Anda di halaman 1dari 8

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Desinfeksi
Desinfeksi adalah penambahan suatu senyawa khlor aktif pada air minum
dengan tujuan untuk membunuh organisme bakteriologis khususnya organisme
pathogen yang dapat menyebabkan penyakit dan kematian pada manusia.
Pembubuhan desinfekta tersebut terhadap air yang sudah mengalami penyaringan
sebelum air tersebut ditampung, dialirkan dan disalurkan pada konsumen atau
pelanggan (BPSDM, 2014).

Desinfeksi adalah suatu proses yang bertujuan untuk mendestruksi sebagian


mikroorganisme yang bersifat patogenik pada suatu instrument dengan menggunakan
cara fisik ( pemanasan) maupun secara kimiawi (penambahan bahan kimia). Proses
desinfeksi tidak bertujuan untuk mendestruksi mikroorganisme yang tidak bersifat
patogenik atau yang masih berada pada kondisi spora. Istilah yang digunakan untuk
suatu proses yang mendestruksi semua organisme hidup dan termasuk yang masih
dalam kondisi spora adalah sterilisasi (Munawar,2010).

2.2 Desinfektan
Disinfektan adalah bahan kimia yang digunakan untuk mencegah
terjadinya infeksi atau pencemaran oleh jasad renik atau obat untuk
membasmi kuman penyakit . Pengertian lain dari disinfektan adalah senyawa kimia
yang bersifat toksik dan memiliki kemampuan membunuh mikroorganisme yang
terpapar secara langsung oleh disinfektan. Disinfektan tidak memiliki daya penetrasi
sehingga tidak mampu membunuh mikroorganisme yang terdapat di dalam celah atau
cemaran mineral. Selain itu disinfektan tidak dapat membunuh spora bakteri sehingga
dibutuhkan metode lain seperti sterilisasi dengan autoklaf (Lud Waluyo,2015).
Efektivitas disinfektan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya lama
paparan, suhu, konsentrasi disinfektan, pH, dan ada tidaknya bahan pengganggu. pH
merupakan faktor penting dalam menentukan efektivitas disinfektan, misalnya saja
9

senyawa klorin akan kehilangan aktivitas disinfeksinya pada pH lingkungan lebih


dari 10. Contoh senyawa pengganggu yang dapat menurunkan efektivitas disinfektan
adalah senyawa organik. Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan
desinfektan yaitu sifat mikrosidal, sifat mikroastatik, kecepatan penghambatan,
aktivitasnya tetap dalam jangka waktu yang lama, stabil dalam larutan air, dan tidak
mahal (Munawar,2010).

2.3 Jenis-jenis desinfektan

Desinfektan terdiri dari beberapa jenis. Berikut jenis-jenis desinfektan


(Munawar,2010):

1. Klorin
Senyawa klorin yang paling aktif adalah asam hipoklorit. Mekanisme
kerjanya adalah menghambat oksidasi glukosa dalam sel mikroorganisme dengan
cara menghambat enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat.
Kelebihan dari disinfektan ini adalah mudah digunakan, dan jenis mikroorganisme
yang dapat dibunuh dengan senyawa ini juga cukup luas, meliputi bakteri gram
positif dan bakteri gram negatif. Kelemahan dari disinfektan berbahan dasar klorin
adalah dapat menyebabkan korosi pada pH rendah (suasana asam), meskipun
sebenarnya pH rendah diperlukan untuk mencapai efektivitas optimum disinfektan
ini. Klorin juga cepat terinaktivasi jika terpapar senyawa organik tertentu.

2. Iodin
Iodin merupakan disinfektan yang efektif untuk proses desinfeksi air dalam
skala kecil. Dua tetes iodine 2% dalam larutan etanol cukup untuk mendesinfeksi 1
liter air jernih. Salah satu senyawa iodine yang sering digunakan sebagai disinfektan
adalah iodofor. Sifatnya stabil, memiliki waktu simpan yang cukup panjang, aktif
mematikan hampir semua sel bakteri, tetapi tidak aktif mematikan spora, nonkorosif,
dan mudah terdispersi. Kelemahan iodofor diantaranya aktivitasnya tergolong lambat
10

pada pH 7 (netral) dan lebih dan mahal. Iodofor tidak dapat digunakan pada suhu
lebih tinggi dari 49 °C.
3. Alkohol
Alkohol disinfektan yang banyak dipakai untuk peralatan medis, contohnya
termometer oral. Umumnya digunakan etil alkohol dan isopropil alcohol dengan
konsentrasi 60-90%, tidak bersifat korosif terhadap logam, cepat menguap, dan dapat
merusak bahan yang terbuat dari karet atau plastik.
4. Amonium Kuartener
Amonium kuartener merupakan garam ammonium dengan substitusi gugus
alkil pada beberapa atau keseluruhan atom H dari ion NH4+nya. Umumnya yang
digunakan adalah Cetyl Trimetil Ammonium Bromide (CTAB) atau lauril dimetil
benzyl klorida. Amonium kuartener dapat digunakan untuk mematikan bakteri gram
positif, tetapi kurang efektif terhadap bakteri gram negatif, kecuali bila ditambahkan
dengan sekuenstran (pengikat ion logam). Senyawa ini mudah berpenetrasi, sehingga
cocok diaplikasikan pada permukaan berpori, sifatnya stabil, tidak korosif, memiliki
umur simpan panjang, mudah terdispersi, dan menghilangkan bau tidak sedap.
Kelemahan dari senyawa ini adalah aktivitas disinfeksi lambat, mahal, dan
menghasilkan residu
5. Formaldehida
Formaldehida atau dikenal juga sebagai formalin, dengan konsentasi efektif
sekitar 8%. Formaldehida merupakan disinfektan yang bersifat karsinogenik pada
konsentrasi tinggi namun tidak korosif terhadap metal, dapat menyebabkan iritasi
pada mata, kulit, dan pernapasan. Senyawa ini memiliki daya inaktivasi mikroba
dengan spektrum luas. Formaldehida juga dapat terinaktivasi oleh senyawa organik.

6. Kalium permanganat
Kalium permanganat merupakan zat oksidan kuat namun tidak tepat untuk
disinfeksi air. Penggunaan senyawa ini dapat menimbulkan perubahan rasa, warna,
dan bau pada air. Meskipun begitu, senyawa ini cukup efektif terhadap bakteri Vibrio
cholera.
11

7. Fenol
Fenol merupakan bahan antibakteri yang cukup kuat dalam konsentrasi 1-2%
dalam air, umumnya dikenal dengan lisol dan kreolin. Fenol dapat diperoleh melalui
distilasi produk minyak bumi tertentu. Fenol bersifat toksik, stabil, tahan lama,
berbau tidak sedap, dan dapat menyebabkan iritasi, Mekanisme kerja senyawa ini
adalah dengan penghancuran dinding sel dan presipitasi (pengendapan) protein sel
dari mikroorganisme sehingga terjadi koagulasi dan kegagalan fungsi pada
mikroorganisme tersebut.
8. Kalsium Hipoklorit (Ca(OCl)2)
Kalsium hipoklorit atau biasa disebut kaporit merupakan senyawa klor yang
berbentuk bubuk atau tablet. Senyawa ini mengandung klor aktif sekitar 70% dan
merupakan bahan kimia yang paling banyak digunakan untuk desinfeksi air hasil
olahan perusahaan air minum dan pada kolam renang karena murah dan mudah
penanganannya.
Ca(OCl)2 yang dikenal dengan nama kaporit merupakan senyawa yang
banyak digunakan oleh PDAM dalam pengolahan air minum karena senyawa ini
dapat membunuh bakteri atau mikroorganisme. Di pasaran, kaporit dijual dalam
keadaan bebas, dengan harga yang murah. Ca(OCl)2 mengandung klorin (Cl2) sebesar
60%. Penambahan Cl2 dapat menurunkan kandungan sianida, BOD, dan COD
(KOK). Reaksi yang terjadi dengan penambahan Cl2 ini dipengaruhi oleh pH.
Kaporit merupakan desinfektan yang umum digunakan dalam segala bentuk
baik bentuk kering / kristal dan bentuk basah / larutan . Dalam bentuk kering,
biasanya kaporit berupa serbuk atau butiran, tablet atau pil. Dalam bentuk basah
biasanya kristal yang ada dilarutkan dengan aquadest menurut kebutuhan desinfeksi.
Berdasarkan uji kaporit dalam laboratorium disebutkan bahwa kaporit terdiri lebih
dari 70% bentuk klorin. Kaporit dalam bentuk butiran atau pil dapat cepat larut dalam
air dan penyimpanannya ditempat kering yang jauh dari bahan kimia yang
mengakibatkan korosi, dalam kondisi atau temperatur rendah, relatif stabil. Kaporit
12

merupakan bahan yang mudah dicari, mudah penggunaannya, terjangkau oleh


masyarakat umum.

9. Natrium Hipoklorit (NaOCl)


Natrium hipoklorit memiliki rumus kimia NaOCl adalah salah satu produk
pemurni air yang sudah diperkenalkan dan direkomendasikan oleh Departemen
Kesehatan Indonesia sebagai bagian dari Pengolahan Air Minum Rumah Tangga
(PAM RT) dengan sebutan air murah dan hemat (air rahmat). PAM RT adalah suatu
proses pengolahan, penyimpanan, pemanfaatan air minum dan air yang digunakan
untuk produksi makanan serta keperluan oral seperti berkumur maupun sikat gigi. Air
rahmat mengandung 1,25% NaOCl dan memiliki klor aktif sekitar 15-20% yang
efektif untuk menghilangkan mikroorganisme yang biasa mencemari air dan
menyebabkan penyakit seperti diare, kolera, disentri, dan demam typus (Andayuni,
2009).
Kelebihan dan Kekurangan Ca(OCl)2 dan NaOCl Masing-masing desinfektan
memiliki keuntungan dan kerugian dalam beberapa segi dari ekonomis kalsium
hipoklorit memiliki harga yang lebih murah dibanding natrium hipoklorit, namun
apabila digunakan untuk air yang memiliki kesadahan tinggi kalsium hipoklorit akan
membentuk lumpur, maka itu untuk mengolah air yang kesadahanya tinggi lebih baik
menggunakan natrium hipoklorit.

Klorinasi merupakan suatu cara desinfeksi yang bersifat kimia, dengan


menggunakan klor sebagai desinfektannya. Cara klorinasi merupakan cara yang
memuaskan untuk melakukan desinfeksi air dengan kontaminasi tidak terlalu berat .
Selain dapat membasmi bakteri dan mikroorganisme seperti amuba, ganggang dan
lain-lain, klor dapat mengoksidasi ion-ion logam seperti Fe2+, Mn2+ menjadi Fe3+ dan
Mn4+, dan memecah molekul organik. Selama proses tersebut, klor sendiri direduksi
sampai menjadi ion klorida (Cl-) yang tidak mempunyai daya desinfeksi. Senyawa
klor yang biasa digunakan pada perusahaan pengolahan air minum adalah gas klor
13

(Cl2), Ca(OCl)2, NaOCl dan ClO2. NaOCl dan Ca(OCl)2 merupakan senyawa klor
yang paling sering digunakan dalam perusahaan pengolahan air (Sururi,dkk. 2008).

Kelemahan klorinasi adalah adanya korelasi positif antarakaporit dengan


senyawa organohalogen yang terdapat dalam limbah, salah satunya trihalometan
(THM). Semakin tinggi kinsentrasi kaporit, semakin tinggi pula probilitas
terbentuknya THM (Sururi,dkk. 2008). Untuk mengeliminasi terbentuknya THM,
penetuan titik Break Point Chlorination (BPC) menjadi penting sebelum aplikasi
kaporit dilapangan. BPC adalah jumlah klor aktif yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi semua bahan organic dan bahan anorganik yang terlarut dalam limbah
dan kemudian sisa klor aktifnya berfungsi sebagai desinfektan (Lestari,dkk.2008).

2.4 Break Point Chlorination (BPC)

Setiap jenis sumber air memiliki kebutuhan klor yang berbeda dan jumlahnya
disesuaikan dengan karakteristik sumber air itu sendiri. Bila air tidak mengandung
senyawa yang dapat bereaksi dengan klor, maka semua klor yang ditambahkan akan
menjadi klor bebas, berbanding lurus dengan konsentrasi klor yang ditambahkan. Air
tersebut dinamakan memiliki kebutuhan klor nol. Tetapi jika air mengandung
senyawa yang dapat bereaksi dengan klor, maka air tersebut dikatakan memiliki
kebutuhan klor tinggi dan sisa klor dapat berfungsi sebagai desinfektan akan terlihat
setelah mencapai titik retak klorinasi (Break Point Chlorination).

Titik retak klorinasi merupakan jumlah klor yang dibutuhkan sehingga semua
zat yang dapat dioksidasi akan teroksidasi, amoniak hilang sebagai gas N2 dan masih
ada residu klor aktif terlarut yang konsentrasinya dianggap perlu untuk pembasmian
kuman-kuman. Dengan sisa klor bebas, warna menjadi jernih dan bahan organik
digumpalkan dan diendapkan oleh klor. Sebagian besar dari senyawa-senyawa
penyebab rasa dan bau dihancurkan dan rusak, rasa dan bau juga dicegah oleh klor.
Dan yang sangat penting, pertumbuhan berbagai mikroba yang tidak dikehendaki
juga dapat dihindarkan asalkan jumlah residu klor bebas selalu dijaga konsentrasinya
14

dalam air agar selalu cukup. Menurut Darsono (1992), sisa klor bebas yang harus
tersedia pada air yang sampai pada konsumen sebagai air minum adalah ± 0,3 ppm.

Hubungan antara dosis penambahan klor dengan residu klor aktif membentuk
suatu grafik klorinasi. Pada Gambar 1, terlihat pada absis adalah dosis klor yang
ditambahkan ke dalam air, sedang pada ordinat menunjukan residu klor yang terjadi.
Reaksi yang terjadi dari waktu mulai pemberian klor dapat dibagi menjadi empat
tahap reaksi sebagai berikut :

Gambar 1. Grafik Titik Retak Klorinasi

2.5 Parameter
1. pH
Derajat keasaman (pH) menunjukan kadar asam atau basa dalam suatu larutan,
melalui konsentrasi ion hidrogen (H+). Menurut Alaerts dan Santika (1984), bila pH
larutan ≥ 7 maka akan terbentuk monokloramin dan sekaligus sedikit dikloramin (reaksi
1). Antara pH 4 ≤ pH ≤ 6 terbentuk dikloramin (reaksi 2). Kloramin juga terbentuk
sebagai hasil reaksi antara klor dan salah satu jenis amin organis (-NH2) seperti protein.
2. Suhu
Pada suhu tinggi klorinasi akan berlangsung lebih efektif, karena zat padat
yang menghalangi kontak antara mikroorganisme dengan desinfektan menjadi larut.
15

Apabila semakin rendahnya suhu air ini dikombinasikan dengan pH yang tinggi,
pengurangan efisiensi klor bebas dan kloramin akan semakin jelas.
3. Kekeruhan
Kekeruhan dalam air disebabkan adanya senyawa organik (misalnya lumpur,
tanah liat dll) dan zat organik serta sel-sel mikroba. Kekeruhan diukur dengan adanya
turbiditimeter. Hal ini dapat mengganggu pengamatan coliform dalam air, disamping itu
kekeruhan dapat menurunkan efisiensi khlor maupun senyawa desinfektan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai