Anda di halaman 1dari 9

PEMBUKTIAN TERBALIK

DALAM HUKUM ACARA PERDATA


(Disusun guna memenuhi tugas Hukum Acara Perdata Kelas I)

Kelompok 5:
Nanda Dwi Haryanto E0014288

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2016
PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM HUKUM ACARA PERDATA

Abstrak:
Pembuktian merupakan tahap yang memiliki peran penting untuk menjatuhkan
putusan. Arti pembuktian dalam perkara perdata ialah meyakinkan Hakim terhadap
kebenaran atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa. Dalam hukum
perdata, siapa yang mendalilkan, maka ia yang harus membuktikan (actor incumbit
probatio). Namun, pada perkara tertentu dapat diterapkan pembuktian terbalik. Pada
dasarnya prinsip pembuktian terbalik menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap
bertanggungjawab (principle of liability principle), sampai tergugat dapat
membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Dalam prinsip pembuktian terbalik, beban
pembuktiannya ada pada si tergugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa
dirinya tak bersalah, dan konsumen tidak dapat sekehendak hati dalam hal mengajukan
gugatan.
Kata kunci: Pembuktian, Pembuktian Terbalik

A. PENDAHULUAN
Pembuktian menurut Prof. Sudikno bertujuan untuk memberi kepastian kepada
hakim tentang kebenaran suatu peristiwa yang menjadi dasar gugatan atau bantahan.
Pembuktian merupakan tahap yang memiliki peran penting untuk menjatuhkan
putusan.1 Proses pembuktian dalam proses persidangan dapat dikatakan sebagai sentral
dari proses pemeriksaan di Pengadilan. Karena tahap pembuktian menentukan putusan
yang dijatuhkan oleh hakim. Pembuktian menjadi central dimana dalil-dalil para pihak
diuji melalui tahap pembuktian guna menemukan hukum yang akan diterapkan
maupun ditemukan dalam suatu perkara tertentu.2

Asri Diamitri Lestari, “Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik yang Dibuat Oleh Notaris Dalam
1

Pembuktian Perkara Perdata di Pengadilan Negeri Sleman”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Atmajaya Yogyakarta (Yogyakarta: Juli 2014) Hlm 3.
2
Ibid.

2
Berbeda dengan hukum pidana yang menggunakan sistem pembuktian materiil,
maka proses perdata menganut pembuktian formil yang dalam prakteknya lebih sulit
daripada pembuktian materiil. Dalam proses perdata beban pembuktian merupakan
kewajiban penggugat.3 Pada dasarnya, hukum acara perdata tidak mengatur secara jelas
bagaimana pengertian pembuktian terbalik dan pelaksanaanya. Oleh karena itu, kami
tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang pembuktian terbalik dalam hukum acara
perdata.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Penerapan dari Pembuktian Terbalik pada Hukum Acara Perdata?
2. Bagaimana Perbedaan Antara Pembuktian dengan Pembuktian Terbalik dalam
Hukum Acara Perdata?

C. PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM HUKUM ACARA PERDATA


Salah satu ketentuan hukum acara di Indonesia yang mengatur mengenai
hukum pembuktian adalah Pasal 163 HIR/ 283 RBg dan 1865 KUHPerdata yang pada
asasnya menentukan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai
sesuatu hak, atau guna menegakkan hak-haknya sendiri maupun membanntah hak
orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau
peristiwa tersebut (asas actor incumbit pro batio).4
Sebenarnya, perkembangan dunia hukum saat ini tidak lagi menjadikan
ketentuan Pasal 163 HIR sebagai pedoman yang ketat. Rasa keadilan hakim saat ini
mulai membawanya untuk menerapkan beban pembuktian yang lebih berat bagi pihak
yang paling sedikit dirugikan.5 Pedoman pembebanan pembuktian ini sebenarnya mirip

3
Suhadibroto, “Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Tindak
Pidana Korupsi”, Komisi Hukum Nasional, (Jakarta: November 2005), hlm. 3.
4
Sandra Dini Febri Aristya, “Pembuktian Perdata dalam Kasus Malpraktik di Yogyakarta”,
Mimbar Hukum, (November 2011), hlm. 190.
5
Ibid.

3
dengan yang dianut oleh negara common law pada umumnya, dimana asasnya berbunyi
“he who asserts must prove”6. Asas ini menetapkan bahwa setiap penggugat yang
mengajukan gugatanlah yang harus membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya.
Dalam pembuktian terbalik, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab,
sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi pembebanan pembuktian ada
pada si tergugat. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengadopsi sistem
pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, dan 23 dan
ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dasar demikian dari
teori pembalikan beban pembuktian adalah seseorang dianggap tidak bersalah sampai
yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.7 Dalam hal perlindungan
konsumen apabila suatu produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha cacat, maka
konsumen cukup membuktikan bahwa produk yang dikonsumsinya memang cacat dan
mengakibatkan kerugian. Sedangkan ada tidaknya kelalaian atau kesalahan dalam
proses produksi barang dan jasa menjadi tanggung jawab pelaku usaha untuk
membuktikan (pembuktian terbalik).8 Dalam hal perlindungan konsumen, pembuktian
terbalik hanya dapat dilakukan pada penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur
perdata. Sementara konsep pembuktian terbalik dalam penyelesaian melalui jalur
pidana sebaiknya tidak dilakukan karena bertentangan dengan asas praduga tak
bersalah yang diatur dalam Pasal 8 UU No. 4 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal
18 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.9

6
M. Yahya Harahap, 2007, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 523.
7
Andi Handono, “Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terhadap Informasi Iklan Barang dan
Jasa yang Menyesatkan”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jember, (Jember: Oktober 2011),
hlm. 37.
8
Ibid., hlm. 131.
9
Ahmad Zuhairi, “Konstruksi Perlindungan Hukum bagi Pengadu/Pelapor Kerugian Konsumen
dari Tuntutan Pencemaran Nama Baik oleh Pelaku Usaha/Produsen”, Jurnal IUS, 3 (7), Fakultas Hukum
Mataram, (April 2015), hlm. 60.

4
D. PERBEDAAN ANTARA PEMBUKTIAN DENGAN PEMBUKTIAN
TERBALIK DALAM HUKUM ACARA PERDATA
1. Pembuktian Dalam Acara Perdata
Arti pembuktian dalam perkara perdata ialah meyakinkan Hakim terhadap
kebenaran atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa.10 Sebagaimana
dalam Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa, “Barang siapa yang
mengatakan mempunyai barang sesuatu hak atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk
meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus
membuktikan adanya hak itu atau kejadian itu.”11 Dalam hukum perdata, siapa yang
mendalilkan, maka ia yang harus membuktikan (actor incumbit probatio). Itikad baik
tergugat selalu dianggap ada, selama penggugat tidak mampu membuktikan adanya
unsur itikad tidak baik dari penggugat.12
Dalam hukum acara perdata dikenal prinsip negative non sunt probanda, yang
artinya jika salah satu pihak mendalilkan gugatan atau bantahan berdasarkan suatu hal
atau keadaan yang sifatnya mengingkari (tidak melakukan/tidak berbuat sesuatu) maka
tidak patut dan tidak layak jika pihak yang merasa tidak melakukan/ tidak berbuat
sesuatu itu diwajibkan untuk membuktikan hal yang tidak dilakukannya.13 Berdasarkan
yurisprudensi, maka jauh lebih mudah untuk membuktikan hal atau keadaan yang lebih
positif, artinya hal atau keadaan yang menyatakan suatu perbuatan/sesuatu hak dan
bukannya mengingkari. Hal ini sesuai dengan pendapat Paton yang mengatakam bahwa
pembuktian suatu negatie tidak dapat dibebankan kepada seseorang tanpa alasan-
alasan yang sangat kuat.14

10
Maisara Sunge, “Beban Pembuktian dalam Perkara Perdata”, Jurnal INOVASI, 9 (2),
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo, (Gorontalo: Juni 2012), hlm. 2
11
Ibid., hlm. 1
12
Hery Shietra,”Beban Pembuktian dalam Hukum Pidana dan Perdata”, (http://hery-
shietra.blogspot.co.id/2014/01/beban-pembuktian-dalam-hukum-pidana-dan.html, diakses pada 22
April 2016 pukul 14.22
13
Sandra Dini Febri Aristya, Op. Cit, hlm. 191-192.
14
Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm.
142.

5
Asas pembagian beban pembuktian yang tercantum dalam pasal 163 HIR,
berarti bahwa kedua belah pihak dapat dibebankan dengan pembuktian. Penggugat
wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat berkewajiban
membuktikan kebenaran bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan
kebenaran bantahan tergugat.15

2. Pembuktian Terbalik Dalam Acara Perdata


Konsep pembuktian terbalik di Indonesia dalam penyelesaian sengketa perdata
berkaitan dengan hukum perlindungan konsumen. Pembuktian terbalik diatur dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pasal 28 UUPK yang berbunyi,
“Pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan
tanggung jawab pelaku usaha.” Rumusan inilah yang kemudian dikenal dengan sistem
pembuktian terbalik.16 Rumusan Pasal 23 memperlihatkan bahwa prinsip tanggung
jawab yang dianut dalam UUPK adalah praduga untuk selalu bertanggung jawab
(presumption of liability principle). Prinsip ini merupakan salah satu modifikasi dari
prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik.17
Pada dasarnya prinsip pembuktian terbalik menyatakan bahwa tergugat selalu
dianggap bertanggungjawab (principle of liability principle), sampai tergugat dapat
membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Dalam prinsip pembuktian terbalik, beban
pembuktiannya ada pada si tergugat. Hal ini tentu bertentangan dengan asas praduga
tak bersalah (presumption of innocence). Namun jika diterapkan dalam kasus
konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika menggunakan teori
pembuktian terbalik ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu
pada pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa

15
Maisara Sunge, Op. Cit, hlm. 5.
16
Abdul Halim Barkatullah, “Tanggung Jawab Produk dalam Transaksi Konsumen di Dunia
Maya”, Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, (Banjarmasin, Maret 2010), hlm. 7
17
Ibid., hlm. 8

6
dirinya tak bersalah, dan konsumen tidak dapat sekehendak hati dalam hal mengajukan
gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh
pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat.18

E. KESIMPULAN
1. Pembuktian Terbalik dalam Hukum Acara Perdata
Dalam pembuktian terbalik, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab,
sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi pembebanan pembuktian ada
pada si tergugat. Dasar demikian dari teori pembalikan beban pembuktian adalah
seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan
sebaliknya. Dalam hal perlindungan konsumen apabila suatu produk yang dihasilkan
oleh pelaku usaha cacat, maka konsumen cukup membuktikan bahwa produk yang
dikonsumsinya memang cacat dan mengakibatkan kerugian. Sedangkan ada tidaknya
kelalaian atau kesalahan dalam proses produksi barang dan jasa menjadi tanggung
jawab pelaku usaha untuk membuktikan (pembuktian terbalik).
2. Perbedaan antara Pembuktian dengan Pembuktian Terbalik dalam Hukum Acara
Perdata
Arti pembuktian dalam perkara perdata ialah meyakinkan Hakim terhadap
kebenaran atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa. Dalam hukum
perdata, siapa yang mendalilkan, maka ia yang harus membuktikan (actor incumbit
probatio). Pada dasarnya prinsip pembuktian terbalik menyatakan bahwa tergugat
selalu dianggap bertanggungjawab (principle of liability principle), sampai tergugat
dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Dalam prinsip pembuktian terbalik, beban
pembuktiannya ada pada si tergugat. Jika menggunakan teori pembuktian terbalik ini,
maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu pada pelaku usaha yang

18
Sam Heru, 2014,“Teori Pertanggungjawaban”, http://tanpajudul08.blogspot.co.id/2014-
/09/teori-pertanggungjawaban.html, Diakses pada 20 April 2016 pukul 22.25.

7
digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tak bersalah, dan
konsumen tidak dapat sekehendak hati dalam hal mengajukan gugatan.

F. DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Harahap, M. Yahya. 2007. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.

Mertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

2. Jurnal
Aristya, Sandra Dini Febri. 2011. “Pembuktian Perdata dalam Kasus Malpraktik di
Yogyakarta”. Yogyakarta: Mimbar Hukum.

Barkatullah, Abdul Halim. 2010. “Tanggung Jawab dalam Transaksi Konsumen di


Dunia Maya”. Banjarmasin: Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat.

Handono, Andi. 2011. “Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terhadap Informasi


Iklan Barang dan Jasa yang Menyesatkan”. Jurnal Hukum. Jember: Fakultas
Hukum Universitas Jember.

Lestari, Diamitri Asri. 2014. “Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik yang Dibuat oleh
Notaris Dalam Pembuktian Perkara Perdata di Pengadilan Negeri Sleman”.
Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta.

Suhadibroto. 2005. “Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam


Tindak Pidana Korupsi”. Jakarta: Komisi Hukum Nasional.

Sunge, Maisara. 2012. “Beban Pembuktian dalam Perkara Perdata”. Jurnal INOVASI.
9(2). Gorontalo: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo.

Zuhairi, Ahmad. 2015. “Konstruksi Perlindungan Hukum bagi Pengadu/Pelapor


Kerugian Konsumen dari Tuntutan Pencemaran Nama Baik oleh Pelaku
Usaha/Produsen”. Jurnal IUS. 3(7). Mataram: Fakultas Hukum Mataram.

8
3. Internet
Heru, Sam. 2014. “Teori Pertanggungjawaban”. http://tanpajudul08-
.blogspot.co.id/2014-/09/teori-pertanggungjawaban.html. Diakses pada 20
April 2016 pukul 22.55.

Shietra, Heri. 2014. “Beban Pembuktian dalam Hukum Pidana dan Perdata”.
http://hery-shietra.blogspot.co.id/2014/01/beban-pembuktian-dalam-hukum-
pidana-dan.html. Diakses pada 22 April 2016 pukul 14.22

Anda mungkin juga menyukai