Anda di halaman 1dari 5

Menjawab Tantangan Abad 21 Melalui Pengembangan Pedagogik Pada

Mata Pelajaran IPS

Penulis : Reny Fijarwati, SE

Pendidikan bukan hanya tugas guru semata melainkan tanggung jawab


bersama. Masyarakat, keluarga harus turut serta dalam membina putra putri kita...
Tantangan sudah pasti ada. Jangan menyerah tuk menghadapinya….
Begitulah salah satu lirik lagu yang dilantunkan untuk mengiringi senam PGRI
yang membakar semangat para guru. Guru merupakan sosok yang digugu dan
ditiru oleh anak didiknya. Pepatah mengatakan “guru kencing berdiri, murid
kencing berlari”, oleh sebab itu guru seharusnya memiliki kehati-hatian dalam
menentukan sikap. Karena siswa lebih cepat merespon segala sesuatu yang
diberikan oleh gurunya.
Di abad 21, manusia mengalami perkembangan ilmu pengatahuan dalam
segala bidang dan yang paling menonjol adalah perkembangan informasi
komunikasi dan teknologi. Tantangan abad 21 bersifat internasional, multikultural,
dan terkoneksi. Oleh karena itu pembelajaran ditujukan untuk mempersiapkan
siswa agar tanggap atas kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Siswa
diharapkan memiliki keterampilan berkomunikasi, berbagi dan menggunakan
informasi untuk berpikir kritis, memecahkan masalah hingga keterampilan
berinovasi dan berkreasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Akhir-akhir ini dunia pendidikan dihebohkan dengan rekaman yang
diunggah di media sosial yaitu pelecehan siswa terhadap guru di dalam kelas
dengan menantang berkelahi. Ada beberapa faktor penyebab kurang terbinanya
karakter siswa, antara lain (1) pola asuh yang salah dalam keluarga (2) lingkungan
sosial yang tidak baik, (3) pembiasaan karakter di sekolah yang tidak konsisten (4)
pengelolaan kelas yang tidak maksimal.
Keluarga adalah pranata sosial terkecil yang mengatur kegiatan anggota
keluarga untuk menjalankan peran sesuai dengan status yang dimilikinya. Keluarga
merupakan media sosialisasi pertama dan utama bagi seorang anak untuk belajar
nilai-nilai dan norma-norma serta kebudayaan yang ada di lingkungannya.
Sosialisasi yang terjadi dalam keluarga merupakan tahapan penting terhadap
tumbuh kembang perilaku seseorang sehingga pembentukan jati diri tergantung
pada pola asuh dalam keluarga.
Pola asuh yang baik memberikan kebebasan pada anak untuk berkreasi dan
mengekplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak namun tetap dilakukan
pengawasan dan menetapkan batasan. Berbeda halnya jika pola pengasuhan bersifat
otoriter seorang anak akan lebih senang berada di luar rumah dan membenci orang
tuanya karena anak tidak diberikan kebebasan untuk melakukan hal-hal yang
disukai bahkan tertekan. Begitu pula jika pola pengasuhan yang serba boleh
(permisif) pun dapat membentuk anak yang kurang bertanggung jawab karena
orang tua tidak menerapkan batasan. Hal yang sama jika pola pengasuhan yang
tidak konsisten yaitu orang tua tidak memiliki pendirian dalam pengasuhan
sehingga anak menjadi bingung dan menjadi acuh tak acuh saat melakukan
penyimpangan nilai atau norma.
Sebagai individu, manusia tidak lepas dari ketergantungan individu yang
lain dan selalu melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Interaksi yang
terbentuk dari lingkungan sosial lambat laun mempengaruhi cara pandang
seseorang untuk melakukan interaksi yang sama.
Lingkungan yang baik akan memberikan pengaruh yang baik pula bagi
perkembangan karakter anak misalnya lingkungan sosial anak terbiasa dengan
gotong royong, maka anak cenderung memiliki kepedulian sosial. Begitu pula
dengan lingkungan yang tidak baik, anak akan cenderung melakukan hal yang tidak
baik pula. Misalnya di lingkungan anak merupakan tempat prostitusi, setiap hari
mereka selalu disuguhkan dengan interaksi sosial yang kasar dan keras bahkan
selalu melihat berbagai penyimpangan sosial. Secara tidak langsung anak diajak
berpikir bahwa penyimpangan merupakan sesuatu yang wajar sehingga jika ia
melakukannya maka dianggap tidak memiliki konseksuensi apa pun.
Sekolah merupakan wadah pendidikan yang membentuk karakter
(kepribadian), intelektual maupun jasmani yang selaras dengan lingkungannya.
Sama halnya dengan lingkungan keluarga, sekolah memiliki kewenangan dalam
membentuk pribadi dan intelektual yang terarah. Pembentukan karakter di sekolah
harus dilakukan secara berulang-ulang baik terjadwal maupun spontan secara
bersama-sama ataupun individu. Pembentukan yang berulang-ulang tersebut
dikenal sebagai pembiasaan misalnya berdoa sebelum dan sesudah kegiatan
pembelajaran maupun perilaku memberi senyum, sapa dan salim kepada bapak dan
ibu guru. Pembiasaan yang tidak konsisten dapat mempengaruhi jiwa seseorang
untuk bersikap acuh tak acuh dalam melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai
maupun norma-norma di sekolah seperti halnya pengaruh dari pola asuh yang tidak
konsisten dalam keluarga.
Guru merupakan kunci pembentukan karakter di sekolah. Sosok yang
menjadi panutan baik dalam keilmuan dan kepribadian baik di sekolah maupun di
masyarakat. Dalam aktivitasnya, guru menerapkan falsafah pendidikan yang telah
dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu Ing Ngarso Suntulodo, Ing Madyo
Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani.
Tentu saja falsafah tersebut bersinergi dengan Undang-undang Nomor 14
tahun 2005 tentang guru dan dosen yaitu seorang guru harus memiliki empat
kompetensi antara lain kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Guru harus menguasai perencanaan,
pelaksanaan dan penilaian pembelajaran serta membantu siswa dalam
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Untuk melaksanakan
kompetensi pedagogik dibutuhkan kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial
serta kompetensi profesionalnya agar ilmu pengetahuan menjadi bermakna.
Dalam aktivitas pembelajaran, guru melakukan dua hal sekaligus yaitu
pengajaran dan pengelolan kelas. Pengajaran merupakan kegiatan guru dalam
menyampaikan pengetahuan kepada siswa. Namun kegiatan tersebut tidak akan
efektif jika pengelolaan kelas berjalan dengan baik. Pengelolaan kelas merupakan
keterampilan guru dalam menciptakan kondisi kelas yang optimal sehingga terjadi
interaksi siswa dengan guru, siswa dengan siswa yang lain serta mengatur waktu
agar tujuan pembelajaran tercapai.
Menurut Djamarah (2006), prinsip pengelolaan kelas meliputi
(1)kehangatan dan antusias, (2)tantangan, (3)bervariasi (4)keluwesan, (5)
penekanan pada hal-hal positif, (6) Penanaman disiplin diri.
Guru yang hangat dan akrab dengan siswa selalu menunjukkan perhatian
dan antusiasme terhadap aktivitas siswa. Proses yang memiliki tantangan dapat
meningkatkan semangat siswa untuk belajar. Selanjutnya variasi dalam belajar
dilakukan untuk menghindari kejenuhan belajar dan meminimalkan penyimpangan
siswa di kelas sehingga keluwesan guru dalam mengajar sangat mendukung
aktivitas belajar agar tidak kaku dan menyenangkan. Selain itu guru harus
menekankan hal-hal positif dan menghindari pemusatan perhatian pada hal-hal
negatif agar tidak menggangu proses pembelajaran. Guru harus menanamkan
disiplin pada segala hal agar siswa ikut berdisiplin.
Pengelolaan kelas sangat tergantung pada kemampuan guru memilih dan
menggunakan metode pembelajaran yang menyenangkan dan mampu memecahkan
masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum menentukan metode
pembelajaran, guru harus melakukan analisis kemampuan siswa terhadap cakupan
materi serta menyusun strategi untuk mengantisipasi terjadinya hambatan dan
tantangan.
Terdapat sembilan prinsip untuk mengajarkan keterampilan abad 21
menurut Savedra dan Opfer (2012) antara lain (1) membuat pembelajaran relevan
dengan big picture, (2) mengajar dengan disiplin, (3) mengembangkan kemampuan
berpikir lebih rendah dan lebih tinggi untuk mendorong pemahaman konteks yang
berbeda (4) mendorong transfer pembelajaran (5) membelajarkan bagaimana
belajar untuk belajar, (6) memperbaiki kesalahpahaman secara langsung, (7)
mengalakkan kerjasama tim, (8) memanfaatkan teknologi untuk mendukung
pembelajaran, (9) meningkatkan kreativitas siswa.
Dengan demikian pengembangan pedagogik di abad 21 hendaknya
pertama, memilih strategi pembelajaran yang berorientasi pada siswa agar mampu
berkomunikasi dan berkolaborasi dengan siswa yang lain. Kedua, Pembelajaran
diarahkan untuk lebih mengenal lingkungan di sekitar serta mengangkat masalah-
masalah yang timbul dari kehidupan sehari-hari sehingga siswa memiliki
kemampuan dalam berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah. Ketiga,
pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan berkomunikasi, berkolabarasi, dan berinovasi di dunia
tanpa batas serta berdaya saing di dunia internasional. Keempat, pembelajaran harus
relevan dengan dunia professional agar siswa menyadari bahwa aktivitas
pembelajaran akan bermanfaat baginya di masa yang akan datang sehingga mampu
meningkatkan minat dan mengembangkan bakatnya.
Mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial pada hakikatnya memadukan
konsep-konsep dasar dari berbagai ilmu sosial seperti ilmu geografi, ilmu sejarah,
ilmu ekonomi, politik, pemerintahan, sosiologi, antropologi dan psikologi sosial.
Pada dasarnya mata pelajaran ini berkaitan dengan konsep, prinsip dan analisa
tentang kehidupan manusia baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial.
Menurut Achmad (2005:2), bahwa kajian ilmu pengetahuan sosial
dikembangkan dengan menggunakan pendekatan antara lain (1) pendidikan nilai,
(2) pendidikan multikultural, (3) pendidikan global. IPS sebagai pendidikan nilai,
diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai utama dan meluruskan pemahaman nilai
yang telah dimiliki siswa sebelumnya. Demikian pula pada pendidikan
multikultural, IPS dapat mendidik siswa tentang kewajaran suatu perbedaan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga mereka bisa
menghargai dan menghormati perbedaan etnik budaya, maupun agama. IPS sebagai
pendidikan global dapat diartikan sebagai upaya yang membangun kesadaran
secara menyeluruh untuk mengurangi kemiskinan, kebodohan dan perusakan
lingkungan serta pentingnya bekerjasama.
Dengan demikian pembentukan karakter dapat dilakukan melalui
pembelajaran IPS sehingga untuk menjawab tantangan abad 21 dibutuhkan
keterampilan dalam mengembangkan pedagoogik. Strategi pengembangan
pedagogik yang dimaksud yaitu berpusat pada siswa, berorientasi lingkungan, dan
berbasis teknologi informasi dan komunikasi serta memiliki relevansi terhadap
dunia profesional. Sehingga siswa memiliki kemampuan berkomunikasi,
berkolaborasi, berpikir kritis untuk memecahkan masalah dengan daya kreasi dan
inovasi yang dimilikinya.

Daftar Pustaka
Djamarah & Aswan Zain.2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rhineka Cipta.
Saavedra, A. and Opfer, V. 2012. Teaching and Learning 21st Century Skill:
Lessons from the Learning Sciences. A Global Cities Education Network Report.
New York, Asia Society.

Anda mungkin juga menyukai