Anda di halaman 1dari 27

25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karet Alam

Karet alam adalah polimer isoprene (C5H8 ) yang mempunyai bobot molekul yang
besar. Susunannya adalah –CH-C(CH3)=CH-CH2 -. Karet Hevea yang diperoleh
dari pohon Hevea Brasiliensis adalah bentuk ilmiah dari 1,4-poliisoprena. Karet
jenis ini memiliki ikatan ganda lebih dari 98 % dalam konfigurasi cis nya yang
penting bagi kelenturan atau elastisitas poliisoprena. Lebih dari 90 % cis - 1,4
poliisoprena digunakan dalam industri karet Hevea (Tarachiwin, 2005). Karet
alam adalah suatu senyawa hidrokarbon (C dan H) yang merupakan
makromolekul isoprena yang bergabung membentuk poliisoprena. Tanaman karet
(Hevea Brasiliensis) yang asalnya dari Brazil, Amerika Selatan, tumbuh secara
liar di lembah-lembah Amazon (Setyamijaja, 1993). Berikut ini struktur kimia
karet alam (cis – 1,4 poliisoprena) dalam karet Hevea :

Gambar 2.1. Struktur kimia cis – 1,4 poliisoprena (Sridee, J. 2006)

Proses polimerisasi susunan isoprena akan menghasilkan polimer dengan struktur


ikatan kimia yang berbeda. Proses polimerisasi isoprena diperlihatkan pada
Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Proses polimerisasi isoprena (Alam, et.al. 2007)

Universitas Sumatera Utara


26

Adapun taksonomi tanaman karet ialah tersusun sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Hevea

Spesies : Havea brasiliensis

(Chairil Anwar, 2001)

Berdasarkan reaksi lateks karet alam dengan berbagai perlakuan kimia dan cara
fisika berdasarkan strukturnya telah menunjukkan struktur dari partikel lateks
karet alam berikut ini :

Partikel Karet Lapisan protein

Lapisan fosfolipid

Gambar 2.3. Struktur Partikel Lateks (Blackley, D.C. 1966)

2.1.1. Sejarah Karet

Sejarah karet dunia diawali sejak pertama kali ditemukan sebagai tanaman yang
tumbuh secara liar sampai dijadikan tanaman perkebunan secara besar-besaran,
karet memiliki sejarah yang cukup panjang. Apalagi setelah ditemukan beberapa
cara pengolahan dan pembuatan barang dari bahan baku karet, maka ikut
berkembang pula industri yang mengolah getah karet menjadi bahan yang berguna
untuk kehidupan manusia. Pada tahun 1493, Michele de Cuneo melakukan

Universitas Sumatera Utara


27

pelayaran ekspedisi ke Benua Amerika yang dahulu dikenal sebagai “Benua


Baru”. Dalam perjalanan ini ditemukan sejenis pohon yang mengandung getah.
Pohon-pohon itu hidup secara liar di hutan-hutan pedalaman Amerika yang lebat.
Orang-orang Amerika asli mengambil getah dari tanaman tersebut dengan cara
menebangnya. Getah yang didapat kemudian dijadikan bola yang dapat dipantul-
pantulkan. Bola ini disukai penduduk asli sebagai alat permainan. Penduduk
Indian Amerika juga membuat alas kaki dan tempat air dari getah tersebut.

Pengenalan bahan baku karet ini kemudian berlanjut didaerah Seville pada
tahun 1524. Raja Charles V memperkenalkan permainan tenis yang menggunakan
bola karet sebagai permainan dari “Dunia Baru” dengan mengundang beberapa
pejabat Negara tetangga. Salah seorang diplomat Italia, Andrea Navagioro ikut
menyaksikan. Dalam bukunya yang ditulis dan diterbitkan di Daratan Eropa,
Andrea Navagioro menggambarkan bola dari bahan karet sebagai bahan yang
bening dan lentur. Beranjak dari sini, karet mulai menarik perhatian banyak ahli
untuk diteliti.

Tanaman karet sendiri mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan


Belanda. Awalnya, karet ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman baru
untuk dikoleksi. Selanjutnya, karet dikembangkan menjadi tanaman perkebunan
dan tersebar dibeberapa daerah. Ternyata pertumbuhan tanaman karet sangat
memuaskan sehingga mulai dibudidayakan di perkebunan-perkebunan. Dan sejak
saat itu tanaman karet ditanam secara besar-besaran dan mengalami perluasan
yang sangat cepat (Setyamidjaja, 1993).

2.1.2. Sifat -Sifat Karet Alam

Karet alam warnanya agak kecoklatan, sifat mekaniknya tergantung pada derajat
vulkanisasi, melunak pada suhu 130 oC dan terurai pada suhu 200 oC. Sifat kimia
karet alam kurang baik terhadap ketahanan minyak dan ketahanan pelarut. Zat
tersebut dapat larut dalam hidrokarbon, ester, asam asetat, dan sebagainya. Karet
yang kenyal seperti mudah didegradasi oleh sinar UV dan ozon. Sifat-sifat karet
yang terpenting untuk menjamin mutunya :

Universitas Sumatera Utara


28

 Viskositasnya harus rendah.


 Ketahanan oksidasinya harus tinggi.
 Sifat-sifat pematangannya harus cepat matang.
 Kadar zat tambahan dan kotoran harus serendah mungkin
(Kartowardoyo, 1980)

Pada umumnya semakin tinggi BM hidrokarbon karet, semakin panjang


rantai molekul dan semakin tinggi tahanan terhadap aliran, dengan kata lain
karetnya lebih kental dan keras. Ikatan C-C di dalam rantai polimer karet dapat
berubah sudut ikatannya karena pengaruh fisik dari luar. Molekul-molekul yang
panjang di alam pada umumnya tidak lurus tetapi melingkar seperti spiral. Hal ini
memberikan sifat fleksibel, dapat ditarik (pada batas-batas tertentu) atau ditekan
dan sifat lentur (Mark, J.E. and Burak Erman. 2005). Adapun komposisi karet
alam segar terdapat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Komposisi karet alam segar

No. Komponen Karet Persentase (%)


1. Kadar karet kering 30-35
2. Substansi protein 1-1,5
3. Lipid 1-2,5
4. Zat gula 1
5. Ion-ion anorganik 1
6. Air 60-65
(Liyanage, 1999)

2.1.3. Pengolahan Karet Alam

Pada dasarnya karet mentah adalah karet yang belum dicampur dengan bahan
kimia dan belum divulkanisasi. Pada saat ini dikenal dua golongan karet mentah
yaitu karet konvensional dan karet spesifikasi teknis. Beberapa contoh karet
konvensional yaitu Ribbed Smoked Sheet (RSS), Pale Crepe, Estate Brown Crepe,
Remill, Blanket Crepe.

Universitas Sumatera Utara


29

Jenis dan mutu karet ekspor Indonesia yaitu terdiri atas 83% karet
spesifikasi teknis, 13 % RSS, 3 % lateks pekat dan 1 % brown crepe serta jenis-
jenis lainnya (Nurdin, et al. 2004). Karet jenis SIR-10 merupakan karet alam yang
kualitasnya lebih baik dibanding karet SIR-20 dimana memiliki kandungan zat
pengotor dan zat abu lebih kecil dibanding SIR-20 masing-masing yaitu 0,1 %
(b/b) dan 0,75 % (b/b) dengan warna cokelat sehingga kualitas dan mutunya lebih
baik dan dalam skala penelitian akan dihasilkan bahan polimer yang lebih baik
dibanding SIR-20. Berikut ini tabel 2.2. yang memperlihatkan skema Standard
Indonesia Rubber (Setyamidjaja, 1993).

Tabel 2.2. Skema Karet Standar Indonesia (SIR)

Spesifikasi Standard Indonesian Rubber

5CV 5LV 5L 5 10 20 50

Kadar kotoran 0.05 0.05 0.05 0.05 0.1 0.2 0.5


(% maks)
Kadar abu 0.5 0.5 0.5 0.5 0.75 1 1.5
(% maks)
Kadar zat 1 1 1 1 1 1 1
menguap
PRI (min) - - 60 60 40 50 30

Po (min) - - 30 30 30 30 30

Indeks warna - - 6 - - - -

ASHT (maks) 8 8 - - - - -

Sari aseton - 6-8 - - - - -

Warna kode Hijau Hijau Hijau Hijau Cokelat Merah Kuning

(Setyamidjaja, 1993)

Universitas Sumatera Utara


30

2.1.4. Proses Pembuatan Karet

Proses pembuatan karet pada umumnya diikuti dengan proses vulkanisasi, yaitu
penambahan sulfur dengan tujuan untuk memperbaiki sifat sifat mekanisnya.
Setelah campuran karet di bentuk, maka perlu divulkanisasi, selama proses
vulkanisasi akan terjadi perubahan, rantai molekul karet yang panjang akan saling
berikatan silang melalui reaksi dengan vulkanisator sehingga karet akan menjadi
kuat. Karet tidak lengket dan lebih tahan terhadap kerusakan yang disebabkan
oleh panas, ozon, cuaca dan sebagainya. Pada proses vulkanisasi, suhu dan waktu
pemasakan harus selalu dikontrol dengan baik. Hal ini sangat penting karena
untuk tiap kompon terdapat satu daerah suhu dan waktu dimana barang karet akan
memiliki sifat-sifat fisika yang optimum.

Tujuan penambahan 30-40% sulfur akan memperbanyak jumlah ikaitan


silang (cross link) antara rantai molekulnya yang akan berpengaruh terhadap sifat-
sifat dan perilaku karet alam. Karet alam dengan jumlah ikaitan silang sedikit
akan bersifat relatif lebih lunak dan fleksibel dari pada karet alam dengan jumlah
ikaitan silang lebih banyak (Rahmat Saptono, 2008).

2.2. Lateks Pekat

Lateks pekat adalah lateks yang dihasilkan dari karet alam yang sekurang-
kurangnya mengandung 60 % kadar karet kering (Stagg, R. 2004). Lateks pekat
dapat diperoleh dengan memekatkan lateks kebun. Dan pada umumnya
pembuatan lateks pekat bertujuan meningkatkan kadar karet kering (KKK).
Lateks kebun pekat dengan kadar karet kering (KKK) 60 % akan lebih seragam
mutunya dan lebih sesuai untuk pengolahan barang jadi karet. Pembuatan lateks
pekat dapat dilakukan dengan empat metode, yaitu sentrifuse (pemusingan),
pendadihan, penguapan, dan elektrodekantasi. Metode yang paling sering
digunakan adalah metode sentrifuse (pemusingan) karena menghasilkan kapasitas
produksi yang besar, viskositas lateks lebih rendah Lipida (tidak kental), dan hasil
lateks lebih murni (tidak tercampur endapan dan kotoran) (Solichin, 1991).

Universitas Sumatera Utara


31

Pada umumnya, pengolahan lateks pekat di Indonesia menggunakan cara


pemusingan (sentrifuse) karena kapasitasnya tinggi dan pemeliharaannya lebih
mudah. Lateks kebun dengan kadar karet kering (KKK) 28-35 % dipusingkan
pada kecepatan 5000-7000 rpm, sehingga pada bagian atas alat akan diperoleh
lateks pekat dengan kadar karet kering (KKK) 60 % dan berat jenis 0,94,
sedangkan di bagian bawah akan dihasilkan skim yang masih mengandung 4-8 %
karet dengan berat jenis 1,02 (Goutara, 1985). Berikut tabel 2.3. yang
memaparkan komposisi lateks pekat.

Tabel 2.3. Komposisi Lateks Pekat

No. Komponen Karet Persentase (%)


1. Kadar karet kering 92-94
2. Substansi protein 2,5-3,5
3. Lipid 2,5-3,2
4. Ion-ion anorganik 0,1-0,5
5. Air 0,3-1,0
(Surya, I. 2006)

2.3. Kompon Karet

Proses kompon karet mulai terbentuk tahun 1839 ketika Charles Goodyear
membuat campuran bahan karet berupa kompon karet ( karet 25; sulfur 5; timbal
putih 7) yang dipanaskan dalam suatu media kompor panas dan saat itu
berkembanglah dan menghasilkan sampai 1000 produk yang dapat dibuat dari
penemuannya (Yam Kok Peng, 2007).

Pada umumnya kompon mengandung 6 atau lebih bahan kimia karet


tergantung karakterisasi barang jadi karet yang diinginkan. Adapun bahan kimia
karet yang digunakan tersebut memiliki fungsi spesifik dan mempunyai pengaruh
terhadap sifat karakteristik pengolahan dan harga dari komponen karetnya (A.
Rasyidi Fachry, 2012).

Universitas Sumatera Utara


32

Gambar 2.4. Kompon karet (http://www.industrikaret.com)

Dalam bentuk kompon, karet alam sangat mudah dilengketkan satu sama
lain sehingga sangat disukai. Pembuatan dan pembentukan kompon karet
merupakan tahap awal dari produksi barang jadi karet. Pembuatan kompon
dilakukan dengan cara pencampuran karet dengan bahan kimia sesuai dengan
formulasi yang dibutuhkan di dalam mesin pencampur dan pembentukan
dilakukan di dalam mesin pembentuk setelah dilunakkan. Adapun sistem
vulkanisasi dari kompon (vulcanizing system of the coumpond) adalah campuran
bahan pengaktif, bahan pemercepat dan belerang (S) disebut (Frida, E. 2011).

2.3.1. Ban

Ban adalah material komposit yang biasanya dari karet alam yang tersusun atas
tiga komponen utama yaitu karet, baja, dan serat. Dan biasanya digunakan untuk
ban truk dan ban mobil penumpang. Untuk menggiling ban menjadi serbuk karet
dilakukan dengan proses cryogenic grinding. Karet memberikan kontribusi
terbesar bahan ban (lebih kurang 60 % berat (Carl Thodesen, 2009). Secara umum
komposisi karet ban luar dan karet ban dalam tidak sama untuk setiap bagian,
akan tetapi bagian ban tersebut mempunyai standart tertentu (Thamrin, 2004).

Ban (tires) tersusun atas bahan karet atau polimer yang sangat kuat
diperkuat dengan serat-serat sintetik dan baja yang sangat kuat yang menghasilkan
suatu bahan yang mempunyai sifat-sifat unik seperti kekuatan tarik yang sangat
kuat, fleksibel, ketahanan pergeseran yang tinggi (Bujang B.K.Huat, 2004). Ban
tersusun atas empat bagian utama : Carcass, Tread Breaker, dan Bead. Atau pula

Universitas Sumatera Utara


33

dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang mempunyai fungsi utama sebagi


berikut: Crown, Shoulder, sidewall, dan Bead (Agus Sunanto, 2013).

Tabel 2.4. Komposisi ban di Eropa

Bahan Mobil (%) Truk (%)


Karet 48 43
Karbon hitam 22 21
Logam 15 27
Tekstil 5 -
Zink Oksida 1 2
Sulfur 1 1
Bahan Aditif 8 6
(Lievanna, 2005)

2.4. Bahan Tambahan (Addictives)

Bahan tambahan (addictives) adalah bahan-bahan kimia yang ditambahkan


kedalam suatu material untuk meningkatkan kualitas dan sifat dari bahan material
tersebut (A. Rasyidi Fachry, 2012). Untuk membuat barang-barang plastik dan
karet agar mempunyai sifat-sifat seperti yang dikehendaki, maka dalam proses
pembuatannya selain bahan baku utama diperlukan juga bahan tambahan atau
aditif. Penggunaan bahan tambahan ini beraneka ragam tergantung pada bahan
baku yang digunakan dan mutu produk yang akan dihasilkan. Berdasarkan
fungsinya, maka bahan tambahan atau bahan pembantu proses dapat
dikelompokkan secara umum menjadi (Frida, E. 2011).

2.4.1. Bahan Pemvulkanisasi (Vulcanizing Agent)

Vulkanisasi adalah proses pemanasan terhadap karet ban setelah dicampur dengan
belerang. Namun secara kimia, vulkanisasi merupakan proses pembentukan
polimer karet yang dapat saling bertautan satu sama lain (cross-linking). Tanpa
proses vulkanisasi (cross-linking), karet alam tidak menunjukkan sifat elastis dan
labil terhadap suhu (Nijasure, 1997). Bahan pemvulkanisasi diantaranya adalah
belerang. Ada dua jenis sulfur yang mana adalah sulfur siklik (S 8) dan sulfur
amorf. Bahan pemvulkanisasi lainnya selain sulfur dapat berupa selenium,
tellurium, dan lain sebagainya (Yam Kok Peng, 2007).

Universitas Sumatera Utara


34

Gambar 2.5. Belerang (http://asiandragoninternational.yolasite.com)

2.4.2. Bahan Pemercepat (Accelerator)

Kelemahan dalam proses vulkanisasi dengan belerang adalah proses ini


membutuhkan waktu yang lama sehingga dibutuhkan yang namanya accelerator
(Nola, 2001). Bahan pemercepat (accelerator) berfungsi untuk membantu
mengontrol waktu dan temperatur pada proses vulkanisasi dan dapat memperbaiki
sifat vulkanisasi karet (Frida, E. 2011). Beberapa jenis bahan pemercepat antara
lain, Marcapto Benzhoathizole Disulfida (MBTS), Marcapto Banzhoathizole
(MBT), maupun N-Cyclohexyl-2-benzothiazole sulfenamide (CBS).

A. B.
A. Gambar 2.6. CBS (http://www.rubber-accelerator.com)
B. Gambar 2.7. MBTS (http://www.rubber-accelerator.net)

Universitas Sumatera Utara


35

2.4.3. Bahan Pengaktif (Activator)

Bahan ini digunakan untuk lebih mengaktifkan bahan pemercepat vulkanisasi


karena pada umumnya bahan pemercepat organik tidak akan berfungsi secara
efisien tanpa ada bahan pengaktif (Nola, 2001). Sehingga bahan pengaktif adalah
bahan yang dapat meningkatkan kerja dari bahan pemercepat dan hal ini bahan
pemercepat tidak dapat bekerja baik tanpa bahan pengaktif. Bahan pengaktif yang
bisa digunakan adalah ZnO, asam stearat, PbO, MgO dan sebagainya.

A. B.
A. Gambar 2.8. ZnO (http://www.global-b2b-network.com)
B. Gambar 2.9. Asam Stearat (http://www.nguyenlieulammypham.com)

2.4.4. Bahan Penstabil (Antioxidants)

Manfaat bahan penstabil seperti antioksidan adalah untuk mempertahankan


produk plastik dari kerusakan, baik selama proses, dalam penyimpanan maupun
aplikasi produk. Antioksidan adalah molekul yang mampu memperlambat
ataupun mencegah oksidasi molekul lain. Bahan antioksidan adalah bahan yang
digunakan untuk mengurangi proses oksidasi pada vulkanisat. Antioksidan dapat
memperlambat perusakan pada produk barang jadi karet (Frida, E. 2011).

Penambahan bahan antioksidan juga dapat melindungi bahan jadi karet


terhadap ion-ion peroksida yaitu ion tembaga, ion mangan dan ion besi. Sehingga
bahan jadi karet tahan terhadap suhu tinggi, sinar matahari, keretakan dan

Universitas Sumatera Utara


36

memiliki kelenturan yang stabil (Kelingensmith, 1982). Jenis bahan antioksidan


diantaranya Butilated Hydroxy Toluene (BHT) dan Phenil-Beta-Naphthyl-amine
(PBN) maupun Wingstay.

Gambar 2.10. Contoh antioksidan BHT (http://chemzpop.blogspot.com)

2.5. Modifikasi Kimia Karet Alam

Modifikasi kimia karet alam telah selama bertahun-tahun, merupakan suatu


metode yang menarik untuk menghasilkan bahan-bahan polimer yang baru.
Pertama kali secara resmi berhasil memodifikasi karet alam (diantaranya
hidroklorinasi, klorinasi dan karet siklik) yang telah dihasilkan selama 50 tahun
yang lalu. Terlebih modifikasi baru-baru ini adalah berbentuk karet epoksidasi,
dimana kehadirannya ditemukan pada beberapa aplikasi khususnya bidang ban.

Modifikasi kimia seperti Karet alam cair (LNR) merupakan turunan lain
yang penting dimana dapat dengan mudah dihasilkan melalui degradasi oksidatif
dari karet alam dengan proses yang berbeda : melalui karet yang telah dikoagulasi
dengan mekanik (mastikasi) atau proses radiasi, atau dari fase lateks dengan
perlakuan sistem fenilhidrazin/oksigen. Kehadiran LNR pada suatu kepentingan
industri khususnya sebagai suatu plastisizer yang reaktif khususnya dalam proses
pembuatan ban (Brosse, 2000).

Universitas Sumatera Utara


37

Dengan adanya modifikasi kimia, kelemahan karet alam dapat diatasi


dengan modifikasi struktur karet alam. Salah satu cara untuk memperbaiki
kelemahan sifat fisik karet alam diatas adalah dengan melakukan modifikasi karet
alam baik secara fisik maupun kimia melalui perubahan struktur molekulnya,
seperti depolimerisasi, hidrogenasi, siklisasi, klorinasi, kopolimerisasi cangkok,
dan sebagainya. Degradasi rantai molekul karet yang bertujuan untuk melunakkan
atau sekedar menurunkan viskositas karet, dan untuk memperoleh karet dengan
rantai molekul yang sangat pendek atau karet cair (Elly Nurasih, 2006).

2.5.1. Depolimerisasi

Menurut (Ramadhan, 2005), depolimerisasi adalah proses pemutusan atau


pendegradasian polimer dengan cara menghilangkan kesatuan monomer secara
bertahap dalam reaksi. Depolimerisasi molekul karet dilakukan untuk
memperoleh karet dengan bobot molekul rendah yang ditandai dengan rendahnya
viskositas Mooney. Depolimerisasi polimer dapat terjadi secara mekanik, termal,
kimia, fotokimia, dan biodegradasi.

+
R R R R R R

Pengguntingan rantai utama

R R R R R R
+ R

Pengguntingan rantai samping

+ RH

Eliminasi

Gambar 2.11. Mekanisme Degradasi Polimer Reaksi Rantai (Surdia, 2000)

Universitas Sumatera Utara


38

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui kemungkinan reaksi


pemutusan rantai polimer akibat pengaruh dari terbentuknya radikal bebas pada
tahap inisiasi. Hal ini menyebabkan terjadinya reaksi polimer dengan oksigen
secara berurutan yang menghasilkan pemutusan rantai polimer pada rantai utama,
pemutusan rantai samping dan eliminasi (Surdia, 2000).

2.5.2. Liquid Natural Rubber (LNR)

Liquid Natural Rubber dikenal sebagai karet alam cair yang dihasilkan dari
modifikasi kimia yang merupakan turunan lain yang penting dari karet alam yang
dapat dengan mudah dihasilkan melalui degradasi oksidatif dengan proses yang
berbeda (Brosse, 2000). karet cair (liquid natural rubber) merupakan
depolimerisasi secara kimia dengan reaksi redoks dapat menghasilkan karet
dengan bobot molekul rendah. Semakin rendah bobot molekul yang dihasilkan
akan menyebabkan karet menjadi semakin rendah viskositasnya. Karet dengan
rantai molekul pendek atau viskositas rendah relatif lebih mudah terpenetrasi ke
dalam pori-pori permukaan, sehingga daya rekatnya relatif lebih kuat dan dapat
digunakan untuk membuat produk, seperti lem, cat, pernis, dan tinta cetak. Selain
itu karena bentuknya cair maka karet cair dapat digunakan untuk membuat produk
yang bentuknya rumit (Elly Nurasih, 2006).

Gambar 2.12. Reaksi pembentukan LNR (Lairattanakul, 1993)

Menurut Pudjosunaryo dan Siswantoro (1991), karet alam cair


didefinisikan sebagai karet alam yang pada suhu kurang dari 100 oC dapat
dituang atau dipompakan tanpa bantuan medium lain. Bentuknya yang cair
menyebabkan karet ini sesuai untuk pembuatan barang jadi karet yang berbentuk
rumit. Karet alam cair ada dua jenis, yaitu karet alam cair dengan berat molekul
tinggi dan karet alam cair dengan berat molekul rendah (IRCA, 1985 diacu dalam

Universitas Sumatera Utara


39

Pudjosunaryo dan Siswantoro, 1991). Pemotongan rantai molekul karet alam


dengan depolimerisasi akan menghasilkan karet alam cair. Karet cair dapat
dihasilkan dengan depolimerisasi panas maupun depolimerisasi kimia pada karet
alam. Depolimerisasi panas dilakukan dengan memanaskan mastikasi karet alam
o
pada suhu 220-240 C. Sedangkan depolimerisasi kimia melibatkan reaksi
oksidasi-reduksi salah satunya dengan menggunakan fenilhidrazin dan oksigen
(Elly Nurasih, 2006).

2.5.2.1. Triton X-100

Triton X-100 (C14H22O(C2H4O)n) adalah surfaktan (emulsifier) nonionik yang


memiliki suatu rantai polyethylene oxide yang hidrofilik (Secara rata-rata
memiliki 9,5 unit ethylene oxide) dan suatu hidrokarbon aromatik yang bersifat
lipofilik atau gugus hidrofobik. Gugus hidrokarbonnya adalah berupa gugus fenil
4-(1,1,3,3-tetramethylbuthyl).

Gambar 2.13. Struktur Triton X-100 (Hoffmeier, 2007)

Triton X-100 secara umumnya digunakan sebagai detergen/surfaktan,


pendispersi bahan karbon untuk bahan komposit ringan dan digunakan untuk
menjaga lateks karet alam dengan mengurangi protein alergen lebih dari 95 %.
Metode ini merupakan metode yang relatif lebih baik dan tidak akan
mempengaruhi sifat mekanik untuk tingkat yang lebih besar (Ichikawa, 1993;
Schloman, 2002). Triton X-100 larut pada 25 °C dalam air, toluena, xilena,
trichloroethylene, etilena glikol, etil eter, etil alkohol, isopropil alkohol, etilena
diklorida. Tetapi, jika bahan penghubung seperti asam oleat yang digunakan,
Triton X-100 larut dalam minyak tanah (Hoffmeier, 2007).

Universitas Sumatera Utara


40

2.5.2.2. Fenilhidrazin (Phenylhydrazine)

Phenylhydrazine adalah senyawa kimia dengan rumus kimia C 6H5NHNH2.


Singkatan kimia organik dari senyawa tersebut sebagai PhNHNH 2.
Phenylhydrazine dipreparasi dengan reduksi anilin dengan natrium nitrat dengan
adanya hidrogen klorida untuk membentuk garam diazonium, yang mana secara
bertahap direduksi menggunakan natrium sulfit dengan adanya natrium hidroksida
untuk membentuk produk akhir. Phenylhydrazine merupakan turunan hydrazine
dikarakterisasi dan dilaporkan dengan Emil Fischer pada tahun 1875. Dia
membuat dengan cara reduksi garam phenyl diazonium menggunakan garam
sulfit.

Gambar 2.14. Struktur Phenylhydrazine (Hoffmeier, 2007)

Fischer menggunakan phenylhydrazine untuk karakterisasi gula melalui


pembentukan hydrazone (Fischer, 1875). Oksidasi turunan dari hydrazine
(Phenylhydrazine) dapat ditulis dengan reaksi sebagai berikut :

Gambar 2.15. Oksidasi Phenylhydrazine (Zhukova, 2000)

Dengan adanya phenylhydrazine melalui degradasi oksidatif oleh oksigen


terhadap karet alam 1,4-cis poliisopren menghasilkan polimer cair, dimana
dekomposisi yang terbentuk ini diharapkan meningkatkan dengan terjadi
pembelahan-pembelahan acak dan bobot makromolekulnya (De Barros, 1985).

Universitas Sumatera Utara


41

2.6. Kompatibilisasi

Kompatibilisasi campuran polimer dapat didefinisikan sebagai pencampuran


(miscibility) dari dua atau lebih polimer pada skala molekul, campuran polimer
yang tidak menunjukkan pemisahan yang jelas, campuran polimer yang
memenuhi sifat-sifat sepenuhnya kompatibel, semi kompatibel dan non
kompatibel (D.R. Paul,1978).

Campuran dikatakan sepenuhnya kompatibel apabila menunjukkan transisi


gelas tunggal, homogen dan ukuran partikel antara 5-10 nm. Sedangkan untuk
campuran yang semi kompatibel akan menunjukkan dua Tg yang terpisah dimana
posisinya tergantung pada interaktif kekuatan antara batas fasa (O. Olabisi, 1979).

Kompatibilisasi dapat digambarkan untuk sebagai suatu proses untuk


mengurangi entalpi daripada campuran atau membuatnya menjadi semakin kecil.
Kompatibilisasi digunakan untuk campuran polimer yang sifat praktis berguna,
terlepas dari apakah secara teoritis larut atau bercampur (Utracki, 1990).
Kompatibilisasi berguna untuk :

 Mengurangi energi antar muka dan memperbaiki adhesi antara fase


sehingga memperkecil fase dispersi ukuran partikel.
 Memperoleh dispersi yang baik selama campuran.
 Menstabilkan dispersi yang baik terhadap agglomeration (penumpukan)
selama berlangsungnya proses.
 Mencapai suatu morfologi yang seimbang yang akan memberikan
tegangan halus yang ditransfer dari satu fase ke fase yang lain dan
digunakan untuk menahan gangguan (kerusakan) tegangan yang lebih
besar.

Persyaratan dasar untuk kompatibiliser sebagai aditif dalam proses reaktif


yaitu dalam reaksi kompatibilisasi harus cepat dan irreversibel dan tegangan
antarmuka harus dioptimalkan. Beberapa molekul polimer harus berisi kumpulan
kimia yang dapat bereaksi untuk membentuk ikatan primer salama dalam proses
pencampuran (Manh Hieu Nguyen, 2008).

Universitas Sumatera Utara


42

2.7. karbon Hitam (Carbon Black)

Karbon hitam (Carbon black ) adalah suatu material bahan pengisi yang telah
dikenal dan diproduksi sejak dulu dan hanya diketahui secara luas dalam industri
sebagai bahan yang cocok dicampurkan dengan karet sehingga dapat
meningkatkan sifat mekaniknya (Baranwal, 2001).

Tabel 2.5. Klasifikasi Dan Karakteristik Carbon Black

ASTM Type Type Typical Typical


Designation Code N2SA Average
m2/g Particle
(nm)
N110 SAF Super Abrasion Furnace 130 11-19
N220 ISAF Intermediate Super 115 20-25
Abrasion Furnace
N330 HAF High Abrasion Furnace 79 26-30
N550 FEF Fast Extrusion Furnace 41 40-48
N660 GPF General Purpose Furnace 35 49-60
N762 SRF Semi Reinforcing Furnace 28 61-100
N990 MT Medium Thermal 9 200-500
(Baranwal, 2001)

Karbon hitam pada hakikatnya adalah elemen atau unsur karbon dalam
bentuk partikel koloid yang dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna gas atau
cairan hidrokarbon dibawa kondisi terkontrol. Secara fisik berwarna hitam
dimana, terbagi atas pelet atau serbuk. Karbon hitam digunakan dalam pembuatan
ban, produk-produk karet dan plastik, tinta percetakan dan pelapisan yang
disesuaikan dengan sifat-sifat spesifiknya yaitu luas permukaan, ukuran partikel
dan struktur, konduktivitas dan warna.

Karbon hitam seperti yang telah disebutkan diatas memiliki kegunaan


sebagai bahan penguat dan bahan pengisi yang dimanfaatkan sejak lama dalam
industri karet dan lebih disukai dengan alasan diantaranya; material yang sepadan,
pencampuran dan perekatan yang menghasilkan matriks yang lebih baik,
perubahan densitas keseluruhan tidak terlalu besar dan murah (Tony Blythe, et al.
2005).

Universitas Sumatera Utara


43

Sebagai bahan pengisi, karbon hitam harus memenuhi persyaratan berupa


pengaruh pH karbon hitam pada proses vulkanisat karet, dimana karbon hitam
yang ber-pH asam dapat bertindak sebagai penghalang proses vulkanisasi
sehingga untuk menanggulanginya pHnya harus basa dengan cara memanaskan
pada suhu tinggi (Maurice Morton, 1959).

2.8. Komposit

Komposit adalah suatu jenis bahan baru hasil rekayasa yang terdiri dari dua atau
lebih bahan dimana sifat masing-masing bahan berbeda satu sama lainnya baik itu
sifat kimia maupun fisikanya dan tetap terpisah dalam hasil akhir bahan tersebut
(bahan komposit). Dengan adanya perbedaan dari material penyusunnya maka
komposit antar material harus berikatan dengan kuat, sehingga perlu adanya
penambahan wetting agent.

Adanya dua penyusun komposit atau lebih menimbulkan beberapa daerah


dan istilah penyebutannya; Matriks (penyusun dengan fraksi volume terbesar),
Penguat (Penahan beban utama), Interphase (pelekat antar dua penyusun)
interface (permukaan phase yang berbatasan dengan fase lain). Pengambarannya
penyusun komposit dapat dilihat sebagai berikut:

Interphase Matrix
Fiber
(Bonding Agent)
Interface

Gambar 2.16. Komposisi penyusun komposit (Nurun Nayiroh, 2013)

Universitas Sumatera Utara


44

2.9. Karakterisasi Dan Pengujian Bahan Polimer


2.9.1. Analisa Fourier Transform Infrared (FTIR)

Untuk dapat mengidentifikasi data infra merah polimer, persyaratan yang harus
dipenuhi adalah zat tersebut harus homogen secara kimia. Spektrum infra merah
suatu zat polimer pada dasarnya adalah serapan-serapan monomer dan pengaruh
kopling antara monomer-monomer diabaikan. Seringkali suatu polimer
mempunyai spektrum yang lebih sederhana dari pada spektrum monomer-
monomernya, meskipun polimer dapat mengadung 10 4 atom. Hal ini disebabkan
tidak ada perubahan tetapan gaya pada kelompok-kelompok atom sejenis. Atom-
atom dalam kelompok ini akan selalu bervibrasi pada frekuensi yang sama dan
tidak tergantung pada sistem molekul dimana atom-atom tersebut berada,
bilamana syarat tetapan gaya pada kelompok tidak berubah dipenuhi.

Faktor ini merupakan hal yang sangat penting untuk karaktererisasi


spektrum infra merah. Bila sinar infra merah dilewatkan melalui sampel maka
sejumlah frekuensi diserap sedangkan frekuensi lain diteruskan tanpa diserap.
Spektrum infra merah akan dihasilkan bila dilukiskan persen serapan dengan
frekuensi. Molekul hanya menyerap sinar infra merah jika dalam molekul ada
transisi energi sebesar hν. Transisi yang terjadi di dalam serapan infra merah
berkaitan dengan perubahan vibrasi molekul. Frekuensi vibrasi dihitung dengan
memakai hukum Hooke (Kemp W, 1979).

2.9.2. Analisa Bobot Molekul Viskometer Ostwald

Metode viskositas mempunyai kelebihan daripada metode lain, yaitu lebih cepat
dan mudah dalam pengerjaannya, menggunakan alat yang lebih murah, serta
perhitungan hasil pengukurannya lebih sederhana. Pada dasarnya metode
viskositas intrinsik adalah untuk mengukur waktu yang diperlukan pelarut dan
larutan polimer untuk mengalir di antara dua garis pada viskometer atau
mengukur laju alir cairan yang melalui tabung berbentuk silinder (Bird, 1993).
Waktu alir diukur pada saat pelarut atau larutan polimer mengalir di antara dua
tanda, x dan y. Waktu alir larutan polimer lebih besar daripada waktu alir
pelarutnya. Semakin tinggi konsentrasi polimer dalam larutan, maka akan

Universitas Sumatera Utara


45

semakin lama waktu alir yang dibutuhkan untuk melewati kapiler. Untuk
mengukur bobot molekul viskositas, maka harus dihitung terlebih dahulu
viskositas larutan polimer (η) dan viskositas pelarut murni (η0 ), sehingga
viskositas jenis (ηsp) larutan polimer akan ditentukan oleh persamaan :

ηsp = η – η0………………………………………………………………………………..……….2.9.1
η0
Perbandingan ηsp/c, dimana c adalah konsentrasi larutan polimer disebut
viskositas reduksi. Nilai ηsp/c pada limit pelarutan disebut juga nilai viskositas
intrinsik dan diberi lambang [η], yang secara matematis dapat dijelaskan sebagai :

ηsp
lim𝑐→0 = [η]……………………………………………….……..2.9.2
𝐶

Karena massa jenis berbagai larutan yang dipakai dalam suatu percobaan
hampir sama dengan massa jenis pelarut, maka sebagai pendekatan dapat
diandaikan viskositas tiap larutan hasil pengenceran berbanding lurus dengan
waktu alirnya, sehingga persamaan menjadi :

t2 −t1……………………………………………………………………………….………..
η𝑠𝑝 = 2.9.3
t1

Dimana t2 adalah waktu alir untuk larutan, sedangkan t 1 adalah waktu alir
untuk pelarut. Dengan diperolehnya waktu alir pada berbagai pengenceran, maka
nilai ηsp dan ηsp/c dapat dihitung. Selanjutnya nilai ηsp/c diplotkan dalam grafik
linier terhadap konsentrasi c. Plot data ini diekstrapolasi ke konsentrasi 0
menghasilkan nilai [η]. Mark dan Houwink menemukan bahwa angka viskositas
intrinsik dapat dikaitkan dengan penentuan bobot molekul relatif melalui rumus :

[η] = KMa………………………………………………………....….2.9.4

Dimana M adalah bobot molekul relatif, sedangkan k dan a adalah tetapan


yang khas untuk sistem polimer-pelarut tertentu. k dan a harus ditentukan dengan
menggunakan paling sedikit dua sampel polimer yang mempunyai bobot molekul
relatif berbeda.

Universitas Sumatera Utara


46

Viskositas diukur pada konsentrasi sekitar 0,5 g/100 ml pelarut, dengan


cara menetapkan lamanya aliran sejumlah volume larutan melalui kapiler yang
panjangnya tetap. Lamanya aliran dalam detik dicatat sebagai waktu untuk larutan
polimer melewati antara dua tanda batas pada viskometer. Viskositas ditetapkan
pada suhu konstan, biasanya 30,0± 0,01 0C (Stevens, 2001). Metode viskositas
mempunyai kelebihan daripada metode lain, yaitu lebih cepat, lebih mudah,
alatnya murah, serta perhitungan hasilnya lebih sederhana. Metode yang biasa
dipakai untuk mengukur viskositas pelarut dan larutan polimer adalah penggunaan
viskometer Ostwald dan viscometer Ubbelohde (Cowd, 1991).

Gambar 2.17. (A) Viskometer Ostwald dan (B) Ubbelohde (Cowd, 1991)

2.9.3. Uji Kelarutan

Penentuan uji kelarutan pada senyawa organik dapat dilakukan, diantaranya


sejumlah bahan atau material yang ingin digunakan untuk menguji kelarutan
sampel organik begitu sederhana yaitu dengan menggunakan 2-3 tetes suatu
larutan (zat cair) atau kurang lebih 10 mg sampel zat padat. Misalnya kelarutan
terhadap air dapat dilakukan dengan menambahkan kurang lebih enam tetes air
kedalam tabung reaksi yang berisi sampel yang tidak diketahui. Dimana diaduk
tabung tersebut dengan menggunakan spatula. Suatu sampel yang tidak diketahui
itu dapat larut apabila membentuk larutan homogen dengan air, sementara apabila
tidak larut akan terbentuk tetap terpisah dan tidak bercampur secara homogen.

Universitas Sumatera Utara


47

Kelarutan suatu zat dapat ditentukan dengan menimbang zat yang akan
ditentukan kelarutannya kemudian dilarutkan, misalnya dalam 100 ml pelarut.
Jumlah zat yang ditimbang harus diperkirakan membentuk larutan lewat jenuh
yang ditandai masih terdapat zat yang tidak larut didasar wadah setelah dilakukan
pengocokkan dan didiamkan. Setelah terjadi kesetimbangan antara zat padat yang
larut dan yang tidak larut, padatan yang tidak larut lalu disaring dan ditimbang.
Selisih berat awal dan berat padatan yang tidak larut merupakan kelarutan zat
tersebut dalam 100 ml pelarut.

Tabel 2.6. Kelarutan kira-kira suatu senyawa

No. Kelarutan Jumlah kira-kira bagian volume Pelarut


untuk 1 bagian berat solut
1. Sangat mudah larut <Dari 1 bagian
2. Mudah larut Dari 1 sampai 10 bagian
3. Larut >Dari 10 sampai 30 bagian
4. Kurang larut >dari 30 sampai 100 bagian
5. Sangat sukar larut >dari 100 sampai 10000 bagian
6. Praktis tidak larut >dari 10000 bagian
(Estien, 2005)

2.9.4. Uji Reologi

Reologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan bentuk (deformasi) dan aliran
suatu bahan. Untuk bahan polimer, tujuan mempelajari reologi adalah untuk
mendapatkan kondisi pemrosesan yang sesuai bagi bahan tersebut ataupun
campuran dari berbagai bahan polimer dengan sifat-sifat yang berbeda (Nielsen,
1978). Untuk menyebabkan suatu polimer berdeformasi atau mengalir
memerlukan penerapan suatu gaya. Jika ketika gaya dikenakan polimer tertarik
dengan tiba-tiba maka molekul-molekulnya memiliki cenderung mengembalikan
konfigurasinya yang mula-mula dan stabil, suatu proses yang disebut relaksasi.
Dengan kata lain, cairan amorfus tersebut memperlihatkan suatu kualitas elastis
tertentu (Steven, 2001).

Universitas Sumatera Utara


48

2.9.5. Uji Viskositas Mooney

Uji viskositas mooney dapat menunjukkan panjangnya rantai molekul, berat


molekul, dan derajat pengikatan silang rantai molekulnya. Jika nilai viskositas
tinggi berarti karet keras sehingga mutu karet yang dihasilkan tinggi. Sedangkan
apabila nilai viskositas rendah, berarti karet lunak sehingga mutu karet yang
dihasilkan turun (Subramaniam, 1984). Beberapa kemungkinan alasan
menghendaki nilai viskositas mooney yang mantap adalah ketika pengujian untuk
mendapatkan nilai viskositas mooney lebih mendekati processability di pabrik
ban dibandingkan dengan nilai Po (plastisitas) (Haradi, 1982). Hal ini juga dalam
pembuatan kompon diharapkan nilai viskositas mooney tertentu supaya
pencampuran antara dua jenis karet atau lebih yang berbeda dapat dilakukan
dengan mudah dan tidak memerlukan energi yang banyak (Kartowardoyo, 1980).

2.9.6. Uji Kekuatan Tarik (Tensile Strength)

Bila suatu bahan dikenakan bahan tarik yang disebut tegangan (gaya persatuan
luas), maka bahan akan mengalami perpanjangan (regangan). Kurva tegangan
terhadap regangan merupakan gambaran karakteristik dari sifat mekanik suatu
bahan. Kekuatan tarik diartikan sebagi besarnya beban maksimum (F maks ) yang
dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas penampang
bahan. Karena selama dibawah pengaruh tegangan, spesimen mengalami
perubahan bentuk maka defenisi kekuatan tarik dinyatakan dengan luas
penampang semula (Ao) :

F
  ……………………………………….…..……2.9.5
A
Keterangan :

σ = kekuatan tarik (MPa)


F = beban tarik (N)
A = luas penampang (m2)
(Wirjosentono,1995)

Universitas Sumatera Utara


49

Berdasarkan ASTM D-412, bentuk spesimen dumbel dibutuhkan untuk


uji kekuatan komposit. Detail bentuk ditunjukkan gambar berikut :

Gambar 2.18. Spesimen uji berdasarkan ASTM D-412

2.9.7. Uji Perpanjangan Putus (Elongation Break)

Ini merupakan total perpanjangan pada potongan uji pada waktu ketika
mengalami perputusan. Ini diukur oleh penambahan dalam jarak antara dua garis
yang ditempatkan dalam potongan uji sebelum proses pemotongan dimulai
(Nicholas P., 1962).

𝑑−𝑎
Perpanjangan putus = × 100 %......................................2.9.6
𝑎

Dimana : d = Panjang saat putus (mm)

a = Panjang mula-mula (mm)


(Soseno, 1977)

2.9.8. Uji Modulus Young

Uji Modulus Young diperoleh berdasarkan pengukuran yang sebanding antara


tegangan tarik dan perpanjangan. Walaupun bentuk pengukuran diambil pada
waktu bagian uji putus, dimana nilai modulus adalah kekuatan yang digunakan
oleh sebuah sampel yang diberikan persen perpanjangan (Nicholas P., 1962).

𝑆𝑡𝑟𝑒𝑠𝑠 ……………………………………………......
Modulus Young = 2.9.7
𝑆𝑡𝑟𝑎𝑖𝑛

Universitas Sumatera Utara


50

2.9.9. Uji Ketahanan Sobek (Tear Resistance)

Ketahanan sobek merupakan ketahanan yang diberikan oleh suatu bagian


percobaan karet terhadap pengoyakkan setelah dipotong menurut cara tertentu
(Yayasan Karet, 1983). Uji ini penting untuk beberapa produk misalnya, untuk
tapak, pipa, sarung kabel, kaus kaki dan lain-lain. Hal yang paling diamati dari
ketahanan sobek didapat dari hasil yang diperoleh pada bagian dari karet dan
sobekan oleh tangan. Ketahanan sobek bergantung pada lebar dan ketebalan dari
potongan uji dan hasil uji menunjukkan beban yang umum untuk menyobek
sebuah spesimen dengan lebar dan tebal yang standard.

L x t1
Kekuatan Sobek = ……………………………………2.9.8
t2

Dimana : L = Kekuatan maksimum yang digunakan

t1 = Ketebalan standard dari potongan yang diuji (2,5 mm)

t2 = Ketebalan dari spesimen uji (Marthan, 1998).

2.9.10. Analisa Scanning Electron Microscopy (SEM)

SEM menggunakan prinsip scanning yaitu berkas elektron diarahkan pada titik
permukaan spesimen. Gerakan elektron diarahkan pada titik permukaan spesimen.
Jika seberkas sinar elektron ditembakkan pada permukaan spesimen maka
sebagian dari elektron itu akan dipantulkan kembali dan sebagian lagi diteruskan.
Jika permukaan spesimen tidak merata, banyak lekukan, lipatan atau lubang-
lubang. Maka tiap bagian permukaan itu akan memantulakan elektron dengan
jumlah dan arah yang berbeda dan kemudian akan ditangkap oleh detektor dan
akan diteruskan ke sistem layar. Dalam Penelitian morfologi permukaan dengan
menggunakan SEM pemakaiannya terbatas, tetapi memberikan informasi yang
bermanfaat mengenai topologi permukaan dengan resolusi berkisar 1000 Å.
(Stevens, 2001).

Universitas Sumatera Utara


51

2.9.11. Analisa Termal Thermogravimetry Analysis (TGA)

Termogravimetri adalah teknik untuk mengukur perubahan berat dari suatu


senyawa sebagai fungsi dari suhu ataupun waktu atau merupakan metode analisis
yang menunjukkan sejumlah urutan dari lengkungan termal, kehilangan berat dari
bahan dari setiap tahap, dan suhu awal penurunan. Analisa termal gravimetri
dilakukan untuk menentukan kandungan bahan pengisi dan kesetabilan termal
dari suatu bahan. Sampel yang digunakan, dengan berat beberapa miligram,
o
dipanaskan pada laju konstan, berkisar antara 1–20 C /menit, mempertahan berat
awalnya, Wi sampai mulai terdekomposisi pada suhu Ti. Pada kondisi pemanasan
dinamis, dekomposisi biasanya berlangsung pada range suhu tertentu, Ti–Tf, dan
daerah konstan kedua teramati pada suhu diatas Tf yang berhubungan harga berat
residu Wf. Berat Wi, Wf dan ΔW adalah harga-harga yang sangat penting dan
dapat digunakan pada perhitungan kuantitatif dari perubahan komposisinya
(Nurdin, 2011).

2.9.12. Analisa Termal Differential Scanning Calorimetry (DSC)

Prinsip DSC tidak jauh berbeda dengan prinsip kalorimetri biasa, hanya dalam hal
ini digunakan sampel dari polimer yang agak jauh lebih kecil (maksimum 50 mg,
misalnya 10 mg) dan peralatan kalor lebih teliti (David I. Bower, 2002). Hasil
pengujian DSC merupakan kurva termogram yang dapat digunakan untuk
menentukan suhu transisi glass dan suhu leleh (Cheremisinoff, N.P, 1996). Suhu
sampel dan pembanding selalu dipertahankan sama dengan menggunakan panas.
Bila terjadi perubahan kapasitas kalor sampel selama kenaikan suhu, pemanas
sampel berusaha mengatur banyaknya kalor yang diberikan (Nurdin, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai