BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Karet alam adalah polimer isoprene (C5H8 ) yang mempunyai bobot molekul yang
besar. Susunannya adalah –CH-C(CH3)=CH-CH2 -. Karet Hevea yang diperoleh
dari pohon Hevea Brasiliensis adalah bentuk ilmiah dari 1,4-poliisoprena. Karet
jenis ini memiliki ikatan ganda lebih dari 98 % dalam konfigurasi cis nya yang
penting bagi kelenturan atau elastisitas poliisoprena. Lebih dari 90 % cis - 1,4
poliisoprena digunakan dalam industri karet Hevea (Tarachiwin, 2005). Karet
alam adalah suatu senyawa hidrokarbon (C dan H) yang merupakan
makromolekul isoprena yang bergabung membentuk poliisoprena. Tanaman karet
(Hevea Brasiliensis) yang asalnya dari Brazil, Amerika Selatan, tumbuh secara
liar di lembah-lembah Amazon (Setyamijaja, 1993). Berikut ini struktur kimia
karet alam (cis – 1,4 poliisoprena) dalam karet Hevea :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Berdasarkan reaksi lateks karet alam dengan berbagai perlakuan kimia dan cara
fisika berdasarkan strukturnya telah menunjukkan struktur dari partikel lateks
karet alam berikut ini :
Lapisan fosfolipid
Sejarah karet dunia diawali sejak pertama kali ditemukan sebagai tanaman yang
tumbuh secara liar sampai dijadikan tanaman perkebunan secara besar-besaran,
karet memiliki sejarah yang cukup panjang. Apalagi setelah ditemukan beberapa
cara pengolahan dan pembuatan barang dari bahan baku karet, maka ikut
berkembang pula industri yang mengolah getah karet menjadi bahan yang berguna
untuk kehidupan manusia. Pada tahun 1493, Michele de Cuneo melakukan
Pengenalan bahan baku karet ini kemudian berlanjut didaerah Seville pada
tahun 1524. Raja Charles V memperkenalkan permainan tenis yang menggunakan
bola karet sebagai permainan dari “Dunia Baru” dengan mengundang beberapa
pejabat Negara tetangga. Salah seorang diplomat Italia, Andrea Navagioro ikut
menyaksikan. Dalam bukunya yang ditulis dan diterbitkan di Daratan Eropa,
Andrea Navagioro menggambarkan bola dari bahan karet sebagai bahan yang
bening dan lentur. Beranjak dari sini, karet mulai menarik perhatian banyak ahli
untuk diteliti.
Karet alam warnanya agak kecoklatan, sifat mekaniknya tergantung pada derajat
vulkanisasi, melunak pada suhu 130 oC dan terurai pada suhu 200 oC. Sifat kimia
karet alam kurang baik terhadap ketahanan minyak dan ketahanan pelarut. Zat
tersebut dapat larut dalam hidrokarbon, ester, asam asetat, dan sebagainya. Karet
yang kenyal seperti mudah didegradasi oleh sinar UV dan ozon. Sifat-sifat karet
yang terpenting untuk menjamin mutunya :
Pada dasarnya karet mentah adalah karet yang belum dicampur dengan bahan
kimia dan belum divulkanisasi. Pada saat ini dikenal dua golongan karet mentah
yaitu karet konvensional dan karet spesifikasi teknis. Beberapa contoh karet
konvensional yaitu Ribbed Smoked Sheet (RSS), Pale Crepe, Estate Brown Crepe,
Remill, Blanket Crepe.
Jenis dan mutu karet ekspor Indonesia yaitu terdiri atas 83% karet
spesifikasi teknis, 13 % RSS, 3 % lateks pekat dan 1 % brown crepe serta jenis-
jenis lainnya (Nurdin, et al. 2004). Karet jenis SIR-10 merupakan karet alam yang
kualitasnya lebih baik dibanding karet SIR-20 dimana memiliki kandungan zat
pengotor dan zat abu lebih kecil dibanding SIR-20 masing-masing yaitu 0,1 %
(b/b) dan 0,75 % (b/b) dengan warna cokelat sehingga kualitas dan mutunya lebih
baik dan dalam skala penelitian akan dihasilkan bahan polimer yang lebih baik
dibanding SIR-20. Berikut ini tabel 2.2. yang memperlihatkan skema Standard
Indonesia Rubber (Setyamidjaja, 1993).
5CV 5LV 5L 5 10 20 50
Po (min) - - 30 30 30 30 30
Indeks warna - - 6 - - - -
ASHT (maks) 8 8 - - - - -
(Setyamidjaja, 1993)
Proses pembuatan karet pada umumnya diikuti dengan proses vulkanisasi, yaitu
penambahan sulfur dengan tujuan untuk memperbaiki sifat sifat mekanisnya.
Setelah campuran karet di bentuk, maka perlu divulkanisasi, selama proses
vulkanisasi akan terjadi perubahan, rantai molekul karet yang panjang akan saling
berikatan silang melalui reaksi dengan vulkanisator sehingga karet akan menjadi
kuat. Karet tidak lengket dan lebih tahan terhadap kerusakan yang disebabkan
oleh panas, ozon, cuaca dan sebagainya. Pada proses vulkanisasi, suhu dan waktu
pemasakan harus selalu dikontrol dengan baik. Hal ini sangat penting karena
untuk tiap kompon terdapat satu daerah suhu dan waktu dimana barang karet akan
memiliki sifat-sifat fisika yang optimum.
Lateks pekat adalah lateks yang dihasilkan dari karet alam yang sekurang-
kurangnya mengandung 60 % kadar karet kering (Stagg, R. 2004). Lateks pekat
dapat diperoleh dengan memekatkan lateks kebun. Dan pada umumnya
pembuatan lateks pekat bertujuan meningkatkan kadar karet kering (KKK).
Lateks kebun pekat dengan kadar karet kering (KKK) 60 % akan lebih seragam
mutunya dan lebih sesuai untuk pengolahan barang jadi karet. Pembuatan lateks
pekat dapat dilakukan dengan empat metode, yaitu sentrifuse (pemusingan),
pendadihan, penguapan, dan elektrodekantasi. Metode yang paling sering
digunakan adalah metode sentrifuse (pemusingan) karena menghasilkan kapasitas
produksi yang besar, viskositas lateks lebih rendah Lipida (tidak kental), dan hasil
lateks lebih murni (tidak tercampur endapan dan kotoran) (Solichin, 1991).
Proses kompon karet mulai terbentuk tahun 1839 ketika Charles Goodyear
membuat campuran bahan karet berupa kompon karet ( karet 25; sulfur 5; timbal
putih 7) yang dipanaskan dalam suatu media kompor panas dan saat itu
berkembanglah dan menghasilkan sampai 1000 produk yang dapat dibuat dari
penemuannya (Yam Kok Peng, 2007).
Dalam bentuk kompon, karet alam sangat mudah dilengketkan satu sama
lain sehingga sangat disukai. Pembuatan dan pembentukan kompon karet
merupakan tahap awal dari produksi barang jadi karet. Pembuatan kompon
dilakukan dengan cara pencampuran karet dengan bahan kimia sesuai dengan
formulasi yang dibutuhkan di dalam mesin pencampur dan pembentukan
dilakukan di dalam mesin pembentuk setelah dilunakkan. Adapun sistem
vulkanisasi dari kompon (vulcanizing system of the coumpond) adalah campuran
bahan pengaktif, bahan pemercepat dan belerang (S) disebut (Frida, E. 2011).
2.3.1. Ban
Ban adalah material komposit yang biasanya dari karet alam yang tersusun atas
tiga komponen utama yaitu karet, baja, dan serat. Dan biasanya digunakan untuk
ban truk dan ban mobil penumpang. Untuk menggiling ban menjadi serbuk karet
dilakukan dengan proses cryogenic grinding. Karet memberikan kontribusi
terbesar bahan ban (lebih kurang 60 % berat (Carl Thodesen, 2009). Secara umum
komposisi karet ban luar dan karet ban dalam tidak sama untuk setiap bagian,
akan tetapi bagian ban tersebut mempunyai standart tertentu (Thamrin, 2004).
Ban (tires) tersusun atas bahan karet atau polimer yang sangat kuat
diperkuat dengan serat-serat sintetik dan baja yang sangat kuat yang menghasilkan
suatu bahan yang mempunyai sifat-sifat unik seperti kekuatan tarik yang sangat
kuat, fleksibel, ketahanan pergeseran yang tinggi (Bujang B.K.Huat, 2004). Ban
tersusun atas empat bagian utama : Carcass, Tread Breaker, dan Bead. Atau pula
Vulkanisasi adalah proses pemanasan terhadap karet ban setelah dicampur dengan
belerang. Namun secara kimia, vulkanisasi merupakan proses pembentukan
polimer karet yang dapat saling bertautan satu sama lain (cross-linking). Tanpa
proses vulkanisasi (cross-linking), karet alam tidak menunjukkan sifat elastis dan
labil terhadap suhu (Nijasure, 1997). Bahan pemvulkanisasi diantaranya adalah
belerang. Ada dua jenis sulfur yang mana adalah sulfur siklik (S 8) dan sulfur
amorf. Bahan pemvulkanisasi lainnya selain sulfur dapat berupa selenium,
tellurium, dan lain sebagainya (Yam Kok Peng, 2007).
A. B.
A. Gambar 2.6. CBS (http://www.rubber-accelerator.com)
B. Gambar 2.7. MBTS (http://www.rubber-accelerator.net)
A. B.
A. Gambar 2.8. ZnO (http://www.global-b2b-network.com)
B. Gambar 2.9. Asam Stearat (http://www.nguyenlieulammypham.com)
Modifikasi kimia seperti Karet alam cair (LNR) merupakan turunan lain
yang penting dimana dapat dengan mudah dihasilkan melalui degradasi oksidatif
dari karet alam dengan proses yang berbeda : melalui karet yang telah dikoagulasi
dengan mekanik (mastikasi) atau proses radiasi, atau dari fase lateks dengan
perlakuan sistem fenilhidrazin/oksigen. Kehadiran LNR pada suatu kepentingan
industri khususnya sebagai suatu plastisizer yang reaktif khususnya dalam proses
pembuatan ban (Brosse, 2000).
2.5.1. Depolimerisasi
+
R R R R R R
R R R R R R
+ R
+ RH
Eliminasi
Liquid Natural Rubber dikenal sebagai karet alam cair yang dihasilkan dari
modifikasi kimia yang merupakan turunan lain yang penting dari karet alam yang
dapat dengan mudah dihasilkan melalui degradasi oksidatif dengan proses yang
berbeda (Brosse, 2000). karet cair (liquid natural rubber) merupakan
depolimerisasi secara kimia dengan reaksi redoks dapat menghasilkan karet
dengan bobot molekul rendah. Semakin rendah bobot molekul yang dihasilkan
akan menyebabkan karet menjadi semakin rendah viskositasnya. Karet dengan
rantai molekul pendek atau viskositas rendah relatif lebih mudah terpenetrasi ke
dalam pori-pori permukaan, sehingga daya rekatnya relatif lebih kuat dan dapat
digunakan untuk membuat produk, seperti lem, cat, pernis, dan tinta cetak. Selain
itu karena bentuknya cair maka karet cair dapat digunakan untuk membuat produk
yang bentuknya rumit (Elly Nurasih, 2006).
2.6. Kompatibilisasi
Karbon hitam (Carbon black ) adalah suatu material bahan pengisi yang telah
dikenal dan diproduksi sejak dulu dan hanya diketahui secara luas dalam industri
sebagai bahan yang cocok dicampurkan dengan karet sehingga dapat
meningkatkan sifat mekaniknya (Baranwal, 2001).
Karbon hitam pada hakikatnya adalah elemen atau unsur karbon dalam
bentuk partikel koloid yang dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna gas atau
cairan hidrokarbon dibawa kondisi terkontrol. Secara fisik berwarna hitam
dimana, terbagi atas pelet atau serbuk. Karbon hitam digunakan dalam pembuatan
ban, produk-produk karet dan plastik, tinta percetakan dan pelapisan yang
disesuaikan dengan sifat-sifat spesifiknya yaitu luas permukaan, ukuran partikel
dan struktur, konduktivitas dan warna.
2.8. Komposit
Komposit adalah suatu jenis bahan baru hasil rekayasa yang terdiri dari dua atau
lebih bahan dimana sifat masing-masing bahan berbeda satu sama lainnya baik itu
sifat kimia maupun fisikanya dan tetap terpisah dalam hasil akhir bahan tersebut
(bahan komposit). Dengan adanya perbedaan dari material penyusunnya maka
komposit antar material harus berikatan dengan kuat, sehingga perlu adanya
penambahan wetting agent.
Interphase Matrix
Fiber
(Bonding Agent)
Interface
Untuk dapat mengidentifikasi data infra merah polimer, persyaratan yang harus
dipenuhi adalah zat tersebut harus homogen secara kimia. Spektrum infra merah
suatu zat polimer pada dasarnya adalah serapan-serapan monomer dan pengaruh
kopling antara monomer-monomer diabaikan. Seringkali suatu polimer
mempunyai spektrum yang lebih sederhana dari pada spektrum monomer-
monomernya, meskipun polimer dapat mengadung 10 4 atom. Hal ini disebabkan
tidak ada perubahan tetapan gaya pada kelompok-kelompok atom sejenis. Atom-
atom dalam kelompok ini akan selalu bervibrasi pada frekuensi yang sama dan
tidak tergantung pada sistem molekul dimana atom-atom tersebut berada,
bilamana syarat tetapan gaya pada kelompok tidak berubah dipenuhi.
Metode viskositas mempunyai kelebihan daripada metode lain, yaitu lebih cepat
dan mudah dalam pengerjaannya, menggunakan alat yang lebih murah, serta
perhitungan hasil pengukurannya lebih sederhana. Pada dasarnya metode
viskositas intrinsik adalah untuk mengukur waktu yang diperlukan pelarut dan
larutan polimer untuk mengalir di antara dua garis pada viskometer atau
mengukur laju alir cairan yang melalui tabung berbentuk silinder (Bird, 1993).
Waktu alir diukur pada saat pelarut atau larutan polimer mengalir di antara dua
tanda, x dan y. Waktu alir larutan polimer lebih besar daripada waktu alir
pelarutnya. Semakin tinggi konsentrasi polimer dalam larutan, maka akan
semakin lama waktu alir yang dibutuhkan untuk melewati kapiler. Untuk
mengukur bobot molekul viskositas, maka harus dihitung terlebih dahulu
viskositas larutan polimer (η) dan viskositas pelarut murni (η0 ), sehingga
viskositas jenis (ηsp) larutan polimer akan ditentukan oleh persamaan :
ηsp = η – η0………………………………………………………………………………..……….2.9.1
η0
Perbandingan ηsp/c, dimana c adalah konsentrasi larutan polimer disebut
viskositas reduksi. Nilai ηsp/c pada limit pelarutan disebut juga nilai viskositas
intrinsik dan diberi lambang [η], yang secara matematis dapat dijelaskan sebagai :
ηsp
lim𝑐→0 = [η]……………………………………………….……..2.9.2
𝐶
Karena massa jenis berbagai larutan yang dipakai dalam suatu percobaan
hampir sama dengan massa jenis pelarut, maka sebagai pendekatan dapat
diandaikan viskositas tiap larutan hasil pengenceran berbanding lurus dengan
waktu alirnya, sehingga persamaan menjadi :
t2 −t1……………………………………………………………………………….………..
η𝑠𝑝 = 2.9.3
t1
Dimana t2 adalah waktu alir untuk larutan, sedangkan t 1 adalah waktu alir
untuk pelarut. Dengan diperolehnya waktu alir pada berbagai pengenceran, maka
nilai ηsp dan ηsp/c dapat dihitung. Selanjutnya nilai ηsp/c diplotkan dalam grafik
linier terhadap konsentrasi c. Plot data ini diekstrapolasi ke konsentrasi 0
menghasilkan nilai [η]. Mark dan Houwink menemukan bahwa angka viskositas
intrinsik dapat dikaitkan dengan penentuan bobot molekul relatif melalui rumus :
[η] = KMa………………………………………………………....….2.9.4
Gambar 2.17. (A) Viskometer Ostwald dan (B) Ubbelohde (Cowd, 1991)
Kelarutan suatu zat dapat ditentukan dengan menimbang zat yang akan
ditentukan kelarutannya kemudian dilarutkan, misalnya dalam 100 ml pelarut.
Jumlah zat yang ditimbang harus diperkirakan membentuk larutan lewat jenuh
yang ditandai masih terdapat zat yang tidak larut didasar wadah setelah dilakukan
pengocokkan dan didiamkan. Setelah terjadi kesetimbangan antara zat padat yang
larut dan yang tidak larut, padatan yang tidak larut lalu disaring dan ditimbang.
Selisih berat awal dan berat padatan yang tidak larut merupakan kelarutan zat
tersebut dalam 100 ml pelarut.
Reologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan bentuk (deformasi) dan aliran
suatu bahan. Untuk bahan polimer, tujuan mempelajari reologi adalah untuk
mendapatkan kondisi pemrosesan yang sesuai bagi bahan tersebut ataupun
campuran dari berbagai bahan polimer dengan sifat-sifat yang berbeda (Nielsen,
1978). Untuk menyebabkan suatu polimer berdeformasi atau mengalir
memerlukan penerapan suatu gaya. Jika ketika gaya dikenakan polimer tertarik
dengan tiba-tiba maka molekul-molekulnya memiliki cenderung mengembalikan
konfigurasinya yang mula-mula dan stabil, suatu proses yang disebut relaksasi.
Dengan kata lain, cairan amorfus tersebut memperlihatkan suatu kualitas elastis
tertentu (Steven, 2001).
Bila suatu bahan dikenakan bahan tarik yang disebut tegangan (gaya persatuan
luas), maka bahan akan mengalami perpanjangan (regangan). Kurva tegangan
terhadap regangan merupakan gambaran karakteristik dari sifat mekanik suatu
bahan. Kekuatan tarik diartikan sebagi besarnya beban maksimum (F maks ) yang
dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas penampang
bahan. Karena selama dibawah pengaruh tegangan, spesimen mengalami
perubahan bentuk maka defenisi kekuatan tarik dinyatakan dengan luas
penampang semula (Ao) :
F
……………………………………….…..……2.9.5
A
Keterangan :
Ini merupakan total perpanjangan pada potongan uji pada waktu ketika
mengalami perputusan. Ini diukur oleh penambahan dalam jarak antara dua garis
yang ditempatkan dalam potongan uji sebelum proses pemotongan dimulai
(Nicholas P., 1962).
𝑑−𝑎
Perpanjangan putus = × 100 %......................................2.9.6
𝑎
𝑆𝑡𝑟𝑒𝑠𝑠 ……………………………………………......
Modulus Young = 2.9.7
𝑆𝑡𝑟𝑎𝑖𝑛
L x t1
Kekuatan Sobek = ……………………………………2.9.8
t2
SEM menggunakan prinsip scanning yaitu berkas elektron diarahkan pada titik
permukaan spesimen. Gerakan elektron diarahkan pada titik permukaan spesimen.
Jika seberkas sinar elektron ditembakkan pada permukaan spesimen maka
sebagian dari elektron itu akan dipantulkan kembali dan sebagian lagi diteruskan.
Jika permukaan spesimen tidak merata, banyak lekukan, lipatan atau lubang-
lubang. Maka tiap bagian permukaan itu akan memantulakan elektron dengan
jumlah dan arah yang berbeda dan kemudian akan ditangkap oleh detektor dan
akan diteruskan ke sistem layar. Dalam Penelitian morfologi permukaan dengan
menggunakan SEM pemakaiannya terbatas, tetapi memberikan informasi yang
bermanfaat mengenai topologi permukaan dengan resolusi berkisar 1000 Å.
(Stevens, 2001).
Prinsip DSC tidak jauh berbeda dengan prinsip kalorimetri biasa, hanya dalam hal
ini digunakan sampel dari polimer yang agak jauh lebih kecil (maksimum 50 mg,
misalnya 10 mg) dan peralatan kalor lebih teliti (David I. Bower, 2002). Hasil
pengujian DSC merupakan kurva termogram yang dapat digunakan untuk
menentukan suhu transisi glass dan suhu leleh (Cheremisinoff, N.P, 1996). Suhu
sampel dan pembanding selalu dipertahankan sama dengan menggunakan panas.
Bila terjadi perubahan kapasitas kalor sampel selama kenaikan suhu, pemanas
sampel berusaha mengatur banyaknya kalor yang diberikan (Nurdin, 2011).