5 Si Pocong Kunti Dan Mbok Tua
5 Si Pocong Kunti Dan Mbok Tua
Entah kenapa, makhluk halus terkutuk itu seolah-olah selalu membayangi saya
dan teman-teman kemana pun kami pergi. Tidak cukup dengan menakuti satu
orang sekaligus. Mungkin sedang kejar tayang memenuhi target kali ya, atau
mungkin di antara mereka, bagi yang paling banyak meneror manusia akan
disegani oleh setan lainnya dan dianugerahi gelar kehormatan ‘setan preman’.
Saat itu kami sedang melakukan kegiatan Kuliah Lapangan yang biasa kami
singkat dengan KL. KL ini adalah kegiatan kuliah wajib yang harus diambil
sebagai syarat mahasiswa untuk dapat melakukan Tugas Akhir dan KKN.
geologi yang baik dan benar. Setelah itu kami akan dilepas untuk menjalankan
oleh PGL). Bedanya, Kuliah Lapangan bersifat lebih intelek, maksudnya lebih
menyiksa kami dari sisi keilmuan walaupun yang namanya beban fisik karena
mesti kembali naik-turun bukit setiap hari adalah konsumsi wajib. Selain deraan
fisik dan mental, ada sesuatu lain yang juga sangat kami khawatirkan; gangguan
Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua
Warning : Geologist in the Field !
setan dan makhluk halus sebangsanya. Kampus Lapangan ini memang sedari dulu
jurusan Geofisika, Geografi, Sipil, Biologi, Arkeologi dan berbagai jurusan dari
berbagai universitas lain yang menginap di sini pun memperoleh gangguan yang
sama. Berbagai dukun dari berbagai daerah dan memiliki berbagai tingkat
rombongan baru mahasiswa kampus lapangan tiba, secepat kilat begitu turun dari
bis mereka akan berebutan berlari ke barak mencari tempat tidur yang berlokasi di
bawah, atau malahan berharap masih dapat tempat di pojok (karena kalo ada apa-
apa bisa putar menghadap ke tembok sambil tutup mata tutup telinga, he). Posisi-
posisi yang ‘menantang bahaya’ seperti tempat tidur di tingkat atas atau
tidak mau lokasi itu harus ditempati oleh peserta yang paling sial, yang kebagian
tempat paling akhir). Bukan apa-apa, bagi yang menempati tempat di atas, konon
menurut cerita senior, sering kali lewat potongan tangan ataupun kepala yang
melayang nyelonong begitu saja tanpa permisi. Karena banyak dibekali cerita
horor itu lah, saat kami mengerjakan tugas beramai-ramai di ruang makan tidak
akan ada seorang pun yang berani balik sendirian walau sekedar mengambil alat
tulis yang tertinggal di barak, padahal waktu masih menunjukkan pukul 8 malam
tubuh dan pikiran kami masih fit. Jadi, setelah lelah mendera tubuh karena setiap
hari berjalan kaki naik-turun bukit dan malam harinya di-recokin dengan laporan
dan tugas hingga pukul satu dini hari, barulah para makhluk gentayangan itu
beraksi. Saya ingat betul bahwa bahwa malam itu adalah malam ketiga ketika
kami yang sudah mulai kelelahan fisik ini merasa heran. “Kok sampai malam
ketiga gini belum ada yang mengganggu ya?”, demikian kata teman-teman. Mulai
lah jahil-nya para mahasiswa geologi kumat. Si Ardin, mengikat sebuah selimut di
bagian ujungnya (selimut kami saat itu persis seperti selimut khas rumah sakit;
tipis, putih bergaris abu-abu) lalu dengan santainya dikenakan di kepala menutupi
paling seram di sini adalah WC belakang barak C dan D dimana di situ terletak
beberapa cermin yang berukuran gede. Seringkali, saat kita bercermin itulah
muncul bayangan hantu yang menyeringai. Jadi, yang namanya bercermin malam
hari adalah hal yang pantang bagi kami, kecuali jika kepepet perlu saja. Itu pun
hanya sekian detik saja kami merapikan rambut, set set set… selesai. Tidak ada
satu pun yang berani misalnya memencet jerawat atau mengatur gaya rambut
Sadar bahwa pocong itu hanya si Ardin yang menyaru, Husen berang dan dikejar
lah pocong jejadian itu yang segera lari menyelamatkan diri. Riuh-rendah tawa
berderai mulai dari barak ujung ke ujung, dan sementara waktu lupa lah kami
akan ketakutan gangguan hantu di kampus ini. Eits, nanti dulu, ternyata ini adalah
angkatan kami. Malam itu Husen yang menempati tempat tidur di tingkat atas,
tepat di seberang tempat tidur Ardin, terbangun. Masih terbuai akan rasa kantuk
yang mendera, dia seolah-olah melihat selimut yang dikenakan Ardin sebelumnya
sudah tergantung di dinding. Dalam posisi berdiri dengan ikatan di atas, Husen
menyangka ada yang iseng menyangkutkan selimut itu di paku dinding sehingga
dia pun melanjutkan tidurnya. Pagi harinya, Ardin terbangun dan merasa kaget
karena selimut yang dia gunakan sudah berbalik arah. Ikatan pocongan yang dia
Hari berlalu dengan cepatnya ketika sore itu kami tiba kembali di kampus
lapangan. Selesai makan malam dan sholat Isya, kami kembali disibukkan dengan
seluruh ruangan makan. Sebagian rekan masih berkumpul di depan barak A putra
yang bersebelahan dengan barak khusus putri. Tiba-tiba rekan kami si Ina
nyeletuk : “Eh, pada nyium bau wangi ga?”. Spontan teman-teman yang ada di
yang ada. Benar juga sih, saat itu memang santer tercium bau wangi mirip-mirip
pandan. Sadar bahwa bau pandan itu mungkin berasal dari dapur yang sedang
menyiapkan makan pagi buat esok hari, kami pun tidak meneruskan pembicaraan.
Malam berlalu dengan damai dan kami tidur begitu lelapnya sampai baru tersadar
esok paginya.
Sometimes-nya Britney Spears dari tivi ruangan saat kami menyadari bahwa
sarapan pagi saat itu sama sekali tidak ada yang menggunakan bumbu pandan
sebagai pewangi. Terlebih lagi, saat kami menanyakan ke ibu koki, dengan penuh
yakin si ibu berkata bahwa tidak ada satupun yang memasak malam itu karena
persiapan sarapan dan bungkus untuk makan siang selalu dimulai pukul tiga
subuh. Saat itu pula si Agung, demikian kami memanggil rekan kami satu itu,
sudah semalaman sakit dan hari itu diputuskan untuk membawanya ke Rumah
kedinginan. Dengan kondisi tubuh yang lemah, dia pun dibawa dengan mobil
jurusan untuk berobat. Kami pun lalu berangkat ke lapangan seperti biasa di pagi
itu. Sedikit merinding dengan bau wangi yang tak berasal-usul itu, kami baru
menyadari bahwa Elly yang terkenal sebagai tukang omong, saat itu total sama
sekali berubah menjadi pendiam. Oh ya, khusus untuknya, saya memanggil dia
dengan sebutan warig, istilah kata dalam bahasa Banjar yang berarti monyet.
Demikian pula panggilan dia ke saya, hanya sebagai bentuk rasa solider sesama
mahasiswa yang berasal dari tanah Kalimantan. ‘Radio rusak’, adalah julukan
pun, selalu saja mulutnya melontarkan pembicaraan yang kadang tak jelas
juntrung-nya, ataupun misuh-misuh tidak sopan. “Tumben kamu diam banget pagi
Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua
Warning : Geologist in the Field !
ini El”, sapaku ramah. Saya tidak meneruskan pembicaraan karena dia hanya
melengos diam dan meneruskan berjalan dengan regunya. Mungkin lagi bete,
kecapekan, begitu pikir saya. Baru malam harinya saya tahu cerita di balik
diamnya Elly itu. Siang harinya saat istirahat makan siang di puncak Pendul, si
Salman, yang notabene adalah teman seregunya mencoba merayu Elly untuk
menceritakan apa sih masalahnya. Lama dirayu, berceritalah si Elly dengan nada
pelan, bahwa malam sebelumnya dia tidur dengan nyenyaknya karena kelelahan.
Tahu-tahu, dia yang tidur dengan posisi miring, terbangun dan merasa dicolek-
tampak jelas wajah hantu pocong yang sedang menyeringai di pinggir tempat
tidurnya. Pemandangan itu berlangsung beberapa saat, dan tentu saja Elly tidak
membangunkan teman di sebelah juga tidak bisa karena lidah kelu tidak karuan.
Siksaan itu berakhir di saat dia kembali jatuh terlelap, entah tidur entah pingsan,
Tambah seru saja suasana malam itu ketika kami mengetahui bahwa ternyata
Najef pun mengalamai hal yang serupa. Hanya bedanya, Najef yang lahir dan
besar di desa terpencil di Muntilan ini tidak begitu terpengaruh akan godaan itu.
sehingga melihat rupa si pocong menyeringai, dia hanya melengos dan kembali
tidurnya. Berbagai cerita seram pun bertebaran dari berbagai rekan yang lain
sehingga suasana tambah mencekam. Bahkan, di saat matahari sudah muncul pun
Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua
Warning : Geologist in the Field !
kami masih dicekam ketakutan. Pukul 06.00 pagi hari, dan tidak ada satu pun
beberapa kali teman yang sholat sendirian di situ memperoleh makmum ghaib,
yang ikut dengan lantangnya mengamini bacaan Fatihah kita namun hanya
tampak punggungnya saat imam sujud. Salah satu cerita paling seru adalah saat
rekan kami yang cukup ‘gemulai’, Rafi, berjalan ke belakang barak D untuk
mengambil wudhu dalam rangka menunaikan sholat Isya. Saat itu sekitar pukul
satu dinihari, dan Rafi yang baru saja menyelesaikan tugas lapangan malam itu
barak berbentuk letter U, dengan kamar mandi dan WC di sekeliling dan tempat
pancuran air untuk wudhu dan mencuci di berada tengah. Rekan-rekan lain sudah
pada tertidur lelap saat Rafi melangkahkan kakinya dari sisi kiri dan sudah
ujung kanan. Berlagak berani dan memegang prinsip ‘beda dunia beda
wudhu tanpa menoleh lagi ke arah WC itu. Saat membasuh hidung dan muka,
angin dingin serta-merta menerpa tengkuk dan dari kejauhan Rafi melihat wanita
tadi melayang rendah mendekatinya. Posisi terakhir hantu berbaju putih itu adalah
bersuara! Rafi hanya bisa meneruskan wudhu sambil bergidik ngeri. Memang sih
dia tidak dapat menyaksikan wajah seram empunya setan itu karena posisinya
sengaja dibuat terus membungkuk. “Tapi aku liat jari-jarinya setan itu, sudah
kurus hanya kulit berbalut tulang, warnanya hitam lagi dengan kuku yang panjang
Fi?”, sambungku penasaran. “Aku tetap saja nerusin wudhu, sambil terus
mbungkuk biar ga liat wajahnya. Begitu selesai, aku langsung ngeloyor balik kiri
Serangkaian acara Kuliah Lapangan angkatan kami pun akhirnya selesai dan
berbagai daerah yang sudah ditentukan lewat undian sebelumnya. Cerita seram
masih saja membayangi kami akan sangar-nya Kampus Lapangan Geologi itu.
Terlebih, saat sudah berada di kampus, si Agung yang saat itu sakit dan dilarikan
ke dokter dan divonis dehidrasi berkata : ”Dehidrasi apaan, lah aku malam itu
dibangunkan dan ditarik-tarik bahuku kayak mau dijatuhkan ke lantai dari tempat
tidur sama tangan yang sama sekali nggak kelihatan. Aku setengah mati ngelawan
supaya tidak jatuh, eh malahan jadinya demam !”. Hiiiiiii…….., ampun deh.
Usai Kuliah Lapangan, hanya selang seminggu kemudian masa pemetaan mandiri
pun tiba. Tiap anak diberi tugas untuk melakukan pemetaan mandiri dengan area
Parangtritis hingga Wonogiri, terbagi melalui undian tentu saja. Yang memperoleh
lokasi di Parangtritis tentu saja lebih enak, karena bisa nglaju dari Yogya.
Sementara yang berlokasi di Klaten hingga lebih jauh ke timur, tentu saja harus
saya sendiri, Erwin, Anugrah, Riza dan Yanu. Kami berlima, kebetulan saja
mendapat lokasi di sekitar Bayat lagi sehingga kami memutuskan untuk nge-camp
di rumah Pak Surat, sekretaris desa baik nan ramah yang rumahnya berlokasi di
dekat Pesarean Sunan Bayat di lereng Gunung Jabalkat yang terkenal super
mistis. Lokasi para peserta seregu memang dibuat berdekatan oleh para dosen
(walaupun kategori dekat di sini adalah jarak 4 kilometer), petak peta yang harus
dijelajahi rata-rata memiliki daerah overlap sekitar 20%-nya dari peta teman
seregu. Dari sini, strategi pemetaan mandiri efektif pun kami atur. Biasanya, kami
tersebut untuk pemanasan dan menyamakan persepsi, setelah selesai baru kami
memisahkan diri. Ada juga yang mengambil cara lain, menyelesaikan satu lokasi
lokasi teman satunya. Cara ini biasanya kami ambil jika mempunyai rekan seregu
wanita yang tentu agak riskan bila dibiarkan berjalan sendirian di hutan. Sebagian
sendiri daerah pemetaan sebagai kewajibannya. Tentu saja saat ke lokasi, selalu
kami sempatkan untuk melewati jalur favorit di pinggiran sungai waktu pagi saat
berangkat dan sore hari saat hendak kembali. Apa lagi tujuannya jika bukan
hendak menikmati pemandangan indah dari gadis-gadis desa yang sedang mandi
di pinggir sungai. Jaman saya dahulu itu, jika bertemu atau berpapasan dengan
gadis desa yang manis-manis, biasanya saat kita goda mereka akan tersenyum
tertunduk malu. Jika mereka berjalan berdua atau bertiga, tak jarang mereka
tertawa kecil sambil saling mencubit pinggang satu sama lain. Pokoknya rasanya
indah dan damai gimanaaa begitu, susah untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Kalau jaman sekarang, ketemu gadis desa dan kita godain, pasti mereka akan
balas goda dengan gaya super genit. Atau malahan, lebih parah lagi, kita duluan
Namanya undian sering kali memang terasa tidak adil; shit happens, mengutip
kata Rick Allen, drummer Def Leppard saat kehilangan tangan kirinya. Yang
kebagian medan pemetaannya ringan dan banyak terdapat rumah penduduk tentu
saja sangat beruntung. Apalagi dapat komposisi litologi serta struktur geologi
yang sederhana, tentu lebih bersyukur lagi. Lain ceritanya jika petak peta anda
berlokasi di medan berbukit tanpa akses jalan setapak dan hanya ada satu
kampung, itu pun di pinggir peta. Lokasi saya sendiri terbilang sedang, secara
litologi dan struktur tidak berat tapi di pojok kiri peta terdapat sebuah puncak dari
bukit Batur Agung yang memiliki tinggi 700 m di atas permukaan laut. Untuk
menyajikan peta lintasan yang baik, saya harus kembali menuju bukit itu untuk
memerlukan waktu 4 jam lebih trekking lereng 650 hanya untuk mencapai
puncaknya!
Sepeda motor saat itu hanya ada dua buah, sehingga saya yang membawa motor
harus mengantar rekan lain dahulu baru selanjutnya menuju lokasi saya.
pinggir jalan pada jam tertentu. Bila jam yang disepakati tidak muncul berarti
dianggap pulang sendiri dengan bis atau angkudes atau ojek, dan jika sedang
beruntung bisa menumpang gratis truk sapi yang banyak hilir-mudik. Handphone
adalah barang mewah bagi mahasiswa saat itu dan dalam angkatan kami hanya
tiga orang saja yang memilikinya, jadi komunikasi sangatlah terbatas. Saat-saat
menegangkan bagi kami adalah bila menjelang malam salah satu rekan belum
muncul. Dipastikan yang ada di benak kami pasti lah hambatan tak terduga yang
terjadi di lapangan, mulai dari yang paling seram seperti kecelakaan jatuh di bukit,
tersasar di hutan hingga yang paling ringan seperti kehabisan angkutan sehingga
harus berjalan kaki pulang. Namun, mau alasan apa pun, tetap saja kami harus
segera pergi mencari. Yang paling membuat kami dongkol adalah saat si Riza
terlambat pulang hingga tiba di camp pukul 18.30 malam. Kami yang sudah
cemas dan akan menyusun rencana pencarian, hanya bisa memendam dendam.
Ternyata Riza ini terlambat pulang bukan karena kelamaan pemetaan di hutan,
melainkan sedari pagi sudah berada di rumah seorang nenek yang asyik
mengajaknya ngobrol hingga sore hari. Tak lupa tentu saja, dia selalu disuguhi
berbagai macam makanan dan cemilan khas desa yang unik dan lezat, membuat
Riza malas melanjutkan pemetaan hari itu. Huh, kesal sekali kami mendengar
ceritanya, sekalian saja dia nikahi cucu nenek tersebut biar tidak usah pulang
beneran.
Pagi itu adalah hari ketiga kami melakukan pemetaan, dan seperti biasa saya
Kami pun berpisah, dan saya melakukan kegiatan hari itu tanpa ada feeling apa-
apa. Saya pun kembali sore harinya mendapati Anugrah sudah duluan tiba di
rumah dengan tampang tegang. “Tumben dah nyampe Nug? Pantasan tadi nggak
nunggu di tempat biasa”, tanya saya sambil memarkir motor. “Gila deh, kapok
Si Pocong, Kunti dan Mbok Tua
Warning : Geologist in the Field !
dah gua!”, jawabnya dalam logat Betawi. “Nape emang?”, jawab saya ikut-ikutan
latah pula. Nyerocos-lah dia bahwa hari itu dia pulang cepat karena selama
perjalanan pemetaan merasa diikuti ibu-ibu tua yang aneh. “Lho, bagaimana
maksudnya sih Nug?”, tanya saya bloon. Jadi tuturnya, saat saya mengantarkan
dia pagi itu dengan sepeda motor, Anugrah melihat seorang mbok-mbok tua
memiliki perasaan aneh apapun saat itu. Saya sendiri tidak melihat ibu itu dan
kami katanya hanya melintas cepat menyalip di jalanan saja. Saat dia saya
tinggalkan dan mulai berjalan memasuki jalanan kampung, dia bertemu si ibu tua
itu lagi. Saat itu kembali dia tidak berpikiran macam-macam karena dia pikir ibu
itu penduduk setempat yang pasti hapal jalan potong di sekitar situ. Anugrah pun
meneruskan berjalan dengan cepat menuju puncak sebuah bukit kecil yang
terhampar di hadapannya. Siang hari dia baru selesai melakukan pemetaan dan
istirahat di puncak bukit itu sambil makan siang. Sedang enak-enaknya makan,
eeh tampak ibu tua itu lewat lagi di hadapannya santai tanpa ekspresi sedikit pun.
Well, oke lah jika fisik ibu itu kuat karena terbiasa ditempa oleh medan terjal
perbukitan dari sejak kecil sehingga nafasnya tampak tetap teratur dan tenang.
Tapi, berapa sih kecepatan rata-rata seorang nenek renta saat berjalan mendaki
bukit? Rata-rata kecepatan kami berjalan di medan datar adalah 5-6 kilometer per
jam dan 3-4 kpj di medan berlereng sedang. Rasanya sulit membayangkan ibu
setua itu dengan cepatnya dapat menyusul karena jalan setapak di bukit yang
Matahari sudah sedikit tergelincir di atas kepala ketika perasaan Anugrah menjadi
sangat-sangat tidak enak (katanya sih begitu, padahal aslinya sih pasti takut ya).
Bungkusan makan siang tidak dia habiskan dan sesegera mungkin meluncur turun
ke bawah bukit untuk kembali karena sudah kehilangan mood pemetaan hari itu.
Mengambil arah jalanan turun yang sama, Anugrah segera menyalip ibu tua itu
secepat mungkin dan dalam tempo satu jam sudah tiba dan beristirahat di pinggir
jalan sambil menunggu Angkudes lewat. Tidak lama dia pun sudah berada di
dalam angkudes menuju camp dan sangat-sangat terkejut saat dua menit kemudian
melihat ibu tua itu sedang duduk-duduk santai sambil memperhatikan dia dengan
tajam di sebuah poskamling yang hanya setengah kilometer jauhnya dari lokasi
Menjadi seorang geologist tidak hanya butuh fisik yang kuat, namun juga mental
yang tahan banting.