Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

“ASUHAN KEPERWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT

OTITIS MEDIA DAN GLAUKOMA”

OLEH:

NAMA : NELVA KURNIA PUTRI

TINGKAT : II B

NIM : 18334061

DOSEN PEMBIMBING: NS.DEBBY SILVIA DEWI, S.KEP, M.KEP

PRODI D3 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2019
i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha penyayang kami
ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat hidayah-Nya
pada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Pada Pasien Otitis Media Dan Glukomia” ini dengan baik.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya
maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka
selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi aran dan kritik pada kami sehingga kami
dapat memperbaiki makalah kami dikemudian hari.

Pariaman, 14 Oktober 2019


Penyusun,

Nelva Kurnia Putri

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................. ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang................................................................................................... 1
1.2 RumusanMasalah ............................................................................................. 1
1.3 Tujuan ............................................................................................................... 1
BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Definisi ........................................................................................................... 2

2.2 Etiologi ............................................................................................................ 2

2.3 Patofisiologi .................................................................................................... 6

2.4 Manifestasi Klinis ........................................................................................... 7

2.5 Proses perjalanan penyakit (WOC) ................................................................. 14

2.6 Akibat dan komplikasi .................................................................................... 8

2.7 Penatalaksanaan .............................................................................................. 12

2.8 Asuhan Keperawatan ...................................................................................... 14

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 29

3.2 Saran ............................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Otitis media merupakan salah satu penyebab utama gangguan pendengaran dan
ketulian, bahkan dapat menimbulkan penyulit yang mengancam jiwa. Namun demikian
oleh sebagian masyarakat masih dianggap hal biasa, sehingga tidak segera mencari
pertolongan saat menderita otitis media. Saat pendengarannya mulai berkurang, tidak
mampu mengikuti pelajaran di sekolah ataukah setelah terjadi komplikasi barulah mereka
mencari pertolongan medis.
Survei epidemiologi di 7 propinsi Indonesia (1994-1996), menemukan bahwa dari
19.375 responden yang diperiksa ternyata 18,5% mengalami gangguan kesehatan telinga
dan pendengaran. Penderita otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan 25% dari
penderita yang datang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia dengan
prevalensi adalah 3,8 %.
Otitis media akut bisa terjadi pada semua usia, tetapi paling sering ditemukan
pada anak-anak terutama usia 3 bulan- 3 tahun. Sebagaimana halnya dengan kejadian
infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), otitis media juga merupakan salah satu penyakit
langganan anak. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami setidaknya satu
episode otitis media sebelum usia tiga tahun dan hampir setengah dari mereka
mengalaminya tiga kali atau lebih. Di Inggris, setidaknya 25% anak mengalami minimal
satu episode sebelum usia sepuluh tahun. Di negara tersebut otitis media paling sering
terjadi pada usia 3-6 tahun. OMA sering diderita oleh bayi dan anak-anak, penyebabnya
infeksi virus atau bakteri. Pada penyakit bawaan, seperti Down Syndrome dan anak
dengan alergi sering terjadi. Otitis media sebenarnya adalah diagnosa yang paling sering
dijumpai pada anak – anak di bawah usia 15 tahun.
Pada anak-anak semakin seringnya terserang infeksi saluran pernafasan atas,
kemungkinan terjadi otitis media akut juga semakin sering. Bayi-bayi yang di bawah
umur 6 minggu cenderung mempunyai infeksi-infeksi dari keragaman bakteri-bakteri
yang berbeda dalam telinga tengah.
4
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan
masalah sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan Otitis media?


2. Bagaimana terjadinya Otitis media?
3. Apa saja etiologi dari Otitis media?
4. Bagaimana patofisiologi dari Otitis media?
5. Apa saja manifestasi klinis dari Otitis media?
6. Apa saja pemeriksaan diagnostik pada penderita Otitis media?
7. Bagaimana penatalaksanaan medis dari Otitis media
8. Bagaimana pencegahan dari Otitis media?
9. Bagaimana WOC Otitis media?
10. Bagaimana asuhan Keperawatan Otitis media?

1.3 Tujuan Makalah


Pembuatan makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan penyusun
dalam hal atau gambaran patologi tentang penyakit Otitis media. Serta untuk salah satu
syarat dalam penugasan makalah mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah tahun ajaran
2015/2016

5
BAB II

LANDASAN TEORI

A. TEORITIS OTITIS MEDIA

2.1 Pengertian

Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.
Otitis media akut ialah peradangan telinga tengah yang mengenai sebagian atau
seluruh periosteum dan terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu.

Otitis Media Akut (OMA) dengan perforasi membran timpani dapat menjadi otitis
media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Beberapa faktor yang
menyebabkan OMA menjadi OMSK, antara lain: terapi yang terlambat diberikan, terapi
yang tidak adekuat, virulensi kuman yang tinggi, daya tahan tubuh pasien yang rendah
(gizi kurang), dan higiene yang buruk.
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) ialah infeksi kronis di telinga tengah
dengan perforasi membran timpani dan keluarnya sekret dari telinga tengah secaraterus
menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening, atau berupa
nanah. Biasanya disertai gangguan pendengaran. (Arif Mansjoer, 2001 : 82). Otitis Media
Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut “congek” adalah radang kronis telinga
tengah dengan adanya lubang (perforasi) pada gendang telinga (membran timpani) dan
riwayat keluarnya cairan (sekret) dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus
menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous, mukous, atau purulen.

2.2 Etiologi
Sumbatan pada tuba eustachius merupakan penyebab utama dari otitis media.
Pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba eustachius terganggu, sehingga pencegahan
invasi kuman ke dalam telinga tengah terganggu juga. Selain itu, ISPA juga merupakan
salah satu faktor penyebab yang paling sering.
6
Kuman penyebab OMA adalah bakteri piogenik, seperti Streptococcus
hemoliticus, Haemophilus Influenzae (27%), Staphylococcus aureus (2%), Streptococcus
Pneumoniae (38%), Pneumococcus.

Pada anak-anak, makin sering terserang ISPA, makin besar kemungkinan


terjadinya otitis media akut (OMA). Pada bayi, OMA dipermudah karena tuba
eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak horisontal. Cara masuk bakteri pada
kebanyakan pasien kemungkinan melalui tuba eustachii akibat kontaminasi sekresi dalam
nasofaring. Bakteri juga dapa masuk ke telinga tengah bila ada perforasi menbran
timpani. Eksudat purulen biasanya ada dalam telinga tengah dan mengakibatkan
kehilangan pendengaran konduktif. (Smeltzer, 2001: 2050)

2.3 Patofisiologi

Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat
bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut
sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya
sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri
dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam
telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius
menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang
gendang telinga Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu
karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan
organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran
yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih
banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45 desibel (kisaran
pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat,
cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena
tekanannya.

7
Otitis media dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga tengah, yang
mendapatkan infeksi bakteri yang membocorkan membran timpani. Stadium awal
komplikasi ini dimulai dengan hiperemi dan edema pada mukosa tuba eusthacius bagian
faring, yang kemudian lumennya dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa.
Gangguan ventilasi telinga tengah ini disertai oleh terkumpulnya cairan eksudat dan
transudat dalam telinga tengah, akibatnya telinga tengah menjadi sangat rentan terhadap
infeksi bakteri yang datang langsung dari nasofaring. Selanjutnya faktor ketahanan tubuh
pejamu dan virulensi bakteri akan menentukan progresivitas penyakit.

2.4 Klasifikasi

Otitis media dapat dibagi menjadi 4 yaitu :


1. Otitis media supuratif
1. Otitis media supuratif akut atau otitis media akut
2. Otitis media supuratif kronik
2. Otitis media non supuratif atau otitis media serosa
1. Otitis media serosa akut (barotrauma atau aerotitis)
2. Otitis media serosa kronik (glue ear)
3. Otitis media spesifik, seperti otitis media sifilitika atau otitis media tuberkulosa
4. Otitis media adhesiva
Sedangkan untuk stadium otitis media akut ada 5 stadium diantaranya adalah :
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Terdapat gambaran retraksi membran timpani akibat tekanan negatif di dalam telinga
tengah. Kadang berwarna normal atau keruh pucat. Efusi tidak dapat dideteksi. Sukar
dibedakan dengan otitis media serosa akibat virus atau alergi.
2. Stadium Hiperemis (Presupurasi)
Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran
timpani tampak hiperemis dan edema. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih
bersifat eksudat serosa sehingga sukar terlihat.
3. Stadium Supurasi

8
Membran timpani menonjol ke arah telinga luar akibat edema ynag hebat pada
mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, serta terbentuknya
eksudat purulen di kavum timpani.
4. Stadium Perforasi
Karena pemberian antibiotik yang terlambat atau virulensi kuman yang tinggi, dapat
terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke
telinga luar.
5. Stadium Resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka perlahan-lahan akan normal kembali. Bila
terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan mengering. Bila daya tahan tubuh
baik dan virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan.
(Mansjoer, 2001: 79-80)

2.5 Manifestasi Klinis


Secara umum gejala anak dengan OMA, yaitu :
 nyeri telinga
 keluarnya cairan dari telinga
 berkurangnya pendengaran
 demam
 sulit makan
 mual dan muntah
 riwayat menarik-narik daun telinga pada bayi
Selain itu, keadaan ini biasanya unilateral pada orang dewasa, yaitu :
 Otorrhea, bila terjadi ruptur membran timpani
 Keluhan nyeri telinga (otalgia)
 Demam
 Anoreksia
 Limfadenopati servikal anterior
 Otitis media serosa

9
 Pasien mungkin mengeluh kehilangan pendengaran, rasa penuh atau gatal dalam telinga
atau perasaan bendungan, atau bahkan suara letup atau berderik, yang terjadi ketika
tuba Eustachius berusaha membuka.
 Membran timpani merah, atau tampak kusam (warna kuning redup sampai abu-abu
pada otoskopi pneumatik) sering menggelembung tanpa tonjolan tulang (dapat terlihat
gelembung udara dalam telinga tengah), dan tidak bergerak pada otoskopi pneumatik
(pemberian tekanan positif atau negatif pada telinga tengah dengan insulator balon yang
dikaitkan ke otoskop), dan dapat mengalami perforasi.

Perbandingan gambaran klinis : otitis eksterna akut dan otitis media akut

Gambaran Otitis Ekterna Akut Otitis media akut

Otorea Mungkin ada mungkin Ada bila membrana


tidak timpani berlubang ; cairan
banyak keluar

Otalgia Persisten, samapai Hilang ketika membrana


membangunkan penderita timpani ruptur
dimalam hari

Nyeri tekan aural Ada pada palpasi aurikula Biasanya tidak ada

Gejala sistemik Tak ada Demam, infeksi saluran


napas atas, rinitis

Edema kanalis auditorius Ada Tak ada


eksternus

Membrana timpani Tampak normal Eritema, menggelembung,


dapat mengalami perforasi

Kehilangan pendengaran Tipe konduktif Tipe konduktif

10
2.6 Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
 Otoskop pneumatik untuk melihat membran timpani yang penuh, bengkak dan tidak
tembus cahaya dengan kerusakan mobilitas.
 Kultur cairan melalui mambran timpani yang pecah untuk mengetahui organisme
penyebab.
 Timpanogram untuk mengukur keseuaian dan kekakuan membrane timpani

2.7 Penatalaksanaan
Terapi OMA tergantung pada stadiumnya. Pengobatan pada stadium awal
ditujukan untuk mengobati infeksi saluran nafas, dengan pemberian antibiotik,
dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik.
1) Pada stadium oklusi, tujuan terapi dikhususkan untuk membuka kembali tuba
eustachius. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik
untuk anak <12 thn dan HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk anak yang
berumur >12 thn atau dewasa.. selain itu, sumber infeksi juga harus diobati
dengan memberikan antibiotik.
2) Pada stadium presupurasi, diberikan antibiotik, obat tetes hidung, dan analgesik.
Bila membran timpani sudah hiperemi difus, sebaiknya dilakukan miringotomi.
Antibiotik yang diberikan ialah penisilin atau eritromisin. Jika terdapat resistensi,
dapat diberikan kombinasi dengan asam klavunalat atau sefalosporin. Untuk
terapi awal diberikan penisilin IM agar konsentrasinya adekuat di dalam darah.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Pada anak diberikan ampisilin 4x50-
100 mg/KgBB, amoksisilin 4x40 mg/KgBB/hari, atau eritromisin 4x40
mg/kgBB/hari.
3) Pengobatan stadium supurasi selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk
dilakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh. Selain itu, analgesik
juga perlu diberikan agar nyeri dapat berkurang.
4) Pada stadium perforasi, diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari
serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan
perforasi akan menutup sendiri dalam 7-10 hari.

11
5) Stadium resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir keluar. Pada keadaan ini
dapat dilanjutkan antibiotik sampai 3 minggu, namun bila masih keluar sekret
diduga telah terjadi mastoiditis.

2.8 Komplikasi
Menurut Jeffrey P. Harris dan David H. Darrow membagi komplikasi ini menjadi dua
yaitu :
A. Komplikasi intrakranial meliputi:
1. Meningitis
Meningitis dapat terjadi disetiap saat dalam perjalanan komplikasi infeksi telinga.
Jalan penyebaran yang biasa terjadi yaitu melalui penyebaran langsung, jarang
melalui tromboflebitis. Pada waktu kuman menyerang biasanya streptokokkus,
pneumokokkus, atau stafilokokkus atau kuman yang lebih jarang H. Influenza,
koliform, atau piokokus, menginvasi ruang sub arachnoid, pia-arachnoid bereaksi
dengan mengadakan eksudasi cairan serosa yang menyebabkan peningkatan
ringan tekanan cairan spinal.
2. Abses subdural
Abses subdural merupakan stadium supurasi dari pekimeningitis interna.
Sekarang sudah jarang ditemukan. Bila terjadi harus dianggap keadaan gawat
darurat bedah saraf, karena harus mendapatkan pembedahan segera untuk
mencegah kematian.
3. Abses ekstradural
Abses ekstradural ialah terkumpulnya nanah diantara durameter dan tulang yang
menutupi rongga mastoid atau telinga tengah. Abses ekstradural jika tidak
tertangani dengan baik dapat menyebabkan meningitis, trombosis sinus sigmoid
dan abses otak (lobus temporal atau serebelar, tergantung pada sisi yang terkena.
4. Trombosis sinus lateralis
Sejalan dengan progresifitas infeksi, trombus mengalami perlusan retrograd
kedaerah vena jugular, melintasi sinus petrosus hingga ke daerah sinus

12
cavernosus. Komplikasi ini sering ditemukan pada zaman pra-antibiotik, tetapi
kini sudah jarang terjadi.
5. Abses otak
Sebagai komplikasi otitis media dan mastoiditis, abses otak dapat timbul di
serebellum di fossa kranii posterior, atau pada lobus temporal di fossa kranii
media. Abses otak biasanya terbentuk sebagai perluasan langsung infeksi telinga
atau tromboflebitis.
6. Hidrosefalus otitis
Kelainan ini berupa peningkatan tekanan intrakranial dengan temuan cairan
serebrospinal yang normal. Pada pemeriksaan terdapat edema papil. Keadaan ini
dapat menyertai otitis media akut atau kronis.

B. Komplikasi intratemporal meliputi :


1. Facial paralisis
2. Labirintitis
3. Abses Subperiosteal

2.9 Pencegahan
Beberapa hal yang tampaknya dapat mengurangi risiko OMA adalah:
1. Pencegahan ISPA pada bayi dan anak-anak.
2. Pemberian ASI minimal selama 6 bulan.
3. Penghindaran pemberian susu di botol saat anak berbaring.
4. Penghindaran pajanan terhadap asap rokok.
5. Berenang kemungkinan besar tidak meningkatkan risiko OMA.

13
WOC OMA

OMA adalah suatu infeksi pada telinga tengah yang disebabkan karena masuknya
bakteri patogenik ke dalam telinga tengah (Smeltzer,2001).

ETIOLOGI

Bakteri patogenik Alergi

Gangguan rasa
Menyerang nyaman (nyeri) b.d Sumbatan pada tuba
nasofaring dan faring proses peradangan eustachius

Enzim pelindung dan


ISPA
bulu-bulu halus tidak
berfungsi
pembengkakan
nyeri
saluran eustachius
Bakteri dapat masuk
melalui saluran
napas

ISPA

Lendir dan nanah Tekanan cairan


meningkat meningkat

Pendengaran terganggu
Gendang telinga
robek

Gangguan
Kehilangan pendengaran psikososial b.d
Tuli kondusif 14 otarea
Gangguan
Otarea psikososial b.d
otarea
WOC OMK

OMK adalah infeksi kronik di telinga tengah dengan performasi membrane timpani dan
secret yang keluar dari telinga tengah secara terus-menerus atau hilang timbul. Sekret
mungkin encer atau kental; bening atau berupa nanah (Syamsuhidajat,1997).

Pengobatan Infeksi virus atau bakteri Gangguan fungsi tuba


OMA yang tidak eustachius
adekuat
terjadi pada nasofaring
Misal adanya sumbatan
Perforasi yang sudah pada tuba eustachius
terbentuk
melalui tuba eustachius
Enzim pelindung dan
bulu-bulu halus tidak
Keluarnya secret terus- Menyerang telinga berfungsi
menerus tengah

Bakteri dapat masuk


OtiMed berulang Inflamasi di
Melalui peforasi melalui saluran napas
telinga
membrane timpani
tengah
OMK
ISPA
Inflamasi
Perubahan persepsi
sensori b.d infeksi di Pembengkakan saluran
telinga tengah demam eustachius
nyeri

Nyeri b.d proses Tekanan cairan


peradangan meningkat

Gangguan komunikasi Merobek gendang


b.d efek kehilangan Kehilangan pendengaran telinga
pendengaran
15
B. ASUHAN KEPERAWATAN OTITIS MEDIA

1. Pengkajian

a. Identitas klien
b. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah ada kebiasaan berenang, apakah pernah menderita gangguan pendengaran
(kapan, berapa lama, pengobatan apa yang dilakukan, bagaimana kebiasaan
membersihkan telinga, keadaan lingkungan tenan, daerah industri, daerah polusi),
apakah riwayat pada anggota keluarga.
2. Riwayat kesehatan sekarang
kaji keluhan kesehatan yang dirasakan pasien pada saat di anamnesa, Seperti
penjabaran dari riwayat adanya kelainan nyeri yang dirasakan.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami penyakit yang sama.
Ada atau tidaknya riwayat infeksi saluran pendengaran yang berulang dan riwayat
alergi pada keluarga.
c. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum klien
a. Kepala
Lakukan Inspeksi,palpasi,perkusi dan di daerah telinga,dengan menggunakan
senter ataupun alat-alat lain nya apakah ada cairan yang keluar dari
telinga,bagaimana warna, bau, dan jumlah.apakah ada tanda-tanda radang.
b. Kaji adanya nyeri pada telinga
c. Leher, Kaji adanya pembesaran kelenjar limfe di daerah leher
d. Dada / thorak
e. Jantung
f. Perut / abdomen
g. Genitourinaria
h. Ekstremitas

16
i. Sistem integumen
j. Sistem neurologi
k. Data pola kebiasaan sehari-hari
d. Nutrisi
Bagaimana pola makan dan minum klien pada saat sehat dan sakit,apakah ada perbedaan
konsumsi diit nya.
e. Eliminasi
Kaji miksi,dan defekasi klien
f. Aktivitas sehari-hari dan perawatan diri
Biasanya klien dengan gangguan otitis media ini,agak susah untk berkomunikasi dengan
orang lain karena ada gangguan pada telinga nya sehingga ia kurang mendengar/kurang
nyambung tentang apa yang di bicarakan orang lain.
g. Pemeriksaan diagnostik
1. Tes Audiometri : AC menurun
2. X ray : terhadap kondisi patologi
3. Tes berbisik
4. Tes garpu tala

2. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa Otitis media akut
1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan proses peradangan pada
telinga tengah
2. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran.
3. Gangguan persepsi/sensoris berhubungan dengan obstruksi, infeksi di telinga
tengah atau kerusakan di syaraf pendengaran
4. Ansietas berhubuangan denagn prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi,
nyeri, hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah
operasi.

17
3. Intervensi
NO Diagnosa Keperawatan Luaran dan kriteria hasil Intervensi (SIKI)
(SLKI)
1 Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan a. Observasi :
nyaman (nyeri) keperawatan selama 3 x 24  Lakukan pengkajian yang komprehensif
berhubungan jam maka nyeri menurun meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi,
dengan proses dengan Kriteria Hasil: frekuensi, intensitas, kualitas atau keparahan
peradangan pada telinga Menunjukkan Tingkat Nyeri nyeri dan factor presipitasinya.
tengah yang dibuktikan oleh indicator  Lakukan pemeriksaaan TTV
sebagai berikut (sebutkan 1-5 b. Terapeutik
: sangat berat, berat, sedang,  Gunakan pendekatan yang positif untuk
ringan atau tidak ada) : mengoptimalkan respon pasien terhadap
 Ekspresi nyeri pada analgesik.
wajah  Gunakan pendekatan yang menenangkan
 Gelisah/ ketegangan  Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku
otot pasien
 Durasi episode nyeri  Jelaskan semua prosedur dan apa yang
 Merintih dan menangis dirasakan selama prosedur
 Gelisah  Temani pasien untuk memberikan keamanan
dan mengurangi takut
c. Edukasi
 Bantu pasien mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan
 Dorong pasien untuk mengungkapkan perasan
,ketakutan,persepsi
 Instruksikan pasien menggunakan teknik
relaksasi
 Informasikan kepada pasien tentang prosedur
yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan
strategi koping yang disarankan.
18
2 Gangguan interakasi Setelah dilakukan tindakan a. Observasi
sosial berhubungan keperawatan selama 3 x 24  Identifikasi kemampuan berintekrasi
dengan efek kehilangan jam maka interakasi sosial dengan orang lain.
pendengaran meningkat dengan Kriteria  Identifikasi hambatan melakukan interaksi
Hasil: dengan orang lain
 Perasaan nyaman dengan b. Terapeutik
situasi sosial  Motivasi meningkatkan kterlibatan dalam
 Perasaan mudah suatu hubungan
mengkomunikasikan  Motivasi berpartisipsi dalam kegiatan baru
perasaaan dan kelompok
 Minat melakukan kontak  Motivasi interaksi di luar lingkungan
fisik  Diskusikan perencanaa kegiatan masa
 Responsif kepada orang depan
lain c. Edukasi
 Anjurkan berintekrasi dengan orang lain
secara berthap
 Anjurkan ikut serta kegiatan sosial
 Anjurkan berbagi pengalaman denagn
orang lain

3 Gangguan persepsi Setelah dilakukan tindakan a. Observasi


sensoris berhubungan keperawatan selama 3 x 24  Periksa status mental,status sensori,dan
dnegan obstruksi, infeksi jam maka Gangguan persepsi tingkat kenyamanan
di telinga sensoris menurun dengan b. Terapeutik
tengah atau kerusakan di Kriteria Hasil membaiknya :  Diskusikan tingkat toleranasi terhadap
saraf pendengaran.  Verbalisasi mendengar beban sensori
bisikan  Batasi stimulus lingkunagn
 Distorsi sensori  Jadwalkan aktivitas harian dan istirahat.
 Perilaku halusinasi c. Edukasi

19
 Konsentrasi  Ajarkan cara menimilasisasikan stimulasi
 Orientasi (mengurangi kebisingan)
 Fungsi sensori

4 Ansietas berhubuangan Setelah dilakukan tindakan a. Observasi


dengan prosedur operasi, keperawatan selama 3 x 24  Identifiaksi saat tingkat ansietas berubah
diagnosis, prognosis, jam maka Ansietas menurun  Identifikasi kemampuan mengambil
anestesi, nyeri, dengan Kriteria Hasil : keputusan
hilangnya fungsi,  Verbalisasi  Monitor tanda ansietas
kemungkinan penurunan kebingungan b. Terapeutik
pendengaran lebih besar  Verbalisasi khawatir c. Ciptakan suasana terapeutik untuk
setelah operasi. akibat kondisi yang menumbukan kepercayaaan
dihadapi  Tempatkan barang pribadi dengan
 Perlaku gelisah memberikan kenyamanan
 Perilaku tegang  Motivasi mengidentifikasi situasi yang
 Konsentrasi meningkat memicu kecemasan
 Pola tidur membaik  Gunakan pendekatan yang tenang
Edukasi
 Informasikan secara aktual pengobatan
 Anjurkan keluarga tetap bersaama pasien
 Tidak melakukan kegitan yang tidak
kompetitif
 Anjurkan mengungkapkan perasaan dan
persepsi
 Latih tekinik relaksasi

20
4.Implementasi Keperawatan

Menurut Patricia A. Potter (2005), Implementasi merupakan pelaksanaan dari rencana


tindakan keperawatan yang telah disusun / ditemukan, yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan pasien secara optimal dapat terlaksana dengan baik dilakukan oleh pasien itu sendiri
ataupun perawat secara mandiri dan juga dapat bekerjasama dengan anggota tim kesehatan
lainnya seperti ahli gizi dan fisioterapis. Perawat memilih intervensi keperawatan yang akan
diberikan kepada pasien.
Berikut ini metode dan langkah persiapan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan yang dapat
dilakukan oleh perawat :

1. Memahami rencana keperawatan yang telah ditentukan


2. Menyiapkan tenaga dan alat yang diperlukan
3. Menyiapkan lingkungan terapeutik
4. Membantu dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
5. Memberikan asuhan keperawatan langsung
6. Mengkonsulkan dan memberi penyuluhan pada klien dan keluarganya.

Implementasi membutuhkan perawat untuk mengkaji kembali keadaan klien, menelaah, dan
memodifikasi rencana keperawatn yang sudah ada, mengidentifikasi area dimana bantuan
dibutuhkan untuk mengimplementasikan, mengkomunikasikan intervensi keperawatan.
Implementasi dari asuhan keperawatan juga membutuhkan pengetahuan tambahan keterampilan
dan personal. Setelah implementasi, perawat menuliskan dalam catatan klien deskripsi singkat
dari pengkajian keperawatan, Prosedur spesifik dan respon klien terhadap asuhan keperawatan
atau juga perawat bisa mendelegasikan implementasi pada tenaga kesehatan lain termasuk
memastikan bahwa orang yang didelegasikan terampil dalam tugas dan dapat menjelaskan tugas
sesuai dengan standar keperawatan.

5.Evaluasi
Menurut Patricia A. Potter (2005), Evaluasi merupakan proses yang dilakukan untuk
menilai pencapaian tujuan atau menilai respon klien terhadap tindakan leperawatan
seberapa jauh tujuan keperawatan telah terpenuhi.
21
Pada umumnya evaluasi dibedakan menjadi dua yaitu evaluasi kuantitatif dan evaluasi kualitatif.
Dalam evalusi kuantitatif yang dinilai adalah kuatitas atau jumlah kegiatan keperawatan yang
telah ditentukan sedangkan evaluasi kualitatif difokoskan pada masalah satu dari tiga dimensi
struktur atau sumber, dimensi proses dan dimensi hasil tindakan yang dilakukan.
Adapun langkah-langkah evaluasi keperawatan adalah sebagai berikut :

1. Mengumpulkan data keperawatan pasien


2. Menafsirkan (menginterpretasikan) perkembangan pasien
3. Membandingkan dengan keadaan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan dengan
menggunakan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
4. Mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan standar normal yang
berlaku.

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid yang biasanya disebabkan oleh bakteri atau virus yang terjadi kurang
dari 3 minggu. Penyebab utama dari OMA adalah tersumbatnya saluran atau tuba eustachius
yang bisa disebabkan oleh proses peradangan akibat infeksi bakteri yang masuk ke dalam tuba
eustachius tersebut, kejadian ISPA yang berulang pada anak juga dapat menjadi faktor penyebab
terjadinya OMA pada anak. Stadium OMA dapat terbagi menjadi lima stadium, antara lain :
Stadium Oklusi, Presupurasi, Supurasi, Perforasi, dan Stadium Resolusi. Dimana manifestasi
dari OMA juga tergantung pada letak stadium yang dialami oleh klien. Terapi dari OMA juga
berdasar pada stadium yang dialami klien. Dari perjalanan penyakit OMA, dapat muncul
beberapa masalah keperawatan yang dialami oleh klien, antara lain : nyeri, resiko infeksi, resiko
injury, gangguan persepsi sensori, dan gangguan konsep diri.

3.2 Saran

Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan belum
mencapai seluruh aspek. Oleh karena itu kami menyarankan agar pembaca dapat mencari
reverensi – reverensi dari buku – buku lain yang juga mendukung dalam Asuhan Keperawatan
pada Otitis Media akut dan kronis.

23
DAFTAR PUSTAKA

Brunner,Sudarth.2013.Keperawatan Medikal Bedah.Edisi.12.Jakarta : EGC

Huda,N.Amin.2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &


NANDA NIC NOC

Padila.2017.Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah.Yogyakarta : Nuha Medika

Syaifuddin. (2016). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC.

24
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Glaukoma adalah penyakit yang terjadi akibat gangguan tekanan intraokuler pada mata. Oleh
karena itu glaukoma dapat mengganggu penglihatan yang perlu diwaspadai. Tidak hanya itu,
glaucoma juga dapat membawa kita kepada kebutaan. Contohnya pada kasus glaucoma yang
terjadi di Amerika Serikat. Disana glaucoma beresiko 12% pada kebutan(Luckman &
Sorensen.1980).

Menurut data dari WHO pada tahun 2002, penyebab kebutaan paling utama di dunia adalah
katarak (47,8%), galukoma (12,3%), uveitis (10,2%), age- related mucular degeneration (AMD)
(8,7%), trakhoma (3,6%), corneal apacity (5,1%), dan diabetic retinopathy (4,8%). Namun
sesungguhnya hal ini bisa di cegah dengan pemeriksaan tonometri rutin. Sehingga tidak sampai
terjadi hal fatal seperti kebutaan. Jika seseorang tidak pernah melakukan pemeriksaan tonometri,
sedang ia baru mendapati dirinya glaukoma yang sudah fatal, maka tindakan yang bisa di ambil
adalah operasi. Mendengar kata ini jelas kita sudah merinding sebelum melakukannya. Apalagi
hasil dari opersi belum tentu sesuai dengan harapan kita. Misal, opersi tersebut berujung pada
kebutaan seperti contoh di atas. Oleh karena itu, kita perlu malakukan pengukuran tonometri
rutin dan juga memahami proses keparawatan pada klien glaukoma. Supaya sebagai perawat
tentunya kita dapat menegakkan asuhan keperawatan yang benar.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami kelainan penglihatan pada pasien glaukoma

2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami pengertian glaukoma
b. Mahasiswa mampu memahami etiologi glaukoma
c. Mahasiwa mampu memahami manifestasi klinik glaukoma

25
d. Mahasiswa mampu memahami klasifikasi glaukoma
e. Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan glaukoma
f. Mahasiswa mampu memahami pengkajian glaukoma
g. Mahasiswa mampu memahami diagnosa berhubungan dengan analisa data glaukoma
h. Mahasiswa mampu memahami intervensi dari setiap diagnosa
i. Mahasiswa mampu memahami evaluasi glaukoma

C. Manfaat
Manfaat yang diharapkan oleh penulis pada penyakit Glukoma adalah sebagai berikut :
1. Untuk masyarakat : sebagai bahan informasi untuk menambah pengetahuan kesehatan
2. Untuk Mahasiswa : di harapkan makalah ini dapat bermanfaat sebagai bahan pembanding
tugas serupa.
3. Untuk Insatansi : agar tercapainya tingkat kepuasan kerja yang optimal
4. Untuk tenaga kesehatan : makalah ini bisa di jadikan bahan acuan untuk melakukan tindakan
asuhan keperawatan pada kasus yang serupa..

26
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Teori

1. Pengertian/Definisi

Glaukoma berasal dari bahasa Yunani: Glaukos yang berarti hijau kebiruan yang
memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita ditandai dengan adanya peningkatan
tekanan bola mata, atropi papil saraf optik dan menciutnya lapang pandang.

Glaukoma adalah penyakit mata yang menyebabkan proses hilangnya pengelihatan yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan cairan didalam mata, karena gangguan makanisme
pengeluaran cairan mata dan kelainan syaraf mata. Jika tidak ditangani dengan segera dapat
menyebabkan kerusakan retina dan resiko kebutaan total.

Glaukoma adalah Sekelompok kelainan mata yang ditandai dengan peningkatan tekanan
intraokular.( Barbara C Long, 2000 : 262 )
Glaukoma merupakan sekelompok penyakit kerusakan saraf optik(neoropati optik) yang
biasanya disebabkan oleh efek peningkatan tekanan okular pada papil saraf optik. Yang
menyebabkan defek lapang pandang dan hilangnya tajam penglihatan jika lapang pandang
sentral terkena.. (Bruce James. et al , 2006 : 95)

Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai ekskavasi glaukomatosa, neuropati saraf
optik, serta kerusakan lapang pandang yang khas dan utamanya diakibatkan oleh tekanan bola
mata yang tidak normal. (Sidarta Ilyas, 2002 : 239). Glaukoma adalah suatu keadaan dimana
tekanan bola mata tidak normal (N = 15-20mmHg). (Sidarta Ilyas, 2004 : 135)

2.1. Penyebab/ Etiologi

Ada beberapa sebab dan faktor yang beresiko terhadap terjadinya glaukoma. Diantaranya adalah:

1. Umur

27
Risiko glaukoma bertambah tinggi dengan bertambahnya usia. Terdapat 2% dari populasi usia 40
tahun yang terkena glaukoma. Angka ini akan bertambah dengan bertambahnya usia.

2. Riwayat anggota keluarga yang terkena glaukoma

Untuk glaukoma jenis tertentu, anggota keluarga penderita glaukoma mempunyai resiko 6 kali
lebih besar untuk terkena glaukoma. Resiko terbesar adalah kakak-beradik kemudian hubungan
orang tua dan anak-anak.

3. Tekanan bola mata

Tekanan bola mata diatas 21 mmHg berisiko tinggi terkena glaukoma. Meskipun untuk sebagian
individu, tekanan bola mata yang lebih rendah sudah dapat merusak saraf optik. Untuk mengukur
tekanan bola mata dapat dilakukan dirumah sakit mata dan/atau dokter spesialis mata. Obat-
obatan

4. Pemakai steroid secara rutin

Pemakai obat tetes mata yang mengandung steroid yang tidak dikontrol oleh dokter, obat inhaler
untuk penderita asma, obat steroid untuk radang sendi dan pemakai obat yang memakai steroid
secara rutin lainnya. Bila anda mengetahui bahwa anda pemakai obat-obatan steroid secara rutin,
sangat dianjurkan memeriksakan diri anda ke dokter spesialis mata untuk pendeteksian
glaukoma.

2.2. Manifestasi klinis

1. Nyeri pada mata dan sekitarnya (orbita, kepala, gigi, telinga).

2. Pandangan kabut, melihat halo sekitar lampu.

3. Mual, muntah, berkeringat.

4. Mata merah, hiperemia konjungtiva, dan siliar.

5. Visus menurun.

6. Edema kornea.

28
7. Bilik mata depan dangkal (mungkin tidak ditemui pada glaukoma sudut terbuka).

8. Pupil lebar lonjong, tidak ada refleks terhadap cahaya.

9. TIO meningkat.( Anas Tamsuri,2010 : 74-75 )

2.3. Klasifikasi.

1. Glaukoma Primer

Glaukoma jenis ini merupakan bentuk yang paling sering terjadi, struktur yang terlibat
dalam sirkulasi dan atau reabsorbsi akuos humor mengalami perubahan langsung.

a. Glaukoma Sudut Terbuka

Glaukoma sudut terbuka/glaukoma kronik/glaukoma simpleks merupakan bentuk


glaukoma primer paling sering yang lebih tersembunyi dan membahayakan serta paling sering
terjadi (kurang lebih 90% dari klien glaukoma). Diduga glaukoma ini diturunkan secara
dominan/resesif pada 50% penderita. Keadaan ini terjadi pada klien usia lanjut (>40 tahun) dan
perubahan karena usia lanjut memegang peranan penting dalam proses sklerosa badan silier dan
jaringan trebekel,

b. Glaukoma Sudut Tertutup.

Glaukoma sudut tertutup/glaucoma acute, mekanisme dasar yang terlibat dalam


patofisiologi glaukoma ini adalah menyempitnya sudut dan perubahan letak iris yang terlalu ke
depan. Perubahan letak iris menyebabkan kornea menyempit atau nmenutup sudut ruangan yang
akan menghalangi aliran keluar akueos humor. TIO meningkat dengan cepat, kadang-kadang
mencapai tekanan 50-70 mmHg ( dewit, 1998).

Tanda dan gejala meliputi nyeri hebat di dalam dan sekitar mata., timbulnya halo di sekitar
cahaya, pndangan kabur. Klien kadang mengeluhkan keluhan umum seperti sakit kepala, mual,

29
muntah, kedinginan, demam. Peningkatan TIO menyebabkan nyeri yang melalui saraf kornea
menjalar ke pelipis, oksiput dan rahang melaui cabang-cabang nervus trigeminus. Iritasi

2. Glaukoma Sekunder.

Glaukoma sekunder adalah glaucoma yang terjadi akibat penyakit mata lain yang
menyebabkan penyempitan sudut atau peningkatan volume cairan di dalam mata. Kondisi ini
secara tidak langsung mengganggu aktivitas struktur yang terlibat dalam sirkulasi dan atau
reabsorbsi akueos humor. Gangguan ini terjadi akibat:

 Perubahan lensa, dislokasi lensa , terlepasnya kapsul lensa pada katarak


 Perubahan uvea, uveitis, neovaskularisasi iris, melanoma dari jaringan uvea
 Trauma, robeknya kornea/limbus diserai prolaps iris.

3. Glaukoma Congenital.
Glaukoma ini terjadi akibat kegagalan jaringan mesodermal memfungsikan trabekular.
Kondisi ini disebabkan oleh ciri autosom resesif dan biasanya bilateral

30
3.1. WOC (Terlampir)

2.4 Penatalaksanaan Medis


1. Terapi medikamentosa
Tujuannya adalah menurunkan TIO (Tekanan Intra Okuler) terutama dengan
menggunakan obat sistemik (obat yang mempengaruhi tubuh)

31
a. Obat Sistemik
 Asetazolamida, obat yang menghambat enzim karbonik anhidrase yang akan
mengakibatkan diuresis dan menurunkan sekresi cairan mata sebanyak 60%, menurunkan
tekanan bola mata. Pada permulaan pemberian akan terjadi hipokalemia sementara. Dapat
memberikan efek samping hilangnya kalium tubuh parastesi, anoreksia, diarea,
hipokalemia, batu ginjal dan miopia sementara.
 Agen hiperosmotik. Macam obat yang tersedia dalam bentuk obat minum adalah glycerol
dan isosorbide sedangkan dalam bentuk intravena adalah manitol. Obat ini diberikan jika
TIO sangat tinggi atau ketika acetazolamide sudah tidak efektif lagi.

b. Obat Tetes Mata Lokal


 Penyekat beta. Macam obat yang tersedia adalah timolol, betaxolol, levobunolol,
carteolol, dan metipranolol. Digunakan 2x sehari, berguna untuk menurunkan TIO.
 Steroid (prednison). Digunakan 4x sehari, berguna sebagai dekongestan mata. Diberikan
sekitar 30-40 menit setelah terapi sistemik.

2. Terapi Bedah

a. Iridektomi perifer. Digunakan untuk membuat saluran dari bilik mata belakang dan depan
karena telah terdapat hambatan dalam pengaliran humor akueus.

b. Trabekulotomi (Bedah drainase). Dilakukan jika sudut yang tertutup lebih dari 50% gagal
dengan iridektomi.

2.5 Komplikasi
Kebutaan dapat terjadi pada semua jenis glaukoma, glaukoma penutupan sudut akut
adalah suatu kedaruratan medis. agens topikal yang digunakan untuk mengobati glaukoma
dapat memiliki efek sistemik yang merugikan, terutama pada lansia. Efek ini dapat berupa
perburukan kondisi jantung, pernapsan atau neurologis.

32
2.6 Pemeriksaan Laboratorium.
1. PEMERIKSAAN TAJAM PENGLIHATAN
Pemeriksaan tajam penglihatan bukan merupakan pemeriksaan khusus untuk
glaukoma.:
a. Tonometri
Tonometri diperlukan untuk mengukur tekanan bola mata. Dikenal empat cara
tonometri, untuk mengetahui tekanan intra ocular yaitu :
- Palpasi atau digital dengan jari telunjuk
- Indentasi dengan tonometer schiotz
- Aplanasi dengan tonometer aplanasi goldmann
- Nonkontak pneumotonometri

b. Tonomerti Palpasi atau Digital\

Cara ini adalah yang paling mudah, tetapi juga yang paling tidak cermat, sebab cara
mengukurnya dengan perasaan jari telunjuk. Dpat digunakan dalam keadaan terpaksa dan
tidak ada alat lain. Caranya adalah dengan dua jari telunjuk diletakan diatas bola mata
sambil pendertia disuruh melihat kebawah. Mata tidak boleh ditutup, sebab menutup mata
mengakibatkan tarsus kelopak mata yang keras pindah ke depan bola mata, hingga apa yang
kita palpasi adalah tarsus dan ini selalu memberi kesan perasaan keras. Dilakukan dengan
palpasi : dimana satu jari menahan, jari lainnya menekan secara bergantian.
Tinggi rendahnya tekanan dicatat sebagai berikut :
N : normal
N + 1 : agak tinggi
N + 2 : untuk tekanan yang lebih tinggi
N – 1 : lebih rendah dari normal
N – 2 : lebih rendah lagi, dan seterusnya.

2. Gonioskopi.

33
Gonioskopi adalah suatu cara untuk memeriksa sudut bilik mata depan dengan
menggunakan lensa kontak khusus. Dalam hal glaukoma gonioskopi diperlukan untuk
menilai lebar sempitnya sudut bilik mata depan.

3. Oftalmoskopi.
Pemeriksaan fundus mata, khususnya untuk mempertahankan keadaan papil saraf optik,
sangat penting dalam pengelolaan glaukoma yang kronik. Papil saraf optik yang dinilai
adalah warna papil saraf optik dan lebarnya ekskavasi. Apakah suatu pengobatan berhasil
atau tidak dapat dilihat dari ekskavasi yang luasnya tetap atau terus melebar.

4. Pemeriksaan Lapang Pandang


a. Pemeriksaan lapang pandang perifer :lebih berarti kalau glaukoma sudah lebih lanjut,
karena dalam tahap lanjut kerusakan lapang pandang akan ditemukan di daerah tepi, yang
kemudian meluas ke tengah.
b. Pemeriksaan lapang pandang sentral : mempergunakan tabir Bjerrum, yang meliputi
daerah luas 30 derajat. Kerusakan – kerusakan dini lapang pandang ditemukan para sentral
yang dinamakan skotoma Bjerrum.(Sidarta Ilyas, 2002 : 242-248)

Pada penderita dengan dugaan glaukoma harus dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:
1. Biomikroskopi, untuk menentukan kondisi segmen anterior mata, dengan pemeriksaan ini
dapat ditentukan apakah glaukomanya merupakan glaukoma primer atau sekunder.
2. Gonioskopi, menggunakan lensa gonioskop. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat
sudut pembuangan humor akuos sehingga dapat ditentukan jenis glaukomanya sudut
terbuka atau tertutup.
3. Oftalmoskopi, yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya kerusakan saraf optik
berdasarkan penilaian bentuk saraf optik menggunakan alat oftalmoskop direk.
4. OCT (Optical Coherent Tomography). Alat ini berguna untuk mengukur ketebalan
serabut saraf sekitar papil saraf optik sehingga jika terdapat kerusakan dapat segera
dideteksi sebelum terjadi kerusakan lapang pandangan, sehingga glaukoma dapat ditemukan
dalam stadium dini

34
5. Perimetri, alat ini berguna untuk melihat adanya kelainan lapang pandangan yang
disebabkan oleh kerusakan saraf optik.
6. Tonometri, pemeriksaan ini bebertujuan untuk mengukur besarnya tekanan bola
mata/tekanan intraokuler/TIO.

2.7 Patofisiologi.
Tingginya tekanan intraokular bergantung pada besarnya produksi humor aquelus oleh
badan siliari dan mengalirkannya keluar. Besarnya aliran keluar humor aquelus melalui sudut
bilik mata depan juga bergantung pada keadaan kanal Schlemm dan keadaan tekanan
episklera.
Tekanan intraokular dianggap normal bila kurang dari 20 mmHg pada pemeriksaan
dengan tonometer Schiotz (aplasti). Jika terjadi peningkatan tekanan intraokuli lebih dari 23
mmHg, diperlukan evaluasi lebih lanjut. Secara fisiologis, tekanan intraokuli yang tinggi
akan menyebabkan terhambatannya aliran darah menuju serabut saraf optik dan ke retina.
Iskemia ini akan menimbulkan kerusakan fungsi secara bertahap. Apabila terjadi peningkatan
tekanan intraokular, akan timbul penggaungan dan degenerasi saraf optikus yang dapat
disebabkan oleh beberapa faktor :
1. Gangguan perdarahan pada papil yang menyebabkan deganerasi berkas serabut saraf pada
papil saraf optik.
2.Tekanan intraokular yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik yang
merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata. Bagian tepi papil saraf
otak relatif lebih kuat dari pada bagian tengah sehingga terjadi penggaungan pada papil saraf
optik.
3. Sampai saat ini, patofisiologi sesungguhnya dari kelainan ini masih belum jelas.
4. Kelainan lapang pandang pada glaukoma disebabkan oleh kerusakan serabut saraf optik.(
Anas Tamsuri, 2010 : 72-73 ).

35
2.8 Asuhan Keperawatan Pada Penyakit Glukoma.
A. Pengkajian
1. Identifikasi Klien.
Nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, pendidikan, pekerjaan, tgl MRS, diagnosa
medis, suku bangsa, status perkawinan.

2. Keluhan Utama.
Terjadi tekanan intra okuler yang meningkat mendadak sangat tinggi, nyeri hebat di kepala,
mual muntah, penglihatan menurun, mata merah dan bengkak.

3. Riwayat Kesehatan.
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Hal ini meliputi keluhan utama mulai sebelum ada keluhan sampai terjadi nyeri hebat di
kepala, mual muntah, penglihatan menurun, mata merah dan bengkak.

b. Riwayat Penyakit Dahulu


Pernah Adanya masalah mata sebelumnya atau pada saat itu, riwayat penggunaan,
riwayat trauma (terutama yang mengenai mata), penyakit lain yang sedang diderita (DM,
Arterioscierosis, Miopia tinggi) mengalami penyakit glaukoma sebelumnya atau
tidak,tanyakan apakah terdapat hubungan dengan penyakit yang diderita
sebelumnya,Pernahkah sebelumnya pasien dirawat,lalu adakah alergi yang dialami oleh
pasien,kemudian tanyakan kebiasaan pasien sebelum sakit,dan obat-obtan apa yang sering
pasien gunakan.

c. Riwayat Penyakit Keluarga.


Mengakaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami penyakit yang serupa.

4. Data Biologis.
a. Pola Nutrisi dan Cairan

36
Kaji apa yang klien makan dan minum saat sakit dan saat sebelum sakit,dari
jenis,frekuensi,porsi,alergi/pantanga dan apakah ada kesulitan saat makan ataupun minum.
b. Pola eliminasi
Pada kasus ini pola eliminasinya tidak mengalami gangguan, akan tetapi tetap dikaji
konsestansi,frekuensi, warna,serta adakah kesulitan saat melakukan eliminasi.

c. Pola tidur dan istirahat


Pola tidur dan istirahat akan menurun, klien akan gelisah / sulit tidur karena nyeri / sakit
hebat menjalar sampai kepala. Akan tetap di kaji pola tidur siang maupun malam saat sakit
dan sebelum sakit,berapa lama tidur dan apakah ada kesulitan.

d. Personal hygine.

Kaji pemeliharaan gigi,mandi,keramas,ganti baju,serta kuku pasien saat sakit dan sebelum
sakit.

e. Pola aktivitas

Dalam aktivitas klien jelas akan terganggu karena fungsi penglihatan klien mengalami
penurunan.
f. Pola persepsi konsep diri
Meliputi : Body image, self sistem, kekacauan identitas, rasa cemas terhadap penyakitnya,
dampak psikologis klien terjadi perubahan konsep diri.

g. Pola sensori dan kognitif


Pada klien ini akan menjadi / mengalami gangguan pada fungsi penglihatan dan pada
kongnitif tidak mengalami gangguan.
Penglihatan berawan/kabur, tampak lingkaran cahaya/pelangi sekitar sinar, kehilangan
penglihatan perifer, fotofobia(glaukoma akut).
Perubahan kacamata/pengobatan tidak memperbaiki penglihatan.
Tanda : Papil menyempit dan merah/mata keras dengan kornea berawan.Peningkatan air
mata.
37
h. Pola hubungan dan peran
Bagimana peran klien dalam keluarga dimana meliputi hubungan klien dengan keluarga dan
orang lain, apakah mengalami perubahan karena penyakit yang dideritanya.

i. Pola reproduksi
Pada pola reproduksi tidak ada gangguan.

j. Pola penanggulangan stress


Biasanya klien akan merasa cemas terhadap keadaan dirinya dan fungsi penglihatannya serta
koping mekanis yang ditempuh klien bisa tidak efektif.

k. Pola tata nilai dan kepercayaan


Biasanya klien tidak mengalami gangguan.

5. Data Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan Umum
Didapatkan pada klien saat pengkajian, keadaan, kesadarannya, serta pemeriksaan TTV.

b. Pemeriksaan Kepala dan Leher


Meliputi kebersihan mulut, rambut, klien menyeringai nyeri hebat pada kepala, mata merah,
edema kornea, mata terasa kabur.

c. Pemeriksaan Integumen
Meliputi warna kulit, turgor kulit.

d. Pemeriksaan Sistem Respirasi


Meliputi frekwensi pernafasan bentuk dada, pergerakan dada.

e. Pemeriksaan Kardiovaskular

38
Meliputi irama dan suara jantung.

f. Pemeriksaan Sistem Gastrointestinal


Pada klien dengan glaukoma ditandai dengan mual muntah.
g. Pemeriksaan Sistem Muskuluskeletal
Meliputi pergerakan ekstermitas.
h. Pemeriksaan Sistem Endokrin
Tidak ada yang mempengaruhi terjadinya glaukoma dalam sistem endokrin.
i. Pemeriksaan Genitouria
Tidak ada disuria, retesi urin, inkontinesia urine.
j. Pemeriksaan Sistem Pernafasan
Pada umumnya motorik dan sensori terjadi gangguan karena terbatasnya lapang pandang.

6. Pemeriksaan Diagnostik
a Kartu mata Snellen/mesin Telebinokular (tes ketajaman penglihatan dan sentral
penglihatan) : Mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa, aquous atau vitreus
humor, kesalahan refraksi, atau penyakit syaraf atau penglihatan ke retina atau jalan optik.
b. Lapang penglihatan : Penurunan mungkin disebabkan CSV, massa tumor pada
hipofisis/otak, karotis atau patologis arteri serebral atau glaukoma.
c. Pengukuran tonografi : Mengkaji intraokuler (TIO) (normal 12-25 mmHg)
d. Pengukuran gonioskopi :Membantu membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup
glaukoma.
e. Tes Provokatif :digunakan dalam menentukan tipe glaukoma jika TIO normal atau hanya
meningkat ringan.
f. Pemeriksaan oftalmoskopi:Mengkaji struktur internal okuler, mencatat atrofi lempeng
optik, papiledema, perdarahan retina, dan mikroaneurisma.
g. Darah lengkap, LED :Menunjukkan anemia sistemik/infeksi.
h. EKG, kolesterol serum, dan pemeriksaan lipid: Memastikan aterosklerosis.
i. Tes Toleransi Glukosa :menentukan adanya DM.

39
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri b/d peningkatan tekanan intra okuler (TIO) yang ditandai dengan mual dan muntah
2. Gangguan persepsi sensori penglihatan b/d gangguan penerimaan, gangguan status organ
ditandai dengan kehilangan lapang pandang progresif.
3.Ansietas b/d faktor fisilogis, perubahan status kesehatan, adanya nyeri,
kemungkinan/kenyataan kehilangan penglihatan ditandai dengan ketakutan, ragu-ragu,
menyatakan masalah tentang perubahan kejadian hidup
4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan b/d
kurang terpajan/tak mengenal sumber, kurang mengingat, salah interpretasi ditandai dengan
pertanyaan, pernyataan salah persepsi, tak akurat mengikuti instruksi, terjadi komplikasi
yang dapat dicegah

C. INTERVENSI.
N Dx. Keperawatan Standar Luaran Intervensi (SIKI)
o. Kriteria Hasil (SLKI)

1. Nyeri b/d Setelah dilakukan Observasi:


peningkatan tindakan keperawatan  Identifikasi
tekanan intra selama 3x24 jam maka lokasi,karakteristik,durasi,f
okuler (TIO) d.d gangguan rasa nyeri rekuensi,kualitas,intensitas
mual dan muntah menurun,dengan kriteria nyeri
hasil:  Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respons nyeri
 Keluhan nyeri
non verbal
menurun dengan
 Identifikasi faktor yang
skor 4
memperberat dan
 Meringis
memperingan nyeri
menurun dengan
 Identifikasi pengetahuan
skor 4
dan keyakinan tentang
 Gelisah menurun
nyeri
dengan skor 4

40
 Kesulitan tidur  Identifikasi pengaruh
menurun dengan budaya terhadap respons
skor 4 nyeri
 Perasaan takut  Identifikasi pengaruh nyeri
mengalami cedera pada kualitas hidup
berulang menurun  Monitor keberhasilan
dengan skor 4 terapi,komplementer yang
 Pola tidur sudah di berikan
membaik dengan  Monitor efek samping
skor 4 penggunaan analgetik

Terapeutik:

 Berikan teknik non


farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
 Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi:

 Jelaskan penyebab,periode
dan pemicu nyeri
 jelaskan strategi meredakan
nyeri
 anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
41
 Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi:

 Kolaborasi pemberian
analgetik,jika perlu

2. Gangguan persepsi Setelah dilakukan Observasi:


sensori penglihatan tindakan keperawatan  Periksa status mental,status
b/d gangguan selama 3x24 jam maka sensori,dan tingkat
penerimaan, gangguan presepsi kenyamanan.
gangguan status sensori penglihatan
Terapeutik:
organ d.d membaik,dengan kriteria
kehilangan lapang hasil :  Diskusikan tingkat
pandang progresif.  Presepsi sensori toleransi terhadap beban
membaik dengan sensori.
skor 5  Batasi stimulus lingkungan
 Verbalisasi  Jadwalkan aktivitas harian
melihat bayangan dan waktu istirahat.
meningkat  Kombinasikan prosedur
dengan skor 4 atau tindakan dalam satu
 Konsentrasi waktu sesuai kebutuhan
meningkat
Edukasi:
dengan skor 4
 Ajarkan cara
meminimalisasi stimulus

42
Kolaborasi:

 Kolaborasi dalam
meminimalkan prosedur
atau tindakan
 Kolaborasi pemberian obat
yang mempengaruhi
presepsi stimulus.

3. Ansietas b/d faktor Setelah dilakukan Observasi:


fisilogis,perubahan tindakan keperawatan  Identifikasi saat tingkat
status kesehatan, selama 3x24 jam maka ansietas berubah
adanya nyeri, ansietas menurun,dengan  Identifikasi kemampuan
kemungkinan/keny kriteria hasil : mengambil keputusan
ataan kehilangan  Tingkatan  Monitor tanda-tanda
penglihatan d.d Ansietas menurun ansietas
ketakutan, ragu- dengan skor 5
Terapeutik:
ragu, menyatakan  Verbalisasi
masalah tentang kebingungan  Ciptakan suasana
perubahan kejadian menurun 5 terapeutik untuk
hidup.  Verbalisasi menumbuhkan
khawatir akibat kepercayaan
kondisi yabg  Temani pasien untuk
dihadapi menurun mengurangi
dengan skor 4 kecemasan,jika
 Perilaku gelisah memungkinkan
menurun dengan  Pahami situasi yang
skor 4 membuat ansietas
 Tremor menurun  Dengarkan dengan penuh
dengan skor 4. perhatian
 Gunakan pendekatan yang

43
tenang dan meyakinkan
 Tempatkan barang pribadi
yang memberikan
kenyamanan
 Motivasi,mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan
 Diskusikan perencanaan
realistis tentang peristiwa
yang akan datang.

Edukasi:

 Jelaskan prosedur termasuk


sensasi yang mungikin
dialami
 Informasikan secara faktual
mengenai
diagnosis,pengobatan,dan
pragnosis
 Anjurkan keluarga untuk
tetap bersama pasien,jika
perlu.
 Anjurkan melakukan
kegiatan yang tidak
kompetitif sesuai
kebutuhan
 Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan presepsi
 Latih kegiatan pengalihan
untuk mengurangi

44
ketegangan
 Latih penggunaan
mekanisme pertahanan diri
yang tepat
 Latih teknik relaksasi

Kolaborasi:

 Kolaborasi pemberian obat


antiansietas,jika perlu.

D. Implementasi Keperawatan

Menurut Patricia A. Potter (2005), Implementasi merupakan pelaksanaan dari rencana


tindakan keperawatan yang telah disusun / ditemukan, yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan pasien secara optimal dapat terlaksana dengan baik dilakukan oleh pasien itu sendiri
ataupun perawat secara mandiri dan juga dapat bekerjasama dengan anggota tim kesehatan
lainnya seperti ahli gizi dan fisioterapis. Perawat memilih intervensi keperawatan yang akan
diberikan kepada pasien.

E. Evaluasi.

No. Dx. Keperawatan Evaluasi

1. Gangguan rasa nyeri b/d S: Klien mengatakan nyeri yang dirasakan sudah
peradangan konjungtiva d.d mulai berkurang
nyeri yang dirasakan raut muka O: Klien menunjukkan perasaan yang rileks dan
/ wajah. tidak mengalami kesakitan lagi
A: Masalah teratasi

45
P: Hentikan intervensi
2. Gangguan persepsi sensori
penglihatan b/d gangguan
penerimaan, gangguan status
organ d.d kehilangan lapang
pandang progresif

3. Ansietas b/d kurangnya S: Klien mengatakan perasaannya sudah


pengetahuan tentang proses membaik,perasaan takut akan cedera berulang sudah
penyakitnya d.d Klien berkurang.
mengatakan tentang
O: Klien tampak lebih rileks,klien tampak sudah
kecemasannya
merasa nyaman,Klien sudah mampu mengambil
keputusan sendiri,klien sudah tidak tampak
kebingungan lagi

A: Masalah Teratasi

P: Intervensi dihentikan.

46
BAB III
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Glaukoma adalah salah satu jenis penyakit mata dengan gejala yang tidak langsung, yang
secara bertahap menyebabkan penglihatan pandangan mata semakin lama akan semakin
berkurang sehingga akhirnya mata akan menjadi buta. Hal ini disebabkan karena saluran cairan
yang keluar dari bola mata terhambat sehingga bola mata akan membesar dan bola mata akan
menekan saraf mata yang berada di belakang bola mata yang akhirnya saraf mata tidak
mendapatkan aliran darah sehingga saraf mata akan mati.
Glaucoma diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan berdasarkan mekanisme peningkatan
tekanan intra okuler. Penyebab tergantung dari klasifikasi glaucoma itu sendiri tetapi pada
umumnya disebabkan k arena aliran aqueus humor terhambat yang bisa meningkatkan TIO.
Tanda dan gejalanya kornea suram, sakit kepala , nyeri, lapang pandang menurun,dll.
Komplikasi dari glaucoma adalah kebutaan. Penatalaksanaannya dapat dilakukan pembedahan
dan obat-obatan.

4.2 Saran

Klien yang mengalami glaukoma harus mendapatkan gambaran tentang penyakit serta
penatalaksanaannya, efek pengobatan, dan tujuan akhir pengobatan itu. Pendidikan kesehatan
yang diberikan harus menekankan bahwa pengobatan bukan untuk mengembalikan fungsi
penglihatan , tetapi hanya mempertahankan fungsi penglihatan yang masih ada.

47
DAFTAR PUSTAKA

A. Aziz alimul Hidayat. 2004. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta ; EGC

Ilyas, Ramatjandra, Sidarta Ilyas, 1991, Klasifikasi dan Diagnosis Banding Penyakit Mata, 1991,
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Smeltzer, Suzaanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

Nettina. M. Sandra. 2001. Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta ; EGC

Sudoyo. W. Aru, dkk.1999. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta ; FKUI

Melasinta Hasdarini. 2011. Asuhan Keperawatan Malaria. https://www.wattpad.com/2333650-


asuhan-keperawatan /2011/14/15.

Noerdjianto. 2012. Asuhan Keperawatan Malaria. Nearsy23.blogspot.com/2012/09 /25/askep-


malaria.html
Ilyas, Sidarta, 2004, Ilmu Perawatan Mata, Jakarta : CV. Sagung Seto.

James, Bruce, 2006, Lecture Notes : Oftalmologi, Jakarta : Erlangga.

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta : EGC.

48

Anda mungkin juga menyukai