Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Ragam Jenis Hujan

Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan

yang terdapat di atmosfer. Presipitasi adalah sebuah proses jatuhnya butiran air atau

kristal es ke permukaan bumi. Jumlah curah hujan dicatat dalam inci atau milimeter

(1 inci = 25,4 mm). Curah hujan sebesar 1 mm artinya adalah tinggi air hujan yang

terukur setinggi 1 mm pada daerah seluas 1 m 2. Tinggi curah hujan diasumsikan

sama disekitar tempat penakaran, luasan yang tercakup oleh sebuah penakaran

curah hujan tergantung pada homogenitas daerahnya maupun kondisi cuaca lainnya.

Definisi hujan menurut standar internasional World Meteorological

Organization (WMO) adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Curah Hujan Menurut Standar Internasional WMO

(Susuilowati,2010)

Kriteria Hujan Intensitas Hujan

Sangat Ringan < 5.0 mm

Ringan 5.0 – 20 mm

Sedang/Normal 20 – 50 mm

Lebat 50 – 100 mm

Sangat Lebat > 100 mm


7

Klasifikasi Hujan

a) Berdasarkan ukuran butirannya, hujan dibedakan menjadi:

1. Hujan gerimis, diameter butir-butirnya kurang dari 0,5 mm.

2. Hujan salju, terdiri dari kristal-kristal es yang temperatur udaranya

berada di bawah titik beku.

3. Hujan batu es merupakan curahan batu es yang turun di dalam cuaca

panas dari awan yang temperaturnya di bawah titik beku.

4. Hujan deras yaitu curahan air yang turun dari awan yang temperaturnya

diatas titik beku dan diameter butirannya kurang dari 7 mm.

b) Berdasarkan proses terjadinya, hujan dibedakan atas:

1. Hujan Frontal

Hujan frontal adalah hujan yang terjadi di daerah front, yang disebabkan

oleh pertemuan dua massa udara yang berbeda temperaturnya. Massa udara

panas (lembab) bertemu dengan massa udara dingin (padat) sehingga

berkondensasi dan terjadilah hujan.

Gambar 1. Hujan Frontal (Susilowati, 2010)

Bab II Tinjauan Pustaka


8

2. Hujan Zenithal

Jenis hujan ini terjadi karena arus konversi menyebabkan uap air di

daerah khatulistiwa naik secara vertikal sebagai akibat pemanasan air laut

terus menerus sehingga mengalami kondensasi dan turun sebagai hujan. Itulah

sebabnya jenis hujan ini juga dinamakan hujan ekuatorial atau hujan konveksi.

Hujan zenithal turun di daerah tropis dua kali dalam satu tahun.

Gambar 2. Hujan Zenit (Susilowati, 2010)

3. Hujan Orografis (Hujan Naik Pegunungan)

Terjadi karena udara yang mengandung uap air dipaksa oleh angin

mendaki lereng pegunungan yang makin ke atas makin dingin sehingga terjadi

kondensasi, terbentuklah awan dan jatuh sebagai hujan. Hujan yang jatuh

pada lereng yang dilaluinya disebut hujan orografis, sedangkan di lereng

sebelahnya bertiup angin jatuh yang kering dan disebut daerah bayangan

hujan.

4. Hujan Siklon Tropis

Siklon tropis hanya dapat timbul didaerah tropis antara lintang 0°-10°

lintang utara dan selatan dan tidak berkaitan dengan front, karena siklon ini

Bab II Tinjauan Pustaka


9

berkaitan dengan sistem tekanan rendah. Siklon tropis dapat timbul dilautan

yang panas, karena energi utamanya diambil dari panas laten yang

terkandung dari uap air. Siklon tropis akan mengakibatkan cuaca yang buruk

dan hujan yang lebat pada daerah yang dilaluinya.

Lebih lanjut, selain dari dikategorikan berdasarkan ukuran butiran dan proses

terjadinya, di Indonesia hujan dapat diklasifikasikan juga berdasarkan pola hujan

yang mempengaruhi suatu wilayah. Untuk itu Indonesia dapat dibagi menjadi 3

daerah/kawasan hujan yaitu:

Region A : region monsoon tenggara / Australian monsoon

Region B : region semi-monsoon/NE Passat monsoon

Region C : region anti-monsoon/Indonesian throughflow

Gambar 3. Pembagian pola iklim Indonesia (Aldrian,2003)

Bab II Tinjauan Pustaka


10

Region atau daerah A, pola curah hujannya berbentuk huruf U ( paling kiri)

dicirikan bersifat unimodal (satu puncak hujan) yakni terdapat perbedaan yang jelas

antara periode musim hujan dan periode musim kemarau, sedang pola Region B,

pola curah hujannya berbentuk huruf M ( tengah) yang wilayahnya memiliki distribusi

hujan bulanan bimodal (dua puncak musim hujan) yang biasanya terjadi di bulan

Maret dan Oktober yaitu pada saat matahari berada dekat ekuator, sedangkan pola

Region C berbentuk huruf U terbalik ( kanan) atau berkebalikan dengan Region A.

Garis merah merupakan curah hujan dalam milimeter sedangkan garis hitam

merupakan deviasinya.

Berdasarkan Gambar 1, maka wilayah Kota Makassar masuk ke dalam

kategori region A yaitu wilayah yang curah hujannya dipengaruhi oleh monsoon

tenggara. Hujan muson, yaitu hujan yang terjadi karena Angin Musim (monsoon).

Penyebab terjadinya Angin Muson adalah karena adanya pergerakan semu tahunan

Matahari antara Garis Balik Utara dan Garis Balik Selatan. Di Indonesia, secara

teoritis hujan muson terjadi bulan Oktober sampai April.

B. Penelitian Terkait

B.1. Model BMKG Indonesia

Pendataan dan ramalan cuaca dan iklim secara nasional dilakukan oleh

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menggunakan berbagai

metode diantaranya pendekatan statistik seperti Autoregressive Integrated Moving

Average (ARIMA) dan Time Series Analisis (TISEAN), ataupun dengan

memanfaatkan kecerdasan buatan seperti Tranformasi Wavelet dan Adaptive Neuro-

Bab II Tinjauan Pustaka


11

Fuzzy Inference System (ANFIS). Akan tetapi metode ARIMA paling sering

digunakan dalam peramalan karena kemudahan komputasinya. Hasil validasi

keempat metode menunjukkan keakuratan yang berbeda di setiap lokasi.

Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk menemukan model terbaik yang

dapat diterapkan di Kota Makassar maka studi literatur pertama yang akan dibahas

adalah uji sistem HyBMG di Indonesia (Sistem prediksi yang digunakan BMKG).

Dalam laporannya (Sanjaya dkk, 2009) memberikan ulasan beberapa teknik yang

sudah eksisting di Indonesia dan digunakan oleh BMKG.

Untuk tipe monsunal (monsoon) digunakan data empiris curah hujan dari

stasiun Banjarbaru (tahun 1974-2008). Ada 4 model prediksi yang sudah diterapkan

pada sistem HyBMG yaitu:

1. Adaptive Neural Fuzzy Inference System (ANFIS)

2. Transformasi wavelet

3. Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)

4. Time Series Analysis (TISEAN)

Dalam menentukan baik tidaknya suatu model prediksi digunakan dua variable

uji yaitu root mean square error (RMSE) dan korelasi r. Semakin kecil nilai RMSE

menunjukkan nilai deviasi kesalahan yang kecil antara data prediksi dan obeservasi

begitu pula sebaliknya. Secara umum RMSE diformulasikan sebagai berikut:

1 N
 ( y t  yˆ t ) 2
N t h
RMSE  (1)
y max  y min

Bab II Tinjauan Pustaka


12

Dimana :

yt = nilai observasi ke-t

ŷt = nilai dugaan ke-t

n = banyaknya observasi

y maks = maksimum data observasi

y min = minimum data observasi

Hasil pengujian HyBMG menunjukkan hasil berikut:

Tabel 2. Hasil pengujian HyBMG kota Banjarbaru (Sanjaya dkk, 2009)

Bab II Tinjauan Pustaka


13

Dari Tabel 1 dapat terlihat bahwa model wavelet dan ARIMA memberikan hasil

prediksi lebih baik. Baik ditinjau dari nilai RMSE yang rata-rata lebih kecil serta nilai

korelasi r yang lebih besar dibandingkan dengan kedua metode lainnya.

Ada 2 hal yang belum dirumuskan pada penelitian di atas, yaitu tidak

dimanfaatkannya pengaruh variabel lain seperti suhu permukaan (land surface

temperature dan sea surface temperature), kelembaban, kecepatan angin dan lain-

lain sebagai variabel masukan untuk prediksi. Padahal data dari variabel-variabel

tersebut tersedia di BMKG. Selain itu model-model prediksi terbaru belum terintegrasi

ke dalam HyBMG seperti particle swormp, algoritma semut, algoritma genetik support

vector machine, dan lain - lain.

B.2. Variabel Yang Dianggap Mempengaruhi Curah Hujan

Ada banyak variabel yang dapat mempengaruhi terjadinya hujan yang

tentunya akan berbeda bergantung pada lokasi/wilayah yang diamati. Perbedaan

variabel ini bahkan kadang sebagai anomali dimana suatu variabel tertentu yang

dianggap sebagai pembentuk hujan dapat berbanding terbalik hasilnya (Kumar, A.

dkk, 2004). Variabel Sea surface temperature (SST) berbeda trendnya pada daerah

tropis dan subtropis. Penelitian tersebut menyebutkan SST berbanding terbalik

dengan curah hujan di daratan untuk daerah tropis. Aktifitas Ianthropogenic dan El

Ni˜no–southern oscillation (ENSO) dianggap sebagai kontributor hal ini.

Penelitian tersebut sebelumnya telah dilakukan oleh (Aldrian, E., dkk, 2003)

yang meninjau hubungan El Ni˜no–southern oscillation (ENSO) dan SST. Hasilnya

telah diuraikan di yaitu terbentuknya 3 tipe hujan di wilayah Indonesia. Penelitian

Bab II Tinjauan Pustaka


14

lanjutan terhadap prediksi hujan di Indonesia menyatakan bahwa suhu pada

permukaan troposfer juga berperan sehingga diperlukan adjustment terhadap peta

pengaruh ENSO di Indonesia (Giannini, A, dkk,2007).

Penelitian yang menggunakan cukup banyak variabel pendukung dilakukan di

Timika Indonesia (Region C). Dalam penelitian ini (Aldrian, E.,dkk,2008)

memanfaatkan 4 variabel data empiris yaitu:

 Curah hujan (mm)

 Land surface temperature, LST, (oC)

 Surface pressure (mBAr)

 Kelembaban Nisbi (%)

Keempat variabel di atas ternyata memberikan pengaruh signifikan dalam prediksi

curah hujan pada region C.

B.3. Model Prediksi Eksisting

Telah dipaparkan sebelumnya 4 model prediksi yang saat ini digunakan dalam

aplikasi sistem HyBMG. Selain keempat model tersebut beberapa model prediksi

hujan lainnya juga menjadi topik penelitian hangat di dunia saat ini diantaranya,

jaringan syaraf tiruan, genetic algorithm, fuzzy, SVM, rantai markov dan lain-lain.

Dari hasil prediksi menggunakan metode eksisting diatas maka dipilihlah

model terbaik dengan melihat tingkat keakuratannya yang tinggi dan nilai RMSE yang

terkecil. Selain metode ini, dapat pula dilakukan pengembangan metode yaitu dengan

mengkombinasikan dan memodifikasi dari metode yang sudah ada, sehingga

hasilnya jauh lebih baik.

Bab II Tinjauan Pustaka


15

B.3.1. Jaringan Saraf Tiruan

Sejak awal tahun 1990, JST telah menjadi pelopor dalam dunia kecerdasan

buatan. Karena keampuhannya untuk menangani data yang tidak stasioner, JST

banyak digunakan untuk memprediksi data series. Dalam penentuan bobot

saraf/sinapsis yang paling lawas dikenal dengan backpropagation rule yang

selanjutnya berkembang dan dimodifikasi. Model JST yang dibahas dalam proposal

penelitian ini adalah pendekatan klasik, hasil modifikasi maupun kombinasi dengan

teknik lain.

B.3.1.1. JST Klasik dan Modifikasi

Pendekatan klasik JST dilakukan di kota Jakarta (Subarna D, 2009) untuk

prediksi curah hujan harian. Standar deviasi kesalahan masih cukup tinggi yaitu

30.67 poin. Hal ini dapat disebabkan karena banyaknya variabel lain yang

mempengaruhi curah hujan di Jakarta.

Penelitian di kota Semarang (Warsito, B., dkk, 2007), menggunakan JST yang

telah dimodifikasi menggunakan algoritma pembelajaran Quasi Newton BFGS dan

Levenberg-Marquardt. Modifikasi garadien juga dilakukan untuk prediksi hujan untuk

kepentingan DSS (Solaimani K, 2009) di daerah aliran sungai Jarahi di Iran.

Perbaikan algoritma (Improved Learning Algortihm) diusulkan oleh Nong yang dapat

diterapkan pada JST untuk memprediksi presipitasi dalam skala short range (Nong,

J.,2010). Novelty pada pengembangan JST klasik yang diperuntukkan untuk prediksi

hujan ditemukan oleh matematikawan China (Luo F, dkk, 2010). Kekurangan JST

diperbaiki dengan teknik rekonstruksi pada dimensi pembelajaran saraf tiruan.

Bab II Tinjauan Pustaka


16

B.3.1.2. JST Dengan Kombinasi

Teknik JST akan semakin baik jika dikombinasikan dengan metode lainnya.

Dalam sistem peringatan dini banjir di Kota Hainan China digunakan kombinasi JST

dan Fuzzy (Wu, H dkk, 2009). Penelitian serupa dilakukan di kota Sanjiang (Hongxia

L, Chuanwei L, 2008). JST berfungsi sebagai prediktor curah hujan dengan angka

kuantitatif dan selanjutnya fuzzy mentransformasi angka kuantitatif menjadi kualitatif.

Teknik algoritma genetik juga dapat dikombinasikan dengan JST (Lin K, dkk, 2008).

Model ini biasa disingkat dengan GANN (Genetic Algorithm - Neural Network).

Esensinya adalah memberikan masukan ke JST setelah melewati proses seleksi

genetik GA. Yang terakhir dan cukup menjanjikan adalah penggabungan JST-

Wavelet pada prediksi pembebanan listrik di Inggris (Chen Y, dkk, 2010). Seperti

diketahui pada pembahasan sebelumnya bahwa wavelet telah diuji dengan HyBMG

sebagai teknik terbaik untuk prediksi hujan di Indonesia. Dengan dikombinasikan

dengan JST maka diharapkan hasil yang lebih baik dari sistem yang sudah ada.

B.4. Model Prediksi Lainnya

Seperti diketahui bahwa model yang ada di kecerdasan buatan dapat

dikombinasi satu dan lainnya. Selain dikombinasikan dengan JST, model-model ini

dapat dikombinasikan dengan non-JST. Prediksi hujan untuk skala tahunan diusulkan

menggunakan kombinasi Fuzzy dan Markov (Sheng LL,dkk, 2010). Dalam hal ini

Grey Markov berperan sebagai substitusi dari JST. Hasilnya cukup baik ditinjau dari

keakuratan prediksi terhadap observasi. Akan tetapi model ini belum tentu

menghasilkan proyeksi yang sama jika memprediksi hujan harian.

Bab II Tinjauan Pustaka


17

Model yang juga cukup terkenal di teknologi pengenalan pola yaitu support

vector machine (SVM) juga telah diuji untuk memprediksi presipitasi/hujan (Nong,

2009). Pendekatan SVM sebenarnya hampir mendekati pendekatan statistik yang

selama ini digunakan.

Bab II Tinjauan Pustaka

Anda mungkin juga menyukai