Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit celiac merupakan penyakit enteropati proksimal terkait sistem imun


yang bersifat reversibel. Penyakit ini terjadi karena interaksi antara diet yang
mengandung gluten dengan sistem imun di usus (Woodward, 2016). Prevalensi
penyakit celiac di dunia terutama di negara barat diperkirakan sekitar 0,5-1%.2,3
Namun demikian, penyakit ini jarang ditemukan di negara dengan konsumi gluten
rendah, seperti Indonesia, Korea, Filipina, dan pulau-pulau kecil di Pasifik (Cummins
& Thomson, 2009).
Penyakit celiac memiliki manifestasi klinis yang beragam dan dapat terjadi
pada berbagai usia.( Pelkowsky & Viera, 2014). Manifestasi klinis penyakit celiac
meliputi gejala saluran cerna, gejala di luar saluran cerna, atau tanpa gejala. Gejala
klasik yang berhubungan dengan saluran cerna di antaranya yaitu diare, steatorea, dan
penurunan berat badan karena malabsorbsi. Sekitar 50% pasien penyakit celiac
menunjukkan gejala di luar saluran cerna atau gejala atipikal seperti anemia,
osteoporosis, dermatitis herpetiformis, gejala neurologi, dan hipoplasia enamel gigi.
(Gujral , et.al, 2012).
Penyakit celiac merupakan kelainan inflamasi dengan gambaran autoimun
yang memengaruhi individu yang memiliki predisposisi genetik. Penyakit ini dipicu
oleh makanan yang mengandung gluten dan protein lainnya yang ditemukan pada
barley dan gandum hitam. Interaksi antara faktor genetik dan lingkungan
menyebabkan hilangnya toleransi terhadap gluten dan berkembangnya lesi di usus
halus. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya jumlah limfosit pada epitel dan
lamina propria, hilangnya vilus usus halus, destruksi sel epitel, remodelling mukosa,
dan munculnya autoantibodi terhadap enzim tissue transglutaminase type 2 (tTG2).
(Steina & Schuppanc, 2012).
Transglutaminase merupakan enzim yang mengkatalisis reaksi perpindahan
gugus asil menjadi ikatan kovalen silang diantara protein (Nonaka et al., 1989).
Enzim ini banyak ditemukan pada liver marmut, ikan, jaringan tumbuhan dan
mamalia serta invertebrata. Beberapa industri pangan memanfaatkan enzim
transglutaminase, antara lain untuk memperbaiki tekstur keju, mengurangi sineresis
(kehilangan air) pada yoghurt, meningkatkan sifat rheologi, enkapsulasi bahan yang
berlemak dan larut lemak serta memperbaiki pembentukan gel dan sifat gel (Grades,
2006). Enzim transglutaminase juga dimanfaatkan pada industri tekstil, yaitu untuk
memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh bahan kimia dan protease selama
pembuatan wool (Cortez et al., 2004) dan pencucian benang wool (Cortez et al.,
2005).

Jagung sebagai bahan pangan memiliki potensi untuk dikembangkan karena


jagung memiliki keunggulan sebagai pangan fungsional dengan kandungan serat
pangan, unsur fe dan betakaroten (provitamin A) yang tinggi (Suarni, 2009). Selain
itu, jagung merupakan pangan yang tergolong indeks glikemik sedang (Loehr and
Schwartz, 2000), dan ketiadaan gluten menjadikan jagung cocok dikonsumsi oleh
penderita anti gluten dan autis.

Kandungan karbohidrat tinggi dengan indeks glikemik yang rendah


menjadikan tepung jagung dapat menjadi bahan substitusi dalam pembuatan roti
bebas gluten. Akan tetapi penggunaan tepung bebas gluten dapat menurunkan sifat
sensorik roti (Muthoharoh dan Aji, 2017).

Kebutuhan terigu di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun


2013 kebutuhan terigu di Indonesia sebesar 4,84 juta ton, sedangkan pada tahun 2014
meningkat menjadi 5,05 juta ton (Aptindo, 2014). Peningkatan permintaan terigu
disebabkan semakin beragamnya produk makanan berbasis terigu. Salah satu solusi
untuk mengatasi masalah tersebut adalah memanfaatkan bahan pangan serealia lain
untuk substitusi tepung terigu diantaranya yaitu jagung. Jagung merupakan bahan
pangan yang berperan penting dalam perkembangan industri pangan dan dapat diolah
menjadi produk setengah jadi seperti tepung. Kandungan gizi jagung yaitu
karbohidrat sebesar 79,56%, protein sebesar 6,97% dan sejumlah zat gizi lainnya
(Suarni dan Firmansyah, 2005). Di samping itu, jagung mengandung antigizi seperti
antitripsin, asam fitat, dan oligosakaraida yang dapat mengganggu penyerapan zat
gizi tubuh sehingga menghambat kesehatan. Fermentasi seperti yang dilaporkan oleh
Mubarak (2005) dapat mengurangi antigizi dan dapat meningkatkan kualitas protein
serealia (Chavan et al., 1989). Oleh karena itu, fermentasi dapat dijadikan alternatif
dalam pengolahan tepung jagung.

Tepung kacang Garbanzo atau yang sering dikenal dengan nama tepung
chickpea dibuat dengan menggiling kacang garbanzo kering (kacang ayam) menjadi
serbuk. Ia adalah ramuan yang popular di masakan Timur Tengah dan India, di mana
ia terdapat dalam hidangan seperti falafel dan hummus. Oleh kerana kacang garbanzo
tinggi protein dan serat serta beberapa mineral dan vitamin B, tepungnya sangat
berkhasiat. Kacang garbanzo adalah kacang-kacangan dan bukan jenis gandum,
tepung garbanzo tidak mempunyai gluten jadi ia sesuai untuk diet bebas gluten.

Satu cawan tepung garbanzo mempunyai lebih daripada 20 gram protein dan
hampir 10 gram serat bersama-sama dengan kira-kira 350 kalori.Ia juga mempunyai
lebih daripada 4 miligram besi, 150 miligram magnesium, lebih daripada 2.5 gram
zink, 1.6 miligram niacin, dan 400 mikrogram folat.

Pembuatan roti bisa menggunakan tepung lain selain tepung terigu meskipun
tidak memiliki gluten yang cukup untuk mengembangkan roti namun mempunyai
nilai tambah pada roti. Hal ini sesuai dengan program diversifikasi pangan
pemerintah dengan dapat memanfaatkan sumber daya lokal yang berpotensial.
Penganekaragaman pangan lokal dimaksudkan untuk memperoleh keragaman zat gizi
sekaligus melepas ketergantungan masyarakat atas penggunaan tepung terigu dalam
proses pembuatan roti (Rahmah, et al. 2017).

Roti bebas gluten berbeda dengan roti pada umumnya karena bahan utama
yang digunakan adalah tepung yang tidak mengandung gluten. Contoh tepung yang
bebas gluten adalah tepung beras, jagung, kedelai, Modified Cassava Flour
(MOCAF), dan kentang (Samantha, 2017).

Untuk memenuhi permintaan konsumen bebas gluten, perusahaan berusaha


untuk menghasilkan produk roti bebas gluten dengan kualitas yang tinggi dan
memiliki karakteristik yang hampir sama dengan roti yang terbuat dari tepung terigu
(Moore et al, 2004 dalam Mugah et al., 2016). Membuat roti yang memiliki
karakteristik hampir sama dengan roti tepung terigu tanpa adanya gluten merupakan
tantangan teknologi. Roti bebas gluten berhubungan dengan produk berkualitas
rendah karena memiliki kenampakan remah (crumb) roti yang kering dan mudah
hancur, mouthfeel yang buruk, dan lebih cepat mengalami proses staling. Adonan
bebas gluten tidak memiliki kemampuan untuk membentuk jaringan protein dengan
sifat yang mirip jaringan gluten. Oleh sebab itu penggantian jaringan gluten dalam
roti bebas gluten menjadi tujuan utama dalam mengembangkan produk baru (Huttner
dan Arendt, 2010 dalam Mugah et al., 2016). Produk-produk dari gandum, rye,
barley, dan oat harus digantikan dengan jagung, beras, kedelai, milet campuran dari
jagung, beras, dan kentang (Ahmed et al., 2012 dalam Man et al, 2014).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian pengaruh penambahan enzim transglutaminase pada roti
tawar bebas gluten bagi penderita penyakit celiac dilaksanakan di Laboratorium
Teknologi Pertanian Universitas Jenderal Soedirman. Penelitian ini
dilaksanakan selama 5 bulan.

3.2 Alat dan Bahan

a. Bahan
Bahan yang digunakan pada pembuatan roti tawar bebas yaitu tepung
jagung “Maizena 328”, tepung chickpea “Pattu Besan”, garam halus “Cap
Kapal”, gula “Gulaku”, margarine “forvita”, susu skim dari toko Intisari
Purwokerto, telur dari pasar Wage Purwokerto, ragi instan “Fermipan”, air
dan enzim transglutaminase “Activa TG”. Sedangkan bahan yang
digunakan untuk analisis yaitu aquades, K2SO4, HgO, H3BO3, NaOH,
H2SO4, HCL, Indikator BCG-MR, pelarut heksan, dan asam sitrat.
b. Alat

Alat yang digunakan pada pembuatan roti tawar bebas gluten adalah
timbangan analitik “Camry”, mixer “Miyako”, loyang aluminium ukuran
17x6x5 cm, pengaduk, oven, dan proofer “Getra”.
Alat yang digunakan untuk analisis meliputi cawan porselen,
desikator, timbangan, oven, penjepit, tanur, timbangan analitik,
erlenmeyer, mortal dan alu, tabung Kjedahl, kaca arloji, kompor listrik,
rangkaian alat destilasi (heating mantle, kondensor, pompa, selang,
ember), gelas beaker, gelas ukur, pipet tetes, lemari asam, erlenmeyer,
corong, buret, kertas saring, tabung soxhlet, pisau, form penilaian
sensoris, nampan, dan alat tulis.

3.3 Tahap Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial


dengan dua faktor yaitu rasio tepung jagung dan tepung chickpea (60:40, 50:50,
dan 40:60) dan konsentrasi enzim transglutaminase (1 IU TG sebanyak 0, 1, dan
1,5) dengan 9 kombinasi perlakuan yang diulang tiga kali sehingga diperoleh 27
satuan percobaan. Data selanjutnya dianalisis dengan ANOVA pada taraf
kepercayaan 5%.

1. Pembuatan Roti Tawar Bebas Gluten

Formulasi bahan dan metode pembuatan roti bebas gluten berdasarkan


formulasi bahan dan metode pembuatan roti dalam penelitian Al-Dmoor
(2014), Gambus (2007), dan Rakkar (2007) yang dimodifikasi melalui
penelitian pendahuluan. Formulasi bahan untuk membuat roti bebas gluten
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Formulasi bahan untuk membuat roti bebas gluten
Jenis Bahan Jumlah Bahan
Pati atau tepung 230 gram
Putih telur 25 mL
Kuning telur 30 mL
Margarin 30 gram
Gula 50 gram
Susu skim 60 mL
Instant dry yeast 5 gram
Sedangkan formula untuk pembuatan roti tawar bebas gluten pada
penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Formulasi roti tawar bebas gluten dengan penambahan enzim
trasglutaminase
Keterangan: presentase berdasarkan jumlah bahan
Nama bahan Formula
Resep 1 Resep 2 Resep 3
Tepung jagung (%) 60 50 40
Tepung chickpea (%) 40 50 60
Putih telur (mL) 25 25 25
Kuning telur (mL) 30 30 30
Margarin (gram) 30 30 30
Gula pasir (gram) 50 50 50
Susu skim (gram) 60 60 60
Instan dry yeast (gram) 5 5 5
Garam (gram) 2,5 2,5 2,5
Air (mL) 110 110 110

Proses pembuatan roti menggunakan metode langsung (straight


dough). Ragi yang digunakan sebanyak 1,5% dari basis total seluruh bahan
yang digunakan. Air yang digunakan adalah pH netral (pH 7) sebanyak 78%
dari basis bahan yang digunakan. Air dipanaskan hingga hangat dengan suhu
35-40⁰C. Enzim dilarutkan pada air hangat tersebut sebanyak ¾ bagian,
kemudian ragi dilarutkan pada sebagian sisa air. Bahan kering seperti
tepung jagung, tepung chickpea, dan susu skim dicampur dan diaduk
menggunakan hand mixer dengan pengaduk tipe spiral. Lalu dimasukkan
telur, gula, garam, dan margarin kemudian diaduk kembali sampai adonan
kalis dan elastis. Dan dilanjutkan dengan proses pembagian adonan
(menyesuaikan cetakan), pembulatan dan pencetakan, proofing, dan
pemanggangan dalam oven listrik (suhu 150⁰C selama 20 menit). Loyang
dikeluarkan dan didinginkan selama 20 menit. Roti yang telah dingin
dikeluarkan dari loyang dan dilakukan analisis. Proses produksi roti tawar
bebas gluten dapat dilihat pada Lampiran 1.

2. Prosedur Analisis

Analisis produk roti bebas gluten meliputi analisis volume


pengembangan adonan, volume pengembangan adonan spesifik, firmness
adonan, kekerasan crust dan crumb, ukuran keseragaman pori-pori crumb,
serta intensitas warna crust. Dan analisis organoleptik (uji hedonik) terhadap
tekstur, rasa, aroma, warna, dan penerimaan keseluruhan.
Selanjutnya dilakukan analisis perlakuan terbaik meliputi analisis
kadar air (AOAC, 1998), kadar protein metode Kjeldahl (Sudarmadji dkk,
1997), kadar lemak metode soxhlet (AOAC, 1995), kadar pati metode
hidrolisis asam (Apriyantono dkk, 1989), kadar abu (Sudarmadji dkk, 1997),
dan kadar karbohidrat by different (Sudarmadji dkk, 1997).

2.1 Analisis produk roti bebas gluten

a. Analisa persentase volume pengembangan


1
Rumus volume kerucut terpancung = 3 𝜋 𝑡 (r22 + r2r1 + r12)
Gambar 1. Kerucut Terpancung
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟−𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑤𝑎𝑙
Volume pengembangan (%) = x 100%
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑤𝑎𝑙

b. Analisa volume pengembangan adonan spesifik


Volume pengembangan adonan diukur setelah proses fermentasi
dalam Proofing chamber pada suhu dan RH yang telah ditentukan.
Pengukuran volume menggunakan rumus
volume (cm3)
volume spesifik (cm3 /gram) = adonan (gram) (Griswold, 1972 dalam Ćuric,

2007).
c. Analisa firmness adonan
Firmness adonan diukur dengan menggunakan Tekstur Analyzer pada
adonan yang telah homogen akibat mixing selama 6 menit.
d. Analisa kekerasan crust dan crumb
Analisa kekerasan crust dan crumb diukur dengan menggunakan alat
Texture Analyzer dengan menekan alat pada sampel roti sebanyak 3 kali
ulangan.
e. Analisa keseragaman pori – pori crumb
Keseragaman pori – pori crumb diukur dengan pengukuran lubang
yang terlihat dari hasil scanning lembaran roti menggunakan jangka
sorong.
f. Analisa intensitas warna crust
Intensitas warna crust roti setelah baking diukur menggunakan alat
Chromameter Minolta.
g. Analisis organoleptik
Pengujian organoleptik merupakan teknik penilaian menggunakan
panca indera manusia (Ayustaningwarno, 2014). Uji organoleptik
berperan dalam pengembangan kualitas produk pangan. Uji hedonik
menggambarkan tingkat kesukaan panelis terhadap suatu produk.
Penilaian produk melalui parameter rasa, aroma, warna, tekstur, dan
secara keseluruhan produk dengan tingkat kesukaan berupa skala hedonik
1-7 (sangat tidak suka-sangat suka). Kuisioner uji hedonik untuk roti
tawar bebas gluten dapat dilihat pada lampiran 2.

2.2 Analisis perlakuan terbaik

Perlakuan terbaik dihitung berdasarkan pengujian fisik dan


organoleptik yang ditentukan menggunakan metode Multiple Attribute
Zeleny. Selanjutnya dilakukan analisis proksimat pada roti dengan
perlakuan terbaik meliputi analisis kadar air (AOAC, 1995), kadar protein
mikro-kjendahl (AOAC,1995), kadar lemak metode soxhlet (AOAC,
2005), kadar abu (AOAC, 2005), dan kadar karbohidrat by different
(AOAC, 2005).

a. Kadar air (AOAC 1995)


Kadar air diukur dengan menggunakan metode AOAC (1995), dengan
cara kerja yaitu cawan porselin dikeringkan dalam oven selama 30 menit
dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang,
sampel macaron dihaluskan hingga homogen lalu ditimbang sebanyak
kurang lebih 2 gram, sampel tersebut dimasukkan ke dalam cawan yang
telah diketahui beratnya, kemudian dipanaskan dengan oven pada suhu
105oC selama 12 jam, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang,
kadar air macaron ditentukan dari berat air yang menguap. Perhitungan %
kadar air menggunakan basis basah dengan rumus sebagai berikut:
𝐵−𝐶
Kadar air (%) = 𝐵−𝐴 x 100%

Keterangan :
A = Berat cawan kosong (g)
B = Berat cawan berisi sampel macaron (g)
C = Berta cawan dan sampel setelah dikeringkan (g)

b. Kadar protein mikro-kjendahl (AOAC,1995)


Analisis kadar protein dilakukan dengan menggunakan metode
kjeldahl mikro. Sampel sebanyak 0,1 gram dimasukkan ke dalam labu
kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan K2SO4 (1,9 g), HgO (40 mg),
H2SO4 (2,5 ml) serta beberapa tablet kjeldahl. Sampel dididihkan sampai
berwarna jernih (sekitar 1-1,5 jam), didinginkan dan dipindahkan ke alat
destilasi. Lalu dibilas dengan air sebanyak 5-6 kali dengan akuades (20
ml) dan air bilasan tersebut juga dimasukkan dibawah kondensor dengan
ujung kondensor terendam didalamnya. Ke dalam tabung reaksi
ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung
tabung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 125 ml berisi larutan
H3BO3 dan 3 tetes indikator BCG-MR yang ada dibawah kondensor.
Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml destilat yang
bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer. Destilat
dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi
merah. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Kadar protein
dapat dihitung dengan menggunkan rumus sebagai berikut:
c. Kadar lemak metode soxhlet (AOAC, 2005)
Analisis kadar lemak dilakukan dengan menggunakan metode soxhlet,
dengan cara kerja yaitu labu lemak yang akan digunakan dikeringkan
dalam oven bersuhu 105°C selama 1 jam, labu lemak didinginkan dalam
desikator selama 15 menit dan ditimbang (W2), sampel sebanyak ± 5 gram
dihaluskan kemudian ditimbang (W1) dan dibungkus menggunakan kertas
saring yang dibentuk selongsong (thimble), rangkai alat ekstraksi
dari heating mantle, labu lemak, soxhlet hingga kondensor, sampel
kemudian dimasukkan ke dalam soxhlet yang kemudian ditambahkan
pelarut heksan mencukupi 1½ siklus, ekstraksi dilakukan selama ± 6 jam
sampai pelarut turun kembali melalui sifon ke dalam labu lemak berwarna
jernih, hasil ekstraksi dari labu lemak dipisahkan antara heksan dan lemak
hasil ekstraksi menggunakan rotary evaporator ( rpm 50, suhu 69°C),
lemak yang sudah dipisahkan dengan heksan kemudian dipanaskan
kedalam oven dengan suhu 105°C selama 1 jam, labu lemak didinginkan
dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang (W3), lakukan pemanasan
kembali kedalam oven selama 1 jam, apabila selisih penimbangan hasil
ekstraksi terakhir dengan penimbangan sebelumnya belum mencapai
0,0002 gram, kemudian % kadar lemak dihitung dengan rumus :
𝑊3−𝑊2
% lemak = x 100%
𝑊1

d. Kadar abu (AOAC, 2005)


Pengukuran kadar abu berdasarkan AOAC (2005), menggunakan tanur
dengan cara kerja yaitu sampel macaron dihaluskan dengan menggunakan
mortal hingga homogen lalu ditimbang ± 2 gram, sampel tersebut
dimasukan ke dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya,
kemudian dibakar hingga tidak menimbulkan asap lalu diabukan di dalam
tanur sampai sampel berwarna putih pada suhu 550oC selama 10 jam,
setelah sampel berwarna putih, cawan porselen ditutup dan diambil
dengan penjepit lalu dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit, sampel
yang didapat didinginkan di dalam desikator selama kurang lebih 30 menit
kemudian timbang, kadar abu pada sampel macaron ditentukan dari berat
senyawa organik yang menguap. Perhitungan % kadar abu dihitung
dengan menggunakan rumus di bawah ini :
𝐶−𝐴
Kadar abu (%) = 𝐵−𝐴 x 100%

Keterangan :
A = Cawan kosong (g)
B = Cawan dengan sampel (g)
C = Cawan dan sampel setelah diabukan (g)

e. Kadar karbohidrat by different (AOAC, 2005).


Kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil
pengurangan dari 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan
kadar lemak sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor
pengurangan. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh kepada zat
gizi lainnya. Kadar karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan
rumus:
% karbohidrat = 100% − (% air + % abu + % protein + % lemak)
3.4 Luaran Penelitian

Luaran yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan
dan dimuat dalam jurnal nasional terakreditasi serta dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan pendidikan nasiona mengenai pengaruh dari penambahan enzim
transglutaminase pada roti tawar bebas gluten bagi penderita penyakit celiac.
3.5 Indikator Capaian

Dari percobaan yang akan diteliti akan dicari formula mana yang
menghasilkan roti tawar bebas gluten terbaik untuk penderita penyakit celiac
berdasarkan analisis-analisis yang akan diujikan.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial


dengan dua faktor yaitu rasio tepung jagung dan tepung chickpea (60:40, 50:50,
dan 40:60) dan konsentrasi enzim transglutaminase (1 IU TG sebanyak 0, 1, dan
1,5) dengan 9 kombinasi perlakuan dengan pengulangan sebanyak tiga kali
sehingga diperoleh 27 satuan percobaan. Data selanjutnya dianalisis dengan
ANOVA pada taraf kepercayaan 5%.
Keterangan :
Tepung : T
Konsentrasi : K
T1K1 : komposisi tepung jagung : tepung chickpea (60:40) dan konsentrasi TG 0
T1K2 : komposisi tepung jagung : tepung chickpea (60:40) dan konsentrasi TG 1
T1K3 : komposisi tepung jagung : tepung chickpea (60:40) dan konsentrasi TG 1,5

T2K1 : komposisi tepung jagung : tepung chickpea (50:50) dan konsentrasi TG 0


T2K2 : komposisi tepung jagung : tepung chickpea (50:50) dan konsentrasi TG 1
T2K3 : komposisi tepung jagung : tepung chickpea (50:50) dan konsentrasi TG 1,5

T3K1 : komposisi tepung jagung : tepung chickpea (40:60) dan konsentrasi TG 0


T3K2 : komposisi tepung jagung : tepung chickpea (40:60) dan konsentrasi TG 1
T3K3 : komposisi tepung jagung : tepung chickpea (40:60) dan konsentrasi TG 1,5
DAFTAR PUSTAKA

Al-Dmoor, H.M. & Galali, Y. 2014. Noverty formulas of free gluten flat bread for
coeliac disearse patients. World Journal of medical Sciences 11(3):306-311.
DOI: 10.5829/idosi.wjms.2014.11.3.84264

AOAC. 2005. Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical


Chemist. Washington, D.C : Benyamin Franklin Station.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of Association of Official Analytical


Chemist. AOAC International. Virginia USA.

Aptindo. 2014. Data Kebutuhan Tepung Terigu Nasional. www.aptindo.or.id.


Diunduh: 16 November 2019.

Chavan, J.K., S.S. Kadam, & L.R.,Beuchat 1989. Nutritional improvement of cereals
by fermentation. Critical Reviews in Food Science and Nutrition. 28(5):349–
400

Cortez, J, Bonner PLR, Griffin M. 2004. Application of transglutaminases in the


modification of wool textiles. Enz. Microb. Technol. 34: 64.72.

Cummins AG, Thomson IC. 2009 Prevalence of celiac disease in the Asia– Pacific
region. J. Gastroenterol Hepatol. 24 (8):1347-51.

Gambus, H., Sikora, M., dan Ziobro, R. (2007). The effect of composition of
hydrocolloids on properties of gluten-free Bread. Acta Scientiarum
Polonorum Technology Aliment 6(3):61-74.

Grades ZEA. 2006. Stability of microbial transglutaminase and its reactions with
individual caseins under atmospheric and high pressure. [disertasi].
Mexiko City: Fakultät Mathematik und Naturwissenschaften. Universität
Dresden.

Gujral N, Freeman HJ, Thomson AB. 2012. Celiac disease: Prevalence, diagnosis,
pathogenesis and treatment. World J Gastroenterol. 18(42):6036-59.

Loehr, J., & Schwartz, T. (2001). The making of a corporate athlete. Harvard
business review : 79(1), 120-129.
Man, S.; A. Paucean; S. Muste; A. Pop. (2014). Studies on the Formulation and
QualityCharacteristics of Gluten Free Muffins. Journal of Agroalimentary
Processes and Technologies 20 (2) : 122-127.

Mugah, E.M.; L.M. Duizer.; M.B. McSweeney. (2016). A Comparison of Sensory


Properties of Artisanal Style and Industrially Processed Gluten Free Breads.
International Journal of Gastronomy and Food Science (3) : 38-46.

Muthoharoh, D. F. dan Aji S. 2017. Pembuatan Roti Tawar Bebas Gluten Berbahan
Baku Tepung Garut, Tepung Beras, dan Maizena (Konsentrasi Glukomanan
dan Waktu Proofing). Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol 5, no 02 : 34 –
44.

Nonaka M, Tanaka H, Okiyama A, Motoki M, Ando H, Umeda K, Matsuura A. 1989.


Polymerization of several protein by Ca2+ independent transglutaminase
derived from microorganisms. Agric. Biol. Chem 53: 2619-2623.

Pelkowsky TD, Viera AJ. 2014. Celiac disease: Diagnosis and Management. Am Fam
Physician. Vol. 89 (2) : 99-105.

Rahmah, A., Faizah H., dan Rahmayuni. 2017. Penggunaan Tepung Komposit dari
Terigu, Pati Sagu, dan Tepung Jagung dalam Pembuatan Roti Tawar.
Jurnal Faperta. Vol. 4 no. 1 : 14.

Samantha, D. 2017. Karakteristik Fisikokimia, Sensori dan Kandungan Kalori dari


Roti Bebas Gluten yang Disubstitusi dengan Tepung Beras. Skripsi.
Universitas Khatolik Soegijapranata, Semarang.

Steina J, Schuppanc D. 2014. Coeliac Disease–New pathophysiological findings and


their implications for therapy. Viszeralmedizin.30 (3) : 156-65.

Suarni dan I.U. Firmansyah. 2005. Beras jagung: Prosesing dan kandungan nutrisi
sebagai bahan pangan pokok. Hlm. 393−398. Dalam Suyamto (Ed.) Prosiding
Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung, Makassar. 29−30 September 2005.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Suarni, S. (2009). Prospek Pemanfaatan Tepung Jagung untuk Kue Kering (Cookies).
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 28(2), 63-71.
Woodward J. 2016. Improving outcomes of refractory celiac disease – current and
emerging treatment strategies. Clin Exp Gastroenterol. 9:225-36.

Anda mungkin juga menyukai