Anda di halaman 1dari 18

Penyakit Refluks Gastroesofageal pada Orang Dewasa

Celine Citra Surya


102013044
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510. Telepon : ( 021 ) 5694-2061. Fax : (021) 563-17321
email : celinesurya17@rocketmail.com

Abstrak
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastro-esophageal
(Gastro-esophageal Reflux Disease,
Disease, GERD) kurang umum
dijumpai dan derajat keparahan endoskopiknya lebih ringan di Asia dibandingkan di negara-negara
Barat. Namun, data saat ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan frekuensi penyakit tersebut
di Asia. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis GERD erosif adalah endoskopi saluran cerna atas.
Sementara itu, tidak terdapat pemeriksaan baku emas untuk diagnosis penyakit refluks nonerosif (non-
erosive reflux disease, NERD) dan diagnosisnya mengandalkan gejala atau respons terhadap
pengobatan proton pump inhibitor (PPI). Sasaran pengobatan GERD adalah menyembuhkan
esofagitis, memperingan gejala, mempertahankan pasien tetap bebas gejala, memperbaiki kualitas
hidup, dan mencegah komplikasi. Hingga saat ini, PPI merupakan terapi medikamentosa yang paling
efektif. Sesudah pengobatan awal, terapi on-demand dapat efektif pada beberapa pasien penderita
NERD atau esofagitis erosif ringan. Pada penderita GERD yang tidak mengeluhkan gejala peringatan
(alarm symptoms) saat pemeriksaan di layanan primer, pengobatan dapat dimulai dengan PPI dosis
standar selama 2 minggu. Bila responsnya sesuai, PPI dilanjutkan selama 4 minggu sebelum masuk ke
terapi on-demand.
Kata kunci : GERD, PPI, terapi on-demand, endoskopi

Abstract
Gastro-esophageal Reflux Disease GERD) is less common and milder degrees of severity
endoscopic in Asia than in Western countries. However, current data indicates that there has been an
increase in the frequency of the disease in Asia. Examination of the gold standard for the diagnosis of
erosive GERD is upper gastrointestinal endoscopy. Meanwhile, there is no gold standard examination
for the diagnosis of reflux disease nonerosif (non-erosive reflux disease, NERD) and diagnosis rely on
symptoms or response to treatment of proton pump inhibitor (PPI). GERD treatment target is healed
esophagitis, decreased symptoms, maintain patients remained free of symptoms, improve quality of
life, and prevent complications. Until now, PPI is the most effective medical therapy. After the initial
treatment, on-demand therapy can be effective in some patients with NERD or mild erosive
esophagitis. In patients with GERD who do not complain of symptoms warning (alarm symptoms)
1
during the examination in primary care, treatment can be started with a standard dose PPI for 2
weeks. If the response is appropriate, PPI continued for 4 weeks before entering into on-demand
therapy.
Key words : GERD, PPI, on-demand therapy, endoscopy

Pendahuluan
Gastro-esofageal Reflux Desease (GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat
refluks kandungan lambung ke dalam esophagus dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esophagus, faring, laring, dan saluran nafas. Telah diketahui bahwa refluks kandungan
lambung ke esofagus dapat menimbulkan berbagai gejala di esofagus maupun ekstraesofagus dapat
menyebabkan komplikasi yang berat seperti striktur, Barret's oesophagus, bahkan adeno karsinoma di
kardia dan esofagus. Ketika esophagus berulang kali kontak dengan material refluks untuk waktu yang
lama dapat terjadi inflamasi esofagus (esofagitis refluks) dan dalam beberapa kasus berkembang
menjadi erosi esofagus (esofagitis erosi).1

Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh seorang dokter untuk
mempermudah mendapatkan informasi dari pasien mengenai sakitnya sehingga membantu dokter
tersebut untuk menegakkan diagnosis yang tepat untuk pasiennya. Berikut beberapa pertanyaan
anamnesis yang dapat ditanyakan kepada pasien yang diduga menderita GERD. Identitas pasien,
identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, alamat, pekerjaan. Keluhan utama
adalah keluhan yang dirasakan pasien, yang membawa pasien tersebut pergi ke dokter atau mencari
pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama, harus disertai dengan indikator waktu, berapa lama
pasien merasakan hal tersebut. Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita yang kronologis, terinci,
dan jelas keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhatan utama sampai pasien datang berobat.
Riwayat penyakit dahulu bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan
antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakit sekarang. Riwayat kesehatan berupa riwayat
kehamilan, riwayat kelahiran, riwayat pertumbuhan ( berat badan tinggi badan), riwayat makanan dan
imunisasi. Riwayat keluarga, ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang pernah mengalami sakit
yang sama. Riwayat Pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Kebiasaan
pasien yang juga harus ditanyakan adalah kebiasaan merokok, minum alkohol, termasuk penyalahgunaan obat-
obat terlarang (narkoba).2

Anamnesis yang dilakukan oleh dokter pada kasus ini dilakukan secara auto yaitu dengan
menanyakan langsung kepada pasien. Anamnesis sangat penting dilakukan dalam penentuan diagnosis
2
penyakit. Anamnesis terdiri dari data umum pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan riwayat kebiasaan atau sosial. Pada kasus skenario
keluhan utama yang dirasakan pasien adalah keluhan bila makan cepat kenyang, begah dan rasa
terbakar di daerah dada (heart burn) kadang disertai kembung bila makan agak banyak. Keluhan
seperti ini dirasakan sudah kira-kira empat bulan. Berat badan 50 kg, tinggi badan 149 cm dan saat ini
berat badan menjadi 44 kg. Pasien memiliki kebiasaan minum soft drink dan jamu setiap dua hari
sekali.2

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang perlu kita ketahui adalah keadaan umum pasien dan memeriksa
tanda-tanda vital pada pasien. Keadaan umum ini dapat meliputi kesan keadaan sakit termasuk
ekspresi wajah dan posisi pasien, kesadaran yang dapat meliputi penilaian secara kualitatif seperti
compos mentis, apathis, somnolent, sopor, koma dan delirium. Pemeriksaan tanda vital meliputi nadi
(frekuensi, irama, kualitas), tekanan darah, pernafasan (frekuensi, irama, kedalaman, pola pernafasan)
dan suhu tubuh.2
Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang biasanya terdiri dari
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Inspeksi adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan melihat
bagian tubuh yang diperiksa melalui pengamatan. Palpasi adalah pemeriksaan yang dilakukan melalui
perabaan terhadap bagian-bagian tubuh yang mengalami kelainan. Auskultasi adalah pemeriksaan fisik
yang dilakukan melalui pendengaran. Perkusi adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara
mengetuk dengan tangan atau dengan alat bantu.2
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan fisik abdomen pada bayi.
Pemeriksaan ini meliputi inspeksi, palpasi dan auskultasi. Palpasi dilakukan terakhir, dikarenakan
palpasi dapat mengganggu bunyi normal abdomen. Untuk tujuan deskriptif abdomen dibagi menjadi 4
kuadran kuadran kanan atas, kuadran kiri atas, kuadran kanan bawah, dan kuadran kiri bawah.2
Inspeksi
Inspeksi kontur abdomen dengan anak pada posisi tegak dan telentang. Normalnya abdomen
dalam posisi tegak agak menonjol dikarenakan lordosis fiiologis spinal, pada posisi terlentang,
abdomen tampak datar. Pada orang yang sehat, tonjolan pada garis tengah biasanya merupakan variasi
dari perkembangan otot yang normal. Kulit yang menutupi abdomen harus terikat secara seragam
tanpa adanya kerutan atau lipatan, terkadang ditemukan striae seperti perak keputih-putihan yang
menunjukkan tanda obesitas. Periksa bentuk abdomen, warna kulit dan lesi kulit, dan adanya tanda-
tanda abnormalitas umbilikus seperti hernia. Umbilikus harus datar atau sedikit menonjol. Jika
terdapat hernia, palpasi benjolan tersebut untuk mengetahui isi abdomen dan perkirakan ukuran kira-
kira lubang tersebut.2

3
Palpasi

Terdapat dua tipe palpasi yaitu palpasi superfisial dan dalam. Palpasi superfisial adalah dengan
cara lembut menempelkan tangan pada kulit dan rasakan tiap kuadran, perhatikan adanya nyeri, tonus
otot, dan lesi superfisial. Palpasi dalam. Palpasi dalam digunakan untuk melakukan palpasi organ dan
pembuluh darah besar dan mendeteksi massa serta nyeri tekan yang tidak dapat ditemukan selama
palpasi superfisial. Palpasi ini dilakukan dari bawah ke atas untuk menghindari tidak terpalpasinya
bagian tepi hati atau limpa yang membesar. Tepi bawah hati kadang-kadang dapat dirasakan oleh
orang dewasa sebagai masa di bawah tepi iga kanan. Normalnya hati turun pada saat inspirasi saat
diafragma bergerak ke bawah.2

Perkusi

Perkusi dilakukan untuk mencari batas paru dan hati dari linea midclavicula kanan ke arah
bawah dan peranjakan hati.2

Auskultasi

Temuan paling penting dalam permeriksaan auskultasi adalah peristaltik atau bising usus. Yang
bunyinya seperti logam pendek beradu atau seperti orang berkumur. Frekuensinya permenit harus
dicatat. Bising usus dapat distimulasi dengan cara menggetarkan permukaan abdomen dengan kuku
dan jari tangan. Tidak adanya bising usus atau terjadinya hiperperistaltik menunjukkan adanya
gangguan abdomen.2

Pemeriksaan Penunjang
Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas
Endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku pemerikasaan pertama yang
dipilih untuk diagnosis pasien dengan dugaan GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus
(esofagitis refluks). Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan makroskopik
dari mukosa esofagus, serta dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break
pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD,
keadaan ini disebut sebagai non-erosive reflux disease (NERD). Ditemukannya kelainan esofagitis
pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi) dapat
mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD. Namun
harus diingatkan bahwa GERD tidak selalu disertai kerusakan mukosa yang dapat dilihat secara
makroskopik dan dalam keadaan ini diperlukan biopsi. Biopsi diperlukan untuk memastikan diagnosis,
4
menyingkirkan etiologi radang lainnya seperti kandidiasis atau virus (herpes simpleks, CMV),
menetapkan adanya Barrett’s esophagus atau keganasan. Selanjutnya endoskopi menetapkan asal
pendarahan, striktur dan berguna pula untuk pengobatan.1,3
Gambaran endoskopi ada lima derajat menurut klasifikasi Los Angeles. Derajat kerusakan A
yaitu erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5mm. Derajat kerusakan B yaitu erosi
pada mukosa atau lipatan mukosa dengan diameter >5mm tanpa saling berhubungan. Derajat
kerusakan C yaitu lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen. Derajat
kerusakan D yaitu lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen
esofagus).1
Pemantauan pH 24 Jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus. Episode ini
dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus.
Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya GERD, pH di bawah 4
pada jarak 5 cm di atas LES (lower esophageal sphincter) dianggap diagnostik untuk GERD. Cara lain
untuk memastikan hubungan nyeri dada dengan GERD adalah menggunakan alat yang mencatat
secara terus-menerus selama 24 jam pH intraesophagus dan tekanan manometrik esophagus. Selama
rekaman pasien dapat memberi tanda serangan dada yang dialaminya sehingga dapat dilihat hubungan
antara serangan dan pH esophagus atau gangguan motorik esophagus. Dewasa ini tes tersebut
dianggap sebagai gold standart untuk memastikan adanya GERD.1
Esofagografi dengan Barium
Dibanding dengan endoskopi, pemeriksaan radiologi kurang peka dan sering tidak
menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Disamping itu hanya sekitar 25% pasien
GERD menunjukkan refluks barium secara spontan pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang
lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, tukak, atau
penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitif untuk diagnosis GERD, namun
pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi yaitu pada 1). stenosis
esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia, 2). hiatus hernia.1
Tes Bernstein
Tes Bernstein bertujuan untuk mengukur sensitifitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan ferfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 dalam waktu kurang dari satu
jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam dan pasien-pasien dengan gejala yang
tidak khas. Bila larutaan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien, maka
test ini dianggap positif. Tes Bernstein yang negatif tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal
dari esofagus.1
Tes Supresi Asam

5
Pada dasarnya tes supresi asam merupakan terapi empirik untuk menilai gejala dari GERD
dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respons yang terjadi. Tes ini
terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostik seperti endoskopi, pH metri dan lain-lain.
Tes ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50%-75% gejala yang terjadi. Dewasa ini terapi
empirik/PPI test merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam logaritme tatalaksana GERD
pada pelayanan kesehatan lini pertama untuk pasien-pasien yang tidak disertai dengan gejala alarm
(berat badan menurun, anemia, hematemesis/melena, disfagia, odonofagia, riwayat keluarga dengan
kanker esofagus atau lambung) dan umur >40.1
Manometri Esofagus
Tes manometri esofagus akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan
gejala nyeri epigastrium dan regurgitas yang nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskopi
yang normal.1
Sintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan sintigrafi gastroesofageal menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan
padat yang dilabel dengan radisotop yang tidak diabsorbsi, biasanya technetium. Selanjutnya sebuah
penghitung gamma (gammacounter) eksternal akan memonitor transit dari cairan makanan yang
dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.1

Diagnosis Kerja
Gastro-esophageal Reflux Disease (GERD)
Studi diagnostik awal tidak diperlukan untuk pasien dengan gejala GERD khas menunjukkan
penyakit refluks rumit. Pasien dengan gejala khas mulas dan regurgitasi harus diperlakukan secara
empiris dengan proton pump inhibitor sekali atau dua kali sehari selama 4-8 minggu. Penyelidikan
lebih lanjut diperlukan pada pasien dengan "fitur alarm" (disfagia merepotkan, odynophagia,
penurunan berat badan, anemia defisiensi besi) dan pada pasien dengan gejala bermasalah yang
bertahan meskipun terapi inhibitor pompa proton empiris untuk mengidentifikasi komplikasi penyakit
refluks dan untuk mendiagnosa kondisi lain dengan gejala yang sama.3

Diagnosis Banding
Dispepsia Fungsional
Dispepsia fungsional adalah adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat
kenyang dan nyeri ulu hati/epigastrik. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya

6
pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan
tersebut. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis
ditegakkan.4
Jadi disini ada batasan waktu yang ditujukan untuk meminimalisasi kan kemungkina
kemungkinan adanya penyebab organik. Seperti dalam algoritme penanganan dispepsia, bila ada alarm
symptoms seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang prominen, makan
merupakan petunjuk awal akan kemungkinan adanya penyebab organik yang membutuhkan
pemeriksaan penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti endoskopi dan sebagainya. Dispepsia
fungsional dibagi menjadi 3 kelompok yaitu; 1) Dispepsia tipe seperti ulkus (ulcer like), yang lebih
dominan adalah nyeri epigastrik; 2). Dispepsia tipe seperti dismotilitas (dismotility like), yang lebih
dominan adalah keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang; 3). Dispepsia tipe non-
spesifik, tidak ada keluhan yang dominan.1,4
Sedangkan pada kriteria Rome III 2006, dispepsia fungsional dibagi atas;1). Post-prandial
Distress Syndrome dimana pasien merasa penuh setelah makan dalam porsi yang biasa atau rasa cepat
kenyang sehingga tidak dapat menghabiskan porsi makanan regular; 2). Epigastric Pain Syndrome di
mana pasien mengeluh nyeri dan rasa terbakar, hilang timbul, berpusat di epigastrium. Rasa nyeri ini
tidak pada bagian perut lainnya atau daerah dada.1,4
Non-erosive Reflux Disease (NERD)
Perbedaan GERD dan NERD yaitu pada pemeriksaan endoskopi GERD terdapat kelainan
esofagitis erosif yang ditandai dengan mucosal break sedangkan NERD tidak terdapat mucosal break.1
Etiologi
Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat
dari refluks gastroesofageal apabila: 1). terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan
refluksat dengan mukosa esofagus, 2). terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus,
walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama. Esofagus dan gaster
dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower
esofageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat
terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat
sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus
LES tidak ada atau sangat rendah (3 mmHg).1
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme: 1). refluks spontan
pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat , 2). aliran retrograd yang mendahului kembali kembali
kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). meningkatnya tekanan intra abdomen. Dengan demikian
dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor
defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esofagus

7
adalah pemisah antirefluks, bersihan asam dari lumen esophagus, dan ketahanan epitelial esofagus.
Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik. Alergi makanan atau
tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks. Mengkonsumsi makanan berasam, coklat,
minuman berkafein dan berkarbonat, alkohol, merokok, dan obat-obatan yang bertentangan dengan
fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk yang memiliki efek antikolinergik (seperti
beberapa antihistamin), penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat juga berperan dalam
menyebabkan GERD, selain itu terdapat kelaianan anatomi seperti penyempitan kerongkongan.1

Epidemiologi
Prevalensi PRGE di Asia termasuk Indonesia, relatif rendah dibanding negara maju. Di
Amerika, hampir 7% populasi mempunyai keluhan heartburn, dan 20-40% diantaranya diperkirakan
menderita PGRE. Prevalensi esofagitis di negara barat berkisar antara 10-20%, sedangkan di Asia
hanya 3-5%, terkecuali Jepang dan Taiwan (13-15%).1, Tidak ada predileksi gender pada GERD, laki-
laki dan perempuan mempunyai risiko yang sama, namun insidens esofagitis pada laki-laki lebih
tinggi (2:1-3:1), begitu pula Barret's esophagitis lebih banyak dijumpai pada laki-laki (10:1). GERD
dapat terjadi di segala usia, namun prevalensinya meningkat pada usia diatas 40 tahun.5

Patofisiologi
Pemisah Antirefluks
Meskipun telah dilakukan penelitian yang luas dan mendalam, etiologi GERD masih belum
dipahami betul. Dikatakan etiologi GERD adalah multifaktorial atau dengan kata lain ada beberapa
keadaan yang memudahkan terjadinya refluks patologis. Ada empat faktor penting yang memegang
peran untuk terjadinya GERD. Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya
tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogad pada saat terjadinya peningkatan tekanan
intraabdomen.6
Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang
dapat menurunkan tonus LES adalah 1). adanya hiatus hernia, 2). panjang LES (makin pendek LES
makin rendah tonusnya), 3). obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat, dan
lain-lain, 4). faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan
tonus LES.1
Namun dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus-
kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah
transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih
kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini
tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung lambat

8
(delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung.6
Rintangan anti refluks (anti-reklux Barrier) yaitu kontraksi tonik LES memegang peran
penting untuk mencegah terjadinya GERD. Tekanan LES yang lebih kecil dari 6 mmHg (hipotonik)
hampir selalu disertai GERD yang cukup berarti. Namun harus diingat bahwa refluks bisa saja terjadi
pada tekanan LES yang normal. Ini yang dinamakan inappropriate atau transient sphincter relaxation
yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di luar proses menelan. Hubungan antara hiatus hernia (HH)
dan GERD masih kontroversial. Berbeda dari anggapan dulu, GERD dapat terjadi tanpa adanya
sliding hiatal hernia. Perlu diketahui bahwa meskipun hanya 50-60% pasien dengan HH menunjukkan
tanda esofagitis secara endoskopik, sekitar 90% pasien esofagitis disertai HH. Ini menunjukkan bahwa
HH merupakan faktor penunjang untuk terjadinya GERD karena hiatus hernia dapat memperpanjang
waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus LES.1,6
Bersihan Asam dari Lumen Esophagus
Mekanisme pembersihan lumen esophagus yang pada keadaan normal proses bersih diri
esophagus terdiri dari 4 macam mekanisme yaitu gaya gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan
pembentukan bikarbonat intrinsik oleh esophagus. Proses membersihkan esophagus dari asam ini
sesungguhnya dalam 2 tahap. Mula-mula peristaltik esophagus primer yang timbul pada waktu
menelan dengan cepat mengosongkan isi esophagus, kemudian air liur yang alkalis dan dibentuk
sebanyak 0,5 mL/menit serta bikarbonat yang dibentuk oleh mukosa esophagus sendiri, menetralisasi
asam yang masih tersisa. Sebagian besar asam yang masuk esofagus akan turun kembali ke lambung
oleh karena gaya gravitasi dan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan
dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus. Mekanisme
bersihan ini sangat penting karena makin lama kontak antara bahan refluksat dengan esofagus (waktu
transit esofagus) makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis.1,6
Pada sebagian pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esofagus yang normal sehingga
kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltik esofagus yang normal. Daya perusak bahan refluks
yaitu asam pepsin dan mungkin juga asam empedu atau lisoksitin yang ada dalam bahan refluks
mempunyai daya perusak terhadap mukosa esophagus. Beberapa jenis makanan tertentu seperti air
jeruk nipis, tomat dan kopi menambah keluhan pada pasien GERD. Isi lambung dan pengosongannya
terjadi refluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan dari pada keadaan puasa, oleh
karena isi lambung merupakan faktor penentu terjadinya refluks. Lebih banyak isi lambung lebih
sering terjadi refluks. Selanjutnya pengosongan lambung yang lamban akan menambah kemungkinan
refluks. Refluks yang terjadi pada malam hari waktu tidur paling merugikan oleh karena dalam posisi
tidur gaya gravitasi tidak membantu, salvias dan proses menelan boleh dikata berhenti dan oleh karena
itu peristaltik primer dan saliva tidak berfungsi untuk proses pembersihan asam di esophagus.1,6
Ketahanan Epitelial Esofagus

9
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus yang
melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri dari membran sel, batas
intraselular (intracellular juntion) yang membatasi difusi H + ke jaringan esofagus, dan aliran darah
esofagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta mengeluarkan ion H + dan Cl-
intraselular dengan Na dan bikarbonat ektraselular. Nikotin dapat menghambat transport ion Na+
melalui epitel esofagus, sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion
H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung
yang menambah potensi daya refluksat terdiri dari HCL, pepsin, garam empedu, enzim pankreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan
mukosa esofagus makin meningkat pada pH <2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari
kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam. Faktor-faktor lain yang
turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan
terjadinya refluks fisiologis antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed
gastric emptying.1,6
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang
didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori dengan
strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett’s esophagus dan
adenomakarinoma esofagus. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadapa GERD merupakan konsekuensi
logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H.
pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak
mengeluh gejala refluks prainfeksi H.pylori dengan predominant antral gastritis, pengaruh eradikasi
H.pylori dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak
mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi
H.pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pasien-pasien
dengan gejala GERD pra infeksi H.pylori dengan antral predominat gastritis, eradikasi H. pylori dapat
memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pasien-pasien
dengan gejala GERD pra-infeksi H.pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H.pylori
dapat memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI
jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritif
atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H.pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum
pengobatan PPI jangka panjang. Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa
non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud dengan
non-acid reflux antara lain berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluksat gas. Dalam
keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas viseral.1,6

10
Gejala Peringatan (Alarm
(Alarm Symptoms)
Symptoms)
Endoskopi saluran cerna atas pada pasien dengan gejala heartburn atau regurgitasi bukan
keharusan bagi pasien GERD mengingat lebih dari 90% pasien GERD di Asia tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan endoskopi (endoscopic
(endoscopic negative).
negative). Selain itu, karena mahalnya biaya
pemeriksaan dan tidak semua daerah memiliki fasilitas endoskopi saluran cerna atas, penggunaan
endoskopi sebagai modalitas diagnostik masih terbatas di Indonesia. Tes PPI bersifat sensitif dan
spesifik untuk mendiagnosis GERD yang mempunyai gejala tipikal; strategi ini dapat menghemat
biaya secara nyata dan mengurangi penggunaan tes diagnostik yang invasif. Jika responsnya sesuai,
pasien harus melanjutkan pengobatan sedikitnya selama 4 minggu. Setelah itu, direkomendasikan
untuk memberikan terapi on-demand mengingat sebagian besar pasien di Asia tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan endoskopi. Pasien harus dirujuk untuk menjalankan pemeriksaan
endoskopi saluran cerna jika tidak responsif terhadap PPI, mengalami relaps berulang, gejala atipikal,
gejala berat, atau gejala peringatan (alarm
(alarm symptoms).
symptoms). Gejala peringatan untuk rujukan dini endoskopi
saluran cerna atas meliputi penurunan berat badan, anemia, hematemesis atau melena, riwayat kanker
lambung dan atau esofagus dalam keluarga, penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid, disfagia
progresif, odinofagia, dan usia >40 tahun di daerah prevalensi tinggi kanker lambung.6

Manifestasi Klinis
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri atau rasa tidak enak di epigastrium atau
retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa rasa terbakar (heartburn),
kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi
dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak
berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip
dengan keluhan pada serangan angina pektoris. Disfagia (kesulitan menelan makanan) yang timbul
saat makan makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari
Barrett’s esophagus. Odinofagia (rasa sakit pada waktu menelan makanan) dapat bisa timbul jika
sudah terjadi ulserasi esophagus yang berat. GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala
ekstraesophageal yang atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak, suara serak,
laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis atau asma. Beberapa penyakit paru
dapat menjadi faktir predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di
daerah gastroesofageal high pressure zone akibat penggunaan obat-obtan yang menurunkan tonus
LES. Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau keadaan
yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan GERD memerlukan
penatalaksanaan secara medik.1,3,6

11
Penatalaksanaan
Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat kemungkinan timbulnya
komplikasi panjang berupa ulserasi, striktur esofagus atatupun esofagus Barret yang merupakan
keadaan premaligna, maka seyogyanya penyakit ini mendapat penatalaksaan yang adekuat. Pada
prinsipnya, penatalaksaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, terpai
bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik. Target penatalaksaan GERD adalah
menyembuhkan lesi esofagus, menghilangkan gejala atau esofagus, mencegah kekambuhan,
memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.3
Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi gaya hidup adalah salah satu dari penatalaksaan GERD namun bukan merupakan
pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun
pada dasarnya usaha ini untuk bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah
kekambuhan. Yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut: 1).
meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan
untuk meningkatkan bersihan asam lambung dari lambung ke esofagus; 2). berhenti merokok dan
mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung
mempengaruhi sel-sel epitel; 3). mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang
dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung; 4). menurunkan berat badan pasien
kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen; 5).
menghindari makanan seperti coklat, kopi, teh, peppermint, dan minuman bersoda karena dapat
menstimulasi sekresi asam; 6). jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan
tonus LES seperti antikolinergik, barbiturat, benzodiazepin (misalnya diazepam), kafein, penghambat
kanal kalsium dihidropiridin, dopamin, estrogen, etanol, isoproterenol, narkotik (meperidin, morfin),
fentolamin, progesteron, dan teofilin. 7). jika memungkinkan menghentikan penggunaan obat-obat
yang dapat mengiritasi secara langsung mukosa esofagus (tetrasiklin, quinidin, KCl, garam besi,
aspirin, OAINS, dan alendronat).1,3

12
Gambar. 1 Tata Laksana GERD7
Terapi Medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada penatalaksaan GERD.
Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam
kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat
ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk
memperbaiki gangguan motilitas.8
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa yaitu step up dan step down.
down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan
sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan
penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI).
Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat
dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan ddosis yang lebih rendah atau antagonis
reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan bahan antasid. . Dari berbagai studi dilaporkan bahwa
pendekatan terapi step down ternyata lebih ekonomis dibandingkan dengan pendekatan terapi step up.
Menurut Geneval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan GERD
(2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan
pendekatan terapi step down.1,9
Antasida
Digunakan untuk perawatan ringan GERD. Antasida efektif mengurangi gejala-gejala GERD
dalam waktu singkat dan antasida sering digunakan bersamaan dengan terapi penekan asam lainnya

13
tapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap Hcl, obat ini dapat
memperkuat sfingter esofagus bagian bawah. Pemeliharaan pH intragastrik di atas 4 dapat
menurunkan aktivasi pepsinogen menjadi pepsin, sebuah enzim proteolitik. Netralisasi cairan lambung
juga dapat mengarah pada peningkatan tekanan LES.10
Antagonis Reseptor H2
Yang termasuk golognan ini adalah simetidin, famotidin, nizatidin, dan ranitidin sebagai
penekan sekresi asam adalah pengobatan utama GERD jika diberikan dosis dua kali lebih tinggi dan
dosis untuk terapi ulkus. Antagonis reseptor H2 dalam dosis terbagi efektif dalam mengobati pasien
GERD ringan hingga sedang tanpa komplikasi. Kemanjuran antagonis reseptor H2 dalam perawatan
GERD sangat bervariasi dan sering lebih rendah dari yang diinginkan.11
Penghambat Pompa Inhibitor (Proton Pump Inhibitor / PPI)
Yang termasuk golognan ini adalah esomeprazol, lansoprazol, omeprazol, pantoprazol, dan
rabeprazol. Golongan ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. PPI lebih unggul
daripada antagonis reseptor H2 dalam mengobati pasien GERD sedang sampai parah. Ini tidak hanya
pada pasien erosif esofagtis atau gejala komplikasi (BE atau striktur), tetapi juga pasien dengan GERD
nonerosif yang mempunyai gejala sedang sampai parah. Kekambuhan umumnya terjadi dan terapi
pemeliharaan jangka panjang umumnya diindikasikan. PPI bekerja langsung pada pompa proton sel
parietal lambung mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pemebentukan asam lambung. Ini menghasilkan efek antisekretori yang mendalam dan tahan lama
yang mampu mempertahankan pH lambung di atas 4 bahkan selama lonjakan asam setelah makan.10,11
Prokinetik
Khasiat dari agen prokinetik cisapride, metoklopramid, dan domperidon telah dievaluasi dalam
pengobatan GERD. Cisapride sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4 memiliki khasiat yang
sebanding dengan antagonis reseptor H2 dalam mengobati pasien esofagitis ringan yaitu mempercepat
pengosongan lambungserta meningkatkan tekanan tonus LES tetapi cisapride tidak lagi tersedia untuk
penggunaan rutin karena efek aritmia yang mengancam jiwa bila dikombinasikan dengan obat-obatan
tertentu dan penyakit lainnya. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi
esofagus lebih baik dibanding domperidon. Dosis 3x 10 mg sehari.10,11
Metoklopramid sebagai golongan antagonis dopamin berkerja meningkatkan tekanan LES dan
mempercepat pengosongan lambung pada pasien GERD. Tidak seperti cisapride, metoklopramid tidak
memperbaiki bersihan esofagus. Metoklopramid dapat meredakan gejala GERD tetapi belum ada data
substantial yang menyatakan bahwa obat ini dapat memperbaiki kerusakan esofagus. Metoklopramid
diberikan 3 x 10 mg sehari.8,10
Domperidon termasuk golognan antagonis terhadap reseptor dopamin dengan efek samping
yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak. Walaupun

14
efektifitasnya dalam mengurnagi keluhan dan penyembuhan lesi esofageal belum banyak dilaporkan,
golongan obat ini dikerahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan
lambung. Domperidon diberikan 3 x 10-20 mg sehari. Agen prokinetik juga telah digunakan untuk
terapi kombinasi dengan antagonis H2 reseptor. Kombinasi dilakukan pada pasien GERD yang telah
diketahui atau diduga adanya gangguan motilitas atau pada pasien yang gagal pada pengobatan dengan
penghambat pompa proton dosis tinggi.9,11
Protektan Mukosa
Sucralfat berasal dari aluminium hidroksida dari sukrosa oktasulfat yang tidak terserap
mempunyai manfaat terbatas pada terapi GERD. Obat ini mempunyai laju pengobatan yang sama
seperti antagonis reseptor H2 pada pasien esofagitis ringan tapi kurang efektif dari pada antagonis
reseptor H2 dosis tinggi pada pasien dengan esofagitis refrakter. Berdasarkan data yang ada, sukralfat
tidak direkomendasikan untuk terapi.1,10
Terapi terhadap Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan dan striktur. Bila terjadi rangsangan asam
lambung yang kronik dapat terjadi perubahan mukosa esophagus dari squamous menjadi kolumnar
yang metaplastik sebagai esophagus Barret (premaligna) dan dapat menjadi karsinoma barret’s
esophagus. Bila pasien mengeluh disfagia dan diameter strikturnya kurang dari 13 mm pada striktur
esophagus maka dapat dilakukan dilatasi busi, bila gagal juga lakukanlah operasi. Bila pasien telah
mengalami Barret’s esophagus maka terapi yang dilakukan adalah terapi bedah (fundoskopi). Selain
terapi bedah dapat juga dilakukan terapi endoskopi (baik menggunakan energi radiofrekuensi, plikasi
gastrik endoluminal atau dengan implantasi endoskopi yaitu dengan cara menyuntikkan zat implan di
bawah mukosa esophagus bagian distal sehingga lumen esophagus bagian distal menjadi lebih
kecil).1,7,11

Komplikasi
Esophagitis
Cairan dari lambung yang mengalir balik (refluks) ke dalam esofagus merusak sel-sel yang
melapisi esofagus. Tubuh akan merespon kerusakan tersebut dan terjadilah peradangan (esophagitis).
Tujuan dari peradangan adalah untuk menetralkan agen yang merusak dan memulai proses
penyembuhan. Jika kerusakannya masuk ke dalam esophagus akan terbentuk borok. Borok adalah
hanya pecahan pada lapisan esofagus yang terjadi pada area peradangan.12
Borok-borok dari esophagus sembuh dengan pembentukan luka-luka parut (fibrosis). Dengan
berjalannya waktu, jaringan parut menyusut dan menyempitkan lumen (rongga dalam) dari esophagus.
Penyempitan yang akibat luka parut ini disebut penyempitan (striktur). Makanan yang ditelan
mungkin tersangkut dalam esophagus sekali penyempitan menjadi cukup parah (biasanya ketika

15
menyempitkan lumen esophagus ke garis tengah dari 1 cm). Situasi ini mungkin memerlukan
pengangkatan makanan yang tersangkut secara endoskopi. Kemudian, untuk mencegah makanan
menempel, penyempitan harus diregangkan (diperlebar). Lebih dari itu, untuk mencegah kekambuhan
12
dari penyempitan, refluks juga harus dicegah.
Striktur Esophagus
Striktur esofagus adalah penyempitan dinding esofagus (biasanya terletak pada 2/3 bawah)
sering diakibatkan karena refluks esofagitis, mencerna zat kimia, pergeseran hiatal hernia, atau
infiltrasi neoplastik. Striktur atau stenosis esofagus adalah penyempitan lumen esofagus dapat karena
tumor atau penyebab lain. Striktur esofagus merupakan penyempitan lumen karena fibrosis dinding
esofagus yang disebabkan oleh macam-macam penyebab. Proses striktur terjadi akibat reaksi inflamasi
dan nekrosis esofagus karena berbagai macam penyebab.12
Barret’s Esophagus
Sebagai dampak adanya rangsangan kronik asam lambung terhadap musosa esofagus, dapat
terjadi perubahan mukosa esofagus dari skuamosa menjadi epitel kolumnar yang metaplastik. Bila
pasien telah mengalami hal ini maka terapi yang dilakukan adalah terapi bedah (fundoskopi). Selain
terapi bedah dapat juga dilakukan terapi endoskopi (baik menggunakan energy radiofrekuensi, plikasi
gastric luminal atau dengan implantasi endoskopi) walapun cara ini masih dalam penelitian.12

Prognosis
Prognosis dari penyakit ini baik jika derajat kerusakan esofagus masih rendah dan pengobatan
yang diberikan benar pilihan dan pemakaiannya. Namun jika tidak dapat ditangani dengan benar maka
dapat menyebabkan kompilkasi seperti striktur esophagus, Barret's esophagus, dan pendarahan.7,12

Pencegahan
Pencegahan terhadapa GERD dengan dilakukannya: 1). meninggikan posisi kepala pada saat
tidur serta menghindari makan sebelum tidur; 2). berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol; 3).
mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan; 4). menurunkan berat badan pasien;
5). menghindari makanan seperti coklat, kopi, teh, peppermint, dan minuman bersoda; 6). jika
memungkinkan menghindari obat-obat seperti antikolinergik, barbiturat, benzodiazepin (misalnya
diazepam), kafein, penghambat kanal kalsium dihidropiridin, dopamin, estrogen, etanol, isoproterenol,

16
narkotik (meperidin, morfin), fentolamin, progesteron, dan teofilin. 7). jika memungkinkan
menghentikan penggunaan obat-obat yang dapat mengiritasi secara langsung mukosa esofagus
(tetrasiklin, quinidin, KCl, garam besi, aspirin, OAINS, dan alendronat).1,3

Penutup
Gastroesofageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu keadaan di mana terjadi disfungsi
sfingter esofagus bagian bawah sehingga menyebabkan regurgitasi isi lambung ke dalam esofagus yang
mempunyai gejala-gejala atau kerusakan jaringan yang terjadi sekunder akibat refluks isi lambung.
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada
pemeriksaan fisik tidak banyak yang khas. Namun terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang
dapat membantu menegakkan diagnosis. Pilihan terapi GERD termasuk modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, dan terapi terhadap komplikasi.

17
Daftar Pustaka
1. Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, Setiati S, Alwi I, Simadibrata
M. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jilid II. Jakarta: Interna Publishing; 2014.h.1748-
56.
2. Bates B, Bickley LS, Szilagyi PG. A guide to physical examination and history taking. San
Francisco: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.p.434-43.
3. Papadakis MA, McPhee SJ. Current medical diagnosis and treatment. San Francisco: McGraw
Hill Lange; 2009.p.1749-52.
4. Djojoningrat D. Dispepsia fungsional. Edisi ke-5. Jilid I. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.529-
33.
5. Kelompok Studi GERD Indonesia. Konsensus nasional penatalaksaan penyakit refluks
gastroesofageal (Gastro-esofageal Reflux Disease/GERD di Indonesia 2004. Perkumpulan
Gastroentologi Indonesia 2004.h.7-17.
6. Porth CM. Essentials of pathophysiology. 3th edition. Milwaukee: Lippincott Williams &
Wilkins; 2011.p.702-5.
7. Grace PA, Borley NR. Ilmu bedah At a Glance. Edisi ke-3. Jakarta: Erlangga Medical Series;
2007.h.94-6.
8. Gambar. 1 Tata Laksana GERD diunduh dari http://www.slideshare.net/sunnygaraxy/sany-
referrat-gerd pada tanggal 18 Mei 2015.
9. Syarif A, dkk. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012.h.517-24.
10. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic and clinical pharmacology. 11th edition. San
Francisco: McGraw Hill Lange; 2009.p.1394-1401.
11. Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxyon I. Godman and Gilman's manual of pharmacology
and therapeutics. London: McGraw Hill Lange; 2008.p.635-41.
12. Davey P. Medicine At a Glance. London: Erlangga Medical Series; 2006.h.43.

18

Anda mungkin juga menyukai