Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.

M DENGAN DIAGNOSA MEDIS BENIGNA


PROSTATIC HYPERPLASIA ( BPH ) DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN
DASAR MANUSIA DI RUANG DAHLIA RSUD DR DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA

OLEH :

Nuning Pratiwie (2017.C.09a.0903)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKARAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI S1 KEPERAWATAN
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur khadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat-Nya sehingg saya
dapat menyelesaikan pembuatan laporan ini. Di laporan ini memaparkan beberapa hal terkait
“ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. M DENGAN DIAGNOSA MEDIS BENIGNA
PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH) DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR
MANUSIA DI RUANG DAHLIA RSUD DR DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA”.
Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak telah
memberikan motivasi baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan saya semoga laporan ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
laporan agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, saya yakin masih banyak
kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan laporan ini ke depannya.

PalangkaRaya, 16 Mei 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................................................. 2
1.1.3 Tujuan Umum ......................................................................................................... 2
1.1.4 Tujuan Khusus ........................................................................................................ 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Konsep Penyakit ......................................................................................................................... 3
2.1.1 Definisi Benigna Prostatic Hyperplasia ( BPH ) ............................................................ 3
2.1.2 Anatomi Fisiologi .............................................................................................................. 4
2.1.2.1 Anatomi ......................................................................................................... 4
2.1.2.2 Fisiologi ........................................................................................................ 4
2.1.3 Etiologi....................................................................................................................... 5
2.1.4 Klasifikasi ................................................................................................................. 6
2.1.5 Patofisiologi ( Patway ) ............................................................................................ 6
2.1.6 Manifestasi Klinis .................................................................................................. 10
2.1.7 Komplikasi ........................................................................................................................ 10
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................................... 10
2.1.8.1 Urinalisa ............................................................................................................... 10
2.1.8.2 Pemeriksaan darah lengkap ............................................................................... 11
2.1.8.3 Pemeriksaan radiologis ....................................................................................... 11
2.1.9 Penatalaksanaan Medis ................................................................................................ 11
2.2 Kebutuhan Dasar Manusia.......................................................................................................... 12
2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan ........................................................................................... 13
2.3.1 Pengkajian Keperawatan ....................................................................................... 13
2.3.2 Diagnosa Keperawatan ........................................................................................... 15
2.3.3 Intervensi Keperawatan ......................................................................................... 16
2.3.4 Implementasi Keperawatan.................................................................................... 16
2.3.5 Evaluasi Keperawatan ............................................................................................ 16
BAB 3 ASUHAN KEPEARAWATAN
3.1 Pengkajian Keperawatan .................................................................................................... 17
3.2 Diagnosa Keperawatan ...................................................................................................... 33
3.3 Intervensi Keperawatan ..................................................................................................... 34
3.4 Implementasi Keperawatan ................................................................................................ 37
3.5 Evaluasi Keperawatan ........................................................................................................ 37
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan ...................................................................................................................... 37
4.2 Saran ................................................................................................................................ 37
Daftar Pustaka

ii
BAB `1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Proses penuaan mempengaruhi berbagai sistem tubuh pada lansia. Seiring masa
penuaan, berbagai fungsi sistem tubuh mengalami degenerasi, baik dari struktur
anatomis, maupun fungsi fisiologis. Salah satu sistem tubuh yang terganggu akibat
proses penuaan adalah sistem genitourinari. Pada sistem genitourinari lansia pria,
masalah yang sering terjadi akibat penuaan, yakni pembesaran kelenjar prostat Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH)(DeLaune & Ladner, 2002).
Pembesaran kelenjar prostat, atau disebut dengan BPH (Benigna Prostate
Hyperplasia) merupakan salah satu masalah genitouriari yang prevalensi dan insidennya
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Parsons (2010) menjelaskan bahwa BPH
terjadi pada 70 persen pria berusia 60-69 tahun di Amerika Serikat, dan 80 persen pada
pria berusia 70 tahun ke atas. Diperkirakan, pada tahun 2030 insiden BPH akan
meningkat mencapai 20 persen pada pria berusia 65 tahun ke atas, atau mencapai 20 juta
pria (Parsons, 2010).
Di Indonesia sendiri, data Badan POM (2011) menyebutkan bahwa BPH merupakan
penyakit kelenjar prostat tersering kedua, di klinik urologi di Indonesia.
Insiden dan prevalensi BPH cukup tinggi, namun hal ini tidak diiringi dengan
kesadaran masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan maupun penanganan dini
sebelum terjadi gangguan eliminasi urin. Nies dan McEwen (2007) menjelaskan bahwa
pandangan stereotip yang mengatakan pria itu kuat, akan mengarahkan pria untuk
cenderung lebih mengabaikan gejala yang timbul di awal penyakit. Pria akan
menguatkan diri dan menghindari penyebutan “sakit” bagi diri pria itu sendiri.
Sementara, ketika wanita sakit, wanita akan cenderung membatasi kegiatan dan berusaha
mencari perawatan kesehatan. Oleh karena itu, kasus BPH yang terjadi lebih banyak
kasus yang sudah mengalami gangguan eliminasi urin, dan hanya bisa ditangani dengan
prosedur pembedahan.
TURP (Transurethral Resection of the Prostate) merupakan salah satu prosedur
pembedahan untuk mengatasi masalah BPH yang paling sering dilakukan. Rassweiler
(2005) menjelaskan bahwa TURP merupakan representasi gold standard manajemen
operatif pada BPH. TURP memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan prosedur
bedah untuk BPH lainnya. Beberapa kelebihan TURP antara lain prosedur ini tidak
dibutuhkan insisi dan dapat digunakan untuk prostat dengan ukuran beragam, dan lebih

1
2

aman bagi pasien yang mempunyai risiko bedah yang buruk (Smeltzer & Bare, 2003).
Oleh karena itulah, prosedur TURP lebih umum digunakan mengatasi masalah
pembesaran kelenjar prostat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, penulis merumuskan suatu masalah yaitu bagaimana
penatalaksanaan asuhan keperawatan pada pasien Benigna Prostatic Hyperplasia ruang
Dahlia Rsud dr.Doris Sylvanus Palangka Raya.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Penulis mampu menggambarkan asuhan keperawatan pada pasien Tn. M dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah menggambarkan
1. Pengkajian status kesehatan pada pasien pasien Tn. M dengan Benigna Prostatic
Hyperplasia
2. Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien pasien Tn. M dengan Benigna
Prostatic Hyperplasia
3. Intervensi keperawatan sesuai dengan diagnosa yang muncul pada pasien Tn. M dengan
Benigna Prostatic Hyperplasia
4. Pelaksanaan implementasi keperawatan pada pasien Tn. m dengan Benigna Prostatic
Hyperplasia
5. Evaluasi asuhan keperawatan yang benar pada pasien pasien Tn. M dengan Benigna
Prostatic Hyperplasia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penyakit


2.1.1 Definisi Benigna Prostatic Hyperplasia ( BPH )

Benigna Prostatic Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah kondisi
ketika kelenjar prostat mengalami pembengkakan, namun tidak bersifat kanker. Kelenjar
prostat merupakan sebuah kelenjar berukuran kecil yang terletak pada rongga pinggul antara
kandung kemih dan penis.
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang berfungsi untuk menyuburkan dan
melindungi sel-sel sperma. Pada saat terjadi ejakulasi, prostat akan berkontraksi sehingga
cairan tersebut akan dikeluarkan bersamaan dengan sperma, hingga menghasilkan cairan
semen.
1) Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker,
(Corwin, 2000).
2) Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
Price&Wilson (2005).
3) Hiperplasia prostat jinak (BPH)adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi
berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun orang sering
menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang dominan
adalah hyperplasia (Sabiston, David C,2004)
4) BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat
mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi
patologis yang paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002)

3
4

2.1.2 Anatomi Fisiologi


2.1.2.1 Anatomi
Kelenjar prostat merupakan bangunan yang pipih, kerucut dan berorientasi di bidang
koronal. Apeksnya menuju ke bawah dan terletak tepat diatas fasia profunda dari diafragma
urogenital. Permukaan anteriior mengarah pada simfisis dan dipisahkan jaringan lemak serta
vena periprostatika. Pita fibromuskuler anterior memisahkan jaringan prostat dari ruang
preprostatika dan permukaan posteriornya dipisahkan dari rektum oleh lapisan ganda fasia
denonvilliers.
Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20-25 gram dengan ukuran rata-
rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis terdiri dari 5 lobus yaitu
lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah.
Prostat dikelilingi kapsul yang kurang lebih berdiameter 1 mm terdiri dan serabut
fibromuskular yang merupakan tempat perlekatan ligamentum pubovesikalis. Beberapa ahli
membagi prostat menjadi 5 lobus : lobus anterior, medial, posterior, dan 2 lobus lateral yang
mengelilingi uretra.
Kelenjar prostat merupakan organ yang kompleks yang terdiri dari jaringan glandular
dan non glandular, glandular terbagi menjaadi 3 zona besar: sentral (menempati 25 %),
perifeal (menempati 70 %), dan transisional (menempati 5%). Perbedaan zona-zona ini
penting secara klinis karena zona perifeal sangat sering sebagai tempat asal keganasan, dan
zona transisional sebagai tempat asal benigna prostat hiperplasia.
Uretra dan verumontanium dapat dipakai sebagai patokan untuk prostat. Bagian
proksimal uretra membentang melalui 1/3 bagian depan prostat dan bersinggungan dengan
kelenjar periutheral dan sfingter preprostatik. Pada tingkat veromontanium, urethra
membentuk sudut anterior 350 dan urethra pars prostatika distal bersinggung dengan zona
perifal. Volume zona sentral adalah yang terbesar pada individu muda, tapi dengan
bertambahnya usia zona ini atrofi secara progresif. Sebaliknya zona transisional membesar
dengan membentuk benigna prostat hiperplasia.
Mc. Neal Melakukan analisa komparatif tentang zona prostat melalui potongan sagital,
koronal dan koronal obliq yaitu :
1) Stroma fibromuskular anterior
Merupakan lembaran tebal yang menutupi seluruh permukaan anterior prostat.
Lembaran ini merupakan kelanjutan dari lembaran otot polos disekitar urethra
proksial pada leher buli, dimana lembaran ini bergabung dengan spinkter interna
5

dan otot detrusor dari tempat dimana dia berasal. Dekat apeks otot polos ini
bergabung dengan striata yang mempunyai peranan sebagai spinkter eksterna.
2) Zona perifer
Merupakan bagian terbesar dari prostat. Zona ini terdiri atas 65-67 % dari seluruh
jaringan prostat. Hampir semua karsinoma berasal dari zona ini.
3) Zona Sentral
Zona sentral mengelingi ductus ejakularis secra penuh diatas dan dibelakang
verumontanium. Mc. Neal membedakan zona ini sentral dan zona perifer
berdasarkan arsitektur sel dan sitologinya.
4) Zona transisional
Merupakan sekelompok kecil ductus yang berasal dari suatu titik pertemuan
urethra proksimal dan distal. Besarnya 5 % dari seluruh massa prostat. Pada zona
ini asiner banyak mengalami proliferasi dibandingkan ductus periurethra lainnya.
2.1.2.2 Fisiologi
Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang kanak-kanak dan mulai tumbuh
pada masa pubertas dibawah stimulus testesteron. Kelenjar ini mencapai ukuran makasimal
pada usia 20 tahun dan tetap dalam kuran ini sampai usia mendekati 50 tahun. Pada waktu
tersebut pada beberapa pria kelenjar tersebut mulai berdegenerasi bersamaan dengan
penurunan pembentukan testosteron oleh testis.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan bersifat
alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan koagulasi serta
fibrinolin. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi
bersama dengan vas deferens dan cairan dari prostat keluar bercampur dengan segmen yang
lainnya.

2.1.3 Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun
yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat
kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan
penyebab antara lain :
1) Dihydrotestosteron
2) Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
3) Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
6

4) Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
5) Interaksi stroma – epitel
6) Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
7) Berkurangnya sel yang mati
8) Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel
dari kelenjar prostat
9) Teori sel stem

BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)

2.1.4 Klasifikasi
Berdasarkan jenis penyakitnya BPh dibagi menjadi tiga derajat, yaitu :
1) Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak puas,
frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
2) Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh
waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat.
3) Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul
aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat
menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.

2.1.5 Patofisiologi
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila
perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologi anatomi yang ada
7

pada pria usia 50 tahunan. Perubahan hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga
stromal dan elemen glandular pada prostat.
Teori-teori tentang terjadinya BPH :
1) Teori Dehidrosteron (DHT)
Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrosteron (DHT) dalam
sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel yang
menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesa
protein.
2) Teori hormon
Pada orang tua bagian tengah kelenjar prostat mengalami hiperplasia yamg
disebabkan oleh sekresi androgen yang berkurang, estrogen bertambah relatif atau
aabsolut. Estrogen berperan pada kemunculan dan perkembangan hiperplasi
prostat.
3) Faktor interaksi stroma dan epitel
Hal ini banyak dipengaruhi oleh Growth factor. Basic fibroblast growth factor (-
FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih
besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. Proses reduksi ini difasilitasi
oleh enzim 5-a-reduktase. -FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi,
ejakulasi dan infeksi.
4) Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi dari kemampuan
mesenkim sinus urogenital untuk berploriferasi dan membentuk jaringan prostat.

Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada


saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi
pembesaran prostat, resistensi urin pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat,
serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel.
Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka
detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas. Adapun patofisiologi dari masing-masing
gejala yaitu :
8

1) Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran
awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh edema yang terjadi pada
prostat yang membesar.
2) Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena detrusor
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
3) Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat
mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum
puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.
4) Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang
tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
5) Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal
dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
6) Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi)
jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor sehingga terjadi
kontraksi involunter,
7) Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit
urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai
complience maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan
spingter.
8) Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh darah submukosa
pada prostat yang membesar.
9) Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal atau uretra
prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit atau retensi urin.
Akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara
bertahap, serta gagal ginjal.
10) Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian urin tetap
berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk organisme infektif.
11) Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli, Batu
ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Batu tersebut
dapat pula menimbulkan sistiitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan dapat
menyebabkan hernia dan hemoroid.
9
Patway
10

2.1.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang timbul dari BPH dibedakan menjadi 2, yitu gejala iritatif dan
gejala obstruktif :
1) Gejala iritatif Gejala iritatif meliputi seringnya miksi (frekuensi miksi meningkat),
nokturia, perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi
(disuria)b.
2) Gejala obstruktif Gejala obstrukstif meliputi : pancaran yang melemah, rasa tidak
puas setelah miksi (terasa masihada sisa urin), kalau miksi harus menunggu lama,
harus mengedan saat miksi, kencing terputus-putus, dan waktu miksi memanjang
yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinen karena overflow

2.1.7 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati
prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen
yang akan menimbulkan herniadan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasidan hematuria. Selain itu, stasis urin
dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat,
2005)

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


2.1.8.1 Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan
adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih,
walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi
ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu
11

biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density
(PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya
dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2.1.8.2 Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua defek
pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya menyertai
penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan
harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT, BT,
golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
2.1.8.3 Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan sitoskopi.
Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi buli, dan volume
residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran
ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari
keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena
dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran
ureter berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan
besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat bayangan
radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi ginjal apakah
ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah
isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor, divertikel.
Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin. Sesudah
kencing adalah untuk menilai residual urin.

2.1.9 Penatalaksanaan Medis


Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi
pasien. Jika pasien masuk RS dengan kondisi darurat karena ia tidak dapat berkemih maka
kateterisasi segera dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin digunakan kateter logam
dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih
(sitostomi supra pubik) untuk drainase yang adekuat.
Jenis pengobatan pada BPH antara lain:
12

1) Observasi (watchfull waiting)


Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan adalah
mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari
obat-obat dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum
alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa
kencing, dan pemeriksaan colok dubur
2) Terapi medikamentosa
Penghambat adrenergik  (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor pada otot
polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini akan menurunkan
tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-
gejala berkurang. Penghambat enzim 5--reduktase, menghambat pembentukan DHT
sehingga prostat yang membesar akan mengecil.
3) Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah
yaitu :
a. Retensi urin berulang
b. Hematuri
c. Tanda penurunan fungsi ginjal
d. Infeksi saluran kemih berulang
e. Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
f. Ada batu saluran kemih.

2.2 Kebutuhan Dasar Manusia Cairan dan Elektrolit


Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka menjaga kondisi tubuhtetap sehat. Keseimbangan
cairan dan elektrolit di dalam tubuh adalah merupakan salah satu bagian dari fisiologi homeostatis.
Keseimbangan cairandan elektrolit melibatkan komposisi dan perpindahan berbagai cairan
tubuh.Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air ( pelarut) dan zat tertentu (zat terlarut).
Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang
disebut ion jika berada dalam larutan. Cairan dan elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui
makanan, minuman, dan cairan intravena (IV) dan didistribusi ke seluruh bagian tubuh.
Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari air tubuh total
dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolitsaling bergantung
satu dengan yang lainnya; jika salah satu terganggu maka akan berpengaruh pada yang lainnya.
13

Cairan tubuh dibagi dalam dua kelompok besar yaitu : cairan intraseluler dancairan
ekstraseluler. Cairan intraseluler adalah cairan yang berda di dalam sel diseluruh tubuh, sedangkan cairan
akstraseluler adalah cairan yang berada di luarsel dan terdiri dari tiga kelompok yaitu : cairan
intravaskuler (plasma), cairan interstitial dan cairan transeluler. Cairan intravaskuler (plasma)
adalah cairan didalam sistem vaskuler, cairan intersitial adalah cairan yang terletak diantara
sel,sedangkan cairan traseluler adalah cairan sekresi khusus seperti cairan serebrospinal, cairan
intraokuler, dan sekresi saluran cerna.

1) Cairan Intraseluler (CIS) adalah cairan yang terdapat di dalam sel tubuh dan
menyusun sekitar 70% total cairan tubuh (TBW) CIS merupakan tempat terjadinya
aktivitas sel kimia.
2) Cairan Ekstraseluler (CES) merupakan cairan yang terdapat diluar sel dan
menyusun sekitar 30% dari total cairan tubuh. CES meliputi cairan intravaskuler,
cairan interstitial (terdapat dalam ruang antar sel, plasma darah dan cairan
serebrospinal, limfe serta cairan rongga serosa serta sendi), dan cairan transeluler.
2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.3.1 Pengkajian keperawatan

Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.


Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :
1) Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus preoperasi
dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena
efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering
dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume
cairan.
2) Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena
memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari
tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
3) Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien
dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran
urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih,
nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi
14

karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi
drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna
urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan
dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan
bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya
konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke
dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan
dan makanan.
4) Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada
postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan
berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran
baik cairan maupun nutrisinya.
5) Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang
utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada
pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan
kuat, nyeri punggung bawah.
6) Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak
luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari
segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan
adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam
(pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga
adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran
perkemihannya.
7) Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat
ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
15

8) Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi
BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi.,
urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada
postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari
perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.
2.3.2 Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH)adalah sebagai berikut :
1) Pre operasi
a. Nyeri akut
b. Cemas
c. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
d. Kerusakan eleminasi urin
2) Post operasi
a. Nyeri akut
b. Resiko infeksi
c. Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan
d. Defisit perawatan diri
2.3.3 Intervensi Keperawatan
Rencana tindakan keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dapat mencapai
tiap tujuan khusus. Perencanaan keperawatan meliputi perumusan tujuan, tindakan, dan
penilaian rangkaian asuhan keperawatan pada klien berdasarkan analisis pengkajian agar
masalah kesehatan dan keperawatan klien dapat diatasi.Rencana tindakan disesuaikan dengan
standar asuhan keperawatan jiwa Indonesia atau standar asuhan keperawatan Amerika yang
membagi karakteristik tindakan berupa: tindakan konseling, pendidikan kesehatan, perawatan
mandiri dan aktifitas hidup sehari-hari, terapi modalitas keperawatan, perawatan
berkelanjutan, tindakan kolaborasi (terapi somatic dan psikofarma). Pada dasarnya tindakan
keperawatan terdiri dari tindakan observasi dan pengawasan, terapi perawatan, pendidikan
kesehatan dan tindakan kolaborasi.

2.3.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995). Jenis tindakan pada implementasi ini terdiri
dari tindakan mandiri, saling ketergantungan / kolaborasi, dan tindakan rujukan
16

/ketergantungan. Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan


keperawatan. Pada situasi nyata sering implementasi jauh berbeda dengan rencana. Hal ini
terjadi karena parawat belun terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan
tindakan keperawatan. Yang biasa adalah rencana tidak tertulis yaitu apa yang dipikirkan,
dirasakan, itu yang dilaksanakan.
Hal ini sangat membahayakan klien dan perawat jika berakibat fatal, dan juga tidak
memenuhi aspek legal. Sebelum meleksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat
perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan
klien sesuai dengan kondisi saat ini. Perawat juga menilai diri sendiri, apakah mempunyai
kemampuan interpersonal, intelektual, teknik sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan
2.3.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap ini perawat
menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat berhasil atau gagal.(Alfaro-
LeFevre, 1994). Perawat menemukan reaksi klien terhadap intervensi keperawatan yang telah
diberikan dan menetapkan apa yang menjadi sasaran dari rencana keperawatan dapat
diterima.Perencanaan merupakan dasar yang mendukung suatu evaluasi.

Menetapkan kembali informasi baru yang diberikan kepada klien untuk mengganti atau
menghapus diagnosa keperawatan, tujuan, atau intervensi keperawatan. Menentukan target
dari suatu hasil yang ingin dicapai adalah keputusan bersama antara perawat dank lien (Yura
& Walsh, 1988) Evaluasi berfokus pada individu klien dan kelompok dari klien itu sendiri.
Proses evaluasi memerlukan beberapa keterampilan dalam menetapkan rencana asuhan
keperawatan., termasuk pengetahuan mengenai standar asuhan keperawatan, respon klien
yang normal terhadap tindakan keperawatan, dan pengetahuan konsep teladan dari
keperawatan.
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah kondisi ketika
kelenjar prostat mengalami pembengkakan, namun tidak bersifat kanker. Kelenjar prostat
merupakan sebuah kelenjar berukuran kecil yang terletak pada rongga pinggul antara
kandung kemih dan penis.
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang berfungsi untuk menyuburkan dan
melindungi sel-sel sperma. Pada saat terjadi ejakulasi, prostat akan berkontraksi sehingga
cairan tersebut akan dikeluarkan bersamaan dengan sperma, hingga menghasilkan cairan
semen.
4.2 Saran
Setelah membaca dan memahami laporan ini, diharapkan kita sebagai perawat dapat
melakukan Asuhan Keperawatan Pada Tn. M Dengan Diagnosa Medis Bph Dalam
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia Di Ruang Dahlia Rsud Dr Doris Sylvanus Palangka
Raya

37
DAFTAR PUSTAKA

Johnson, M; Maas, M; Moorhead, S. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC). Mosby:


Philadelphia
Mansjoer, A, et all, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Media Aesculapis, Jakarta
McCloskey, J dan Bulechek, G. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC). Mosby:
Philadelphia
Nanda (2000), Nursing Diagnosis: Prinsip-Prinsip dan Clasification, 2001-2002,
Philadelphia, USA.
Smeltzer, S.C, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Vol 2,
EGC, Jakarta
Anonim. 2018. Diakses 4 Mei 2018padahttp://www.scribd.com/doc/54979478/ASKEP-BPH
Anonym. 2018. http://asuhankeperawatans.blogspot.com/2010/10/asuhan-keperawatan-
benigna-prostat.html

Anda mungkin juga menyukai