Anda di halaman 1dari 24

BAB II

HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DAN AKTIFITAS


BIOLOGIS OBAT

Sifat kimia fisika dapat mempengaruhi aktifitas biologi obat oleh karma dapat
mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh dan proses interaksi abat-reseptor.
Beberapa sifat kimia fisika yang berhubungan dengan altifitas biologis antara lain
adalah ionisasi, pembentukan helat, potensial redoks, dan tegangan permukaan.

A. IONISASI DAN AKTIFITAS BIOLOGIS


Ionisasi sangat pentingdalam hubungannya dengan proses penembusan obat ke dalam
membran biologis dan interaksi obat-reseptor. Untuk dapat menimbulkan aktifitas
biologis, pada umumnya obat dalam bentuk tidak terionisasi, tetapi ada pula yang
aktif adalah bentuk ionnya.

1. Obat yang Aktif dalam Bentuk Tidak Terionisasi


Sebagian besar obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah, bentuk tidak
terionisasinya dapat memberika efek biologis. Hal ini dimungkinkan bila kerja obat
terjadi di membran sel atau di dalam sel.
Contoh : fenobatbital, turunan asam barbiturat yang bersifat asam lemah, bentuk tidak
terionisasinya dapat menembus sawar darah otak dan dapat menimbulkan efek
penekan fungsi sistem saraf pusat dan pernafasan.
Obat modern sebagian bersifat elektrolit lemah, yaitu sam atau basa lemah, dan
derajat ionisasi atau bentuk ionisasi dan tidak terionisasinya ditentukan oleh nilai pKa
dan suasana pH lingkungan. Hubungan antara pKa dengan fraksi obat terionisasi dan
tidak terionisasi dari obat yang bersifat asam atau lemah, dinyatakan melalui
persamaan Henderson-Hesselbach sebagai berikut :

17
Untuk asam lemah :

pKa = pH + log Cu / Ci Cu : fraksi asam yang tidak terionisasi


Ci : fraksi asam yang terionisasi
Contoh :
RCOOH RCOO - + H +
pKa = pH + log (RCOOH) / (RCOO-) + (H+)

Untuk basa lemah :


pKa = pH + log Ci / Cu Cu : fraksi basa yang tidak terionisasi
Ci : fraksi basa yang terionisasi
Contoh :
RNH3 + RNH2 + H +
pKa = pH + log (RNH3 +) / (RNH2)

Persen perhitungan ionisasi fenobarbital (pKa = 7,4 ) pada berbagai macam pH dapat
dilihat pada Table 7.1

Perubahan pH dapat berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan koefisien partisi obat.
Garam dari asam atau basa lemah, bentuk tidak terionisasinya mudah diabsorbsi oleh
saluran cerna, dan aktifitas biologis sesuai dengan kadar obat bebas yang terdapat
dalam cairan tubuh.
Pada obat yang bersifat asam lemah, dengan meningkatnya pH, sifat ionisasi
bertambah besar, bentuk tak terionisasi bertambah kecil, sehingga jumlah obat yang
menembus membran biologis semakin kecil. Akibatnya kemungkinan obat untuk
berinteraksi dengan reseptor semakin rendah dan aktifitas biologisnya semakin
menurun.

18
Table 7.1 Persen perhitungan bentuk terionisasi dan tak terionisasi fenobarbital pada
berbagai macam pH ( Lemke, et al,2008)
pH Persen tak terionisasi Persen terionisasi
2,0 100,0 0,00
4,0 99,17 0,04
6,0 96,17 3,83
7,0 71,53 28,47
8,0 20,0 79,93
10,0 0,25 99,73
12,0 0,0 100,0

Pada obat yang bersifat basa lemah, dengan meningkatnya pH, sifat ionisasi
bertambah kecil, bentuk tak terionisasinya semakin besar, sehingga jumlah obat yang
menembus membran biologis bertambah besar pula. Akibatnya kemungkinan obat
untuk bereaksi dengan reseptor bertambah besar dan aktifitas biologisnya semakin
meningkat.
Hubungan perubahan pH dengan aktifitas biologis senyawa yang bersifat asam dan
basa lemah dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Contoh :
Asam aromatic lemah, seperti asam benzoate, asam salisilat dan asam mandelat,
aktifitas anti bakterinya bertambah besar bila dalam media asam. Pada pH 3, aktifitas
anti bakteri asam benzoate 100 kali lebih besar disbanding aktifasi suasana netral.
Fenol, suatu asam lemah, memberikan gambaran hubungan perubahan pH dengan
aktifitas biologis yang berbeda. Pada pH lebih kecil 4,5 aktifitas anti bakterinya akan
semakin meningkat, tetapi bila pH dinaikkan lebih besar 4,5 aktifitas akan menurun.
Hal ini terjadi sampai pada pH 10. pada pH lebih besar 10, aktifitas akan meningkat

19
lagi karma fenol teroksidasi menjadi bentuk kuinon, yang juga mempunyai aktifitas
bakteri cukup besar
Sedikit perubahan struktur dapat menyebabkan perubahan yang bermakna dari sifat
ionisasi asam atau basa, dan hal ini akan mempengaruhi aktifitas biologis obat.

Gambar 7.1. Hubungan perbahan pH dengan persen tak terionkan senyawa yang
bersifat asam lemah (indometazin) dan basa lemah (efedrin) (beale dan blok, 2011,
dengan modifikasi).

Contoh :
Golongan 5,5-disubtitusi dari turunan asam barbiturate mempunyai nilai pKa 7-8,5,
contoh : asam 5,5-dietilbarbiturat (fenobarbital) mempunayi pKa = 7,4. Pada pH
fisiologis, lebih dari 50 % fenobarbital terdapat dalam bentuk tidak terionisasi,
sehingga dengan mudah menmbus jaringan lemak dan meninjukkan aktivitas sebagai
penekanan system saraf pusat.
Sifat keasaman turunan barbiturat ditenukan oleh bentuk tautomeri keto-enol dan
lakti-laktam.

20
Golongan 5-subtitusi barbiturate, bersifat lebih asam, contoh : asam 5-etilbarbiturat,
mempunyai nilai pKa = 4,4, pada pH fisiologis mudah terionisasi (99,9%), sehingga
kurang efektif dalam menembus sawar membrane lifofil system saraf pusat, dan tidak
dapat menimbulkan efek penekanan system saraf pusat.
Proses ionisasi dari 5-subtitusi dan 5,5-disubtitusi barbiturate dapat dilihat pada
gambar 2.2.
Perubahan pH juga berpengaruh terhadap kereaktifan gugus asam atau basa pada
permukaan sel atau dalam sel mikroorganisme. Pada titik isoelektrik, kation dan
anion potensial molekul protein sel, missal gugus amino dan karboksilat pada alanain,
selalu terdapat dalam bentuk ion Zwitter. Dengan meningkatkan pH atau bertambah
basa media, kadara anion sel akan bertambah besar sehingga meningkatkan aktivitas
obat yang bersifat kation aktif. Sebaliknya, dengan menurunnya pH atau bertambah
asam media, kadar kation sel akan menjadi lebih besar, sehingga meningkatkan
afinitas obat anion aktif.

Gambar 7.2. Proses ionisasi dari 5-subtitusi dan 5,5-disubtitusi barbiturate

21
2. Obat yang aktif dalam bentuk ion
Beberapa senyawa obat menunjukkan aktifitas biologis yang makin meningkat bila
derajat ionisasinya meningkat. Seperti diketahui dalam bentuk ion senyawa obat
umumnya sulit menembus membrane biologis, sehingga diduga senyawa obat
dengan tipe ini memberikan efek biologisnya diluar sel.
Bell dan Robin (1942), memberikan postulat bahwa aktivitas antibakteri
sulfonamide mencapai maksimum bila mempunyai nilai pKa 6-8. Pada pKa
tersebut sulfonamide terionisasi ± 50 %. Pada pKa 3-5, sulfonamia terionisasi
sempurna, dan bentuk ionisasi ini tidak dapat menembus membrane sehingga
aktivitas antibakterinya rendah.
Bila kadar bentuk ion kurang lebih sama dengan kadar bentuk molekul (pKa 6-8),
aktivitas antibakterinya akan maksimal pada pKa 9-11, penurunan pKa
meningkatkan jumlah sulfonamide yang terionisasi, jumlah senyawa yang
menembus membrane kecil,sehingga aktivitas antibakterinya rendah.
Hubungan antara aktivitas antibakteri turunan sulfonamide dengan nilai pKa dapat
dilihat pada gambar 2.3.

22
Gambar 7.3. Hubungan antara aktivitas antibakteri (log 1/C) terhadap Escherichia
coli (pada pH = 7) dan nilai pKa dari turunan sulfonamide.
Menurut Cowles (1942), sulfonamide menembus membrane sel bakteri dalam
bentuk tidak terionisasinya, dan sesudah mencapai reseptor yang bekerja adalah
bentuk ion.
Contoh obat yang aktif dalam bentuk ion antara lain adalah turunan akridin dan
turunan ammonium kuarterner.

B. PEMBENTUKAN KELAT DAN AKTIVITAS BIOLOGI


Kelat adalah senyawa yang dihasilkan oleh kombinasi senyawa yang mengandung
gugus elektron donor dengan ion logam, membentuk suatu struktur cincin. Gugus-
gugus kimia yang dapat membentuk kelat antara lain adalah gugus amin primer,
sekunder dan tersier, oksim, imin, imin tersubtitusi, tioeter, keto, tioketo, hidroksil,
tioalkohol, karboksilat, fosfonat dan sulfonat.
Sebagai contoh adalah pembentukan kelat antara etilendiamin tetraasetat (EDTA)
dengan ion Ca++ (Gambar 2.4)
Ligan adalah senyawa yang dapat membentuk struktur cincin dengan ion logam
karena mengandung atom yang bersifat electron donor, seperti N, s dan O. Struktur
cincin yang umum terdapat dan cukup stabil adalah struktur cincin dengan jumlah
atom 5 dan 6.
Dalam system biologis banyak terdapat ligan-ligan yang dapat membentuk kelat
dengan ion logam.

23
Contoh ligan dalam system biologis :
1. Asam amino protein, seperti glisin, sistein,histidin, histamine dan asam
glutamate
2. Vitamin, seperti riboflavin dan asam folat
3. Basa purin, seperti hipoxantin dan guanosin
4. Asam trikarboksilat, seperti asam laktat dan asam sitrat
Logam yang berperan dalam system biologis adalah Fe, Mg, Cu, Mn, Co, dan Zn

Gambar 7.4. Rekasi pembentukan kelat antara ligan EDTA dan ion logam Ca ++ ion
Ca++ dan EDTA dihubungkan oleh electron donor dari atom N dan O,
membentuk struktur cincin.

Contoh kelat dalam sistembiologis :


1. Kelat yang mengandung logam Fe
Contoh :
a. Enzim forfirin, seperti katalase, peroksidase dan sitokrom.
b. Enzim nonforfirin, seperti akonitase, aldolase dan feritin.
c. Molekul transfer oksigen, seperti hemoglobin dan mioglobin.
2. Kelat yang mengandung logam Cu
Contoh : enzim oksidase, seperti asam askorbat oksiadase, tirosinase,
polifenol oksidase, lakase, dan sitokrom oksidase.

24
3. Kelat yang mengandung Mg
Contoh : beberapa enzim proteolitik, fosfatase dan karboksilase.
4. Kelat yang mengandung logam Mn
Contoh : oksaloasetat dekarboksilase, arginase dan prolidase.
5. Kelat yang mengandung logam Zn
Contoh : insulin, karbonik anhidrase dan laktat dehidrogenase,
6. Kelat yang mengandung logam Co
Contoh : vitamin B12 dan enzim kaarboksi peptiadase.
Ligan mempunyai afinitas yang besar terhadap ion logam sehingga dapat
menurunkan kadar ion logam yang toksis dalam jaringan dengan membentuk kelat
yang mudah larut dan kemudian dieksresikan melalui ginjal.
Penggunaan ligan dalam bidang farmakologi antara lain adalah :
a. Membunuh mikroorganisme parasit, dengan cara membentuk kelat dengan
logam esensial yang diperlukan untuk pertumbuhan sel (aksi bakterisida,
fungisida, dan virisida).
b. Untuk menghilangkan logam yang tidak diinginkan atau yang membahayakan
organisme hidup (antidotum keracunan logam).
c. Untuk studi fungsi logam dan metaloenzim pada media biologis.
Contoh ligan :
1. Dimerkaprol (British Anti-Lewisite = BAL)
Dimerkaprol mengandung gugus sulfhidril (SH), yang dapat berinteraksi dengan
arsen organik (lewisite), membentuk kelat yang mudah larut. Senyawa ini spesifik
untuk antidotum keracunan arsen organik, logam Sb, Au dan Hg.
Reaksi pembentukan kelat dimerkaprol dengan arsen organik dapat dilihat pada
gambar 7.5.

25
Gambar 7.5. Reaksi pembentukan kelat dimerkaprol dengan arsen organik.
2. (+) Penisilamin
Penisilamin adalah senyawa hasil hidrolisis penisilin dalam suasana asam, yang
digunakan untuk antidotum keracunan logam Cu, Au, dan Pb. Penisilamian juga
digunakan untuk pengobatan penyakit Wilson, suatu penyakit keturunan yang
disebabkan oleh meningkatnya kadar ion Cu dalam darah karena terjadi
penurunan eksresi ion Cu oleh berbagai macam sebab. Penisilamin dapat
berinteraksi dengan ion Cu membentuk kelat yang mudah larut dan kemudian
diekskresikan.
Reaksi pembentukan kelat penisialin dengan ion Cu2+ dapat dilihat pada gambar
7.6.
3. Oksin (8-hidroksikuinolin)
Albert dan kawan-kawan telah meneliti hubungan struktur dan aktivitas
antiabakteri dari 7 isomer mono-hidroksikuinolin dan mendapatkan bahwa hanya
isomer 8-hidroksikuinolin yang aktif sebagai antibakteri.
Mula-mula diduga bahwa mekanisme aksi antibakterinya berhubungan dengan
kemampuan membentuk kelat dengan logam-logam esensial yang diperlukan
untuk metabolisme dan pertumbuhan bakteri. Hal ini berdasarkan hasil penelitian
tentang hubungan struktur dan aktivitas turunan oksin, yang dijelaskan sebagai
berikut :
a. 8-metoksikuinolin dan oksin metoklorida tidak dapat membentuk kelat
sehingga tidak mempunyai efek antibakteri.
b. Substitusi gugus 8-OH dengan gugus merkapto (SH memberikan sifat ligan
yang aktif sehingga aktif pula sebagai antibakteri.
c. Substitusi gugus metil pada posisi 2 menghasilkan ligan yang aktif secara in
vitro relatif tidak aktif sebagai antibakteri. Hal ini disebabkan gugus metil
menimbulkan efek gangguan sterik dan menurunkan penetrasi senyawa ke
dalam sel bakteria, sehingga interaksi dengan reseptor sel menurun.

26
d. Substitusi pada posisi 5 dengan gugus sangat polar, misal SO3H, tidak
mengubah kemampuan pembentukan kelat tetapi aktivitas antibakterinya akan
hilang karena senyawa tidak mampu menembus dinding sel bakteri.

Dari data hubungan struktur-struktur di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan


pembentukan kelat dan koefesien partisi lemak/air sangat berperan terhadap aktivitas
antibakteri turunan oksin.
Turunan oksin yang aktif sebagai antibakteri antara lain adalah 7-kloroksin, 5-7-
diiodooksin (iodokuinol), 5-klor-7-iodooksin (vioform), 4-azaoksin, 4-
hidroksiakridin, 5,6-benzooksin dan 6-hidroksi-m-fenantrolin.

27
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa turunan oksin dapat berfungsi sebagai
antibakteri karena mempunyai kemampuan membentuk kelat dengan ion-ion logam
Fe dan Cu. Kealat loagam –oksin tersebut mengkatalisis oksidasi gugus tiol asam
tiositat, suatu koenzim esensial yang diperlukan oleh bakteria untuk proses oksidatif
dekarboksilasi asam piruvat. Bila tidak ada ion logam, oksin tidak bersifat toksin
terhadap mikrooraganisme.
Oksin (0,01 M) dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus yang
dibiakkan pada media daging. Bila disuspensikan pada air suling tidak menunjukkan
efek antibakteri. Hal ini disebabkan media daging mengandung ion Fe, yang
membentuk khelat tidak jenuh dengan oksin( 1:1 dan 2:1) dan aktif sebagai

28
antibakteri. Bila kadar oksin dinaikkan menjadi 0,125 M, efek antibakterinya akan
hilang karena terbentuk khelat jenuh( 1:3). Bila ditambahkan ion Fe 0,125 M,
keseimbangan akan bergeser, terbentuk khelat tidak jenuh lagi, yang aktif sebagai
antibakteri.
Diduga bahwa tempat kerja turunan oksin terdapat di dalam dinding sel dan pada
membran sitoplasma bakteri. Bila tempat kerja ada di dalam sel, diduga bahwa yang
mampu menembus dinding sel adalah bentuk khelat jenuh( 1:3), di dalam sel kelat
tersebut akan pecah menjadi bentuk kelat tidak jenuh( 1:2) dan (1:1), yang aktif
sebagai antibakteri.
Reaksi pembentukan kelat feri- oksin dapat dilihat pada gambar 7.7.

4. Isoniazid, tiasetazon, dan etambunol


Isoniazid, tiasetazon, dan etambunol( obat anti tuberkulosis), dapat berinteraksi
dengan ion Cu++ serum membentuk kelat yang mudah larut dalam lemak,
sehingga mudah menembus dinding sel Mycobacterium tuberculosis.
Reaksi pembentukan khelat isoniazid dengan ion logam Cu++ dapat dilihat pada
gambar 7.8.

29
5. Tetrasiklin
Tetrasiklin, antibiotik dengan spektrum luas, mengandung gugus hidroksil(C3)
yang bersifat asam dan amin tersier(C4) yang bersifat basa, dapat membentuk
kelat dengan ion Mg++ membran sel bakteri. Peningkatan sifat lipofilik dari kelat
memudahkan penembusan kelat ke dalam membran sel bakteri dan menyebabkan
gangguan sintesis protein di ribosom.
Gugus hidroksi fenol, keton, dan hidroksil pada atom C10, C11, dan C12 diduga juga
ikut terlibat dalam proses pembentukan kelat.
Tetrasiklin juga dapat membentuk kelat dengan logam- logam lain, sehingga
aktivitasnya akan menurun bila diberikan bersama- sama dengan susu yang
mengandung Ca++, antasida yang mengandung ion Ca, Mg, dan Al, atau sediaan
yang mengandung Fe.
Tetrasiklin dapat menyebabkan gigi menjadi kuning, terutama pada anak di bawah
usia 8 tahun, karena membentuk kelat dengan ion Ca++ pada struktur gigi.

30
Beberapa kelat dapat digunakan untuk pengobatan penyakit tertentu.
Contoh:
1. Sisplatin
Sisplatin, cis- dikloroetilendiaminplatiunum (II), adalah senyawa kompleks
turunan Pt yang digunakan sebagai obat antikanker.isomer trans tidak
menunjukkan aktivitas.
Mekanisme kerjanya dengan membentuk ligan reaktif, kemudian Pt membentuk
crosslink diantara atom N dari dua guanosin ADN, sehingga terjadi hambatan
sintesis ADN sel kanker.
Sisplatin mempunyai kelarutan dalam air sangat kecil, sehingga transportasi ke
jaringan tumor relative rendah, oleh karena itu kemudian dikembangkan
turunannya karboplatin( cis- 1,1- dikarboksisiklobutan-diaminplatinum) yang
menunjukkan keefektifan sama dengan sisplatin, dengan distribusi ke jaringan
tumor yang lebih baik.

31
2. Kompleks Tembaga
Kompleks tembaga dengan masa molekul yang rendah banyak digunakan untuk
pengobatan penyakit rematik arthritis dan antiradang.
Contoh: kupralen, alkuprin, dan dikuprin.

Kompleks Cu di atas sebagai antiradang mempunyai efek yang menguntungkan


yaitu tidak menyebabkan iritasi saluran cerna, seperti yang ditimbulkan oleh obat-
obat antiradang turunan asam pada umumnya, seperti turunan salisilat, N-
arilantranilat, arilasetat dan turunan oksikam.
Mekanisme kerja antiradang dan anti rematik arthritis dari kompleks Cu belum
diketahui secara jelas, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa obat- obat
tersebut dapat mengganggu keseimbangan prostaglandin, mempengaruhi aktivitas
lisil oksidase dan mekanisme radikal bebas yang melibatkan dismutase
superoksida.
Ligan-ligan yang digunakan untuk antidotum keracunan logam berat atau untuk
pengobatan yang lain, dapat menimbulkan toksisitas cukup besar,karena mengikat
logam lain yang justru diperlukan untuk fungsi fisiologis normal. Oleh karena itu
penggunaan ligan harus dipilih seselektif mungkin.

32
Contoh :
1. Tiasetazon,difenilditiokarbazon,oksin dan aloksan, dapat menimbulkan awal
penyakit diabetes melitus; karena obat-obat tersebut membentuk kelat dengan Zn
pada sel β-pankreas sehingga menghambat produksi insulin.
2. Hidralazin (Apresolin), obat penurun tekanan darah, menimbulkan efek
samping anemia karena dapat membentuk kelat dengan Fe darah.
3. Dimerkaprol dan isoniazid, cenderung menimbulkan efek seperti histamin,
diduga karena membentuk kelat dengan logam Cu yang berfungsi sebagai
katalisator enzim perusak histamin (histaminase).

C. POTENSIAL REDOKS DAN AKTIVITAS BIOLOGIS


Potensial redoks adalah ukuran kuantitatif kecenderungan senyawa untuk
memberi dan menerima elektron.
Hubungan kadar oksidator dan reduktor ditunjukkan oleh persamaan Nernst
sebagai berikut :
Eh = E0 – 0,06/n x log (Oksidator)/ (Reduktor)
Eh = potensial redoks yang diukur.
E0 = Potensial redoks baku.
n = jumlah elektron yang berpindah.
0,06 = tetapan termodinamik pemindahan 1 elektron (30o C)

Reaksi redoks adalah perpindahan elektron dari satu atom ke atom molekul yang
lain. Tiap reaksi pada organisme hidup terjadi pada potensial redoks optimum,
dengan kisaran yang bervariasi, sehingga diperkirakan bahwa potensial redoks
senyawa tertentu berhubungan dengan aktivitas biologisnya.
Pengaruh potensial redoks tidak dapat diamati secara langsung karena hanya
berlaku untuk sistem keseimbangan ion tunggal yang bersifat reversibel, sedang
reaksi pada sel hidup merupakan reaksi yang serentak, termasuk oksidasi ion dan

33
non ion, ada yang bersifat reversibel adapula yang ireversibel. Hubungan
potensial redoks dengan aktivitas biologisnya secara umum hanya terjadi pada
senyawa dengan struktur dan sifat fisik yang hampir sama. Pada sistem interaksi
obat secara redoks, pengaruh sistem distribusi dan faktor sterik sangat kecil.
Contoh :
1. Turunan kuinon, menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus
aureus pada E0 antara (-) 0,10 sampai (+) 0,15 V, dan aktivitas maksimum
dicapai pada E0 = (+) 0,03 V.
2. Sb dan As, menunjukkan aktivitas terhadap Trypanosoma sp. Pada E0 antara
(-) 0,12 sampai (+) 0,06 V, dan aktivitas tertinggi terjadi pada E0 = (-) 0,01 V.
3. Riboflavin
Riboflavin adalah koenzim faktor vitamin; aktivitas biologisnya bergantung
pada kemampuan untuk menerima elektron sehingga tereduksi menjadi
bentuk dihidronya. Reaksi ini terjadi pada E0 = (-) 0,185 V.

Perubahan sistem redoks dapat digunakan untuk membuat senyawa antagonis


riboflavin.
Contoh :
Bila 2 gugus metil dari riboflavin diganti dengan gugus Cl, senyawa yang
terjadi mempunyai E0 = (-) 0,095 V dan berfungsi sebagai antagonis
riboflavin. Diduga hal ini disebabkan bentuk dihidro-2-klororiboflavin
mempunyai sifat reduksi lebih lemah dibanding dihidroriboflavin. Senyawa
tersebut dapat diabsorbsi pada tempat reseptor spesifik, tetapi tidak
mempunyai potensial yang cukup untuk reduksi biologis.

34
Analog riboflavin yang tidak bersifat redoks dapat dikembangkan sebagai
obat antikanker. Analog tersebut dibuat dengan mengubah potensial redoks
atau memodifikasi molekul menjadi bentuk dihidro yang tidak dapat
dioksidasi.

D. AKTIVITAS PERMUKAAN DAN AKTIVITAS BIOLOGIS


Surfaktan adalah suatu senyawa yang karena orientasi dan pengaturan molekul
pada permukaan larutan,dapat menurunkan tegangan permukaan. Struktur
surfaktan terdiri dari dua bagian yang berbeda, yaitu bagian yang bersifat
hidrofilik atau polar dan bagian lipofilik atau nonpolar, sehingga dikatakan
surfaktan bersifat ampifilik.
Bila surfaktan dimasukkan ke air maka pada permukaan akan teratur sedemikian
rupa sehingga bagian nonpolar, misal rantai karbon, berorientasi ke fase uap,
sedang bagian polar, misal gugus-gugus COOH, OH, NH2 dan NO2, berorientasi
ke fase air.
Bila surfaktan dimasukkan kedalam campuran pelarut polar dan nonpolar, maka
pada batas cairan polar dan nonpolar, bagian nonpolar berorientasi ke pelarut
nonpolar, sedang gugus polar berorientasi ke pelarut polar. Pada orientasi ini
terlibat ikatan Van der waal’s, ikatan hidrogen dan ikatan ion dipol.
Contoh : Asam oleat (C18H36COOH), Bila dimasukkan ke air dapat membentuk
lapisan monomolekul. Rantai hidrokarbon cenderung tegak lurus pada
permukaan, sedang gugus COOH mengarah ke fase air. Bila kemudian
ditambahkan minyak, rantai hidrokarbon akan berorientasi ke fase minyak sedang
gugus COOH tetap kontak dengan air.

35
Orientasi asam oleat pada fase uap, fase air dan fase minyak dapat dilihat pada
gambar 44.
Asam oleat cenderung membentuk perubahan dari fase non polar ke fase polar
secara perlahan-lahan sehingga energi bebas pada permukaan lebih kecil.
Aktivitas permukaan surfaktan ditentukan oleh keseimbangan gugus hidrofil dan
lipofil (hidrophyl lipophyl = HLB).
Berdasarkan sifat gugus yang dikandungnya,surfaktan dibagi menjadi 4
kelompok, yaitu :
1. Surfaktan anionik
Surfaktan anionik mengandung gugus hidrofil yang bermuatan negatif, dan
dapat berupa gugus karboksi, sulfat, sulfonat atau fosfat.
Contoh : Sabun K, sabun Na, Natrium stearat, Natrium laurilsulfat dan
natrium laurilsulfoasetat.
2. Surfaktan kationik
Surfaktan kationik mengandung gugus hidrofil yang bermuatan positif, dan
dapat berupa gugus amonium kuartener, biguanidin, sulfonium, fosfonium dan
iodonium.

Gambar 7.9. Orientasi asam oleat pada fase uap, fase air dan fase minyak.

Contoh : turunan ammonium kuartener, seperti setilpiridinium klorida,


benzetonium klorida, benzalkonium klorida dan setavlon, serta turunan
biguanidin, seperti heksaklorofen.

36
3. Surfaktan non ionik
Surfaktan ini tidak terionisasi dan mengandung gugus-gugus hidrofil dan
lipofil yang lemah sehingga larut atau dapat terdispersi dalam air, biasanya
adalah gugus polioksietilen eter dan polyester alkohol.
Contoh : polisorbat 80, span 80 dan gliserilmonostearat.
4. Surfaktan amfoterik
Surfaktan amfoterik mengandung mengandung dua gugus hidrofil yang
bermuatan positif (kationik) dan negatif (anionik).
Contoh : N-lauril-β-aminopropionat dan miranol.
Dalam larutan encer, surfaktan menunjukkan sifat elektrik dan osmotik yang
sama dan didistribusikan dalam bentuk monomer. Bila kadar surfaktan
ditambah terus, akan dicapai suatu titik kritis, terjadi penggabungan molekul
monomer menjadi suatu polimer, terdiri dari 50 atau lebih monomer, yang
disebut misel.
Kadar pada waktu mulai terbentuk molekul polimer dinamakan kadar misel
kritis (critical micelle concentration = CMC). Pada kadar di atas CMC
terbentuk polimer yang besar kemudian menjadi koloid. Proses yang terjadi
bersifat reversible sehingga bila diencerkan polimer akan menjadi bentuk
monomer kembali.
Aktivitas anthelmentik heksilresorsinol dipengaruhi oleh perbandingan jumlah
surfaktan (Na oleat) dan obat (heksilresorsinol). Bila kadar Na oleat
dipertahankan di bawah CMC, terjadi penggabungan surfaktan-fenol (1:1),
penetrasi heksilresorsinol pada membran cacing akan meningkat sehingga
aktivitas anthelmentik juga meningkat.
Bila kadar surfaktan di atas CMC, terbentuk misel-misel yang akan
menyelubungi heksilresorsinol, penetrasi pada membrane cacing menurun,
sehingga aktivitas menurun pula.

37
Surfaktan juga mempengaruhi absorbsi obat. Aktivitas surfaktan terhadap
absorbsi obat tergantung pada :
a. Kadar surfaktan
b. Struktur kimia surfaktan
c. Efek surfaktan terhadap membrane biologis
d. Efek farmakologis surfaktan
e. Adanya interaksi surfaktan dengan bahan-bahan pembawa atau bahan
obat.
Contoh :
Pengaruh surfaktan polisorbat 80 terhadap absorbsi sekobarbital Na pada ikan
emas, yang dapat dilihat pada gambar 7.10.
Pada kadar rendah, surfaktan akan meningkatkan absorbsi sekobarbital karena
mempengaruhi permeabilitas membrane biologis sehingga penetrasi
sekobarbital ke membran menjadi lebih besar. Pada kadar tinggi, surfaktan
menyebabkan partisi obat ke dalam fasa air dan misel. Obat yang berada
dalam fasa misel sukar menembus membran sehingga kecepatan absorbsi
sekobarbital menurun.

Gambar 7.10. Pengaruh polisorbat 80 terhadap absorbsi larutan 0,02%


sekobarbital Na (pH = 5,9 dan t.20°C) pada ikan emas.
Surfaktan mempunyai aktivitas yang nyata terhadap permeabilitas membrane
sel bakteri. Surfaktan dengan aktivitas ringan, diadsorpsi satu lapis pada

38
permukaan membran sel bakteri sehingga menghalangi absorpsi bahan-bahan
yang dibutuhkan oleh membran sel.
Surfaktan dengan aktivitas kuat, dapat mengubah struktur dan fungsi
membran, menyebabkan denaturasi protein membran sehingga membrane sel
bakteri menjadi rusak dan lisis.
Surfaktan pada umumnya tidak berguna secara in vivo karena mudah
diadsorpsi oleh protein dan menyebabkan ketidakteraturan membran sel serta
hemolisis sel darah merah. Surfaktan hanya terbatas untuk pemakaian
setempat yaitu untuk disinfektan kulit dan sterilisasi alat-alat.

Turunan amonium kuartener, seperti benzalkonium klorida dan dekualinum


klorida, mempunyai kation hidrofil dan gugus non polar yang panjang.
Senyawa ini termasuk golongan antibakteri yang bersifat tidak spesifik.
Karena termasuk surfaktan kationik, aktivitas antibakterinya turun secara
drastis bila dikombinasi dengan sabun anionik.
Aktivitas antibakteri senyawa turunan amonium kuartener tergantung pada :
a. kerapatan muatan atom N asimetrik (kation hidrofil)
b. ukuran dan panjang rantai non polar yang terikat pada atom N.
Makin panjang rantai non polar, aktivitas senyawa makin meningkat, sampai
pada harga HLB yang memberikan aktivitas permukaan optimal.
Turunan klorofenilbiguanidin, seperti klorheksidin, digunakan secara luas
untuk antiseptik luka dan luka bakar, serta desinfektan pembedahan.
Dikelompokkan dalam sabun kationik karena gugus amino pada biguanidin
dapat terprotonasi membentuk garam. Dengan kadar yang relatif rendah (10-
100 mg/ml) klorheksidin secara cepat menyebabkan pelepasan material

39
sitoplasma sel bakteri. Pada kadar yang sangat rendah (1 mg/ml) senyawa
masih tetap aktif karena dapat menghambat membrane-bound ATPase bakteri.

40

Anda mungkin juga menyukai