamuk ini akan meningkat pesat saat musim
hujan, tetapi nyamuk Aedes aegypti juga dapat hidup dan berkembang biak pada tempat
penampungan air sepanjang tahun. Satu gigitan nyamuk yang telah terinfeksi sudah mampu
untuk menimbulkan penyakit dengue pada orang yang sehat.
Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yang terinfeksi Dengue, virus akan mengalami masa
inkubasi selama 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari). Setelah itu, pasien akan mengalami gejala demam
akut disertai berbagai gejala dan tanda nonspesifik. Selama masa demam akut yang dapat
berlangsung 2-10 hari, virus Dengue dapat bersirkulasi di peredaran darah perifer. Jika nyamuk
A. aegypti lain menggigit pasien pada masa viremia ini, nyamuk tersebut akan terinfeksi dan
dapat mentransmisikan virus pada orang lain, setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8-12 hari.
2.5 Patogenesis
Patogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang
banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan
hipotesis immune enhancement. (1,2,3)
Halstead (1973) menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous infection. Pasien yang
mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko
berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada
sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan membentuk kompleks antigen
antibodi kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag.
Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas
melakukan replikasi dalam sel makrofag (respon antibodi anamnestik)(1,2,3)
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan
titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi
mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan C5a menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma merembes ke ruang
ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun hingga menyebabkan hipovolemia hingga
syok. (1,2,3)
Gambar 4. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue
Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan
infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi
tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan perembesan plasma kemudian
hipovolemia dan syok. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar
hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi
pleura, asites). Virus dengue dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik
dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. (1,2)
Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.
Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi
sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama
iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system)
sehingga terjadi trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi
trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi stimulasi
trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan
pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID =
koagulasi intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation
product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.(2,3)
DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari ke-3 dan ke-7
sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis, yang
dasarnya sebagai berikut:
1) Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag dan sel kupfer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue.
2) Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik pada sel, bertindak
sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fogosit
mononukleus.
3) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus yang telah terinfeksi
itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah jumlah sel yang terinfeksi.
4) Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated intravaskular
coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya mediator-mediator oleh sel fagosit
mononukleus yang terinfeksi itu. Mediator tersebut berupa monokin dan mediator lain yang
mengakibatkan aktivasi komplemen dengan efek peninggian permeabilitas dinding pembuluh
darah, serta tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.
2.6 Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO yang terdiri dari kriteria klinis
dan laboratoris, yaitu sebagai berikut:
Kriteria klinis :
1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas seperti anoreksia, lemah, nyeri pada
punggung, tulang, persendian , dan kepala, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.
3) Hepatomegali
4) Syok, nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi ≤ 20 mmHg, atau hipotensi disertai gelisah
dan akral dingin.
* Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas menggunakan manset pada tekanan
sistolik ditambah diastolik dibagi dua selama 5 menit. Hasil uji positif bila ditemukan 10 atau
lebih petekie per 2.5 cm2 (1 inci).
Kriteria laboratoris :
1) Trombositopenia (≤ 100.000/µl)
Dua gejala klinis pertama ditambah 2 gejala laboratoris dianggap cukup untuk menegakkan
diagnogsis kerja DBD.
Seluruh kriteria DBD (4) disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi yaitu :
- Hipotensi
- Kulit dingin-lembab.
Penentuan Derajat Penyakit
Karena spektrum klinis infeksi virus dengue yang bervariasi, derajat klinis perlu ditentukan
sehubungan dengan tatalaksana yang akan dilakukan.(2,4)
Perbedaan gejala dan tanda klinis pada setiap derajat terbagi dalam tabel berikut :
Kasus tipikal dari DBD ditandai oleh 4 manifestasi klinik mayor : demam tinggi, fenomena
Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnostik klinik pada penderita DSS
menurut Wong:
1. Clouding of sensorium
3. Nyeri perut.
4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis, hematemesis, melena,
hematuri dan hemoptisis.
5. Trombositopenia berat.
1. Syok ringan/tingkat 1 (impending shock) yaitu gejala dan tanda-tanda syok disertai
menyempitnya tekanan nadi menjadi 20mmHg.
2. Syok sedang/tingkat 2 (moderate shock) yaitu=tingkat 1 ditambah tekanan nadi menjadi
<20mmHg, tetapi belum sampai nol, disertai menurunnya tekanan sistolik menjadi <80mmHg,
tetapi belum sampai nol.
3. Syok berat/tingkat 3 (profound shock) yaitu tekanan darah tidak terukur/nol,tetapi belum ada
sianosis/asidosis.
4. Syok sangat berat/tingkat 4 (moribund cases) yaitu tekanan darah tidak terukur lagi disertai
sianosis dan asidosis.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Isolasi virus
Pertumbuhan virus ditunjukan dengan adanya antigen dengue pada kepala nyamuk yang dilihat
dengan uji immunoflouresen.
2. Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan Radiologi
Pada pemeriksaan radiologi dan USG, Kasus DBD, terdapat beberapa kerlainan yang dapat
dideteksi yaitu :
2. Efusi pleura
Diagnosis Banding
1. Adanya demam pada awal penyakit dapat dibandingkan dengan infeksi bakteri maupun virus,
seperti bronkopneumonia, demam tifoid, malaria, dan sebagainya.
3. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan leptospirosis.
5. Syok endotoksin.
6. Demam Chikunguya.
PENATALAKSANAAN
1. Pada DSS segera beri infus kristaloid ( Ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-20 ml/kgBB
secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2 lt/mnt. Untuk DSS berat
(DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur) diberikan ringer laktat 20ml/kgBB
bersama koloid. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam.
Periksa elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap dilanjutkan15-
20ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid (HES) sebanyak 10-20ml/kgBB,
maksimal 30ml/kgBB (koloid diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan
secepatnya). Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa
hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit dan gula darah. Pada syok berat (tekanan
nadi < 10 mmHg), penggunaan koloid (HES) sebagai cairan resusitasi inisial memberi hasil
perbaikan peningkatan tekanan nadi lebih cepat.
3. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin/hematokrit, tekanan nadi >
20mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10ml/kgBB. Volume
10ml/kgBB/jam dapat tetap dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis stabildan hematokrit
menurun <40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjdi 7ml/kgBB sampai keadaan klinis dan
hematokrit stabil kemudian secara bertahap cairan diturunkan 5ml dan seterusnya3ml/kgBB/jam.
Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Observasi klinis, nadi,
tekanan darah, jumlah urin dikerjakan tiap jam (usahakan urin >1ml/kgBB, BD urin <1,020) dan
pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum baik.
4. Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun tetapi masih >40
vol% berikan darah dalam volume kecil10ml/kgBB. Apabila tampak perdarahan masif,berikan
darah segar 20ml/kgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP
(dipertahankan 5-
5. Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui kebutuhan cairan dan
pasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin. Apabila CVP normal (>10cmH2O), maka
diberikan dopamin.
Bagan 1. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV
Diuresis
Evaluasi 1 jam
1. Kristaloid
1. Koloid
Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai keunggulan dan
kekurangannya, yaitu golongan Dekstran, Gelatin, Hydroxy ethyl starch (HES).(2)
Golongan Dekstran mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka pemberian dengan larutan
tersebut akan menambah volume intravaskular oleh karena akan menarik cairan ekstravaskular.
Efek volume 6% Dekstran 70 dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek volume 10°/o
Dekstran 40 dipertahankan selama 3-5 jam. Kedua larutan tersebut dapat menggangu mekanisme
pembekuan darah dengan cara menggangu fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen
serta faktor VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak
boleh diberikan pada pasien dengan KID.(2)
Golongan Gelatin (Hemacell dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang mempunyai sifat
isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3 jam dan tidak
mengganggu mekanism pembekuan darah. (2)
Hydroxy ethyl starch (HES) 6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7 adalah larutan
isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah larutan isotonik dan hiponkotik.
Efek volume 6%/10°/o HES 200/0,5 menetap dalam
4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-12 jam.
Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24 jam,
dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan penurunan hitung trombosit sementara,
perpanjangan waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta penurunan kekuatan
bekuan.(2)
Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat di
ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang perawatan
khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin,
hematokrit dan trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting
dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat didantu oleh keluarga pasien untuk
mencatatjumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara intravena, serta
menampung urin serta mencatat jumlahnya.(2)
3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
KESIMPULAN
Telah dirawat pasien an. RZ, 11 tahun masuk dengan keluhan utama demam 4 hari SMRS dan
didiagnosis sebagai dengue shock syndrome berdasarkan kriteria klinis dan laboratories dari
WHO.
Tatalaksana pada pasien ini berupa suportif dan simptomatik yang berupa pemberian terapi
cairan yang disesuaikan dengan bagan pemberian terapi cairan pada DSS (sesuai dengan
literatur). Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan parasetamol untuk mengatasi
demam dengan dosis sebanyak 3 x 500 mg PO (apabila suhu > 38 C). Karena pasien ini
mengeluhkan adanya nyeri perut terutama di ulu hati maka juga diberikan ranitidine dengan
dosis 50 mg untuk sekali pemberian yang diberikan 2 kali sehari. Diberikan antibiotik dengan
tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder yang mungkin terjadi akibat manipulasi yang
dilakukan terhadap pasien.
Pasien pulang dalam kondisi kesehatan yang membaik. Dengan demikian penegakan diagnosis
dan tatalaksana kasus pada pasien ini telah sesuai dengan tinjauan literature mengenai
penanganan pada dengue shock syndrome.
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara paling memadai saat
ini. Maka, diberikan penjelasan dan mengedukasi keluarga pasien untuk melakukan kegiatan
pencegahan DBD dengan 3M menutup, menguras, mengubur barang-barang yang dapat
menampung air; menganjurkan agar pasien memakai repellan untuk mencegah gigitan nyamuk.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2006
4. Dengue Virus Infection. Centers for Disease Control and Prevention. Division of Vector
Borne and Infectious Diseases. Atlanta : 2009
5. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T, editor. Tata Laksana Demam Berdarah
Dengue di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Dirjen Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan; 2004.